Loading AI tools
Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Seni rupa Buddhisme, Rupang Buddhis (Pāli: rūpaṁ), atau Seni Buddhis adalah seni rupa yang dipengaruhi ajaran Buddhisme. Karya seni ini meliputi beberapa media seperti: arca, relief, dan lukisan yang menampilkan Buddha, bodhisatwa, dan entitas lainnya; tokoh-tokoh Buddhis yang terkenal, baik tokoh sejarah ataupun tokoh mitologis; adegan kisah kehidupan para tokoh Buddhis; benda-benda yang dikaitkan dengan praktik ritual Buddha seperti wajra, genta, dan stupa; mandala dan media pencitraan lainnya; arsitektur candi dan wihara Buddha, juga termasuk seni rupa Buddha.[1]
Seni rupa Buddha berasal dari anak benua India berdasarkan sejarah kisah kehidupan dan ajaran Siddhartha Gautama, pada abad ke-6 sampai ke-5 SM, berkembang dan berevolusi karena bersentuhan dengan budaya lain, kemudian menyebar ke sebagian besar wilayah benua Asia dan dunia.[2]
Seni rupa Buddha tumbuh mengikuti penyebaran penganutnya sesuai dengan perkembangan ajaran dharma. Dari India seni rupa Buddha menyebar ke utara memasuki Asia Tengah, dan kemudian berkembang ke Asia Timur membentuk cabang utara seni rupa Buddha. Seni rupa Buddha juga berkembang ke arah timur, dari India menuju Asia Tenggara dan kemudian membentuk cabang selatan seni rupa Buddha.[2] Di luar India, seni rupa ini diterapkan, diadaptasi, dan berkembang sedemikian rupa sesuai dengan gaya negara-negara yang mengembangkannya. Di India, seni rupa Buddha berkembang dan kemudian memengaruhi perkembangan seni rupa Hindu dan Jaina, hingga kemundurannya pada abad ke-10 akibat pesatnya perkembangan agama Hindu dan Islam di India.
Pada periode abad ke-2 hingga ke-1 SM, seni pahat Buddhis semakin jelas menggambarkan episode kehidupan Buddha dan ajarannya. Bentuk karyanya berupa kepingan tablet nazar pemujaan atau ukiran, biasanya terkait dengan hiasan stupa. Meskipun India memiliki tradisi seni patung yang panjang serta keahlian dalam ikonografi yang kaya, Buddha pada periode ini tidak pernah digambarkan dalam wujud manusia, melainkan hanya melalui simbolisme Buddha.
Simbol-simbol yang mewakili sosok Buddha antara lain singgasana kosong, Buddha-pada (telapak kaki Buddha), chattra (payung), stupa, pohon Bodhi (melambangkan pencerahan Buddha), Dharma-chakra (roda hukum dharma), dan Triratna (tiga permata). Motif satwa juga digunakan sebagai perlambang episode kehidupan Buddha Gautama, seperti gajah yang melambangkan episode kelahiran Siddharta ketika Ratu Maya bermimpi gajah putih memasuki rahimnya; kuda yang melambangkan episode kepergian Pangeran Sidharta melarikan diri keluar dari istana demi menjadi pertapa; dan rusa yang melambangkan episode wejangan pertama Buddha di Taman Rusa Sarnath, Benares. Periode ini dapat disebut periode tanpa ikon dalam kesenian Buddha.[3]
Para seniman pada periode ini enggan menggambarkan Sang Buddha dalam wujud manusianya, dan mengembangkan simbol-simbol tanpa ikon untuk menghindari menggambarkan wujud manusia Buddha. Bahkan dalam adegan naratif yang menampilkan figur manusia tokoh lain tapi tidak menampilkan sosok Buddha.[lower-alpha 1] Kecenderungan ini terus berlangsung hingga abad ke-2 SM di India Selatan, misalnya dalam aliran seni Amarawati awal.[3]
Ada banyak teori yang berusaha menjelaskan ketiadaan sosok Buddha dalam lima abad pertama perkembangannya. Salah satu teori menyebutkan Buddha Gautama sendiri melarang perwujudan dirinya, meskipun teori ini tidak didukung oleh literatur Buddhis. Kutipan dari Vinaya Sarvastivadin menyebutkan murid Sang Buddha, Anathapindika, bertanya kepada Sang Guru Agung, "Dunia menghormatimu, jika citra dirimu tidak boleh dibuat, bagaimanakah sebaiknya? setidaknya bolehkah kami membuat citra Bodhisatwa[lower-alpha 2] perwakilan dirimu?" Buddha kemudian memberikan persetujuannya.[3] Teori yang lain menggunakan pendekatan berbeda, yaitu pendekatan filsafati sebagai latihan mental, bahwa melalui "ketiadaan" sosok Buddha, para murid Sang Buddha justru harus menyadari "keberadaan" Buddha.[3]
Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa perwujudan Buddha sudah ada sejak masa hidup Buddha Gautama. Akan tetapi pada masa awal ini wujud Buddha dibuat dari patung kayu, dan mungkin telah lapuk dan musnah ditelan waktu. Menurut tradisi Tibet, China, dan Jepang, patung pertama Buddha diukir dari kayu cendana,[3] dan tradisi pemujaan dengan memberikan sesaji persembahan sekantung serbuk kayu cendana, hingga kini masih bertahan di Jepang. Meskipun demikian, tidak ada bukti arkeologi yang mendukung pendapat ini, karena bukti arkeologi perwujudan sosok Buddha tertua ditemukan pada koin emas wangsa Kushan, dari kurun 150 sampai 50 SM.[3]
Contoh paling awal dari seni rupa Buddha di India berasal dari abad ke-1 SM. Vihara Mahabodh di Bodh Gaya, yang kemudian menjadi contoh bangunan serupa di Myanmar dan Indonesia. Fresko di Sigiriya disebutkan berusia lebih tua daripada fresko di Gua Ajanta.[4]
Perwujudan manusia Buddha mulai muncul pada abad pertama masehi di India Utara. Dua pusat perkembangan kesenian Buddha adalah di Gandhara, kini terletak di Provinsi perbatasan Barat Laut di Pakistan, dan di kawasan Mathura, Uttar Pradesh, di pusat India Utara.
