Top Qs
Timeline
Obrolan
Perspektif

Alam semesta

keseluruhan planet, bintang, galaksi, ruang antargalaksi, atau semua materi atau semua energi Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas

Alam semesta
Remove ads

Alam semesta merupakan keseluruhan dari ruang dan waktu[a] beserta seluruh isinya.[9] Alam semesta mencakup seluruh eksistensi, setiap bentuk interaksi fundamental, proses fisika, serta konstanta fisika. Karena itu, ia meliputi semua bentuk materi dan energi beserta struktur yang terbentuk darinya, mulai dari partikel subatom hingga keseluruhan filamen galaksi. Sejak awal abad ke-20, bidang kosmologi menetapkan bahwa ruang dan waktu muncul secara bersamaan dalam peristiwa Dentuman Besar sekitar 13,787±0,020 Ga yang lalu,[10] dan sejak saat itu alam semesta terus mengembang. Bagian alam semesta yang dapat diamati manusia diperkirakan memiliki diameter sekitar 93 miliar tahun cahaya, tetapi keseluruhan ukuran alam semesta sebenarnya masih belum diketahui.[11]

Fakta Singkat Usia (dalam Model Lambda-CDM), Diameter ...

Beberapa model kosmologis paling awal tentang alam semesta dikembangkan oleh para filsuf Yunani kuno dan India, yang bersifat geosentris, menempatkan Bumi sebagai pusat alam semesta.[12][13] Seiring berjalannya waktu, pengamatan astronomis yang semakin akurat menuntun Nicolaus Copernicus untuk merumuskan model heliosentris, yang menempatkan Matahari di pusat Tata Surya. Dalam mengembangkan hukum gravitasi universal, Isaac Newton membangun teori tersebut dengan landasan pemikiran Johannes Kepler tentang hukum gerak planet serta hasil pengamatan Tycho Brahe.

Kemajuan dalam pengamatan lebih lanjut kemudian menyingkap bahwa Matahari hanyalah salah satu dari ratusan miliar bintang dalam Bima Sakti, yang pada gilirannya merupakan satu di antara ratusan miliar galaksi dalam alam semesta teramati. Banyak bintang di dalam galaksi juga diketahui memiliki planet sendiri. Dalam skala terbesar, galaksi-galaksi tersebar secara seragam ke segala arah, menandakan bahwa alam semesta tidak memiliki tepi maupun pusat. Pada skala yang lebih kecil, galaksi-galaksi berkumpul membentuk gugus galaksi dan supergugus yang tersusun menjadi filamen raksasa dan ruang hampa luas, menciptakan struktur besar menyerupai busa kosmik.[14] Penemuan-penemuan pada awal abad ke-20 mengindikasikan bahwa alam semesta memiliki permulaan dan terus mengalami perluasan sejak saat itu.[15]

Menurut teori Dentuman Besar, energi dan materi yang ada pada awal mula semakin menipis kerapatannya seiring mengembangnya alam semesta. Setelah fase percepatan luar biasa yang disebut inflasi sekitar 10−32 detik setelah awal mula, serta terpisahnya empat interaksi fundamental yang kini dikenal, alam semesta perlahan mendingin dan terus mengembang, memungkinkan terbentuknya partikel subatom pertama serta atom-atom sederhana. Awan raksasa hidrogen dan helium kemudian tertarik menuju wilayah dengan kepadatan materi lebih tinggi, membentuk galaksi-galaksi, bintang-bintang, dan segala struktur yang kini kita kenal.

Melalui kajian tentang pengaruh gravitasi terhadap materi dan cahaya, ditemukan bahwa alam semesta mengandung jauh lebih banyak materi daripada yang dapat diamati, seperti bintang, galaksi, nebula, dan gas antarbintang. Materi tak kasatmata ini dikenal sebagai materi gelap.[16] Dalam model kosmologis yang paling luas diterima, yaitu ΛCDM, materi gelap diperkirakan menyusun sekitar 25,8%±1,1% dari total massa dan energi alam semesta, sementara sekitar 69,2%±1,2% terdiri atas energi gelap, bentuk energi misterius yang diyakini menyebabkan percepatan ekspansi alam semesta.[17] Sementara itu, materi biasa ('barionik') hanya mencakup sekitar 4,84%±0,1% dari keseluruhan alam semesta,[17] dan bintang, planet, serta awan gas tampak hanya membentuk kira-kira 6% dari bagian materi biasa ini.[18]

Terdapat berbagai hipotesis yang saling bersaing mengenai nasib akhir alam semesta dan apa yang mendahului Dentuman Besar, jika ada. Sementara sebagian fisikawan dan filsuf enggan berspekulasi lebih jauh, karena meragukan bahwa informasi mengenai keadaan sebelumnya dapat diakses. Beberapa ilmuwan fisika telah mengajukan berbagai hipotesis multisemesta, yang menyatakan bahwa alam semesta kita mungkin hanyalah salah satu dari sekian banyak alam semesta lain.[11][19][20]

Informasi lebih lanjut Kosmologi fisik, Latar belakang ...
Remove ads

Definisi

Teleskop Antariksa HubbleGalaksi-galaksi dalam Ultra-Deep Field menuju bidang warisan (Legacy Field)
(video 00:50; 2 Mei 2019)

Alam semesta fisik didefinisikan sebagai keseluruhan dari ruang dan waktu[a] (yang secara kolektif disebut ruang-waktu) beserta seluruh isinya.[9] Isi tersebut mencakup seluruh bentuk energi dalam berbagai wujudnya, termasuk radiasi elektromagnetik dan materi, yang karenanya meliputi planet-planet, bulan, bintang, galaksi, dan segala sesuatu yang berada di dalam ruang antargalaksi.[21][22][23] Alam semesta juga mencakup hukum fisika yang memengaruhi energi dan materi, seperti hukum kekekalan, mekanika klasik, serta relativitas.[24]

Alam semesta kerap didefinisikan sebagai "keseluruhan eksistensi", yakni segala sesuatu yang ada, yang pernah ada, dan yang akan ada.[24] Bahkan, sejumlah filsuf dan ilmuwan mendukung pandangan bahwa gagasan serta konsep-konsep abstrak, seperti matematika dan logika, turut termasuk dalam pengertian alam semesta.[26][27][28] Kata alam semesta juga kerap digunakan untuk merujuk pada konsep seperti kosmos, dunia, dan alam.[29][30]

Remove ads

Etimologi

Ringkasan
Perspektif

Dalam bahasa Indonesia, istilah alam semesta berasal dari gabungan kata alam dan semesta. Kata alam diserap dari bahasa Arab ālam (عالَم) yang berarti "dunia", "jagat raya" atau "seluruh makhluk",[31] sedangkan kata semesta diserap dari bahasa Sansekerta samasta (समस्त) yang berarti "seluruh", "keseluruhan" atau "bersama".[32] Gabungan dari keduanya secara harfiah dapat diartikan sebagai "keseluruhan dunia" atau "seluruh jagat raya".

Sinonim

Dalam tradisi para filsuf Yunani kuno sejak masa Pythagoras, istilah yang digunakan untuk menyebut alam semesta antara lain adalah τὸ πᾶν (tò pân) yang berarti "keseluruhan", didefinisikan sebagai seluruh materi dan seluruh ruang; serta τὸ ὅλον (tò hólon) yang berarti "segala sesuatu", meskipun tidak selalu mencakup kehampaan atau ruang kosong.[33][34] Sinonim lainnya adalah ὁ κόσμος (ho kósmos) yang berarti "dunia" atau "kosmos".[35]

Istilah-istilah serupa juga ditemukan dalam karya penulis Latin, seperti totum, mundus, dan natura.[36] Istilah-istilah ini masih lestari dalam berbagai bahasa modern, misalnya dalam bahasa Jerman: Das All, Weltall, dan Natur yang semuanya bermakna "alam semesta". Sinonim serupa juga terdapat dalam bahasa Inggris, seperti everything (misalnya dalam istilah teori segala sesuatu), cosmos (seperti dalam kosmologi), world (seperti dalam interpretasi banyak-dunia), dan nature (seperti dalam hukum alam atau filsafat alam).[37]

Remove ads

Kronologi dan Dentuman Besar

Ringkasan
Perspektif

Model yang paling banyak diterima untuk menjelaskan evolusi alam semesta adalah teori Dentuman Besar (Big Bang).[38][39] Menurut model ini, keadaan awal alam semesta merupakan kondisi yang luar biasa panas dan padat, yang kemudian mengalami pengembangan dan pendinginan seiring waktu. Model ini berlandaskan pada teori relativitas umum serta sejumlah asumsi penyederhanaan, seperti homogenitas dan isotropi ruang. Salah satu versi yang paling sederhana, yang mencakup konstanta kosmologis (Lambda) serta materi gelap dingin, dikenal sebagai model Lambda-CDM, dan merupakan model yang paling berhasil menjelaskan berbagai pengamatan mengenai alam semesta.

Thumb
Dalam diagram skematik ini, waktu bergerak dari kiri ke kanan, dengan alam semesta digambarkan sebagai "irisan cakram" pada setiap momen tertentu. Skala waktu dan ukuran tidak proporsional; tahap awal diperpanjang agar tampak jelas, sedangkan pengembangan berikutnya (yang sesungguhnya mencapai lebih dari 1.100 kali) sangat disederhanakan.

