individu atau kelompok manusia yang sebagian besar atau seluruh makanannya diperoleh dari hasil berburu hewan liar atau meramu tumbuhan liar Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Pemburu-pengumpul atau pemburu peramu (bahasa Inggris: hunter-gatherer) adalah suatu masyarakat yang cara utama bertahan hidupnya dengan berjelajah mencari hewan buruan dan mengumpulkan serangga ataupun tumbuh-tumbuhan liar yang dapat dimakan, tanpa adanya usaha-usaha yang nyata untuk membudidayakannya (domestikasi) terlebih dahulu.[1][2] Komunitas pemburu-pengumpul bertolak belakang dengan komunitas agraria menetap, yang utamanya mengandalkan pertanian dan peternakan untuk menghasilkan makanan.
Berburu dan mengumpulkan atau merambah (foraging) adalah adaptasi bersaing manusia yang paling awal dan paling bertahan lama di dunia alamiah, menempati setidaknya 90 persen dari sejarah manusia.[3] Setelah penemuan pertanian, para pemburu-pengumpul yang tidak berubah tergeser atau ditaklukkan oleh kelompok-kelompok petani atau penggembala di sebagian besar permukaan bumi.[4]
Hanya tersisa segelintir masyarakat kontemporer yang masih terklasifikasi sebagai pemburu-pengumpul, mereka umumnya adalah komunitas-komunitas yang belum cukup mengalami kontak dengan dunia luar. Namun demikian, banyak pula dari mereka yang juga melakukan praktik hortikultura dan penggembalaan untuk melengkapi makanan hasil dari berburu-mengumpulkan yang mereka lakukan.[5][6]
Pola konsumsi berburu dan meramu merupakan bentuk paling awal dari strategi bertahan hidup manusia yang berkembang sejak periode hominin awal di Afrika, dengan bukti arkeologis menunjukkan praktik ini telah berlangsung sekitar dua juta tahun lalu.[7] Gaya hidup ini ditandai dengan perburuan hewan sebagai sumber protein serta pemanfaatan tumbuhan liar, termasuk teknik menyimpan hasil panen untuk konsumsi di kemudian hari.[7]
Perubahan signifikan terjadi pada Homo erectus sekitar 1,9 juta tahun lalu, yang menunjukkan adaptasi fisiologis berupa sistem pencernaan lebih pendek, menandakan peningkatan konsumsi daging.[7] Sebagai hominin pertama dengan postur tubuh tegak sepenuhnya dan kemampuan berjalan jauh, Homo erectus mulai bermigrasi dari Afrika ke Eropa, Asia, hingga kepulauan Nusantara.[7]
Kemampuan bertahan hidup mereka semakin berkembang dengan penggunaan alat batu tajam, kapak genggam, dan penguasaan api. Bukti arkeologis menunjukkan bahwa tungku api telah digunakan setidaknya 800.000 tahun lalu, memungkinkan manusia awal untuk bertahan dalam lingkungan dingin serta mengurangi risiko penyakit akibat konsumsi daging mentah.[7] Pola konsumsi ini terus berlanjut pada Homo heidelbergensis (700.000–200.000 tahun lalu) dan tetap menjadi ciri khas Homo sapiens yang muncul sekitar 200.000 tahun lalu.[7]
Masyarakat pemburu-pengumpul secara tradisional hidup dengan cara berpindah-pindah tempat,[8] dan cenderung memiliki prinsip egaliter dari setiap anggota kelompoknya.[9] Umumnya meraka hidup di suatu wilayah dengan tingkat kepadatan populasi yang rendah dalam kelompok-kelompok kecil atau yang disebut sebagai kawanan (band). Jumlah anggota yang cukup sedikit dalam setiap kelompok tersebut membantu mereka saling mengenal setiap orang dengan baik, tidak ada kepemimpinan politik formal ataupun spesialisasi ekonomi yang membatasi mereka.[10]
Anggota-anggota di setiap kawanan tidak memperlihatkan perbedaan besar dalam hal kepemilikan harta, tetapi mereka memiliki perbedaan secara individual dalam hal kemampuan dan kepribadian. Contoh masyarakat dalam bentuk kawanan ialah !Kung dari Gurun Kalahari Afrika, Indian Ache dan Sirionó di Amerika Selatan, penduduk Kepulauan Andaman di Teluk Benggala, kelompok Pigmi di hutan-hutan khatulistiwa Afrika, dan Indian Machiguengan dari Peru.[11]
Kelompok pemburu-pengumpul tidak sekadar berburu untuk memenuhi kebutuhan konsumsi seperti predator alami, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor budaya dan kepercayaan.[7] Selain sebagai sumber pangan, perburuan sering kali dilakukan untuk ritual atau persembahan. Beberapa kelompok bahkan memiliki pantangan terhadap konsumsi hewan tertentu yang dianggap sakral.[7]
Misalnya, Orang Rimba di Bukit Duabelas, Jambi, menghormati hewan-hewan yang mereka sebut bedewo dan melarang perburuan serta konsumsi hewan tersebut. Di antara hewan yang termasuk dalam kategori bedewo adalah harimau sumatra (Panthera tigris), gajah sumatra (Elephas maximus), trenggiling (Manis javanica), siamang (Symphalangus syndactylus), dan burung rangkong gading (Rhinoplax vigil).[7] Mereka meyakini bahwa menyakiti atau membunuh hewan-hewan ini akan membawa kesulitan dalam kehidupan mereka. Selain sebagai bagian dari adat, pantangan ini juga didasarkan pada kepercayaan bahwa hewan tertentu memiliki peran dalam perlindungan atau pengobatan tradisional.[7]
Meskipun masyarakat pemburu-pengumpul sering dianggap rentan terhadap risiko kesehatan, terutama akibat deforestasi dan perubahan iklim, pola konsumsi mereka sebenarnya sangat sehat jika akses terhadap sumber pangan hutan tetap terjaga. Keanekaragaman pangan menjadi faktor kunci dalam menjaga kesehatan, sebagaimana dibuktikan oleh penelitian tahun 2019 terhadap masyarakat Hadza di Tanzania.[7] Studi tersebut menemukan bahwa mereka memiliki mikrobiota usus yang lebih beragam dibandingkan populasi di negara industri.[7] Mikrobiota ini terdiri atas berbagai bakteri, jamur, dan virus yang membentuk ekosistem mikrobioma dalam saluran pencernaan dan memainkan peran penting dalam kesehatan tubuh.[7] Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pola makan berbasis monokultur dalam sistem pertanian modern dapat mengurangi keanekaragaman mikrobioma, yang pada akhirnya meningkatkan risiko penyakit seperti diabetes, alergi, autisme, dan obesitas.[7] Dengan kata lain, semakin beragam mikrobioma seseorang, semakin baik pula kondisi kesehatannya.