Seni rupa Gandhara diuntungkan karena selama berabad-abad bersentuhan dengan kebudayaan Yunani sejak penaklukan Aleksander Agung pada tahun 332 SM. Tumbuhnya kerajaan Yunani-Baktria dan kerajaan Indo-Yunani mendorong tumbuhnya Seni Buddha-Yunani. Arca-arca Buddha dari Gandhara menampilkan pengaruh artistik Yunani, dan disebutkan bahwa gagasan "manusia-dewa" sesungguhnya diilhami oleh budaya Mitologi Yunani.[5] Sebagai contoh, Herakles dengan jubah dan cawat kulit singa (dewa pelindung Demetrius I dari Baktria) "dijadikan sebagai model penggambaran bodhisatwa Wajrapani, pengawal Buddha."[6][lower-alpha 3]
Secara artistik, disiplin aliran seni patung Gandhara telah menyumbangkan beberapa karakteristik pada perwujudan Buddha, seperti rambut ikal bergelombang, pakaian berjubah, sepatu dan sandal, serta hiasan sulur bunga pada kesenian Buddha. Selain penggambaran wujud Buddha, seni rupa Buddha juga diperkaya penggambaran tokoh-tokoh lain, seperti Bodhisatwa, Tara, serta makhluk-makhluk mitologis seperti yaksa, kinnara dan kinnari, gandarwa, apsara, widyadhara, asura, dwarapala, kala, makara, serta pohon Kalpawreksa.[7]
Seni Mathura tampaknya lebih berdasarkan pada tradisi India yang kuat, dengan contoh penggambaran dewata dan makhluk suci seperti Yaksa, meskipun secara gaya masih terlihat kaku dibandingkan perwujudan Buddha kemudian. Seni aliran Mathura menyumbangan pengaruhnya pada seni rupa Buddha, seperti jubah yang menutup bahu kiri dan terbuka pada bahu kanan dari bahan muslin tipis, cakra pada telapak tangan, singgasana teratai, dan lain-lain.
Seni Mathura dan Gandhara juga saling memengaruhi. Pada masa keemasan kesenian Buddha pada periode ini, kedua pusat seni Buddha ini disatukan dalam Kekaisaran Kushan, dan kedua kota ini menjadi pusat kemaharajaan. Hingga kini masih diperdebatkan apakah perwujudan manusia Buddha itu lahir dari evolusi lokal pada seni Buddha Mathura, atau merupakan hasil interaksi budaya sebagai akibat pengaruh seni rupa Yunani di Gandhara melalui sinkretisme budaya Yunani-Buddhis.[5]
Seni ikonik ini memiliki ciri idelisme realis, menggabungkan sosok manusia yang realistik, proporsional, sikap dan atribut, digambarkan dengan rasa ketenangan dan keteduhan yang sempurna mencapai kualitas keilahian. Ekspresi sosok Buddha sebagai manusia dan sosok ilahiah menjadi pakem ikonografi bagi seni rupa Buddha kemudian.
Hal yang menarik untuk dicatat, ajaran Buddha banyak memanfaatkan seni plastis seperti seni pahat, seni patung, lukisan, dan literatur, tetapi amat jarang memanfaat seni musik dan tari.
Seni rupa Buddha terus berkembang di India hingga beberapa abad kemudian. Pada abad ke-5 M, fresko atau seni lukis dinding Buddha mencapai puncak pencapaian estetikanya dengan contoh karya terbaik; fresko Bodhisatwa Padmapani dengan ekspresi yang teduh nan anggun terlukis di dinding Gua Ajanta, yang dikembangkan oleh Raja Harishena dari Wangsa Wakataka. Seni Buddha di India yang berasal dari periode ini seolah menjadi purwarupa bagi karya seni Buddha di wilayah lain, menjadi contoh dan diteladani. Patung batu pasir berwarna merah muda dari Mathura yang berkembang pada masa Kekaisaran Gupta kurun abad ke-4 sampai ke-6 M telah mencapai tingkat kehalusan dan keindahan yang sedemikian rupa dalam penyelesaian dan modelnya. Seni rupa aliran Gupta menjadi sedemikian berpengaruhnya hingga menyebar ke wilayah Asia lainnya. Pada abad ke-10, seni Buddha mulai memudar di India, sedangkan Hindu dan Islam terus berkembang di India.[2]
Pada akhir abad ke-12 sisa-sisa kejayaan Buddha hanya bertahan di wilayah pegunungan Himalaya di India utara. Kawasan ini karena lokasinya lebih banyak bersentuhan dengan Tibet dan Tiongkok, sebagai contoh seni dan tradisi Ladakh menunjukkan ciri pengaruh Tibet dan Tiongkok.
Seiring dengan penyebaran ajaran Buddha keluar dari India pada abad pertama masehi, kemasan artistik aslinya berpadu dengan pengaruh artistik lainnya, menghasilkan keanekaragaman progresif di antara negara-negara yang menganut ajaran Buddha. Penyebaran ajaran sekaligus seni rupa Buddha mengambil dua arah percabangan; jalur utara dan jalur selatan.
Penyebaran ajaran Buddha melalui Jalur Sutra ke Asia Tengah, Tiongkok, dan akhirnya mencapai Korea dan Jepang, dimulai pada abad pertama masehi,[2] dengan catatan semi-legendaris bahwa Kaisar Ming dari Dinasti Han Tiongkok mengirim utusan ke barat untuk memperoleh kitab suci Buddha dan membawa ajaran Buddha ke Tiongkok. Akan tetapi sepertinya penyebaran Buddha ke Tiongkok ini merupakan konsekuensi logis dari perkembangan Kekaisaran Kushan ke wilayah Tiongkok di Cekungan Tarim pada abad ke-2, diikuti dengan upaya misi penyebaran ajaran Buddha dari Asia Tengah ke negeri Tiongkok. Beberapa penyebar ajaran Buddha ini menerjemahkan kitab-kitab suci Buddha ke dalam Bahasa Tionghoa, seperti Biksu Lokaksema, yang mungkin berasal dari Parthia, Kushan, Sogdiana atau Kuchea.
Misi penyebaran ajaran Buddha di sepanjang Jalur Sutra diiringi dengan menyebarnya pengaruh seni rupa, seperti terlihat dalam perkembangan seni rupa Serindia dari abad ke-2 hingga ke-11 masehi di Basin Tarim (kini wilayah Xinjiang). Seni rupa Serindia sering kali berasal dari seni Yunani-Buddha Gandhara (kini Pakistan), memadukan seni India dengan pengaruh Yunani-Romawi. Pengaruh seni Yunani-Buddha ini dapat ditemukan hingga ke Jepang, melalui motif arsitektur, citra Buddha, dan perwujudan kami (dewata Jepang).
Rute utara penyebaran ajaran Buddha ini juga sangat dipengaruhi aliran Buddha Mahayana,[2] cabang inklusif Buddhisme yang dicirikan dengan penerapan kitab baru sebagai tambahan agama Buddha, dan peralihan Buddhisme dari ajaran tradisional dengan ideal mencapai pembebasan dari penderitaan (dukkha) arahat, dan lebih menekankan pada jalur Bodhisatwa. Jalur ini adalah mereka yang terdorong oleh kasih sayang yang besar untuk membantu semua makhluk, telah melahirkan bodhicita dalam jiwanya, yaitu keinginan spontan untuk mencapai tingkat kebuddhaan demi kebahagiaan semua makhluk. Buddha Mahayana mengangkat Buddha menjadi sosok ilahiah yang abadi, dan menampilkan panteon masyarakat dewa yaitu Bodhisatwa yang mengerahkan segala daya upaya untuk mencapai enam kesempurnaan (Paramita) dan kebijaksanaan agung (Prajñāpāramitā), pencerahan, dan kebebasan dari kehidupan makhluk fana. Seni rupa Buddha utara cenderung dicirikan dengan panteon yang kaya dan sinkretis, dengan banyak wujud menggambarkan Buddha, Bodhisatwa, dewata, dan makhluk-makluk surgawi.