Keadaan awal yang sangat panas dan padat ini disebut Era Planck (Planck epoch), berlangsung dari waktu nol hingga satu satuan waktu Planck, sekitar 10−43 detik. Pada masa ini, seluruh bentuk materi dan energi terkonsentrasi dalam keadaan amat rapat, dan gravitasi, yang kini merupakan yang terlemah di antara empat interaksi fundamental, diduga memiliki kekuatan yang setara dengan gaya-gaya fundamental lainnya, bahkan mungkin menyatu dalam satu gaya tunggal. Fisika yang mengatur masa amat awal ini (termasuk gravitasi kuantum pada Zaman Planck) masih belum dipahami sepenuhnya, sehingga kita tidak dapat memastikan, jika ada, apa yang terjadi sebelum waktu nol. Sejak Zaman Planck, perluasan alam semesta berlangsung hingga mencapai skala seperti saat ini, didahului oleh masa singkat tetapi sangat cepat yang dikenal sebagai inflasi kosmik, yang diduga terjadi dalam sekitar 10−32 detik pertama.[40] Masa inflasi inilah yang menjelaskan mengapa ruang tampak sangat datar hingga kini.

Dalam sebagian detik pertama setelah terciptanya alam semesta, keempat gaya fundamental mulai terpisah. Ketika alam semesta mendingin dari keadaan luar biasa panas itu, berbagai partikel elementer mulai berasosiasi membentuk struktur yang lebih besar dan stabil seperti proton dan neutron, yang selanjutnya bergabung menjadi inti atom melalui proses fusi nuklir.[41][42]

Proses ini, yang dikenal sebagai nukleosintesis Dentuman Besar (Big Bang nucleosynthesis), berlangsung sekitar 17 menit dan berakhir kira-kira 20 menit setelah Dentuman Besar. Karena waktu yang sangat singkat, hanya reaksi paling cepat dan sederhana yang terjadi. Sekitar 25% dari proton dan seluruh neutron di alam semesta, berdasarkan massa, berubah menjadi helium, bersama sejumlah kecil deuterium (bentuk hidrogen berisotop) dan jejak litium. Unsur kimia lain hanya terbentuk dalam jumlah yang sangat kecil. Sekitar 75% proton sisanya tetap sebagai inti hidrogen.[41][42]:27–42

Setelah nukleosintesis berakhir, alam semesta memasuki tahap yang dikenal sebagai era foton (photon epoch). Pada masa ini, suhu alam semesta masih terlalu tinggi bagi materi untuk membentuk atom netral, sehingga terbentuk plasma padat dan panas yang terdiri atas elektron bermuatan negatif, neutrino netral, dan inti positif. Sekitar 377.000 tahun kemudian, alam semesta cukup mendingin sehingga elektron dan inti dapat bersatu membentuk atom stabil pertama. Proses ini disebut rekombinasi, walau sesungguhnya penggabungan ini terjadi untuk pertama kalinya. Tidak seperti plasma, atom netral bersifat tembus cahaya terhadap banyak panjang gelombang, sehingga untuk pertama kalinya alam semesta menjadi transparan. Foton-foton yang "lepas" pada masa ini masih dapat diamati hingga kini sebagai radiasi latar gelombang mikro kosmik (cosmic microwave background, CMB).[42]:15–27

Seiring pengembangan alam semesta, kepadatan energi radiasi elektromagnetik berkurang lebih cepat dibandingkan materi, karena energi setiap foton menurun akibat pergeseran merah kosmologis. Sekitar 47.000 tahun setelah Dentuman Besar, kepadatan energi materi menjadi lebih besar daripada foton dan neutrino, dan mulai mendominasi perilaku alam semesta dalam skala besar. Peristiwa ini menandai akhir dari era dominasi radiasi dan awal era dominasi materi.[43]:390

Pada tahap-tahap awal ini, fluktuasi kecil dalam kepadatan alam semesta menyebabkan terbentuknya filamen materi gelap. Materi biasa, tertarik oleh gravitasi ke daerah padat ini, membentuk awan gas besar yang akhirnya melahirkan bintang dan galaksi di wilayah paling padat, serta rongga-rongga besar di daerah paling jarang. Sekitar 100 hingga 300 juta tahun kemudian,[43]:333 lahirlah bintang-bintang pertama, yang dikenal sebagai bintang Populasi III. Bintang-bintang ini kemungkinan sangat besar, terang, miskin logam, dan berumur pendek. Mereka berperan penting dalam pengionan kembali alam semesta antara sekitar 200 juta hingga 1 miliar tahun, serta menaburkan unsur-unsur lebih berat dari helium melalui nukleosintesis bintang.[44]

Alam semesta juga mengandung suatu bentuk energi misterius, kemungkinan berupa medan skalar, yang disebut energi gelap, dengan kepadatan yang tidak berubah terhadap waktu. Sekitar 9,8 miliar tahun setelah Dentuman Besar, alam semesta telah mengembang cukup jauh sehingga kepadatan materi menjadi lebih kecil dibanding kepadatan energi gelap, menandai awal era dominasi energi gelap yang kita alami kini.[45] Dalam era ini, pengembangan alam semesta berlangsung semakin cepat akibat pengaruh energi gelap.

Remove ads

Sifat fisik

Ringkasan
Perspektif

Dari empat interaksi fundamental di alam semesta, gravitasi merupakan kekuatan yang paling dominan pada skala panjang astronomis. Efek gravitasi bersifat kumulatif; sedangkan efek muatan positif dan negatif cenderung saling meniadakan, sehingga elektromagnetisme menjadi relatif tidak signifikan pada skala kosmik. Dua interaksi lainnya, yakni gaya lemah dan gaya nuklir kuat, menurun sangat cepat terhadap jarak; pengaruh keduanya terbatas hampir seluruhnya pada skala panjang subatomik.[46]:1470

Alam semesta tampak memiliki lebih banyak materi dibandingkan dengan antimateri, suatu asimetri yang kemungkinan berkaitan dengan fenomena pelanggaran CP.[47] Ketidakseimbangan antara materi dan antimateri inilah yang sebagian menjelaskan keberadaan seluruh materi yang ada saat ini. Sebab, apabila jumlah materi dan antimateri yang tercipta dalam Dentuman Besar sama banyaknya, keduanya akan saling melenyapkan dan meninggalkan hanya foton sebagai sisa dari interaksi tersebut.[48]

Ukuran dan wilayah

Thumb
Ilustrasi alam semesta teramati dengan pusat pada Matahari. Skala jarak digambarkan secara logaritmik. Karena kecepatan cahaya yang terbatas, bagian alam semesta yang lebih jauh tampak sebagaimana keadaannya di masa lalu.

Karena kecepatan cahaya bersifat terbatas, ada suatu batas yang dikenal sebagai cakrawala partikel, yakni sejauh mana cahaya dapat menempuh jarak sepanjang usia alam semesta. Wilayah ruang dari mana kita dapat menerima cahaya disebut alam semesta teramati. Jarak sebenarnya (yang diukur pada waktu tertentu) antara Bumi dan tepi alam semesta teramati adalah sekitar 46 miliar tahun cahaya[49][50] (14 miliar parsec), sehingga diameter alam semesta teramati mencapai sekitar 93 miliar tahun cahaya (28 miliar parsec).[49] Meskipun jarak yang ditempuh cahaya dari tepi alam semesta teramati mendekati hasil perkalian usia alam semesta dengan kecepatan cahaya, yakni sekitar 138 miliar tahun cahaya (42×10^9 pc), jarak sebenarnya lebih besar karena tepi alam semesta teramati dan Bumi telah saling menjauh akibat pengembangan ruang.[51]

Sebagai perbandingan, diameter rata-rata sebuah galaksi adalah sekitar 30.000 tahun cahaya (9.198 parsec), dan jarak rata-rata antara dua galaksi terdekat adalah sekitar 3 juta tahun cahaya (919,8 kiloparsec).[52] Sebagai contoh, Bima Sakti memiliki diameter sekitar 87.400 tahun cahaya,[53] dan galaksi terdekat yang bersaudara dengannya, yaitu Galaksi Andromeda, terletak kira-kira 2,5 juta tahun cahaya dari Bumi.[54]

Karena manusia tidak dapat mengamati ruang di luar batas alam semesta teramati, sejauh ini tidak diketahui apakah keseluruhan alam semesta bersifat hingga atau tak hingga.[11][55][56] Sebuah perkiraan tahun 2011 menunjukkan bahwa jika prinsip kosmologi berlaku, maka keseluruhan alam semesta harus setidaknya 250 kali lebih besar dari sebuah bola Hubble.[57] Beberapa perkiraan lain, meski masih diperdebatkan, menyebutkan bahwa jika alam semesta memilki sifat berhingga, ukurannya bisa mencapai megaparsek, sebagaimana diimplikasikan oleh salah satu penyelesaian yang diusulkan terhadap Proposal Tanpa-Batas Hartle–Hawking.[58][b]

Usia dan perluasan

Dengan mengasumsikan bahwa model Lambda-CDM adalah benar, berbagai pengukuran terhadap parameternya melalui beragam teknik dan eksperimen menunjukkan bahwa usia terbaik alam semesta adalah sekitar 13,799 ± 0,021 miliar tahun, sebagaimana hasil perhitungan hingga tahun 2015.[59]

