Remove ads
Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Glossolalia (juga disebut Bahasa Lidah atau Bahasa Roh; bahasa Inggris: speaking in tongues) adalah suatu pengucapan atau pengungkapan yang lancar (jarang dalam bentuk tulisan) dari suku-suku kata dan kata-kata yang tidak dapat dipahami secara langsung dalam bahasa daerah pendengar di lingkungan wilayah tersebut, yang biasanya merupakan suatu bagian dari kegiatan agamawi.[1] Bahasa yang dituturkan tersebut dalam berupa bahasa asing dari daerah lain (seperti yang terjadi dalam peristiwa permulaan berdirinya gereja Kristen), yang tidak lazimnya digunakan oleh pembicara dan pendengarnya, atau bahasa yang sama sekali asing (xenoglossia), bisa sebagai suku-suku kata yang tampak tidak berarti, atau sebagai "bahasa mistis" yang tidak dikenal; di mana ucapan/ungkapan ini biasanya muncul sebagai bagian dari penyembahan religius (glossolalia religius).
Nilai penting glossolalia ini berbeda-beda menurut konteksnya, dimana sejumlah minoritas, terutama dalam suku-suku yang menganut animisme, menganggapnya sebagai "bahasa suci". Umumnya lebih dikenal dalam praktik keagamaan penganut aliran Pentakostal dan Gerakan Kristen Karismatik, tetapi sebenarnya juga dikenal dalam praktik-praktik ibadah agama-agama di luar Kekristenan.
Sementara Glossoalia semakin tersebar luas dan didokumentasikan dengan baik, terjadi perdebatan serius di antara komunitas-komunitas religius (khususnya Kristen) dikarenakan status glossolalia itu sendiri:
"Glossolalia" berasal dari kata Yunani "γλωσσολαλία", dibentuk dua kata, yaitu "γλώσσα" (glôssa) yang berarti "lidah"[2] dan "λαλώ" (lalô) atau "λαλέω" (laleō) yang berarti "berbicara; berkata-kata; bersuara; mengeluarkan suara".[3] Istilah Yunani ini (dalam berbagai bentuk bahasa) muncul dalam bagian Perjanjian Baru di Alkitab Kristen, terutama dalam kitab-kitab Kisah Para Rasul dan Surat 1 Korintus.
Istilah "Berbicara dalam bahasa lidah" (bahasa Inggris: "speaking in tongues") telah digunakan paling tidak sejak penerjemahan Alkitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Inggris menengah ("Middle English") pada Alkitab bahasa Inggris terjemahan John Wycliffe pada abad ke-14.[4] Frederic William Farrar pertama kali menggunakan kata "glossolalia" pada tahun 1879.[5]
Glossolalia atau "bahasa roh" dalam tradisi Kristen dianggap sebagai salah satu karunia Roh Kudus, di mana seseorang - atas anugerah tersebut, bukan karena belajar bahasa - dapat berkata-kata dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh manusia, dikatakan bisa berupa "bahasa malaikat" ataupun bahasa yang ada di muka bumi ini. Bahasa Roh dicatat turun pertama kali atas para rasul, sehingga mereka dapat berbicara dan mewartakan Injil (kabar gembira) meskipun orang lain itu berbahasa yang berbeda. Bahasa Roh tidak dapat dipelajari, namun orang dapat memintanya dengan sepenuh hati pada Roh Kudus, sebab Roh Kudus sendiri telah dijanjikan Yesus Kristus kepada orang yang percaya kepada-Nya. Orang berbahasa roh tidak dalam keadaan ekstase (di luar kesadarannya), melainkan ia secara sadar berkata-kata dalam Bahasa Roh tersebut, hanya saja, kata-kata yang keluar tersebut merupakan hasil bimbingan Roh Kudus. Saat berbahasa Roh, orang akan mendapat kepenuhan Roh dalam dirinya. Ada yang menyebut para penutur Bahasa Roh sebagai golongan karismatik; seperti "Kristen karismatik".
Glossolalia tercatat dalam Kitab Injil Kristiani dan dipraktikkan oleh beberapa denominasi Kristen dan kaum Kristen kontemporer. Namun, konsep-konsep glossolalia/bahasa Roh sebagai "bahasa-yang-diilhami-Allah" maupun bahasa Roh sebagai "praktik Kristiani yang relevan/sah" belum diterima secara universal.
Di Indonesia, kata glossolalia ditemukan di Alkitab sebagai "bahasa roh". Walaupun demikian, sering juga disebut sebagai "bahasa lidah" maupun "berbicara dalam lidah asing".[6]
Dalam Perjanjian Baru, kitab Kisah Para Rasul menceritakan peristiwa "Pentakosta", di mana "lidah-lidah api" hinggap pada para orang percaya dan dilanjutkan secara ajaib mereka mulai berkata-kata dengan bahasa-bahasa lain.
