Loading AI tools
agama yang secara luas dipraktikkan di anak benua India Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Agama Hindu merupakan kepercayaan dominan di Asia Selatan, terutama di India dan Nepal, yang mengandung beraneka ragam tradisi. Kepercayaan ini meliputi berbagai aliran, di antaranya Saiwa, Waisnawa, dan Sakta, serta suatu pandangan luas akan Dharmasastra tentang "moralitas sehari-hari" yang berdasar pada karma, darma, dan norma kemasyarakatan. Hinduisme cenderung seperti himpunan berbagai pandangan filosofis atau intelektual, daripada seperangkat keyakinan yang baku dan seragam seperti pada agama Abrahamik.[1]
Bagian dari seri |
Agama Hindu |
---|
Hinduisme diklaim sebagian orang sebagai "agama tertua" di dunia yang masih bertahan hingga kini,[lower-alpha 1] dan umat Hindu menyebut agamanya sendiri sebagai Sanātana-dharma (Dewanagari: सनातन धर्म),[lower-alpha 2] artinya "darma abadi" atau "jalan abadi"[11] yang melampaui asal mula manusia.[12] Agama ini menyediakan kewajiban "kekal" untuk diikuti oleh seluruh umatnya—tanpa memandang strata, kasta, atau sekte—seperti kejujuran, kesucian, dan pengendalian diri.
Para ahli dari barat memandang Hinduisme sebagai peleburan atau sintesis dari berbagai tradisi dan kebudayaan di India, dengan pangkal yang beragam dan tanpa tokoh pendiri. Pangkal-pangkalnya meliputi Brahmanisme (agama Weda Kuno), agama-agama masa peradaban lembah Sungai Indus, dan tradisi lokal yang populer. Sintesis tersebut muncul sekitar 500–200 SM, dan tumbuh berdampingan dengan agama Buddha hingga abad ke-8. Dari India Utara, "Sintesis Hindu" tersebar ke selatan, hingga sebagian Asia Tenggara. Hal itu didukung oleh Sanskritisasi. Sejak abad ke-19, di bawah dominansi kolonialisme Barat serta Indologi (saat istilah "Hinduisme" mulai dipakai secara luas[13]), agama Hindu ditegaskan kembali sebagai tempat berhimpunnya aneka tradisi yang koheren dan independen. Pemahaman populer tentang agama Hindu digiatkan oleh gerakan "modernisme Hindu", yang menekankan mistisisme dan persatuan tradisi Hindu. Ideologi Hindutva dan politik Hindu muncul pada abad ke-20 sebagai kekuatan politis dan jati diri bangsa India.
Praktik keagamaan Hindu meliputi ritus sehari-hari (contohnya puja [sembahyang] dan pembacaan doa), perayaan suci pada hari-hari tertentu, dan penziarahan. Kaum petapa yang disebut sadu (orang suci) memilih untuk melakukan tindakan yang lebih ekstrem daripada umat Hindu pada umumnya, yaitu melepaskan diri dari kesibukan duniawi dan melaksanakan tapa brata selama sisa hidupnya demi mencapai moksa.
Susastra Hindu diklasifikasikan ke dalam dua kelompok: Sruti (apa yang "terdengar") dan Smerti (apa yang "diingat"). Susastra tersebut memuat teologi, filsafat, mitologi, yadnya (kurban), prosesi ritual, dan bahkan kaidah arsitektur Hindu.[14] Kitab-kitab utama di antaranya adalah Weda, Upanishad (keduanya tergolong Sruti), Mahabharata, Ramayana, Bhagawadgita, Purana, Manusmerti, dan Agama (semuanya tergolong Smerti).[14]
Dengan penganut sekitar 1 miliar jiwa,[15] agama Hindu merupakan agama terbesar ketiga di dunia, setelah Kristen dan Islam.
Dalam teks berbahasa Arab, al-Hind adalah istilah yang digunakan untuk menyebut suku bangsa di suatu daerah yang kini disebut India, sedangkan 'Hindu' atau 'Hindoo' digunakan sejak akhir abad ke-18 dan seterusnya oleh orang Inggris untuk menyebut penduduk 'Hindustan', yaitu bangsa di sebelah barat daya India. Akhirnya, 'Hindu' menjadi istilah padanan bagi 'orang India' yang bukan Muslim, Sikh, Jaina, atau Kristen, sehingga mencakup berbagai penganut dan pelaksana kepercayaan tradisional yang berbeda-beda. Akhiran '-isme' ditambahkan pada kata Hindu sekitar tahun 1830-an untuk merujuk pada kebudayaan dan agama kasta brahmana yang berlainan dengan agama lainnya, dan kemudian istilah tersebut diterima oleh orang India sendiri dalam hal membangun jati diri bangsa untuk menentang kolonialisme, meski istilah 'Hindu' pernah dicantumkan dalam babad berbahasa Sanskerta dan Bengali sebagai antonim bagi 'Yawana' atau Muslim, sekitar awal abad ke-16.
—Gavin Flood, An Introduction to Hinduism.[16]
Kata Hindu (melalui bahasa Persia) berasal dari kata Sindhu dalam bahasa Sanskerta, yaitu nama sebuah sungai di sebelah barat daya Subbenua India—sebagian besar alirannya terletak di wilayah negara Pakistan—yang dalam bahasa Inggris disebut Indus.[16][lower-alpha 3] Menurut Gavin Flood, pada mulanya istilah 'hindu' muncul sebagai istilah geografis bangsa Persia untuk menyebut suku bangsa yang tinggal di seberang sungai Sindhu.[16] Para sejarawan pun menyebut peradaban suku tersebut sebagai Peradaban Lembah Indus. Maka dari itu, awalnya istilah 'Hindu' merupakan istilah geografis dan tidak mengacu pada suatu agama.
Kata Hindu diserap oleh bahasa-bahasa Eropa dari istilah Arab al-Hind, dan mengacu kepada negeri bagi bangsa yang mendiami daerah sekitar Sungai Sindhu.[19] Istilah Arab tersebut berasal istilah Persia Hindū, yang mengacu kepada seluruh suku di India. Pada abad ke-13, Hindustan muncul sebagai nama alternatif India yang acap disebutkan, yang memiliki arti "Negeri para Hindu".[20]
Istilah agama Hindu kemudian sering digunakan dalam beberapa teks berbahasa Sanskerta seperti Rajatarangini dari Kashmir (Hinduka, ca 1450) dan beberapa teks mazhab Gaudiya Waisnawa dari abad ke-16 hingga ke-18 yang berbahasa Bengali, seperti Caitanyacaritamerta dan Caitanyabhagawata. Istilah itu digunakan untuk membedakan Hindu dengan Yawana atau Mleccha.[21] Sejak abad ke-18 dan seterusnya, istilah Hindu digunakan oleh para kolonis dan pedagang dari Eropa untuk menyebut para penganut agama tradisional India secara umum. Istilah Hinduism diserap ke dalam bahasa Inggris pada abad ke-19 untuk menyebut tradisi keagamaan, filasat, dan kebudayaan asli India.
Studi tentang India beserta kebudayaan dan agamanya—demikian pula definisi "Hinduisme"—telah dibentuk oleh minat kolonialisme, serta gagasan orang Barat tentang agama tersebut.[22][23] Sejak 1990-an, pengaruh-pengaruh beserta dampaknya telah menjadi topik perdebatan di kalangan ahli Hindu,[22] dan turut dicampuri oleh kritik-kritik terhadap India menurut pandangan Barat.[24] Karena istilah tersebut melingkupi berbagai tradisi dan gagasan yang luas, maka sulit untuk memperoleh definisi yang komprehensif.[16] Tanpa keseragaman, Hinduisme didefinisikan sebagai agama, tradisi keagamaan, dan seperangkat kepercayaan religius.[25]
Gagasan untuk sebuah sebutan umum bagi beberapa aliran kepercayaan dan tradisi di India sudah mendapat perhatian sejak abad ke-12.[26][27] Gagasan "Hinduisme" sebagai "tradisi keagamaan dunia yang tunggal" dipopulerkan pada abad ke-19 oleh Indolog Eropa yang mengacu kepada "kasta-kasta brahmana" sebagai informasi mereka tentang agama-agama di India.[28] Hal ini mengacu pada suatu kecenderungan untuk menegaskan sastra dan keyakinan terhadap Weda sebagai "esensi" bagi praktik keagamaan Hindu pada umumnya, serta bagi hubungan 'doktrin Hindu' masa kini dengan berbagai perguruan Wedanta (khususnya Adwaita Wedanta).[23]
Kolonialisme telah menjadi faktor signifikan dalam pengaruh kasta brahmana dan "brahmanisasi" dalam masyarakat Hindu. Adat kaum brahmana juga memengaruhi pengertian Hinduisme di mata orang Eropa. Kaum brahmana melestarikan kitab-kitab Hindu yang kemudian diteliti oleh orang-orang Eropa. Kewenangan kitab-kitab tersebut telah menjadi sasaran penelitian orang Eropa. Penetapan basis-basis tekstual agama Hindu oleh kaum orientalis Eropa didasari oleh kecenderungan untuk mengacu kepada otoritas tertulis daripada otoritas lisan. Kaum Brahmana dan ilmuwan Eropa memiliki persepsi yang sama tentang "suatu deklinasi umum dari sebuah agama yang mulanya murni".[22]
Bagi orang Hindu, Hinduisme adalah jalan hidup tradisional.[30] Banyak penganutnya yang menyebut Hinduisme sebagai Sanātana-dharma, artinya "darma yang abadi" atau "jalan yang abadi".[11] Istilah ini mengacu kepada kewajiban "abadi" yang harus dijalankan oleh seluruh umat Hindu—tanpa memandang derajat, kasta, atau sekte/aliran—seperti kejujuran, tidak menyakiti makhluk hidup, menjaga kesucian, berniat baik, pemaaf, bersabar, mengendalikan nafsu, mengendalikan diri sendiri, murah hati, dan bertafakur. Ini berbeda dengan swadarma, artinya "darma seseorang", yaitu kewajiban yang harus dijalankan sesuai aliran yang diikuti dan tingkatan kehidupan.[31] Menurut Kim Knott, perihal darma ini mengacu pada gagasan bahwa sumbernya melampaui sejarah umat manusia, dan kebenarannya disampaikan oleh Tuhan (Sruti) serta diwariskan dari zaman ke zaman, hingga masa kini, dalam suatu kumpulan kitab tertua di dunia, yaitu Weda.[12]
Menurut Encyclopædia Britannica:
Pada masa kini, istilah [Sanatana-dharma] itu pun digunakan oleh para pemuka, reformis, dan nasionalis Hindu untuk menyebut Hinduisme sebagai suatu agama dunia yang bersatu. Maka dari itu, Sanatana-dharma menjadi sinonim bagi kebenaran dan ajaran Hindu yang "abadi", yang kemudian dipahami bahwa tidak hanya transenden bagi sejarah dan tak berubah-ubah, tapi juga tak terbagi-bagi dan pada pokoknya bukanlah sektarian.[lower-alpha 4][31]
Sebagai tanggapan atas kolonialisme dan orientalisme Barat, para pemuka dan ahli Hindu menginterpretasikan agamanya dalam suatu upaya yang disebut "modernisme Hindu" oleh orang Barat. Tokoh terkemuka dalam upaya tersebut adalah Swami Vivekananda, Sarvepalli Radhakrishnan, dan Mahatma Gandhi.[32] Menurut Gavin Flood, Vivekanda (1863–1902) adalah tokoh penting dalam pengembangan pemahaman diri umat Hindu masa kini dan telah merumuskan pandangan terhadap Hinduisme bagi orang Barat.[33] Intisari dalam filsafatnya adalah gagasan bahwa "percikan dari Tuhan" berada dalam setiap makhluk hidup, sehingga seluruh umat manusia dapat mencapai persatuan dengan "sifat ilahi bawaan" tersebut, dan dengan memandang bahwa sifat ilahi ini juga terkandung pada setiap orang maka berkembanglah kasih sayang dan harmoni sosial.[34] Menurut Flood, pandangan Vivekananda terhadap Hinduisme adalah yang paling umum diterima oleh kebanyakan umat Hindu golongan menengah berbahasa Inggris (English-speaking middle-class Hindus) pada masa kini.[35]
Sarvepalli Radhakrishnan adalah salah satu cendekiawan terpelajar dari India yang bergelut dengan filsafat Barat dan India.[36] Ia mencari keselarasan antara rasionalisme barat dengan Hinduisme, dan memperkenalkan Hinduisme sebagai pengalaman religius yang pada hakikatnya rasional dan humanistis.[37][lower-alpha 5] Wawasan Radhakrishnan disebut sangat relevan dan penting dalam membentuk jati diri Hindu kontemporer.[37]
Toleransi agama Hindu terhadap aneka ragam aliran kepercayaan dan tradisi yang berbeda-beda membuatnya sulit untuk didefinisikan sebagai suatu agama menurut pemahaman tradisional orang Barat.[41] Dalam sejumlah kajian didapati bahwa agama Hindu dapat dipandang sebagai suatu kategori dengan "batas-batas yang kabur", daripada suatu lembaga yang tegar dan terdefinisikan dengan baik. Beberapa aktivitas keagamaan Hindu dapat dipandang sebagai hal yang lazim dalam agama tersebut, sementara yang tak lazim pun masih dapat dimasukkan ke dalam kategori agama Hindu. Berdasarkan pemikiran-pemikiran tersebut, Ferro-Luzzi menulis suatu 'pendekatan Teori Prototipe' untuk mendefinisikan Hinduisme.[42]
Menurut Flood, globalisasi kebudayaan Hindu diprakarsai oleh Swami Vivekananda dengan mendirikan Misi Ramakrishna, dan diikuti oleh para pemuka Hindu lainnya, yang membawa ajaran yang menjadi kekuatan kultural penting dalam masyarakat Barat, dan sebagai akibatnya menjadi kekuatan kultural penting di India, tempat ajaran itu bermula.[43] Hinduisme Global tersebut menarik minat di seluruh dunia, melampaui batas-batas nasional, dan telah menjadikannya suatu agama dunia yang berdampingan dengan Kekristenan, Islam, dan Buddhisme, bagi komunitas Hindu seluruh dunia maupun orang-orang Barat yang tertarik dengan kebudayaan dan kepercayaan non-Barat.[44] Agama ini menekankan nilai-nilai spiritual universal seperti keadilan sosial, kedamaian, serta "transformasi spiritual umat manusia."[44] Sebagian perkembangannya disebabkan oleh "re-enkulturasi" atau efek Pizza, yaitu suatu kondisi ketika unsur-unsur kebudayaan Hindu diperkenalkan ke Dunia Barat, lalu mendapatkan popularitas di sana, dan sebagai akibatnya juga mendapatkan popularitas yang lebih besar di India.[45]
Keberadaan agama Hindu sebagai agama tersendiri yang berbeda dengan agama Buddha dan Jainisme diperkuat oleh penegasan para penganutnya bahwa agama mereka memang demikian berbeda.[46] Berbeda dengan dua agama tersebut, Hinduisme bersifat lebih teistik. Sebagian besar sekte dan aliran Hinduisme meyakini suatu pengatur alam semesta—dasar bagi segala fenomena di dunia yang memanifestasikan diri dalam berbagai wujud—yang disebut dengan berbagai nama, seperti Iswara, Dewa, Batara, Hyang, dan lain-lain. Sebagian aliran meyakini bahwa berbagai kemajemukan di dunia merupakan bagian dari Brahman. Dalam agama Hindu, seorang umat boleh berkontemplasi tentang misteri Brahman (dalam konteks tertentu, Brahman dapat didefinisikan sebagai Tuhan personal ataupun impersonal) dan mengungkapkannya melalui mitos yang jumlahnya tidak habis-habisnya, serta melalui penyelidikan filosofis. Mereka mencari kemerdekaan atas penderitaan melalui praktik-praktik brata atau meditasi yang mendalam, atau dengan mendekatkan diri kepada Tuhan melalui cinta kasih (bhakti) dan percaya (sradha).
