Loading AI tools
divisi dalam Kekristenan, berasal dari Reformasi di abad ke-16 melawan Gereja Katolik Roma, yang menolak doktrin supremasi paus dan sakramen Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Protestanisme atau Kristen Protestan adalah cabang Kekristenan[a] yang menitikberatkan pembenaran orang berdosa oleh iman semata-mata, ajaran bahwa keselamatan datang oleh kasih karunia ilahi cuma-cuma, imamat am orang percaya, dan Alkitab sebagai satu-satunya sumber yang mustahil keliru bagi iman dan amalan Kristen.[1][2] Lima solae merupakan ikhtisar akidah-akidah pokok Protestanisme arus utama.
Bagian dari seri |
Protestanisme |
---|
|
Portal Kristen |
Bagian dari seri tentang |
Kekristenan |
---|
Portal Kristen |
Umat Protestan menganut asas-asas teologis Reformasi Protestan, pergerakan abad ke-16 yang bertujuan mereformasi Gereja Katolik dari hal-hal yang dianggap sebagai kekeliruan, penyelewengan, dan ketidakcocokan.[3][b] Gerakan reformasi ini bermula di Kekaisaran Romawi Suci[c] pada tahun 1517, tatkala Martin Luther menerbitkan Sembilan Puluh Lima Dalil yang ia susun sebagai reaksi terhadap penyelewengan-penyelewengan dalam penjualan indulgensi oleh Gereja Katolik, yang sesungguhnya dimaksudkan sebagai anugerah remisi hukuman temporer atas dosa-dosa kepada pembelinya.[4] Meskipun demikian, istilah protestan dipetik dari surat protes yang dilayangkan pangeran-pangeran Lutheran Jerman pada tahun 1529 untuk menggugat maklumat Musyawarah Negara di Speyer yang membidatkan ajaran-ajaran Martin Luther.[5] Pada abad ke-16, mazhab Lutheran menyebar dari Jerman[d] ke Denmark, Norwegia, Swedia, Finlandia, dan Islandia.[6] Mazhab Kalvinis disebarluaskan di Jerman,[e] Hongaria, Belanda, Skotlandia, Swiss, dan Prancis oleh para reformator Protestan seperti Yohanes Kalvin, Huldrych Zwingli, dan John Knox.[7] Pemisahan politis gereja Inggris dari Takhta Suci pada masa pemerintahan Raja Henry VIII memunculkan mazhab Anglikan, yang melibatkan Inggris dan Wales ke dalam pergerakan Reformasi Protestan di Eropa Daratan, di bawah kepemimpinan Thomas Cranmer, reformator yang berjasa menempa doktrin dan jati diri mazhab Anglikan.[f]
Alih-alih merupakan suatu struktur tunggal seperti Gereja Katolik, Kristen Ortodoks Timur, maupun Kristen Ortodoks Oriental, Protestanisme merupakan suatu kemajemukan, lantaran terbagi-bagi menjadi banyak denominasi berdasarkan teologi dan eklesiologi,[8] Umat Protestan menganut konsep gereja tak kasatmata, bertolak belakang dengan Gereja Katolik, Gereja Ortodoks Timur, Gereja-Gereja Ortodoks Oriental, Gereja Asyuri di Timur, dan Gereja Purba di Timur, yang masing-masing menganggap dirinya sendiri sebagai satu-satunya Gereja sejati, yakni "satu Gereja sejati" yang didirikan Yesus Kristus (kendati denominasi-denominasi Protestan tertentu, termasuk denominasi Lutheran bersejarah, juga menganut pendirian yang sama).[9][10][11] Beberapa denominasi Protestan memiliki ruang lingkup dan keanggotaan yang mendunia, tetapi denominasi-denominasi Protestan selebihnya tersekat di satu negara saja.[8] Mayoritas umat Protestan[g] tergolong di dalam segelintir rumpun denominasi Protestan yang ada, yaitu Advent, Anabaptis, Anglikan atau Episkopal, Baptis, Kalvinis atau Gereformir,[h] Lutheran, Metodis, Moravian, Serikat Persaudaraan Plymouth, Presbiterian, dan Serikat Handai-Tolan.[13] Gereja-gereja nondenominasional, karismatik, dan independen juga sedang tumbuh, lantaran belakangan ini menyebar dengan pesat ke seluruh dunia, dan merupakan bagian penting dari Protestanisme.[14] Berbagai pergerakan ini, yang secara kolektif disebut "Protestanisme populer" [i] oleh para sarjana seperti Peter L. Berger, telah disebut sebagai salah satu dari pergerakan-pergerakan agamawi kontemporer yang paling dinamis.[15]
Dewasa ini, Protestanisme merupakan corak Kekristenan terbesar-kedua, dengan jumlah total pemeluk mencapai 0,8 — 1 miliar jiwa di seluruh dunia, atau kurang lebih 36,7% — 40% dari jumlah keseluruhan umat Kristen.[13][16][j]
Keenam Pangeran-Elektor Kekaisaran Romawi Suci dan kepala-kepala pemerintahan dari empat belas kota kekaisaran merdeka, yang melayangkan protes (atau keberatan) terhadap maklumat Rapat Negara di Speyer tahun 1529, adalah orang-orang pertama yang disebut Protestan.[18] Maklumat tersebut mementahkan konsesi-konsesi bagi umat Lutheran yang sudah ditetapkan atas persetujuan Kaisar Karel V tiga tahun sebelumnya. Meskipun mula-mula murni bersifat politis, istilah protestan (pemrotes) kemudian hari mengalami perluasan makna dan dipakai untuk menyifatkan anggota jemaat Kristen Barat mana pun yang menganut akidah-akidah pokok Protestan.[18] Seorang Protestan adalah pengikut salah satu dari sekian banyak badan Kristen yang terpisahkan dari Gereja Roma pada zaman Reformasi Protestan, atau pengikut salah satu kelompok turunan dari badan-badan tersebut.[19]
Pada zaman Reformasi, istilah protestan jarang sekali dipakai di luar gelanggang politik Jerman. Orang-orang yang terlibat di dalam pergerakan agamawi menggunakan istilah injili (bahasa Jerman: evangelisch). Uraian lengkapnya dapat dibaca di bawah. Lambat laun protestan menjadi istilah yang umum, yakni sebutan bagi siapa saja yang menceburi pergerakan Reformasi Protestan di kawasan penutur bahasa Jerman. Istilah protestan pada akhirnya dipakai golongan Lutheran, kendati Martin Luther sendiri bersikeras bahwa hanya istilah Kristen atau injili yang pantas dijadikan sebutan bagi orang-orang yang mengaku beriman kepada Kristus. Umat Protestan Prancis dan Swiss lebih menyukai istilah gereformir (bahasa Prancis: réformé), yang menjadi sebutan alternatif, netral, dan populer bagi golongan Kalvinis.
Kata injili (bahasa Jerman: evangelisch), yang mengacu kepada injil, secara luas digunakan sebagai sebutan bagi orang-orang yang terlibat di dalam pergerakan agamawi di kawasan penutur bahasa Jerman pada tahun 1517.[20] Injili masih menjadi istilah kesukaan beberapa denominasi bersejarah di dalam mazhab Lutheran, Kalvinis, dan Persatuan (Lutheran dan Kalvinis) di Eropa, maupun pihak-pihak yang erat kaitannya dengan denominasi-denominasi tersebut. Di atas segala-galanya, istilah injili dipakai badan-badan Protestan di kawasan penutur bahasa Jerman, misalnya Gereja Injili di Jerman. Ada dua kata Jerman yang diterjemahkan menjadi "injili" di dalam bahasa Indonesia, yaitu evangelisch dan evangelikal. Di dalam bahasa Jerman, kata evangelisch berarti Protestan, sementara kata evangelikal (dari kata Inggris evangelical) digunakan untuk menyifatkan gereja-gereja yang dijiwai semangat pergerakan Injili. Kata evangelical di dalam bahasa Inggris biasanya dipakai untuk menyifatkan gereja-gereja Protestan Injili, dan oleh karena itu hanya mengacu kepada bagian tertentu dari Protestanisme, alih-alih mengacu kepada Protestanisme secara keseluruhan. Istilah Inggris ini dicetuskan golongan Puritan, cikal bakal pergerakan Injili, dan kemudian hari terbawa sampai ke Amerika Serikat.
Martin Luther tidak pernah menyukai istilah Lutheran. Dia lebih suka memakai istilah evangelisch, dari kata Yunani ewanggelion, yang berarti "kabar baik", yaitu "injil".[21] Para pengikut Yohanes Kalvin, Huldrych Zwingli, dan teolog-teolog lain yang erat kaitannya dengan mazhab Kalvinis pun ikut memakai istilah injili. Untuk membedakan kedua kelompok injili tersebut, pihak-pihak lain mulai menyebut yang satu sebagai Lutheran Injili dan yang lain sebagai Kalvinis Injili. Dengan cara yang sama, istilah ini lekat pula dengan kelompok-kelompok arus utama lainnya, contohnya Metodis Injili. Seiring bergulirnya waktu, kata injili ditinggalkan orang. Golongan Lutheran mulai memakai istilah Lutheran pada pertengahan abad ke-16 untuk membedakan dirinya dari kelompok-kelompok lain, misalnya golongan Filipis dan golongan Kalvinis.
Istilah reformatoris (bahasa Jerman: reformatorisch), yang berarti "bersifat reformasi" atau "berkenaan dengan reformasi", dipakai sebagai alternatif bagi istilah injili (bahasa Jerman: evangelisch) di Jerman. Reformatoris tidak sama dengan gereformir (bahasa Belanda: gereformeerd, bahasa Jerman: reformiert, bahasa Inggris: reformed), yang berarti "tereformasi" dan mengacu kepada gereja-gereja yang dijiwai gagasan-gagasan Yohanes Kalvin, Huldrych Zwingli, dan teolog-teolog Kalvinis lainnya. Istilah yang diturunkan dari kata "reformasi" ini muncul kira-kira bersamaan dengan istilah injili (tahun 1517) dan protestan (tahun 1529).
Banyak ahli di bidang ini berusaha menentukan prasyarat yang harus dipenuhi sebuah denominasi Kristen agar dapat disebut sebagai bagian dari Protestanisme. Menurut suatu konsensus umum yang disetujui oleh sebagian besar dari mereka, sebuah denominasi Kristen dapat dianggap Protestan jika mengamini tiga akidah pokok Protestanisme berikut ini.[22]
Akidah yang diutamakan oleh Martin Luther ini adalah keimanan kepada Alkitab sebagai sumber kewibawaan tertinggi bagi gereja. Gereja-gereja Reformasi terdahulu mengamalkan cara membaca kitab suci secara kritis tetapi khusyuk, dan menjunjung Alkitab sebagai sumber kewibawaan yang lebih tinggi daripada tradisi gereja. Maraknya penyelewengan di dalam Gereja Barat sebelum Reformasi Protestan mendorong para reformator untuk menolak banyak tradisi Gereja Barat. Pada awal abad ke-20, muncul kebiasan membaca dan memahami Alkitab secara kurang kritis di Amerika serikat, yang melahirkan penafsiran kitab suci "fundamentalis". Golongan fundamentalis Kristen membaca Alkitab sebagai Firman Allah yang "mustahil keliru dan tanpa kekeliruan" sebagaimana yang diimani umat Katolik, Ortodoks Timur, Anglikan, dan Lutheran, tetapi menafsirkannya secara harfiah tanpa menggunakan metode kritis-historis. Sehubungan dengan doktrin ini, golongan Metodis dan Anglikan tidak sehaluan dengan golongan Lutheran dan Kalvinis, karena mereka mengajarkan doktrin prima scriptura, yakni keyakinan bahwa kitab suci adalah sumber utama bagi doktrin Kristen, tetapi "tradisi, pengalaman, dan akal budi" dapat menyuburkan agama Kristen sepanjang masih selaras dengan Alkitab (Alkitab Protestan).[1][23]
"Kekristenan Alkitab", yang berfokus kepada telaah Alkitab secara mendalam, merupakan ciri khas dari sebagian besar golongan Protestan, bertolak belakang dengan "Kekristenan Gereja", yang diwakili tradisi Katolik dan Ortodoks. Meskipun demikian, golongan Handai-Tolan dan Pentakosta menitikberatkan Roh Kudus dan kedekatan pribadi dengan Allah.[24]
Akidah ini adalah keyakinan bahwa orang-percaya dibenarkan, atau diampuni dosa-dosanya, semata-mata lantaran beriman kepada Kristus, bukannya lantaran beriman dan beramal baik. Bagi umat Protestan, amal baik merupakan konsekuensi wajib, bukan sebab dari pembenaran.[25] Meskipun berakidah pembenaran oleh iman semata-mata, ada pendirian bahwa iman tersebut bukanlah nuda fides.[26] Yohanes Kalvin menjelaskan bahwa "iman semata yang membenarkan, akan tetapi iman yang membenarkan itu tidaklah berdiri sendiri, sama seperti panas matahari sajalah yang menghangati bumi, akan tetapi di dalam matahari panas itu tidaklah sendirian, lantaran tunak disertai cahaya."[26] Umat Lutheran dan Kalvinis tidak sejalan dengan umat Metodis dalam memahami doktrin ini.[27]
Imamat am orang-percaya mengisyaratkan hak dan kewajiban umat Kristen awam bukan hanya untuk membaca Alkitab di dalam bahasa sehari-hari, melainkan juga untuk mengambil bagian di dalam penyelenggaraan Gereja dan segala urusan publik Gereja. Akidah ini bertolak belakang dengan tatanan hierarkis yang menempatkan intisari dan wewenang Gereja di dalam suatu imamat ekslusif, dan yang menjadikan imam-imam tertahbis sebagai pengantara yang perlu ada di antara Allah dan umat.[25] Imamat am orang-percaya tidak sama dengan konsep imamat segenap umat-beriman, yang tidak memberikan hak kepada orang-orang pribadi untuk menafsirkan Alkitab sendiri-sendiri di luar dari komunitas Kristen secara keseluruhan, karena imamat am orang-percaya justru membuka peluang semacam itu.[28] Ada sarjana-sarjana yang mengatakan bahwa doktrin ini cenderung merangkum semua pembedaan di dalam gereja di bawah satu entitas rohaniah tunggal.[29] Kalvin menyebut imamat am orang-percaya sebagai ungkapan hubungan orang-percaya dengan Allahnya, yang mencakup kemerdekaan bagi seorang Kristen untuk datang kepada Allah melalui Kristus tanpa pengantaraan manusia.[30] Ia juga menandaskan bahwa akidah ini mengakui Kristus sebagai nabi, imam, dan raja, dan bahwasanya imamat Kristus dibagikan kepada umatnya untuk dimiliki bersama-sama dengannya.[30]
Umat Protestan yang mengamini Syahadat Nikea mengimani tiga pribadi (Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus) sebagai satu Allah.
Gerakan-gerakan yang muncul kira-kira bersamaan dengan Reformasi Protestan, tetapi bukan bagian dari Protestanisme (misalnya Unitarianisme), menolak Tritunggal. Penolakan inilah yang kadang-kadang dijadikan alasan oleh berbagai pengamat untuk mengecualikan golongan Universalisme Unitarian, Pentakosta Keesaan, dan gerakan-gerakan lainnya dari Protestanisme. Unitarianisme terus bertahan sampai sekarang, terutama di Transilvania, Inggris, dan Amerika Serikat.
Lima solae adalah lima frasa (atau semboyan) dalam bahasa Latin yang tercetus pada zaman Reformasi Protestan dan merangkum akidah-akidah pokok para reformator yang berseberangan dengan ajaran Gereja Katolik pada masa itu. Kata Latin sola berarti "semata-mata", "saja", atau "tunggal".
Pemakaian frasa-frasa tersebut sebagai rangkuman ajaran bermula pada zaman Reformasi Protestan, bersendikan asas-induk sola scriptura (oleh kitab suci semata-mata) Lutheran dan Kalvinis.[1] Asas sola scriptura mengandung empat doktrin pokok mengenai Alkitab, yaitu bahwasanya ajaran Alkitab diperlukan demi beroleh kesematan (Alkitab itu diperlukan); bahwasanya semua ajaran yang diperlukan demi beroleh keselamatan semata-mata bersumber dari Alkitab (Alkitab itu sudah memadai); bahwasanya segala sesuatu yang diajarkan di dalam Alkitab itu benar (Alkitab itu tanpa kekeliruan); dan bahwasanya, oleh Roh Kudus yang mengatasi dosa, orang-percaya dapat membaca dan memahami kebenaran dari Alkitab itu sendiri, sekalipun memahami Alkitab itu sukar, sehingga sarana-sarana yang sering kali dipakai untuk menuntun setiap orang-percaya menuju ajaran yang benar adalah saling bertukar pikiran di dalam gereja (Alkitab itu sudah gamblang).
Diperlukannya Alkitab dan tidak adanya kekeliruan di dalam Alkitab merupakan gagasan-gagasan yang sudah mapan, sehingga hanya sedikit menuai kritik, kendati kemudian hari dijadikan pokok pedebatan oleh pihak luar pada Abad Pencerahan. Yang paling menghebohkan pada masa itu adalah gagasan bahwa siapa pun boleh begitu saja mengambil dan mempelajari Alkitab secukupnya demi beroleh keselamatan. Meskipun menaruh perhatian besar kepada eklesiologi (doktrin tentang bagaimana gereja bekerja sebagai sebuah badan), para reformator tidak sepaham mengenai proses penerapan kebenaran-kebenaran kitab suci di dalam kehidupan orang-percaya, dibanding gagasan Katolik bahwa orang-orang tertentu di dalam Gereja, atau gagasan-gagasan yang sudah cukup lama bercokol, memiliki status istimewa untuk memberikan pengertian akan isi kitab suci.
