Loading AI tools
Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Loka (Sanskerta: लोक, translit: Loka, lit. 'Planet' ) adalah konsep di dalam agama Hindu dan agama-agama lain asal India, yang dapat diterjemahkan menjadi planet, alam semesta, alam kenyataan, atau alam keberadaan. Di dalam beberapa ajaran filsafat, loka dapat pula ditafsirkan sebagai keadaan batin yang dapat dialami seseorang.[1] Salah satu konsep primer di dalam beberapa agama asal India adalah gagasan bahwa ada aneka loka, masing-masing didiami beragam wujud yang bersifat ilahi, dan manusia dapat terlahir ke alam-alam itu berdasarkan karmanya.[2]
Penggolongan loka yang paling umum di dalam ajaran agama Hindu adalah Trailokya atau tiga alam.[3]
Konsep tiga alam memiliki beragam tafsiran di dalam Kosmologi Hindu.
Di dalam khazanah kesusastraan Hindu, yang dimaksud dengan tiga alam adalah bumi (Buloka), langit (Swarga), dan neraka (Naraka),[4] atau bumi (Buloka), langit (Swarga), dan pratala (Patala)[5]
Di dalam Naradapurana, Buloka dipahami sebagai planet Bumi, alam hunian umat manusia. Buloka terbagi menjadi tujuh kawasan atau dwipa (pulau), yaitu Jambudwipa, Plaksadwipa, Salmaladwipa, Kusadwipa, Kroncadwipa, Sakadwipa, dan Puskaradwipa. Kawasan yang dianggap istimewa adalah Anak Benua India, yang disebut Baratawarsa, negeri tempat segala buah perilaku manusia dapat memasukkannya ke Swarga atau Naraka. Di Buloka juga terdapat tujuh samudra, yaitu Lawana, Iksu, Sura, Sarpih, Dadi, Dugda, dan Jala.[6]
Swarga lazim diterjemahkan menjadi surga. Di dalam ajaran agama Hindu dewasa ini, Swarga dipahami sebagai alam persemayaman Batara Indra dan dewa-dewi lainnya. Pustaka-pustaka Weda menjanjikan pahala Swarga kepada orang-orang yang rajin melaksanakan upacara kurban dengan sepatutnya semasa hidup di bumi.[7] Di dalam mitologi Weda, Swarga digambarkan penuh dengan sari pati keabadian atau Tirta Amerta, memiliki danau-danau tempat seroja bermekaran, kolam anggur, kolam susu, kolam minyak samin, juga sungai-sungai yang yang mengalirkan madu. Aneka sedap-sedapan berlimpah ruah di Swarga, tersaji cuma-cuma bagi semua penghuninya.[8] Swarga disifatkan sebagai alam ananta, sempurna, dan kekal, tempat bersenang-senang yang disediakan bagi segelintir orang yang mampu mencapainya. Adakalanya Swarga disama-samakan dengan Pitṛaloka, alam persemayaman para leluhur, tetapi tidak semua pustaka memuat penyamaan semacam itu.[9]
Naraka lazim diterjemahkan menjadi neraka, loka yang diperintah oleh Batara Yama, tempat tujuan orang-orang yang akan diganjari hukuman yang adil atas segala dosa yang sudah diperbuat semasa hidup di bumi. Sesudah menanggung siksa dosa selama jangka waktu tertentu, si terhukum akan terlahir kembali ke bumi dengan wipāka buruk, akibat dari karmanya yang buruk.[10] Menurut Bagawatapurana, ada 28 macam Naraka, yaitu Tamisra, Andatamisra, Raurawa, Maharaurawa, Kumbipaka, Kalasutra, Asipatrawana, Sukaramuka, Andakupa, Krimibojana, Sandangsa, Taptasurmi, Wajrakantaka-salmali, Waitarani, Puyoda, Pranaroda, Wisasana, Lalabaksa, Sarameyadana, Awici, Ayahpana, Sarakardama, Raksogana-bojana, Sulaprota, Dandasuka, Awata-nirodana, Paryawartana, dan Sucimuka.[11]
Menurut Brahmandapurana, Naraka terdiri atas Būta (masa silam), Bawya (masa depan), dan Bawat (masa kini)[12]
Deborah Soifer menjelaskan perkembangan konsep loka sebagai berikut:
Konsep loka atau loka-loka berkembang di dalam kesusastraan Weda. Lantaran dipengaruhi konotasi-konotasi khusus yang mungkin terkandung di dalam kata yang dimaknai sebagai ruang oleh masyarakat nomaden, loka di dalam Weda tidak semata-mata bermakna tempat atau alam, tetapi juga memiliki suatu nilai positif, yaitu sebagai tempat atau kedudukan yang erat kaitannya dengan hal-ihwal agamawi atau psikologis dengan nilai atau fungsi khususnya sendiri. Oleh karena itu, di dalam konsep 'loka' yang termuat di dalam karya-karya sastra tertua, pada hakikatnya terkandung dua aspek, yaitu makna agamawi atau soteriologis yang wujud rukun berdampingan dengan makna ruang, yang dapat wujud tanpa gagasan ruang, suatu signifikansi 'imaterial'. Konsepsi kosmologis paling umum mengenai loka di dalam Weda adalah konsepsi trailokya atau tiga alam, yang terdiri atas bumi, angkasa atau langit, dan surga, yakni bagian-bagian dari alam semesta."[13]