Sejak minat akan Indologi dan studi Hindu bertumbuh, sejarah dan pangkal agama Hindu telah menjadi perdebatan para cendekiawan di Dunia Barat. Sebelumnya, tidak ada istilah 'Hinduisme' atau 'agama Hindu', tetapi keberadaan tradisi Hindu seperti sekarang telah berpangkal sejak purbakala.[47] Selain itu, para ahli sulit mendefinisikan Hinduisme karena ketiadaan seorang tokoh pendiri agama tersebut. Para cendekiawan memandang Hinduisme sebagai gabungan dari berbagai kebudayaan atau tradisi yang ada di India.[48][49][50] Salah satu akarnya adalah Brahmanisme atau agama Weda Kuno dari India pada Zaman Besi,[51][49] yang merupakan hasil peleburan antara bangsa Indo-Arya dengan kebudayaan dan peradaban Harrapa.[52] Selain itu, tradisi yang mendukung perkembangan agama Hindu meliputi Sramana atau "tradisi penolakan" dari India Utara, serta kebudayaan mesolitik dan neolitik di India, seperti agama-agama peradaban lembah sungai Indus,[53][54][55] tradisi bangsa Dravida,[56] serta tradisi dan agama lokal dari suku bangsa di India.[57]
Setelah periode Weda (antara 500–200 SM dan ca 300 M,[48] pada permulaan periode "Wiracarita dan Purana" atau "periode Praklasik"), "sintesis Hindu" mulai timbul[48] (masa ketika dimasukkannya pengaruh Sramana dan Buddhisme), diiringi dengan kemunculan tradisi bhakti ke dalam balutan Brahmanisme melalui kitab-kitab Smerti. Sintesis ini muncul di bawah tekanan perkembangan Buddhisme dan Jainisme.[58] Selama pemerintahan Dinasti Gupta, kitab-kitab Purana disusun, digunakan untuk menyebarkan ideologi keagamaan umum di tengah-tengah akulturasi yang dijalani masyarakat tribal dan buta huruf. Hasilnya adalah kemunculan Hinduisme-Puranis (Puranic-Hinduism) yang memiliki perbedaan mencolok jika dibandingkan dengan Brahmanisme sebelumnya (yang berpegang pada Dharmasastra dan Smerti). Selama beberapa abad, Hinduisme dan Buddhisme tumbuh berdampingan,[59] sampai akhirnya memperoleh keunggulan pada abad ke-8 M.[60][61]
Dari India Utara, "sintesis Hindu" beserta konsep pembagian masyarakat menyebar ke India Selatan dan sebagian Asia Tenggara.[62] Hal tersebut didukung oleh sejumlah kegiatan: pengadaan permukiman bagi kaum brahmana di kawasan yang diizinkan oleh penguasa lokal;[63][64] dimasukkannya atau diasimilasikannya dewa-dewi non-Weda (tidak disebut dalam Weda) yang populer;[65][66] dan proses Sanskritisasi, yaitu kondisi ketika "orang-orang dari berbagai strata masyarakat India cenderung menyesuaikan kehidupan religius dan sosial mereka dengan norma-norma Brahmanis".[65][67] Proses asimilasi tersebut menjelaskan bahwa keanekaragaman budaya lokal di India diselimuti oleh selubung persamaan konseptual.[68]
Diversitas Hinduisme |
---|
|
|
|
|
|
Agama Hindu dapat dideskripsikan sebagai sebuah wadah tradisi yang memiliki "sifat kompleks, bertumbuh, berhierarki, dan kadangkala inkonsisten secara internal."[69] Agama Hindu tidak mengenal "satu sistem kepercayaan yang disusun demi menyeragamkan keyakinan atau iman",[16] namun menjadi istilah awam yang meliputi kemajemukan tradisi keagamaan di India.[70][71] Menurut Mahkamah Agung India:
Tidak seperti agama lainnya di dunia, agama Hindu tidak mengklaim satu nabi saja, tidak memuja satu dewa saja, tidak menganut satu konsep filosofis saja, tidak mengikuti atau mengadakan satu ritus keagamaan saja; faktanya, ciri-ciri [agama Hindu] itu tidak seperti agama atau kepercayaan lain pada umumnya. Tak lain dan tak bukan, agama [Hindu] itu merupakan suatu jalan hidup.[lower-alpha 7][72][73]
Salah satu masalah dalam merumuskan satu definisi tentang istilah "agama Hindu" adalah adanya fakta bahwa agama Hindu tidak didirikan oleh seorang tokoh.[16][74] Agama ini merupakan sintesis dari berbagai tradisi, atau himpunan tradisi keagamaan yang berbeda tetapi memiliki persamaan.[48][50]
Konsep ketuhanan dalam tubuh agama Hindu pun tidak seragam. Beberapa aliran bersifat monoteisme—mengagungkan Wisnu, Kresna, atau Siwa—sementara aliran lainnya bersifat monisme, yang memandang bahwa para dewa atau sembahan apa pun merupakan manifestasi beragam dari Yang Maha Esa.[75] Beberapa aliran Hindu bersifat panenteisme—sebagaimana disebutkan dalam kitab Bhagawadgita—yang meyakini bahwa Tuhan meresap ke seluruh alam semesta, tapi alam semesta bukanlah Tuhan.[76] Beberapa filsafat Hindu membuat postulat ontologi teistis (dalil ketuhanan) tentang penciptaan dan peleburan alam semesta, meskipun beberapa umat Hindu merupakan ateis yang memandang Hinduisme tak lebih dari sebuah filsafat, bukan agama.
Di samping itu, agama Hindu tidak mengenal satu sistem saja untuk mencari "keselamatan" (salvation),[16] namun mengandung sejumlah aliran dan berbagai bentuk tradisi keagamaan.[77] Beberapa tradisi Hindu mengandalkan ritus tertentu sebagai hal penting demi keselamatan, tapi berbagai pandangan mengenai hal tersebut juga hadir secara berdampingan. Agama Hindu juga dicirikan dengan adanya kepercayaan akan reinkarnasi (samsara, atau siklus lahir-mati) yang ditentukan oleh hukum karma, dan gagasan tentang "keselamatan" adalah kondisi saat individu terbebas dari siklus lahir-mati yang terus berputar. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, agama Hindu dipandang sebagai agama yang paling kompleks dari seluruh agama yang masih bertahan hingga saat ini.[78]
Di samping berbagai perbedaan yang teramati, ada pula rasa persamaan dalam Hinduisme.[79] Menurut tokoh spiritual Hindu Swami Vivekananda, ada kesatuan fundamental dalam tubuh Hinduisme, yang mendasari berbagai perbedaan dalam bentuk-bentuk pelaksanaannya.[34] Pada umumnya, umat Hindu mengenal berbagai nama dan gelar seperti Wisnu, Siwa, Sakti, Hyang, Dewata, dan Batara. Beberapa aliran memandang nama dan gelar tersebut sebagai aneka manifestasi dari Yang Maha Esa atau Yang Mahakuasa, sehingga agama Hindu dapat dikatakan bersifat monisme. Agama Hindu juga dicirikan dengan adanya kepercayaan akan makhluk ilahi/makhluk surgawi, yang dipandang tidak setara dengan Yang Mahakuasa, sedangkan beberapa aliran juga memandangnya sebagai manifestasi dari Yang Mahakuasa.[75] Karakteristik lainnya—yang kerap dijumpai dalam tubuh Hinduisme—adalah iman tentang reinkarnasi dan karma, serta keyakinan akan kewajiban yang harus dipenuhi secara mutlak (darma).
Selain itu, banyak aliran Hinduisme mentakzimkan suatu kumpulan kitab suci yang disebut Weda, meskipun ada beberapa aliran yang mengabaikannya.[80] Sekte Hindu seperti Linggayata bahkan tidak mengikuti Weda, tapi masih memiliki kepercayaan akan Siwa.[81] Sebaliknya, sekte Ayyavazhi memiliki kitab suci tersendiri yang disebut Akilattirattu Ammanai,[82] namun masih mengimani Tuhan yang sama dengan Hinduisme—contohnya Narayana dan Laksmi—serta memiliki sejumlah mitos yang mirip dengan mitologi Hindu pada umumnya.
Dalam perkembangannya, tradisi Hindu yang cenderung mengagungkan Wisnu—atau Narayana dan Kresna—disebut Waisnawa, sementara yang memuja Siwa disebut Saiwa (Saiwisme). Dilihat dari luar, aliran Saiwa dan Waisnawa memiliki konsep tersendiri tentang Tuhan yang diagungkan. Menurut Halbfass, meskipun aliran Saiwa dan Waisnawa dapat dipandang sebagai aliran keagamaan yang mandiri, ada kadar interaksi dan saling acu antara para teoretikus dan pujangga dari masing-masing tradisi yang mengindikasikan adanya rasa jati diri yang lebih luas, rasa koherensi dalam konteks yang sama, serta inklusi dalam kerangka dan garis besar [kepercayaan] secara umum.[79]
Menurut Nicholson, pada masa antara abad ke-12 dan ke-16, para cendekiawan tertentu mulai memandang "benang merah" terhadap kekayaan ajaran filsafat yang berasal dari Upanishad, wiracarita, Purana, dan beberapa mazhab yang dikenal sebagai "enam sistem" (saddarsana) dari filsafat Hindu yang umum."[26] Tendensi dari kekaburan distingsi filosofis juga digarisbawahi oleh Burley.[83] Hacker menyebut perihal tersebut sebagai "inklusivisme",[84] dan Michaels berpendapat tentang "sifat identifikasi diri".[85] Menurut Lorenzen, rasa identitas ke-Hindu-an bermula dari masa interaksi antara kaum Muslim dan Hindu,[86] dan dari sebuah proses penentuan jati diri untuk membedakan kaum Hindu dengan kaum Muslim, yang sudah dimulai sebelum 1800-an.[87] Menurut Michaels:
Sebagai pencegahan terhadap supremasi Islam, dan sebagai bagian dari proses regionalisasi yang berkelanjutan, dua inovasi keagamaan berkembang dalam tubuh agama Hindu: pembentukan sekte-sekte serta historisasi yang mendahului nasionalisme pada masa berikutnya … Para orang suci, dan kadangkala pemuka sekte yang militan, seperti pujangga Maratha [bernama] Tukaram (1609–1649) dan Ramdas (1608–1681), menyuarakan gagasan-gagasan yang mengagungkan kejayaan agama Hindu pada masa lampau. Para brahmana juga menyusun tulisan-tulisan bersejarah yang kian bertambah, terutama eulogi dan riwayat tempat-tempat suci (mahatmya), atau mengobarkan semangat reflektif untuk menghimpun dan menggubah suatu koleksi kutipan yang ekstensif tentang berbagai subjek.[lower-alpha 8][88]
Inklusivisme ini dikembangkan lebih jauh lagi pada abad ke-19 dan ke-20 oleh gerakan reformasi Hindu dan Neo-Vedanta, serta telah menjadi karakteristik agama Hindu modern.
