Loading AI tools
bentuk Kekristenan yang menolak doktrin Kristen arus utama tentang Trinitas Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Nontrinitarianisme mengacu pada sistem-sistem keyakinan di dalam Kekristenan yang menolak doktrin Kekristenan arus utama mengenai Trinitas, yaitu ajaran bahwa Allah merupakan tiga hipostasis atau pribadi berbeda yang sama kekalnya, sederajat, dan bersatu tanpa terpisahkan dalam satu hakikat atau ousia. Kelompok-kelompok tertentu yang timbul selama Reformasi Protestan secara historis dikenal sebagai antitrinitarian atau anti-Trinitas.
Bagian dari seri tentang |
Kekristenan |
---|
Portal Kristen |
Menurut gereja-gereja yang memandang keputusan konsili-konsili ekumenis adalah final, Trinitarianisme telah dinyatakan secara definitif sebagai doktrin Kekristenan pada konsili-konsili ekumenis abad ke-14,[1][2] yakni Konsili Nikea I (325), yang menyatakan keilahian sepenuhnya Anak,[3] dan Konsili Konstantinopel I (381), yang menyatakan keilahian Roh Kudus.[4]
Dalam hal jumlah penganut, denominasi nontrinitarian merupakan minoritas kecil dalam Kekristenan modern. Hingga saat ini, tiga denominasi nontrinitarian terbesar adalah Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir ("Mormon"), Saksi-Saksi Yehuwa, dan Iglesia ni Cristo, walaupun terdapat sejumlah denominasi lain yang lebih kecil, misalnya Kristadelfian, Christian Science, Dawn Bible Students Association, Living Church of God, Pentakostalisme Keesaan, Members Church of God International, Unitarian Universalist Christian Fellowship, Sang Jalan Internasional, The Church of God International, dan United Church of God.[5]
Pandangan di antara kelompok-kelompok nontrinitarian mengenai kodrat Allah, Yesus dan Roh Kudus, sangat beragam. Pandangan nontrinitarian seperti adopsionisme, monarkianisme, dan subordinasionisme telah ada sebelum penetapan resmi doktrin Trinitas pada tahun 325, 381, dan 431, berturut-turut di Nikea I, Konstantinopel I, dan Efesus.[6] Nontrinitarianisme kemudian diperbarui oleh kaum Katar pada abad ke-11 sampai ke-13, dalam gerakan Unitarian selama Reformasi Protestan, dalam Abad Pencerahan pada abad ke-18, dan dalam beberapa kelompok yang timbul selama Kebangunan Besar Kedua pada abad ke-19.
Doktrin Kristen tentang Trinitas tidak terdapat dalam agama-agama Abrahamik besar yang lain. Pandangan Yudaisme dan Islam mengenai doktrin tersebut dibahas pada artikel-artikel tersendiri.
Bagian ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Para Apologis Kristen serta Bapa Gereja lainnya dari abad ke-2 dan ke-3, telah mengadopsi dan merumuskan Kristologi Logos (Firman), memandang Putra Allah sebagai instrumen yang digunakan oleh Bapa, Allah Yang Mahakuasa, untuk menghadirkan ciptaan ke dalam eksistensinya. Yustinus Martir, Teofilus dari Antiokia, Hippolitus dari Roma, dan Tertulianus, secara khusus menyatakan bahwa Logos internal Allah (bahasa Yunani: Logos endiathetos, bahasa Latin: ratio), yakni budi impersonal ilahi-Nya, diperanakkan sebagai Logos terucap (bahasa Yunani: Logos proforikos, bahasa Latin: sermo, verbum) dan dengan demikian menjadi pribadi yang digunakan untuk tujuan penciptaan.[7]
Encyclopædia Britannica menyatakan bahwa, "Bagi beberapa kalangan Kristen, doktrin Trinitas tampak tidak konsisten dengan keesaan Allah. ... Oleh karena itu mereka menyangkalnya, dan menerima Yesus Kristus, bukan sebagai Allah yang menjelma, tetapi sebagai makhluk tertinggi Allah yang melalui-Nya semua yang lain diciptakan. ... pandangan [ini] dalam Gereja perdana berjuang sekian lama melawan doktrin ortodoks."[8] Kendati pandangan nontrinitarian menghilang pada Gereja perdana dan pandangan Trinitarian menjadi doktrin ortodoks Kekristenan modern, varian-varian dari pandangan nontrinitarian tetap dianut oleh sejumlah kecil denominasi dan kelompok Kristen.
Terdapat berbagai pandangan berkenaan dengan hubungan antara Bapa, Putra, dan Roh Kudus:
Doktrin nontrinitarian sering menimbulkan kontroversi di antara kalangan Kristen arus utama, karena sebagian besar trinitarian memandang sebagai kesesatan jika tidak percaya pada doktrin Trinitas. Terkadang kelompok-kelompok Kekristenan Nicea bereaksi dengan keras terhadap pandangan-pandangan nontrinitarian. Menyusul Reformasi Protestan, di antara beberapa kelompok Protestan seperti Unitarian dan Kristadelfian, pandangan-pandangan yang sama diakomodasi.
Jemaat Unitarian Universalisme mungkin atau mungkin juga tidak diidentifikasi sebagai Kristen. Menurut tradisi, Unitarianisme merupakan suatu bentuk Kekristenan yang menolak doktrin Trinitas. Unitarianisme ditolak oleh Kekristenan ortodoks dalam Konsili Nicea I, suatu konsili ekumenis yang diselenggarakan pada tahun 325, namun timbul kembali kemudian dalam sejarah Gereja, khususnya selama gejolak teologis Reformasi Protestan. Pada tahun 1961, American Unitarian Association (AUA) dikonsolidasikan dengan Universalist Church of America (UCA), membentuk Unitarian Universalist Association.
Templat:Sejarah teologi Kristen
Kebanyakan kalangan nontrinitarian berpandangan bahwa doktrin dari bentuk terawal Kekristenan (lih. Zaman Apostolik) adalah nontrinitarian, tetapi (tergantung pada jemaat atau kelompoknya) cenderung meyakini bahwa Kekristenan awal adalah entah Unitarian atau Binitarian ataupun Modalis, seperti dalam kasus Montanisme, Marsionisme, dan Gnostisisme. Bagi mereka, Kekristenan awal berubah setelah beberapa maklumat Kaisar Konstantinus I dan hukuman yang dinyatakannya terhadap Arius, yang kemudian diikuti Kaisar Teodosius I dengan mendeklarasikan Maklumat Tesalonika, 'cunctos populos' pada bulan Februari 380 yang menyatakan bahwa Kekristenan sebagaimana didefinisikan dalam Pengakuan Iman Nicea adalah agama resmi Kekaisaran Romawi. Setahun kemudian, Konsili Ekumenis Kedua menegaskan hal ini dalam Pengakuan Iman yang direvisi sedikit.
Karena mereka meyakini bahwa doktrin Trinitas mencapai perkembangan definitifnya selama suatu pergesaran dramatis dalam status Kekristenan, kalangan nontrinitarian umumnya menganggap doktrin tersebut meragukan. Kalangan nontrinitarian menganggap Pengakuan Iman Nicea dan hasil-hasil dari Konsili Kalsedon sebagai dokumen-dokumen yang pada dasarnya politis, dihasilkan dari subordinasi doktrin yang benar untuk kepentingan negara oleh para pemimpin Gereja Katolik, sehingga dalam pandangan mereka Gereja merupakan suatu perpanjangan dari Kekaisaran Romawi (lih. Caesaropapisme).