Kitab Kisah Para Rasul (Kisah Para Rasul 2:1) menggambarkan fenomena "penerjemahan mujizat", di mana ketika Para Rasul sedang berbicara, orang-orang dari berbagai belahan dunia yang hadir mendengar mereka berbicara dalam bahasa mereka sendiri. Di lain pihak, beberapa pengulas mengajarkan bahwa kasus Biblikal ini merupakan contoh dari xenoglossia religius, yakni berbicara secara ajaib dalam bahasa-bahasa asing yang tidak dikenal oleh si pembicara itu sendiri.
Beberapa lagu himne Ortodoks mengenai Hari Raya Pentakosta, yang memperingati peristiwa di Kisah Para Rasul ini, menggambarkan hal ini sebagai pembalikan dari kejadian Menara Babel (Kejadian 11). Dengan kata lain, bahasa umat manusia yang dikacaubalaukan dalam peristiwa Menara Babel direunifikasikan dalam peristiwa Pentakosta, yang menghasilkan penyebaran Injil bagi orang-orang yang sedang berada di Yerusalem dari berbagai negara.
Banyak dari apa yang diketahui tentang karunia ini dicatat oleh rasul Paulus dalam suratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus, terutama pasal 12 dan 14.
1 Korintus 12:10-11
Dalam 1 Korintus 14 dipaparkan pedoman penggunaan yang tepat dari karunia bahasa roh. Supaya karunia lidah dapat bermanfaat peneguhan gereja, perkataan supranatural itu harus ditafsirkan ke dalam bahasa yang dapat dipahami oleh orang-orang Kristen yang berkumpul saat itu. Jika tidak ada satu pun di antara orang Kristen yang berkumpul memiliki karunia penafsiran, maka karunia bahasa roh itu sebaiknya tidak disampaikan secara publik. Mereka yang memiliki karunia bahasa roh didorong untuk berdoa bagi kemampuan untuk menafsirkan.
1 Korintus 14:5-25
Pada bagian Perjanjian Baru versi terjemahan King James (King James Version, KJV, terjemahan tahun 1611 Masehi, atas penugasan Raja James I dari Inggris), terdapat kata "unknown tongue" ("lidah asing") dalam 1 Korintus 14:2. Dari hasil penelitian sarjana Alkitab, kemudian kata "unknown" ("asing") ini dituliskan dengan huruf miring (italics), yang menandakan bahwa kata tersebut sedianya tidak terdapat dalam manuskrip aslinya dalam Bahasa Yunani. Para penerjemah KJV memasukkan kata "lidah asing" ini dalam hasil terjemahannya. Dalam Alkitab Terjemahan Baru (LAI), kata-kata ini diterjemahkan sebagai "bahasa roh" (dengan "roh" huruf kecil).
Bahasa roh, menurut Paulus:
Tulisan Paulus lainnya menyatakan juga beberapa hal:
Sekalipun demikian, Paulus meminta agar jemaat berlaku bijak dalam berbahasa roh, karena bila dalam suatu ibadah setiap orang berkata-kata dalam bahasa roh, maka orang-orang yang tidak percaya bisa mengatakan mereka "gila" (1 Korintus 14:23).
Mengenai karunia Roh, Paulus meminta agar jemaat berusaha untuk memperoleh juga terutama karunia untuk bernubuat; dengan alasan bahwa nubuat adalah kata-kata bagi manusia (jemaat) untuk membangun, menasihati, dan menghibur; sedangkan bahasa roh adalah bahasa untuk membangun diri sendiri.
Gambaran Alkitabiah mengenai orang-orang yang berbicara dalam bahasa roh muncul tiga kali dalam Kisah Para Rasul, dan setiap kali dirangkaikan dengan fenomena "pencurahan Roh Kudus", yakni dalam Kisah Para Rasul 2 dan bagian-bagian lain (Kisah Para Rasul 2:4, 10:46; 19:6).
Fundamental bagi interpretasi Alkitab adalah penerjemahan yang tepat atas istilah-istilah primitif, dan seperti istilah "roh" yang berasal dari "napas" atau "asap/uap"; istilah "lidah-lidah api" kemungkinan besar merupakan penggunaan metafora api untuk menunjukkan semakin bertambah-tambahnya kuasa yang memancar selama peristiwa Pentakosta.[butuh rujukan]
Alkitab juga mencatat gambaran akan tata cara ibadah berkaitan dengan bahasa roh:
Alkitab mengajarkan bahwa bahasa roh berguna sebagai tanda:
Aliran Pentakosa abad kedua puluh bukan merupakan aliran yang pertama kali "berbahasa lidah" selama Sejarah Gereja. Pendahulu-pendahulu dalam berabad-abad era Kristen, di antaranya adalah:
Kebanyak praktik glossolalia kaum Kristiani saat ini merupakan semacam kebaktian pribadi mereka. Beberapa bagian komunitas Kristiani juga menerima dan kadang-kadang turut mempromosikan penggunaan glossolalia selama ibadah penyembahan bersama. Hal ini terutama sekali nyata dalam tradisi Pentakosta dan Karismatik. Keduanya percaya bahwa kemampuan berkata-kata dalam bahasa roh dan ungkapan-ungkapannya, adalah karunia supernatural dari Allah.