Seni rupa Buddha di Afganistan (Baktria Kuno) bertahan selama beberapa abad hingga penyebaran Islam pada abad ke-7 masehi. Contohnya adalah Patung Buddha Bamiyan. Patung lainnya termasuk stuko dan patung tanah liat, menampilkan pengaruh kuat campuran seni India pasca-Gupta dan pengaruh klasik Helenisme, bahkan mungkin pengaruh Yunani-Romawi.
Dampak awal penaklukan Islam terhadap seni rupa Buddha secara umum bersifat merusak.[2] Meskipun Islam bertoleransi terhadap agama lain yang termasuk Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), Islam di Afganistan tidak toleran terhadap Buddhisme yang dianggap agama pemujaan berhala. Perwujudan manusia juga dilarang dalam Islam, sehingga mendorong penakluk Muslim menghancurkan banyak biara dan artefak Buddha. Akibatnya, seni rupa Buddha di Afganistan menderita serangan, vandalisme, dan perusakan, yang mencapai puncaknya pada pemerintahan rezim Taliban. Arca Buddha di Bamiyan dan patung-patung di Hadda, serta beberapa artefak di museum Afganistan telah dihancurkan.[8]
Konflik berkepanjangan sejak 1980 telah mengarah pada penjarahan sistematis pada situs-situs arkeologi yang menjual artefak-artefak ini ke pasar kolektor benda antik internasional.[9]
Asia Tengah sejak lama memainkan peranan sebagai penghubung antara peradaban Tiongkok, India, dan Persia. Pada abad ke-2 SM, perkembangan Dinasti Han ke barat meningkatkan kontak dengan peradaban Hellenisme di Asia, terutama kerajaan Yunani-Baktria. Dari India Utara, Pakistan, dan Afganistan, ajaran Buddha menyebar ke utara melalui celah-celah pegunungan, memasuki Asia Tengah, mengikuti Jalur Sutra lalu berbelok ke timur mencapai Tiongkok.[10]
Perkembangan ajaran Buddha ke utara memicu terbentuknya masyarakat Buddha dan bahkan kerajaan Buddha di oasis Asia Tengah. Beberapa kota di Jalur Sutra hampir sepenuhnya terdiri dari stupa dan biara, dan sepertinya tujuan utamanya adalah melayani musafir yang bepergian antara timur dan barat.
Di bagian timur Asia Tengah, Turkestan Tiongkok (Basin Tarim dan Xinjiang) secara khusus telah melahirkan seni rupa Serindia (lukisan gua dan dinding, relief di banyak gua, lukisan di atas kanvas, arca, dan benda ritual), menampilkan banyak pengaruh dari budaya India dan Yunani. Seni ini mencerminkan gaya Gandhara, demikian in pula tulisan beraksara Kharosti (aksara Gandhara) juga ditemukan. Pengaruh-pengaruh ini kemudian diserap seni rupa Tiongkok, dan dengan ciri khas Tiongkok yang kuat seni rupa Buddha Tiongkok tumbuh dari pengaruh ini.
Ajaran Buddha tiba di Tiongkok sekitar abad pertama masehi, dan memperkenalkan seni rupa jenis baru ke Tiongkok, terutama dalam bidang seni patung. Dalam penerimaan kultur agama Buddha, ciri Tiongkok yang kuat dimasukkan ke dalam kesenian tersebut. Kebudayaan Buddha dari India ini disaring melalui Tiongkok, dan kemudian diteruskan ke daerah lain di Asia Timur.[11]
Pada abad ke-5 dan ke-6, dinasti-dinasti Utara mengembangkan wujud seni abstrak yang simbolik dengan garis-garis skematik. Gayanya bersifat agung dan resmi.[2] Kekurangan "korporealitas"[lower-alpha 4] dalam seni rupa aliran ini menggambarkan ideal pencerahan dalam cara yang dapat dibayangkan, kemudian secara progresif mengarah kepada perubahan menuju gaya yang lebih naturalis dan realis, seperti yang ditemui dalam seni rupa Buddha periode dinasti Tang.
Situs yang melestarikan gaya Wei Utara antara lain:
Menyusul transisi pada masa Dinasti Sui, seni patung Buddha Dinasti Tang berevolusi menuju gaya dan ekspresi yang lebih hidup.[2] Karena sikap dinasti ini yang terbuka akan pengaruh asing, pertukaran budaya antara Tiongkok dan India diperbarui kembali dengan sejumlah perjalanan ziarah biksu Tiongkok ke India. Salah satunya perjalanan Biksu Xuanzang yang mengilhami novel sastra Tiongkok Perjalanan ke Barat.[12] Seni patung Buddha dinasti Tang meneruskan gaya klasik yang diilhami seni India periode Gupta. Pada saat itu, ibu kota Tiongkok, Chang'an (kini Xi'an) menjadi pusat penting Buddhisme. Dari sana, ajaran Buddha menyebar ke Korea, dan serangkaian misi diplomatik Jepang kepada dinasti Tang semakin memperkuat pengaruh ajaran Buddha di Jepang.
Akan tetapi pengaruh asing kemudian dianggap sebagai pengaruh buruk pada periode akhir Dinasti Tang. Pada tahun 845, Kaisar Wuzong dari dinasti Tang memberangus semua ajaran dan agama asing (termasuk Kristen Nestorian, Zoroastrianisme, dan Buddha), untuk mendukung ajaran asli Tiongkok, Taoisme. Ia menyita semua harta benda Buddhis, dan mendorong ajaran ini menjadi ajaran bawah tanah, akibatnya melemahkan perkembangan ajaran dan seni rupa Buddha di Tiongkok.
Buddha aliran Chan yang menjadi asal mula aliran Zen di Jepang, terus berkembang hingga beberapa abad selanjutnya, terutama pada periode Dinasti Song (960-1279), ketika biara Chan menjadi pusat budaya dan pembelajaran.