Namun, deforestasi dan perubahan iklim telah mengancam pola hidup masyarakat pemburu-pengumpul, menyebabkan berkurangnya sumber pangan alami dan meningkatkan risiko kelaparan akut. Penyusutan hutan serta dampak krisis iklim tidak hanya membatasi akses terhadap makanan, tetapi juga menurunkan daya tahan tubuh masyarakat adat, membuat mereka lebih rentan terhadap berbagai penyakit. Sebagai contoh, suku Asmat dan Orang Rimba kini menghadapi peningkatan kasus penyakit seperti hepatitis, kusta, dan cacar akibat kontak dengan masyarakat modern yang memiliki gaya hidup menetap di luar tradisi mereka.[7]
Banyak dari para kelompok pemburu-pengumpul melakukan perdagangan berbagai jenis bahan mentah kepada masyarakat yang telah menetap di dekat wilayah mereka untuk mendapatkan bahan-bahan yang berbeda dan sebagai strategi untuk bertahan hidup. Para pemburu-pengumpul menawarkan, daging, madu, resin dan hasil hutan lainnya yang mereka buru dan kumpulkan kepada para petani di desa-desa dekat mereka untuk ditukar dengan bahan pangan yang dibudi daya oleh penduduk desa. Contoh-contoh interaksi ini diantaranya dilakukan oleh para pemburu bison di padang rumput dengan para petani Pueblo di Amerika Serikat Barat Daya, para pemburu Semang dan petani Melayu di Semenanjung Malaysia, Suku Pigmi di Afrika dengan petani Bantu, orang-orang Agta dan kelompok petani di Filipina.[12]
Bagi sebagian kelompok kecil pemburu-pengumpul dalam mengatasi kekurangan makanan musiman salah satunya ialah dengan mengumpulkan makanan dalam jumlah besar. Metode ini dilakukan oleh beberapa kelompok pemburu-pengumpul seperti Suku Ainu di Jepang, Suku Indian di pesisir barat laut pasifik, Shoshoni di Great Basin, dan sejumlah masyarakat Arktika.[13] Di masa musim paceklik tersebut, terkadang mereka berkumpul dengan anggota kelompok lain dan menjadikanya sebagai sarana untuk mengadakan pesta atau ritual tahunan, pernikahan, maupun peristiwa lain dalam kehidupan sosial berkelompok.[14]
Beberapa masyarakat tradisional yang merupakan pemburu-pengumpul maupun petani dengan skala kecil yang tersebar di seluruh dunia, diantaranya adalah:[15]
Berbagai kategori penyakit bagi masyarakat tradisional seperti kelompok pemburu-pengumpuk sangat bervariasi, bergantung pada gaya hidup, lokasi geografi, serta usia. Gaya hidup masyarakat tradisional yang jauh lebih mengutamakan ketangguhan fisik menjadikan masyarakat tradisional lebih rentan terhadap penyakit-penyakit degeneratif pada usia berapa pun. Penyakit-penyakit yang langka atau tidak pernah terjadi pada masyarakat tradisional adalah penyakit-penyakit yang saat ini sering menyerang masyarakat modern dan menyebabkan kematian seperti penyakit jantung koroner, aterosklerosis, strok, tekanan darah tinggi, diabetes, dan kanker.[16]
Penyakit-penyakit khas masyarakat tradisional seperti pada masyarakat pemburu-pengumpul biasanya adalah malaria, demam yang disebabkan oleh sengatan hewan artropoda, disentri dan penyakit-penyakit pada pencernaan, penyakit-penyakit yang menggangu pernafasan, serta infeksi kulit.[17]
Selang penjelajahan yang dilakukan oleh para penjelajah barat ke wilayah pedalaman masyarakat tradisional, mulai menimbulkan penyakit baru yang menyerang masyarakat tradisional yaitu penyakit menular seperti; difteri, campak, flu, gondongan, batuk rejan, rubela atau campak jerman, herpes zoster (cacar api), dan tifoid. Penyakit-penyakit menular tersebut merupakan epidemi akut, banyak orang di satu wilayah jatuh sakit dalam waktu yang singkat dan dengan cepat pulih atau mati, kemudian penyakit tersebut menghilang di daerah tersebut selama setahun atau lebih[17]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.