Meskipun keyakinan-keyakinan nontrinitarian terus bertambah banyak, dan dianut beberapa komunitas yang dominan selama beberapa ratus tahun setelah dicetuskannya (misalnya suku Langobardi, Ostrogoth, Visigoth, Vandal), kalangan Trinitarian pada akhirnya memperoleh pengakuan dalam Kekaisaran Romawi. Kalangan nontrinitarian biasanya berpendapat bahwa keyakinan-keyakinan nontrinitarian awal, misalnya Arianisme, ditekan secara sistematis (sering kali hingga titik kematian).[37] Setelah Konsili Nicea I, Kaisar Romawi Konstantinus I mengeluarkan suatu maklumat terhadap tulisan-tulisan Arius yang meliputi pembakaran buku secara sistematis.[38] Walaupun mengeluarkan dekret tersebut, Konstantinus tidak lama kemudian memerintahkan penerimaan Arius kembali ke dalam Gereja, menyingkirkan uskup-uskup yang, seperti Athanasius, memegang ajaran Nicea,[39] mengizinkan Arianisme berkembang di dalam Kekaisaran dan dengan demikian menyebar ke suku-suku Jermanik di perbatasan,[40] dan ia dibaptis oleh seorang uskup Arian, Eusebius dari Nikomedia.[41] Para kaisar penerusnya juga mendukung Arianisme, hingga Theodosius I naik takhta pada tahun 379 dan mendukung Kekristenan Nicea.
Surat Paskah yang dikeluarkan Atanasius pada tahun 367, ketika Kekaisaran Timur diperintah oleh Kaisar Arian Valens, mendefinisikan kitab-kitab apa saja yang termasuk dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, beserta dengan ketujuh kitab lain yang perlu dibaca "untuk pengajaran dalam perintah kesalehan"; pada saat bersamaan surat itu juga mengecualikan apa yang disebut Atanasius sebagai tulisan-tulisan apokrif, yang dengan keliru disajikan sebagai tulisan kuno.[42] Elaine Pagels menuliskan: "Pada tahun 367 M, Athanasius, uskup yang bersemangat dari Aleksandria... mengeluarkan suatu surat Paskah yang di dalamnya ia meminta agar para rahib Mesir menghancurkan semua tulisan yang tak dapat diterima tersebut, kecuali yang secara khusus tercantum sebagai 'dapat diterima' apalagi 'kanonik' — suatu daftar yang merupakan 'Perjanjian Baru' saat ini".[43][44] Beberapa kalangan nontrinitarian mengatakan bahwa tulisan-tulisan yang dikecam itu adalah buku-buku Arian.[butuh rujukan]
Banyak akademisi yang menyelidiki Yesus historis, khususnya mereka yang tergabung dalam Jesus Seminar, menyatakan bahwa Yesus tidak mengajarkan kesetaraan dirinya dengan Allah ataupun Trinitas.
Kalangan nontrinitarian juga membantah kesesuaian Syahadat atau Pengakuan Iman Nicea dengan fakta berdasarkan penerapannya yang hampir 300 tahun setelah kehidupan Yesus sebagai hasil dari perselisihan di dalam Gereja perdana pra-Nicea. Kalangan nontrinitarian (baik Modalis maupun Unitarian) pada umumnya juga mengatakan kalau Atanasius dan yang lainnya di Nicea mengadopsi konsep dan filsafat Platonik Yunani, serta menyertakannya dalam pandangan mereka tentang Allah dan Kristus.[45] Kalangan nontrinitarian juga mengutip ayat-ayat kitab suci seperti Mat. 15:9 dan Ef. 4:14 untuk mendukung pandangan mereka.
Penulis H.G. Wells, yang kelak terkenal karena kontribusinya pada fiksi ilmiah, menulis dalam The Outline of History karyanya: "Kita akan saksikan sekarang bagaimana nanti seluruh Dunia Kristiani dikoyakkan oleh perselisihan mengenai Trinitas. Tidak ada bukti bahwa para rasul Yesus pernah mendengar tentang Trinitas, dalam hal apapun dari dia.[46]
Pertanyaan mengenai kenapa suatu doktrin sentral bagi keimanan Kristen tidak pernah dinyatakan secara eksplisit di dalam kitab suci ataupun diajarkan secara rinci oleh Yesus sendiri dianggap cukup penting bagi beberapa figur historis dari abad ke-16 seperti Michael Servetus dalam mengarahkan mereka untuk memperdebatkan pertanyaan tersebut. Konsili Kota Jenewa, seturut penilaian kanton Zürich, Bern, Basel, dan Schaffhausen, mengutuk Servetus dengan hukuman bakar pada tiang pancang karena hal itu dan penentangannya atas baptisan bayi.
Encyclopædia of Religion and Ethics mendeskripsikan kelima tahap yang mengarah pada perumusan doktrin Trinitas.[47]
Bagian ini memerlukan pengembangan dengan informasi dari bagian lainnya seperti Mormonisme dan Saksi-Saksi Yehuwa. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. (Agustus 2016) |
Sesaat setelah Reformasi Protestan, dan Perang Petani Jerman tahun 1524–1525, pada tahun 1530 sejumlah besar wilayah Eropa Utara merupakan wilayah Protestan, dan bentuk-bentuk nontrinitarianisme mulai tampil ke permukaan di antara beberapa kelompok "Reformasi Radikal", terutama Anabaptis. Antitrinitarian Inggris yang pertama tercatat adalah John Assheton (1548), seorang pastor Anglikan. "Konsili Venesia" (1550), suatu konsili Anabaptis Italia, dan pengadilan atas Michael Servetus (1553) menandai kejelasan timbulnya kalangan Protestan antitrinitarian secara nyata. Kendati satu-satunya kelompok nontrinitarian yang terorganisir adalah Serikat Persaudaraan Polandia, yang memisahkan diri dari kaum Calvinis (1565, tersingkir dari Polandia tahun 1658), dan Gereja Unitarian Transilvania (1568–sekarang). Kaum Nonkonformis, Dissenter, dan Latitudinarian di Britania kerap kali merupakan penganut Arian ataupun Unitarian, dan Doktrin Akta Trinitas 1813 mengizinkan ibadah nontrinitarian di Britania. Di Amerika, pandangan-pandangan Arian dan Unitarian juga ditemukan di antara beberapa kelompok Milenialis dan Adventis, kendati Gereja Unitarian itu sendiri mulai mengalami penurunan jumlah penganut dan pengaruhnya setelah tahun 1870-an.[48][49]
Kaum Kristen nontrinitarian penganut Arian ataupun Semi-Arian bersikeras bahwa bukti-bukti dari Kitab Suci lebih cenderung ke arah Subordinasionisme, dengan merujuk pada ketundukan sepenuhnya Putra kepada Bapa, dan supremasi Bapa atas Putra dalam setiap aspek. Mereka memahami dan mengakui peringkat Putra yang mulia dan tinggi, di sebelah kanan Allah, namun mengajarkan bahwa Bapa tetap lebih besar daripada Putra dalam segala hal.