Agama Hindu sebagaimana biasanya dapat digolongkan ke dalam beberapa mazhab atau aliran besar. Dalam suatu kelompok mazhab pada masa lalu—yang digolongkan sebagai "enam darsana"—hanya dua mazhab yang popularitasnya masih bertahan: Wedanta dan Yoga. Golongan-golongan utama Hinduisme pada masa kini disesuaikan dengan aliran-aliran besar yang ada: Waisnawa (Waisnawisme), Saiwa (Saiwisme), Sakta (Saktisme), dan Smarta (Smartisme).[89]
Menurut J. McDaniel, ada enam tipe umum dalam tubuh agama Hindu, yang disusun dengan maksud menampung berbagai pandangan terhadap suatu subjek yang kompleks. Adapun enam tipe tersebut sebagai berikut:[90]
Menurut Axel Michaels, ada tiga bentuk religi (agama) Hindu dan empat macam religiositas (pengabdian) umat Hindu.[77]
Pembagian agama Hindu menjadi tiga bentuk bersuaian dengan metode pembagian dari India yang mengelompokkannya sebagai berikut: praktik ritual menurut Weda (vaidika), agama rakyat dan lokal (gramya), dan sekte keagamaan (agama atau tantra).[91] Menurut Michaels, tiga bentuk agama Hindu yakni:
Menurut Michaels, empat macam religiositas Hindu yakni:
Agama Hindu memiliki ciri khas sebagai salah satu agama yang paling toleran karena tiadanya skisma meskipun ada kemajemukan tradisi yang bernaung di bawah simbol-simbol agama Hindu.[94][95] Pada awal perkembangannya, saat tiadanya perselisihan antaragama, umat Hindu menganggap setiap orang yang mereka temui sebagai umat Hindu pula.[96][97] Tetapi pada masa kini, umat Hindu menerima pengaruh dari Barat tentang pengadaan konversi agama.[98] Maka, banyak umat Hindu berpendapat bahwa identitas kehinduan diperoleh semenjak lahir,[99] sementara yang lainnya berpendapat bahwa siapa pun yang mengikuti kepercayaan dan praktik agama Hindu merupakan seorang Hindu.[100]
Gandhi menyatakan bahwa Hinduisme bebas dari dogma-dogma yang memaksa, serta dapat menampung berbagai bentuk ekspresi diri dalam ruang lingkup yang besar.[101] Dalam tubuh agama Hindu, perbedaan pada setiap tradisi—bahkan pada agama lain—tidak untuk diperkarakan, karena ada keyakinan bahwa setiap orang memuja Tuhan yang sama dengan nama yang berbeda, entah disadari atau tidak oleh umat bersangkutan.[102] Dalam kitab Regweda terdapat suatu bait yang sering dikutip oleh umat Hindu untuk menegaskan hal tersebut, sebagai berikut:
एकम् सत् विप्रा: बहुधा वदन्ति (Ekam Sat Viprāh Bahudhā Vadanti)
Arti: "Hanya ada satu kebenaran, tetapi para cendekiawan menyebut-Nya dengan banyak nama." (I:CLXIV:46)
Agama Hindu memandang seluruh dunia sebagai suatu keluarga besar yang mengagungkan satu kebenaran yang sama, sehingga agama tersebut menghargai segala bentuk keyakinan dan tidak mempersoalkan perbedaan agama.[105] Maka dari itu, agama Hindu tidak mengakui konsep murtad, bidah, dan penghujatan.[94][106][107] Agama Hindu bersifat mendukung pluralisme agama dan lebih menekankan harmoni dalam kehidupan antar-umat beragama, dengan tetap mengindahkan bahwa tiap agama memiliki perbedaan mutlak yang tak patut diperselisihkan.[108] Menurut tokoh spiritual Hindu Swami Vivekananda, setiap orang tidak hanya patut menghargai agama lain, tapi juga merangkulnya dengan pikiran yang baik, dan kebenaran itulah yang merupakan dasar bagi setiap agama.[109]
Dalam agama Hindu, toleransi beragama tidak hanya ditujukan pada umat agama lain, tapi juga pada umat Hindu sendiri. Hal ini terkait dengan keberadaan beragam tradisi dalam tubuh Hinduisme. Agama Hindu memberikan jaminan kebebasan bagi para penganutnya untuk memilih suatu pemahaman dan melakukan tata cara persembahyangan tertentu.[95][110][111] Sebuah sloka dalam Bhagawadgita sering dikutip untuk mendukung pernyataan tersebut:
ये यथा मां प्रपद्यन्ते तांस्तथैव भजाम्यहम् मम वर्त्मानुवर्तन्ते मनुष्या: पार्थ सर्वश:
(Ye yathā mām prapadyante tāms tathaiva bhajāmy aham mama vartmānuvartante manusyāh pārtha sarvaśah.)
Arti: "Jalan mana pun yang ditempuh seseorang kepada-Ku, Aku memberinya anugerah setimpal. Semua orang mencari-Ku dengan berbagai jalan, wahai Arjuna." (Bhagawadgita, IV:11)
Dalam Parlemen Agama-Agama Dunia (1893) di Chicago, Vivekananda juga mengutip suatu ayat yang menyatakan bahwa setiap orang menempuh jalan yang berbeda-beda dalam memuja Tuhan, sebagaimana berbagai aliran sungai pada akhirnya menyatu di lautan.[104]
Hinduisme tidak mengandalkan otoritas berdasarkan doktrin sentral seperti kredo, pengakuan iman, rukun iman, atau syahadat.[112] Meskipun tradisi Hindu tidak seragam, banyak umat Hindu yang tidak mau mengakui dirinya sebagai penganut aliran atau sekte Hindu tertentu.[112] Pada umumnya, aliran dibedakan berdasarkan pada dewa yang dipuja sebagai manifestasi Yang Mahakuasa, serta pada tradisi mengenai cara pemujaan dewa tersebut.
Ada empat aliran utama yang sering teramati: Waisnawa, Saiwa, Sakta, dan Smarta.[113] Umat Waisnawa memuja Wisnu sebagai manifestasi Yang Mahakuasa; umat Saiwa memuja Siwa sebagai manifestasi Yang Mahakuasa; umat Sakta memuja Sakti (kekuatan) atau Dewi yang dipersonifikasikan sebagai wanita ilahi; sedangkan Smarta meyakini kesatuan mendasar dari lima (Pancadewa) atau enam (Shanmata) dewa sebagai personifikasi dari Yang Mahakuasa. Aliran lainnya seperti Ganapatya (pemujaan terhadap Ganesa) dan Saura (pemujaan terhadap Surya) kurang menyebar secara luas.
Sejumlah gerakan keagamaan terkategorikan ke dalam salah satu aliran besar Hinduisme, contohnya Gerakan Hare Krishna terkategorikan ke dalam golongan Waisnawa. Ada pula gerakan keagamaan Hindu yang sukar ditentukan untuk dimasukkan ke dalam golongan yang disebutkan di atas, contohnya Arya Samaj yang diprakarsai Swami Dayananda Saraswati. Gerakan keagamaan ini berbeda dengan tradisi Hindu pada umumnya, yaitu tidak memuja Tuhan dengan sarana arca atau lukisan. Gerakan ini berfokus kepada Weda dan yadnya (yajña; ritus keagamaan berdasarkan Weda).
Di samping empat aliran besar dalam agama Hindu, sekte-sekte keagamaan yang ada meliputi Ayyavazhi, Swaminarayana, Ravidassia, Linggayata, dan lain-lain. Beberapa sekte memiliki konsep, mitologi, serta pustaka suci tersendiri yang berbeda dengan tradisi Hindu pada umumnya. Sekte-sekte tertentu pun memiliki aliran di dalamnya, misalnya tradisi Tantra.[114]
Menurut sistem astika dan nastika, ada sembilan filsafat India klasik. Enam di antaranya merupakan filsafat Hindu klasik (astika) yang mengakui otoritas Weda sebagai kitab suci. Tiga filsafat lainnya merupakan aliran heterodoks (nastika) yang tidak mengakui otoritas Weda, tapi menekankan tradisi perguruan yang berbeda. Adapun enam filsafat Hindu tersebut sebagai berikut:
Dalam sejarah agama Hindu, keberadaan enam mazhab tersebut di atas mencapai masa gemilang pada masa Dinasti Gupta. Dengan bubarnya Waisesika dan Mimamsa, perguruan filsafat tersebut kehilangan pamornya pada masa-masa berikutnya, sedangkan berbagai aliran-aliran Wedanta mulai naik pamor sebagai cabang-cabang utama dalam filsafat keagamaan. Nyaya bertahan sampai abad ke-17 dan berganti nama menjadi Nawya-nyaya ("Nyaya Baru"), sedangkan Samkhya lenyap perlahan-lahan, tapi ajarannya diserap oleh Yoga dan Wedanta.
Empat aliran utama yang sering didapati adalah Waisnawa, Saiwa, Sakta, dan Smarta. Dalam masing-masing aliran, ada beberapa perguruan atau aliran lain yang menempuh caranya sendiri.
Beberapa gerakan Hindu modern muncul di India pada periode antara abad ke-18 dan ke-20, antara lain sebagai berikut:
Di luar Asia Selatan dan Asia Tenggara, aliran Hindu yang cukup populer adalah tradisi Waisnawa yang dibawa oleh misionaris Gerakan Hare Krishna. Tradisi Hindu juga dilaksanakan di beberapa negara dengan jumlah imigran India yang signifikan, seperti Mauritius (Afrika bagian selatan) dan Trinidad dan Tobago (Amerika Tengah).
Agama Hindu tidak memiliki seorang pendiri dan tidak berpedoman pada satu kitab suci.[47] Meskipun demikian, ada keyakinan yang kerap dijumpai dalam berbagai tradisi Hindu. Perihal yang umum dijumpai dalam berbagai keyakinan masyarakat Hindu—namun tidak untuk terbatas pada beberapa hal tersebut—meliputi kepercayaan akan zat Yang Mahakuasa (dapat disebut sebagai Iswara, Awatara, Dewata, Batara, dan lain-lain), darma (etika/kewajiban), samsara (siklus kelahiran, kehidupan, kematian, dan kelahiran kembali yang berulang-ulang), karma (sebab dan akibat), moksa (kebebasan dari samsara), dan berbagai yoga (jalan atau praktik spiritual).[153]
Konsep Ketuhanan |
---|
Enam agama utama |
Agama lainnya |
|
Lain-lain |
Agama Hindu merupakan sistem kepercayaan yang kaya, mencakup keyakinan yang bersifat monoteisme, politeisme, panenteisme, panteisme, monisme, dan ateisme.[154][155][156][157] Konsep ketuhanannya bersifat kompleks dan bergantung pada nurani setiap umatnya atau pada tradisi dan filsafat yang diikuti. Kadang kala agama Hindu dikatakan bersifat henoteisme (melakukan pemujaan terhadap satu Tuhan, sekaligus mengakui keberadaan para dewa), tapi istilah-istilah demikian hanyalah suatu generalisasi berlebihan.[158]
Mazhab Wedanta dan Nyaya menyatakan bahwa karma itu sendiri telah membuktikan keberadaan Tuhan.[159] Nyaya merupakan suatu perguruan logika, sehingga menarik kesimpulan "logis" bahwa [keberadaan] alam semesta hanyalah suatu "akibat", maka pasti ada suatu "penyebab" di balik semuanya.[160]
Agama Hindu mengandung suatu konsep filosofis yang disebut Brahman, yang sering didefinisikan sebagai kenyataan sejati, esensi bagi segala hal, atau sukma alam semesta yang menjadi asal usul serta sandaran bagi segala sesuatu dan fenomena.[161] Tetapi, umat Hindu tidak menyembah Brahman secara harfiah. Pada zaman Brahmanisme, Brahman adalah istilah yang disematkan bagi suatu kekuatan yang membuat yadnya (upacara) menjadi efektif, yaitu kekuatan spiritual dari ucapan-ucapan suci yang dirapalkan para ahli Weda, sehingga mereka disebut brahmana.[162] Kadang kala, Brahman dipandang sebagai Yang Mahamutlak atau Mahakuasa, atau asas ilahi bagi segala materi, energi, waktu, ruang, benda, dan sesuatu di dalam atau di luar alam semesta. Sebagai hasil dari berbagai kontemplasi tentang Brahman, maka Ia dapat dipandang sebagai Tuhan dengan atribut (Saguna-brahman), Tuhan tanpa atribut (Nirguna-brahman), dan/atau Tuhan Mahakuasa (Parabrahman), tergantung mazhab dan aliran.
Mazhab dan aliran Hindu-dualistis—seperti Dwaita dan tradisi Bhakti—menyembah Tuhan yang berkepribadian (memiliki guna atau "atribut ketuhanan", yaitu supremasi dari sifat-sifat baik manusia seperti Maha-penyayang, Maha-pemurah, Maha-pelindung, dan sebagainya), sehingga mereka memujanya dengan nama Wisnu, Siwa, Dewi, Dewata, Batara, dan lain-lain, tergantung aliran masing-masing. Dalam tradisi Hindu pada umumnya, Tuhan yang dipandang sebagai zat mahakuasa dengan supremasi dari sifat baik manusia—daripada dianggap sebagai asas semesta yang tak terbatas—disebut Iswara, Bhagawan, atau Parameswara.[163] Meski demikian, ada beragam penafsiran tentang Iswara, mulai dari keyakinan bahwa Iswara sesungguhnya tiada—sebagaimana ajaran Mimamsa—sampai pengertian bahwa Brahman dan Iswara sesungguhnya tunggal, sebagaimana yang diajarkan mazhab Adwaita.[164] Dalam banyak tradisi Waisnawa, Ia disebut Wisnu, sedangkan kitab Waisnawa menyebutnya sebagai Kresna, dan kadang kala menyebutnya Swayam Bhagawan. Sementara itu, dalam aliran Sakta, Ia disebut Dewi atau Adiparasakti, sedangkan dalam aliran Saiwa, Ia disebut Siwa. Ajaran Smarta yang monistis memandang bahwa seluruh nama-nama ilahi seperti Wisnu, Siwa, Ganesa, Sakti, Surya, dan Skanda sesungguhnya manifestasi dari Brahman yang Maha Esa.