Asas pokok yang kedua, sola fide (oleh iman semata-mata), menyatakan bahwa keimanan kepada Kristus saja sudah memadai demi beroleh keselamatan dan pembenaran kekal. Meskipun didalikan dari kitab suci, dan oleh karena itu secara logis merupakan konsekuensi dari asas sola scriptura, asas ini merupakan asas yang menuntun kiprah Luther maupun para reformator terkemudian. Karena sola scriptura menempatkan Alkitab sebagai satu-satunya sumber ajaran, sola fide menyarikan pokok pikiran dari ajaran hendak dikaji kembali oleh para reformator, yaitu hubungan pribadi yang akrab dan bersifat langsung di antara Kristus dan orang-percaya, itulah sebabnya para reformator bersikukuh bahwa kiprah mereka bersifat Kristosentris.
Sebagai bentuk pernyataan, sola-sola selebihnya baru muncul kemudian hari, akan tetapi gagasan yang diwakilinya juga merupakan bagian dari Reformasi Protestan terdahulu.
Pergerakan Protestan mulai terpecah menjadi beberapa cabang berlainan pada pertengahan abad ke-16. Salah satu sebab utamanya adalah perbedaan paham mengenai Perjamuan Kudus. Umat Protestan yang terdahulu menolak dogma transubstansiasi Katolik, yang mengajarkan bahwa roti dan anggur yang digunakan di dalam upacara Misa kehilangan hakikat alamiahnya pada saat diubah menjadi tubuh, darah, jiwa, dan keilahian Kristus. Golongan-golongan Protestan berbeda pandangan satu sama lain mengenai kehadiran Kristus maupun tubuh dan darahnya di dalam Komuni Kudus.
Umat Protestan menolak doktrin keutamaan paus yang diajarkan Gereja Katolik, dan memiliki beragam pandangan mengenai jumlah sakramen, kehadiran nyata Kristus di dalam Ekaristi, maupun hal-ihwal tatanan gerejawi dan suksesi rasuli.[43]
Salah seorang tokoh terdahulu yang digadang-gadang sebagai perintis Protestanisme adalah Yovinianus, mantan rahib yang hidup pada abad ke-4 Masehi. Yovinianus mencerca monastisisme dan asketisme, serta meyakini bahwa orang-percaya yang sudah diselamatkan tidak bakal dapat dikalahkan setan.[44]
Pada abad ke-9, teolog Gottschalk dari Orbais dibidatkan Gereja Katolik. Gottschalk meyakini bahwa keselamatan dari Yesus bersifat terbatas, dan penebusan Yesus hanya diperuntukkan bagi orang-terpilih.[45] Teologi Gottschalk merintis jalan bagi Reformasi Protestan.[46][47] Ratramnus juga membela teologi Gottschalk dan menyangkal kehadiran nyata Kristus di dalam Ekaristi. Kemudian hari, karya tulisnya turut memengaruhi Reformasi protestan.[48] Klaudius dari Turin pada abad ke-9 pun sudah menganut gagasan-gagasan khas Protestan, misalnya sola fide dan penolakan terhadap supremasi Petrus.[49]
Pada akhir dasawarsa 1130-an, Arnaldo da Brescia, seorang imam tarekat di Italia, menjadi salah seorang teolog pertama yang berusaha mereformasi Gereja Katolik. Sesudah ia wafat, ajaran-ajarannya mengenai kemiskinan apostolik diamalkan golongan Arnoldis, dan kemudian hari dianut golongan Waldensian dan golongan Fraticelli, kendati tidak ada lagi karya tulis Arnaldo yang tersisa sesudah ajarannya dibidatkankan secara resmi. Pada awal dasawarsa 1170-an, Pierre Vaudès membentuk golongan Waldensian. Ia menganjurkan tafsir Injil yang memicu sengketa dengan Gereja Katolik. Pada tahun 1215, golongan Waldensian dinyatakan sebagai golongan ahli-bidat sehingga terancam dianiaya. Meskipun demikian, golongan Waldensian terus bertahan hidup sampai sekarang di Italia sebagai bagian dari rumpun Kalvinis.
Pada dasawarsa 1370-an, John Wycliffe, imam dan teolog Oxford yang kemudian hari dijuluki "Bintang Timur Reformasi", memulai kiprahnya sebagai tokoh reformator Inggris. Ia menolak kewenangan paus atas pemerintah sekuler, menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Inggris sehari-hari, dan mengotbahkan reformasi yang bersifat antirohaniwan dan bersendikan Alkitab. Penolakannya terhadap ajaran kehadiran nyata ilahi di dalam roti dan anggur Ekaristi merintis jalan bagi gagasan-gagasan serupa yang kelak dicetuskan Huldrych Zwingli pada abad ke-16. Para pengagum Wycliffe kemudian hari disebut golongan "Lollardi".[50]
Pada dasawarsa pertama abad ke-15, Jan Hus, seorang profesor sekaligus imam Katolik di Ceko yang dipengaruhi karya-karya tulis John Wycliffe, membentuk golongan Husite. Ia gencar mengajak orang-orang untuk bergabung dengan denominasi reformatoris Bohemia yang dibentuknya, dan akhirnya diekskomunikasi dan dihukum bakar hidup-hidup di tiang pancang pada tahun 1415 oleh pemerintah sekuler di Konstanz, praja Kepangeranan Keuskupan Konstanz, karena bersikeras menganut bidat dan tidak mau bertobat meninggalkannya. Sesudah Jan Hus dihukum mati, timbul pemberontakan. Golongan Husite mampu mematahkan gempuran lima Perang Salib beruntun yang dilancarkan paus terhadap mereka.
Kemudian hari, golongan Husite mengalami perpecahan akibat sengketa teologis. Muncul golongan Kalisnici yang bersikeras agar baik roti maupun anggur diterimakan kepada umat di dalam perayaan Ekaristi. Pecahan besar lainnya adalah golongan Taborite, yang melawan golongan Kalisnici dalam Pertempuran Lipany pada masa Perang Husite. Ada dua kubu di dalam golongan Husite, yakni kubu moderat dan kubu radikal. Pecahan-pecahan Husite lainnya yang lebih kecil dan bersifat kedaerahan di Bohemia antara lain adalah golongan Adamite, golongan Orebite, golongan Yatim-Piatu, dan golongan Orang-Praha.
Perang Husite berakhir dengan kemenangan di pihak Kaisar Sigismund, sekutu-sekutu Katoliknya, dan golongan Husite moderat, serta kekalahan di pihak golongan Husite radikal. Ketegangan muncul tatkala Perang Tiga Dasawarsa merembet ke Bohemia pada tahun 1620. Baik golongan Husite moderat maupun golongan Husite radikal kian lama kian ditindas oleh angkatan perang Katolik dan angkatan perang Kaisar Romawi Suci.
Pada abad ke-14, sebuah kelompok tasawuf Jerman yang disebut Gottesfreunde mengecam Gereja katolik dan segala kebobrokannya. Banyak pimpinan mereka yang dihukum mati akibat menyerang Gereja Katolik. Mereka percaya bahwa Allah akan segera menghakimi gereja. Gottesfreunde merupakan pergerakan umat awam demokratis dan perintis Reformasi Protestan yang sangat mengutamakan kekudusan dan ketakwaan,[51]
Semenjak tahun 1475, Girolamo Savonarola, seorang padri Dominikan Italia, menyerukan pembaharuan Kristen. Kemudian hari Martin Luther membaca beberapa karya tulisnya serta memujinya sebagai martir dan pelopor yang mencetuskan gagasan-gagasan menyangkut iman dan kasih karunia yang merintis jalan bagi doktrin sola fide Luther.[52]
Beberapa pengikut Jan Hus membentuk Unitas Fratrum (Persatuan Saudara Seiman), yang diperbaharui di bawah kepemimpinan Bupati Nicolaus von Zinzendorf di Herrnhut, Sachsen, pada tahun 1722, sesudah nyaris musnah dalam Perang Tiga Dasawarsa dan Kontrareformasi (Reformasi Katolik). Dewasa ini, Unitas Fratrum lazim disebut gereja Moravian, dan disebut Herrnhuter Brüdergemeine di Jerman.
Pada abad ke-15, muncul tiga orang teolog Jerman perintis Reformasi Protestan, yakni Wessel Gansfort, Johann Ruchrat von Wesel, dan Johannes von Goch. Mereka sudah menganut gagasan-gagasan seperti predestinasi, sola scriptura, dan gereja tak kasatmata, menyangkal pandangan Katolik Roma mengenai pembenaran dan wewenang Sri Paus, serta mempertanyakan monastisisme.[53]
Wessel Gansfort juga menyangkal transubstansiasi dan merintis jalan bagi pandangan Lutheran tentang pembenaran oleh iman semata-mata.[54]
Bagian dari seri |
Reformasi Protestan |
---|
Protestanisme |
Reformasi Protestan dimunculkan sebagai upaya untuk mereformasi Gereja Katolik.
Pada tanggal 31 Oktober 1517, yakni pada hari umat Kristen memperingati Malam Semua Orang Kudus, konon Martin Luther memakukan naskah Sembilan Puluh Lima Dalil atau Gugatan terhadap Kuasa Indulgensi pada daun pintu Gereja Semua Orang Kudus di Wittenberg. Naskah tersebut berisi penjabaran berbagai macam penyelewengan Gereja Katolik, baik yang berkaitan dengan doktrin maupun yang berkaitan dengan amalan, teristimewa penjualan indulgensi. Sembilan Puluh Lima Dalil menggugat dan mengecam banyak aspek dari Gereja maupun lembaga kepausan, antara lain soal purgatorium, penghakiman khusus, dan wewenang paus. Kemudian hari Martin Luther juga menghasilkan karya-karya tulis menentang devosi Katolik kepada Perawan Maria, perantaraan orang-orang kudus, devosi kepada orang-orang kudus, kewajiban selibat bagi kaum rohaniwan, monastisisme, wewenang paus, hukum gerejawi, sensor dan ekskomunikasi, peran para pemimpin sekuler di dalam kehidupan beragama, hubungan Kekristenan dengan hukum, amal baik, dan sakramen-sakramen.[55]
Reformasi Protestan merupakan kemenangan bagi literasi dan mesin cetak yang baru saja diciptakan oleh Johannes Gutenberg.[56][k] Terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Jerman yang dikerjakan Luther merupakan tonggak sejarah penyebarluasan literasi, serta merangsang pencetakan dan distribusi buku-buku maupun selebaran-selebaran agamawi. Sejak tahun 1517, selebaran-selebaran agamawi membanjiri Eropa.[58][l]
Sesudah paus mengekskomunikasi Martin Luther dan mengutuk Reformasi Protestan, kiprah dan karya-karya tulis Yohanes Kalvin berjasa memunculkan suatu konsensus-longgar di antara berbagai kelompok di Swiss, Skotlandia, Hongaria, Jerman, dan lain-lain. Selepas peristiwa pengusiran Pangeran-Uskup Jenewa pada tahun 1526, dan kegagalan yang dialami reformator Guillaume Farel di Bern, Yohanes Kalvin diminta mengerahkan kemahirannya dalam berorganisasi yang ia kuasai semenjak duduk di bangku kuliah ilmu hukum untuk menegakkan ketertiban di kota Jenewa. Ordonansi Tahun 1541 yang dikeluarkannya mencakup suatu kerjasama dalam penyelenggaraan urusan gereja dengan sidang majelis pemerintahan kota dan konsistori demi menegakkan akhlak mulia di dalam segala segi kehidupan masyarakat. Sesudah Akademi Jenewa berdiri pada tahun 1559, Jenewa menjadi ibu kota tidak resmi pergerakan Protestan, kota yang memberikan suaka kepada orang-orang Prostestan dari seluruh Eropa yang terbuang dari negeri asal mereka, dan mendidik mereka menjadi misionaris-misionaris Kalvinis. Akidah Protestan terus menyebar sesudah Yohanes Kalvin wafat pada tahun 1563.
Protestanisme juga menyebar dari daerah-daerah di Jerman ke Prancis, tempat umat Protestan dijuluki golongan Huguenot (suatu istilah yang agak sukar dijelaskan asal usulnya). Yohanes Kalvin masih terus memperhatikan urusan-urusan agamawi Prancis dari markasnya di Jenewa. Ia secara teratur melatih gembala-gembala jemaat untuk memimpin jemaat-jemaat Protestan di Prancis. Meskipun ditindas dan dianiaya, mazhab Kalvinis terus bertumbuh di Prancis, memikat hati orang-orang yang tersingkirkan oleh sikap tegar tengkuk dan berpuas diri Gereja Katolik. Protestanisme di Prancis lambat laun mulai bersifat politis, yang tampak semakin jelas ketika orang-orang dari kalangan bangsawan berpindah keyakinan ke Protestan pada dasawarsa 1550-an. Perkembangan ini pada akhirnya memicu serangkaian konflik yang disebut Perang Agama Prancis. Perang-perang saudara ini semakin berkobar ketika Raja Henri II tiba-tiba mangkat pada tahun 1559. Kekejaman dan kengerian menjadi hal yang lumrah pada masa itu, dan mencapai puncaknya ketika terjadi peristiwa Pembantaian Hari Santo Bartolomeus pada bulan Agustus 1572, tatkala kubu Katolik membantai 30.000 sampai 100.000 orang Huguenots di seluruh Prancis. Perang Agama Prancis baru usai sesudah Raja Henri IV mengeluarkan Maklumat Nantes, yang menjanjikan toleransi resmi terhadap golongan minoritas Protestan, tetapi disertai pembatasan-pembatasan yang sangat ketat. Kristen Katolik tetap menjadi agama resmi negara Prancis, dan nasib umat Protestan Prancis kian lama kian terpuruk selama satu abad berikutnya. Keterpurukan ini mencapai puncaknya ketika Raja Louis XIV mengeluarkan Maklumat Fontainebleau, yang membatalkan Maklumat Nantes dan sekali lagi menetapkan Kristen Katolik sebagai satu-satunya agama yang sah. Sebagai tanggapan terhadap Maklumat Fontainebleau, Pangeran-Elektor Brandenburg, Friedrich Wilhelm I, mengeluarkan Maklumat Potsdam, yang memberikan izin bebas masuk kepada para pengungsi Huguenot. Menjelang akhir abad ke-17, banyak orang Huguenot mengungsi ke Inggris, Belanda, Prusia, Swiss, maupun daerah-daerah koloni Inggris dan Belanda di seberang samudra. Dewasa ini masih ada komunitas Protestan Prancis yang cukup besar di daerah Cévennes.
Sebagaimana di Jerman, di Swiss pun muncul pergerakan reformasi di bawah kepemimpinan Huldrych Zwingli, seorang sarjana dan imam Katolik yang berhijrah ke Zürich pada tahun 1518. Meskipun pergerakan di Jerman dan pergerakan di Swiss sehaluan dalam banyak pokok bahasan teologi, ada beberapa perbedaan yang tak kunjung terjembatani, sehingga kedua pergerakan itu tetap terpisah. Kepahitan yang sudah lama menjadi sekat pemisah di antara praja-praja Jerman dan Konfederasi Swiss memunculkan perdebatan tentang seberapa banyak gagasan Zwingli yang ia petik dari ajaran-ajaran Luther. Pangeran-Elektor Hessen, Philipp I, melihat ada peluang untuk membentuk aliansi Zwingli-Luther, lantas mempertemukan kedua tokoh tersebut di purinya pada tahun 1529. Pertemuan yang sekarang disebut Kolokium Marburg ini justru terkenal karena gagal merukunkan Zwingli dan Luther. Keduanya tidak berhasil mencapai satu pun kata mufakat, lantaran berbeda pendapat mengenai satu doktrin utama.
Pada tahun 1534, Raja Henry VIII meniadakan semua yurisdiksi paus di Inggris karena Sri Paus tidak bersedia menganulir perkawinannya dengan Catalina de Aragón (lantaran pertimbangan politik yang melibatkan Kaisar Romawi Suci).[60] Keputusan sang raja membuka pintu bagi masuknya gagasan-gagasan pembaharuan gereja. Pendirian para reformator di Gereja Inggris, yang kadang-kadang condong kepada tradisi purba Katolik dan kadang-kadang pula condong kepada akidah-akidah Kalvinis, sedikit demi sedikit berkembang menjadi suatu mazhab yang dianggap sebagai jalan tengah (bahasa Latin: via media) di antara mazhab Katolik dan mazhab Potestan. Reformasi Inggris menempuh jalan tersendiri. Ciri khusus Reformasi Inggris bersumber dari kenyataan bahwa pemicunya adalah kepentingan politik Raja Henry VIII. Raja Henrylah yang memutuskan untuk mengeluarkan Gereja Inggris dari lingkup kewenangan Roma. Pada tahun 1534, terbit Undang-Undang Supremasi yang mendapuk sang raja sebagai satu-satunya Pemimpin Tertinggi Gereja Inggris di muka bumi. Antara tahun 1535 sampai 1540, di bawah kepemimpinan Thomas Cromwell, dilaksanakanlah kebijakan pemerintah yang disebut Penutupan Biara. Selepas pemulihan kedudukan agama Katolik yang berlangsung singkat pada masa pemerintahan Ratu Mary I, dimunculkanlah suatu konsensus longgar pada masa pemerintahan Ratu Elizabeth I. Penuntasan Masalah Agama Rezim Elizabeth sangat memengaruhi pembentukan Anglikanisme menjadi suatu mazhab tersendiri. Kompromi yang dibuat terasa janggal dan bersikap mendua di antara ajaran Kalvinis ekstrem di satu pihak dan ajaran Katolik di lain pihak, tetapi relatif sukses sampai dengan timbulnya Revolusi Puritan atau Perang Saudara Inggris pada abad ke-17.
