Mesolitikum atau Zaman Batu Madya[1] (Bahasa Yunani: mesos "tengah", lithos batu) adalah suatu periode dalam perkembangan teknologi manusia, antara Paleolitik atau Zaman Batu Tua dan Neolitik atau Zaman Batu Muda.[2]
Bagian dari seri tentang |
Sejarah dan Prasejarah Umat Manusia |
---|
↑ Masa sebelum Homo (Kala Pliosen) |
Masa Prasejarah (sistem tiga zaman) |
|
Masa Sejarah |
|
↓ Masa mendatang (Kala Holosen) |
Istilah ini diperkenalkan oleh John Lubbock dalam makalahnya "Zaman Prasejarah" (bahasa Inggris: Pre-historic Times) yang diterbitkan pada tahun 1865. Namun istilah ini tidak terlalu sering digunakan sampai V. Gordon Childe mempopulerkannya dalam bukunya The Dawn of Europe (1947).[2]
Pada zaman ini, kehidupan manusia beralih dari pola pemburu-pengumpul ke cara hidup menghasilkan makanan. Adanya kemampuan menghasilkan makanan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba sudah menetap secara permanen. Tempat hidup manusia purba terdapat di dekat sungai, danau, bukit dan hutan-hutan serta tempat-tempat yang di dekat dengan air. Mereka sudah tidak tinggal di gua-gua tetapi sudah menghuni rumah-rumah panggung yang dibangun secara sederhana. Rumah-rumah panggung tersebut didirikan agar dapat terhindar serangan binatang buas.[3]
Pada masa ini, kegiatan berburu masih tetap dilakukan, walaupun frekuensinya tidak sering seperti masa sebelumnya.[4]
Sistem berlandang secara berpindah ini disebut juga bergumah. Kegiatan seperti ini masih sering dijumpai di Indonesia seperti di pedalaman Papua dan Kalimantan.[5]
Sistem Sosial
Struktur sosial masyarakat purba masih sederhana berciri keseragaman (homogenitas) yang sangat tinggi. Keseragaman tersebut menyangkut berbagai aspek seperti aspek pola dan bentuk bentuk tempat tinggal. Bentuk-bentuk tempat tinggal berkaitan dengan struktur masyarakat masa bercocok tanam. Pada umumnya, bentuk-bentuk tempat tinggal (rumah) dari masa bercocok tanam berupa rumah-rumah kecil, bundar dan atapnya melekat di tanah. Pada saat ini bentuk-bentuk rumah peninggalan zaman prasejarah tersebut dapat dijumpai di pulau Timor dan Kalimantan Barat. Dalam aspek kependudukan mulai terjadi gejala pertambahan penduduk dengan cepat. Hal ini disebabkan pada masa itu mulai muncul anggapan di dalam masyarakat bahwa jumlah anggota keluarga yang banyak akan sangat menguntungkan karena tersedianya tenaga kerja yang dimanfaatkan untuk membantu pekerjaan pekerjaan di bidang pertanian.[6]
Sistem Mata Pencaharian
Karena pertambahan penduduk yang menyebabkan jumlah tenaga tenaga kerja meningkat, bidang pertanian berkembang pesat. Pada bidang pertanian masyarakat mulai menanami lahan pertanian dengan jenis-jenis tanaman seperti umbi-umbian dan buah-buahan. Dari jenis-jenis tanaman tanaman itu berkembang jenis-jenis tanaman lainnya seperti biji-bijian, padi-padian dan sayur-sayuran namun selain bercocok tanam manusia purba juga beternak.[7]
Pada waktu luang saat menunggu panen masyarakat purba juga mengisinya dengan berbagai usaha kerajinan rumah tangga, seperti menganyam, membuat gerabah dan mengasah alat-alat pertanian. Adanya kepandaian manusia purba dalam membuat kerajinan tangan yang mulai dirintis pada masa bercocok tanam memunculkan spesialisasi pekerjaan di bidang pertambangan yang merupakan prasyarat bagi lahir perundagian.[7]
Pada masa bercocok tanam masyarakat purba juga sudah pandai membuat perahu dari pohon-pohon besar yang dipotong-potong dan digunakan untuk menangkap ikan. Proses pembuatan perahu dilakukan dengan melubangi potongan-potongan kayu besar dengan api dan selanjutnya lubang tersebut diperdalam dengan beliung sehingga menyerupai bentuk lesung. Pada saat itu juga telah ada kegiatan perdagangan perdagangan barter yaitu dengan cara tukar menukar barang barang guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.[7]