Mazhab Adwaita Wedanta menolak teisme dan dualisme dengan menegaskan bahwa pada hakikatnya Brahman tidak memiliki bagian atau atribut.[165] Menurut mazhab ini, Tuhan yang berkepribadian atau menyandang atribut tertentu adalah salah satu fenomena maya, atau kekuatan ilusif Brahman. Pada hakikatnya, Brahman tidak dapat dikatakan memiliki sifat-sifat kemanusiaan seperti pelindung, penyayang, perawat, pengasih, dan sebagainya.[166] Menurut mazhab ini, pikiran manusia yang terperangkap maya menyebabkan Brahman terbayangkan sebagai Tuhan dengan sifat atau atribut tertentu, yang dapat disebut sebagai Iswara, Bhagawan, Wisnu, dan nama-nama lainnya.[166] Mazhab ini menegaskan bahwa tiada larangan untuk membayangkan Tuhan dengan sifat-sifat tertentu, tapi tujuan hidup sejati adalah untuk merasakan bahwa "sesuatu yang nyata" dalam tiap makhluk sesungguhnya tiada berbeda dengan Brahman.[167] Mazhab Adwaita dapat dikatakan sebagai monisme atau panteisme karena meyakini bahwa alam semesta tidak sekadar berasal dari Brahman, tapi pada "hakikatnya" sama dengan Brahman.[168]
Doktrin ateistis mendominasi aliran Hindu seperti Samkhya dan Mimamsa.[169] Dalam kitab Samkhyapravachana Sutra dari aliran Samkhya dinyatakan bahwa keberadaan Tuhan (Iswara) tidak dapat dibuktikan sehingga (keberadaan Tuhan) tidak dapat diakui.[170] Samkhya berpendapat bahwa Tuhan yang abadi tidak mungkin menjadi sumber bagi dunia yang senantiasa berubah. Dikatakan bahwa Tuhan merupakan gagasan metafisik yang dibuat untuk suatu keadaan.[171] Pendukung dari aliran Mimamsa—yang berdasarkan pada ritual dan ortopraksi—menyatakan bahwa tidak ada cukup bukti untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa kita tidak perlu membuat postulat tentang suatu "pencipta dunia", sebagaimana kita tidak perlu memikirkan siapa penulis Weda atau Tuhan apa yang dibuatkan upacara.[127] Mimamsa menganggap bahwa nama-nama Tuhan yang tertulis dalam Weda sebenarnya tidak mengacu pada wujud apa pun di dunia nyata, dan hanya untuk keperluan mantra belaka. Atas pemahaman tersebut, mantra itulah yang sebenarnya merupakan "kekuatan Tuhan", sehingga Tuhan tiada lain hanyalah kekuatan mantra belaka.[172]
Dalam agama Hindu terdapat keyakinan bahwa ada "sesuatu yang sejati" dalam tiap individu yang disebut atman, sifatnya abadi atau tidak terhancurkan.[173] Taittiriya-upanishad mendeskripsikan bahwa atman individu diselimuti oleh lima lapisan: annamayakosa, pranamayakosa, manomayakosa, wijanamayakosa, dan anandamayakosa.[174] Istilah atman dan jiwa kadang kala dipakai untuk konteks yang sama. Dalam suatu pengertian, atman adalah percikan dari Brahman, sedangkan jiwa adalah penggerak segala makhluk hidup.[175]
Menurut teologi Hindu yang monistis/panteistis (seperti mazhab Adwaita Wedanta), sukma individu sama sekali tiada berbeda dari Brahman. Sukma individu disebut jiwatman, sedangkan Brahman disebut paramatman. Maka dari itu, ajaran ini disebut aliran non-dualis.[164] Ketika tubuh individu hancur, jiwa tidak turut hancur. Sebaliknya, ia berpindah ke tubuh baru melalui reinkarnasi (samsara). Jiwa mengalaminya karena diselubungi oleh awidya atau "ketidaksadaran" bahwa dirinya sesungguhnya sama dengan Paramatman. Tujuan kehidupan menurut mazhab Adwaita adalah untuk mencapai kesadaran bahwa atman sesungguhnya sama dengan Brahman.[176] Kitab Upanishad menyatakan bahwa siapa pun yang merasakan bahwa atman merupakan esensi dari tiap individu, maka ia akan menyadari kesetaraan dengan Brahman, sehingga mencapai moksa (kebebasan atau kemerdekaan dari proses reinkarnasi/samsara).[177]
Yoga dari Resi Patanjali—sebagaimana yang diuraikan dalam Yogasutra—berbeda dengan monisme yang diuraikan dalam filsafat Adwaita.[178] Menurut yoga, pencapaian spiritual tertinggi bukanlah untuk menyadari bahwa segala kemajemukan di alam semesta merupakan maya. Jati diri yang diperoleh saat mencapai pengalaman religius tertinggi bukanlah atman belaka. Itu hanyalah salah satu jati diri yang ditemukan oleh individu. Meruntuhkan "tembok alam sadar manusia" untuk membangun "persatuan" jati diri individu (jiwatman) dengan sukma alam semesta (paramatman), merupakan tujuan praktik yoga.[179]
Menurut pemahaman dualistis seperti mazhab Dwaita, jiwa merupakan entitas yang berbeda dengan Tuhan, tapi memiliki kesamaan. Jiwa bergantung kepada Tuhan, sedangkan pencapaian moksa (lepas dari samsara) bergantung kepada cinta pada Tuhan serta kasih sayang Tuhan.[180]
Umat dari berbagai sekte agama Hindu memuja dewa-dewi tertentu yang tak terhitung banyaknya dan mengikuti aneka upacara untuk memuja dewa-dewi tersebut. Karena merupakan agama Hindu, maka para penganutnya memandang kekayaan tradisi tersebut sebagai ungkapan dari suatu realitas yang kekal. Dewa-dewi yang memanggul senjata dipahami oleh umatnya sebagai simbol-simbol dari suatu realitas sejati yang tunggal.
—Brandon Toropov & Luke Buckles, The Complete Idiot's Guide to World Religions.[181]
Susastra Hindu menyebutkan suatu kelompok entitas ilahi yang disebut dewa (atau dewi dalam bentuk feminin, sedangkan dewata bersinonim dengan dewa), bermakna "yang bersinar", atau dapat diterjemahkan sebagai "makhluk surgawi".[182][183] Para dewa merupakan bagian integral dalam kebudayaan Hindu dan ditampilkan dalam kesenian (lukisan, patung, relief), arsitektur, dan ikon. Cerita mitologis mengenai keberadaan mereka terkandung dalam sejumlah sastra Hindu, terutama wiracarita Hindu dan Purana.
Keberadaan banyak dewa diyakini sebagai manifestasi dari Brahman.[lower-alpha 9] Pustaka Weda dan Upanishad tidak mengajarkan panteisme ataupun politeisme, melainkan monoteisme dan monisme.[185] Ada banyak dewa, tapi mereka merupakan manifestasi berbagai aspek dari suatu "kenyataan sejati".[185] Keberadaan konsep monisme dan monoteisme berjalin-jalin. Dalam banyak sloka, kenyataan sejati dikatakan imanen, sedangkan dalam sloka lainnya dikatakan transenden.[186] Secara monisme, kenyataan sejati tersebut adalah Brahman, sedangkan pandangan monoteisme lebih berfokus pada wujud-wujud beratribut (Saguna) dari Brahman.[186]
Biasanya pengertian dewa dibedakan dengan Iswara (Tuhan Yang Maha Esa), meskipun banyak umat Hindu menyembah Iswara dalam suatu perwujudan tertentu (seolah-olah ada Tuhan yang berbeda) sebagai istadewata (iṣṭa devatā), yaitu sosok ideal (dewa-dewi tertentu) dari Tuhan yang cenderung dipuja.[187][188] Pilihan tersebut bergantung pada preferensi seseorang atau menurut tradisi regional dan keluarga.[189]
Dalam kitab suci Regweda disebutkan adanya 33 dewa atau dewata, dan Purana menjelaskan bahwa sebagian di antaranya merupakan para putra Dewi Aditi dan Bagawan Kasyapa, dan merupakan murid dari Wrehaspati. Menurut mitologi Hindu dalam Purana, sebelum memperoleh keabadian melalui tirta amerta (minuman keabadian), dewata adalah golongan makhluk yang berseteru dengan para asura atau raksasa dan dapat gugur dalam pertempuran. Kekuatan dewata berbeda dengan tiga dewa utama yang abadi—Brahma, Wisnu, Siwa.
Siwa dan Wisnu dimuliakan sebagai Mahadewa karena kemasyhuran mereka dalam kitab suci dan pemujaan.[190] Mereka berdua, beserta Brahma, dipandang sebagai Trimurti—tiga aspek dari Yang Mahakuasa. Ketiga aspek tersebut melambangkan seluruh siklus samsara menurut agama Hindu: Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pelindung atau pemelihara, dan Siwa sebagai pelebur. Dua di antara tiga dewa tersebut, yaitu Wisnu dan Siwa memiliki pengikut dengan jumlah banyak sehingga membentuk dua aliran utama (Waisnawa dan Saiwa) dalam tubuh agama Hindu. Dalam kajian tentang Trimurti, Sir William Jones menyatakan bahwa umat Hindu "menyembah Tuhan dalam tiga wujud: Wisnu, Siwa, Brahma … Gagasan fundamental agama Hindu, bahwa metamorfosis, atau transformasi, dicontohkan melalui [konsep] awatara."[191]
Tridewi ("Tiga Dewi") dalam agama Hindu memiliki peran penting sebagaimana Trimurti dan berfungsi sebagai pasangan bagi Trimurti. Brahma adalah Sang Pencipta, sehingga ia membutuhkan pengetahuan atau Dewi Saraswati. Wisnu adalah Sang Pelindung, sehingga ia membutuhkan kemakmuran, yang dimanifestasikan sebagai Dewi Laksmi (Sri). Sedangkan Siwa adalah Sang Pelebur, sehingga ia membutuhkan Dewi Parwati, Durga, atau Kali sebagai kekuatannya. Para dewi tersebut adalah manifestasi dari satu entitas, yaitu Sakti.
Wiracarita Hindu dan Purana menceritakan beberapa kisah tentang turunnya Tuhan ke dunia (inkarnasi) dalam wujud fana demi menegakkan di masyarakat dan menuntun manusia mencapai moksa. Inkarnasi itu disebut pula awatara. Beberapa awatara terkenal merupakan perwujudan Wisnu, meliputi Rama (tokoh utama Ramayana) dan Kresna (tokoh penting dalam Mahabharata).
Karma diterjemahkan secara harfiah sebagai tindakan, kerja, perbuatan,[192] dan dapat dideskripsikan sebagai "hukum moral sebab–akibat".[193] Menurut hukum karma, nasib baik berasal dari tindakan baik terdahulu, dan nasib buruk berasal dari tindakan buruk terdahulu, yang merupakan suatu sistem aksi-reaksi dan membentuk suatu siklus reinkarnasi.[194] Fenomena sebab-akibat tersebut tidak hanya berlaku bagi dunia material, tapi juga terhadap pikiran, perkataan, tindakan, dan tindakan yang dilakukan berdasarkan perintah seseorang.[195]
Menurut kitab Upanishad, suatu jiwa membentuk sanskara (kesan) dari tindakan, baik secara fisik atau mental. Linga-sarira (tubuh yang lebih halus daripada tubuh fisik namun lebih kasar daripada jiwa) dilekati kesan-kesan tersebut, dan membawanya ke kehidupan selanjutnya, sehingga menciptakan jalan kehidupan tersendiri bagi setiap orang.[196] Maka dari itu, konsep karma—yang universal, netral, dan tak pernah meleset—berkaitan dengan reinkarnasi, demikian pula kepribadian, watak, dan keluarga seseorang. Karma menyatukan konsep kehendak bebas dan nasib.
Karena agama Hindu meyakini bahwa jiwa tidak dapat dihancurkan,[197] maka kematian tidak dipandang sebagai momok bagi kehidupan karena merupakan fenomena alami.[198] Maka dari itu, seseorang yang sudah meninggalkan ambisi dan keinginannya, tidak memiliki tanggung jawab lagi di dunia, atau terjangkiti penyakit mematikan dapat mengusahakan kematian dengan cara Prayopavesa.[199]
Siklus aksi, reaksi, kelahiran, kematian, dan kelahiran adalah proses berkesinambungan yang disebut samsara (reinkarnasi). Pemahaman akan reinkarnasi dan karma merupakan premis kuat dalam filsafat Hindu. Dalam kitab Bhagawadgita (II:22) tertulis:
- Seperti halnya seseorang memakai baju baru dan menanggalkan baju yang lama,
- demikian pula jiwa memasuki tubuh yang baru, meninggalkan tubuh yang lama.
Dalam kepercayaan Hindu, samsara memberikan kesempatan bagi manusia untuk menikmati kesenangan sesaat pada setiap kelahiran. Selama manusia terlena untuk terus menikmati kesenangan tersebut, maka mereka akan dilahirkan kembali. Akan tetapi, pelepasan diri dari belenggu samsara (melalui moksa) diyakini dapat memberikan kebahagiaan dan kedamaian abadi.[200] Menurut kepercayaan ini, setelah mengalami reinkarnasi berkali-kali, pada akhirnya suatu atman akan mencari persatuan dengan sukma alam semesta (Brahman/Paramatman).