Keberhasilan Kontra Reformasi (Reformasi Katolik) di Eropa Daratan dan pertumbuhan golongan Puritan yang berusaha memajukan langkah-langkah pembaharuan Protestan mewarnai masa pemerintahan Ratu Elizabeth I. Pergerakan Puritan perdana adalah pergerakan yang memperjuangkan pembaharuan di dalam Gereja Inggris. Para penganjurnya ingin agar Gereja Inggris lebih serupa dengan gereja-gereja Protestan di Eropa, teristimewa gereja Protestan di Jenewa. Pergerakan Puritan terkemudian, yang kerap disebut kaum pembantah dan kaum Nonkonformis, pada akhirnya memunculkan berbagai denominasi Kalvinis.
Reformasi Skotlandia tahun 1560 benar-benar mengubah bentuk Gereja Skotlandia.[61] Reformasi Protestan di Skotlandia mencapai puncaknya di bidang gerejawi dengan dibentuknya sebuah gereja yang selaras dengan akidah-akidah Kalvinis, maupun di bidang politik dengan menangnya pengaruh Inggris atas pengaruh Prancis. John Knox dipandang sebagai pemimpin Reformasi Skotlandia. Parlemen Reformasi Skotlandia tahun 1560 mengingkari kewenangan paus dengan mengesahkan Undang-Undang Yurisdiksi Paus tahun 1560, melarang perayaan Misa, dan menyetujui suatu rumusan Pengakuan Iman Protestan. Reformasi Skotlandia dimungkinkan oleh revolusi melawan hegemoni Prancis di bawah rezim pemangku Marie de Guise, yang memerintah Skotlandia atas nama putrinya.
Aktivis-aktivis utama Reformasi Protestan lainnya adalah Jacobus Arminius, Théodore de Bèze, Martin Bucer, Andreas Karlstadt, Heinrich Bullinger, Balthasar Hubmaier, Thomas Cranmer, Guillaume Farel, Thomas Müntzer, Laurentius Petri, Olaus Petri, Philipp Melanchthon, Menno Simons, Louis de Berquin, Primož Trubar, dan John Smyth.
Di tengah-tengah gelora pergerakan agamawi ini, timbul Perang Kaum Tani Jerman tahun 1524–1525 yang menyapu praja-praja kepangeranan Bayern, Thuringen, dan Schwaben. Seusai Perang Delapan Dasawarsa di Negeri-Negeri Hilir dan Perang Agama Prancis, perpecahan akibat perbedaan akidah di antara negara-negara bagian Kekaisaran Romawi Suci pada akhirnya menimbulkan Perang Tiga Dasawarsa antara tahun 1618 sampai 1648. Perang ini meluluhlantakkan hampir seluruh Jerman, menewaskan 25 sampai 40 persen populasinya.[62] Pokok-pokok penting Perjanjian Damai Westfalen, yang mengakhiri Perang Tiga Dasawarsa, adalah sebagai berikut:
Kebangunan Dahsyat |
---|
|
Kebangunan Dahsyat adalah masa-masa tergugahnya ketakwaan masyarakat yang berlangsung singkat dan dramatis dalam sejarah kehidupan beragama di Amerika Utara.
Kebangunan Dahsyat Pertama adalah pergerakan injili dan revitalisasi yang melanda negeri-negeri Protestan di Eropa dan tanah jajahan Inggris di benua Amerika, khususnya daerah-daerah koloni Inggris di Amerika pada dasawarsa 1730-an dan 1740-an. Pergerakan ini meninggalkan pengaruh yang permanen di dalam Protestanisme Amerika. Kebangunan Dahsyat Pertama timbul sebagai akibat dari khotbah berapi-api yang menggugah sanubari sidang pendengarnya sehingga menginsafi kebutuhan mereka akan keselamatan oleh Yesus Kristus. Dengan menjauh dari ritual, upacara, sakramentalisme, dan hierarki, pergerakan ini membuat Kekristenan terkesan sebagai urusan kemaslahatan pribadi bagi orang-orang biasa, dengan menumbuhkan rasa yakin rohaniah dan rasa terampuni yang mendalam, maupun dengan menganjurkan sikap bermawas diri dan bertekad bulat untuk menerapkan suatu tolok ukur akhlak yang baru kepada diri sendiri.[64]
Kebangunan Dahsyat Kedua bermula sekitar tahun 1790. Pergerakan ini mengalami perkembangan pesat pada tahun 1800. Selepas tahun 1820, terjadi peningkatan pesat dalam jumlah keanggotaan jemaat-jemaat Baptis dan Metodis, yakni mazhab-mazhab para pendeta yang memimpin pergerakan tersebut. Pada akhir dasawarsa 1840-an, Kebangunan Dahsyat Kedua sudah melewati puncaknya dan mulai mengendur. Pergerakan ini telah disifatkan sebagai suatu reaksi terhadap skeptisisme, deisme, dan rasionalisme, kendati tidak sepenuhnya dapat dipahami mengapa paham-paham tersebut kian terasa merajalela pada masa itu sampai-sampai memicu kebangunan rohani.[65] Kebangunan Dahsyat Kedua menambahkan jutaan anggota baru ke dalam denominasi-denominasi injili yang ada, bahkan melahirkan denominasi-denominasi baru.
Kebangunan Dahsyat Ketiga mengacu kepada jangka waktu hipotetis yang ditandai oleh aktivisme agamawi di dalam sejarah Amerika dan merentang dari akhir dasawarsa 1850-an sampai awal abad ke-20.[66] Kebangunan Dahsyat Ketiga memengaruhi denominasi-denominasi Protestan pietis dan mengandung unsur aktivisme sosial yang kuat.[67] Pergerakan ini menimba kekuatan dari keyakinan pascaseribu tahun bahwa Kedatangan Kali Kedua Kristus akan terjadi sesudah umat manusia memperbaharui seluruh bumi. Kebangunan Dahsyat Ketiga berafiliasi dengan pergerakan Injil Sosial, yang menerapkan Kekristenan kepada isu-isu sosial dan menimba kekuatan dari Kebangunan Dahsyat Ketiga, sama seperti pergerakan misi sedunia. Muncul kelompok-kelompok baru, misalnya golongan Kekudusan, golongan Orang Nasaret, dan golongan Ilmu pengetahuan Kristen.[68]
Kebangunan Dahsyat Keempat adalah kebangunan rohani Kristen yang menurut beberapa sarjana (yang paling terkenal adalah Robert Fogel) berlangsung di Amerika Serikat pada akhir dasawarsa 1960-an dan awal dasawarsa 1970-an, sementara menurut sarjana-sarjana lain terjadi pada kurun waktu seusai Perang Dunia II. peristilahannya kontroversial. Oleh karena itu gagasan tentang Kebangunan Dahsyat Keempat itu sendiri tidak berterima-umum.[69]
Pada tahun 1814, Le Réveil melanda daerah-daerah Kalvinis di Swiss dan Prancis.
Pada tahun 1904, terjadi kebangunan rohani Protestan di Wales yang besar dampaknya terhadap ketakwaan masyarakat setempat. Sebagai bagian dari modernisasi Inggris Raya, kebangunan rohani ini menarik banyak orang ke gereja, khususnya gereja-gereja Metodis dan Baptis.[70]
Perkembangan di dalam Protestanisme pada abad ke-20 yang layak diberi perhatian khusus adalah kemunculan pergerakan Pentakosta modern. Pergerakan yang berakar pada mazhab Metodis dan ajaran-ajaran John Wesley ini muncul dari pertemuan-pertemuan di sebuah gereja rintisan yang terletak di Jalan Azusa, Los Angeles. Dari tempat itulah pergerakan Pentakosta menyebar ke seluruh dunia, dibawa oleh orang-orang yang mengalami peristiwa yang mereka yakini sebagai gerakan mukjizat Allah di Jalan Azuza. Manifestasi-manifestasi serupa-Pentakosta ini sudah mencuat sepanjang sejarah, sebagaimana terlihat di dalam dua Kebangunan Dahsyat. Pentakostalisme, yang kemudian hari melahirkan pergerakan Karismatik di dalam denominasi-denominasi yang sudah ada, terus menjadi kekuatan penting di dalam Kekristenan Barat.
Di Amerika Serikat dan berbagai tempat lain di dunia, terjadi pertumbuhan yang jelas terlihat di dalam jumlah keanggotaan jemaat denominasi-denominasi Protestan yang berhaluan injili, khususnya denominasi-denominasi yang yang lebih ekslusif injili, dan bersamaan dengan itu terjadi pula penurunan jumlah keanggotaan jemaat gereja-gereja liberal arus utama. Pada masa Pascaperang Dunia I, Kekristenan Liberal sedang mengalami pertumbuhan, dan cukup banyak pula seminari yang menganut dan mengajar dari sudut pandang liberal. Pada masa Pascaperang Dunia II, kecenderungan tersebut mulai berbalik arah ke kubu konservatif di seminari-seminari dan gereja-gereja Amerika.
Di Eropa, sudah terjadi pergeseran umum dari ketaatan beragama dan kepercayaan kepada ajaran-ajaran Kristen ke arah sekularisme. Pencerahan adalah sebab utama dari meluasnya sekularisme tersebut. Sejumlah sarjana memperdebatkan keterkaitan Protestanisme dengan kebangkitan sekularisme, dan menjadikan kebebasan yang luas di negara-negara mayoritas Protestan sebagai argumen mereka.[71] Meskipun demikian, Prancis, yang merupakan contoh tunggal, menunjukkan bahwa di negara-negara mayoritas Katolik, dampak Pencerahan yang tak terbendung telah mendatangkan sekularisme dan kebebasan berpikir yang justru lebih kuat lagi lima abad kemudian. Lebih berdasar untuk beranggapan bahwa Reformasi Protestan memengaruhi para pemikir kristis dari abad-abad sesudahnya, dengan menyediakan ranah intelektual, agamawi, dan filsafati, tempat para filsuf masa depan dapat mengemukakan kritik mereka terhadap gereja, maupun asumsi-asumsi teologis, filsafati, sosial pada zaman mereka. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa filsuf-filsuf Pencerahan terdahulu justru membela konsepsi Kristen mengenai dunia, tetapi dibarengi kritik yang tajam dan tuntas terhadap Gereja, politiknya, etikanya, wawasan dunianya, maupun asumsi-asumsi ilmiah dan kulturalnya, yang bermuara kepada devaluasi segala bentuk Kekristenan berlembaga, yang berlanjut hingga berabad-abad.[72]
Tidak seperti pergerakan-pergerakan arus utama Lutheran, Kalvinis, dan Zwinglian, Reformasi Radikal, yang tidak didukung negara, pada umumnya meninggalkan gagasan "Gereja kasatmata" sebagai sesuatu yang berbeda dari "Gereja tak kasatmata". Pendirian semacam ini muncul sebagai perpanjangan rasional dari penentangan Protestan yang disetujui negara, yang mendorong nilai kemerdekaan dari kewenangan mapan selangkah lebih maju lagi, dengan berpandangan bahwa kemerdekaan yang sama juga harus terwujud di ranah sipil. Reformasi Radikal bukanlah pergerakan arus utama, meskipun mayoritas warga beberapa daerah di Jerman, Swiss, dan Austria bersimpati dengan Reformasi Radikal walau dibayang-bayangi ancaman aniaya dari pihak Katolik maupun pihak Protestan Magisterial.[73]
Kaum Anabaptis perdana meyakini bahwa reformasi bukan hanya harus memurnikan teologi, melainkan juga harus memurnikan kehidupan sehari-hari orang Kristen, terutama hubungan politik dan sosial mereka.[74] Oleh karena itu, gereja seharusnya tidak didukung negara, baik dengan persepuluhan dan pajak, maupun dengan pedang; Kekristenan adalah urusan keyakinan pribadi, yang tidak boleh dipaksakan kepada siapa pun juga, tetapi membutuhkan keputusan pribadi untuk menerimanya.[74] Para pemimpin gereja Protestan seperti Balthasar Hubmaier dan Melchior Hoffman mengkhotbahkan ketidakabsahan pembaptisan kanak-kanak, dan sebagai gantinya menganjurkan pembaptisan orang yang sudah bertobat (pembaptisan orang-percaya). Doktrin semacam ini bukanlah suatu hal yang baru bagi para reformator, karena sudah diajarkan oleh kelompok-kelompok terdahulu, misalnya oles golongan Albigenses pada tahun 1147. Meskipun sebagian besar reformator Radikal adalah Anabaptis, beberapa di antaranya tidak sejalan dengan mazhab Anabaptis arus utama. Thomas Müntzer terlibat dalam Perang Kaum Tani Jerman. Andreas Karlstadt berbeda pandangan teologis dengan Huldrych Zwingli dan Martin Luther, dengan mengajarkan sikap antikekerasan dan menolak membaptis kanak-kanak, sekalipun tidak membaptis ulang orang-percaya yang sudah dewasa.[75] Kaspar Schwenkfeld dan Sebastian Franck dipengaruhi mistisisme Jerman dan spiritualisme.
Di mata banyak pihak yang erat hubungannya dengan Reformasi Radikal, Reformasi Magisterial tidak melangkah cukup jauh. Sebagai contoh, reformator Radikal Andreas von Bodenstein Karlstadt, menjuluki para teolog Lutheran di Wittenberg sebagai "kaum papis baru".[76] Lantaran istilah "magister" juga berarti "pengajar", pengutamaan wibawa pengajar pun menjadi ciri khas Reformasi Magisterial, terbukti dengan ketokohan Luther, Kalvin, dan Zwingli sebagai pemimpin gerakan pembaharuan di wilayah kiprah pelayanan mereka masing-masing. Lantaran kewibawaannya, mereka kerap dikritik para reformator Radikal sebagai orang-orang yang terlampau menyerupai para Paus Roma. Sisi yang lebih politis dari Reformasi Radikal tampak pada pemikiran dan amalan Hans Hut, meskipun golongan Anabaptis lazimnya dihubung-hubungkan dengan paham pasifisme.
Golongan Anabaptis dalam beragam bentuknya, seperti Amische, Menonit, dan Hutterit, terlahir dari Reformasi Radikal. Kemudian hari muncul pula Serikat Persaudaraan Schwarzenau dan Gereja Masehi Rasuli di dalam rumpun Anabaptis.
Umat Protestan menyebut pengelompokan jemaat atau gereja yang seakidah dan senama sebagai denominasi.[77] Istilah denominasi (badan nasional) harus dibedakan dari cabang (rumpun denominasi, mazhab), persekutuan (badan internasional), dan jemaat (gereja). Berikut ini adalah salah satu contoh pengelompokan, untuk menunjukan perbedaan istilah-istilah tersebut (cara pengelompokan seperti ini tidak dapat diterapkan secara umum, karena struktur gereja-gereja Protestan adakalanya sangat berlainan satu sama lain):
Umat Protestan menolak doktrin Gereja Katolik yang menyatakan bahwa Gereja Katoliklah satu-satunya Gereja sejati. Untuk menyanggah doktrin tersebut, beberapa pihak mengajarkan keyakinan tentang gereja tak kasatmata, yang terdiri atas semua orang yang beriman kepada Yesus Kristus.[78] Sudah menjadi tradisi bagi gereja Lutheran untuk memandang dirinya sendiri sebagai "batang pohon Kristen yang bersejarah" yang didirikan oleh Kristus dan para rasul, dengan berkeyakinan bahwa Gereja Roma sudah jatuh ke dalam dosa pada zaman Reformasi Protestan.[10][11] Ada pula denominasi-denominasi juga terbentuk lantaran perbedaan-perbedaan teologis yang sangat tipis. Denominasi-denominasi lain hanyalah ungkapan-ungkapan kedaerahan atau etnis belaka dari akidah-akidah yang sama. Karena kelima solae adalah akidah-akidah pokok Protestan, kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi nondenominasional pun dianggap tergolong Protestan.
Berbagai pergerakan oikumene sudah berusaha menjalin kerjasama atau mereorganisasi berbagai macam denominasi Protestan yang terpecah belah menurut berbagai macam model persatuan, tetapi perpecahan masih saja lebih kerap terjadi daripada terwujudnya persatuan, lantaran tidak ada kewenangan induk yang dipatuhi gereja Protestan manapun yang berwenang menetapkan akidah. Sebagian besar denominasi Protestan menganut akidah-akidah pokok yang sama, tetapi berbeda pendapat dalam doktrin-doktrin sekunder, meskipun mana yang pokok dan mana yang sekunder lagi-lagi berpulang kepada keyakinan masing-masing.
Beberapa negara memiliki gereja nasional resmi, yang mempertautkan struktur gerejawi dengan negara. Yurisdiksi-yurisdiksi tempat sebuah denominasi Protestan dijadikan agama negara antara lain adalah beberapa negara Nordik. Denmark (termasuk Tanah Hijau),[79] Kepulauan Faroe (gerejanya mandiri sejak tahun 2007),[80] Islandia[81] dan Norwegia[82][83][84] memiliki gereja Lutheran Injili resmi negara. Tuvalu memiliki satu-satunya gereja resmi negara yang bermazhab Kalvinis di dunia, sementara Tonga memiliki satu-satunya gereja resmi negara yang bermazhab Metodis di dunia.[85]
Gereja Inggris adalah lembaga keagamaan resmi negara di Inggris,[86][87][88] sekaligus gereja induk Persekutuan Anglikan sedunia.