Seiring berjalannya waktu, alam semesta beserta isinya telah mengalami evolusi. Sebagai contoh, populasi relatif antara kuasar dan galaksi telah berubah,[60] dan perluasan alam semesta pun terus berlangsung. Perluasan ini disimpulkan dari pengamatan terhadap pergeseran merah pada cahaya galaksi-galaksi jauh, yang menunjukkan bahwa galaksi-galaksi tersebut sedang menjauh dari kita. Analisis terhadap supernova Tipe Ia memperlihatkan bahwa laju pengembangan tersebut justru mengalami percepatan.[61][62]

Semakin banyak materi yang terdapat di alam semesta, semakin kuat pula gaya gravitasi timbal balik antarunsurnya. Jika alam semesta memiliki kerapatan yang terlalu tinggi, maka ia akan runtuh kembali menjadi sebuah singularitas gravitasi. Namun, bila jumlah materinya terlalu sedikit, gravitasi internalnya tidak akan cukup kuat untuk membentuk struktur-struktur astronomis seperti galaksi atau planet. Sejak Dentuman Besar, alam semesta terus mengembang secara monoton. Mungkin tidak mengherankan, alam semesta kita memiliki kerapatan massa–energi yang tepat, setara dengan sekitar lima proton per meter kubik, cukup untuk memungkinkannya mengembang selama 13,8 miliar tahun terakhir, sehingga memberi waktu bagi pembentukan struktur kosmik seperti yang kita amati kini.[63][64]

Terdapat gaya-gaya dinamis yang bekerja pada partikel-partikel di alam semesta yang memengaruhi laju pengembangannya. Sebelum tahun 1998, para ilmuwan memperkirakan bahwa laju pengembangan alam semesta akan semakin menurun seiring waktu akibat pengaruh gravitasi; oleh karena itu, dikenal suatu besaran teramati tambahan dalam kosmologi yang disebut parameter perlambatan, yang diharapkan bernilai positif dan berhubungan dengan kerapatan materi alam semesta. Namun, pada tahun 1998, dua kelompok peneliti secara independen mengukur bahwa nilai parameter tersebut ternyata negatif, kira-kira −0,55. Hal ini secara teknis menunjukkan bahwa turunan kedua dari faktor skala kosmik bernilai positif selama 5–6 miliar tahun terakhir.[65][66]

Ruang waktu

Fisika modern memandang peristiwa sebagai sesuatu yang tersusun dalam suatu kesatuan yang disebut ruang waktu.[67] Gagasan ini berasal dari teori relativitas khusus, yang memprediksi bahwa jika seorang pengamat melihat dua peristiwa terjadi di tempat berbeda pada waktu yang sama, maka pengamat kedua yang bergerak relatif terhadap pengamat pertama akan melihat kedua peristiwa tersebut terjadi pada waktu yang berbeda.[68]:45–52 Kedua pengamat akan berbeda pendapat mengenai waktu di antara kedua peristiwa tersebut, dan juga mengenai jarak yang memisahkannya, tetapi mereka akan sepakat mengenai kecepatan cahaya dan akan mengukur nilai yang sama untuk kombinasi .[68]:80 Akar kuadrat dari nilai mutlak besaran ini disebut interval antara dua peristiwa. Interval tersebut menggambarkan seberapa jauh dua peristiwa terpisah—bukan hanya dalam ruang atau waktu, melainkan dalam kesatuan ruang waktu.[68]:84,136[69]

Teori relativitas khusus menggambarkan ruang waktu datar. Penerusnya, teori relativitas umum, menjelaskan gravitasi sebagai kelengkungan ruang waktu akibat kandungan energinya. Jalur melengkung seperti orbit bukanlah hasil dari gaya yang membelokkan benda dari lintasan lurus ideal, melainkan akibat upaya benda tersebut untuk jatuh bebas melalui ruang waktu yang telah melengkung karena keberadaan massa lain. Sebuah pernyataan terkenal dari John Archibald Wheeler merangkum teori ini: "Ruang waktu memberi tahu materi bagaimana bergerak; materi memberi tahu ruang waktu bagaimana melengkung",[70][71] sehingga tidak ada gunanya memandang salah satunya tanpa yang lain.[15] Hukum gravitasi universal Newton merupakan pendekatan yang baik terhadap prediksi relativitas umum ketika efek gravitasi lemah dan benda-benda bergerak lambat dibandingkan dengan kecepatan cahaya.[72]:327[73]

Hubungan antara distribusi materi dan kelengkungan ruang waktu dijelaskan oleh persamaan medan Einstein, yang diekspresikan menggunakan kalkulus tensor.[74]:43[75] Alam semesta tampak sebagai suatu kontinum ruang waktu yang halus, terdiri dari tiga dimensi ruang dan satu dimensi temporal (waktu). Oleh karena itu, suatu peristiwa dalam ruang waktu alam semesta fisik dapat diidentifikasi melalui empat koordinat: (x, y, z, t).

Bentuk

Thumb
Tiga kemungkinan bentuk alam semesta

Kosmolog sering bekerja dengan irisan ruang-waktu yang bersifat serupa ruang (space-like), yaitu permukaan dengan waktu konstan dalam koordinat comoving. Geometri irisan ruang tersebut ditentukan oleh parameter kerapatan, Omega (Ω), yang didefinisikan sebagai rata-rata kerapatan materi alam semesta dibagi dengan nilai kritisnya. Nilai ini menentukan salah satu dari tiga kemungkinan geometri, tergantung pada apakah Ω sama dengan, kurang dari, atau lebih besar dari 1. Masing-masing disebut sebagai alam semesta datar, terbuka, dan tertutup.[76]

Pengamatan, termasuk dari Cosmic Background Explorer (COBE), Wilkinson Microwave Anisotropy Probe (WMAP), dan peta CMB dari wahana antariksa Planck, menunjukkan bahwa alam semesta bersifat tak berhingga dalam luasnya tetapi memiliki usia berhingga, sebagaimana dijelaskan oleh model Friedmann–Lemaître–Robertson–Walker (FLRW).[77][78][79][80] Model FLRW ini mendukung teori inflasi serta model standar kosmologi, yang menggambarkan alam semesta datar, homogen, dan saat ini didominasi oleh materi gelap dan energi gelap.[81][82]

Dukungan bagi kehidupan

Hipotesis alam semesta yang disetel dengan cermat (fine-tuned universe) merupakan gagasan bahwa kondisi yang memungkinkan keberadaan kehidupan yang dapat diamati di alam semesta hanya dapat terjadi apabila sejumlah konstanta fisika dasar universal berada dalam rentang nilai yang sangat sempit. Menurut hipotesis ini, seandainya beberapa konstanta fundamental tersebut sedikit saja berbeda, maka alam semesta kemungkinan besar tidak akan mendukung terbentuknya dan berkembangnya materi, struktur astronomi, keberagaman unsur, ataupun kehidupan sebagaimana yang kita kenal.

Apakah hal ini benar adanya, bahkan apakah pertanyaan tersebut secara logis bermakna untuk diajukan, masih menjadi bahan perdebatan yang hangat.[83]

Gagasan ini dibahas di kalangan filsuf, ilmuwan, teolog, serta para pendukung kreasionisme.[84]

Remove ads

Komposisi

Ringkasan
Perspektif

Alam semesta tersusun hampir sepenuhnya dari energi gelap, materi gelap, dan materi biasa. Komponen lainnya meliputi radiasi elektromagnetik (diperkirakan menyumbang sekitar 0,005% hingga mendekati 0,01% dari total ekuivalensi massa–energi alam semesta) serta antimateri.[85][86][87]

Proporsi dari semua jenis materi dan energi telah berubah sepanjang sejarah alam semesta.[88] Jumlah total radiasi elektromagnetik yang dihasilkan di alam semesta telah menurun hingga setengahnya selama 2 miliar tahun terakhir.[89] Saat ini, materi biasa—yang mencakup atom, bintang, galaksi, dan kehidupan—hanya menyumbang sekitar 4,9% dari total isi alam semesta.[7] Kerapatan rata-rata jenis materi ini sangat rendah, kira-kira 4,5 × 10−31 gram per sentimeter kubik, yang setara dengan hanya satu proton untuk setiap empat meter kubik ruang.[5]

Sifat dari energi gelap dan materi gelap masih belum diketahui. Materi gelap, bentuk misterius dari materi yang belum teridentifikasi, menyumbang sekitar 26,8% dari isi kosmos. Energi gelap, yaitu energi dari ruang hampa yang menyebabkan percepatan perluasan alam semesta, menyumbang sekitar 68,3% sisanya.[7][90][91]

Thumb
Pembentukan gugus dan filamen galaksi berskala besar dalam model materi gelap dingin dengan energi gelap. Bingkai menunjukkan evolusi struktur dalam kotak berukuran 43 juta parsek (atau 140 juta tahun cahaya) dari pergeseran merah 30 hingga masa kini (atas kiri z=30 hingga bawah kanan z=0).
Thumb
Peta supergugus galaksi dan kekosongan yang paling dekat dengan Bumi

Materi, materi gelap, dan energi gelap terdistribusi secara homogen di seluruh alam semesta pada skala panjang lebih dari sekitar 300 juta tahun cahaya (ly).[92] Namun, pada skala yang lebih kecil, materi cenderung menggumpal secara hierarkis: banyak atom membentuk bintang, sebagian besar bintang bergabung dalam galaksi, sebagian besar galaksi bergabung menjadi gugus galaksi dan supergugus, lalu membentuk filamen galaksi berskala besar.