Lukisan awal karya para biksu Chan cenderung menjauhkan diri dari realisme rumit dari lukisan gaya Gongbi, dan lebih menuju lukisan monokrom hitan-putih yang lebih bergairah dalam upaya untuk mengekspresikan dampak pencerahan atas guratan kuas mereka.[13]
Kebangkitan Neo-Konghucu di bawah Zhu Xi pada abad ke-12 menimbulkan kritik atas karya biksu-pelukis. Dihubungkan dengan Buddhisme Chan yang saat itu tidak populer, akibatnya karya mereka dibuang dan diabaikan. Beberapa lukisan diselamatkan dan dibawa ke Jepang oleh biksu Zen yang berkunjung ke Tiongkok; meskipun demikian lukisan Chan secara perlahan memudar.[14]
Pada masa Dinasti Qing, para kaisar Manchu mendukung dan melindungi ajaran dan praktik agama Buddha atas dasar politis dan pribadi. Kaisar Shunzi adalah penganut Buddha aliran Chan yang taat, sementara penerusnya, kaisar Kangxi mempromosikan Buddhisme Tibet, dan mengaku bahwa dirinya adalah penitisan Bodhisatwa Manjusri.[15] Pada masa Kaisar Qianlong, perlindungan dan dukungan kekaisaran atas seni rupa Buddha mencapai puncaknya. Ia menugaskan beberapa karya religius dalam gaya Tibet; banyak diantaranya menampilkan sosok sang kaisar dalam wujud suci.[16]
Karya yang dihasilkan pada periode ini bercirikan paduan unik antara pendekatan artistik Tiongkok dan Tibet, menggabungkan ketelatenan akan detail ikonografi Tibet dengan elemen dekorasi Tiongkok. Tulisan kadang ditulis dalam bahasa Tionghoa, Manchu, Tibet, Mongolia, dan Sanskerta, sementara lukisan sering kali dibuat dengan warna-warna cerah.[17]
Sebagai tambahan, Kaisar Qianlong memulai beberapa proyek besar; pada tahun 1744 ia mendedikasikan Kuil Yonghe sebagai biara Buddhisme Tibet utama di Beijing; menyumbangkan banyak lukisan, patung, tekstil, dan prasasti untuk kuil ini.[18] Kuil Xumi Fushou, dan karya seni yang tersimpan di dalamnya dibangun oleh Kaisar Qianlong yang menampilkan perpaduan gaya artistik Tibet dan Manchu yang menjadi ciri seni rupa Buddha pada masa Kaisar Qianlong.
Setelah mundurnya Kaisar Qianlong pada tahun 1795, popularitas Buddhisme Tibet di istana Qing mulai menurun. Motif promosi Buddhisme Tibet ditafsirkan sebagai aksi penuh perhitungan dan manipulasi untuk membina ikatan antara masyarakat Manchu, Mongol, dan Tibet, meskipun pendapat ini kemudian ditentang oleh peneliti lain.[19]
Kepopuleran ajaran Buddha di Tiongkok menjadikan negara ini sebagai salah satu pemilik koleksi seni rupa Buddha terkaya di dunia. Gua Mogao dekat Dunhuang dan Gua Kuil Bingling dekat Yongjing di provinsi Gansu, Gua Longmen dekat Luoyang di provinsi Henan, Gua Yungang dekat Datong di provinsi Shanxi, dan ukiran batu Dazu dekat Chongqing adalah contoh peninggalan seni patung Buddha terkenal di Tiongkok. Patung Buddha raksasa di Leshan, setinggi 71 meter yang diukir dari dinding bukit batu pada abad ke-8 pada masa dinasti Tang adalah patung Buddha batu terbesar di dunia.[20] Selama berabad-abad patung ini menjadi patung Buddha terbesar di dunia, sebelum rekornya dipecahkan oleh Arca Buddha setinggi 128 meter di Kuil Musim Semi, Leshan, Henan, China.[21] Selain itu, berseminya Buddhisme di Tiongkok memainkan peran penting terhadap transformasi budaya di Korea dan Jepang.[11] Pada masa dinasti Tang, ibu kota Chang'an menjadi pusat penyebaran ajaran Buddha di Asia Timur, dan kebudayaan Tiongkok, termasuk ajaran Buddhanya, menjadi teladan yang ditiru oleh kebudayaan Korea dan Jepang.
Seni rupa Buddha di Korea umumnya mencerminkan interaksi antara pengaruh Buddha lainnya dengan budaya Korea asli. Sebagai tambahan, ditemukan juga pengaruh kebudayaan stepa Siberia dan kebudayaan Skithia yang terbukti melalui penemuan artefak dan benda bekal kubur, seperti mahkota Silla, sabuk, dan pisau.[22][23] Kaya seni rupa warga pribumi ini berupa pola-pola geometrik, abstrak, dan hiasan kaya yang mewah. Meskipun pengaruh lain cukup kuat, karya seni Buddha Korea disebut, "menggambarkan ketenangan, rasa nada warna yang tepat, rasa abstraksi tetapi juga pilihan warna yang anehnya sejalan dengan selera kontemporer" (Pierre Cambon, Arts asiatiques- Guimet'). Ajaran dan seni Buddha ini kemudian menjadi tali penghubung antara Korea dan Jepang.[11]
Di antara Tiga Kerajaan Korea, kerajaan Goguryeo adalah yang pertama kali menerima ajaran Buddha pada tahun 372.[24] Akan tetapi, menurut catatan Tiongkok dan penggunaan motif Buddha di mural Goguryeo menunjukkan bahwa pengaruh Buddha datang lebih awal.[25] Kerajaan Baekje secara resmi mengakui agama Buddha pada tahun 384.[24] Kerajaan Silla yang terisolasi dan tidak memiliki akses laut dan daratan langsung ke Tiongkok, secara resmi baru mulai menerima ajaran Buddha pada tahun 535 meskipun agama asing ini sudah dikenal melalui karya biksu Goguryeo sejak awal abad ke-5 M.[26]
Diperkenalkannya ajaran Buddha memicu kebutuhan akan seniman untuk menciptakan citra dan Buddharupa untuk pemujaan, arsitek kuil, dan sastra kitab suci Buddha yang akhirnya mengubah peradaban Korea. Hal penting dalam penyebaran gaya seni Buddhis mutakhir pada masa itu adalah kesenian suku Tuoba, suku non-Han (bukan suku mayoritas Tiongkok) yang mendirikan Dinasti Wei Utara di Tiongkok pada tahun 386. Gaya Wei Utara secara khusus sangat memengaruhi kesenian Goguryeo dan Baekje. Seniman Baekje kemudian meneruskan gaya ini bersama dengan elemen dinasti Song Selatan dan elemen Korea yang khas ke Jepang. Seniman Korea sangat selektif dalam gaya yang diambilnya dan menerapkannya dalam gaya yang merupakan perbaduan gaya regional untuk menciptakan gaya seni rupa Korea yang khas.[27][28]