Pada tahun 1869, Finlandia menjadi negara Nordik pertama yang mencopot status agama negara dari gereja Lutheran Injili di negara itu, lewat pengesahan Undang-Undang Gereja.[m] Sekalipun masih ada suatu jalinan hubungan khusus dengan negara, Gereja Lutheran Injili Finlandia tidak disifatkan sebagai agama negara di dalam undang-undang dasar Finlandia maupun undang-undang lain yang diloloskan Parlemen Finlandia.[89] Pada tahun 2000, Swedia menjadi negara Nordik kedua yang mengambil langkah serupa.[90]
Gereja-gereja persatuan dan penyatuan adalah gereja-gereja yang terbentuk dari penggabungan (atau lewat cara penyatuan lainnya) dua atau lebih denominasi Protestan yang berlainan.
Menurut sejarahnya, persatuan gereja-gereja Protestan diupayakan oleh negara, biasanya dengan maksud untuk memperketat kendali negara atas ranah kehidupan beragama rakyatnya, tetapi juga karena alasan-alasan kelembagaan lainnya. Seiring dengan kemajuan oikumenisme, persatuan di antara beragam mazhab Protestan kian umum terjadi, sehingga lahirlah gereja-gereja persatuan dan penyatuan yang terus bertambah jumlahnya. Contoh-contoh termutakhir antara lain adalah Gereja India Utara (tahun 1970), Gereja Persatuan Protestan Prancis (tahun 2013), dan Gereja Protestan di Belanda (tahun 2004). Seiring susutnya Protestanisme arus utama di Eropa dan Amerika Utara lantaran kebangkitan sekularisme atau di kawasan-kawasan tempat Kekristenan menjadi agama minoritas semisal di Anak Benua India, denominasi-denominasi Kalvinis, Anglikan, dan Lutheran bergabung, dan kerap melahirkan denominasi-denominasi besar yang melingkupi seantero wilayah sebuah negara. Fenomena ini lebih jarang didapati di lingkungan gereja-gereja injili, nondenominasional, dan karismatik, karena gereja-gereja baru terus bermunculan dan sebagian besar di antaranya tetap independen satu sama lain.
Gereja persatuan resmi yang paling tua mungkin berada di Jerman, negara tempat Gereja Injili di Jerman menjadi suatu perserikatan gereja-gereja Lutheran, Persatuan (Persatuan gereja-gereja Prusia) dan Kalvinis yang sudah terbentuk sejak tahun 1817. Peristiwa yang mengawali serangkaian ikhtiar persatuan gereja-gereja di Jerman adalah sinode yang diselenggarakan di Idstein untuk membentuk Gereja Protestan di Hessen dan Nassau pada bulan Agustus 1817, yakni peristiwa yang seratus tahun kemudian diabadikan kenangannya lewat penamaan bangunan gereja kota Idstein menjadi Unionskirche (Gereja Persatuan).[91]
Masing-masing gereja persatuan atau gereja penyatuan di berbagai belahan dunia merupakan campuran-campuran beragam dari denominasi-denominasi Protestan yang membentuknya. Meskipun demikian, pola kecenderungannya terbaca jelas, karena sebagian besar gereja persatuan atau gereja penyatuan terlahir dari penggabungan gereja-gereja yang satu atau lebih di antaranya bermazhab Kalvinis, dan banyak yang menjadi anggota Aliansi Gereja-Gereja Gereformir Sedunia.
Umat Protestan dapat dipilah-pilah dengan menilik bagaimana mereka dipengaruhi oleh pergerakan-pergerakan penting semenjak Reformasi, yang dewasa ini dianggap sebagai cabang-cabang Protestanisme. Beberapa di antara pergerakan-pergerakan tersebut memiliki silsilah yang sama, dan adakalanya langsung melahirkan denominasi-denominasi tertentu. Lantaran denominasi Protestan sangat banyak jumlahnya, bagian ini hanya membahas rumpun-rumpun denominasi atau cabang-cabang utama yang lazimnya dianggap sebagai bagian dari Protestanisme. Jika diurutkan secara alfabetis, cabang-cabang utama tersebut adalah Advent, Anglikan, Baptis, Husite, Kalvinis (Gereformir), Lutheran, Metodis, Pentakosta, Serikat Handai-Tolan, dan Serikat Persaudaraan Plymouth. Anabaptis juga ikut dibahas karena merupakan cabang yang penting secara kesejarahan, sekalipun bukan sebuah rumpun denominasi yang besar.
Bagan di bawah ini menampilkan hubungan timbal-balik dan asal-usul kesejarahan rumpun-rumpun utama denominasi Protestan, atau bagian-bagiannya. Lantaran faktor-faktor seperti Kontra Reformasi (Reformasi Katolik) dan asas hukum cuius regio, eius religio, banyak orang yang menjalani hidup sebagai Nicodemit, yakni terang-terangan mengaku memeluk suatu agama. tetapi diam-diam bersimpati kepada pergerakan yang sedikit atau banyak bertentangan dengan agama yang dipeluknya. Sebagai akibatnya, batas-batas antardenominasi tidak betul-betul jelas seperti yang dikesankan oleh bagan ini. Manakala suatu populasi ditindas atau dianiaya supaya menjadi warga gereja yang dominan, dari generasi ke generasi populasi tersebut terus memengaruhi gereja yang diikutinya secara lahiriah.
Karena kehadiran mazhab Kalvinis di Kekaisaran Romawi Suci tidak diakui secara khusus sampai dengan terbitnya Perjanjian Damai Westfalen tahun 1648, banyak umat Kalvinis yang menjani hidup sebagai kaum Kriptokalvinis (Kalvinis Terselubung). Sebagai akibat dari usaha-usaha pemberantasan Protestanisme yang dipicu Kontra Reformasi di negeri-negeri Katolik pada abad ke-16 sampai abad ke-19, banyak umat Protestan yang menjalani hidup sebagai kaum Kriptoprotestan. Sebaliknya di negeri-negeri Protestan, umat Katolik kadang-kadang menjalani hidup sebagai kaum Kriptopapis, kendati orang-orang di Eropa Daratan lebih leluasa beremigrasi sehingga keadaan tersebut tidak umum terjadi.
Mazhab Advent terbentuk pada abad ke-19, saat terjadinya Kebangunan Dahsyat Kedua di Amerika Serikat. Nama "Advent" mengacu kepada keyakinan bahwa kedatangan kali kedua (atau "Adven Kedua") Yesus Kristus sudah berada di ambang pintu. William Miller mencetuskan pergerakan Advent pada dasawarsa 1830-an. Para pengikutnya kelak dikenal dengan sebutan "kaum Millerit".
Meskipun menganut banyak akidah yang sama, gereja-gereja Advent berbeda paham teologis mengenai apakah arwah-arwah di alam penantian itu tertidur atau terjaga, apakah orang-orang fasik pada akhirnya diganjari kebinasaan kekal atau siksa kekal, apakah hakikat kehidupan kekal, apakah orang-orang fasik akan dibangkitkan atau tidak dibangkitkan selepas masa seribu tahun, dan apakah tempat kudus yang disebut-sebut di dalam bab ke-8 dari Kitab Daniel itu[92] adalah tempat kudus di dalam surga atau tempat kudus di muka bumi.[93] Pergerakan ini mendorong orang untuk menelaah seluruh isi Alkitab, sehingga menuntun kelompok Advent Hari-Ketujuh dan beberapa kelompok Advent lain yang lebih kecil kepada amalan memelihara hari Sabat. Konferensi Umum Advent Hari Ketujuh telah menghimpun akidah-akidah pokok gereja Advent Hari Ketujuh di dalam 28 Keyakinan Dasar (pada tahun 1980 dan 2005), dan menyitir ayat-ayat Alkitab sebagai pembenarannya.
Pada tahun 2010, mazhab Advent mengaku beranggotakan 22 juta pengikut yang tersebar di berbagai gereja independen.[94] Gereja terbesar di dalam pergerakan Advent, yakni Gereja Advent Hari Ketujuh, beranggotakan lebih dari 18 juta pengikut.
Mazhab Anabaptis muncul dari Reformasi Radikal. Kaum Anabaptis mengamalkan penangguhan baptisan sampai calon baptis mengakukan keimanannya. Meskipun sementara pihak beranggapan bahwa pergerakan Anabaptis adalah salah satu cabang Protestanisme, pihak-pihak lain menganggapnya berdiri sendiri di luar Protestanisme.[95][96] Kaum Amische, Hutterit, dan Menonit adalah turunan-turunan langsung pergerakan Anabaptis. Serikat Persaudaraan Schwarzenau, Bruderhof, dan Gereja Masehi Rasuli dianggap sebagai kelompok-kelompok Anabaptis yang baru muncul kemudian hari.
Sebutan Anabaptis, yang berarti "baptis ulang", adalah julukan yang diberikan kepada golongan ini oleh pihak-pihak yang menganiaya mereka, lantaran mereka membaptis ulang anggota baru yang sudah pernah dibaptis saat masih kanak-kanak.[97] Kaum Anabaptis memprasyaratkan keberdayaan calon baptis untuk mengakukan sendiri keimanannya, dan oleh karena itu menolak pembaptisan kanak-kanak. Anggota-anggota perdana pergerakan ini menolak disebut Anabaptis. Mereka menegaskan bahwa lantaran pembaptisan kanak-kanak tidak Alkitabiah dan oleh karena itu batal demi hukum, pembaptisan orang-percaya bukanlah baptis ulang melainkan sesungguhnya adalah baptis nyata pertama yang mereka terima. Sebagai akibat dari pandangan-pandangan mereka tentang hakikat pembaptisan dan berbagai hal lain, kaum Anabaptis dianiaya habis-habisan pada abad ke-16 sampai memasuki abad ke-17, baik oleh umat Protestan Magisterial maupun oleh umat Katolik. Pada umumnya kaum Anabaptist menganut tafsir harfiah atas Khotbah di atas Bukit, yang memustahilkan pengambilan sumpah, keikutsertaan di dalam aksi-aksi militer, dan keikutsertaan di dalam pemerintahan sipil, tetapi ada pula pihak-pihak pengamal baptis ulang yang berbeda sikap.[n] Oleh karena itu, secara teknis mereka tergolong kaum Anabaptists, meskipun golongan Amische, Menonit, dan Hutterit yang konservatif maupun beberapa sejarawan cenderung menganggap mereka berada di luar mazhab Anabaptis yang sejati. Para reformator Anabaptis di dalam pergerakan Reformasi Radikal terbagi menjadi golongan Radikal dan golongan yang disebut Garis Depan Kedua. Teolog-teolog penting Reformasi Radikal antara lain adalah Jan van Leiden, Thomas Müntzer, Kaspar Schwenkfeld, Sebastian Franck, dan Menno Simons. Reformator-reformator Radikal antara lain adalah Hans Denck, Conrad Grebel, Balthasar Hubmaier, dan Felix Manz. Banyak jemaat Anabaptis sampai sekarang masih menggunakan Ausbund, buku puji-pujian tertua yang masih terus dipakai orang.
Mazhab Anglikan mencakup Gereja Inggris dan gereja-gereja yang bertautan sejarah dengannya atau yang memelihara akidah, amalan peribadatan, dan struktur gereja yang sama dengannya.[98] Kata Anglikan dipetik dari frasa ecclesia anglicana, frasa Latin Abad Pertengahan yang setidaknya sudah muncul pada tahun 1246, dan yang berarti Gereja Inggris. Tidak ada "Gereja Anglikan" yang tunggal dengan wewenang yuridis universal, karena tiap-tiap gereja nasional atau gereja regional merupakan gereja berotonomi penuh. Sesuai dengan namanya, persekutuan Anglikan adalah perserikatan gereja-gereja yang menjalin persekutuan paripurna dengan Uskup Agung Canterbury. Mayoritas umat Anglikan adalah warga gereja-gereja yang tergabung dalam Persekutuan Anglikan internasional,[99] yang beranggotakan 85 juta pengikut.[100]
Gereja Inggris menyatakan kemerdekaannya dari Gereja Katolik pada masa-masa penuntasan masalah agama rezim Elisabeth.[101] Banyak bagian dari tata kebaktian baru Anglikan pada pertengahan abad ke-16 yang sangat mirip dengan tata kebaktian Kalvinis semasa. Pembaharuan-pembaharuan tersebut dipahami oleh salah seorang tokoh yang paling bertanggung jawab menghadirkannya, yakni Thomas Cranmer, Uskup Agung Canterbury ketika itu, sebagai upaya mencari jalan tengah di antara dua mazhab Protestan yang tengah naik daun pada masa itu, yakni Lutheran dan Kalvinis.[102] Pada akhir abad ke-16, pelanggengan berbagai unsur liturgi tradisional dan jawatan uskup di dalam mazhab Anglikan sudah dianggap tidak bisa dibenarkan lagi oleh pihak-pihak penganjur akidah-akidah Protestan termutakhir.
Salah satu keistimewaan yang hanya dimiliki mazhab Anglikan adalah Buku Doa Umum, yaitu kumpulan tata kebaktian yang dipakai jemaat di sebagian besar gereja Anglikan selama berabad-abad. Meskipun sudah berulang kali direvisi, dan gereja-gereja Anglikan di berbagai negara sudah menerbitkan buku-buku sembahyang yang lain, Buku Doa Umum masih diakui sebagai salah satu simpul pengukuh Persekutuan Anglikan.
Umat Baptis berpegang kepada doktrin bahwa hanya orang-percaya yang mengakukan keimanannyalah yang boleh dibaptis (pembaptisan orang-percaya, bertolak belakang dengan pembaptisan kanak-kanak), dan harus pembaptisan dilaksanakan dengan cara menyelamkan sekujur tubuh calon baptis ke dalam air (bertolak belakang dengan cara menuangkan atau merecikkan air ke atas kepala calon baptis). Akidah-akidah lain yang dianut gereja-gereja mencakup kompetensi jiwa (kebebasan jiwa), keselamatan melalui iman semata-mata, Alkitab sajalah yang merupakan kaidah iman dan amalan, serta keswatantraan jemaat lokal. Umat Baptis mengakui dua jabatan pelayanan jemaat, yaitu jabatan gembala jemaat dan jabatan diaken. Pada umumnya gereja-gereja Baptis dianggap sebagai gereja-gereja Protestan, kendati sebagian umat Baptis menepis anggapan tersebut.[103]
Sedari awal kemunculannya, golongan-golongan umat Kristen yang dewasa ini menyebut dirinya "kaum Baptis" sangat berbeda satu sama lain, baik dalam akidah, cara beribadat, sikap terhadap umat Kristen dari golongan lain, maupun dalam pemahaman tentang unsur yang penting di dalam pembinaan orang Kristen menjadi murid Kristus.[104]
Menurut para sejarawan, gereja tertua yang disebut Baptis muncul pada tahun 1609 di Amsterdam, di bawah pimpinan tokoh separatis Inggris John Smyth selaku gembala jemaatnya.[105] Berdasarkan tafsirnya atas Perjanjian Baru, John Smyth menolak pembaptisan kanak-kanak dan hanya memperbolehkan pembaptisan orang-percaya yang sudah dewasa.[106] Amalan mazhab Baptis menyebar ke Inggris. Di negara itu, umat Baptis terpecah menjadi dua golongan, yakni golongan Baptis Umum dan golongan Baptis Khusus. Golongan Baptis Umum berpandangan bahwa karya penebusan-dosa Kristus dianugerahkan bagi semua orang, sementara golongan Baptis Khusus meyakini bahwa karya penebusan Kristus hanya dianugerahkan kepada orang-orang terpilih. Pada tahun 1638, Roger Williams mendirikan jemaat Baptis yang pertama di daerah-daerah koloni Amerika Utara. Pada pertengahan abad ke-18, Kebangunan Dahsyat yang pertama memperlaju pertumbuhan mazhab Baptis di daerah New England dan di daerah Selatan.[107] Kebangunan Dahsyat yang kedua di daerah Selatan pada awal abad ke-19 meningkatkan keanggotaan gereja-gereja Baptis, tetapi menurunkan dukungan para pendeta Baptis terhadap usaha menghapus sistem perbudakan dan amalan memerdekakan budak belian, yang sudah menjadi bagian dari ajaran mazhab Baptis pada abad ke-18. Para misionaris Baptis sudah menyebarluaskan gereja mereka ke segala benua.[106]
Menurut laporan Aliansi Baptis Sedunia, jumlah umat Baptis berjumlah lebih dari 41 juta jiwa yang tersebar di lebih dari 150.000 jemaat.[108] Pada tahun 2002, ada lebih dari 100 juta umat Baptis maupun kelompok bercorak Baptis di seluruh dunia, dan ada lebih dari 33 juta umat Baptis di Amerika Utara.[106] Perhimpunan Baptis terbesar adalah Southern Baptist Convention, dengan jumlah keseluruhan umat di atas 14 juta jiwa yang tersebar di gereja-gereja anggotanya.[109]
Kalvinisme atau tradisi Gereformir (bahasa Belanda: Gereformeerd) dibangun oleh beberapa orang teolog seperti Martin Bucer, Heinrich Bullinger, Petrus Martir Vermigli, dan Huldrych Zwingli, tetapi menyandang nama besar reformator Prancis, Yohanes Kalvin, baik karena pengaruhnya yang besar terhadap mazhab ini maupun karena peranannya dalam perdebatan-perdebatan keimanan dan kegerejaan pada abad ke-16.