Alam semesta teramati diperkirakan mengandung sekitar 2 triliun galaksi[93][94][95] dan total hingga 1024 bintang,[96][97] lebih banyak bintang (dan planet mirip Bumi) daripada seluruh butiran pasir di Bumi;[98][99][100] tetapi jumlah ini masih jauh lebih sedikit dibanding perkiraan jumlah atom di alam semesta, yaitu sekitar 1082.[101] Jumlah bintang di alam semesta inflasioner (teramati dan tidak teramati) bahkan diperkirakan mencapai 10100.[102] Galaksi pada umumnya memiliki beragam ukuran, mulai dari galaksi katai yang hanya berisi sekitar sepuluh juta[103] (107) bintang, hingga galaksi raksasa yang mengandung sekitar satu triliun[104] (1012) bintang. Di antara struktur-struktur besar ini terdapat wilayah-wilayah kosong yang disebut kekosongan, yang umumnya berdiameter antara 10 hingga 150 Mpc (sekitar 33 juta–490 juta tahun cahaya).

Bima Sakti sendiri merupakan bagian dari Grup Lokal galaksi, yang pada gilirannya berada di dalam Supergugus Laniakea.[105] Supergugus ini membentang lebih dari 500 juta tahun cahaya, sedangkan Grup Lokal mencakup wilayah lebih dari 10 juta tahun cahaya.[106]

Alam semesta juga memiliki kawasan luas yang hampir sepenuhnya kosong; kekosongan terbesar yang pernah diketahui terbentang sejauh 1,8 miliar tahun cahaya (550 Mpc).[107]

Thumb
Perbandingan isi alam semesta saat ini dengan 380.000 tahun setelah Dentuman Besar, berdasarkan data WMAP (2008).[108] Jumlah tidak dijumlahkan tepat 100% karena pembulatan.

Alam semesta teramati bersifat isotropik pada skala yang jauh lebih besar daripada supergugus, yang berarti sifat statistik alam semesta sama ke segala arah bila diamati dari Bumi. Alam semesta dipenuhi oleh radiasi mikrogelombang elektromagnetik yang sangat isotropik dan sesuai dengan spektrum benda hitam pada keseimbangan termal sekitar 2,72548 kelvin.[6] Hipotesis bahwa alam semesta berskala besar bersifat homogen dan isotropik dikenal sebagai prinsip kosmologi.[109] Alam semesta yang homogen dan isotropik tampak sama dari semua titik pandang dan tidak memiliki pusat.[110][111]

Energi gelap

Penjelasan mengenai alasan mengapa perluasan alam semesta semakin cepat masih belum diketahui secara pasti. Fenomena ini sering dikaitkan dengan pengaruh gravitasi dari "energi gelap", suatu bentuk energi tak dikenal yang diduga meresapi seluruh ruang.[112] Berdasarkan ekuivalensi massa–energi, kerapatan energi gelap (~ 7 × 10−30 g/cm3) jauh lebih kecil dibandingkan dengan kerapatan materi biasa atau materi gelap di dalam galaksi. Namun, pada masa dominasi energi gelap saat ini, energi gelap menjadi komponen utama massa–energi alam semesta karena penyebarannya yang seragam di seluruh ruang.[113][114]

Dua bentuk utama energi gelap yang diajukan adalah konstanta kosmologis, yaitu kepadatan energi yang konstan dan mengisi ruang secara homogen,[115] dan medan skalar seperti kuintessens atau moduli, yaitu besaran dinamis yang kerapatannya dapat berubah seiring waktu dan ruang, tetapi tetap cukup menyebar untuk menyebabkan laju perluasan alam semesta sebagaimana diamati. Kontribusi dari medan skalar yang konstan di ruang biasanya juga dianggap bagian dari konstanta kosmologis. Konstanta kosmologis ini dapat dirumuskan sebagai bentuk dari energi vakum.

Materi gelap

Materi gelap adalah jenis materi hipotetis yang tidak dapat dideteksi melalui seluruh spektrum elektromagnetik, tetapi diyakini menyusun sebagian besar materi di alam semesta. Keberadaan dan sifat-sifat materi gelap disimpulkan dari efek gravitasinya terhadap materi tampak, radiasi, serta struktur berskala besar alam semesta. Selain neutrino, yang merupakan bentuk dari materi gelap panas, materi gelap belum pernah terdeteksi secara langsung, menjadikannya salah satu misteri terbesar dalam astrofisika modern.

Materi gelap tidak memancarkan maupun menyerap cahaya atau bentuk radiasi elektromagnetik lainnya dalam tingkat yang berarti. Materi gelap diperkirakan menyumbang sekitar 26,8% dari total massa–energi alam semesta dan sekitar 84,5% dari total materi di alam semesta.[90][116]

Materi biasa

Sekitar 4,9% dari total massa–energi alam semesta terdiri atas materi biasa, yaitu atom, ion, elektron, serta objek-objek yang terbentuk darinya. Materi ini mencakup bintang-bintang, yang memancarkan hampir seluruh cahaya yang kita lihat dari galaksi, serta gas antarbintang dalam medium antarbintang dan medium antar galaksi, planet, dan semua benda kehidupan sehari-hari yang dapat kita sentuh, tekan, atau rasakan.[117] Sebagian besar materi biasa di alam semesta tidak terlihat, karena bintang-bintang tampak dan gas di dalam galaksi serta gugus galaksi hanya menyumbang kurang dari 10 persen dari total kontribusi materi biasa terhadap kerapatan massa–energi alam semesta.[118][119][120]

Materi biasa umumnya terdapat dalam empat keadaan (atau fase): padat, cair, gas, dan plasma.[121] Namun, kemajuan dalam teknik eksperimental telah mengungkap fase-fase baru yang sebelumnya bersifat teoretis, seperti kondensat Bose–Einstein dan kondensat fermionik.[122][123]

Materi biasa tersusun atas dua jenis partikel elementer: kuark dan lepton.[124] Misalnya, proton terbentuk dari dua kuark atas dan satu kuark bawah; neutron terdiri atas dua kuark bawah dan satu kuark atas; sedangkan elektron merupakan jenis lepton. Sebuah atom tersusun dari inti atom yang terdiri atas proton dan neutron (keduanya termasuk barion), serta elektron yang mengorbit di sekitarnya.[46]:1476

Tak lama setelah Dentuman Besar, proton dan neutron primordial terbentuk dari plasma kuark–gluon alam semesta awal ketika suhunya turun di bawah dua triliun derajat. Beberapa menit kemudian, dalam proses yang dikenal sebagai nukleosintesis Dentuman Besar, inti atom terbentuk dari proton dan neutron primordial tersebut. Nukleosintesis ini menghasilkan unsur-unsur ringan, yaitu unsur dengan nomor atom kecil hingga litium dan berilium, sementara kelimpahan unsur yang lebih berat menurun drastis seiring peningkatan nomor atom. Sebagian kecil boron mungkin terbentuk pada masa ini, tetapi unsur berikutnya, karbon, belum terbentuk dalam jumlah yang signifikan. Nukleosintesis Dentuman Besar berhenti sekitar 20 menit kemudian karena penurunan cepat suhu dan kerapatan akibat perluasan alam semesta. Pembentukan unsur-unsur berat berikutnya terjadi melalui nukleosintesis bintang dan nukleosintesis supernova.[125]

Partikel

Thumb
Model standar partikel elementer: 12 fermion fundamental dan 4 boson fundamental. Garis lengkung coklat menunjukkan boson (merah) yang berinteraksi dengan fermion (ungu dan hijau). Kolom menunjukkan tiga generasi materi (fermion) dan satu kolom gaya (boson). Dalam tiga kolom pertama, dua baris berisi kuark dan dua lepton. Dua baris atas masing-masing memuat kuark atas (u) dan bawah (d), pesona (c) dan aneh (s), puncak (t) dan dasar (b), serta foton (γ) dan gluon (g). Dua baris bawah memuat neutrino elektron (νe) dan elektron (e), neutrino muon (νμ) dan muon (μ), neutrino tau (ντ) dan tau (τ), serta pembawa gaya lemah Z0 dan W±. Setiap partikel disertai massa, muatan, dan spin.