Dalam agama Hindu, tujuan hidup sejati—yang disebut sebagai moksa, nirwana, atau semadi—dipahami dalam berbagai arti: realisasi penyatuan jiwa dengan Tuhan; realisasi hubungan kekal dengan Tuhan; realisasi dari penyatuan seluruh hal yang ada; wawas diri sempurna serta pengetahuan akan diri yang sejati; pencapaian atas kedamaian batin yang sempurna; dan pelepasan dari segala keinginan duniawi. Realisasi semacam itu membebaskan seseorang dari samsara dan mengakhiri siklus lahir kembali.[201][202]
Konseptualisasi moksa berbeda-beda tergantung mazhab atau aliran Hinduisme. Sebagai contoh, mazhab Adwaita Wedanta berpedoman bahwa setelah mencapai moksa, atman tidak lagi mengenali dirinya sebagai individu, melainkan menyadari bahwa Brahman identik dalam segala hal, termasuk kesamaannya dengan atman. Pengikut mazhab Dwaita (dualistis) memandang individu sebagai bagian dari Brahman, dan setelah mencapai moksa, mereka yakin akan memperoleh kekekalan di loka bersama dengan manifestasi Iswara yang dipilihnya. Maka dari itu, dianalogikan bahwa pengikut dwaita berharap untuk "menikmati gula", sementara pengikut Adwaita berharap untuk "menjadi gula".[203]
Filsafat Hindu klasik mengakui empat hal yang harus dipenuhi sebagai tujuan hidup manusia—sebagaimana dijabarkan di bawah ini—yang disebut purusarta:
Umat Hindu memenuhi tujuan hidupnya dengan menempuh jalan yang berbeda-beda. Jalan tersebut merupakan yoga. Yoga di sini dapat diartikan sebagai disiplin fisik, mental, dan spiritual demi memperoleh kedamaian dan ketenangan pikiran.[210] Dalam konteks dan tradisi lain, yoga dapat pula didefinisikan sebagai "upaya mengendalikan pikiran agar [pikiran] tidak liar", atau "[usaha] mempersatukan diri dengan Tuhan".[210] Ajaran tentang pelaksanaan yoga dihimpun dan diuraikan oleh para resi atau orang bijak. Kitab yang memuat ajaran yoga meliputi Bhagawadgita, Yogasutra, Hathayoga-pradipika, dan Upanishad sebagai basis filosofis dan historisnya. Yoga mengarahkan umat Hindu untuk mencapai tujuan hidup yang spiritual (moksa, samadhi, atau nirwana), baik secara langsung maupun tidak langsung. Empat macam jalan (yoga) utama yang sering disinggung yakni:[211]
Seseorang dapat memilih salah satu atau beberapa yoga sekaligus, sesuai dengan kecenderungan dan pemahamannya. Beberapa aliran Hinduisme yang menekankan pengabdian mengajarkan bahwa bhakti adalah satu-satunya jalan praktis untuk mencapai kesempurnaan spiritual bagi masyarakat awam, berdasarkan kepercayaan bahwa dunia sedang berada pada masa Kaliyuga (salah satu jangka waktu dalam siklus Yuga yang kini sedang berlangsung).[212] Melaksanakan salah satu yoga tidak berarti mengabaikan yang lainnya. Banyak mazhab Hinduisme mengajarkan bahwa berbagai yoga secara alami berbaur dan mendukung pelaksanaan yoga lainnya. Contohnya praktik jnanayoga, yang dianggap pasti mengarahkan seseorang untuk memberikan kasih sayang murni (tujuan utama bhaktiyoga), dan demikian sebaliknya.[213] Seseorang yang mendalami meditasi tingkat tinggi (seperti yang ditekankan raja yoga) harus mewujudkan prinsip pokok dari karmayoga, jnanayoga, dan bhaktiyoga, baik secara langsung maupun tak langsung.[211][214]
Menurut tokoh spiritual Hindu Swami Vivekananda, agama Hindu berdasarkan kepada himpunan pedoman spiritual yang ditemukan oleh orang yang berbeda-beda pada zaman yang berbeda-beda.[215][216] Selama berabad-abad, pedoman itu diwariskan secara lisan dalam bentuk syair agar dapat dihafalkan, sampai akhirnya dituliskan.[217] Selama berabad-abad, para resi menyaring ajaran tersebut dan memperluas dalil-dalilnya. Pada masa setelah Periode Weda dan menurut keyakinan Hindu masa kini, banyak pustaka Hindu tidak untuk ditafsirkan secara harfiah. Yang diutamakan adalah etika dan makna metaforis yang terkandung di dalamnya.[218] Di antara pustaka suci tersebut, Weda merupakan yang paling tua, yang diikuti dengan Upanishad sebagai susastra dasar yang sangat penting dalam mempelajari filsafat Hindu. Sastra lainnya yang menjadi landasan penting dalam ajaran Hindu adalah Tantra, Agama, Purana, serta dua wiracarita, yaitu Ramayana dan Mahabharata. Bhagawadgita adalah ajaran yang dimuat dalam Mahabharata, merupakan susastra yang dipelajari secara luas, yang sering disebut sebagai intisari Weda. Banyak pustaka Hindu yang ditulis dalam bahasa Sanskerta. Pustaka-pustaka tersebut digolongkan menjadi dua kelas: Sruti dan Smerti.
Sruti (artinya "apa yang didengar")[219] terutama mengacu kepada kumpulan Weda, yang merupakan bentuk pustaka Hindu tertua. Banyak umat Hindu mengagungkan Weda sebagai kebenaran abadi yang diwahyukan kepada para resi purbakala,[216][220] sementara umat yang lain tidak menyangkutpautkan penyusunan Weda dengan Tuhan atau seseorang. Umat Hindu meyakini kumpulan Weda sebagai pedoman bagi dunia spiritual, yang akan ada selama-lamanya, bahkan tetap ada jika seandainya tidak pernah diwahyukan kepada para resi.[215][221] Umat Hindu memiliki kepercayaan demikian karena mengimani bahwa kebenaran spiritual dalam Weda bersifat kekal, yang dapat terus diungkapkan dengan cara-cara yang baru.[222]
Ada empat kitab Weda, yaitu Regweda (Ṛgveda), Samaweda (Sāmaveda), Yajurweda (Yajurveda), dan Atharwaweda (Atharvaveda). Kitab Regweda adalah kitab Weda yang pertama dan terpenting. Setiap Weda dibagi menjadi empat bagian: yang utama—Weda yang baku—adalah Samhita (Saṃhitā), yang menghimpun mantra-mantra. Tiga bagian lainnya membentuk seperangkat golongan suplemen bagi Samhita, biasanya dalam bentuk prosa dan dipercaya berusia lebih muda daripada Saṃhitā. Adapun tiga bagian tersebut adalah Brahmana (Brāhmaṇa), Aranyaka (Āraṇyaka), dan Upanishad. Dua bagian pertama disebut Karmakanda (Karmakāṇḍa; porsi ritual), sedangkan yang terakhir disebut Jnanakanda (Jñānakāṇḍa; porsi pengetahuan).[223] Kumpulan Weda berfokus kepada pelaksanaan upacara, sementara kumpulan Upanishad berfokus kepada pandangan spiritual dan ajaran filosofis, serta memperbincangkan Brahman dan reinkarnasi.[218][224][225]
Kitab-kitab Hindu yang tak termasuk Sruti digolongkan ke dalam Smerti (ingatan). Kitab Smerti yang terkenal yaitu wiracarita India (Itihasa), terdiri dari Mahabharata (Mahābhārata) dan Ramayana (Rāmāyaṇa). Itihasa adalah suatu bagian dari kesusastraan Hindu yang menceritakan kisah kepahlawanan para raja dan kesatria Hindu pada masa lampau dan dikombinasikan dengan filsafat keagamaan, mitologi, dan cerita tentang makhluk supernatural.
Kitab Bhagawadgita (Bhagavadgītā) merupakan suatu bagian integral dalam Mahabharata, dan merupakan salah satu kitab suci Hindu yang masyhur. Kitab tersebut mengandung ajaran filosofis yang dinarasikan oleh Kresna—sebagai awatara Wisnu—kepada Arjuna, menjelang perang di Kurukshetra. Bhagawadgita terdiri dari delapan belas bab dan berisi ± 650 sloka. Setiap bab menguraikan jawaban-jawaban yang diajukan oleh Arjuna kepada Kresna. Jawaban-jawaban tersebut merupakan wejangan suci sekaligus pokok-pokok ajaran Weda.[226] Akan tetapi, kitab yang termasuk Gita—kadang kala disebut Gitopanishad—sering kali digolongkan ke dalam Sruti, karena konteksnya bersifat Upanishad.[227]
Kitab-kitab Purana (Purāṇa)—yang menguraikan ajaran-ajaran Hindu melalui kisah-kisah yang gamblang—tergolong ke dalam Smerti. Purana memuat mitologi, legenda, dan kisah-kisah zaman purba yang diyakini kebenarannya oleh umat Hindu. Kata Purana berarti "sejarah kuno" atau "cerita kuno". Penulisan kitab-kitab Purana diperkirakan dimulai sekitar tahun 500 SM. Terdapat delapan belas kitab Purana yang disebut Mahapurana.
Kitab lain yang tergolong ke dalam Smerti meliputi Dewimahatmya (Devīmahātmya), Tantra, Yogasutra, Tirumantiram, Siwasutra, dan Agama (Āgama). Selain itu, ada kitab Manusmerti, yang merupakan kitab hukum preskriptif yang mendasari aturan kemasyarakatan dan stratifikasi sosial yang kemudian menuntun masyarakat membentuk sistem kasta di India. Kitab Tantra memuat tentang cara pemujaan masing-masing aliran dalam agama Hindu. Kitab Tantra juga mengatur tentang pembangunan tempat suci Hindu dan peletakkan arca. Kitab Nitisastra memuat ajaran kepemimpinan dan pedoman untuk menjadi seorang pemimpin yang baik.[228] Kitab Jyotisha merupakan kitab yang memuat ajaran sistem astronomi tradisional Hindu. Kitab Jyotisha berisi pedoman tentang benda langit dan peredarannya. Kitab Jyotisha digunakan untuk meramal dan memperkirakan datangnya suatu musim.
James Mill (1773–1836), dalam bukunya The History of British India (1817), membagi sejarah India menjadi tiga tahap, yaitu peradaban Hindu, Muslim, dan Britania.[229][230] Periodisasi ini menuai kritik karena kesalahpahaman yang ditimbulkannya.[231] Periodisasi lainnya memilah-milah menjadi periode kuno, klasik, pertengahan, dan modern.[232] Smart[233] dan Michaels[234] tampaknya mengikuti periodisasi menurut Mill,[lower-alpha 10] sedangkan Flood[235] dan Muesse[237][238] mengikuti periodisasi yang terbagi menjadi periode kuno, klasik, pertengahan, dan modern.[239]
Periode-periode yang berbeda ditentukan sebagai masa Hinduisme Klasik:
Smart[233] | Michaels[14] | Muesse[238] | Flood[245] | |
---|---|---|---|---|
Umum | Detail | |||
Peradaban Lembah Sungai Indus dan Periode Weda (ca 3000–1000 SM) |
Agama-Agama Pra-Weda (prasejarah–ca 1750 SM) |
Peradaban Lembah Sungai Indus (3300–1400 SM) |
Peradaban Lembah Sungai Indus (ca 2500–1500 SM) | |
Agama Weda Kuno (ca 1750–500 SM) |
Periode Weda Awal (ca 1750–1200 SM) |
Periode Weda (1600–800 SM) |
Periode Weda (ca 1500–500 SM) | |
Periode Weda Pertengahan (dari 1200 SM) | ||||
Periode Praklasik (ca 1000 SM–100 M) |
Periode Weda Akhir (dari 850 SM) |
Periode Klasik (800–200 SM) | ||
Reformisme Asketis (ca 500–200 SM) |
Periode Epos dan Purana (ca 500 SM–500 M) | |||
Hinduisme Klasik (ca 200 SM–1100 M) |
Hinduisme Praklasik (ca 200 SM–300 M) |
Periode Epos dan Purana (200 SM–500 M) | ||
Periode Klasik (ca 100 M–1000 M) |
"Zaman Kejayaan" (Kemaharajaan Gupta) (ca 320–650 M) | |||
Hinduisme-Klasik Akhir (ca 650–1100 M) |
Periode-Purana Pertengahan dan Akhir (500–1500 M) |
Periode-Purana Pertengahan dan Akhir (500–1500 M) | ||
Peradaban Hindu-Islam (ca 1000–1750 M) |
Penaklukan Muslim dan Kemunculan Sekte-Sekte Hinduisme (ca 1100–1850 M) | |||
Abad Modern (1500–kini) |
Abad Modern (ca 1500–kini) | |||
Periode Modern (ca 1750–kini) |
Hinduisme Modern (sejak ca 1850) |
Ras manusia pertama yang menduduki India (ca 40.000–60.000 tahun yang lalu, saat periode Paleolitik) adalah Australoid yang mungkin memiliki hubungan dengan penduduk asli Australia.[246] Ada dugaan bahwa ras tersebut hampir punah atau terdesak oleh gelombang migrasi pada masa berikutnya.[247]
Setelah pendudukan oleh Australoid, maka ras Kaukasoid (meliputi bangsa Elamo-Dravida [ca 4000[248] hingga 6000 SM][249] dan Indo-Arya [ca 2000[250] hingga 1500 SM][251]) dan Mongoloid (Sino-Tibet) bermigrasi ke India. Bangsa Elamo-Dravida[lower-alpha 12] ada kemungkinan berasal dari Elam, kini merupakan wilayah Iran.[248][249][252][253]
Agama prasejarah tertua di India—yang mungkin meninggalkan jejaknya pada agama Hindu[lower-alpha 13]—berasal dari zaman mesolitik[255] dan neolitik.[254] Beberapa agama suku di India masih bertahan, mendahului dominansi agama Hindu, tapi tidak harus dianggap bahwa ada banyak kemiripan antara masyarakat suku pada zaman prasejarah dengan masa kini.[256]
Menurut antropolog Gregory Possehl, peradaban lembah sungai Indus (2600–1900 SM) mengandung titik pangkal yang logis, atau mungkin arbitrer, bagi beberapa aspek pada tradisi Hindu di kemudian hari.[257] Agama pada masa tersebut mengandung pemujaan kepada Dewa Yang Mahakuasa, yang dibandingkan oleh beberapa ahli (terutama John Marshall) sebagai proto-Siwa, dan mungkin sesosok Ibu Dewi, yang mendasari figur Sakti. Praktik-praktik lain dari zaman peradaban lembah sungai Indus yang berlanjut ke periode Weda meliputi pemujaan kepada air dan api. Akan tetapi, hubungan antara dewa-dewi dan praktik agama lembah sungai Indus dengan agama Hindu masa kini telah menjadi subjek perselisihan politis serta perdebatan para ahli.[258]
Periode Weda—yang berlangsung dari ca 1750 sampai 500 SM[234][lower-alpha 14]—disebut demikian karena berdasarkan agama berbasis Weda yang dianut oleh bangsa Indo-Arya,[260][lower-alpha 15] yang bermigrasi ke India barat daya setelah mundurnya peradaban lembah sungai Indus[261][262][263] (ada kemungkinan dari stepa Asia Tengah).[252][264] Bangsa ini membawa serta bahasa[265] dan agama mereka.[251][266] Agama mereka berkembang lebih jauh ketika bermigrasi ke dataran India Utara setelah ca 1100 SM dan menjadi pastoralis.[267][268][269]
Meskipun kepercayaan dan praktik pada masa Hinduisme Praklasik boleh jadi berasal dari bahan-bahan agama Proto-Indo-Eropa (yang masih hipotesis),[270] sastra yang mendasari tradisi pada masa itu adalah Weda Samhita, sehingga periode tersebut dinamai demikian. Kitab tertua di antara sastra Weda tersebut adalah Regweda, yang diperkirakan telah disusun pada periode 1700–1100 SM.[lower-alpha 16] Sastra Weda memusatkan pemujaan kepada para dewa seperti Indra, Baruna, dan Agni, serta melangsungkan upacara Soma. Kurban dengan api, yang disebut yadnya (yajña) dilaksanakan dengan merapalkan mantra-mantra Weda.[272][273] Sastra Weda dikodifikasi ketika bangsa Indo-Arya mulai menduduki dataran India Utara yang subur, kemudian melakukan transisi dari masyarakat penggembala menuju masyarakat agraris, sehingga kebutuhan akan organisasi yang lebih terstruktur mulai timbul. Masyarakat baru tersebut melibatkan penduduk yang lebih dahulu bermukim di dataran subur tersebut. Mereka dimasukkan ke dalam sistem warna menurut bangsa Arya, dengan otoritas politik dan keagamaan berada di tangan kaum brahmana dan kesatria.[274]