Kalangan nontrinitarian mengakui peranan penting Bapa, Putra, dan Roh dalam penciptaan dan keselamatan, tetapi bagi mereka hal itu sendiri belum tentu membuktikan kalau ketiganya setara dan sama kekalnya. Mereka juga berpendapat bahwa satu-satunya nomor yang secara jelas dihubungkan pada Allah di dalam Alkitab (baik Perjanjian Lama maupun Baru) adalah nomor "satu", dan Trinitas, secara harfiah berarti satu set dari tiga, mengaitkan suatu ketritunggalan yang setara kepada Allah yang tidak tercantum secara eksplisit di dalam Alkitab.
Para kritikus berpendapat bahwa Trinitas, sebagai suatu ajaran yang dideskripsikan sebagai fundamental, tidak memiliki dukungan secara langsung dari Kitab Suci. Para pembelanya menyatakan bahwa doktrin itu tidak dinyatakan secara langsung dalam Perjanjian Baru, tetapi merupakan suatu interpretasi dari elemen-elemen yang terkandung di dalamnya yang dipandang sebagai mengimplikasikan doktrin yang baru dirumuskan pada abad ke-4. Karenanya William Barclay, seorang pendeta Gereja Skotlandia, mengatakan: "Adalah penting dan berguna untuk mengingat bahwa kata Trinitas sendiri bukanlah suatu kata Perjanjian Baru. Ini bahkan benar setidaknya dalam satu hal jika mengatakan bahwa doktrin Trinitas bukanlah doktrin langsung Perjanjian Baru. Ini lebih merupakan suatu kesimpulan serta suatu interpretasi dari pemikiran dan bahasa Perjanjian Baru."[50] New Catholic Encyclopedia mengatakan: "Doktrin Tritunggal Mahakudus tidak diajarkan [secara eksplisit] dalam [Perjanjian Lama]", "Formulasi 'satu Allah dalam tiga Pribadi' belum secara solid ditetapkan [oleh suatu konsili]...sebelum akhir abad ke-4".[51]
Demikian pula, Encyclopedia Encarta menyatakan: "Doktrin tersebut tidak diajarkan secara eksplisit dalam Perjanjian Baru, tempat kata Allah hampir selalu mengacu kepada Bapa. [...] Istilah trinitas pertama kali digunakan pada abad ke-2, oleh seorang teolog Latin bernama Tertulianus, namun konsep tersebut dikembangkan dalam proses perdebatan mengenai kodrat Kristus [...]. Pada abad ke-4, doktrin tersebut akhirnya diformulasikan".[52] Encyclopædia Britannica mengatakan: "Baik kata Trinitas ataupun doktrin eksplisitnya tidak tampak dalam Perjanjian Baru, Yesus dan para pengikut-Nya juga tidak bermaksud untuk mempertentangkan Shema dalam Perjanjian Lama: "Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa" (Ulangan 6:4). [...] Doktrin tersebut berkembang secara bertahap selama beberapa abad dan melalui banyak kontroversi. [...] pada akhir abad ke-4, di bawah kepemimpinan Basilius dari Kaisarea, Gregorius dari Nyssa, dan Gregorius dari Nazianzus (Para Bapa Kapadokia), doktrin Trinitas sejak saat itu secara substansial mendapatkan bentuk yang telah dipeliharanya."[53] Anchor Bible Dictionary menyatakan: "Orang tidak menemukan dalam PB paradoks trinitarian tentang koeksistensi Bapa, Putra, dan Roh dalam suatu kesatuan ilahi."[54]
Berbicara tentang pengembangan teologis yang resmi, seorang sejarawan Katolik bernama Joseph F. Kelly menuliskan: "Alkitab mungkin tidak menggunakan kata 'Trinitas', tetapi sering menyebutkan Allah Bapa; Injil Yohanes menekankan keilahian Putra; beberapa kitab Perjanjian Baru menganggap ilahi Roh Kudus. Para teolog kuno tidak menyalahi ajaran biblis tetapi berusaha untuk mengembangkan implikasinya. ... Argumen-argumen kuat [Arius] memaksa orang Kristen lainnya untuk menyempurnakan pemikiran mereka mengenai Trinitas. Dalam dua konsili ekumenis, Nicea I pada tahun 325 dan Konstantinopel I pada tahun 381, Gereja secara keseluruhan mendefinisikan Trinitas dengan cara yang sekarang begitu akrab bagi kita dari Syahadat Nicea. Hal ini menunjukkan contoh terbaik pengembangan doktrin. Alkitab mungkin tidak menggunakan kata 'Trinitas', tetapi teologi trinitarian tidak bertentangan dengan Alkitab. Sebaliknya, umat Katolik percaya bahwa trinitarianisme mengembangkan secara saksama suatu ajaran biblis bagi generasi-generasi berikutnya."[55]
Bagian ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Artikel ini hanya bersumber dari kitab suatu agama atau kepercayaan tertentu tanpa memberikan rujukan ke sumber sekunder yang menganalisisnya secara kritis. |
Kalangan nontrinitarian seperti Saksi-Saksi Yehuwa menunjuk ayat-ayat yang dimaksudkan untuk memperlihatkan kalau Yesus secara eksplisit menyatakan bahwa "Bapa lebih besar" daripada Yesus (Yoh. 14:28).[14] Kalangan nontrinitarian berargumen bahwa Yesus menolak kemahatahuan sebagai Putra (Yoh. 8:28; Mrk. 13:32), bahwa Yesus "belajar menjadi taat" (Ibr. 5:8); mempertanyakan yang disebut "baik" untuk menghormati Allah dalam kisah orang muda yang kaya (Mat. 19:16-17); mengatakan bahwa dalam Kitab Suci hanya Bapa yang disebut sebagai "satu Allah", dan "yang daripada-Nya berasal segala sesuatu" (1 Kor. 8:6); bahwa Kristus sebagai Putra disebut "yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan" (Kol. 1:15) dan "permulaan dari ciptaan Allah" (Why. 3:14); bahwa Yesus disebut naik kepada "Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allahmu" (Yoh. 20:17) dan bahwa Yesus menyebut Bapa sebagai "satu-satunya Allah yang benar" (Yoh. 17:3).
Selain itu, Yesus mengutip Ul. 6:4 ketika mengatakan dalam Mrk. 12:29 "'Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa.'" Telah dinyatakan[oleh siapa?] bahwa Mrk. 12 dalam bahasa Yunani aslinya tidak terdapat "pengubah jamak" untuk kata Yunani "esa" (eis), maka yang tercantum dalam Mrk. 12 hanyalah "esa" dalam bentuk tunggal maskulin. Dan karenanya tidak ada alasan valid untuk meyakini bahwa kata Yunani untuk "esa" dalam Ul. 6 ("echad") berarti "esa plural", sebaliknya hanya sekadar "esa" (satu) numerik.