Materi biasa dan gaya-gaya yang bekerja padanya dapat dijelaskan dalam kerangka partikel elementer.[126] Partikel-partikel ini kerap disebut fundamental, karena struktur dalamannya belum diketahui, dan belum ada kepastian apakah mereka tersusun dari entitas yang lebih kecil dan lebih mendasar.[127][128] Dalam sebagian besar model modern, partikel-partikel tersebut dianggap sebagai titik-titik di dalam ruang.[129] Semua partikel elementer sejauh ini paling baik dijelaskan melalui mekanika kuantum, dan menampilkan sifat dualitas gelombang–partikel: perilaku mereka dapat menyerupai partikel maupun gelombang, dengan ciri tertentu yang mendominasi tergantung pada konteks pengamatan.[130]

Pusat dari pemahaman ini adalah Model Standar, sebuah teori yang memaparkan interaksi elektromagnetik, serta interaksi lemah dan kuat pada tingkat nuklir.[131] Model Standar didukung oleh bukti eksperimental mengenai keberadaan partikel-partikel penyusun materi, kuark dan lepton, beserta pasangan "antimateri"-nya, serta partikel-partikel pembawa gaya yang menengahi interaksi fundamental: foton, boson W dan Z, dan gluon.[127] Model Standar juga memprediksi keberadaan boson Higgs yang baru ditemukan, sebuah partikel yang merupakan perwujudan medan di alam semesta yang memberikan massa pada partikel-partikel lain.[132][133] Karena keberhasilannya menjelaskan beragam hasil percobaan, Model Standar sering dianggap sebagai "teori tentang hampir segala sesuatu".[131] Namun, Model Standar belum mencakup gravitasi, dan sejauh ini belum ada "teori segalanya" yang berhasil mempersatukan seluruh gaya dan partikel dalam satu kerangka tunggal.[134]

Hadron

Hadron adalah partikel majemuk yang tersusun dari kuark-kuark yang terikat bersama oleh gaya kuat. Hadrons terbagi menjadi dua keluarga besar: barion (seperti proton dan neutron) yang terdiri atas tiga kuark, serta meson (seperti pion) yang terdiri atas satu kuark dan satu antikuark. Dari semua jenis hadron, proton merupakan partikel yang stabil, sementara neutron yang terikat di dalam inti atom juga stabil. Hadron lainnya bersifat tidak stabil pada kondisi biasa dan karena itu tidak menjadi komponen signifikan dari alam semesta modern.[135]:118–123

Sekitar 10−6 detik setelah Dentuman Besar, pada suatu masa yang dikenal sebagai masa hadron, suhu alam semesta menurun cukup rendah sehingga kuark-kuark dapat bergabung membentuk hadron, dan massa alam semesta pada saat itu didominasi oleh hadron tersebut. Pada mulanya, suhu yang sangat tinggi memungkinkan pembentukan pasangan hadron–antihadron, yang menjaga keseimbangan termal antara materi dan antimateri. Namun, seiring pendinginan alam semesta, pasangan hadron–antihadron tak lagi dapat terbentuk. Sebagian besar hadron dan antihadron kemudian saling musnah dalam reaksi anihilasi partikel–antipartikel, menyisakan hanya sejumlah kecil hadron ketika alam semesta berumur sekitar satu detik.[135]:244–266

Lepton

Lepton adalah partikel elementer dengan putaran bilangan setengah yang tidak mengalami interaksi kuat, namun tunduk pada prinsip pengecualian Pauli, yakni dua lepton sejenis tidak dapat berada dalam keadaan yang sama pada waktu yang sama.[136] Terdapat dua golongan utama lepton: lepton bermuatan (sering disebut lepton mirip elektron), dan lepton netral yang lebih dikenal sebagai neutrino. Elektron adalah lepton bermuatan yang stabil dan paling melimpah di alam semesta, sedangkan muon dan tau merupakan partikel tidak stabil yang dengan cepat meluruh setelah terbentuk dalam tumbukan energi tinggi, seperti yang terjadi pada sinar kosmik atau di pemercepat partikel.[137][138] Lepton bermuatan dapat bergabung dengan partikel lain membentuk berbagai partikel majemuk seperti atom dan positronium. Elektron memegang peran utama dalam seluruh bidang kimia, karena keberadaannya di dalam atom secara langsung menentukan sifat-sifat kimia suatu unsur. Neutrino, di sisi lain, sangat jarang berinteraksi dengan materi, sehingga hampir tak terdeteksi. Neutrino mengalir melintasi alam semesta dalam jumlah besar, tetapi hampir tak pernah berinteraksi dengan materi biasa.[139]

Era lepton adalah suatu tahap dalam evolusi awal alam semesta ketika lepton mendominasi massa totalnya. Masa ini dimulai sekitar satu detik setelah Dentuman Besar, setelah sebagian besar hadron dan antihadron saling musnah pada akhir era hadron. Pada masa lepton, suhu alam semesta masih cukup tinggi untuk memungkinkan terciptanya pasangan lepton–antilepton, sehingga keduanya tetap berada dalam kesetimbangan termal. Sekitar sepuluh detik setelah Dentuman Besar, suhu alam semesta menurun hingga tidak lagi memungkinkan terbentuknya pasangan baru lepton–antilepton.[140] Sebagian besar lepton dan antilepton kemudian saling musnah melalui reaksi anihilasi, menyisakan sejumlah kecil lepton. Setelah itu, massa alam semesta didominasi oleh foton, menandai dimulainya era foton berikutnya.[141][142]

Foton

Foton adalah kuantum dari cahaya dan seluruh bentuk radiasi elektromagnetik. Ia merupakan pembawa gaya bagi gaya elektromagnetik. Dampak dari gaya ini dapat dengan mudah diamati baik pada skala mikroskopik maupun skala makroskopik, karena foton memiliki massa diam nol; sifat ini memungkinkan terjadinya interaksi fundamental jarak jauh.[46]:1470

Era foton dimulai setelah sebagian besar lepton dan antilepton saling memusnahkan pada akhir era lepton, sekitar sepuluh detik setelah Dentuman Besar. Inti atom mulai terbentuk dalam proses nukleosintesis yang terjadi pada menit-menit pertama masa foton. Sepanjang sisa masa ini, alam semesta berisi plasma panas dan padat yang terdiri atas inti atom, elektron, dan foton. Sekitar 380.000 tahun setelah Dentuman Besar, suhu alam semesta turun hingga memungkinkan inti-inti atom bergabung dengan elektron membentuk atom-atom netral. Akibatnya, foton tidak lagi sering berinteraksi dengan materi dan alam semesta menjadi tembus cahaya. Foton-foton yang sangat bergeser merah dari masa ini kini membentuk radiasi latar gelombang mikro kosmik (cosmic microwave background). Variasi kecil dalam suhu CMB mencerminkan perbedaan kerapatan di alam semesta awal, benih-benih pertama yang kelak melahirkan seluruh pembentukan struktur kosmik yang ada sekarang.[135]:244–266

Remove ads

Kelayakhunian

Frekuensi kemunculan kehidupan di alam semesta telah lama menjadi pokok penyelidikan dalam bidang astronomi dan astrobiologi. Pertanyaan ini dikaji melalui persamaan Drake dan beragam pandangan yang menyertainya, mulai dari pengenalan atas paradoks Fermi, yakni keadaan di mana belum ditemukan tanda-tanda keberadaan kehidupan luar bumi, hingga pada argumen yang mendukung gagasan kosmologi biofisik, yaitu pandangan bahwa kehidupan merupakan bagian yang melekat dalam kosmologi fisik alam semesta.[143]

Remove ads

Model kosmologis

Ringkasan
Perspektif

Model alam semesta berdasarkan relativitas umum

Relativitas umum adalah teori geometrik tentang gravitasi yang dipublikasikan oleh Albert Einstein pada tahun 1915, dan merupakan penjelasan paling mutakhir mengenai gravitasi dalam fisika modern. Teori ini menjadi dasar bagi model-model kosmologi fisik alam semesta masa kini. Relativitas umum memperluas relativitas khusus dan hukum gravitasi universal Newton, dengan memberikan deskripsi terpadu tentang gravitasi sebagai sifat geometris dari ruang dan waktu, atau ruang waktu. Secara khusus, kelengkungan ruang waktu berhubungan langsung dengan energi dan momentum dari materi serta radiasi yang ada di dalamnya.[144]

Hubungan tersebut dijabarkan melalui persamaan medan Einstein, yaitu sistem persamaan diferensial parsial. Dalam relativitas umum, distribusi materi dan energi menentukan geometri ruang waktu, yang pada gilirannya menjelaskan percepatan dari materi itu sendiri. Karena itu, solusi dari persamaan medan Einstein menggambarkan evolusi alam semesta. Ketika dikombinasikan dengan hasil pengamatan terhadap jumlah, jenis, dan distribusi materi di alam semesta, persamaan-persamaan relativitas umum mampu menjelaskan bagaimana alam semesta berkembang seiring waktu.[144]

Dengan mengasumsikan prinsip kosmologi bahwa alam semesta bersifat homogen dan isotropik di setiap tempat, muncul solusi khusus dari persamaan medan yang menggambarkan alam semesta, yaitu tensor metrik yang dikenal sebagai metrik Friedmann–Lemaître–Robertson–Walker:

di mana (r, θ, φ) menunjukkan sistem koordinat bola. Metrik ini hanya memiliki dua parameter bebas. Yang pertama adalah faktor skala tak berdimensi R, yang menggambarkan ukuran alam semesta sebagai fungsi waktu (peningkatan R berarti pengembangan alam semesta),[145] dan yang kedua adalah indeks kelengkungan k yang menjelaskan bentuk geometri ruang tersebut. Nilai k hanya dapat berupa salah satu dari tiga kemungkinan: 0, yang mewakili geometri Euclid datar; 1, yang menggambarkan ruang dengan kelengkungan positif; atau −1, yang menunjukkan kelengkungan negatif.[146] Nilai R sebagai fungsi waktu t bergantung pada k serta konstanta kosmologis Λ.[144] Konstanta kosmologis ini merepresentasikan rapat energi dari kekosongan ruang dan dapat berkaitan dengan energi gelap.[91] Persamaan yang menggambarkan bagaimana R berubah terhadap waktu dikenal sebagai persamaan Friedmann, diambil dari nama penemunya, Alexander Friedmann.[147]