Ketika seni Buddha Goguryeo menampilkan vitalitas dan gerakan yang mirip purwarupa gaya Wei Utara, kerajaan Baekje lebih dipengaruhi kesenian Dinasti-dinasti Selatan Tiongkok, melalui kedekatan kontak dan hubungan diplomatik, dan dicontohkan dengan proporsi patung gaya Baekje yang halus, yang mencapai mahakaryanya dengan menampilkan senyum misterius yang dikenal oleh sejarawan seni sebagai "senyuman Baekje".[29] Kerajaan Silla juga mengembangkan tradisi seni Buddha tersendiri, yang dicirikan dengan Bangasayusang, Maitreya yang setengah duduk termenung, yang arca kembarannya, Miroku Bosatsu, dikirim ke Jepang sebagai hadiah penyebaran agama Buddha dan kini disimpan di kuil Koryu-ji Jepang.[30] Perkembangan Buddha di periode Tiga Kerajaan Korea menggugah giatnya proyek pembangunan kuil, seperti kuil Mireuksa di kerajaan Baekje dan kuil Hwangnyongsa di Silla. Arsitek Baekje terkenal akan kemampuannya dalam membangun pagoda besar bertingkat sembilan di Hwangnyongsa dan kuil Buddha awal di Yamato (Jepang), seperti kuil Hōkō-ji (Asuka-dera) dan Hōryū-ji.[31][32]
Seni Rupa Buddha Korea abad ke-6 menampilkan pengaruh budaya Tiongkok dan India, tetapi mulai menunjukkan karakteristik aslinya. Karakteristik asli ini dapat dilihat pada kesenian awal Buddha di Jepang dan beberapa kitab suci Buddha dipercaya berasal dari Korea, khususnya Baekje. Seniman Korea juga ada yang hijrah ke Yamato, Jepang. Contoh khususnya adalah Maitreya teremenung setengah terduduk bergaya Korea yang dibawa ke Jepang sebagai Miroku Bosatsu dan arca Siddhartha Chugu-ji. Meskipun kebanyakan sejarawan hanya menggambarkan Korea sebagai penerus ajaran Buddha, namun Tiga Kerajaan Korea, khususnya Baekje, berperan penting sebagai agen yang membentuk tradisi Buddha di Jepang pada kurun 538 atau 552.[33]
Pada masa kerajaan Silla Bersatu, Asia Timur dalam kondisi yang stabil karena baik Tiongkok ataupun Korea disatukan dalam pemerintahan bersatu. Gaya Silla bersatu awal menggabungkan gaya Silla dan gaya Baekje. Seni rupa Buddha Korea juga dipengaruhi oleh gaya kesenian Dinasti Tang sebagaimana terbukti melalui motif populer Buddha baru dengan arca Buddha berwajah penuh. Dinasti Tang Tiongkok adalah pusat persimpangan budaya Asia Timur, Tengah, dan Selatan, demikian pula menjadi pusat kesenian Buddha yang pada periode ini menampilkan gaya internasional. Negara menyokong kesenian Buddha yang bersemi di periode ini. Puncak mahakarya zaman ini adalah Gua Seokguram.[34]
Runtuhnya kerajaan Silla bersatu dan terbentuknya Dinasti Goryeo pada tahun 918 menandai periode baru kesenian Buddha Korea. Raja-raja Goryeo juga secara mewah mensponsori kesenian Buddha, khususnya seni lukis dan kitab sutra bergambar yang dilapisi tinta emas dan perak. Puncak pencapaian periode ini adalah ukiran 80.000 balok kayu Tripitaka Koreana yang dibuat dua kali.[35]
Dinasti Joseon secara aktif menindas ajaran Buddha pada tahun 1406. Akibatnya, penciptaan karya seni dan kuil Buddha menurun secara drastis dalam kualitas dan kuantitas, meskipun sejak 1549 kesenian Budda tetap terus dihasilkan.[36]
Sebelum masuknya ajaran Buddha, Jepang sudah mengembangkan beberapa pengaruh seni dan budaya, termasuk seni dekorasi abstrak linear dari periode Jōmon pada kurun 105 SM sampai 300 SM, hingga kesenian periode Yayoi dan Kofun, dengan perkembangan kesenian Haniwa.
Warga Jepang mulai mengenal ajaran Buddha pada abad ke-6 M dari Korea,[2] ketika biksu penyebar agama mulai mendatangi kepulauan Jepang dengan membawa kitab suci dan karya seni. Pada abad berikutnya agama Buddha mulai ditetapkan sebagai agama resmi negara. Secara geografis Jepang berada di ujung Jalur Sutra, karena itulah Jepang dapat melestarikan banyak aspek Buddhisme yang pada saat yang sama telah hilang di India, atau mulai tertekan di Asia Tengah dan Tiongkok.
Mulai tahun 711, berbagai kuil dan biara mulai dibangun di ibu kota Nara, termasuk pagoda bertingkat lima, balairung emas Horyuji, dan kuil Kofukuji. Banyak lukisan dan patung dihasilkan, sering kali dengan dukungan pemerintah. Pengaruh India, Yunani, Tiongkok, dan Korea berpadu menjadi karya asli yang bergaya penuh keanggunan dan realisme. Penciptaan seni rupa Buddha Jepang sangat kaya pada kurun abad ke-8 hingga abad ke-13 M pada Zaman Nara, Heian, dan Kamakura. Jepang mengembangkan seni figuratif panteon dewata Buddhis yang sangat kaya, terkadang digabungkan dengan pengaruh Hindu dan Shinto. Karya seni ini dapat demikian beraneka ragam, kreatif, dan berani.
Sejak abad ke-12 dan ke-13, perkembangan selanjutnya adalah Buddha aliran Zen, dan mengalami masa keemasanya pada Zaman Muromachi, menyusul diajarkannya paham ini oleh Dogen dan Eisai sekembalinya mereka dari Tiongkok. Karya seni Zen pada umumnya dicirikan dengan karya lukisan orisinil (seperti sumi-e) dan puisi (khususnya haiku), yang berusaha mengungkapkan hakikat dunia sejati melalui visualisasi yang impresionis, sederhana tanpa dihias-hias. Usaha mencari pencerahan "dalam momen" juga mengarah kepada pengembangan seni derivatif seperti Chanoyu (upacara minum teh) atau seni merangkai bunga Ikebana. Evolusi ini mengarah lebih jauh hingga menganggap semua kegiatan manusia sebagai seni dengan muatan estetika dan spiritual yang kuat, salah satu aktivitasnya terkait dengan perkembangan teknik bela diri.
Ajaran Buddha tetap hidup hingga kini di Jepang. Kini sekitar 80.000 kuil Buddha masih dilestarikan. Kebanyakan berbahan kayu dan secara berkala dipugar kembali.
Buddha aliran Tantra bermula sebagai gerakan di India Timur sekitar abad ke-5 atau ke-6 M. Banyak praktik Tantra Buddha berasal dari Brahmanisme Weda (melalui penggunaan japa mantra dan yoga, serta pembakaran sesajen). Tantra menjadi bentuk dominan Buddhisme di Tibet sejak abad ke-8. Karena letak geografisnya di pusat Asia, Buddhisme Tibet menerima pengaruh kesenian dari India, Nepal, Yunani-Buddha, dan Tiongkok. Pada saat ajaran Buddha sampai ke Tibet pada abad ke-7 M, ekspresi artistik aliran Mahayana telah mencapai tingkat inspirasi yang tinggi. Buddha Sakyamuni, berbagai Buddha semesta, bodhisatwa laki-laki dan perempuan digambarkan dengan anggun dan megah, semua digambarkan dalam lingkungan seindah swargaloka.[37] Secara artistik, seni Gupta dan kesenian Hindu merupakan dua inspirasi yang paling kuat memengaruhi kesenian Tibet.