Berkenaan dengan Perjanjian Baru, seorang Katolik dan trinitarian bernama Raymond E. Brown menuliskan bahwa Mrk. 10:18, Mat. 27:46, Yoh. 20:17, Ef. 1:17, 2 Kor. 1:3, 1 Ptr. 1:3, Yoh. 17:3, 1 Kor. 8:6, Ef. 4:4-6, 1 Kor. 12:4-6, 2 Kor. 13:14, 1 Tim. 2:5, Yoh. 14:28, Mrk. 13:32, Fil. 2:5-10, dan 1 Kor. 15:24-28 adalah "teks-teks yang tampaknya menyiratkan bahwa gelar Allah tidak digunakan untuk Yesus" serta merupakan "bukti negatif yang sering kali cenderung diabaikan dalam perlakuan Katolik terhadap subjek tersebut"; bahwa Gal 2:20, Kis. 20:28, Yoh. 1:18, Kol. 2:2, 2 Tes. 1:12, 1 Yoh. 5:20, Rom. 9:5, dan 2 Ptr. 1:1 merupakan "teks-teks yang, dengan alasan sintaksis atau varian tekstual, penggunaan 'Allah' untuk Yesus adalah meragukan"; bahwa Ibr. 1:8-9, Yoh. 1:1, dan Yoh. 20:28 merupakan "teks-teks yang jelas menyebut Yesus sebagai Allah".[56]
Kalangan trinitarian (yang meyakini bahwa Yesus Kristus berbeda dengan Allah Bapa), dan kalangan nontrinitarian yang meyakini kalau Yesus Kristus adalah Allah Yang Mahakuasa (misalnya kalangan Modalis), mengatakan bahwa pernyataan-pernyataan tersebut didasarkan pada eksistensi Yesus sebagai Putra Allah dalam daging manusia; bahwa Yesus karenanya adalah Allah sekaligus manusia, yang menjadi "sedikit lebih rendah daripada malaikat-malaikat ... bagi semua manusia" (Ibr. 2:6-9) dan bahwa Yesus mengalami pencobaan sebagaimana manusia, tetapi tidak melakukan dosa (Ibr. 4:14-16).
Beberapa kalangan nontrinitarian membantah kalau Putra memiliki keterbatasan hanya selama kehidupan di dunia dengan mengutip "Kepala dari Kristus ialah Allah" (1 Kor. 11:3), menempatkan Yesus dalam suatu posisi inferior dibandingkan Bapa sekalipun setelah Yesus bangkit dan ditinggikan. Mereka juga mengutip Kis. 5:31 dan Fil. 2:9, yang mengindikasikan bahwa Yesus dimuliakan dan ditinggikan setelah naik ke surga, serta Ibr. 9:24, Kis. 7:55, dan 1 Kor. 15:24, 28, sehubungan dengan Yesus sebagai pribadi yang berbeda di surga, tetap dengan posisi yang lebih rendah dari Bapa, setelah kenaikan Kristus.
Kalangan nontrinitarian seperti Saksi-Saksi Yehuwa berpendapat bahwa seseorang yang benar-benar berusaha untuk mengetahui kebenaran tentang Allah tidak akan menelusuri Alkitab dengan harapan menemukan suatu teks yang dapat ia tafsirkan sesuai dengan apa yang telah ia yakini. Menurut mereka, patut diperhatikan sejak awal bahwa teks-teks tersebut digunakan sebagai "bukti" kalau Trinitas tidak secara eksplisit mengajarkan kesetaraan ataupun kekekalan yang sama dalam formulasi yang jelas, dan juga bahwa kebanyakan ayat tersebut sebenarnya hanya menyebutkan dua pribadi, bukan tiga; dengan demikian kalangan nontrinitarian mengatakan bahwa sekalipun penjelasan trinitarian atas teks-teks itu benar, hal ini tidak membuktikan kalau Alkitab mengajarkan Trinitas.[57]
Yohanes 1:1 - Perbedaan pendapat mengenai ayat ini adalah seputar pembedaan antara Allah dengan Logos (atau "Firman"). Kalangan trinitarian berpendapat bahwa bagian ketiga ayat ini (Yohanes 1:1c) diterjemahkan menjadi "dan Firman itu adalah Allah", menunjuk suatu pembedaan subjek antara Allah dan Logos tetapi setara dalam kodrat.[58][59][60][61] Beberapa kalangan nontrinitarian (khususnya Saksi-Saksi Yehuwa) berpendapat bahwa frasa Yunani Koine tersebut ("kai theos ên ho logos") seharusnya diterjemahkan menjadi "dan Firman itu adalah suatu allah", atau sebagai apa yang mereka anggap terjemahan kata-demi-kata yang lebih harfiah sehingga menjadi "dan suatu Allah adalah Firman itu", mendasarkannya pada anggapan bahwa bagian tersebut merupakan contoh suatu anarthous, yaitu, "theos" tidak memiliki artikel yang pasti, artinya penggunaan kata itu tidak terbatas - "suatu allah", yang dapat mengindikasikan Allah Yang Mahakuasa ataupun suatu makhluk ilahi secara umum. Kalangan nontrinitarian juga berpendapat bahwa jika penulis Injil Yohanes ingin mengatakan "dan Firman itu adalah Allah" maka ia seharusnya menuliskan "kai ho theos ên ho logos", tetapi ia tidak melakukannya. Dengan cara demikian, kalangan nontrinitarian berpendapat bahwa Logos harus dianggap sebagai pra-eksistensi Yesus, yang sebenarnya berbeda dengan Allah. Karenanya argumen mereka adalah perbedaan antara Logos dengan Bapa tidak hanya dalam hal "pribadi", tetapi juga dalam hal "theos".[62][rujukan terbitan sendiri][63][64] Yang berarti bahwa bukan hanya mereka adalah pribadi berbeda, tetapi juga "Allah-Allah" yang berbeda, mengingat kenyataan bahwa munculnya "theos" kedua adalah suatu kata benda tak terbatas; dan bahwa hanya Bapa yang diperlakukan sebagai "Theos" absolut dalam Yohanes 1:1. Argumennya adalah hanya satu pribadi yang benar-benar disebut sebagai Allah Yang Mutlak, "ho Theos", dalam Yohanes 1:1, hakikat pribadi tersebut hanyalah Bapa, bukan Logos.[62][rujukan terbitan sendiri][64] Alternatifnya, kalangan yang lain berpendapat bahwa frasa Yunani tersebut seharusnya diterjemahkan menjadi "dan Logos adalah ilahi" (memperlakukan theos sebagai suatu kata sifat), dan hakikat Logos ditafsirkan sebagai "rencana" atau "penalaran" demi keselamatan. Dengan demikian, menurut kalangan Modalis, ketika "Firman itu telah menjadi manusia" di dalam Yoh. 1:14, tidak untuk ditafsirkan sebagai suatu pra-eksistensi Yesus yang menjelma, tetapi lebih sebagai "rencana" atau "budi yang kekal" dari Allah yang terwujud dalam kelahiran manusia Yesus. Kalangan lainnya masih mempertimbangkan suatu terjemahan yang lebih sesuai atas ayat tersebut, menjadi "dan siapa Allah adalah Firman itu".[65]
Yohanes 10:30 - Kalangan nontrinitarian seperti Arian meyakini bahwa ketika Yesus mengatakan, "Aku dan Bapa adalah satu," tidak berarti bahwa mereka benar-benar "satu substansi", atau "satu Allah", ataupun setara dan sama kekalnya, namun lebih kepada, menurut konteksnya, penggembalaan 'domba-domba', Yesus dan Bapa adalah "satu" dalam karya pastoral. Pemikiran tersebut berarti suatu "kesatuan tujuan" dalam penyelamatan 'domba-domba'. Kalangan Arian juga mengutip Yoh. 17:21 yang menuliskan doa Yesus bagi para murid: "supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita", dengan tambahan "supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu". Mereka menunjukkan bahwa Yesus menggunakan kata Yunani yang sama (hen) untuk kata "satu" di semua kasus itu dan menyatakan bahwa Yesus tidak berharap agar para pengikut-Nya secara harfiah menjadi "satu" entitas, atau "satu dalam substansi", antara satu dengan yang lainnya, atau dengan Allah, maka mereka menganggap bahwa Yesus juga tidak berharap para pendengar-Nya untuk berpikir bahwa Ia dan Allah Bapa adalah "satu" entitas. Kalangan Arian bersikeras bahwa kesatuan dalam konteks tersebut berarti satu kesatuan dalam tujuan, kasih, misi, dan karya ilahi.