Kaum Kristen yang mempraktikkan glossolalia biasanya menggambarkan pengalaman mereka sebagai bagian sehari-hari dari doa yang cenderung diasosiasikan dengan emosi yang tenang dan menyenangkan. Hal ini kontras dengan persepsi kaum Kristen yang menyaksikan namun tidak mempraktikkan bahasa roh dan mereka yang tidak memiliki pengalaman berbahasa roh. Keduanya memandang berbahasa roh seperti aktivitas dengan emosi dan kehebohan yang tinggi.[18]
Klaim kaum Pentakosta dan Karismatik mengenai bahasa roh telah menyebabkan suatu kontroversi yang serius dan meluas di antara cabang-cabang Gereja Kristen, terutama sekali sejak kelahiran Gerakan Karismatik pada tahun 1960an. Berbagai buku telah dipublikasikan entah yang membela[19] maupun yang menyerang[20] klaim tersebut. Isu ini telah sering kali menyebabkan perpecahan di gereja-gereja lokal maupun di tingkat denominasi yang lebih besar.
Selain di Agama Kristen, beberapa kelompok religius juga tampaknya memiliki praktik dengan bentuk theopneustik glossolalia.
Glossolalia menjadi suatu penjelasan mengenai kemashyuran kuno Oracle dari Delphi, di mana para pendeta dewa Apollo (disebut sebagai seorang sibyl) berbicara dalam ungkapan-ungkapan aneh, seakan-akan Apollo berada di dalamnya, tetapi kemungkinan berhubungan dengan gas alami tingkat tinggi pada sumber mata air di dalam kuil tersebut.
Dalam beberapa naskah gaib Gnostik dari zaman Romawi telah tercatat suku-suku kata tanpa arti seperti "t t t t t t t t n n n n n n n n n d d d d d d d..." dan lain-lain. Kemungkinan besar tulisan ini merupakan transliterasi dari suara yang muncul selama glossolalia. Kitab Koptik dari Mesir juga menyajikan sebuah himne dengan (kebanyakan) suku-suku kata tanpa arti yang kemungkinan merupakan contoh dari glossolalia Kristen mula-mula.
Pada abad ke-19, Spiritisme muncul sebagai semacam agama baru yang didirikan oleh Allan Kardec dan fenomena ini dianggap sebagai salah satu manifestasi yang nyata dari roh-roh. Para kaum Spiritis menyatakan bahwa beberapa glossolalia adalah peristiwa aktual akan xenoglossia (ketika seseorang berbicara dalam bahasa lain yang asing baginya). Bagaimanapun, atribut bahwa glossolalia itu penting dalam spiritisme telah secara signifikan berkurang. Spiritis pada saat ini menganggap fenomena tersebut tidak ada artinya, karena tidak menyampaikan pesan yang dapat dimengerti bagi penggunanya.
Glossolalia juga terdapat di Shamanisme dan agama Voodoo di Haiti; yang mana sering kali dimunculkan dengan pengkonsumsian obat-obatan halusinogenik atau entheogen seperti jamur Psilocybe.
Suku-suku kata yang membentuk glossolalia biasanya tampak seperti reorganisasi fonem yang tidak berpola dari bahasa ibu seseorang yang mengucapkannya; jadi glossolalia orang-orang dari Rusia, Inggris, dan Brasilia bisa berbeda satu sama lain, tetapi secara samar masing-masing menyerupai bahasa Rusia, Inggris, dan Portugis. Kebanyakan ahli bahasa pada umumnya menganggap kebanyakan glossolalia kurang/tidak memiliki semantik, sintaksis, maupun morfologi.[21]
Studi ilmiah pertama mengenai glossolalia dilakukan oleh psikiatris Emil Kraepelin sebagai bagian dari penelitiannya mengenai perilaku linguistik pasien-pasien skizofrenia. Pada tahun 1927, G.B. Cutten mempublikasikan bukunya Speaking with tongues; historically and psychologically considered (Berbicara dalam bahasa lidah; kajian historis dan psikologis), yang dianggap sebagai standar dalam literatur medis selama bertahun-tahun. Seperti Kraepelin, Cutten menghubungkan glossolalia dengan skizofrenia dan histeria.
Pada tahun 1972, John Kildahl mengambil perspektif psikologis yang berbeda dalam bukunya The Psycholgy of Speaking in Tongues (Psikologi Bahasa Lidah). Ia menyatakan bahwa glossolalia bukan merupakan gejala sakit jiwa dan para pengguna glossolalia (glossolalis) justru mengalami penyembuhan dari kondisi stres. Namun, ia mengamati bahwa para glossolalis cenderung memiliki kebutuhan lebih besar akan figur yang memiliki otoritas dan tampaknya mereka sering mengalami kemelut dalam hidupnya.
Nicholas Spanos menggambarkan glossolalia sebagai kecakapan yang dapat dipelajari, di mana tidak diperlukan kondisi tak sadarkan diri/kerasukan yang untuk mengalaminya dalam publikasi "Glossolalia as Learned Behaviour: An Experimental Demonstration" ("Glossolalia sebagai Perilaku yang Dapat Dipelajari: Sebuah Demonstrasi Eksperimental"), tahun 1987. Hal ini juga dikenal sebagai simplex communication.
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.