Solusi untuk R(t) bergantung pada nilai k dan Λ, tetapi beberapa ciri kualitatif dari solusi tersebut bersifat umum. Pertama dan terpenting, skala panjang R alam semesta hanya dapat tetap konstan jika dan hanya jika alam semesta benar-benar isotropik dengan kelengkungan positif (k = 1) serta memiliki kerapatan yang sama di seluruh ruang—hal ini pertama kali disadari oleh Albert Einstein.[144]

Kedua, seluruh solusi menunjukkan bahwa pada masa lampau pernah terjadi suatu singularitas gravitasi, ketika R menyusut menjadi nol dan materi serta energi mencapai kerapatan tak terhingga. Sekilas kesimpulan ini tampak meragukan karena didasarkan pada asumsi yang ideal, yakni homogenitas dan isotropi sempurna (prinsip kosmologis), dan mengabaikan interaksi lain selain gravitasi. Namun, teorema singularitas Penrose–Hawking menunjukkan bahwa singularitas semacam itu seharusnya muncul dalam kondisi yang sangat umum. Karena itu, berdasarkan persamaan medan Einstein, R tumbuh sangat cepat dari keadaan yang tak terbayangkan panas dan padat sesaat setelah singularitas tersebut (ketika R bernilai kecil tetapi terbatas); inilah inti dari model Dentuman Besar. Memahami singularitas asal Dentuman Besar kemungkinan memerlukan teori gravitasi kuantum, yang hingga kini belum dirumuskan.[148]

Ketiga, indeks kelengkungan k menentukan tanda dari kelengkungan permukaan ruang pada waktu konstan,[146] jika dirata-ratakan pada skala panjang yang sangat besar (lebih dari satu miliar tahun cahaya). Jika k = 1, maka kelengkungannya positif dan alam semesta memiliki volume terbatas.[149] Alam semesta dengan kelengkungan positif sering divisualisasikan sebagai bola tiga dimensi yang tertanam dalam ruang empat dimensi. Sebaliknya, jika k bernilai nol atau negatif, maka alam semesta memiliki volume tak terbatas.[149] Meskipun tampak berlawanan dengan intuisi bahwa alam semesta yang tak berhingga tetapi sangat rapat dapat muncul seketika saat R = 0, justru itulah yang diprediksi secara matematis ketika k tidak positif dan prinsip kosmologis terpenuhi. Sebagai analogi, bidang datar memiliki kelengkungan nol tetapi luas tak berhingga, sedangkan silinder tak berhingga bersifat terbatas dalam satu arah, dan torus terbatas dalam dua arah.

Nasib akhir alam semesta masih belum diketahui karena sangat bergantung pada nilai indeks kelengkungan k dan konstanta kosmologis Λ. Jika alam semesta cukup rapat, maka k akan bernilai +1, yang berarti kelengkungan rata-ratanya positif dan alam semesta pada akhirnya akan runtuh kembali dalam suatu Remukan Besar (Big Crunch),[150] yang mungkin diikuti oleh kelahiran alam semesta baru melalui Pantulan Besar (Big Bounce). Sebaliknya, jika kerapatan alam semesta tidak mencukupi, maka k akan bernilai 0 atau −1, dan alam semesta akan terus mengembang tanpa batas, mendingin, hingga mencapai Pembekuan Besar (Big Freeze) dan akhirnya mengalami kematian panas alam semesta.[144] Data pengamatan modern menunjukkan bahwa alam semesta kini mengembang semakin cepat; bila percepatan ini terus berlanjut dengan laju tertentu, alam semesta mungkin akan berakhir dalam peristiwa Robekan Besar (Big Rip). Secara observasional, alam semesta tampak datar (k = 0), dengan kerapatan total yang sangat dekat dengan nilai kritis antara keruntuhan kembali dan pengembangan abadi.[151]

Hipotesis multisemesta

Sejumlah teori spekulatif mengusulkan bahwa alam semesta kita hanyalah satu dari sekumpulan himpunan alam semesta yang terpisah satu sama lain, yang secara kolektif disebut multisemesta. Gagasan ini menantang sekaligus memperluas batasan definisi tradisional tentang alam semesta.[19][152] Max Tegmark mengembangkan suatu skema klasifikasi empat tingkat yang menjelaskan berbagai jenis multisemesta yang pernah diusulkan ilmuwan sebagai jawaban atas sejumlah persoalan mendalam dalam fisika. Salah satu contohnya adalah multisemesta yang dihasilkan dari model inflasi kacau pada masa awal alam semesta.[153]

Contoh lain ialah multisemesta yang muncul dari interpretasi banyak dunia dalam mekanika kuantum. Dalam kerangka ini, dunia-dunia paralel terbentuk melalui proses yang mirip dengan superposisi kuantum dan dekohesi, di mana seluruh kemungkinan keadaan dari fungsi gelombang terwujud di dunia yang berbeda-beda. Dengan demikian, dalam interpretasi banyak dunia, multisemesta berkembang sebagai suatu fungsi gelombang universal. Jika Dentuman Besar yang melahirkan multisemesta kita juga menciptakan himpunan multisemesta lain, maka fungsi gelombang dari seluruh himpunan itu akan saling terjerat secara kuantum.[154] Masih menjadi perdebatan panjang apakah konsep ini memungkinkan penurunan probabilitas yang bermakna secara ilmiah, dan terdapat pula berbagai versi dari interpretasi banyak dunia.[155][156][157] Topik tentang bagaimana seharusnya mekanika kuantum ditafsirkan sendiri merupakan wilayah yang sarat perbedaan pandangan.[158][159][160]

Kategori yang paling tidak kontroversial, meskipun tetap diperdebatkan, dalam klasifikasi Tegmark adalah multiverse Tingkat I. Multisemesta pada tingkat ini terdiri dari peristiwa ruang waktu yang sangat jauh tetapi masih termasuk "alam semesta kita" sendiri. Tegmark dan beberapa ilmuwan lain[161] berargumen bahwa jika ruang benar-benar tak berhingga, atau cukup besar dan seragam, maka sejarah lengkap volume Hubble Bumi akan berulang secara identik di tempat lain, murni karena kebetulan statistik. Tegmark menghitung bahwa "kembaran" terdekat kita berada sejauh 1010115 meter dari sini, jarak yang merupakan fungsi eksponensial ganda jauh lebih besar dari googolplex.[162][163] Meski demikian, argumen-argumen semacam ini masih bersifat sangat spekulatif.[164]

Kita juga dapat membayangkan adanya ruang waktu yang sepenuhnya terputus satu sama lain, masing-masing ada namun tak dapat berinteraksi sedikit pun.[162][165] Analogi yang mudah divisualisasikan untuk konsep ini adalah sekumpulan gelembung sabun yang terpisah, di mana para pengamat yang hidup pada satu gelembung tidak mungkin, bahkan secara teori, berinteraksi dengan mereka yang berada di gelembung lain.[166] Dalam terminologi yang umum digunakan, setiap "gelembung sabun" ruang waktu disebut sebagai sebuah alam semesta, sementara ruang waktu tempat manusia berada disebut alam semesta—sebagaimana kita menyebut satelit alami Bumi sebagai Bulan.[19] Keseluruhan kumpulan ruang waktu yang terpisah ini disebut multisemesta.[19]

Dalam pengertian ini, setiap alam semesta tidak memiliki hubungan kausal satu sama lain.[19] Secara teoretis, setiap alam semesta lain yang tak terhubung bisa saja memiliki dimensi dan topologi ruang waktu yang berbeda, bentuk materi dan energi yang berbeda, bahkan hukum fisika dan konstanta fisika yang tidak sama—meskipun kemungkinan-kemungkinan ini sepenuhnya bersifat spekulatif.[19] Beberapa ilmuwan juga menganggap bahwa gelembung-gelembung yang tercipta melalui proses inflasi kacau merupakan alam semesta tersendiri, meskipun dalam model ini semua alam semesta tersebut memiliki asal kausal yang sama.[19]

Remove ads

Penggambaran sejarah

Ringkasan
Perspektif

Sepanjang sejarah, manusia telah melahirkan beragam gagasan tentang alam semesta (kosmologi) dan asal-usulnya (kosmogoni). Teori tentang alam semesta yang tidak dipersonifikasikan dan diatur oleh hukum-hukum fisika pertama kali dikemukakan oleh para pemikir Yunani dan India kuno.[13] Filsafat Tiongkok kuno juga mencakup gagasan tentang alam semesta yang mencakup keseluruhan ruang dan waktu.[167] Selama berabad-abad, kemajuan dalam pengamatan astronomi serta teori tentang gerak dan gravitasi telah menghasilkan deskripsi alam semesta yang semakin akurat. Era modern kosmologi dimulai dengan lahirnya teori relativitas umum Albert Einstein pada tahun 1915, yang memungkinkan perhitungan kuantitatif mengenai asal mula, evolusi, dan nasib akhir alam semesta secara keseluruhan. Sebagian besar teori kosmologi modern yang diterima kini berpijak pada relativitas umum, khususnya pada prediksi mengenai Dentuman Besar.[168]

Mitologi

Banyak kebudayaan di dunia memiliki kisah tentang asal-usul dunia dan alam semesta. Umumnya, kebudayaan-kebudayaan tersebut menganggap kisah-kisah ini mengandung suatu bentuk kebenaran. Namun, di antara mereka yang meyakini asal mula adikodrati, terdapat banyak perbedaan pandangan mengenai bagaimana kisah tersebut harus dipahami, mulai dari keyakinan bahwa Tuhan menciptakan alam semesta secara langsung sebagaimana adanya sekarang, hingga gagasan bahwa Tuhan hanya "memutar roda awal" melalui mekanisme seperti Dentuman Besar dan evolusi.[169]

Para etnolog dan antropolog yang meneliti mitos telah mengembangkan berbagai sistem klasifikasi untuk mengelompokkan tema-tema umum yang muncul dalam kisah penciptaan.[170][171] Dalam salah satu jenis kisah, dunia lahir dari sebuah telur kosmik; contoh kisah ini antara lain terdapat dalam puisi epik Kalevala dari Finlandia, kisah Pangu dari Tiongkok, serta Brahmanda Purana dari India. Dalam kisah lain, alam semesta diciptakan oleh satu entitas yang memancar atau memunculkan segala sesuatu dari dirinya sendiri, sebagaimana dalam konsep Adi-Buddha dalam Buddhisme Tibet, kisah Gaia (Ibu Pertiwi) dalam mitologi Yunani, dewi Coatlicue dalam mitologi Aztek, kisah dewa Atum dalam agama Mesir Kuno, serta narasi penciptaan dalam Kitab Kejadian di mana Tuhan Abrahamik menciptakan alam semesta.