Yohanes 20:28-29 - "Tomas menjawab Dia: 'Ya Tuhanku dan Allahku!' Kata Yesus kepadanya: 'Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.'" Karena Tomas menyebut Yesus "Allah", pernyataan Yesus dibuat untuk mendukung penegasan Tomas. Kalangan nontrinitarian umumnya beralasan bahwa adalah masuk akal kalau Tomas menyebut Tuhan Yesus dan kemudian Bapa. Menurut mereka, kemungkinan jawaban lain adalah bahwa Yesus sendiri mengatakan, "Tidakkah ada tertulis dalam kitab Taurat kamu: Aku telah berfirman: Kamu adalah allah? (Yoh. 10:34) dengan mengacu pada Mzm. 82:6-8. Kata "allah" dalam ayat 6 dan "Allah" dalam ayat 8 merupakan kata Ibrani yang sama ("'elohim"),[66] yang berarti, "allah dalam pengertian umum; namun secara khusus digunakan (dalam bentuk jamak karenanya, terutama dengan artikel) untuk Allah mahatinggi; kadang-kadang diterapkan sebagai penghormatan kepada para magistrat; dan terkadang sebagai suatu superlatif",[67] namun dapat juga secara umum merujuk pada kekuasaan dan penguasa, atau sebagai "Allah, allah/dewa, allah-allah, para penguasa, hakim, ataupun malaikat",[66] dan juga sebagai "yang ilahi, dewi, yang seperti allah".[68]
2 Korintus 13:14 - "Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian." Ayat ini dijadikan argumen oleh kalangan trinitarian bahwa karena "Bapa, Putra, dan Roh Kudus" secara sekaligus disebutkan bersama dalam doa Paulus demi Kasih karunia bagi semua orang percaya, dan tentunya penting demi keselamatan, maka ketiganya tentu membentuk satu Ketuhanan tritunggal, dan karenanya harus setara dan sama kekalnya. Kalangan nontrinitarian seperti Arian menanggapi bahwa mereka tidak setuju jika ketiganya diperlukan demi keselamatan dan kasih karunia (rahmat), dan ayat ini tidak secara eksplisit mengatakan bahwa ketiganya setara dan sama kekal, ataupun harus demikian. Mereka berargumen kalau hal itu hanyalah suatu asumsi logis bahwa hanya karena ketiganya disebutkan bersama-sama dan adalah penting, maka ketiganya harus ipso facto membentuk satu Ketuhanan yang setara.[69]
Filipi 2:5-6 - "Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan" (TB). Kata yang diterjemahkan dalam Terjemahan Baru sebagai "milik yang harus dipertahankan" adalah ἁρπαγμόν. Terjemahan dalam bahasa Inggris atas kata tersebut diperlihatkan dalam Holman Christian Standard Bible: "Make your own attitude that of Christ Jesus, who, existing in the form of God, did not consider equality with God as something to be used for His own advantage" [atau "to be grasped", atau "to be held on to"].[70] Terjemahan dalam Alkitab Raja James (KJV) menyebutkan: "Let this mind be in you, which was also in Christ Jesus: Who, being in the form of God, thought it not robbery to be equal with God."[71] Seorang komentator daring mengkritik KJV karena menyampaikan suatu pemikiran yang menurutnya bertentangan dengan apa yang sebenarnya dikatakan, dan berpendapat bahwa teks tersebut seharusnya: "Let this mind be in you, which also was in Christ Jesus, who, being in the form of God, did not consider equality with God as something to be grasped after".[72]
Ibrani 9:14 – "Betapa lebihnya darah Kristus, yang oleh Roh yang kekal telah mempersembahkan diri-Nya sendiri kepada Allah sebagai persembahan yang tak bercacat, akan menyucikan hati nurani kita dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia, supaya kita dapat beribadah kepada Allah yang hidup." Kebanyakan kalangan nontrinitarian mengakui bahwa Roh Kudus tidak memiliki awal, tetapi meyakini bahwa Roh Kudus bukan sungguh-sungguh pribadi sebagaimana Bapa. Mereka juga setuju kalau ketiganya penting, tetapi bersikeras bahwa jelas Allah Bapa adalah pokok, dan yang menjadi tujuan akhir seseorang, dan karenanya, kendati semuanya ilahi dan penting, "Allah [Bapa] yang hidup" tetap lebih besar daripada kedua entitas lainnya. Dan bahwa suatu "trinitas yang setara" tetap saja tidak diajarkan secara eksplisit di dalam ayat ini, tetapi sekadar disimpulkan ataupun diasumsikan.[73]
Bagian ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Kalangan nontrinitarian menyatakan bahwa doktrin Trinitas bersandar pada terminologi non-Biblika, bahwa istilah "Trinitas" tidak terdapat dalam Kitab Suci dan nomor tiga tidak pernah dengan jelas dikaitkan secara pasti dengan Allah, selain di dalam Comma Johanneum yang autentisitasnya diperdebatkan. Mereka berpendapat bahwa satu-satunya nomor di dalam Alkitab yang jelas diatribusikan kepada Allah adalah satu, dan bahwa Trinitas, secara harfiah berarti tiga-dalam-satu, mengaitkan suatu ketritunggalan yang setara kepada Allah yang tidak secara eksplisit tercantum dalam Alkitab.
Kalangan nontrinitarian menyebutkan contoh-contoh istilah lainnya yang tidak ditemukan di dalam Alkitab; beberapa "pribadi" sehubungan dengan Allah, yaitu istilah "Allah Anak" ("Allah Putra"), "Allah-Manusia", "Allah Roh Kudus", "Putra yang kekal", dan "diperanakkan dalam kekalan". Kendali istilah trinitarianisme hipostasis (pribadi) ditemukan dalam Alkitab, namun hanya digunakan sekali untuk mengacu pada AllahIbr. 1:3 yang menyatakan bahwa Yesus adalah "gambar wujud [pribadi] Allah". Alkitab tidak secara eksplisit menggunakan istilah tersebut dalam kaitannya dengan Roh Kudus ataupun secara eksplisit menyebutkan kalau Putra memiliki suatu hipostasis yang berbeda dengan Bapa.