Pustaka-pustaka Purana maupun Atarwaweda memuat keterangan bahwa ada 14 alam, tujuh lapis alam atas (Wyaherti) dan tujuh lapis alam bawah (Pātāla), yaitu bu, buwa, swar, maha, jana, tapa, dan satya di sebelah atas, serta atala, witala, sutala, rasātala, talātala, mahātala, pātāla, dan naraka di sebelah bawah.[14] Ketujuh loka lapis atas (1 sampai 7) disifatkan sebagai surga-surga yang didiami dewa-dewi agung, dan penuh dengan kebenaran. Ketujuh loka lapis bawah (8 sampai 14) merupakan tujuh macam neraka.[2] Di tiap-tiap loka terdapat dewata dan mahluk-makhluk hidup yang "sedang menapaki jalan karmanya masing-masing". Makhluk-makhluk yang mendiami alam-alam lapis atas sudah mencapai pembebasan rohani temporer berkat jasa-jasa positif mereka, lantaran sudah menguatkan keterlepasan dari objek-objek akal budi, ego, dan indria.[2] Akan tetapi, pembebasan paripurna (moksa) dianggap sebagai tujuan tertinggi dari kehidupan insani, karena di dalam moksalah seseorang mencapai kemanunggalan sempurna dengan Tuhan.[15] Untuk mencapai moksa, dibutuhkan pembebasan atau keterlepasan total dari objek-objek dan hawa nafsu duniawi.[16]
Keempat belas loka tersebut adalah:
Urutan lain dari keempat belas loka adalah:[17]
Di dalam ajaran agama Buddha Tibet dan agama Buddha Tantrayana, "enam loka" adalah lelaku atau olah batin Bönpo dan Nyingmapa yang menggunakan beragam cakra dan enam dimensi atau enam golongan makhluk hidup di dalam Bawacakra. Di dalam kosmologi agama Buddha, KamaLoka, Rupaloka, Arupaloka adalah alam-alam yang didiami beragam jenis mahkluk hidup.[18] Di samping itu, para penghuni alam-alam tersebut akan hidup sejalan dengan sifat-sifat alam tempat tinggalnya. Sebagai contoh, makhluk hidup yang berdiam di Kamaloka lebih sering mengalami hawa nafsu berahi, sementara yang berdiam di Rupaloka akan mengalami semadi yang khusyuk.[1] Berbagai sutra terdahulu juga menyiratkan adanya keterkaitan erat di antara psikologi dan kosmologi, disamakan dengan bermacam-macam tingkat keberadaan di jagat raya, yang dapat ditafsirkan sebagai loka-loka tersebut.[1]
Di dalam ajaran agama Buddha, ada sebuah pandangan kosmologis yang disebut Trailokya.[19] Di dalam ajaran agama Buddha yang terdahulu, berdasarkan Tripitaka dan pustaka-pustaka Agama terkait, ada tiga alam yang berlainan. Alam yang pertama adalah Kamaloka atau alam keberahian, dihuni manusia, hewan, dan beberapa dewata. Alam yang kedua adalah Rupadatuloka atau alam bendawi, didiami makhluk-makhluk tertentu yang menyempurnakan pencapaian semadi tertentu. Alam yang ketiga adalah Arupadatuloka atau alam awabendawi, alam tanpa rupa, didiami roh-roh yang tidak berwujud. Para Arhat, yakni orang-orang yang sudah mencapai Nirwana, sudah melepaskan dirinya dari ikatan keberadaan pribadi dalam segala bentuknya, di semua alam, dan yang tidak dapat dijumpai di sana, di sini, maupun di antara di sana dan di sini, maksudnya tidak dapat dijumpai di loka manapun. Sutra-sutra terdahulu juga memuat informasi tentang alam-alam lain yang dikenal sebagai alam yang melampaui jagat bendawi (lokotara/lokutara 出世間, “alam seberang”), alam yang dialami oleh makhluk-makhluk mulia yang sudah tersadarkan.[1]
Di dalam khazanah kesusastraan agama Jaina, jagat raya disebut loka. Meskipun mulanya loka berarti "ruang terbuka", guru-guru Jaina lebih suka mengaitkan kata itu dengan akar kata kerja lok yang berarti "melihat". Mereka menjelaskan loka sebagai sesuatu "yang dapat dilihat oleh yang mahatahu."[20]
Kosmologi agama Jaina mendalilkan suatu loka yang kekal dan wujud selama-lamanya, berjalan seturut hukum-hukum alam yang universal, tanpa dewata pencipta maupun dewata pembinasa.[21] Menurut kosmologi agama Jaina, jagat raya terdiri atas tiga bagian, yaitu:[22]
Kosmologi agama Jaina memakai istilah loka dan aloka untuk menyifatkan alam terhuni dan alam tak terhuni di jagat raga. Filsafat agama Jaina menggambarkan betapa alam terhuni (loka) mustahil menembus masuk ke alam tak terhuni (aloka), demikian pula sebaliknya, kedua-duanya merupakan bagian dari ruang (āngkāśa).[23] Di aloka, tidak ada apa-apa selain hembusan angin kencang.[20] Di dalam kosmologi agama Jaina, tatkala mencapai moksa, jiwa terbebas dari alam duniawi sesudah tuntas merasakan seluruh akibat dari karma baik maupun karma buruknya.[24]
Konsep loka diadopsi agama Teosofi, dan dapat dijumpai di dalam karya-karya tulis Blavatsky maupun G. de Purucker. Salah satu dari ketiga alam menurut Blavatsky adalah Kamaloka (alam hawa nafsu), yaitu semacam alam barzakh atau alam gaib yang bersifat sementara, menurut ajaran-ajaran Blavatsky, Leadbeater, dan Steiner.
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.