Dewasa ini, istilah "Kalvinisme" juga digunakan sebagai sebutan bagi doktrin-doktrin dan amalan-amalan beragama gereja-gereja Gereformir, yakni gereja-gereja di dalam rumpun Protestan yang dipelopori Yohanes Kalvin. Meskipun jarang, istilah ini juga digunakan sebagai sebutan bagi tiap-tiap pokok ajaran Yohanes Kalvin. Kekhususan teologi Kalvinis dapat dijelaskan dengan beberapa cara. Mungkin ikhtisarnya yang paling terkenal adalah Lima Pokok Pikiran Kalvinisme, kendati kelima pokok pikiran tersebut sesungguhnya mencerminkan pandangan-pandangan soteriologi Kalvinis alih-alih merangkum keseluruhan sistem teologi Kalvinis. Secara garis besar boleh dikata Kalvinisme menitikberatkan keberdaulatan atau kemahakuasaan Allah atas segala sesuatu, baik di dalam urusan keselamatan maupun di dalam segala aspek kehidupan. Konsep ini tampak jelas di dalam doktrin predestinasi dan doktrin kebejatan mutlak.
Perhimpunan Kalvinis terbesar adalah Persekutuan Gereja Gereformir Sedunia, dengan keanggotaan melebihi 80 juta jiwa yang tersebar di 211 denominasi anggotanya di seluruh dunia.[111][112] Ada pula federasi-federasi Kalvinis yang lebih konservatif, misalnya Serikat Persaudaraan Gereformir Sedunia dan Konferensi Internasional Gereja-Gereja Gereformir, maupun gereja-gereja Kalvinis independen.
Mazhab Husite menganut ajaran-ajaran Jan Hus, reformator Ceko yang tersohor sebagai tokoh terkemuka Reformasi Bohemia dan salah seorang tokoh perintis Reformasi Protestan. Salah satu buku nyanyian puji-pujiannya yang terdahulu adalah puji-pujian Jistebnice yang ditulis tangan. Pergerakan yang sarat dengan muatan keagamaan ini digelorakan isu-isu sosial dan diperkuat kesadaran nasional Ceko. Dewasa ini, para pengikut mazhab Husite terwadahi di dalam Gereja Moravian, Persatuan Saudara Seiman dan Gereja Husite Cekoslowakia.[113]
Mazhab Lutheran erat kaitannya dengan teologi Martin Luther, rahib sekaligus imam, tokoh pembaharu gerejawi, dan teolog berkebangsaan Jerman.
Mazhab Lutheran mengajarkan doktrin pembenaran "oleh kasih karunia semata-mata melalui iman semata-mata berdasarkan Kitab Suci semata-mata", serta doktrin bahwa Kitab Suci adalah kewibawaan tertinggi dalam segala perkara iman, dengan menolak maklumat para waligereja Katolik di dalam Konsili Trento bahwa kewibawaan tersebut berasal dari Kitab Suci maupun Tradisi Suci.[114] Selain itu, golongan Lutheran mengamini ajaran-ajaran keempat Konsili Oikumene yang terdahulu.[115][116]
Tidak seperti golongan Kalvinis, golongan Lutheran masih mempertahankan banyak amalan liturgis dan ajaran sakramen dari Gereja Prareformasi dengan pengutamaan terhadap Ekaristi, atau Perjamuan Kudus. Teologi Lutheran berbeda dari teologi Kalvinis dalam kajian Kristologi, tujuan Hukum Allah, Rahmat Allah, konsep ketekunan orang-orang kudus, dan predestinasi.
Dewasa ini, mazhab Lutheran merupakan salah satu cabang terbesar Protestanisme. Dengan jumlah pengikut sekitar 80 juta jiwa,[117] mazhab Lutheran menjadi cabang Kristen Protestan ketiga yang paling umum dijumpai keberadaannya, sesudah denominasi-denominasi Pentakosta bersejarah dan gereja Anglikan.[13] Federasi Lutheran Sedunia, persekutuan terbesar gereja-gereja Lutheran di tingkat global, mewakili kira-kira 72 juta pengikut.[118] Angka 80 maupun 702 juta jiwa tidak betul-betul menunjukkan jumlah umat Lutheran di seluruh dunia karena banyak anggota jemaat gereja-gereja anggota Federasi Lutheran Sedunia tidak menganggap diri mereka sebagai pengikut mazhab Lutheran atau menghadiri kebaktian jemaat-jemaat yang mengaku-ngaku bermazhab Lutheran.[119] Selain itu, masih ada lagi organisasi-organisasi internasional lain, misalnya Forum Lutheran Konfesional dan Misional, Dewan Lutheran Internasional, dan Konferensi Lutheran Injili Konfesional, maupun denominasi-denominasi Lutheran yang tidak menganggotai salah satu dari organisasi-organisasi internasional tersebut.
Mazhab Metodis lebih mengutamakan teologi John Wesley, seorang imam dan penginjil Anglikan. Pergerakan injili ini bermula sebagai suatu gerakan kebangunan rohani di dalam tubuh Gereja Inggris pada abad ke-18, tetapi kemudian dan menjadi sebuah gereja tersendiri sesudah John Wesley wafat. Karena sangat giat berdakwah, pergerakan ini menyebar ke seluruh wilayah imperium Inggris, Amerika Serikat, dan negara-negara lain. Saat ini mazhab Metodis mengaku beranggotakan sekitar 80 juta pengikut di seluruh dunia.[120] Mulanya mazhab ini secara khusus menarik minat kaum buruh dan budak belian.
Di bidang soteriologi, sebagian besar umat Metodis menganut ajaran Arminius, yang menegaskan bahwa Kristus menuntaskan karya penyelamatan bagi seluruh umat manusia, dan bahwasanya umat manusia harus melakukan suatu tindakan yang lahir dari kemauannya sendiri untuk menyambut karya penyelamatan Kristus (bertolak belakang dengan doktrin monergisme Kalvinis tradisional). Di bidang liturgi, umat Metodis dari generasi ke generasi beralirangereja rendah, kendati pengamalannya berbeda-beda dari jemaat ke jemaat. Wesley bersaudara sendiri sangat menghargai liturgi dan tradisi gereja Anglikan. Mazhab Metodis terkenal dengan tradisi musiknya yang kaya. Adik kandung John Wesley yang bernama Charles adalah tokoh yang berjasa menggubah banyak nyanyian puji-pujian yang dipakai gereja Metodis,[121] dan banyak di antara penggubah lagu puji-pujian yang terkenal berasal dari mazhab Metodis.
Gerakan Kekudusan mengacu kepada seperangkat amalan yang berkiblat kepada doktrin Penyempurnaan Orang Kristen yang muncul di dalam mazhab Metodis pada abad ke-19, bersamaan dengan munculnya sejumlah denominasi injili dan organisasi semigereja (misalnya rapat-rapat perkemahan).[122] Jumlah pengikut denominasi-denominasi yang sehaluan dengan gerakan kekudusan-Wesleyan diperkirakan mencapai 12 juta jiwa.[123] Contoh-contoh yang paling menonjol dari denominasi-denominasi semacam itu adalah Gereja Metodis Bebas, Bala Keselamatan, dan Gereja Metodis Wesleyan. Para pengikut Gerakan Kekudusan selebihnya tetap bertahan di dalam mazhab Metodis arus utama, yaitu Gereja Persatuan Metodis.[122]
Mazhab Pentakosta adalah suatu pergerakan yang lebih mengutamakan penghayatan pribadi akan Allah melalui baptisan Roh Kudus. Istilah Pentakosta diambil dari nama Yunani untuk hari besar agama Yahudi yang disebut Hari Raya Tujuh Minggu. Bagi umat Kristen, hari besar tersebut diperingati sebagai hari turunnya Roh Kudus ke atas murid-murid Yesus Kristus, sebagaimana diriwayatkan di dalam bab ke-2 Kisah Para Rasul.
Ciri khas yang membedakan mazhab ini dari mazhab-mazhab Protestanisme lainnya adalah kepercayaan kepada baptisan Roh Kudus sebagai suatu pengalaman yang terpisah dari pertobatan, yang memungkinkan seorang Kristen untuk menjalani kehidupan yang diberdayakan dan dipenuhi Roh Kudus. Pemberdayaan tersebut mencakup pemanfaatan karunia-karunia Roh Kudus semisal kemampuan berbahasa lidah dan mukjizat penyembuhan, yakni dua ciri khas lain yang lekat dengan mazhab Pentakosta. Lantaran menjunjung tinggi wibawa Alkitab, karunia-karunia Roh, dan mukjizat, umat Pentakosta cenderung berpandangan bahwa pergerakan mereka mencerminkan kuasa rohani dan ajaran-ajaran yang sama dengan yang ada di dalam Gereja Perdana pada zaman para Rasul. Itulah sebabnya sebagian umat Pentakosta mengembel-embeli pergerakan mereka dengan istilah Rasuli atau Injil Sepenuh.
Mazhab Pentakosta kemudian hari melahirkan ratusan denominasi baru, termasuk denominasi-denominasi besar semisal Sidang Jemaat Allah. Kurang-lebih ada 279 juta jiwa umat Pentakosta di seluruh dunia, dan mazhab ini sedang tumbuh di berbagai belahan dunia, teristimewa di Belahan Bumi Selatan. Sejak dasawarsa 1960-an, kehadiran mazhab Pentakosta kian disambut baik oleh mazhab-mazhab Kristen lainnya, dan akidah-akidah mazhab Pentakosta terkait baptisan Roh Kudus dan karunia-karunia Roh Kudus sudah diterima berbagai golongan umat Kristen non-Pentakosta, baik Protestan maupun Katolik, lewat Gerakan Karismatik. Jika disatukan, jumlah pengikut mazhab Pentakosta dan umat Kristen Karismatik melebihi angka 500 juta jiwa.[124]
Serikat Persaudaraan Plymouth adalah sebuah denominasi injili konservatif yang berhaluan gereja-rendah. Sejarah denominasi ini bermula di kota Dublin, Irlandia, pada akhir dasawarsa 1820-an, terlahir di lingkungan Kristen Anglikan.[125][126] Di antara berbagai akidah yang dianut golongan ini, sola scriptura yang paling diutamakan. Bagi para anggota Serikat Persaudaraan Plymouth, golongan mereka bukanlah sebuah denominasi melainkan suatu jejaring-kerja, malah sekumpulan jejaring-kerja gereja-gereja-independen-sepaham yang saling bertumpang-tindih. Meskipun selama bertahun-tahun menolak menyandang nama denominasional apa pun, bahkan sebagian dari mereka masih berpegang teguh kepada pendirian semacam ini, Serikat Persaudaraan telah menjadi sebutan yang dapat diterima baik oleh banyak pihak di dalam golongan ini dengan alasan saudara-saudara adalah istilah yang digunakan di dalam Alkitab sebagai sebutan bagi segenap umat beriman.
Handai-tolan atau kaum Quaker adalah bagian dari rumpun pergerakan agamawi yang disebut Serikat Agamawi Handai-Tolan. Doktrin yang diutamakan dan yang mempersatukan rumpun pergerakan ini adalah imamat am orang percaya.[127][128] Banyak handai-tolan memandang diri mereka sebagai anggota suatu denominasi Kristen. Mereka merangkul orang-orang berpaham injili, kekudusan, liberal, maupun yang berpaham Handai-Tolan Konservatif tradisional. Tidak seperti banyak golongan lain di dalam Kekristenan, Serikat Agamawi Handai-Tolan secara aktif berusaha menghindari syahadat-syahadat dan struktur-struktur hierarkis.[129]
Masih banyak lagi denominasi Protestan lain yang tidak sepenuhnya cocok digolongkan ke dalam salah satu di antara mazhab-mazhab di atas, dan yang jauh lebih sedikit jumlah anggotanya. Beberapa golongan umat Kristen yang menganut akidah-akidah pokok Protestan hanya menyebut dirinya sebagai "orang Kristen" atau "orang Kristen lahir-baru". Golongan-golongan semacam ini biasanya berusaha menjauhi konfesionalisme atau syahadatisme komunitas-komunitas Kristen lainnya[130] dengan menyifatkan dirinya sebagai golongan "nondenominasional" atau "injili". Lantaran acap kali didirikan oleh pendeta-pendeta perorangan, golongan-golongan ini hanya memiliki keterkaitan dengan denominasi-denominasi bersejarah.[131]
Sekalipun terlahir dari Reformasi Protestan,[132] Unitarianisme dikecualikan dari Protestanisme lantaran corak teologinya yang Nontrinitarianis.[133] Unitarianisme sudah lama populer di daerah Transilvania di Rumania sekarang, di Inggris, dan di Amerika Serikat. Paham ini muncul nyaris bersamaan di Transilvania dan di Persemakmuran Polandia-Lituania.
Kristen Rohani adalah kelompok-kelompok pergerakan di Rusia (Doukhobors dan lain-lain) yang dijuluki golongan Protestan-Rakyat. Asal-usul mereka pun beragam. Ada yang muncul karena pengaruh umat Protestan Barat, dan ada pula terbentuk karena rasa kemuakan terhadap perilaku imam-imam Gereja Ortodoks yang resmi.[134][135]
Yahudi Mesianis adalah sebuah pergerakan umat Yahudi dan bukan Yahudi yang muncul pada dasawarsa 1960-an di lingkungan Protestan Injili, dan menyerap unsur-unsur tradisi mesianis di dalam agama Yahudi.[136]
Ada pula pergerakan-pergerakan Kristen yang melintasi batas-batas denominasi bahkan mazhab, dan tidak dapat diklasifikasikan pada tataran yang sama dengan bentuk-bentuk penggolongan yang sudah disebutkan di atas. Salah satu contoh yang menonjol adalah Pergerakan Injili. Beberapa di antara pergerakan-pergerakan ini secara khusus bergiat di dalam ruang lingkup Protestanisme, sementara beberapa lagi bergiat di dalam ruang lingkup Kekristenan yang lebih luas. Pergerakan-pergerakan lintas-denominasi kadang-kadang bahkan mampu memengaruhi beberapa bagian dari Gereja Katolik, sebagaimana yang dilakukan Pergerakan Karismatik, yang bertujuan mendarahdagingkan akidah-akidah dan amalan-amalan yang mirip dengan yang dimiliki mazhab Pentakosta ke dalam berbagai cabang Kekristenan. Gereja-gereja Karismatik-Baru kadang-kadang dipandang sebagai salah satu subkelompok dari Pergerakan Karismatik. Kedua-duanya dilabeli sebutan umum "Kristen Karismatik" (lumrah disebut golongan Pembaharuan), selain sebutan "Kristen Pentakosta". Gereja-gereja Nondenominasional dan berbagai macam gereja rumah acap kali mengadopsi, atau berkerabat dengan salah satu dari pergerakan-pergerakan tersebut.
Gereja-gereja raksasa biasanya dipengaruhi pergerakan-pergerakan lintas-denominasi. Di tingkat dunia, jemaat-jemaat raksasa ini merupakan suatu perkembangan penting di dalam ruang lingkup Kristen Protestan. Di Amerika Serikat, fenomena ini sudah meningkat empat kali lipat dalam dua dasawarsa terakhir.[137] Sejak saat itu pula fenomena ini merembet ke seluruh dunia.
Bagan di bawah ini memperlihatkan keterkaitan timbal-balik dan asal-usul kesejarahan dari pergerakan-pergerakan lintas-denominasi yang utama maupun perkembangan-perkembangan lain di dalam ruang lingkup Protestanisme.
Pergerakan Injili, atau Protestanisme Injili,[o] adalah pergerakan lintas-denominasi di tingkat dunia yang mempertahankan inti sari injil yang terkandung di dalam doktrin keselamatan oleh kasih karunia melalui iman akan karya penebusan-dosa Yesus Kristus.[138][139]
Umat Kristen Injili adalah umat Kristen yang yakin akan pentingnya pertobatan atau pengalaman "lahir baru" untuk beroleh keselamatan, mengimani kewibawaan Alkitab sebagai wahyu Allah kepada umat manusia, dan memiliki komitmen yang kuat untuk mewartakan injil atau menyampaikan petuah-petuah Kristen.
Pergerakan ini mendapatkan momentum besar pada abad ke-18 dan ke-19 berkat kemunculan aliran Metodis dan Kebangunan Dahsyat di Inggris dan Amerika Utara. Asal muasal Pergerakan Injili lazimnya dinisbatkan kepada pergerakan Metodis di Inggris, Nicolaus Zinzendorf, Gereja Moravian, pietisme Lutheran, aliran Presbiterian dan aliran Puritan.[94] Toko-tokoh utama pergerakan Injili Protestan antara lain adalah John Wesley, George Whitefield, Jonathan Edwards, Billy Graham, Harold John Ockenga, John Stott, dan Martyn Lloyd-Jones.
Diperkirakan ada 285.480.000 jiwa umat Kristen Injili di seluruh dunia, yang merupakan 13% dari jumlah total populasi Kristen dan 4% dari total populasi dunia. Mayoritas umat Injili berdiam di Benua Amerika, Afrika, dan Asia. Amerika Serikat adalah negara dengan konsentrasi umat Injili terbesar.[140] Mazhab Injili kian lama kian populer di dalam maupun di luar negara-negara penutur bahasa Inggris, khususnya di Amerika Latin dan negara-negara berkembang.
Pergerakan Karismatik adalah tren internasional di kalangan jemaat-jemaat Kristen arus utama untuk mengadopsi akidah-akidah dan amalan-amalan yang serupa dengan yang diimani dan diamalkan umat Kristen Pentakosta. Unsur hakiki pergerakan ini adalah pemanfaatan karunia-karunia Roh Kudus. Di kalangan umat Protestan, pergerakan ini bermula sekitar tahun 1960.
Di Amerika Serikat, rohaniwan gereja Episkopal Dennis Bennett adakalanya disebut-sebut sebagai salah seorang tokoh perintis pergerakan Karismatik.[141] Di Inggris Raya, yang disebut-sebut sebagai tokoh perintis pergerakan Karismatik adalah Colin Urquhart, Michael Harper, David Watson dan beberapa tokoh lain. Konferensi Massey tahun 1964 di Selandia Baru dihadiri oleh beberapa rohaniwan Anglikan, antara lain Pendeta Ray Muller, rohaniwan yang mengundang Dennis Bennett ke Selandia Baru pada tahun 1966, dan menjadi tokoh utama dalam pengembangan dan penyebarluasan seminar-seminar Hidup dalam Roh. Salah seorang tokoh utama lainnya dalam pergerakan Karismatik di Selandia Baru adalah Bill Subritzky.