Konsili Nicea I menyertakan dalam Kredonya istilah utama homoousios (dari esensi yang sama), yang juga digunakan oleh Konsili Kalsedon untuk menyampaikan konsubstansialitas ganda Kristus, "yang sehakikat (konsubstansial) dengan Bapa dalam keilahian-Nya dan sehakikat dengan kita dalam kemanusiaan-Nya".[74] Kalangan nontrinitarian menerima apa yang ditulis Pier Franco Beatrice: "Tesis utama dari makalah ini adalah bahwa homoousios datang langsung dari latar belakang Hermetik Konstantinus. [...] Pemanggilan Plato kembali oleh Konstantinus adalah sekadar suatu nama yang digunakan untuk menyelubungi secara tepat teologi Hermetik dan Mesir "konsubstansialitas" dari Logos-Putra dengan Nous-Bapa, memanfaatkan suatu argumen apologetik tradisional. Pada tahun-tahun merebaknya kontroversi Arian, Laktansius mungkin telah memainkan suatu peran yang menentukan dalam mempengaruhi interpretasi Hermetik Konstantinus atas teologi Plato dan sebagai konsekuensinya keputusan sang kaisar untuk menyisipkan homoousios dalam Kredo Nicea."[75]
Kalangan trinitarian memandang ketiadaan kata aktual "Trinitas" dan istilah-istilah lain terkait Trinitas di dalam Alkitab sebagai suatu hal yang tidak lebih berarti daripada ketiadaan kata "monoteisme", "kemahakuasaan", "keesaan", "Pentakostal", "apostolik", "inkarnasi" di dalam Alkitab, dan bahkan kata "Alkitab" itu sendiri.[76][77] Mereka juga berargumen bahwa, "sekalipun kata Trinitas tidak terdapat dalam Alkitab, substansi doktrin tersebut pastinya alkitabiah".[50][55][78]
Pandangan-pandangan nontrinitarian mengenai Roh Kudus berbeda dalam cara-cara tertentu dengan doktrin Kristen arus utama dan umumnya dikelompokkan ke dalam beberapa kategori berbeda. Menurut tradisi, kebanyakan ayat kitab suci yang digunakan untuk mendukung pandangan mengenai Trinitas mengacu pada Bapa dan Putra, bukan pada Roh Kudus.
Kelompok-kelompok dengan teologi Unitarian seperti Socinian, Gereja Unitarian dari abad ke-19, dan Kristadelfian, memahami Roh Kudus bukan sebagai suatu pribadi tetapi sebagai salah satu aspek kuasa Allah.[79] Kristadelfian meyakini bahwa frasa Roh Kudus mengacu pada budi/karakter atau kuasa Allah, tergantung konteksnya.[19]
Walaupun Arius sendiri meyakini bahwa Roh Kudus adalah suatu pribadi ataupun Malaikat berperingkat tinggi, yang memiliki suatu awal mula, kalangan Arian ataupun Semi-Arian seperti Dawn Bible Students Association dan Saksi-Saksi Yehuwa, sama seperti kelompok-kelompok Unitarian, meyakini bahwa Roh Kudus adalah bukan suatu pribadi yang sebenarnya tetapi adalah "kuasa bertindak" Allah, "energi" atau "napas" ilahi, yang tidak memiliki awal mula, yang digunakan Allah untuk melaksanakan kehendak-Nya. Biasanya mereka tidak menggunakan huruf besar pada istilah tersebut.[80] Mereka mendefinisikan Roh Kudus sebagai "tenaga aktif Allah", dan meyakini kalau Roh Kudus hanya berasal dari Bapa.[80]
Penganut Armstrongisme, misalnya Living Church of God, meyakini bahwa Logos dan Allah Bapa setara dan sama kekalnya, tetapi mereka tidak meyakini bahwa Roh Kudus adalah suatu pribadi yang sebenarnya, sebagaimana Bapa dan Putra. Mereka meyakini bahwa Roh Kudus adalah Kuasa, Pikiran, atau Karakter Allah, tergantung pada konteksnya. Mereka mengajarkan, "Roh Kudus adalah benar-benar esensi, budi, hidup dan kuasa Allah. [Roh Kudus] bukanlah suatu Hakikat. Roh ini ada di dalam Bapa dan Putra, dan berasal dari Mereka ke seluruh alam semesta". Kalangan Kristen arus utama mengkarakterisasi ajaran ini sebagai bidah Binitarianisme, ajaran bahwa Allah adalah suatu "Dualitas", atau "dua-dalam-satu", bukannya tiga.[81]
Pentakostalisme Keesaan, sebagaimana kelompok modalis lainnya, mengajarkan bahwa Roh Kudus adalah suatu mode Allah, bukannya suatu pribadi yang terpisah atau berbeda dalam Ketuhanan. Mereka mengajarkan bahwa Roh Kudus adalah nama lain Allah Bapa. Menurut teologi Keesaan, Roh Kudus pada dasarnya adalah Bapa, beroperasi dalam suatu manifestasi atau kapasitas tertentu. United Pentecostal Church mengajarkan bahwa tidak ada perbedaan pribadi antara Allah Bapa, Putra, dan Roh Kudus.[82][83][84]
Gelar "Bapa" dan "Roh Kudus" (sebagaimana gelar lainnya) tidak mencerminkan "pribadi-pribadi" terpisah di dalam Ketuhanan, tetapi lebih kepada dua cara berbeda yang di dalamnya satu Allah menyatakan diri-Nya kepada makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Oleh karena itu, menurut teologi Keesaan, ketika Perjanjian Lama berbicara tentang "Tuhan Allah" dan "Roh-Nya" sebagaimana dalam Yes. 48:16, hal tersebut tidak mengindikasikan dua "pribadi". Sebaliknya, "Tuhan" mengindikasikan Allah dalam segala transendensi dan kemuliaan-Nya, sementara "Roh Kudus" mengacu pada Roh Allah sendiri yang bergerak dan berbicara kepada sang nabi. Pandangan Keesaan adalah bahwa hal ini tidak lagi berarti dua "pribadi" sebagaimana ditunjukkan sejumlah referensi kitab suci mengenai seseorang dan roh atau jiwanya (seperti dalam Luk. 12:19) yang mengimplikasikan dua "pribadi" di dalam satu tubuh.[85]
Dalam Gerakan Orang Suci Zaman Akhir, sekumpulan kelompok independen yang berasal dari suatu gerakan primitivis Kristen yang didirikan oleh Joseph Smith pada tahun 1830, Roh Kudus ("Holy Ghost", biasanya diidentikkan dengan Holy Spirit)[86] dianggap sebagai anggota tersendiri yang ketiga dari Ketuhanan (Bapa, Putra, dan Roh Kudus),[87] dan memiliki suatu tubuh dari "roh",[88] yang menjadikan-Nya tidak seperti Bapa dan Putra yang dikatakan memiliki tubuh-tubuh "senyata [tubuh] manusia".[89] Menurut doktrin mereka, Roh Kudus diyakini sebagai suatu pribadi,[89][90] dengan suatu tubuh dari roh, mampu merasuki seluruh dunia.[91]
Gerakan Orang Suci Zaman Akhir meyakini bahwa Roh Kudus adalah bagian dari "Sidang Ilahi", tetapi Bapa lebih besar daripada Putra maupun Roh Kudus dalam hal posisi dan otoritas, bukan dalam hal kodrat (mereka sama-sama memiliki kesetaraan kodrat "Allah").[91] Menurut ajaran resmi mereka, Bapa, Putra, dan Roh Kudus adalah tiga entitas dengan kesadaran diri masing-masing, terpisah secara ontologis, sama-sama memiliki suatu kodrat "Allah" yang berbeda dengan kodrat "manusia", yang adalah "Satu Allah" dalam suatu pengertian nonmatematis (sama seperti seorang suami dan istrinya seharusnya menjadi "satu" dalam suatu pengertian nonmatematis). Karena hal ini, beberapa kalangan memandang teologi Orang Suci Zaman Akhir sebagai salah satu bentuk "triteisme".