Selama Periode Weda Awal (ca 1500–1100 SM), suku-suku penganut Weda merupakan suku penggembala, berkelana di sekitar India sebelah barat laut.[275] Setelah 1100 SM, seiring ditemukannya besi, suku-suku penganut Weda berpindah ke dataran India Utara sebelah barat, dan mengadaptasi gaya hidup agraris.[276][277] Bentuk-bentuk wilayah berdaulat yang belum sempurna mulai muncul, dan yang paling menonjol atau berpengaruh adalah kerajaan suku Kuru.[267][278] Kerajaan tersebut merupakan ikatan kesukuan, yang kemudian berkembang menjadi masyarakat setingkat negara—yang pertama kali tercatat dalam sejarah Asia Selatan—sekitar 1000 M.[267] Secara terang-terangan, mereka mengubah warisan budaya dari Periode Weda sebelumnya, mengumpulkan himne-himne Weda menjadi suatu himpunan, dan mengembangkan upacara-upacara baru yang menonjol dalam peradaban India sebagai upacara-upacara srauta,[267] yang berkontribusi bagi "sintesis klasik" atau "sintesis Hindu".[274][48]
Pada abad ke-9 dan ke-8 SM terjadi penyusunan kitab-kitab Upanishad tertua.[279] Upanishad membentuk suatu dasar teoretis bagi Hinduisme Klasik dan dikenal sebagai Wedanta (kesimpulan dari Weda).[280] Kitab-kitab Upanishad kuno menangkal intensitas upacara-upacara yang kian bertambah.[281] Spekulasi monistis yang beragam dari ajaran Upanishad disintesiskan menjadi suatu kerangka teistis dalam kitab suci Hindu Bhagawadgita.[282]
Etika dalam kitab-kitab Weda berdasarkan konsep satya dan reta. Satya adalah prinsip integrasi yang berakar pada kemutlakan. Reta adalah ungkapan dari satya, yang meregulasi dan mengkoordinasi jalannya alam semesta beserta segala sesuatu di dalamnya.[283] Kesesuaian dengan reta akan memungkinkan sesuatu berjalan sebagaimana mestinya, sedangkan penyimpangan akan mengakibatkan hal yang tidak diinginkan.[284] Istilah dharma sudah digunakan dalam filsafat-filsafat Brahmanis, yang dipandang sebagai aspek dari reta.[285] Istilah reta juga dikenal dalam agama Proto-Indo-Iran, yaitu agama orang-orang Indo-Iran sebelum kehadiran kitab-kitab Weda (Indo-Aryan) dan Zoroastrianisme (Iran). Asha (aša) adalah istilah dalam bahasa Avesta yang mirip dengan ṛta dalam Weda.[286]
Kitab-kitab Weda merupakan pustaka bagi golongan atas, dan tidak semata-mata mengungkapkan gagasan atau praktik yang populer.[287] Agama berbasis Weda pada periode selanjutnya hadir berdampingan dengan agama-agama lokal—seperti pemujaan Yaksa[274][288][289]—dan ia sendiri merupakan hasil dari campuran antara kebudayaan Indo-Arya dengan Harrapa.[52]
Peningkatan urbanisasi di India pada abad ke-7 dan ke-6 SM telah mendukung terjadinya gerakan asketis atau Sramana yang menentang fanatisme terhadap berbagai upacara.[290] Mahavira (ca 549–477 SM, pemuka Jainisme) dan Buddha Gautama (ca 563–483 SM, penggagas tradisi Buddhisme) adalah tokoh-tokoh terkemuka dalam gerakan tersebut.[291] Menurut Heinrich Zimmer, Jainisme dan Buddhisme adalah bagian dari warisan kebudayaan pra-Weda, yang juga meliputi Samkhya dan Yoga:
Jainisme tidak berasal dari sumber-sumber [budaya] Brahman-Arya,[lower-alpha 17] tetapi mencerminkan kosmologi dan antropologi masyarakat kuno pra-Arya golongan atas [yang tinggal] di India bagian timur laut–dengan berpangkal pada dasar-dasar yang sama tentang spekulasi metafisis kuno seperti Yoga, Sankhya, dan Buddhisme, yaitu ajaran-ajaran India lainnya yang tidak berbasis Weda.[lower-alpha 18][292][293]
Dalam suatu bagian, tradisi Sramana mengajarkan konsep siklus kelahiran dan kematian (siklus reinkarnasi), konsep samsara, dan konsep pencarian kebebasan (dari reinkarnasi tersebut), yang menjadi karakteristik Hinduisme.[294]
James B. Pratt dalam bukunya The Pilgrimage of Buddhism and a Buddhist Pilgrimage menulis bahwa Oldenberg (1854–1920), Neumann (1865–1915), dan Radhakrishnan (1888–1975) percaya bahwa Tripitaka Buddhis mendapat pengaruh dari kitab-kitab Upanishad, sedangkan la Vallee Poussin menyatakan ketiadaan pengaruh apa pun, dan ahli lainnya menegaskan bahwa pada bagian-bagian tertentu, Sang Buddha menyatakan antitesis secara langsung kepada Upanishad.[295]
Periode Hinduisme Klasik diawali dengan periode Hinduisme Praklasik, dilanjutkan dengan zaman kejayaan Hindu pada masa Dinasti Gupta, lalu ditutup dengan periode Hinduisme Klasik Akhir. Periode Hinduisme Klasik ini disusul dengan kedatangan agama Islam ke Asia Selatan, lalu diikuti dengan pendirian aliran atau sekte dalam agama Hindu.
Pada periode dari 500[48] hingga 200 SM,[296] dan ca 300 M, terjadi "sintesis Hindu",[48] yang menyerap pengaruh-pengaruh Sramana dan Buddha,[296][297] serta kemunculan tradisi bhakti dalam balutan Brahmanisme melalui pustaka Smerti.[298] Sintesis ini timbul di bawah tekanan perkembangan agama Buddha dan Jainisme.[58]
Menurut Embree, beberapa tradisi keagamaan lainnya hadir berdampingan dengan agama berbasis Weda. Agama-agama pribumi tersebut akhirnya menemukan tempat di bawah naungan agama Weda.[299] Ketika Brahmanisme mulai kehilangan pamornya[243] dan harus bersaing dengan Buddhisme dan Jainisme,[298] agama-agama yang populer mendapat kesempatan untuk menonjolkan ajarannya.[299] Menurut Embree:
Para Brahmanis tampaknya bergiat untuk memperluas perkembangan [agamanya] sebagai maksud untuk menghadapi gempuran aliran-aliran yang lebih heterodoks. Pada saat yang sama, di kalangan agama-agama pribumi yang ada, kesetiaan terhadap kewenangan sastra Weda telah memberikan suatu tali persatuan yang tipis—namun begitu signifikan—di antara kemajemukan dewa-dewi dan praktik keagamaan [yang ada].[lower-alpha 19][299]
Menurut Larson, para brahmana menanggapinya dengan asimilasi dan konsolidasi. Hal tersebut tercerminkan dalam pustaka Smerti yang mulai disusun pada periode itu.[300] Kitab-kitab Smerti dari periode 200 SM–100 M mempermaklumkan kewenangan Weda, sehingga pengakuan terhadap kewenangan Weda menjadi kriteria utama untuk membedakan Hinduisme dengan aliran heterodoks yang menolak Weda.[301] Sebagian besar gagasan dasar dan praktik Hinduisme Klasik berasal dari pustaka Smerti, yang kemudian menjadi inspirasi dasar bagi kebanyakan umat Hindu.[300]
Dua wiracarita India terkemuka—Ramayana dan Mahabharata—yang tergolong ke dalam Smerti, disusun dalam periode panjang selama akhir zaman Sebelum Masehi dan awal zaman Masehi.[302] Pustaka tersebut mengandung cerita mitologis tentang para pemimpin dan peperangan pada zaman India Kuno, dan diselingi dengan filsafat dan ajaran agama. Sastra Purana yang disusun pada masa berikutnya mengandung cerita tentang para dewa-dewi, interaksi mereka dengan manusia, dan pertempuran mereka melawan para rakshasa. Kitab Bhagawadgita memperkuat keberhasilan[303] konsolidasi agama Hindu,[303] dengan memadupadankan gagasan-gagasan Brahmanis dan Sramana menjadi suatu kebaktian yang teistis.[303][304][305]
Pada awal zaman Masehi, beberapa mazhab filsafat Hindu dikodifikasikan secara formal, meliputi Samkhya, Yoga, Nyaya, Waisesika, Purwamimamsa, dan Wedanta.[306]
Selama periode ini, kekuasaan atas India disentralisasi, seiring dengan berkembangnya perdagangan ke negeri yang jauh, standardisasi prosedur legal, dan pemberantasan buta huruf.[307] Buddhisme aliran Mahayana menyebar, sedangkan kebudayaan Brahmana ortodoks mulai disegarkan kembali di bawah perlindungan Dinasti Gupta,[308] yang dipimpin para raja penganut Waisnawa.[309] Kedudukan para brahmana diperkuat kembali dan kuil-kuil Hindu mulai didirikan sebagai dedikasi untuk dewa-dewi Hindu.[307] Selama pemerintahan Dinasti Gupta, sastra Purana mulai ditulis, digunakan untuk menyebarkan ideologi keagamaan umum di kalangan masyarakat pribumi dan buta huruf yang menjalani akulturasi.[310] Para raja Gupta melindungi tradisi Purana yang mulai berkembang demi perbawa wangsa mereka.[309] Hal ini menyebabkan timbulnya Hinduisme-Puranis (Puranic Hinduism), yang berbeda dengan Brahmanisme sebelumnya yang mengacu pada Dharmasastra dan Smerti.[310]
Gerakan Bhakti muncul pada periode ini. Gerakan Bhakti merupakan perkembangan tradisi bhakti yang tumbuh sangat cepat, bermula di Tamil Nadu (India Selatan). Para Nayanar dari aliran Saiwa (abad ke-4 – ke-10)[311] serta para Alwar dari aliran Waisnawa (abad ke-3 – ke-9) menyebarkan puisi dan tradisi bhakti ke berbagai penjuru India dari abad ke-12 hingga ke-18.[312][311]
Menurut P.S. Sharma, periode Gupta dan Harsha membentuk—dari segi intelektual—kurun waktu paling gemilang dalam perkembangan filsafat India, ketika filsafat Hindu dan Buddha tumbuh subur secara berdampingan.[313] Carwaka, mazhab materialisme ateistis, tampil di India Utara sebelum abad ke-8.[314]
Setelah runtuhnya kemaharajaan Gupta dan Harsha, kekuasaan di India mengalami desentralisasi. Beberapa kerajaan besar mulai berdiri, dengan negeri taklukan yang sangat banyak. Kerajaan-kerajaan tersebut dipimpin dengan sistem feodal. Kerajaan yang lebih kecil bergantung pada kerajaan yang lebih besar. Maharaja sulit dijangkau, sangat diagungkan dan didewakan,[315] sebagaimana yang digambarkan dalam mandala Tantra, dan kadang kala raja digambarkan sebagai pusat mandala.[316]
Perpecahan kekuasaan pusat juga mengarah kepada regionalisasi religiositas, serta persaingan religius.[317] Kultus dan bahasa lokal lebih diutamakan, dan pengaruh Hinduisme-Brahmanis ritualistis (ritualistic Brahmanic Hinduism) berkurang.[317] Gerakan rakyat dan kebaktian mulai bermunculan, seiring dengan [tumbuhnya] aliran Saiwa, Waisnawa, Bhakti, dan Tantra, meskipun pengelompokan menurut sekte hanya terjadi saat permulaan perkembangan aliran-aliran tersebut.[317] Gerakan keagamaan berkompetisi untuk memperoleh pengakuan dari penguasa lokal. Agama Buddha kehilangan pamornya setelah abad ke-8, lalu mulai memudar di India.[317] Hal tersebut tersirat dari penghentian ritus puja Buddhis di lingkungan istana-istana India pada abad ke-8, ketika dewa-dewa Hindu menggantikan peran Buddha sebagai pelindung kerajaan.[318]
Sastra Purana kuno disusun untuk menyebarkan ideologi keagamaan yang awam di kalangan masyarakat pribumi yang mengalami akulturasi. Seiring dengan dadal yang dialami Dinasti Gupta, tanah-tanah perawan dikumpulkan oleh para brahmana, yang tidak hanya menjamin keuntungan agraris dari eksploitasi tanah yang dimiliki para raja, tetapi juga memberikan status bagi kelas penguasa yang baru.[319] Para brahmana menyebar ke berbagai penjuru India, berinteraksi dengan warga lokal yang menganut kepercayaan dan ideologi berbeda. Para brahmana menggunakan Purana untuk mengajak berbagai klan menjadi masyarakat agraris, serta mengikuti agama dan ideologi para brahmana.[64] Menurut Flood, para brahmana yang mengikuti agama berbasis Purana kemudian dikenal sebagai Smarta, artinya orang yang bersembahyang berdasarkan Smerti, atau Pauranika, yaitu penganut Purana.[320] Kepala suku dan warga lokal diserap ke dalam sistem warna, demi mengendalikan tindak tanduk kaum "kesatria dan sudra baru" tersebut.[321] Kelompok-kelompok brahmana semakin besar dengan mengikutsertakan orang lokal, seperti pendeta dan rohaniwan lokal. Hal ini mengarah ke stratifikasi bagi kaum brahmana, sehingga ada golongan brahmana yang memiliki derajat lebih tinggi dibandingkan brahmana lainnya.[64] Penarapan sistem kasta lebih sesuai bagi Hinduisme Puranis daripada aliran-aliran Sramana (Buddha atau Jaina). Pustaka Purana mencantumkan suatu riwayat silsilah yang luas sehingga dapat memberikan status kesatria baru bagi suatu golongan. Sementara itu, ajaran Buddha menggambarkan pemerintah sebagai suatu kontrak antara orang yang terpilih dengan rakyat, dan chakkavatti Buddhis adalah konsep yang berbeda dengan model penaklukkan yang dilakukan para kesatria dan kaum Rajput Hindu.[321]
Brahmanisme berdasarkan pustaka Dharmasastra dan Smerti mengalami transformasi radikal di tangan para penyusun Purana, mengakibatkan munculnya Hinduisme Puranis (Puranic Hinduism),[310] bagaikan "raksasa" yang melangkahi "cakrawala keagamaan", yang kemudian melintangi segala agama-agama yang ada.[322] Hinduisme Puranis merupakan sistem kepercayaan yang terdiri dari banyak bagian yang tumbuh dan meluas dengan menyerap dan memadukan gagasan-gagasan bertentangan dan berbagai tradisi pemujaan.[322] Agama ini berbeda dengan Smarta yang menjadi pangkalnya. Perbedaan itu terletak pada ketenaran, pluralisme teologis, pluralisme sekte, pengaruh Tantra, dan pengutamaan bhakti.[322]
Banyak kepercayaan dan tradisi lokal yang diasimilasi ke dalam Hinduisme Puranis. Wisnu dan Siwa tampil sebagai dewa yang utama, berdampingan dengan Sakti/Dewi. Pemujaan kepada Wisnu akhirnya menimbulkan kultus Narayana, Jagatnata, Wenkateswara, dan lain-lain. Menurut Nath:
Beberapa inkarnasi Wisnu seperti Matsya, Kurma, Waraha, dan bahkan Narasinga membantu pemaduan simbol-simbol totem populer dan mitos penciptaan, khususnya yang berkaitan dengan babi hutan, yang umumnya meresapi mitologi [masyarakat] prapustaka, sedangkan [inkarnasi] lainnya seperti Kresna dan Balarama menjadi alat untuk mengasimilasi kultus dan mitos lokal yang berpusat pada dewa-dewa pedesaan dan pertanian.[lower-alpha 20][323]
Rama dan Kresna menjadi pujaan utama dalam tradisi bhakti, yang terutama diungkapkan dalam Bhagawatapurana. Tradisi pemujaan Kresna melibatkan beberapa kultus berbasis naga, yaksa, bukit, dan pepohonan.[324] Siwa menyerap kultus-kultus lokal dengan menambahkan kata Isa atau Iswara pada nama dewa-dewa lokal, contohnya Buteswara, Hatakeswara, Candeswara.[325] Dalam lingkungan keluarga raja pada abad ke-8, puja terhadap Buddha mulai tergantikan oleh puja terhadap dewa-dewi Hindu. Pada periode itu pula, Buddha dimasukkan sebagai salah satu awatara Wisnu.[326]
Mazhab Adwaita Wedanta yang non-dualistis—yang mendapat pengaruh agama Buddha[327]—dirumuskan kembali oleh Adi Shankara dengan membuat sistematisasi karya-karya para filsuf pendahulunya.[328] Pada masa kini, karena pengaruh Orientalisme Barat dan Perenialisme terhadap Neo-Wedanta India dan nasionalisme Hindu,[329] Adwaita Wedanta mendapatkan sambutan yang luas dalam kebudayaan India dan di luar India sebagai contoh paradigmatis dari spiritualitas Hindu.[329]
Meskipun Islam sudah datang ke India sejak awal abad ke-7 (seiring dengan kedatangan para pedagang Arab dan penaklukan Sindhu), agama tersebut menjadi agama utama selama periode penaklukan Islam di Asia Selatan pada masa selanjutnya.[330] Pada periode tersebut, agama Buddha memudar secara drastis, dan banyak umat Hindu pindah agama ke Islam.[331][332] Banyak penguasa muslim beserta panglimanya, seperti Aurangzeb dan Malik Kafur yang menghancurkan tempat ibadah umat Hindu dan menindas kaum non-muslim;[333][334] akan tetapi, beberapa penguasa muslim seperti Akbar bersikap lebih toleran.