Larry Christenson, teolog Lutheran yang bermarkas di San Pedro, California, banyak berusaha pada dasawarsa 1960-an dan 1970-an untuk menafsirkan pergerakan Karismatik bagi umat Lutheran. Konferensi tahunan besar-besaran terkait usaha tersebut digelar di Minneapolis. Jemaat-jemaat Lutheran Karismatik di Minnesota menjadi jemaat-jemaat yang besar dan berpengaruh, teristimewa jemaat "Hosanna!" di Lakeville, dan jemaat North Heights di St. Paul. Generasi Lutheran Karismatik berikutnya mengelompok di di bawah naungan Aliansi Gereja-Gereja Pembaharuan. Ada pula aktivitas Karismatik yang lumayan besar di kalangan pemimpin muda Lutheran di California, berkiblat ke pertemuan tahunan yang digelar di Robinwood Church, Huntington Beach. Buku Touched by the Spirit karangan Richard A. Jensen yang terbit pada tahun 1974 cukup besar andilnya bagi pemahaman Lutheran mengenai pergerakan Karismatik.
Di lingkungan gereja-gereja Kongregasional dan Presbiterian yang menganut teologi tradisional Kalvinis atau Gereformir, ada beragam pandangan mengenai keberlanjutan atau keterhentian karunia-karunia (charismata) Roh Kudus pada masa kini.[142][143] Meskipun demikian, golongan karismatik Kalvinis pada umumnya menjaga jarak dari gerakan-gerakan pembaharuan dengan tendensi-tendensi yang dapat dilihat sebagai emosional berlebihan, misalnya Word of Faith, Toronto Blessing, Kebangunan Rohani Brownsville, dan Kebangunan Rohani Lakeland. Denominasi-denominasi karismatik Kalvinis yang menonjol adalah Sovereign Grace Churches dan Every Nation Churches & Ministries di Amerika Serikat, sementara di Inggris Raya ada gereja-gereja dan pergerakan Newfrontiers yang dipelopori oleh Terry Virgo.[144]
Segolongan kecil umat Advent Hari Ketujuh dewasa ini beraliran karismatik. Golongan kecil ini sangat erat dikaitkan dengan pihak-pihak yang berpegang kepada akidah-akidah Advent yang lebih "progresif". Pada beberapa dasawarsa pertama sejarah mazhab Advent, fenomena karismatis atau estatis merupakan hal yang lumrah.[145][146]
Gereja-gereja Neokarismatik adalah segolongan gereja di dalam pergerakan Pembaharuan Kristen. Golongan Neokarismatik tidak hanya mencakup jemaat-jemaat Gelombang Ketiga, tetapi lebih luas lagi daripada itu. Lantaran pesatnya pertumbuhan jemaat-jemaat Pascadenominasi dan jemaat-jemaat Karismatik independen, golongan Neokarismatik dewasa ini lebih besar dari segi jumlah apabila dibandingkan dengan gabungan golongan Pentakosta (Gelombang Pertama) dan golongan Karismatik (Gelombang Kedua).[147]
Golongan Neokarismatik mengimani dan menitikberatkan keberadaan karunia-karunia Roh Kudus pasca-Alkitabiah, antara lain karunia kemampuan berbahasa roh, karunia kemampuan menyembuhkan sakit-penyakit, dan karunia kemampuan bernubuat. Golongan Neokarismatik mengamalkan penumpangan tangan dan mendambakan "kepenuhan" Roh Kudus. Meskipun demikian, pengalaman khusus baptisan Roh Kudus dapat saja tidak dijadikan prasyarat bagi seseorang untuk mengalami karunia-karunia semacam itu. Tidak ada format tunggal, struktur tata kelola, maupun gaya kebaktian yang dapat dianggap sebagai ciri khas yang melekat pada semua gereja maupun kebaktian Neokarismatik.
Kurang lebih sembilan belas ribu denominasi, dengan jumlah umat sekitar 295 juta jiwa, teridentifikasi sebagai bagian dari golongan Neokarismatik.[148]
Arminianisme dibangun di atas gagasan-gagasan teologis yang dicetuskan teolog Gereformir Belanda Yakobus Arminius (1560–1609) beserta para pendukungnya yang dikenal dengan sebutan kaum Remonstran. Ajaran-ajaran Arminius bertumpu pada kelima solae Reformasi Protestan, tetapi dapat dibedakan dari ajaran-ajaran Martin Luther, Huldrych Zwingli, Yohanes Kalvin, dan para reformator Protestan lainnya. Arminius berguru kepada Théodore de Bèze di Universitas Teologi Jenewa. Di mata sebagian pihak, Arminianisme adalah suatu diversifikasi dari ajaran soteriologi Kalvinis,[149] tetapi bagi pihak-pihak lain, Arminianisme merupakan suatu usaha untuk menghidupkan kembali konsensus-konsensus teologis Gereja purba.[150] Arminisnisme di Negeri Belanda mula-mula tertuang di dalam piagam Remonstrasi (gugatan) tahun 1610, yaitu surat pernyataan teologis yang ditandatangani oleh 45 orang pendeta dan diajukan ke hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Negeri Belanda. Banyak denominasi Kristen sudah dipengaruhi pandangan-pandangan Arminian tentang kehendak manusia yang dimerdekakan oleh kasih karunia sebelum lahir-baru, terutama golongan Baptis pada abad ke-16,[151] golongan Metodis pada abad ke-18, dan golongan Advent Hari Ketujuh pada abad ke-19.
Keyakinan-keyakinan yang mula-mula dicetuskan oleh Yakobus Arminius lazimnya didefinisikan sebagai Arminianisme, tetapi istilah Arminianisme secara luas dapat pula mencakup ajaran-ajaran Hugo Grotius, John Wesley, maupun tokoh-tokoh lain. Arminianisme Klasik dan Arminianisme Wesley merupakan dua aliran pemikiran utama. Arminianisme Wesley sering kali identik dengan ajaran Metodis. Mazhab Kalvinis dan mazhab Arminian memiliki banyak kesamaan dari segi sejarah, doktrin, dan sejarah teologi Kristen. Meskipun demikian, lantaran tidak sependapat mengenai doktrin predestinasi dan pemilihan, banyak orang menganggap kedua mazhab tersebut sebagai dua kubu yang saling berlawanan. Secara ringkas, titik tengkarnya adalah mengenai apakah Allah akan membiarkan kehendak-Nya untuk menyelamatkan semua orang ditolak oleh kehendak perseorangan (menurut mazhab Arminian) ataukah kasih karunia Allah tidak dapat ditolak dan terbatas bagi sebagian orang saja (menurut mazhab Kalvinis). Sebagian pihak Kalvinis berpendapat bahwa perspektif Arminian menghadirkan suatu sistem keselamatan yang bersifat sinergi, dan dengan demikian mengajarkan bahwa keselamatan tidak semata-mata diperoleh berkat kasih karunia Allah. Pendapat semacam itu dibantah keras oleh pihak Arminian. Banyak pihak menganggap perbedaan-perbedaan teologis tersebut sebagai perkara penting di bidang doktrin, tetapi pihak-pihak lain menganggapnya sebagai perkara remeh-temeh belaka.[152]
Pietisme adalah pergerakan yang berpengaruh di dalam tubuh mazhab Lutheran. Pergerakan ini memadukan asas-asas mazhab Lutheran abad ke-17 dengan penitikberatan mazhab Gereformir terhadap ketakwaan perseorangan dan peri kehidupan Kristen yang bersungguh-sungguh.[153]
Gerakan ini bermula menjelang akhir abad ke-17, mencapai puncaknya pada pertengahan abad ke-18, merosot pada abad ke-19, dan nyaris sirna di Amerika pada akhir abad ke-20. Meskipun mengalami kemerosotan selaku salah satu golongan Lutheran, beberapa asas teologisnya telah memengaruhi Protestanisme pada umumnya, sehingga mengilhami imam Anglikan yang bernama John Wesley untuk mencetuskan gerakan Metodis dan Alexander Mack untuk mencetuskan gerakan Serikat Persaudaraan di bawah bayang-bayang pengaruh kaum Anabaptis.[154]
Meskipun Pietisme juga mementingkan perilaku perorangan seperti gerakan Puritan, dan meskipun kadang-kadang orang merancukan kedua gerakan ini, tetap ada beberapa perbedaan penting yang membedakan Pietisme dari Puritanisme, terutama perbedaan konsep peranan agama di dalam pemerintahan.[155]
Kaum Puritan adalah segolongan umat Protestan di Inggris pada abad ke-16 dan ke-17 yang berusaha memurnikan gereja Inggris dari unsur-unsur yang mereka anggap sebagai amalan-amalan Katolik, dengan bersikukuh bahwa gereja Inggris belum sepenuhnya diperbaharui. Puritanism dalam arti yang demikian dicetuskan oleh beberapa orang rohaniwan Inggris yang pulang dari pembuangan sesudah Ratu Elizabeth I naik takhta pada tahun 1558, sebagai suatu gerakan aktivis di dalam tubuh gereja Inggris.
Kaum Puritan tidak diberi kesempatan untuk menciptakan perubahan di dalam tubuh gereja Inggris, malah ruang gerak mereka di Inggris dipersempit melalui undang-undang yang mengendalikan kehidupan beragama masyarakat. Meskipun demikian, keyakinan-keyakinan mereka terbawa bersama jemaat-jemaat Puritan yang berhijrah ke Negeri Belanda (dan kemudian hari juga ke New England), serta rohaniwan injili yang berhijrah ke Irlandia (dan kemudian hari juga ke Wales), dan tersebar ke tengah masyarakat awam maupun beberapa bagian dari sistem pendidikan, khususnya sekolah-sekolah tinggi tertentu di lingkungan Universitas Cambridge. Khotbah Protestan pertama kali dilantangkan di Inggris dari mimbar Gereja Santo Edwardus di Cambridge. Mimbar bersejarah itu masih lestari sampai sekarang.[156][157] Kaum Puritan memiliki pandangan sendiri mengenai pakaian rohaniwan dan menentang tatanan keuskupan, sehingga ditolak para uskup Inggris, terutama sesudah terbitnya keputusan di akhir Sinode Dordrecht pada tahun 1619. Sebagian besar kaum Puritan mengadopsi paham Sabatarianisme pada abad ke-17, dan dipengaruhi paham milenialisme.
Mereka membentuk, dan diidentikkan dengan, berbagai kelompok keagamaan yang menganjurkan peningkatan kemurnian peribadatan dan doktrin, maupun ketakwaan perorangan dan kelompok. Kaum Puritan mengadopsi teologi Kalvinis, tetapi memperhatikan pula kritik-kritik radikal yang dilontarkan Zwingli di Zurich dan Kalvin di Jenewa. Di bidang tatanan gerejawi, sebagian pihak menghendaki pemisahan dari semua umat Kristen lain, demi mwwujudkan gereja-gereja terhimpun yang bersifat otonom. Golongan berkecenderungan separatis dan independen di dalam tubuh kaum Puritan ini tampil mengemuka pada dasawarsa 1640-an. Meskipun dipicu oleh perebutan kuasa politik antara Raja Inggris dan Majelis Rakyat Jelata, Perang Saudara Inggris (yang merembet ke perang-perang Tiga Negara) memecah-belah Inggris menurut agama, manakala golongan Episkopal di dalam tubuh Gereja Inggris berpihak kepada Raja, sementara golongan Presbiterian dan golongan Independen mendukung Parlemen (sesudah Royalis kalah, Majelis Bangsawan maupun pemerintahan raja disingkirkan dari struktur politik negara Inggris dalam rangka menciptakan pemerintah Persemakmuran). Golongan pendukung tatanan Presbiteran di dalam Sidang Westminster tidak berhasil mengasaskan suatu gereja nasional Inggris, dan Angkatan Perang Gagrak Baru bentukan Parlemen, yang rata-rata berasal dari golongan Independen, di bawah pimpinan Oliver Cromwell pertama-tama menyapu bersih Parlemen, kemudian meniadakan Parlemen dan membentuk pemerintahan Protektorat.
Dalam perang ini, koloni-koloni Inggris di seberang Samudra Atlantik mengikuti berbagai jalur tergantung demografi internal masing-masing. Di koloni-koloni yang lebih tua, yang mencakup Virginia (tahun 1607) dan pecahannya, Bermuda (tahun 1612), maupub Barbados dan Antigua di Hindia Barat (secara kolektif dijadikan target Undang-Undang untuk Melarang Perdagangan dengan Barbados, Virginia, Bermuda, dan Antego pada tahun 1650), golongan Episkopal tetap menjadi faksi gereja yang dominan, dan koloni-koloni tersebut tetap berpihak kepada kubu Royalis sampai ditaklukkan atau dipaksa untuk menerima tatanan politik yang baru. Di Bermuda, di dengan kendali pemerintah dan angkatan bersenjata setempat (sembilan kompi infantri Milisi ditambah artileri pantai), kaum Royalis memaksa golongan pengusung kebebasan beragama yang didudukung Parlemen untuk meninggalkan tempat tinggalnya dan menjadi petualang-petualang Eleuthera yang mendiami Kepulauan Bahama.[158][159][160]
Jemaat episkopal dibentuk kembali sesudah kedaulatan raja-raja ditegakkan kembali. Seabad kemudian, umat Protestan Nonkonformis dan para pengungsi Protestan dari Eropa daratan menjadi pihak-pihak utama yang memicu perang pemisahan diri yang melahirkan negara Amerika Serikat.
Selaku penolakan non-fundamentalis terhadap Kekristenan liberal seturut eksistensialisme Kristen cetusan Søren Kierkegaard, yang mencerca gereja-gereja negara Hegelian pada zamannya sebagai "ortodoksi mati", neo-ortodoksi lebih sering dinisbatkan kepada Karl Barth, Jürgen Moltmann, dan Dietrich Bonhoeffer. Neo-ortodoksi berusaha melawan kecenderungan teologi liberal untuk menciptakan akomodasi-akomodasi teologis bagi perspektif-perspektif ilmiah modern. Neo-ortodoksi kadang-kadang disebut "teologi krisis", dengan makna kata krisis menurut pemahaman eksistensialis, dan kadang-kadang pula disebut neo-injili, dengan memaknai kata "injili" sebagai umat Protestan Eropa Daratan alih-alih sebagai aliran injili Amerika. "Injili" mulanya adalah sebutan yang yang suka dipakai golongan Lutheran dan golongan Kalvinis untuk melabeli diri mereka, tetapi kemudian hari tergeser oleh sebutan-sebutan dari sebagian pihak Katolik yang lazimnya melabeli suatu bidat dengan nama pencetusnya.
Paleo-ortodoksi adalah pergerakan yang mirip dalam beberapa hal dengan neo-injili, tetapi menitikberatkan konsensus Kristen purba dari Geraja tak terbagi yang wujud pada sahasrawarsa pertama tarikh Masehi, teristimewa syahadat-syahadat dan keputusan konsili-konsili Gereja, sebagai sarana yang tepat untuk memahami Kitab Suci. Pergerakan ini bersifat lintas-denominasi. Salah seorang teolog terkemuka di dalam kelompok ini adalah Thomas Oden, dari mazhab Methodist.
Sebagai reaksi terhadap iktirad Alkitab liberal, fundamentalisme muncul pada abad ke-20, khususnya di Amerika Serikat, di antara denominasi-denominasi yang paling terdampak gerakan Injili. Teologi fundametalis cenderung menitikberatkan ketanpasalahan Alkitab dan literalisme Alkitab.
Menjelang akhir abad ke-20, sebagian pihak sudah cenderung mencampuradukkan gerakan injili dengan fundamentalisme. Meskipun demikian, label-label tersebut mewakili perbedaan-perbedaan pendekatan yang sangat kentara yang dengan tekun dilanggengkan oleh masing-masing golongan tersebut, kendati lantaran ukurannya yang jauh lebih kecil, fundamentalisme kerap hanya digolongkan sebagai cabang ultra-konservatif dari gerakan injili.
Alih-alih merupakan aliran-aliran teologi yang kaku dan sudah terbakukan, Modernisme dan liberalisme lebih merupakan kecenderungan sebagian penulis dan pengajar untuk mengintegrasikan fikrah Kristen ke dalam semangat Abad Pencerahan. Pemahaman-pemahaman baru akan sejarah dan ilmu-ilmu pengetahuan alam pada masa itu secara langsung menggiring kepada pendekatan-pendekatan teologi yang baru. Penentangannya terhadap ajaran fundamentalis menyulut debat-debat keagamaan, misalnya kontroversi Fundamentalis–Modernis di dalam tubuh Gereja Presbiterian di Amerika Serikat pada dasawarsa 1920-an.
Meskipun merupakan pergerakan agamawi, Reformasi Protestan juga besar dampaknya terhadap segala aspek kehidupan, termasuk perkawinan dan rumah tangga, pendidikan, humaniora dan ilmu pengetahuan, politik dan tatanan sosial, ekonomi, maupun kesenian.[9] Gereja-gereja Protestan menolak gagasan imamat yang selibat sehingga mengizinkan rohaniwannya untuk menikah.[22] Banyak keluarga rohaniwan yang turut berjasa membentuk kalangan elit intelektual di negara-negara mereka.[164] Kira-kira sejak tahun 1950, kaum wanita mulai menceburi bidang pelayanan jemaat di kebanyakan gereja Protestan, bahkan beberapa di antaranya dipercaya memegang jabatan kepemimpinan (misalnya jabatan uskup).