Bagaimanapun, sejumlah denominasi Orang Suci Zaman Akhir, terutama Community of Christ (denominasi Orang Suci Zaman Akhir terbesar kedua) dan Church of Christ (Temple Lot),[92] serta denominasi-denominasi yang memisahkan diri dari Community of Christ dan Church of Christ, menganut teologi trinitarian tradisional Protestan.
Unity Church menginterpretasikan istilah religius Bapa, Putra, dan Roh Kudus secara metafisik, sebagai tiga aspek tindakan budi: budi, gagasan, dan ekspresi. Mereka percaya bahwa hal ini merupakan proses yang melaluinya segala manifestasi terjadi.[93]
Sebagai suatu gerakan yang berkembang dari Kekristenan, Rastafari memiliki interpretasi yang unik mengenai Trinitas Kudus maupun Roh Kudus. Kendati terdapat beberapa variasi kecil, mereka umumnya menyatakan bahwa adalah Haile Selassie yang memanifestasikan Allah Bapa dan Allah Putra, sementara Roh Kudus (atau lebih tepatnya, "Hola") dapat ditemukan di dalam diri orang-orang beriman Rasta (lih. 'Aku dan Aku'), dan di dalam diri setiap manusia. Penganut Rasta juga mengatakan bahwa gereja yang sejati adalah tubuh manusia, dan bahwa gereja (atau "struktur") tersebut yang mengandung Roh Kudus.
Doktrin Trinitas merupakan bagian integral dalam perbedaan pendapat antaragama dengan kedua agama Abrahamik utama yang lain, Yudaisme dan Islam; yang pertama disebutkan menolak sepenuhnya misi ilahi Yesus, dan yang terakhir disebutkan menerima Yesus sebagai seorang nabi manusia dan Al-Masih (Mesias) tetapi bukan sebagai putra Allah, kendati menerima kelahirannya dari seorang perawan. Konsep tentang trinitas yang setara ditolak sepenuhnya, ayat-ayat Al-Qur'an menyebutkan kalau pandangan mengenai Trinitas merupakan penghujatan.[94]
Penolakan terhadap doktrin Trinitas mengarah pada perbandingan antara teologi nontrinitarian Yudaisme dan Islam. Sebagai contoh, pada suatu artikel tahun 1897 yang diterbitkan dalam The Jewish Quarterly Review, Montefiore mendeskripsikan Unitarianisme sebagai jembatan antara Yudaisme dan Kekristenan arus utama, menyebutnya sebagai suatu "fase Yudaisme" sekaligus suatu "fase Kekristenan".[95] Berkenaan dengan Islam, Islam perdana pada awalnya dianggap sebagai salah satu varian dari Arianisme, salah satu bidah dalam Kekristenan Ortodoks dan Katolik, oleh kaisar Bizantin pada tahun 600-an. Pada tahun 700-an, banyak penganut Arian di Spanyol yang memandang Muhammad sebagai seorang nabi. Pada pertengahan tahun 1500-an, banyak penganut unitarian Socinian yang diduga memiliki kecenderungan pada Islam. Kaum Socinian memuji Islam, kendati menganggap Al-Qur'an mengandung kesalahan-kesalahan, karena keyakinannya akan kemanunggalan Allah. Bilal Cleland mengklaim bahwa "seorang penulis anonim" dalam Sebuah Surat Resolusi tentang Doktrin Trinitas dan Inkarnasi (1693) menyatakan kalau jumlah penganut Islam yang lebih banyak dan keunggulan militernya disebabkan karena lebih ketat dalam mempertahankan doktrin yang benar daripada Kekristenan arus utama.[96]
Kalangan Kristen Trinitaris meliputi sebagian besar umat beriman dalam tradisi Kristen. Karena banyak kalangan Kristen Trinitaris memandang doktrin Trinitas sebagai bagian yang tak terpisahkan dari iman Kristen, penganut Nontrinitaris sering kali tidak dipandang sebagai umat Kristen oleh penganut Trinitaris.[97]
Bagian ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Orang Mesir kuno, yang pengaruhnya pada pemikiran religius awal dianggap mendalam, biasanya meyusun dewa dan dewi mereka dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari tiga dewa/dewi, atau trinitas: terdapat trinitas Osiris, Isis, dan Horus, trinitas Amun, Mut, dan Khonsu, dan trinitas Khnum, Satet, dan Anuket.
Beberapa kalangan nontrinitarian[siapa?] juga mengatakan bahwa suatu hubungan antara doktrin Trinitas dengan para teolog Kristen Mesir dari Aleksandria menunjukkan kalau teologi Aleksandrian, dengan penekanannya yang kuat pada keilahian Yesus, memiliki peranan dalam menanamkan warisan religius pagan Mesir ke dalam Kekristenan. Mereka menuduh Gereja mengadopsi ajaran-ajaran Mesir tersebut setelah mengadaptasinya ke dalam pemikiran Kristen dengan memanfaatkan filsafat Yunani.[98]
Mereka mengatakan bahwa terdapat banyak pengaruh Platonis dan Yunani dalam pengembangan gagasan Ketuhanan tritunggal yang setara, banyak konsep dasar dari filsafat Aristotelian yang dipadukan dan dimasukkan ke dalam Allah Alkitabiah. Sebagai salah satu bukti, mereka mengatakan bahwa Aristoteles sendiri mengatakan: "Semua hal ada tiga, dan tiga kali adalah semua: dan mari kita menggunakan nomor ini dalam ibadah kepada allah-allah; karena, sebagaimana dikatakan para Pythagorean, segala sesuatu dan semua hal terikat tiga-tiga, sebab yang akhir, yang tengah, dan yang awal memiliki nomor ini dalam segala sesuau, serta hal ini menyusun nomor Trinitas."[99][100]
Kata-kata yang karenanya dikaitkan dengan Aristoteles itu berbeda dalam banyak cara dari apa yang telah dipublikasikan sebagai teks asli sang filsuf dalam bahasa Yunani,[101][102][103] yang umpamanya tidak ada yang bersesuaian dengan "mari kita menggunakan nomor ini dalam ibadah kepada allah-allah" sebelum menyebutkan para Pythagorean. Selain itu juga berbeda dengan berbagai terjemahan karya-karya Aristoteles oleh para akademisi seperti Stuart Leggatt, W. K. C. Guthrie, J. L. Stocks, Thomas Taylor dan Jules Barthélemy-Saint-Hilaire. Terjemahan-terjemahan independen namun konkordan oleh Guthrie dan Stocks dari apa yang dituliskan Aristoteles, dalam Tentang Langit karyanya, mengenai apa yang ia anggap tiga dimensi satu-satunya dipandang sebagai "terjemahan-terjemahan Inggris yang baik",[104] dan suatu perbandingan dengan bagian dari kata-kata di atas itu yang dikaitkan dengan Aristoteles memperlihatkan bagaimana yang terakhir disebutkan menyimpang.