Seni lukis mencapai tingkatan kecanggihan, kehalusan, kerumitan yang luar biasa di Tibet dan Bhutan. Salah satu karakteristik kreasi seni rupa Buddha Tibet adalah mandala, diagram "kuil surgawi" terbuat dari lingkaran yang terkurung bujur sangkar. Pembuatan mandala bertujuan agar penganut Buddha dapat memusatkan perhatiannya melalui meditasi dan mengikuti jejak langkah Buddha di pusat gambar. Media lukisan Tibet paling terkenal adalah thangka, yaitu gulungan lukisan Buddhis. Thangka biasanya dilukis di atas kain katun, atau kadang-kadang kain sutra; warna tradisional dibuat dari pewarna alami dari bahan mineral atau tumbuhan.[37]
Vietnam adalah titik pertemuan cabang seni rupa Buddha utara dan selatan. Bangsa Viet di utara lebih dipengaruhi Buddhisme Tiongkok, sementara bangsa Cham di Vietnam Selatan lebih dipengaruhi Buddhisme langsung dari India dan beberapa negara tetangganya di Asia Tenggara (Kamboja, Jawa, dan Sriwijaya). Kedua cabang yang bertemu di Vietnam ini adalah aliran Mahayana, yang dicirikan dengan perwujudan tokoh Bodhisatwa yang kaya.
Kesenian Buddha Tiongkok sangat kuat memengaruhi Vietnam utara (Tonkin) antara abad pertama dan ke-9 M, dan ajaran Konghucu serta Buddha Mahayana paling menonjol. Secara umum, kesenian Vietnam sangat dipengaruhi kesenian Tiongkok.[11] Pengaruh Tiongkok juga terlihat dari bentuk arca, kuil dan wihara Buddha Vietnam yang mencontoh gaya Tiongkok.
Di Vietnam Selatan berkembang kerajaan Champa (sebelum akhirnya negerinya direbut oleh bangsa Vietnam dari utara). Champa memiliki tradisi kesenian Hindu-Buddha yang kuat,[38] sebagaimana negeri tetangganya, Kamboja. Meskipun secara umum peradaban Champa lebih bersifat Hindu aliran Siwa, beberapa peninggalan menunjukkan bahwa Buddha Mahayana pun mendapat tempat di negeri ini, seperti ditemukannya arca kepala Awalokiteswara gaya Champa.[39] Banyak arca Champa dicirikan dengan perhiasan yang kaya. Kerajaan Champa kemudian direbut dan dijajah Vietnam pada tahun 1471, dan benar-benar runtuh pada tahun 1720, sementara orang Cham tetap menjadi minoritas yang signifikan di beberapa negara Asia Tenggara.
Bentuk ajaran Buddha Theravada yang ortodoks, juga dikenal sebagai Buddha aliran Selatan, hingga kini masih dipraktikkan di Sri Lanka, Myanmar (Burma), Thailand, Laos, dan Kamboja. Selama abad ke-1 Masehi, aktivitas Jalur Sutra di darat cenderung terhalang oleh munculnya kerajaan Parthia di Timur Tengah, yang merupakan musuh Roma. Dengan semakin makmurnya Romawi maka permintaan mereka akan barang mewah dari Asia seperti rempah, sutra, dan keramik kian meningkat. Tuntutan ini menghidupkan kembali hubungan perniagaan laut antara Laut Mediterania dan Tiongkok, dengan India sebagai perantara pilihan. Jalur Sutra maritim ini menghubungkan Laut Merah, Teluk Persia, Laut Arab, Samudra Hindia, Teluk Benggala, Selat Malaka, dan Laut Tiongkok Selatan. Sejak saat itu, melalui hubungan perdagangan, pemukiman komersial, dan bahkan intervensi politik, India mulai sangat memengaruhi kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara. Rute perdagangan India terkait dengan Burma selatan, Siam tengah dan selatan, Indonesia barat, Kamboja selatan, pesisir Vietnam; maka banyak pemukiman dan bandar yang didirikan di sana.[2]
Selama lebih dari seribu tahun, pengaruh India menjadi faktor utama yang membawa suatu tingkat persatuan budaya dari beberapa negara di kawasan ini. Bahasa Pali dan bahasa Sanskerta bersama dengan Buddha aliran Mahayana dan Theravada, Brahmanisme Weda, dan Hinduisme, disebarkan melalui kontak langsung maupun melalui penyebaran kitab suci dan seni sastra India, seperti Ramayana dan Mahabharata. Penyebaran ini memberikan konteks artistik bagi perkembangan seni rupa Buddha di negara-negara ini, yang kemudian masing-masing mengembangkan ciri khas dan karakteristiknya masing-masing.
Antara abad pertama dan abad ke-8, beberapa kerajaan bersaing untuk memperebutkan pengaruh di kawasan ini (terutama Kerajaan Funan di Kamboja dan Kerajaan Mon di Burma) menyumbangkan karakteristik artistik, kebanyakan dipengaruhi gaya Gupta. Dipadukan dengan gaya Hindu yang telah meresap, rupa Buddha, loh pemujaan, dan prasasti berbahasa Sanskerta ditemukan di kawasan ini.
Sejak abad ke-9 hingga ke-13, di Asia Tenggara tumbuh bersemi kemaharajaan kuat yang menjadi demikian giat dalam penciptaan seni rupa dan arsitektur Buddha. Kemaharajaan Sriwijaya di selatan dan Kerajaan Khmer di utara saling bersaing memperebutkan pengaruh dan kejayaan, keduanya menganut ajaran Buddha aliran Mahayana, dan mengekspresikan daya keseniannya dalam perwujudan panteon Bodhisatwa yang demikian kaya. Seni rupa Buddha gaya Sriwijaya dipengaruhi seni rupa Sailendra dari Jawa, berkembang pada abad ke-9 di Jawa Tengah, lalu menyebar ke Sumatra, Semenanjung Malaya sampai Thailand Selatan.[40]
Buddha aliran Theravada dan kitab-kitab berbahasa Pali mulai diperkenalkan ke kawasan ini dari Sri Lanka sekitar abad ke-13, dan mulai dianut oleh kebanyakan orang Thai di Kerajaan Sukhothai. Buddha Theravada dari periode ini mengutamakan biara tempat Biksu tinggal sebagai bagian penting dari tata kota mereka para Biksu ini memberi petunjuk dan menengahi perselisihan para warga kota. Pembangunan "kompleks biara" memainkan peran penting dalam ekspresi artistik di Asia Tenggara pada periode ini.
Sejak abad ke-14 ajaran Buddha mulai pudar seiring berkembangnya ajaran Islam di kawasan kepulauan Nusantara. Islam menggantikan Hindu dan Buddha sebagai ajaran utama di Malaysia, Indonesia, dan bagian selatan kepulauan Filipina. Di daratan benua Asia, Buddha Theravada tetap bertahan dan berkembang di Birma, Thailand, Laos, dan Kamboja.