Karena para reformator menghendaki agar semua warga gereja dapat membaca Alkitab, pendidikan di segala tingkatan sangat dianjurkan. Pada pertengahan abad ke-18, tingkat melek aksara kira-kira mencapai 60 persen di Inggris, 65 persen di Skotlandia, dan 80 persen di Swedia.[165] Sekolah-sekolah tinggi dan universitas-universitas pun didirikan. Sebagai contoh, kaum Puritan yang membuka daerah Koloni Teluk Massachusetts pada tahun 1628, delapan tahun kemudian sudah mendirikan Sekolah Tinggi Harvard. Kira-kira selusin sekolah tinggi lain menyusul pada abad ke-18, termasuk Yale (tahun 1701). Pennsylvania pun menjadi sebuah pusat kegiatan pembelajaran.[166][167]
Warga jemaat denominasi-denominasi Protestan arus utama telah memainkan peran kepemimpinan dalam banyak bidang kehidupan di Amerika Serikat, antara lain bidang politik, dunia usaha, ilmu pengetahuan, kesenian, dan pendidikan. Merekalah yang mendirikan sebagian besar lembaga pendidikan tinggi yang terkemuka di negara itu.[168]
Konsep Protestan tentang Allah dan manusia memungkinkan orang-percaya untuk memanfaatkan segala kemampuan yang dianugerahkan Allah kepadanya, antara lain kemampuan bernalar. Itu artinya orang-percaya dimungkinkan untuk meneroka alam ciptaan Allah, dan seturut nas Kejadian 2:15, memanfaatkannya secara bertanggung jawab dan berkelanjutan. Dengan demikian terciptalah suatu iklim budaya yang sangat mendukung perkembangan humaniora dan ilmu pengetahuan.[169] Konsekuensi lain dari pemahaman Protestan tentang manusia adalah bahwasanya orang-percaya, sebagai ungkapan syukur atas keterpilihan mereka dan penebusan diri mereka di dalam Kristus, sepatutnya menaati perintah-perintah Allah. Rajin, irit, tekun, disiplin, dan rasa tanggung jawab yang besar menjadi jantung kaidah moral mereka.[170][171] Yohanes Kalvin pada khususnya menolak kemewahan. Oleh karena itu para pengrajin, pengusaha, dan pelaku-pelaku usaha lainnya mampu menginvestasikan kembali sebagian besar dari laba usaha mereka dengan membeli mesin-mesin yang paling tepat-guna dan menerapkan metode-metode produksi termodern yang bersendikan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai hasilnya, produktivitas meningkat dan laba bertambah, sehingga majikan pun mampu menggaji karyawannya lebih tinggi. Lewat cara ini, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan teknologi saling memacu. Peluang untuk berperan serta di dalam kesuksesan ekonomis penemuan-penemuan teknologi menjadi semacam pengobar semangat bagi para penemu maupun para investor.[172][173][174][175] Etos kerja Protestan merupakan kekuatan penting di balik aksi massa tak-terencana dan tak-terkoordinasi yang memengaruhi perkembangan kapitalisme dan Revolusi Industri. Gagasan ini disebut pula "tesis etika Protestan".[176]
Meskipun demikian, sejarawan terkenal Fernand Braudel (wafat tahun 1985), salah seorang pemimpin Aliran Annales, mengemukakan lewat tulisannya bahwa "semua sejarawan sudah menyanggah teori yang rapuh ini (tesis Etika Protestan), kendati tidak mampu meniadakannya sekali untuk selama-lamanya. Akan tetapi teori ini jelas abal-abal. Negara-negara utara hanya mengambil alih tempat yang sebelumnya sudah sangat lama dan dengan sangat cemerlangnya diduduki pusat-pusat kapitalis lama di kawasan Laut Tengah. Mereka tidak menciptakan apa-apa, baik di bidang teknologi maupun di bidang manajemen bisnis."[177] Pakar ilmu sosial Rodney Stark lebih jauh lagi mengemukakan bahwa "pada periode kritis perkembangan ekonomi, pusat-pusat kapitalisme di utara tersebut beragama Katolik, bukan Protestan—Reformasi masih jauh di awang-awang,"[178] sementara sejarawan Inggris Hugh Trevor-Roper (wafat tahun 2003) mengatakan, "gagasan bahwa kapitalisme industri berskala besar konon katanya mustahil terwujud sebelum Reformasi justru dibuyarkan oleh fakta sederhana bahwa kapitalisme semacam itu memang sudah ada sebelum Reformasi."[179]
Dalam sebuah analisis faktor dari gelombang terakhir data World Values Survey, Arno Tausch (Universitas Corvinus Budapest) mendapati bahwa Protestanismelah yang paling mendekati perpaduan agama dan tradisi-tradisi liberalisme. Indeks Perkembangan Nilai Global, yang dihitung Arno Tausch, bertumpu pada dimensi-dimensi World Values Survey semisal kepercayaan terhadap hukum negara, ketiadaan dukungan bagi ekonomi hitam, aktivisme pascamaterial, dukungan bagi demokrasi, ketidakterimaan terhadao kekerasan, xenofobia, serta rasisme, kepercayaan terhadap permodalan lintas negara dan universitas-universitas, kepercayaan terhadap keandalan ekonomi pasar, dukungan bagi keadilan gender, dan keterlibatan dalam aktivisme lingkungan hidup, dst.[180]
Umat Episkopal dan Presbiterian, maupun golongan WASP lainnya, cenderung cukup sejahtera[181] dan lebih terdidik (rata-rata berijazah sarjana dan pascasarjana) dibanding kelompok-kelompok agamawi lainnya di Amerika Serikat,[182] dan secara tidak proporsional terwakili di jenjang teratas dunia usaha,[183] hukum, dan politik Amerika Serikat, teristimewa Partai Republik.[184] Beberapa keluarga kaya raya di Amerika Serikat seperti keluarga Vanderbilt, keluarga Astor, keluarga Rockefeller, keluarga Du Pont, keluarga Roosevelt, keluarga Forbes, keluarga Ford, keluarga Whitney, keluarga Mellon, keluarga Morgan dan keluarga Harriman adalah keluarga-keluarga Protestan arus utama.[181][185]
Protestanisme juga penting pengaruhnya terhadap ilmu pengetahuan. Menurut Tesis Merton, ada korelasi positif antara kebangkitan Puritanisme Inggris serta Pietisme Jerman di satu pihak dan eksperimen ilmiah di lain pihak.[186] Tesis Merton terdiri atas dua bagian terpisah. Bagian pertama mencuatkan teori bahwa ilmu pengetahuan berubah lantaran adanya akumulasi pengamatan dan meningkatnya teknik dan metodologi eksperimen. Bagian kedua mengedepankan argumen bahwa popularitas ilmu pengetahuan dan demografi agamawi Perhimpunan Kerajaan di London bagi Peningkatan Pengetahuan Alam di Inggris pada abad ke-17 (sebagian besar ilmuwan Inggris pada masa itu berasal dari kaum Puritan atau golongan-golongan Protestan lainnya) dapat dijelaskan oleh suatu korelasi antara Protestanisme dengan nilai-nilai ilmiah.[187] Merton berfokus pada Puritanisme Inggris dan Pietisme Jerman sebagai faktor-faktor yang sudah bertanggung jawab atau perkembangan revolusi keilmuan pada abad ke-17 dan abad ke-18. Ia menjelaskan bahwa keterkaitan afiliasi keagamaan dengan minat akan ilmu pengetahuan adalah hasil sinergi yang sifnifikan antara nilai-nilai zuhud Protestan dan nilai-nilai ilmu pengetahuan.[188] Nilai-nilai Protestan memajukan penelitian ilmiah dengan cara mengizinkan ilmu pengetahuan untuk mengidentifikasi pengaruh Allah terhadap dunia ciptaan-Nya, dan dengan demikian memberikan pembenaran agamawi terhadap penelitian ilmiah.[186]
Menurut buku Scientific Elite: Nobel Laureates in the United States karangan Harriet Zuckerman, berisi tinjauan terhadap Hadiah Nobel yang diterima warga Amerika Serikat antara tahun 1901 sampai 1972, 72% dari warga Amerika Serikat yang menerima Hadiah Nobel diketahui berasal dari latar belakang Protestan.[189] Secara keseluruhan, 84% dari seluruh Hadiah Nobel yang diberikan kepada warga Amerika Serikat di bidang kimia,[189] 60% di bidang kedokteran,[189] dan 59% di bidang fisika[189] antara tahun 1901 dan 1972 diterima oleh orang-orang Protestan.
Menurut buku 100 Years of Nobel Prize (terbit tahun 2005), yang menelaah hadiah-hadian Nobel yang dianugerahkan dari tahun 1901 sampai 2000, 65% penerima Hadiah Nobel mengaku beragama Kristen dari berbagai aliran (423 Hadiah Nobel).[190] Sebanyak 32% dari mengaku beragama Kristen Protestan dari bermacam-macam denominasi (208 hadiah penghargaan),[190] sekalipun jumlah umat Protestan hanya berkisar antara 12% sampai 13% dari populasi dunia.
Pada Abad Pertengahan, Gereja berkaitan erat dengan pemerintah-pemerintah duniawi. Martin Luther memisahkan ranah agamawi dari ranah duniawi pada prinsipnya (doktrin dua kerajaan).[191] Umat beriman wajib menggunakan nalar untuk memerintah ranah duniawi secara tertib dan damai. Doktrin Imamat am orang percaya dari Luther benar-benar meningkatkan peran umat awam di dalam kehidupan bergereja. Para anggota jemaat berhak memilih pendeta, dan bila perlu menggelar pemungutan suara untuk memberhentikannya (Risalah Ihwal Hak dan Kewenangan Kumpulan Orang atau Jemaat Kristen untuk Menilai Semua Doktrin, dan untuk Memanggil, Menempatkan, dan Memberhentikan Para Pengajar, Sebagaimana Kesaksian Kitab Suci; terbit tahun 1523).[192] Kalvin memperkuat pendekatan yang pada hakikatnya demokratis ini dengan mengikutsertakan umat awam (penatua, presbiter) di dalam tata penyelenggaraan gereja representatif yang digagasnya.[193] Kaum Huguenot menambahkan sinode-sinode tingkat regional dan sinode tingkat nasional, yang anggota-anggotanya dipilih oleh sidang jemaat, ke dalam sistem swatantra gereja ciptaan Kalvin. Sistem ini diterapkan gereja-gereja Kalvinis selebihnya[194] dan diadopsi beberapa jemaat Lutheran, mulai dari jemaat Lutheran di Jülich-Cleves-Berg pada abad ke-17.
Secara politik, Kalvin lebih menyukai suatu campuran dari aristokrasi dan demokrasi. Ia menghargai manfaat-manfaat demokrasi. Menurut Kalvin, demokrasi "adalah suatu kurnia tak ternilai, jikalau Allah mengizinkan suatu bangsa untuk secara bebas memilih pemerintah dan penguasa mereka."[195] Kalvin juga berpandangan bahwa para penguasa duniawi kehilangan kedaulatan ilahi mereka dan harus dimakzulkan apabila mendurhaka kepada Allah. Untuk lebih melindungi hak-hak rakyat jelata, Kalvin mengusulkan pembagian kekuasaan politik di dalam suatu sistem pengawasan dan perimbangan kekuasaan (pemisahan kekuasaan). Itulah sebabnya Kalvin dan para pengikutnya menentang absolutisme politik dan merintis jalan bagi munculnya demokrasi modern.[196] Selain Inggris, negeri Belanda, di bawah pimpinan golongan Kalvinis, menjadi negara paling bebas di Eropa pada abad ke-17 dan ke-18. Negeri Belanda menjadi suaka bagi para filsuf seperti Barukh Spinoza dan Pierre Bayle. Hugo Grotius dapat leluasa mengajarkan teori hukum-kodratinya dan tafsir Alkitab yang relatif liberal.[197]
Sejalan dengan gagasan-gagasan politis Kalvin, umat Protestan melahirkan demokrasi di Inggris maupun di Amerika. Tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa penting di dalam proses pembentukan demokrasi di Inggris pada abad ke-17 adalah Perang Saudara Inggris, Oliver Cromwell, John Milton, John Locke, Revolusi Mulia, terbitnya Undang-Undang Hak Asasi Inggris, dan Undang-Undang Pewarisan.[198] Bangsa Inggris kelak memboyong cita-cita demokrasi mereka ke koloni-koloni Inggris, misalnya Australia, Selandia Baru, dan India. Di Amerika Utara, Koloni Plymouth (Pitarah Peziarah, tahun 1620) dan Koloni Teluk Massachusetts (tahun 1628) mengamalkan swatantra demokratis dan pemisahan kekuasaan.[199][200][201][202] Kedua koloni Kongregasional tersebut percaya bahwa bentuk pemerintahan yang demokratis adalah kehendak Allah.[203] Pakta Mayflower adalah sebuah kontrak sosial.[204][205]
Umat Protestan juga menjadi pelopor kebebasan beragama. Kebebasan menurutkan suara hati nurani menjadi prioritas utama dalam agenda-agenda teologi, filsafat, dan politik semenjak Luther menolak untuk menarik kembali pokok-pokok keyakinannya di hadapan Sidang Permusyawaratan Kekaisaran Romawi Suci di Worms pada tahun 1521. Dalam pandangan Luther, iman adalah karya bebas Roh Kudus, dan oleh karena itu tidak boleh dipaksakan kepada orang lain.[206] Kaum Anabaptis dan Huguenot yang teraniaya menuntut kebebasan menurutkan suara hati nurani. Kedua kelompok ini mengamalkan pemisahan gereja dan negara.[207] Pada awal abad ke-17, tokoh-tokoh Baptis seperti John Smyth dan Thomas Helwys menerbitkan makalah-makalah yang menyuarakan kebebasan beragama.[208] Fikrah mereka memengaruhi pendirian John Milton dan John Locke tentang toleransi.[209][210] Rhode Island, Connecticut, dan Pennsylvania, masing-masing di bawah kepemimpinan Roger Williams dari aliran Baptis, Thomas Hooker dari aliran Kongregasional, dan William Penn dari Serikat Handai Taulan, memadukan konstitusi demokratis dengan kebebasan beragama. Ketiga koloni tersebut menjadi suaka bagi kaum minoritas teraniaya, antara lain umat Yahudi.[211][212][213]
Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, Undang-Undang Dasar Amerika Serikat, dan Undang-Undang Hak Asasi Amerika Serikat dengan berbagai hak asasi manusianya membuat tradisi ini menjadi permanen dengan memberinya kerangka kerja hukum dan politik.[214] Mayoritas umat Protestan Amerika, rohaniwan maupun awam, mendukung pergerakan kemerdekaan dengan menggebu-gebu. Semua gereja Protestan yang besar terwakilkan di dalam Kongres Kontinental yang pertama maupun yang kedua.[215] Pada abad ke-19 dan ke-20, demokrasi Amerika menjadi percontohan bagi banyak negara lain di berbagai belahan dunia (antara lain di Amerika Latin, Jepang, dan Jerman). Mata rantai yang menautkan bangsa Amerika dengan Revolusi Prancis adalah Marquis de Lafayette, tokoh yang sangat mendukung asas-asas perlembagaan Amerika Serikat. Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara di Prancis lebih banyak didasarkan pada rancangannya yang disusun Marquis de Lafayette.[216] Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia juga menggemakan tradisi perlembagaan Amerika.[217][218][219]
Demokrasi, teori kontrak-sosial, pemisahan kekuasaan, kebebasan beragama, pemisahan gereja dan negara, yakni capaian-capaian Reformasi Protestan dan Protestanisme perdana, dielaborasi dan dipopulerkan oleh para pemikir Pencerahan. Beberapa filsuf Pencerahan Inggris, Skotlandia, Jerman, dan Swiss, yaitu Thomas Hobbes, John Locke, John Toland, David Hume, Gottfried Wilhelm Leibniz, Christian Wolff, Immanuel Kant, dan Jean-Jacques Rousseau, berasal dari latar belakang Protestan.[220] Sebagai contoh, John Locke melandaskan gagasan politiknya pada "serangkai asumsi Kristen Protestan",[221] dan melahirkan adicita kesetaraan seluruh umat manusia, termasuk kesetaraan gender ("Adam dan Hawa"), bersumberkan nas Kejadian 1ː26–28. Karena semua orang diciptakan sama-sama merdeka, semua pemerintah membutuhkan "persetujuan dari yang diperintah".[222]
Hak-hak asasi manusia lainnya juga diperjuangkan oleh beberapa orang Protestan. Sebagai contoh, penyiksaan dihapuskan di Prusia pada tahun 1740, perbudakan dihapuskan di Inggris pada tahun 1834 dan di Amerika Serikat pada tahun 1865 (William Wilberforce, Harriet Beecher Stowe, Abraham Lincoln—melawan umat Protestan Kawasan Selatan Amerika Serikat).[223][224] Hugo Grotius dan Samuel Pufendorf adalah dua di antara para pemikir pertama yang bersumbangsih penting bagi hukum internasional.[225][226] Konvensi Jenewa, salah satu unsur penting dari hukum internasional, hampir seluruhnya terlahir dari jerih payah Henry Dunant, seorang pietis Kalvinis. Henry Dunant juga yang memprakarsai pembentukan Palang Merah.[227]
Umat Protestan telah mendirikan rumah-rumah sakit, panti-panti Protestants have founded hospitals, panti-panti sosial bina daksa, griya-griya lansia, lembaga-lembaga pendidikan, organisasi-organisasi penyalur bantuan ke negara-negara berkembang, dan berbagai keagenan kesejahteraan sosial lainnya.[228][229][230] Pada abad ke-19, di seluruh pelosok Benua Amerika penutur bahasa Inggris, ada banyak pegiat dari semua denominasi Protestan yang menceburi berbagai gerakan pembaharuan, misalnya perjuangan penghapusan perbudakan, pembaharuan rumah tahanan, dan pemberian hak suara bagi kaum perempuan.[231][232][233] Dalam rangka menanggapi "permasalahan sosial" abad ke-19, negara Jerman di bawah kepemimpinan Kanselir Otto von Bismarck memperkenalkan berbagai program jaminan sosial (jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua) yang menjadi cikal bakal dari sistem negara berkesejahteraan. Bagi Otto von Bismarck, kebijakan tersebut merupakan "pengamalan ajaran agama Kristen".[234][235] Program-program tersebut ditiru banyak negara lain, khususnya negara-negara Barat.