Dalam jenis kisah lainnya, alam semesta lahir dari penyatuan dewa dan dewi, seperti kisah Rangi dan Papa dalam mitologi Māori. Ada pula kisah di mana alam semesta dibentuk dari bahan-bahan yang telah ada sebelumnya, misalnya dari jasad dewa yang telah mati, seperti Tiamat dalam epos Babilonia Enûma Elish atau raksasa Ymir dalam Mitologi Nordik, atau dari materi kacau, sebagaimana kisah Izanagi dan Izanami dalam Mitologi Jepang. Dalam tradisi lain, alam semesta dipandang sebagai pancaran dari prinsip-prinsip dasar seperti Brahman dan Prakrti, atau seperti dalam Mitos penciptaan Serer dari bangsa Serer.[172]

Model-model filsafat

Para filsuf Yunani pra-Sokratik dan filsuf India mengembangkan beberapa konsep filsafat paling awal tentang alam semesta.[13][173] Filsuf Yunani awal menyadari bahwa penampakan dapat menipu, dan mereka berusaha memahami realitas mendasar yang tersembunyi di balik penampakan itu. Secara khusus, mereka mencatat kemampuan materi untuk berubah bentuk (misalnya es menjadi air lalu uap), dan sejumlah filsuf mengusulkan bahwa seluruh materi fisik di dunia merupakan bentuk-bentuk berbeda dari satu zat asal tunggal, atau arche. Yang pertama mengemukakan hal ini adalah Thales, yang menganggap zat asal tersebut adalah air. Muridnya, Anaximander, berpendapat bahwa segala sesuatu berasal dari sesuatu yang tak terbatas yang disebut apeiron. Anaximenes mengusulkan bahwa zat asal itu adalah udara, karena sifatnya yang dapat menarik dan menolak sehingga menyebabkan arche mengembun atau terurai menjadi bentuk-bentuk lain. Anaxagoras memperkenalkan asas Nous (Akal), sedangkan Herakleitos mengusulkan api dan berbicara tentang logos. Empedokles mengajukan empat unsur dasar: tanah, air, udara, dan api. Model empat unsur ini menjadi sangat berpengaruh. Seperti halnya Pythagoras, Plato percaya bahwa segala sesuatu tersusun atas angka, dengan unsur-unsur Empedokles mengambil bentuk padatan Platonik. Demokritos, dan kemudian filsuf lain seperti Leukippos, mengemukakan bahwa alam semesta tersusun dari atom yang tak terbagi, yang bergerak dalam kekosongan (vakum). Aristoteles menolak gagasan ini, sebab menurutnya udara, seperti air, memberikan hambatan terhadap gerak. Udara akan segera mengalir untuk mengisi kekosongan, dan tanpa hambatan, hal itu akan berlangsung tanpa batas kecepatan.[13]

Meskipun Herakleitos menegaskan bahwa perubahan adalah abadi,[174] sezamannya, Parmenides, menekankan ketakberubahan. Puisinya, On Nature, ditafsirkan sebagai pernyataan bahwa segala perubahan hanyalah ilusi; bahwa realitas sejati yang mendasari alam semesta bersifat abadi, tak berubah, dan tunggal dalam hakikatnya — atau setidaknya bahwa inti dari segala sesuatu yang ada haruslah kekal, tanpa awal, perubahan, maupun akhir.[175] Muridnya, Zeno dari Elea, menantang gagasan umum tentang gerak melalui serangkaian paradoks terkenal. Aristoteles menanggapi paradoks-paradoks tersebut dengan mengembangkan gagasan tentang potensi ketakterhinggaan yang dapat dihitung, serta konsep kontinuum yang dapat dibagi tanpa batas.[176][177]

Dalam tradisi filsafat India, filsuf Kanada, pendiri mazhab Vaisheshika, mengembangkan gagasan tentang atomisme dan berpendapat bahwa cahaya dan panas merupakan bentuk-bentuk dari substansi yang sama.[178] Pada abad ke-5 Masehi, filsuf Buddhisme atomis Dignāga berpendapat bahwa atom bersifat tanpa ukuran, tanpa durasi, dan tersusun dari energi. Ia menolak keberadaan materi substansial dan mengajukan bahwa gerak merupakan rangkaian kilatan sekejap dari arus energi.[179]

Gagasan tentang finitisme temporal terinspirasi oleh doktrin penciptaan yang dianut oleh tiga agama Abrahamik: Yahudi, Kristen, dan Islam. Filsuf Kristen Yohanes Filoponus mengemukakan argumen-argumen filosofis menentang pandangan Yunani kuno tentang masa lalu dan masa depan yang tak berujung. Argumennya ini kemudian diadopsi oleh filsuf Islam awal Al-Kindi (Alkindus), filsuf Yahudi Saadia Gaon (Saadia ben Joseph), serta teolog Islam Al-Ghazali (Algazel).[180]

Panteisme adalah keyakinan filsafat sekaligus agama bahwa alam semesta itu sendiri identik dengan ketuhanan dan merupakan makhluk tertinggi atau entitas ilahi.[181] Dengan demikian, alam semesta fisik dipahami sebagai dewa yang imanen dan meliputi segala sesuatu.[182] Istilah 'panteis' merujuk pada seseorang yang meyakini bahwa segala sesuatu membentuk satu kesatuan, dan bahwa kesatuan itu bersifat ilahi—terwujud dalam sosok dewa atau dewi yang merangkum seluruh eksistensi.[183][184]

Konsep-konsep astronomi

Thumb
Perhitungan Aristarchus dari Samos pada abad ke-3 SM tentang ukuran relatif Matahari, Bumi, dan Bulan (dari kiri ke kanan), disalin dalam naskah Yunani abad ke-10 M

Catatan tertulis paling awal yang dapat diidentifikasi sebagai cikal bakal astronomi modern berasal dari Mesir Kuno dan Mesopotamia, sekitar tahun 3000 hingga 1200 SM.[185][186] Para astronomi Babilonia pada abad ke-7 SM memandang dunia sebagai sebuah cakram datar yang dikelilingi oleh lautan.[187][188]

Para filsuf Yunani Kuno kemudian, dengan mengamati gerakan benda-benda langit, berupaya mengembangkan model alam semesta yang lebih berlandaskan bukti empiris. Model koheren pertama diajukan oleh Eudoxus dari Cnidus, seorang murid Plato yang mengikuti gagasan gurunya bahwa gerakan benda-benda langit haruslah melingkar. Untuk menjelaskan kerumitan gerak planet yang diketahui, terutama gerak retrograd, model Eudoxus menggunakan 27 bola langit: empat untuk setiap planet yang tampak oleh mata telanjang, tiga untuk Matahari dan Bulan, serta satu untuk bintang-bintang. Semua bola ini berpusat pada Bumi, yang dianggap tetap diam sementara bola-bola tersebut berputar selamanya. Aristoteles mengembangkan model ini lebih lanjut, menambah jumlah bola menjadi 55 untuk menjelaskan detail tambahan dari gerak planet. Bagi Aristoteles, materi biasa sepenuhnya berada di dalam lingkup bumi, dan tunduk pada hukum yang sangat berbeda dari materi langit.[189][190]

Risalah pasca-Aristoteles De Mundo (dengan penulis dan tanggal yang tidak pasti) menyatakan: "Lima unsur, tersusun dalam bola-bola pada lima wilayah, yang lebih kecil selalu dikelilingi oleh yang lebih besar, yakni bumi dikelilingi oleh air, air oleh udara, udara oleh api, dan api oleh eter, membentuk keseluruhan alam semesta."[191] Model ini kemudian disempurnakan oleh Callippus, dan setelah konsep bola konsentris ditinggalkan, model tersebut disesuaikan hampir sempurna dengan pengamatan astronomi oleh Ptolemaeus.[192] Keberhasilan model ini sebagian besar disebabkan oleh fakta matematis bahwa setiap fungsi (seperti posisi planet) dapat diuraikan menjadi sekumpulan fungsi melingkar, yaitu modus Fourier. Cendekiawan Yunani lainnya, seperti filsuf Pythagoreanisme Philolaus, menurut catatan Stobaeus, berpendapat bahwa di pusat alam semesta terdapat "api pusat", dan bahwa Bumi, Matahari, Bulan, dan planet berputar mengelilinginya dalam gerakan melingkar seragam.[193]