Menurut tradisi, ajaran Buddha sampai ke Sri Lanka pada abad ke-3 masehi, disebarkan oleh penyebar ajaran Buddha di bawah bimbingan Thera Mahinda, putra Kaisar Ashoka dari wangsa Maurya. Sebelum penyebaran Buddha, rakyat Sri Lanka hidup dalam ajaran animisme yang dipenuhi takhayul. Asimilasi dan perpindahan iman dari kepercayaan pra-Buddha ini berlangsung lambat. Agar mendapat pijakan yang kuat, maka Buddhisme di Sri Lanka harus menyerap berbagai kepercayaan akan dewata, roh atau makhluk supernatural. Kompleks biara paling awal dibangun oleh Devānampiyatissa dan didedikasikan untuk Mahinda Thera. Biara Mahāvihāra menjadi pusat doktrin ortodoks Theravada, dan posisi unggulnya tetap tak terkalahkan hingga dibangunnya Abhayagiri Vihāra sekitar tahun 89 SM oleh Vaţţagāmaņĩ. Abhayagiri Vihāra menjadi pusat doktrin reformasi Mahayana. Persaingan antara biksu Mahāvihāra dan Abhayagiri mengarah kepada perpecahan lebih lanjut dan pembangunan Jetavanarama dekat Mahāvihāra. Sifat umum Buddha Sinhala adalah pembagian menjadi tiga kelompok utama nikāyas, dinamai berdasarkan tiga kompleks biara utama di Anurādhapura; yaitu aliran Mahāvihāra, Abhayagiri, dan Jetavanārāma. Hal ini merupakan hasil dari penyimpangan disiplin (vinaya) dan pertikaian doktrin dari ketiga aliran ini. Sri Lanka termasyhur atas karya arca Buddha dari batu dan cetakan logam perunggu.[lower-alpha 5][42]
Sebagai negara tetangga India, Myanmar (Burma) secara alami sangat dipengaruhi oleh bagian timur wilayah India. Orang Mon dari Burma bagian selatan dikatakan telah menganut ajaran Buddha sekitar tahun 200 SM di bawah penyebaran agama oleh Raja Ashoka dari India, sebelum perpecahan antara aliran Buddha Mahayana dan Hinayana.
Candi-candi Buddha awal ditemukan seperti candi Beikthano di Myanmar tengah, yang berasal antara abad pertama dan abad ke-5. Seni Buddha dari Mon secara khusus dipengaruhi oleh seni India dari Gupta dan periode pasca-Gupta, dan gaya dan sifat yang tersebar luas di Asia Tenggara mengikuti ekspansi Kekaisaran Mon antara abad ke-5 dan abad ke-8.
Kemudian, ribuan candi Budha yang dibangun di Bagan, ibu kota Burma, antara abad ke-11 dan ke-13, dan sekitar 2.000 dari candi-candi itu masih berdiri. Beberapa mahakarya patung yang indah dari Sang Buddha tersisa dari periode itu. Penciptaan masih berlanjut meskipun kota itu diperebutkan oleh bangsa Mongol pada tahun 1287.
Selama periode Ava, dari abad ke-14 sampai abad ke-16, gaya perwujudan Buddha Ava (Innwa) sangat populer. Dalam gaya ini, Sang Buddha memiliki telinga yang menonjol besar, alis melengkung berlebihan ke atas, mata setengah tertutup, bibir tipis dan sanggul rambut yang meruncing ke atas, biasanya digambarkan dalam mudra (sikap tangan) Bhumisparsa.[43]
Sepanjang masa Dinasti Konbaung, pada akhir abad ke-18, citra Buddha gaya Mandalay mulai mucul, gaya ini tetap populer hingga kini.[44] Terdapat perpindahan dari gaya Inwa, dan wajah Buddha mulai lebih alami dan berisi, dengan alis melengkung yang lebih alami, mata setengah tertutup, bibir yang lebih tebal, dan gelung rambut bulat di atas kepala. Arca Buddha dalam gaya ini dapat ditemukan dalam posisi berbaring atau berdiri.[45] Buddha gaya Mandalay mengenakan belitan jubah yang menggantung.
Salah satu gaya pencitraan Buddha yang umum adalah gaya Shan, karya orang Shan yang menghuni pegunungan Myanmar. Dalam gaya ini Buddha ditampilkan dengan bentuk yang bersudut, dengan hidung yang besar menonjol, serta gelung sanggul rambut yang menyerupai gaya Thai, dengan mulut yang kecil dan tipis.[46]
Kamboja adalah pusat Kerajaan Funan, yang memperluas wilayah pengaruhnya hingga ke Burma dan sejauh Malaysia di selatan pada kurun antara abad ke-3 hingga abad ke-6. Pengaruhnya tampaknya hanyalah dalam bidang politik, sebagian besar pengaruh budaya datang langsung dari India.
Kemudian, dari abad ke-9 sampai abad ke-13, Hindu dan Buddha Mahayana Kerajaan Khmer mendominasi sebagian besar semenanjung Asia Tenggara, dan pengaruh terpentingnya adalah perkembangan seni rupa Buddha di wilayah tersebut. Di bawah kerajaan Khmer, lebih dari 900 candi dibangun di Kamboja dan di negara tetangga Thailand. Angkor berada di tengah-tengah perkembangan ini, dengan kompleks candi Hindu dan Buddha dan organisasi perkotaan yang mampu mendukung sekitar 1 juta penduduk kota. Pada mulanya Kerajaan Khmer lebih bersifat Hindu aliran Waisnawa, kemudian pada masa pemerintahan Jayawarman VII kerajaan beralih memeluk agama Buddha Mahayana. Hal ini terbukti dengan dibangunnya candi kerajaan Bayon yang menampilkan wajah-wajah Bodhisatwa Lokeswara.
Contoh seni rupa Buddha Kamboja periode Angkor adalah wajah Bodhisatwa Lokeswara berukuran besar yang berseri-seri menghiasi gerbang Angkor Thom dan prasat (menara-menara) candi Bayon.[47] Contoh candi Buddha lainnya adalah Ta Prohm dan Banteay Kdei. Seringkali, seni rupa Khmer berhasil mengekspresikan spiritualitas yang kuat melalui ekspresi ilahi yang berseri-seri, meskipun tampilannya sederhana dan bergaris ramping.
Kamboja adalah tempat pertemuan Buddha aliran Mahayana dan Therawada. Mulai abad ke-13 perlahan-lahan aliran Therawada menyebar dari Sri Lanka menuju Birma, Siam (Thailand), Laos dan akhirnya mencapai Kamboja. Aliran baru ini meraih popularitas di kalangan rakyat jelata, dan menggeser pengaruh ajaran Hindu dan Buddha Mahayana di Kamboja. Kesenian aliran Therawada ini lebih dipengaruhi kesenian Siam Ayutthaya dan Birma, sementara aliran seni rupa Buddha asli Kamboja, aliran Mahayana gaya Angkor, tidak diteruskan. Pada zaman modern ini, banyak dari patung Buddha Kamboja ditemukan di Angkor, namun, penjarahan terorganisasi memiliki dampak buruk pada banyak situs di seluruh negeri.[48]
Dari abad pertama sampai abad ke-7, seni rupa Buddha di Thailand pertama kali dipengaruhi oleh kontak langsung dengan para pedagang India dan perluasan kerajaan Mon, yang mengarah ke penciptaan seni rupa Hindu dan Buddha yang terinspirasi dari Gupta tradisi, dengan berbagai patung-patung monumental.