Agama Hindu mengalami reformasi besar-besaran karena pengaruh Guru Ramanuja yang terkemuka, serta Guru Madhwa, dan Sri Caitanya.[330] Pengikut gerakan Bhakti beralih dari konsep Brahman yang abstrak—yang dianjurkan oleh filsuf Adi Shankara berabad-abad sebelumnya—dengan tradisi kebaktian yang lebih bersemangat terhadap pemujaan para awatara yang lebih mudah dibayangkan, terutama Kresna dan Rama.[335] Menurut Nicholson, antara abad ke-17 dan ke-16, beberapa cendekiawan tertentu mulai menarik benang merah pada kanekaragaman ajaran filosofis dalam Upanishad, wiracarita, Purana, dan mazhab filsafat yang dikenal sebagai "enam sistem" (saddarsana) dari filsafat Hindu yang umum.[336] Lorenzen menentukan bahwa asal mula identitas ke-Hindu-an yang khas berawal dari interaksi antara muslim dan umat Hindu,[86] dan dari suatu proses pencarian jati diri yang membedakan diri dengan muslim,[337] yang sudah dimulai sebelum 1800-an.[87] Baik cendekiawan India ataupun Eropa—yang mempopulerkan istilah "Hinduisme" pada abad ke-19—telah mendapat pengaruh dari filsafat tersebut.[26] Michaels menggarisbawahi bahwa historisasi muncul sebelum nasionalisme di kemudian hari, yang menyuarakan gagasan kejayaan agama Hindu dan masa lampau.[88]
Di tengah kekuasaan British Raj (penjajahan Inggris atas India), Renaisans Hindu mulai bangkit pada abad ke-19, yang memberi perubahan besar bagi pemahaman akan agama Hindu, baik di India ataupun di Barat.[13] Indologi (disiplin ilmiah tentang kajian kebudayaan India dari sudut pandang Eropa) didirikan pada abad ke-19, dipimpin oleh para ahli seperti Max Müller dan John Woodroffe. Mereka memboyong filsafat dan pustaka Weda, Purana, dan Tantra ke Eropa. Para orientalis mencari-cari "hakikat" agama-agama di India, dan menemukannya pada pustaka Weda,[338] sambil membuat gagasan bahwa "Hinduisme" adalah suatu kesatuan dari berbagai adat keagamaan dan gambaran populer mengenai ‘India yang mistis’.[339][13] Gagasan tersebut diambil alih oleh beberapa gerakan reformasi Hindu seperti Brahmo Samaj, yang didukung untuk sesaat oleh Gereja Unitarian,[340] bersama dengan gagasan Universalisme dan Perenialisme, yaitu gagasan bahwa seluruh agama memiliki dasar mistisisme yang sama.[341] "Modernisme Hindu", dengan tokoh terkemuka seperti Vivekananda, Aurobindo, serta Radhakrishnan menjadi panutan dalam pemahaman populer mengenai agama Hindu.[342][343][344][345]
Tokoh Hindu yang berpengaruh pada abad ke-20 adalah Ramana Maharshi, B.K.S. Iyengar, Paramahansa Yogananda, Swami Prabhupada (pendiri ISKCON), Sri Chinmoy, dan Swami Rama, yang menerjemahkan, merumuskan ulang, dan memperkenalkan pustaka dasar agama Hindu bagi khalayak awam masa kini dengan imla yang baru, mengangkat pandangan tentang Yoga dan Wedanta di Dunia Barat, serta menarik pengikut baru dan perhatian masyarakat di India dan negara lainnya.
Pada abad ke-20, agama Hindu juga mendapatkan keunggulan sebagai kekuatan politis dan acuan bagi jati diri bangsa India. Sejak pendirian Hindu Mahasabha pada 1910-an, banyak gerakan bertumbuh dengan perumusan dan perkembangan ideologi Hindutva pada dekade-dekade berikutnya; pendirian Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS) pada tahun 1925; dan percabangan RSS—yang kemudian berhasil—yaitu Jana Sangha dan Bharatiya Janata Party (BJP) dalam politik pemilu pada masa pascakemerdekaan India.[346] Religiositas Hindu juga memainkan peran penting dalam gerakan nasionalis.[347]
Masyarakat Hindu dikategorikan menjadi empat kelas, disebut warna, yaitu sebagai berikut:
Kitab Bhagawadgita menghubungkan warna dengan kewajiban seseorang (swadharma), pembawaan (swabhāwa), dan kecenderungan alamiah (guṇa).[84] Berdasarkan pengertian warna menurut Bhagawadgita, tokoh spiritual Hindu Sri Aurobindo membuat doktrin bahwa pekerjaan seseorang semestinya ditentukan oleh bakat dan kapasitas alaminya.[348][349] Dalam kitab Manusmerti terdapat pengelompokan kasta-kasta yang berbeda.[350]
Mobilitas dan fleksibitas dalam warna menampik dugaan diskriminasi sosial dalam sistem kasta, sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa sosiolog,[351][352] meskipun beberapa ahli tidak sependapat.[353] Para ahli memperdebatkan apakah sistem kasta merupakan bagian dari Hinduisme yang diatur oleh kitab suci, ataukah sekadar adat masyarakat.[354][355][lower-alpha 21] Berbagai ahli berpendapat bahwa sistem kasta dibangun oleh rezim kolonial Britania.[357] Menurut guru rohani Hindu Sri Ramakrishna (1836–1886):
Para pencinta Tuhan tidak tergolong dalam kasta tertentu … Seorang brahmana tanpa cinta pada Tuhan bukanlah brahmana lagi. Dan seorang paria tanpa cinta pada Tuhan bukanlah paria lagi. Melalui bhakti (pengabdian kepada Tuhan), seorang hina dina dapat menjadi suci dan derajatnya pun meningkat.[358]
Menurut sastra Wedanta, orang yang berada di luar warna disebut "warnatita". Para ahli seperti Adi Sankara menegaskan bahwa tidak hanya Brahman yang melampaui seluruh warna, tapi seseorang yang dapat bersatu dengan-Nya juga dapat melampaui seluruh perbedaan dan pembatasan kasta-kasta.
Secara tradisional, kehidupan umat Hindu terbagi menjadi empat āśrama atau caturasrama (empat fase atau empat tahapan). Bagian pertama dalam kehidupan seseorang adalah Brahmacari, yaitu masa menuntut ilmu. Tahap ini dilaksanakan sebelum masa kawin, untuk dapat berkontemplasi secara murni dan bijaksana di bawah bimbingan Guru, demi membangun pikiran dan fondasi spiritual. Tahap berikutnya adalah Grehasta, yaitu tahap membangun kehidupan rumah tangga, dilaksanakan dengan cara menikah dan memenuhi kāma (kenikmatan indria) dan arta (kemakmuran). Setelah berumah tangga, kewajiban moral yang dilaksanakan meliputi: mengasuh anak, merawat orang tua, menghormati tamu dan orang suci.
Setelah berumah tangga dalam jangka waktu tertentu, umat Hindu kemudian menempuh tahap Wanaprasta, yaitu masa pensiun atau masa melepaskan diri dari kesibukan duniawi. Tahap ini dapat dilaksanakan dengan cara menyerahkan tanggung jawab kepada keturunan, agar pensiunan mendapatkan lebih banyak kesempatan untuk melakukan aktivitas keagamaan dan mengunjungi tempat-tempat suci. Tahap yang terakhir adalah Sannyasa, yaitu masa menghabiskan sisa hidup dengan melakukan tapa brata, atau berusaha melepaskan diri dari ikatan duniawi. Pelepasan tersebut dilakukan dalam rangka menemukan Tuhan, serta untuk mencari cara meninggalkan tubuh fana secara damai, agar mencapai suatu kondisi yang disebut moksa.[359]
Praktik keagamaan Hindu biasanya bertujuan untuk mencari kesadaran akan Tuhan, dan kadang kala mencari anugerah dari para dewa. Maka dari itu, ada beragam praktik keagamaan dalam tubuh Hinduisme yang dimaksudkan untuk membantu seseorang dalam upaya memahami Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam banyak praktik keagamaan dan ritual, umat Hindu biasanya mengucapkan mantra. Mantra adalah seruan, panggilan, atau doa yang membantu umat Hindu agar dapat memusatkan pikiran kepada Tuhan atau dewa tertentu, melalui kata-kata, suara, dan cara pelantunan. Pada pagi hari, di tepi sungai yang dikeramatkan, banyak umat Hindu yang melaksanakan upacara pembersihan sambil melantunkan Gayatri Mantra atau mantra-mantra Mahamrityunjaya.[360] Wiracarita Mahabharata mengagungkan japa (lagu-lagu pujaan) sebagai kewajiban terbesar pada masa Kaliyuga (zaman sekarang, 3102 SM–kini).[361] Banyak aliran yang mengadopsi japa sebagai praktik spiritual yang utama.[361]
Praktik spiritual Hindu yang cukup populer adalah Yoga. Yoga merupakan ajaran Hindu yang gunanya melatih kesadaran demi kedamaian, kesehatan, dan pandangan spiritual. Hal ini dilakukan melalui seperangkat latihan dan pembentukan posisi tubuh untuk mengendalikan raga dan pikiran.[362]
Bhajan merupakan praktik pelantunan lagu-lagu pujian. Praktik ini memiliki bentuk beragam: dapat berupa mantra semata atau kirtan, atau berupa dhrupad atau kriti dengan musik berdasarkan raga dan tala menurut musik klasik India.[363] Biasanya, bhajan mengandung syair untuk mengungkapkan cinta kepada Tuhan. Istilah tersebut sepadan dengan bhakti yang artinya "pengabdian religius", menyiratkan pentingnya bhajan bagi gerakan bhakti yang menyebar dari India bagian selatan ke seluruh subkontinen India pada masa Moghul.
Penggalan cerita dari kitab suci, ajaran para orang suci, serta deskripsi para dewa telah menjadi subjek bagi pelaksanaan bhajan. Tradisi dhrupad, qawwali Sufi,[364] dan kirtan atau lagu dalam tradisi Haridasi berkaitan dengan bhajan. Nanak, Kabir, Meera, Narottama Dasa, Surdas, dan Tulsidas adalah para pujangga bhajan terkemuka. Tradisi dalam bhajan seperti Nirguni, Gorakhanathi, Vallabhapanthi, Ashtachhap, Madhura-bhakti, dan Sampradya Bhajan dari India Selatan memiliki repertoar dan cara pelantunan masing-masing.