Astronom Yunani Aristarchus dari Samos adalah orang pertama yang diketahui mengemukakan model heliosentris alam semesta. Meskipun teks aslinya telah hilang, sebuah rujukan dalam karya Archimedes berjudul The Sand Reckoner menggambarkan model heliosentris Aristarchus. Archimedes menulis:

"Engkau, Raja Gelon, tentu mengetahui bahwa alam semesta adalah nama yang diberikan oleh kebanyakan astronom untuk bola yang pusatnya bertepatan dengan pusat Bumi, sedangkan jari-jarinya sama dengan garis lurus yang menghubungkan pusat Matahari dan pusat Bumi. Itulah pandangan umum sebagaimana engkau mendengarnya dari para astronom. Namun Aristarchus telah menerbitkan sebuah buku yang memuat sejumlah hipotesis, di mana tampak bahwa alam semesta jauh lebih besar daripada yang baru saja disebutkan. Hipotesisnya adalah bahwa bintang-bintang tetap dan Matahari tidak bergerak; bahwa Bumi berputar mengelilingi Matahari di sepanjang lingkaran dengan Matahari di tengah orbitnya; dan bahwa bola bintang-bintang tetap, yang berpusat sama dengan Matahari, begitu luas sehingga lingkaran yang menjadi jalur orbit Bumi hanya menempati proporsi sekecil jarak antara pusat bola dengan permukaannya."[194]

Aristarchus berpendapat bahwa bintang-bintang terletak pada jarak yang sangat jauh, dan inilah sebabnya mengapa paralaks bintang tidak pernah teramati, yakni bintang-bintang tidak tampak bergeser posisinya satu sama lain ketika Bumi bergerak mengelilingi Matahari. Pada kenyataannya, jarak bintang-bintang memang jauh melampaui perkiraan umum pada zaman kuno, sehingga paralaks bintang hanya dapat terdeteksi dengan instrumen yang sangat presisi. Model geosentris, yang konsisten dengan konsep paralaks planet, pada masa itu dianggap sebagai penjelasan bagi tidak teramatinya paralaks bintang.[195]

Thumb
Flammarion engraving, Paris 1888

Satu-satunya astronom lain dari zaman kuno yang diketahui mendukung model heliosentris Aristarchus adalah Seleucus dari Seleukia, seorang astronom Helenistik yang hidup sekitar satu abad setelah Aristarchus.[196][197][198] Menurut Plutarch, Seleucus adalah orang pertama yang membuktikan sistem heliosentris melalui penalaran, meskipun argumen yang digunakannya tidak diketahui. Kemungkinan besar, pembuktiannya terkait dengan fenomena pasang surut.[199] Menurut Strabo (1.1.9), Seleucus adalah orang pertama yang menyatakan bahwa pasang surut disebabkan oleh gaya tarik Bulan, dan bahwa tinggi rendahnya pasang bergantung pada posisi Bulan terhadap Matahari.[200] Sebagai alternatif, mungkin ia membuktikan heliosentrisme dengan menentukan konstanta dari model geometris untuk sistem tersebut, serta mengembangkan metode untuk menghitung posisi planet berdasarkan model itu—pendekatan yang kelak menyerupai metode Nicolaus Copernicus pada abad ke-16.[201] Pada Abad Pertengahan, model heliosentris juga diajukan oleh para astronom Persia seperti Albumasar[202] dan Al-Sijzi.[203]

Thumb
Model Alam Semesta Kopernikan oleh Thomas Digges tahun 1576, dengan pembaruan bahwa bintang-bintang tidak lagi terkungkung dalam satu bola, melainkan tersebar merata di seluruh ruang yang mengelilingi planet

Model Aristoteles diterima di Dunia Barat selama kurang lebih dua milenium, hingga Nicolaus Copernicus menghidupkan kembali pandangan Aristarchus bahwa data astronomi dapat dijelaskan dengan lebih masuk akal bila Bumi dianggap berputar pada porosnya dan Matahari ditempatkan di pusat alam semesta.[204]

Di pusatnya bersemayam Matahari. Sebab siapakah yang akan menempatkan pelita di kuil yang sangat indah ini di tempat lain atau yang lebih baik daripada posisi di mana ia dapat menerangi segalanya sekaligus?

Nicolaus Copernicus, Bab 10, Buku 1 dari De Revolutionibus Orbium Coelestium (1543)

Seperti dicatat oleh Copernicus, gagasan bahwa Bumi berputar sesungguhnya telah sangat tua, setidaknya sejak zaman Philolaus (ca450 SM), Heraclides Ponticus (ca350 SM), dan Ecphantus sang Pitagorean. Sekitar satu abad sebelum Copernicus, sarjana Kristen Nicholas dari Cusa juga mengemukakan bahwa Bumi berputar pada porosnya dalam karyanya On Learned Ignorance (1440).[205] Al-Sijzi[206] pun pernah mengusulkan hal yang sama. Bukti empiris mengenai rotasi Bumi pada porosnya, dengan menggunakan fenomena komet, diberikan oleh Tusi (1201–1274) dan Ali Qushji (1403–1474).[207]

Pandangan kosmologis ini kemudian diterima oleh Isaac Newton, Christiaan Huygens, dan para ilmuwan sesudahnya.[208] Newton menunjukkan bahwa hukum-hukum gerak dan gravitasi yang sama berlaku baik bagi benda di Bumi maupun bagi benda langit, sehingga menjadikan pembagian Aristoteles antara keduanya usang. Edmund Halley (1720)[209] dan Jean-Philippe de Chéseaux (1744)[210] secara terpisah mencatat bahwa jika ruang semesta diasumsikan tak berhingga dan dipenuhi bintang secara merata, maka langit malam seharusnya secerah Matahari sendiri; hal ini kelak dikenal sebagai Paradoks Olbers pada abad ke-19.[211] Newton menegaskan bahwa ruang tak berhingga yang dipenuhi materi secara seragam akan menimbulkan gaya tak terhingga dan ketidakstabilan yang akan menyebabkan seluruh materi runtuh ke dalam akibat gravitasinya sendiri.[208] Ketidakstabilan ini kemudian dijelaskan secara matematis pada tahun 1902 melalui kriteria ketidakstabilan Jeans.[212] Salah satu solusi yang diajukan terhadap paradoks-paradoks ini adalah alam semesta Charlier, di mana materi tersusun secara hierarkis, sistem benda-benda yang saling mengorbit dan pada gilirannya mengorbit dalam sistem yang lebih besar, ad infinitum, dalam pola fraktal sehingga kerapatan keseluruhannya sangat kecil. Model kosmologis serupa sebenarnya telah diajukan lebih awal, pada tahun 1761, oleh Johann Heinrich Lambert.[52][213]

Astronomi ruang angkasa dalam

Pada abad ke-18, Immanuel Kant berspekulasi bahwa nebula mungkin merupakan seluruh galaksi yang terpisah dari Bima Sakti.[209] Pada tahun 1850, Alexander von Humboldt menyebut galaksi-galaksi terpisah itu sebagai Weltinseln, atau "pulau dunia", istilah yang kemudian berkembang menjadi "alam semesta pulau" (island universes).[214][215]

Pada tahun 1919, ketika Teleskop Hooker selesai dibangun, pandangan umum kala itu menyatakan bahwa alam semesta hanya terdiri atas Galaksi Bima Sakti. Dengan menggunakan teleskop tersebut, Edwin Hubble berhasil mengidentifikasi bintang variabel Cepheid di beberapa nebula spiral, dan pada tahun 1922–1923 ia membuktikan secara meyakinkan bahwa Nebula Andromeda dan Nebula Triangulum, di antara yang lainnya, merupakan galaksi-galaksi utuh di luar galaksi kita sendiri. Penemuan ini menjadi bukti bahwa alam semesta tersusun atas banyak galaksi.[216]

Berdasarkan temuan tersebut, Hubble merumuskan konstanta Hubble, yang untuk pertama kalinya memungkinkan perhitungan usia alam semesta serta ukuran alam semesta teramati. Seiring dengan kemajuan pengukuran, nilai-nilai ini menjadi semakin akurat, mulanya hanya sekitar 2 miliar tahun dan 280 juta tahun cahaya, hingga pada tahun 2006, data dari Teleskop Luar Angkasa Hubble memungkinkan estimasi usia dan ukuran alam semesta yang sangat presisi.[217]

Era modern kosmologi fisik dimulai pada tahun 1917, ketika Albert Einstein untuk pertama kalinya menerapkan teori relativitas umum dalam memodelkan struktur dan dinamika alam semesta.[218] Penemuan-penemuan besar dari masa ini, beserta pertanyaan-pertanyaan yang masih belum terjawab, dijabarkan dalam bagian-bagian sebelumnya.

Thumb
Peta alam semesta teramati dengan beberapa objek astronomi terkenal yang diketahui hingga tahun 2018. Skala panjang meningkat secara eksponensial ke arah kanan. Benda-benda langit ditampilkan dalam ukuran yang diperbesar agar bentuknya dapat dikenali.
Remove ads

Lihat pula

Referensi

Pranala luar

Loading related searches...

Wikiwand - on

Seamless Wikipedia browsing. On steroids.

Remove ads