Dari abad ke-9, berbagai aliran seni Thailand kemudian menjadi sangat dipengaruhi oleh kesenian Khmer di utara dan kesenian Sriwijaya di selatan,[40] keduanya aliran Mahayana. Sampai dengan akhir periode itu, seni rupa Buddha ditandai dengan keluwesan yang jelas dalam ekspresi, dan subyek yang merupakan karakteristik dari para sosok panteon Mahayana melalui beberapa karya arca Bodhisatwa .
Dari abad ke-13, Buddha aliran Theravada diperkenalkan dari Sri Lanka dalam waktu yang sama dengan orang Thai mendirikan Kerajaan Sukhothai. Iman baru ini sangat terinspirasi gambaran bergaya di Buddhisme Thailand, yang kadang-kadang sangat geometris dan hampir abstrak.
Selama Kerajaan Ayutthaya periode (abad ke-14 sampai ke-18), Sang Buddha ditampilkan dengan cara yang lebih gaya dengan pakaian mewah dan ornamen berhiaskan permata. Banyak patung Buddha Thai dan kuil atau stupanya disepuh warna emas, dan pada kesempatan lain diperkaya tempelan hiasan. Situs Ayutthaya menampilkan stupa khas Thailand yang menyerupai kuncup bunga teratai. Situs di Kuil Wat Phra Kaew, dibangun oleh Raja Rama 1 (1782-1809) di lingkungan Istana Raja melambangkan kebangkitan aliran Theravada pada abad ke-19 sekaligus ikatan antara sangha dan negara.[47]
Seperti kebanyakan wilayah Asia Tenggara, Indonesia dipengaruhi seni budaya India sejak abad pertama Masehi. Bangunan Buddha tertua di Indonesia mungkin adalah stupa bata di Batujaya di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, diperkirakan berasal dari abad ke-4 M. Candi ini dibangun dari bahan bata merah yang dilapis lepa atau plaster. Pulau Sumatra dan Jawa adalah wilayah kemaharajaan Sriwijaya (abad ke-8 sampai ke-13 M), yang kemudian tumbuh menjadi kekuatan bahari yang mendominasi kepulauan dan semenanjung Asia Tenggara. Sriwijaya menganut agama Buddha aliran Mahayana dan Wajrayana, di bawah perlindungan wangsa Sailendra. Sriwijaya menyebarkan kesenian Buddha ke semenanjung Asia Tenggara. Beberapa contoh arca Buddha Mahayana berupa arca bodhisatwa dari periode ini ditemukan di kawasan Asia Tenggara.[40]
Karya arsitektur yang halus dan kaya dapat ditemukan di Jawa dan Sumatra. Contoh yang paling luar biasa adalah Borobudur, bangunan Buddha terbesar di dunia, dibangun pada kurun 780-825 M,[49][50] sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar di dunia.[51] Candi ini dibangun berdasarkan bentuk stupa dan mandala, sebagai model perwujudan alam semesta dalam ajaran Buddha, sekaligus perwujudan tingkatan ranah dhatu, dari alam manusia yang masih terikat hawa nafsu menuju pencerahan dan terbebas dari belenggu hasrat duniawi dan keterbatasan fisik.[47] Candi ini memiliki 505 arca Buddha, stupa unik berwujud seperti lonceng berterawang yang didalamnya terdapat arca Buddha. Borobudur dihiasi serangkaian relief rendah yang menggambarkan kisah-kisah dari kitab suci Buddha. Seni rupa Buddha di Indonesia mencapai puncaknya pada masa wangsa Sailendra di Jawa Tengah. Arca-arca Bodhisatwa, Tara, dan Kinnara yang ditemukan di Candi Kalasan, Sewu, Sari, dan Plaosan adalah contoh keanggunan dan keteduhan ekspresi seni rupa. Sementara di dalam Candi Mendut terdapat arca Buddha Wairocana, Awalokiteswara, dan Wajrapani berukuran besar. Arca-arca seni rupa Buddha Indonesia dari periode Jawa kuno dan Sriwijaya memiliki ciri; wujudnya yang realis-naturalis, perhatian terhadap ekpresi, proporsi tubuh, dan keluwesan sikap tubuh, kehalusan pengerjaan, selera estetika yang unggul, serta kecanggihan teknik pembuatannya.
Di Sumatra kerajaan Sriwijaya kemungkinan membangun Candi Muara Takus dan Candi Muaro Jambi. Sementara di Sumatera Utara Kerajaan Panai mungkin membangun kompleks Candi Bahal. Kemaharajaan Sriwijaya mulai mundur karena terlibat konflik dengan kerajaan Chola dari India. Contoh mahakarya seni rupa Buddha dari periode klasik Jawa adalah arca Prajnaparamita (koleksi Museum Nasional Indonesia Jakarta), arca dewi kebijaksanaan transendental dari periode Kerajaan Singhasari.[52] Di Jawa Timur, Kerajaan Singhasari pada abad ke-13 mewariskan beberapa candi Buddha seperti Candi Jawi dan Candi Jago yang merupakan perpaduan Siwa-Buddha dan stupa Sumberawan.[53] Kemudian berkembanglah kerajaan Majapahit sebagai penerus Singhasari. Kerajaan ini melindungi agama Hindu dan Buddha, agama resmi negara, juga melindungi keberadaan aliran sinkretis Siwa-Buddha. Contoh candi Buddha zaman Majapahit adalah Candi Brahu dan Candi Jabung. Kemudian, perlahan-lahan jumlah penganut Hindu dan Buddha kian merosot, seiring berkembangnya ajaran Islam di Nusantara sejak abad ke-13 M dan mencapai akhirnya dengan keruntuhan Majapahit di akhir abad ke-15 M.
Banyak seniman kontemporer terilhami oleh spiritualisme Buddha dan mengangkat tema Buddhisme dalam karya mereka. Contohnya adalah karya Bill Viola, berupa instalasi video,[54] karya seni patung John Connell,[55] dan karya Allan Graham berupa seni rupa multi-media "Time is Memory".[56] Sementara beberapa seniman kontemporer tergerak untuk mencontoh dan melestarikan mahakarya seni rupa Buddha klasik, misalnya Paul Hendrick (Biksu Ajahn Vimalo) yang membut replika arca Prajnaparamita dari Jawa Kuno.[57][lower-alpha 6]
Di Inggris Raya The Network of Buddhist Organisations tertarik untuk memperhatikan penganut Buddha melalui berbagai jalur seni. Pada tahun 2005 organisasi ini menggelar festival seni Buddha seluruh Inggris bertajuk "A Lotus in Flower"; pada tahun 2009 membantu untuk menggelar konferensi dua hari bertema "Buddha Mind, Creative Mind". Sebagai hasilnya, asosiasi seniman Buddhis akhirnya terbentuk.[58]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.