Terjemahan Guthrie adalah: "Ukuran yang dapat dibagi dalam satu arah ialah suatu garis, dalam dua arah ialah suatu permukaan, dalam tiga arah ialah suatu badan. Tidak ada ukuran yang tidak termasuk dalam hal-hal ini; karena tiga ialah semua, dan 'dalam tiga arah' ialah sama dengan 'ke segala arah'. Hal itu sama seperti yang dikatakan para Pythagorean, seluruh dunia dan segala sesuatu di dalamnya terangkum dalam nomor tiga tersebut; karena akhir, tengah, dan awal menyajikan nomor dari keseluruhan, dan nomor tersebut ialah tiga serangkai. Oleh karena itulah kita telah mengambil nomor ini dari alam, seolah-olah merupakan hukum-hukumnya, dan kita bahkan memanfaatkannya untuk ibadah kepada allah-allah."[105]
Terjemahan Stocks adalah: "Suatu ukuran jika dapat dibagi dalam satu cara ialah suatu garis, jika dua cara suatu permukaan, dan jika tiga suatu badan. Di luar hal-hal ini tidak ada ukuran lainnya, karena ketiga dimensi ialah semua yang ada, dan yang dapat dibagi dalam tiga arah dapat dibagi dalam semua. Sebab, sebagaimana dikatakan para Pythagorean, dunia dan segala sesuatu yang ada di dalamnya ditetapkan oleh nomor tiga itu, karena awal dan tengah dan akhir menyajikan nomor dari suatu 'semua', dan nomor yang disajikannya itu ialah tiga serangkai. Dan demikianlah, setelah mengambil ketiganya dari alam sebagaimana (dapat dikatakan) hukum-hukumnya, kita memanfaatkan nomor tiga itu lebih lanjut dalam ibadah kepada allah-allah."[106]
Beberapa kalangan antitrinitarian juga mencatat bahwa Plato sang filsuf Yunani percaya akan suatu "ketritunggalan" istimewa dalam hidup dan dalam alam semesta. Dalam Phaedo karyanya, Plato memperkenalkan istilah "tiga serangkai" (bahasa Yunani: τριάς),[107] yang mereka terjemahkan menjadi "trinitas". Istilah tersebut diadopsi oleh orang-orang Kristen yang dikatakan berasal dari abad ke-3 dan ke-4 dengan arti yang kurang lebih bersesuaian dengan "Bapa, Putra, dan Roh (Jiwa)".[108] Kalangan nontrinitarian bersikeras bahwa gagasan dan adopsi semacam itu menjadikan doktrin Trinitas mencurigakan, sebagai konsep yang tidak Alkitabiah, tetapi ekstra-Alkitabiah.
Sebagai bukti akan hal tersebut, mereka mengatakan bahwa terdapat suatu sintesis yang diakui secara luas antara Kekristenan dengan filsafat Platonis yang terlihat dalam formula-formula trinitarian yang muncul pada akhir abad ke-3. Oleh karena itu, klaim mereka, sejak periode Konstantinian ide-ide pagan tersebut diterapkan secara paksa pada gereja-gereja sebagaimana doktrin Katolik berakar kuat dalam dasar Helenisme. Sebagian besar kelompok yang menganut teori Kemurtadan Besar pada umumnya sepakat dengan tesis tersebut.
Para apologis awal, misalnya Yustinus Martir, Tertulianus, dan Ireneus, sering membahas kesejajaran dan kekontrasan antara Kekristenan, Paganisme, dan agama sinkretis lainnya, serta menanggapi berbagai tuduhan peminjaman ide-ide dari paganisme dalam tulisan-tulisan apologetik mereka.
Para pendukung argumen "pengaruh Helenis" berupaya untuk menelusuri pengaruh dari para filsuf Yunani, seperti Plato ataupun Aristoteles, yang menurut mereka mengajarkan suatu "ketritunggalan" yang esensial dari Realitas Tertinggi, dan juga konsep "asal mula dari kekekalan", yang merupakan "kelahiran tanpa menjadi". Mereka mengatakan bahwa para teolog dari abad ke-4, misalnya Atanasius dari Aleksandria, menginterpretasikan Alkitab melalui suatu filter Platonis Tengah dan kemudian Neoplatonisme.
Argumen mereka adalah banyak orang Kristen abad ke-3 dan ke-4 yang memadukan filsafat pagan Yunani dengan Kitab Suci, memasukkan Platonisme ke dalam konsep mereka tentang Allah Alkitabiah dan Kristus Alkitabiah. Para pendukung argumen ini menunjuk pada apa yang mereka lihat sebagai kesamaan antara filsafat Helenistik dengan Kekristenan pasca-Apostolik, dengan memeriksa faktor-faktor berikut:
Para apologis tersebut mulai mengklaim bahwa budaya Yunani, sebagaimana Perjanjian Lama, merujuk pada dan disempurnakan dalam pesan Kristen. Proses ini dilakukan paling menyeluruh dalam sintesis Klemens dari Aleksandria. Hal itu dapat dilakukan dengan beberapa cara. Anda dapat menelusuri literatur Yunani, dan menemukan (terutama dalam [karya] para penyair dan pelihat tertua) referensi-referensi mengenai 'Allah' yang lebih kompatibel dengan monoteisme daripada dengan politeisme (maka secara terperinci [terdapat dalam karya] Atenagoras). Anda dapat menyusun suatu kronologi umum antara legenda-legenda Yunani prasejarah (Homeros) dan catatan biblis (maka Teofilus). Anda dapat mengadaptasi suatu karya apologetik Yahudi pra-Kristen, yang mengklaim bahwa Plato dan para filsuf Yunani mendapatkan ide-ide terbaik mereka secara tidak langsung dari ajaran-ajaran Musa dalam Alkitab, yang adalah jauh lebih awal. Teori ini mengombinasikan keuntungan dari menjadikan para tokoh Yunani itu para penjiplak (dan karenanya kelas dua ataupun kriminal), seraya mengklaim bahwa mereka mendukung Kekristenan melalui argumen-argumen mereka setidaknya dalam kurun waktu tertentu. Hal itu utamanya diterapkan pada pertanyaan mengenai Allah.[109]
Sekarang dengan ajaran sesat dari para Ariomaniak, yang telah merusak Gereja Allah...Mereka ini mengajarkan tiga hipostasis, sama seperti yang diciptakan oleh Valentinus si penyesat dalam buku yang ia beri judul 'Tentang Tiga Kodrat'. Sebab ia adalah orang pertama yang menciptakan tiga hipostasis dan tiga pribadi Bapa, Putra, dan Roh Kudus, dan ia didapati telah mencurinya dari Hermes dan Plato.[112]
Bagian Alkitab yang lazim dikutip oleh para penentang paham Tritunggal merupakan ayat-ayat yang dalam anggapan mereka adalah hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah Bapa. Selain itu, terdapat ayat-ayat lain yang mengesankan bahwa Yesus adalah seorang makhluk ciptaan dan tidak sehakikat dengan Allah Bapa. Berikut adalah ayat-ayat Alkitab yang dikatakan lazim dikutip oleh mereka:
Bagian ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Bagian ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.