Sistem Peralatan Hidup
Peralatan hidup yang masih dapat dijumpai saat ini dari kehidupan mesolitik adalah sebagai berikut:[8]
Beliung Persegi
Beliung persegi berbentuk seperti cangkul dengan ukuran 4–25 cm. Alat itu dibuat dari batuan kalsedon, agat, chert, dan juspis. Tipe umum beliung persegi adalah beliung dengan variasinya yang berupa beliung bahu, beliung tangga, beliung atap, beliung biola dan beliung penarah. Daerah penemuan beliung persegi meliputi hampir seluruh Indonesia, terutama di bagian barat. Alat semacam itu juga ditemukan di Malaysia, Thailand, Kampuchea, Vietnam, China dan Taiwan.[8] Sedangkan di Indonesia, beliung persegi ditemukan di wilayah Nusa Tenggara, pulau Sumatra, pulau Jawa, dan Sulawesi.[9]
Kapak Lonjong
Kapak lonjong dibuat dari batu kali jenis nefrit yang telah diasah lebih halus daripada kapak persegi. Daerah penemuannya terbatas di wilayah bagian timur Indonesia. Hal itu sesuai dengan penelitian Van Heekeren dan W.F. Van Beers yang mengatakan bahwa di Kalumpang, Sulawesi Utara sudah terjadi perpaduan antara tradisi kapak persegi dan kapak lonjong. Penemuan itu ditaksir sangat muda, yaitu pada 600-1000 tahun yang lalu. Di Irian (Papua) juga ditemukan kapak lonjong.[8]
Mata Panah
Mata panah ini digunakan untuk berburu, memanah dan menangkap ikan dengan bentuk seperti gergaji yang terbuat dari tulang.[9] Mata panah ini ditemukan pada masa bermukim dan bercocok tanam. Daerah penemuan yang penting ialah Pacitan (Jawa Timur) dan Toala (Sulawesi Selatan). Mata panah bergerigi dan bilah dari kebudayaan Toala ditemukan di Toala Sulawesi Selatan.[8]
Gerabah dan Perhiasan
Hasil penelitian membuktikan bahwa alat-alat gerabah sudah mulai dibuat pada masa bermukim dan bercocok tanam, tetapi pembuatannya masih kasar dan sederhana. Alat gerabah itu pertama kali digunakan untuk menyimpan bahan makanan dan minuman, kemudian berkembang digunakan sebagai alat memasak. Bersamaan dengan itu, barang perhiasan juga mulai dibuat. Misalnya, gelang dari batuan kalsedon manik-manik dari tanah liat, kalung dari kulit kerang dan lukisan berwarna warni. Aneka lukisan itu dapat dijumpai dalam masyarakat pedalaman misalnya di Toraja dan Papua.[8]
Sistem Religi
Manusia prasejarah pada masa mesolitik sudah mengenal suatu kepercayaan terhadap kekuatan gaib. Mereka percaya terhadap hal-hal yang menakutkan atau serba hebat. Selain itu mereka juga memuja roh nenek moyangnya kadangkala kalau melihat pohon yang besar tinggi dan rimbun manusia merasa ngeri. Manusia purba menganggap bahwa kegiatan itu disebabkan pohon itu ada yang menghuni.[8]
Begitupun terhadap batu besar serta binatang yang besar atau menakutkan mereka juga memujanya kekuatan alam yang besar seperti petir, topan, banjir dan gunung meletus yang di anggap menakutkan dan mengerikan juga dipuja. Jika terjadi letusan gunung berapi mereka beranggapan bahwa yang menguasai gunung sedang murka.[8]
Sistem kepercayaan masyarakat pada masa bermukim dan bercocok tanam dapat dibedakan atas dua hal:[8]
Animisme
Adalah paham kepercayaan yang meyakini bahwa roh mendiami benda-benda tertentu. Contoh paham animisme ini adalah upacara syukuran panen dengan memanggil roh pertanian.[10]
Dinamisme
Dinamisme adalah paham kepercayaan yang meyakini bahwa ada kekuatan gaib pada benda-benda tertentu.[10] Misalkan saja menaruh hormat kepada pohon, batu besar, gunung, dan jimat.[8]
Praktek religi dan kepercayaan berupa pemujaan arwah para leluhur masih dianut oleh suku-suku pedalaman di Indonesia misalnya suku bangsa Dayak di Kalimantan yang masih mempraktekkan ritual ritual animisme dan dinamisme.[8]
Zaman mesolitikum di Indonesia