Banyak umat Hindu dari berbagai aliran yang melaksanakan ritual keagamaan sehari-hari.[365][366] Banyak umat Hindu yang melaksanakannya di rumah,[367] tetapi pelaksanaannya berbeda-beda tergantung daerah, desa, dan kecenderungan umat itu sendiri. Umat Hindu yang saleh melaksanakan ritual sehari-hari seperti sembahyang subuh sehabis mandi (biasanya di kamar suci/tempat suci keluarga, dan biasanya juga diiringi dengan menyalakan pelita serta menghaturkan sesajen ke hadapan arca dewa-dewi), membaca kitab suci berulang-ulang, menyanyikan lagu-lagu pemujaan, meditasi, merapalkan mantra-mantra, dan lain-lain.[367] Ciri menonjol dalam ritual keagamaan Hindu adalah pembedaan antara yang murni dan sudah tercemar. Ada aturan yang mengisyaratkan bagaimana kondisi-kondisi yang dikatakan tercemar atau tak murni lagi, sehingga pelaksana upacara harus melakukan pembersihan atau pemurnian kembali sebelum upacara dimulai. Maka dari itu, penyucian—biasanya dengan air—menjadi ciri umum dalam kebanyakan aktivitas keagamaan Hindu.[367] Ciri lainnya meliputi kepercayaan akan kemujaraban upacara dan konsep pahala yang diperoleh melalui kemurahan hati atau keikhlasan, yang akan bertumpuk-tumpuk dari waktu ke waktu sehingga mengurangi penderitaan di kehidupan selanjutnya.[367]
Ritus dengan sarana api (yadnya) kini tidak dilakukan sesering mungkin, meskipun pelaksanaannya sangat diagungkan dalam teori. Akan tetapi, dalam upacara pernikahan dan pemakaman adat Hindu, pelaksanaan yadnya dan perapalan mantra-mantra Weda masih disesuaikan dengan norma.[368] Beberapa upacara juga berubah seiring berjalannya waktu. Sebagai contoh, pada masa beberapa abad yang lalu, persembahan tarian dan musik sakral menurut kaidah Sodasa Upachara yang standar—sebagaimana tercantum dalam Agamashastra—tergantikan oleh persembahan dari nasi dan gula-gula.
Peristiwa seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian melibatkan seperangkat tradisi Hindu yang terperinci. Dalam agama Hindu, upacara bagi "siklus kehidupan" meliputi Annaprashan (ketika bayi dapat memakan makanan yang keras untuk pertama kalinya), Upanayanam (pelantikan anak-anak kasta menengah ke atas saat mulai menempuh pendidikan formal), dan Śrāddha (upacara menjamu orang-orang dengan makanan karena bersedia melantunkan doa-doa kepada "Tuhan" agar jiwa mendiang mendapatkan kedamaian).[369][370] Untuk perihal pernikahan, bagi sebagian besar masyarakat India, masa pertunangan pasangan muda-mudi serta tanggal dan waktu pernikahan ditentukan oleh para orang tua dengan konsultasi ahli perbintangan.[369] Untuk perihal kematian, kremasi merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kerabat mendiang, kecuali bila mendiang adalah sanyasin, hijra, atau anak di bawah lima tahun. Biasanya, kremasi dilakukan dengan membungkus jenazah dengan pakaian terlebih dahulu, lalu membakarnya dengan api unggun.
Umat Hindu menganjurkan praktik ahimsa (ahiṃsā; artinya "tanpa kekerasan") dan penghormatan kepada seluruh bentuk kehidupan karena mereka meyakini bahwa "percikan dari Tuhan" juga meresap ke dalam setiap makhluk hidup, termasuk tumbuhan dan hewan.[371] Istilah ahimsa disebutkan dalam kitab-kitab Upanishad[372] dan wiracarita Mahabharata. Ahimsa adalah yang pertama di antara lima yama (pancayamabrata; lima prinsip pengendalian diri) dalam Yogasutra Patanjali,[373] dan menjadi prinsip pertama bagi seluruh anggota Warnasramadarma (brahmana, kesatria, waisya, dan sudra) menurut Manusmerti.[374]
Konsep ahimsa dalam Hinduisme tidak seketat agama Buddha dan Jainisme, karena jejak keberadaan praktik-praktik pengorbanan dapat ditelusuri dalam kitab-kitab Weda, contohnya mantra-mantra untuk kurban kambing (dalam Regweda),[375] kurban kuda (Aswameda, dalam Yajurweda), dan kurban manusia (Purusameda, dalam Yajurweda),[376] sedangkan dalam ritus Jyotistoma ada tiga hewan yang dikurbankan melalui upacara yang masing-masing disebut Agnisomiya, Sawaniya, dan Anubandya. Yajurweda dianggap sebagai Weda pengorbanan dan ritual,[377][378] serta menyebutkan beberapa ritus pengurbanan hewan, contohnya mantra dan prosedur pengurbanan kambing putih kepada Bayu,[379] seekor anak lembu kepada Saraswati, seekor sapi bertutul kepada Sawitr, seekor banteng kepada Indra, seekor sapi yang dikebiri kepada Baruna, dan lain-lain.[380]
Tanggapan yang menentang pelaksanaan kurban datang dari aliran Carwaka yang menuliskan kritik mereka dalam Barhaspatyasutra (abad ke-3 SM) sebagai berikut:
"Jika hewan yang dikurbankan dalam ritus Jyotistoma akan segera mencapai surga,
mengapa si pelaksana tidak segera mengurbankan ayahnya saja?"[381]
Pada masa perkembangan Hinduisme dan Buddhisme di India, para raja Buddhis seperti Ashoka memengaruhi rakyatnya dengan larangan pelaksanaan kurban.[376] Pada masa pemerintahan Ashoka, sebuah titah diberlakukan dan dituliskan pada sebuah batu, dengan kata-kata sebagai berikut:
"Ini adalah titah dari orang yang disayangi para dewa, Raja Piyadasi. Tindak pembunuhan kepada hewan tidak boleh dilakukan untuk seterusnya."[376]
Dari sini, reaksi sosial berkenaan dengan kitab tata cara pengorbanan (Brahmana) dapat ditelusuri.[376] Menurut Panini, ada dua macam Brahmana, yaitu Brahmana Lama dan Brahmana Baru.[376] Dalam Brahmana Lama—seperti Aitareya Brahmana untuk Regweda—pengorbanan benar-benar dilakukan, tapi dalam Brahmana Baru seperti Shatapatha Brahmana, hewan kurban dilepaskan setelah terikat pada tiang pengorbanan.[376] Hal ini merupakan reaksi dari kebangkitan agama-agama Sramana—seperti agama Buddha dan Jainisme—yang berakibat pada peletakan konsep ahimsa di kalangan praktisi kitab Brahmana.
Sesuai dengan konsep ahimsa, maka banyak umat Hindu yang mengikuti vegetarianisme (tidak makan daging) demi menghormati bentuk kehidupan yang tingkatannya tinggi. Sejumlah umat justru pantang makan daging hanya pada hari-hari tertentu. Budaya makan juga bervariasi sesuai komunitas dan kawasan. Sebagai contoh, beberapa kasta memiliki sedikit penganut vegetarianisme, sedangkan masyarakat pesisir cenderung bergantung kepada masakan laut.[382][383] Perkiraan jumlah lakto-vegetarian di India (mencakup umat seluruh agama di sana) bervariasi antara 20% dan 42%.[lower-alpha 22]
Dalam agama Hindu, kemurnian makanan bersifat sangat penting karena ada keyakinan bahwa makanan mencerminkan tiga kualitas sifat (triguna) yang umum, yaitu: kesucian (satwam), semangat (rajas), dan kelambanan (tamas). Maka dari itu, aturan makan yang sehat akan menjadi sesuatu yang turut membersihkan hati seseorang.[384] Berdasarkan alasan tersebut, umat Hindu dianjurkan untuk menghindari atau meminimalkan konsumsi makanan yang tidak meningkatkan kebersihan hati. Beberapa contoh makanan yang dimaksud adalah bawang merah dan bawang putih, yang diyakini mengandung sifat rajas (keadaan yang dicirikan oleh sifat suka menentang dan egois), serta daging (daging dari hewan apa pun), yang diyakini mengandung sifat tamas (keadaan yang dicirikan oleh kemarahan, kerakusan, dan iri hati).[385]
Vegetarianisme dianjurkan oleh sejumlah aliran Hinduisme—meliputi Waisnawa dan Saiwa—yang melarang pengorbanan hewan,[386] tetapi tidak dianjurkan oleh aliran Hinduisme yang mengizinkan pengorbanan hewan.[387] Pada umumnya, pengorbanan hewan dilakukan oleh umat Hindu dari aliran Sakta,[388] (beberapa) komunitas Hindu dari golongan sudra dan kesatria,[389][390] penganut aliran Hinduisme di India Timur,[387] serta penganut aliran Hinduisme di Asia Tenggara.[391]
Pada umumnya, umat Hindu yang mengonsumsi daging tidak akan mau memakan daging sapi. Dalam masyarakat Hindu, sapi dipercaya sebagai pengasuh manusia serta merupakan figur keibuan,[392] dan mereka menghormatinya sebagai lambang kasih tak bersyarat.[393] Maka dari itu, praktik penyembelihan sapi dilarang secara resmi di hampir seluruh negara bagian di India.[394]
Pada masa kini, ada banyak kelompok keagamaan Hindu yang menekankan praktik vegetarianisme yang ketat. Salah satu contoh yang terkenal adalah gerakan ISKCON (International Society for Krishna Consciousness), yang mewajibkan pengikutnya untuk tidak hanya pantang makan daging (termasuk ikan dan unggas), tetapi juga menghindari sayuran/tumbuhan tertentu yang dianggap dapat memberikan pengaruh negatif, seperti bawang merah, bawang putih,[384] dan jamur.[395] Contoh yang kedua adalah gerakan Swaminarayan. Pengikut gerakan ini juga sangat setia untuk tidak mengkonsumsi daging, telur, dan ikan.[396]
Sejumlah umat Hindu memilih untuk hidup sebagai petapa (Sanyāsa) dalam upaya mencapai "moksa" ataupun bentuk kesempurnaan spiritual lainnya. Para petapa berkomitmen untuk hidup sederhana, tidak berhubungan seksual, tidak mencari harta duniawi, serta berkontemplasi tentang Tuhan.[397] Petapa Hindu disebut sanyasin, sadu, atau swāmi, sedangkan yang wanita disebut sanyāsini.
Orang yang melepaskan diri dari ikatan duniawi memperoleh respek yang tinggi dalam masyarakat Hindu karena egoisme dan ikatan duniawi yang mereka lepaskan menjadi inspirasi bagi umat yang masih berkeluarga untuk berjuang dalam pengendalian pikiran. Beberapa petapa tinggal di tempat suci atau asrama, sedangkan yang lainnya berkelana dari satu tempat ke tempat lain dengan keyakinan bahwa hanya Tuhan yang dapat memenuhi keinginan mereka.[398] Bagi umat Hindu awam, menyediakan makanan dan kebutuhan untuk para petapa atau sadu merupakan jasa yang sangat besar. Sebaliknya, para sadu menerimanya dengan rasa hormat dan simpati—tanpa memedulikan orang miskin atau kaya, baik atau jahat—tanpa perlu memuji, mencela, menunjukkan rasa senang, ataupun sedih.[397]
Tempat suci atau tempat peribadatan umat Hindu pada umumnya disebut kuil. Beberapa istilah lokal untuk menyebut tempat suci Hindu meliputi candi, pura, mandir, devasthana, ksetram, dharmakshetram, koil, deula, wat, balai basarah, dan bale keramat. Pembangunan kuil dan tata cara persembahyangan diatur dalam beberapa kitab berbahasa Sanskerta yang disebut Agama, yang berhubungan dengan dewa-dewi individual. Ada perbedaan substansial dalam arsitektur, adat, ritual, dan tradisi mengenai kuil di berbagai wilayah India.[399]
Umat Hindu dapat menyelenggarakan puja (persembahyangan atau kebaktian) di rumah atau kuil. Untuk peribadatan di rumah, biasanya umat Hindu membuat kamar suci atau kuil kecil dengan ikon atau altar yang didedikasikan bagi dewa atau dewi tertentu (istadewata), misalnya Kresna, Ganesa, Durga, dewa-dewi lokal, atau entitas lainnya yang dihormati (misalnya leluhur atau roh pelindung). Umat Hindu melakukan persembahyangan melalui suatu murti atau pratima, dapat berupa arca, lingga, atau sesuatu lainnya—sebagai lambang dari dewa yang dipuja—yang disakralkan/disucikan terlebih dahulu melalui suatu upacara.
Biasanya, bangunan kuil didedikasikan sebagai tempat pemujaan kepada suatu dewa utama beserta dewa-dewi sekunder yang terkait. Adapula bangunan kuil yang didedikasikan untuk beberapa dewa sekaligus. Bagi sebagian besar umat Hindu di India, mengunjungi kuil bukanlah suatu kewajiban,[400] dan banyak umat yang mengunjungi kuil hanya pada saat ada perayaan/hari raya. Murti atau pratima dalam kuil berperan sebagai medium antara umat dan Tuhan.[401] Pencitraan murti dianggap sebagai perwakilan atau manifestasi dari Tuhan, sebab umat Hindu meyakini bahwa Tuhan ada di mana-mana. Meskipun demikian, ada golongan umat Hindu yang tidak melakukan persembahyangan dengan murti dalam bentuk apa pun; contoh yang terkemuka adalah aliran Arya Samaj.
Dalam agama Hindu ada aturan tentang simbolisme dan ikonografi untuk ditampilkan dalam karya seni, arsitektur, dan pustaka yang disakralkan. Makna simbol-simbol tersebut dicantumkan dalam kitab suci, mitologi, serta tradisi masyarakat. Suku kata om (yang melambangkan Parabrahman) dan swastika (yang melambangkan keberuntungan) telah berkembang (dalam sejarahnya) sebagai lambang bagi agama Hindu, sedangkan petanda lainnya seperti tilaka memberi ciri mengenai aliran atau kepercayaan yang dianut.[403][404] Umat Hindu juga menyangkutpautkan beberapa simbol—meliputi bunga teratai (padma), cakra, dan veena—dengan dewa-dewi tertentu.[405][406]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.