YMCA (Asosiasi Pemuda Kristen) didirikan oleh tokoh Kongregasional George Williams, dengan tujuan untuk memberdayakan kaum muda.
Akidah-akidah Protestan sudah banyak mengilhami penciptaan karya-karya seni.
Martin Luther, Paul Gerhardt, George Wither, Isaac Watts, Charles Wesley, William Cowper, maupun sekian banyak pujangga dan pengarang lagu lainnya telah menciptakan berbagai nyanyian puji-pujian gereja yang terkenal.
Para musikus seperti Heinrich Schütz, Johann Sebastian Bach, George Frideric Handel, Henry Purcell, Johannes Brahms, Philipp Nicolai, dan Felix Mendelssohn menciptakan berbagai gubahan musik.
Pelukis-pelukis terkemuka yang berlatar belakang Protestan antara lain adalah Albrecht Dürer, Hans Holbein the Younger, Lucas Cranach Tua, Lucas Cranach Muda, Rembrandt, dan Vincent van Gogh.
Kesusastraan dunia kian semarak dengan karangan-karangan Edmund Spenser, John Milton, John Bunyan, John Donne, John Dryden, Daniel Defoe, William Wordsworth, Jonathan Swift, Johann Wolfgang Goethe, Friedrich Schiller, Samuel Taylor Coleridge, Edgar Allan Poe, Matthew Arnold, Conrad Ferdinand Meyer, Theodor Fontane, Washington Irving, Robert Browning, Emily Dickinson, Emily Brontë, Charles Dickens, Nathaniel Hawthorne, Thomas Stearns Eliot, John Galsworthy, Thomas Mann, William Faulkner, John Updike, dan banyak lagi sastrawan lain.
Di mata Gereja Katolik, denominasi-denominasi Protestan tidak dapat dianggap sebagai Gereja-Gereja melainkan hanya sebagai komunitas-komunitas gerejawi atau komunitas-komunitas beriman-percaya tertentu, karena dari segi kesejarahannya, ordonansi-ordonansi dan doktrin-doktrin protestan tidak sama dengan sakramen-sakramen dan dogma-dogma Katolik, lagi pula komunitas-komunitas Protestan tidak memiliki rohaniwan yang menerima sakramen imamat[p] dan oleh karena itu tidak memiliki suksesi apostolik yang sejati.[236][237] Menurut Uskup Hilarion Alfeyev, dalam hal ini Gereja Ortodoks Timur sepandangan dengan Gereja Katolik.[238]
Tidak seperti yang kerap disangka telah dilakukan para reformator Protestan, konsep tentang suatu Gereja semesta atau katolik tidaklah diketepikan pada masa pergerakan Reformasi Protestan. Justru sebaliknya, kesatuan kasatmata dari Gereja katolik atau Gereja semesta dianggap sebagai doktrin Reformasi yang penting dan hakiki sifatnya oleh para reformator Protestan. Para reformator Magisterial, misalnya Martin Luther, Yohanes Kalvin, dan Huldrych Zwingli, meyakini bahwa mereka sedang mereformasi Gereja Katolik, yang mereka pandang sudah bobrok.[q] Masing-masing menanggapi dengan serius dakwaan menciptakan skisma dan inovasi yang dilontarkan kepada mereka, dengan menyangkal dakwaan-dakwaan tersebut dan bersikukuh bahwa Gereja Katoliklah yang sudah meninggalkan mereka. Para reformator Protestan merumuskan suatu opini teologis yang baru dan benar-benar berbeda, yaitu bahwasanya Gereja yang kasatmata itu "katolik" (dengan huruf "k" kecil) alih-alih "Katolik" (dengan huruf "K" besar), oleh karena itu gereja-gereja tingkat paroki, tingkat jemaat, atau tingkat nasional yang tak terbilang banyaknya itu bukanlah organisasi-organisasi gerejawi yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan bagian dari satu republik rohani besar,[r] kendati opini mereka berbeda-beda satu sama lain. Pandangan semacam ini sangat jauh menyimpang dari pemahaman Katolik yang mentradisi dan bersejarah bahwasanya Gereja Katolik Romalah satu-satunya Gereja Kristus yang sejati.[s]
Meskipun demikian, menurut pemahaman Protestan, gereja kasatmata bukanlah suatu genus yang mencakup banyak spesies.[t] Demi membenarkan penyimpangan mereka[u] dari Gereja Katolik, umat Protestan sering kali mengemukakan argumen baru,[v] bahwasanya tidak ada Gereja kasatmata dengan wewenang ilahi di dunia nyata, yang ada hanyalah suatu gereja yang bersifat rohaniah, tak kasatmata, dan tersembunyi. Argumen semacam ini mulai mengemuka pada masa-masa permulaan Reformasi Protestan.
Di mana pun tempatnya merebak, Reformasi Magisterial, yang didukung pemerintah, melahirkan sebuah gereja Protestan nasional tereformasi yang dicita-citakan menjadi bagian dari keseluruhan gereja tak kasatmata, tetapi tidak bersetuju dalam beberapa perkara doktrin dan amalan terkait-doktrin dengan apa yang sampai dengan saat itu dianggap sebagai tolok ukur normatif dalam perkara-perkara semacam itu,[w] yakni lembaga kepausan dan kewenangan terpusat Gereja Katolik. Dengan demikian gereja-gereja tereformasi tersebut percaya akan suatu ragam agama Katolik, yang dibina di atas doktrin-doktrin lima solae mereka, dan suatu organisasi gerejawi yang berlandaskan pergerakan konsiliar abad ke-14 dan ke-15, menolak jabatan maupun infalibilitas paus dan sebagai gantinya menerima konsili-konsili oikumene, tetapi menolak konsili oikumene terakhir, yakni Konsili Trento.[x] Oleh karena itu, bagi mereka, kesatuan agamawi bukankanlah kesatuan dalam doktrin dan jati diri melainkan kesatuan dalam ciri tak kasatmata, yang di dalamnya terkandung kesatuan dalam keimanan kepada Yesus Kristus, bukan kesamaan jati diri, kesamaan doktrin, kesamaan keyakinan, maupun kebersamaan dalam bertindak.
Ada pula umat Protestan,[y] khususnya dari mazhab Kalvinis, yang menepis atau meremehkan sebutan Protestan lantaran ada kesan negatif yang tersirat dari kata itu di samping makna utamanya. Mereka lebih suka disebut Gereformir (Tereformasi), Injili, bahkan Katolik Tereformasi sebagai ungkapan dari pandangan mereka bahwasanya agama yang mereka peluk adalah agama Katolik yang sudah direformasi, dan mendalilkan pandangan tersebut dengan menyitir pengakuan-pengakuan iman Protestan.[239]
Pergerakan oikumene telah memengaruhi gereja-gereja Protestan arus utama, setidaknya sejak tahun 1910, dengan digelarnya Konferensi Misi Edinburgh. Pergerakan oikumene terlahir dari kebutuhan akan kerjasama di lahan misi di Afrika, Asia, dan Oseania. Dewan Gereja Sedunia sudah berkiprah sejak tahun 1948, tetapi tidak efektif dalam penciptaan sebuah gereja persatuan. Ada pula badan-badan oikumene di tingkat regional, nasional, bahkan lokal di berbagai belahan dunia, tetapi skisma masih jauh lebih kerap terjadi ketimbang persatuan. Salah satu ekspresi pergerakan oikumene adalah gerakan membentuk gereja-gereja persatuan, misalnya Gereja India Selatan, Gereja India Utara, Gereja Kristus Bersatu yang berbasis di Amerika Serikat, Gereja Persatuan Kanada, Gereja Penyatuan di Australia, dan Gereja Kristus Bersatu di Filipina yang jumlah anggota jemaatnya merosot tajam. Keterlibatan gereja-gereja Ortodoks di dalam pergerakan oikumene pun cukup kuat, sekalipun reaksi dari teolog-teolog Ortodoks secara perorangan berkisar dari persetujuan setengah hati terhadap ikhtiar mempersatukan umat Kristen sampai dengan pengutukan keras terhadap dampak pelunturan doktrin Ortodoks yang menjadi kekhawatiran mereka.[241]
Baptisan Protestan dianggap sah oleh Gereja Katolik jika dilaksanakan dengan melisankan rumusan Tritunggal dan disertai niat untuk membaptis. Meskipun demikian, tahbisan rohaniwan Protestan dianggap tidak sah oleh Gereja Katolik lantaran ketiadaan suksesi apostolik dan keterpecahbelahan Protestanisme, sehingga semua sakramen lain (kecuali sakramen perkawinan) yang diselenggarakan oleh denominasi-denominasi dan rohaniwan-rohaniwan Protestan juga dianggap tidak sah. Itulah sebabnya, umat Protestan yang ingin bersatu dengan Gereja Katolik tidak dibaptis ulang (meskipun tetap diwajibkan menerima sakramen penguatan), tetapi rohaniwan Protestan yang ingin menjadi rohaniwan Katolik harus ditahbiskan menjadi imam sesudah menjalani pendidikan selama jangka waktu tertentu.
Pada tahun 1999, wakil-wakil Federasi Lutheran Sedunia dan Gereja Katolik menandatangani Deklarasi Bersama Perihal Doktrin Pembenaran, sehingga tampaknya menuntaskan konflik seputar hakikat pembenaran yang merupakan perkara asasi Reformasi Protestan, kendati deklarasi ini ditolak oleh golongan Lutheran Konfesional.[242] Penolakan tersebut dapat dimaklumi, karena memang tidak ada pihak berwenang yang wajib dipatuhi di dalam mazhab Lutheran. Pada tanggal 18 Juli 2006, utusan-utusan yang menghadiri Konferensi Metodis Sedunia dengan suara bulat memutuskan untuk mengadopsi Deklarasi Bersama tersebut.[243][244]
Ada lebih dari 900 juta jiwa umat Protestan di seluruh dunia,[13][16][8][245][246][247][248][z] di antara kira-kira 2,4 miliar umat Kristen.[16][249][250][aa] Pada tahun 2010, jumlah total umat Protestan mencapai lebih dari 800 juta jiwa, termasuk 300 juta jiwa di Afrika Sub-Sahara, 260 juta jiwa di Benua Amerika, 140 juta jiwa di kawasan Asia-Pasifik, 100 juta jiwa di Eropa, dan 2 juta jiwa di Timur Tengah-Afrika Utara.[13] Jumlah umat Protestan mencapai hampir 40 persen dari jumlah umat Kristen sedunia, dan melebihi sepersepuluh dari jumlah keseluruhan populasi manusia.[13] Berbagai perkiraan menyajikan angka 33%,[245] 36%,[251] 36,7%,[13] dan 40%,[8] sebagai angka persentase jumlah umat Protestan dari jumlah total umat Kristen sedunia, serta angka 11,6%[13] dan 13%[248] sebagai angka persentase jumlah umat Protestan dari jumlah total populasi dunia.
Di negara-negara Eropa yang sangat dipengaruhi Reformasi, Protestanisme masih menjadi agama yang paling banyak diamalkan.[245] Negara-negara Nordik dan Inggris Raya juga tergolong ke dalam negara-negara tersebut.[245][252] Di benteng-benteng Protestan yang bersejarah seperti Jerman, Belanda, Swiss, Latvia, dan Estonia, Protestanisme masih menjadi salah satu agama yang paling merakyat.[253] Meskipun Republik Ceko adalah tempat kemunculan salah satu pergerakan prareformasi yang paling penting,[254] hanya ada segelintir umat Protestan di negara itu.[255][256] Sebab utamanyanya adalah alasan-asalan sejarah seperti aniaya terhadap umat Protestan oleh pemerintah Habsburg yang beragama Katolik,[257] batasan-batasan yang diberlakukan oleh rezim Komunis, maupun sekularisasi yang kian merajalela.[254] Sepanjang beberapa dasawarsa terakhir, ketaatan beragama telah mengalami penurunan seiring meningkatnya sekularisasi.[245][258] Menurut hasil kajian Eurobarometer mengenai religiusitas di Uni Eropa yang dilakukan pada tahun 2019, umat Protestan merupakan 9% dari populasi Uni Eropa.[259] Menurut Pew Research Center, umat Protestan kurang lebih merupakan seperlima (atau 18%) dari populasi Kristen di Benua Eropa pada tahun 2010.[13] Clarke dan Beyer memperkirakan bahwa umat Protestan merupakan 15% dari keseluruhan populasi Eropa pada tahun 2009, sementara Noll mengklaim bahwa kurang dari 12% umat Protestan berdiam di Eropa pada tahun 2010.[245][247]
Berbagai perubahan penting telah terjadi di dalam Protestanisme di seluruh dunia sepanjang satu abad terakhir.[8][247][260] Sejak tahun 1900, Protestanisme telah menyebar dengan pesat di Afrika, Asia, Oseania, dan Amerika Latin.[22][248][260] Perkembangan tersebut menjadikan Protestanisme disifatkan sebagai sebuah agama non-Barat.[247][260] Sebagian besar dari pertumbuhan tersebut terjadi seusai Perang Dunia II, ketika bangsa-bangsa penjajah hengkang dari Afrika dan berbagai pembatasan terhadap umat Protestan di negara-negara Amerika Latin dihapuskan.[248] Menurut salah satu sumber, 2,5% penduduk Amerika Latin, 2% penduduk Afrika, dan 0,5% penduduk Asia bergama Kristen Protestan.[248] Pada tahun 2000, persentase umat Protestan sudah mencapai 17% di Amerika Latin, lebih dari 27% di Afrika, dan 6% di Asia.[248] Menurut Mark A. Noll, 79% umat Anglikan menetap di Inggris Raya pada tahun 1910, sementara sebagian besar dari umat Anglikan selebihnya terdapat di Amerika Serikat dan negara-negara Persemakmuran Inggris.[247] Pada tahun 2010, 59% umat Anglikan terdapat di Afrika.[247] Pada tahun 2010, jumlah umat Protestan di India sudah melebihi jumlah umat Protestan di Inggris maupun Jerman, sementara jumlah umat Protestan di Brasil sudah sama banyak dengan gabungan jumlah umat Protestan di Inggris dan Jerman.[247] Umat Protestan Nigeria maupun Tiongkok hampir menyamai jumlah umat Protestan di seluruh Eropa.[247] Tiongkok adalah tanah air bagi golongan minoritas Protestan terbesar di dunia.[13][ab]
Protestanisme sedang bertumbuh di Afrika,[22][261][262] Asia,[22][262][263] Amerika Latin,[262][264] dan Oseania,[22][260] tetapi mengalami penurunan di Amerika Utara[260][265] dan Eropa,[245][266] dengan beberapa perkecualian seperti Prancis,[267] tempat Protestanisme diberantas sesudah Maklumat Nantes dibatalkan dengan Maklumat Fontainebleau dan menyusul aniaya terhadap kaum Huguenot, tetapi yang sekarang ini diklaim sebagai negara yang stabil jumlah umat Protestannya, bahkan sedikit meningkat.[267] Menurut beberapa pihak, Rusia adalah negara lainnya yang mengalami kebangkitan Protestanisme.[268][269][270]
Pada tahun 2010, rumpun-rumpun denominasi Protestan yang terbesar adalah denominasi-denominasi Pentakosta bersejarah (11%), Anglikan (11%), Lutheran (10%), Baptis (9%), gereja-gereja persatuan dan penyatuan (persatuan-persatuan beragam denominasi) (7%), Presbiterian atau Kalvinis (7%), Metodis (3%), Advent (3%), Kongregasional (1%), Serikat Persaudaraan (1%), Bala Keselamatan (<1%), dan Moravian (<1%). Denominasi-denominasi selebihnya terhitung berjumlah 38% dari keseluruhan umat Protestan.[13]
Sekitar 20% umat Protestan bermukim di Amerika Serikat.[13] Menurut suatu kajian dari tahun 2012, persentase umat Protestan dari keseluruhan populasi Amerika Serikat merosot menjadi 48%, sehingga untuk pertama kalinya Protestanisme tidak lagi menjadi agama mayoritas di negara itu.[271][272] Kemerosotan tersebut dikait-kaitkan terutama dengan penurunan jumlah anggota jemaat gereja-gereja Protestan Arus Utama,[271][273] sementara jumlah anggota jemaat gereja-gereja Protestan Injili dan gereja-gereja Orang Kulit Hitam tetap stabil dan terus bertambah.[271]
Pada tahun 2050, Protestanisme diprakirakan bakal meningkat sedikit lebih besar daripada setengah dari total populasi umat Kristen sedunia.[274][ac] Menurut ahli-ahli lain seperti Hans J. Hillerbrand, umat Protestan bakal sama banyaknya dengan umat Katolik.[275]
Menurut Mark Jürgensmeyer dari Universitas California, Protestanisme populer[ad] adalah pergerakan agamawi yang paling dinamis di dunia dewasa ini, bersama-sama dengan kebangkitan kembali Islam.[15]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.