Pada zaman mesolitikum di Indonesia, manusia hidup tidak jauh berbeda dengan zaman paleolitikum, yaitu dengan berburu dan menangkap ikan, tetapi manusia pada masa itu juga mulai mempunyai tempat tinggal agak tetap dan bercocok tanam secara sederhana.[11] Tempat tinggal yang mereka pilih umumnya berlokasi di tepi pantai (kjokkenmoddinger) dan goa-goa (abris sous roche) sehingga di lokasi-lokasi tersebut banyak ditemukan berkas-berkas kebudayaan manusia pada zaman itu.[11]
Kjokkenmoddinger
Kjokkenmoddinger adalah sampah dapur dari zaman mesolitikum yang ditemukan di sepanjang pantai timur Pulau Sumatra.[12] Hal ini diteliti oleh Dr. P. V. van Stein Callenfels pada tahun 1925 dan menurut penelitian yang dilakukannya, kehidupan manusia pada saat itu bergantung dari hasil menangkap siput dan kerang karena ditemukan sampah kedua hewan tersebut setinggi 7 meter.[12] Sampah dengan ketinggian tersebut kemungkinan telah mengalami proses pembentukan cukup lama, yaitu mencapai ratusan bahkan ribuan tahun.[12] Di antara tumpukan sampah tersebut juga ditemukan batu penggiling beserta landasannya (pipisan) yang digunakan untuk menghaluskan cat merah.[12] Cat tersebut diperkirakan digunakan dalam acara keagamaan atau ilmu sihir.[12] Di tempat itu juga ditemukan banyak benda-benda kebudayaan seperti kapak genggam yang disebut pebble atau kapak genggam Sumatra (Sumeteralith) sesuai dengan tempat penemuannya. Kapak tersebut terbuat dari batu kali yang dibelah dua dan teksturnya masih kasar.[12] Kapak lain yang ditemukan pada zaman ini adalah bache courte (kapak pendek) yang berbentuk setengah lingkaran seperti kapak genggam atau chopper.[12] Berdasaran pecahan tengkorak dan gigi yang ditemukan pada Kjokkenmoddinger, diperkirakan bahwa manusia yang hidup pada zaman mesolitikum adalah bangsa Papua Melanesoide.(nenek moyang suku Irian dan Melanesoid)[12]
Abris Sous Roche
Abris sous roche adalah goa menyerupai ceruk batu karang yang digunakan manusia sebagai tempat tinggal.[12] Penelitian mengenai kebudayaan Abris sous roche ini juga dilakukan oleh van Stein Callenfels pada tahun 1928-1931 di Goa Lawu dekat Sampung, Ponorogo (Madiun).[13] Alat-alat yang ditemukan lebih banyak terbuat dari tulang sehingga disebut sebagai Sampung Bone Culture.[13] Di daerah Besuki (Jawa Timur), van Heekeren juga menemukan kapak Sumatra dan kapak pendek. Abris sous roche juga ditemukan pada daerah Timor dan Rote oleh Alfred Buhler yang menemukan flakes culture dari kalsedon bertangkai dan hal ini diduga merupakan peninggalan bangsa Papua Melanesoide.[14] Hasil kebudayaan Abris sous roche juga ditemukan di Lamancong (Sulawesi Selatan) yang biasa disebut kebudayaan Toala.[12] Kebudayaan Toala ditemukan pada suatu goa yang disebut Goa Leang Pattae dan inti dari kebudayaan ini adalah flakes dan pebble.[12] Selain Toala, para ahli juga menemukan kebudayaan Bacson-Hoabinh dan Bandung di Indonesia. Bacson-Hoabinh diperkirakan merupakan pusat budaya prasejarah Indonesia dan terdiri dari dua macam kebudayaan, yaitu kebudayaan pebble (alat-alat tulang yang datang dari jalan barat) dan kebudayaan flakes (datang melalui jalan timur).[12] Sementara itu, penelitian kebudayaan Bandung dilakukan oleh van Koenigswald di daerah Padalarang, Bandung Utara, Cicalengka, BanjarabSoreang, dan sebelah barat Cililin. Kebudayaan yang ditemukan berupa flakes yang disebut microlith (batu kecil), pecahan tembikar, dan benda-benda perunggu.[12]
Galeri
Berikut ini gambar-gambar peninggalan dari zaman Mesolitikum yang ditemukan pada situs pemakaman di Théviec, Saint-Pierre-Quiberon, Bretagne, Prancis. Koleksi Muséum de Toulouse.
Referensi
Bacaan lanjutan
Pranala luar
Wikiwand in your browser!
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.