Loading AI tools
Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Sejarah Asia dapat dilihat sebagai sejarah kolektif beberapa kawasan pesisir benua Asia, seperti Asia Timur, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Timur Tengah, yang dihubungkan satu sama lain oleh bentangan stepa pedalaman Eurasia.
Kawasan-kawasan pesisir adalah tempat lahirnya peradaban-peradaban terawal di dunia. Di setiap kawasan pesisir, peradaban umat manusia tumbuh dan berkembang di sekitar lembah-lembah sungai yang subur. Tanah di lembah-lembah sungai yang subur ini kaya akan unsur hara sehingga dapat ditanami bermacam-macam jenis umbi-umbian. Peradaban-peradaban yang tumbuh di Mesopotamia, Lembah Sungai Indus, dan Tiongkok memiliki banyak kemiripan dan agaknya saling bertukar teknologi serta gagasan, misalnya matematika dan roda. Hasil budaya lain seperti tulisan agaknya berkembang secara mandiri di masing-masing kawasan. Kota-kota, negara-negara, dan kelak kekaisaran-kekaisaran berkembang di lembah-lembah sungai yang subur di kawasan pesisir benua ini.
Kawasan stepa sudah sejak lama dihuni oleh kaum pengembara berkuda. Dari tengah-tengah kawasan itu, mereka sanggup berkelana sampai ke seluruh pelosok benua Asia. Kawasan utara Eurasia, yang meliputi sebagian besar daerah Siberia, adalah kawasan yang tidak dapat dimasuki para pengembara stepa ini karena memiliki rintangan alam berupa hutan-hutan rimba dan tundra. Di Siberia, kawasan-kawasan ini berpenduduk sangat jarang.
Kawasan pedalaman dan kawasan pesisir dipisahkan oleh pegunungan-pegunungan dan gurun-gurun. Pegunungan Kaukasus, Pegunungan Himalaya, Gurun Karakum, dan Gurun Gobi merupakan rintangan alam yang hanya dapat diterobos oleh kaum pengembara berkuda dari stepa dengan susah-payah. Meskipun sudah jauh lebih maju di bidang teknologi dan budaya, kaum penghuni kota tidak mampu berbuat banyak untuk mempertahankan diri terhadap serangan gerombolan-gerombolan berkuda dari stepa. Akan tetapi kawasan pesisir tidak memiliki bentangan padang rumput yang cukup luas untuk menampung pasukan berkuda dalam jumlah besar, sehingga setelah menaklukkan negari-negari di Timur Tengah, kaum pengembara berkuda terpaksa harus beradaptasi dengan cara hidup masyarakat setempat.
Sejarah Asia juga akan membahas tentang perkembangan-perkembangan besar yang terjadi di berbagai kawasan lain di dunia, dan peristiwa-peristiwa besar di Asia yang turut berdampak pada kawasan-kawasan tersebut, antara lain kegiatan niaga di Jalur Sutra yang menjadi prasarana penyebaran budaya, bahasa, agama, dan wabah penyakit di sepanjang jalur perdagangan Afrika-Erasia. Kemajuan besar lain adalah penemuan serbuk mesiu di Tiongkok pada Abad Pertengahan yang menjadi cikal bakal kemajuan tata cara berperang lewat pemanfaatan senjata api.
Laporan terkait situs prasejarah Lahuradewa di India yang disusun arkeolog Rakesh Tewari memuat pertanggalan uji C14 baru sehubungan dengan budi daya padi, yakni tahun 9000-8000 SM. Pertanggalan ini membuat Lahuradewa menjadi situs Zaman Batu Muda paling awal di seantero Asia Selatan.[1]
Di situs prasejarah Beifudi dekat Yixian, Provinsi Hebei, Tiongkok, ditemukan peninggalan-peninggalan sebuah peradaban yang sezaman dengan peradaban Cishan dan peradaban Xinglongwa dari tahun 8000–7000 SM, peradaban-peradaban Zaman Batu Muda di timur Pegunungan Taihang. Temuan-temuan di Beifudi mengisi kesenjangan arkeologis di antara kedua peradaban Tiongkok Utara tersebut. Luas area yang diekskavasi mencapi lebih dari 1.200 meter persegi, dan kumpulan temuan dari Zaman Batu Muda terbagi menjadi dua fase.[2]
Sekitar tahun 5500 SM, peradaban Halafi yang berasaskan pertanian tadah hujan muncul di Syam, Libanon, Palestina, Suriah, Anatolia, dan kawasan utara Mesopotamia.
Di kawasan selatan Mesopotamia terbentang dataran tanah endapan, tempat Sumer dan Elam didirikan. Karena rendahnya curah hujan di kawasan itu, maka muncullah kebutuhan akan sistem irigasi. Peradaban Ubaid berkembang sejak tahun 5500 SM.
Zaman Tembaga bermula sekitar tahun 4500 SM, disusul Zaman Perunggu yang bermula sekitar tahun 3500 SM, menggantikan peradaban Zaman Batu Muda.
Peradaban Lembah Sungai Indus adalah peradaban Zaman Perunggu (3300–1300 SM; tahap kematangan 2600–1900 SM) yang berpusat di bagian barat Anak Benua India. Ada anggapan bahwa pada pada zaman perkembangan peradaban ini, sudah diamalkan semacam bentuk perdana agama Hindu. Beberapa kota besar yang lahir dari peradaban ini adalah Harappa dan Mohenjo-daro, kota-kota yang memiliki rencana tata kota dan seni rupa bertaraf tinggi. Sebab kemusnahan yang menimpa kawasan tersebut sekitar tahun 1700 SM masih menjadi pokok perdebatan, kendati bukti-bukti yang ada telah menimbulkan dugaan bahwa sebabnya adalah bencana alam (khususnya banjir).[3] Kurun waktu ini merupakan tonggak sejarah Zaman Weda di India, yang berlangsung sejak sekitar tahun 1500 sampai 500 SM. Pada zaman inilah bahasa Sangsekerta berkembang dan kitab-kitab Weda ditulis, yakni kumpulan gita puja tentang dewa-dewi dan peperangan. Inilah dasar agama Weda, cikal bakal agama Hindu, sebuah agama yang berasaskan sistem kasta (terdiri atas empat warna), kepemimpinan kaum brahmana di bidang kerohanian, dan akidah semimonoteisme.[4]
Tiongkok dan Vietnam juga merupakan pusat-pusat kriya logam. Tambur-tambur perunggu perdana yang disebut nekara atau tambur Dong Son yang dibuat sejak Zaman Batu Muda telah ditemukan di daerah sekitar muara Sungai Merah (bahasa Tionghoa: 紅河 dalam aksara tradisional atau 红河 dalam aksara yang disederhanakan, pinyin: Hóng Hé; bahasa Vietnam: Sông Hồng) dan sekitarnya di Vietnam dan Tiongkok Selatan. Nekara-nekara tersebut berkaitan dengan peradaban prasejarah Dong Son di Vietnam.
Di Ban Chiang, Muangthai, ditemukan artefak-artefak perunggu dari tahun 2100 SM. Ekskavasi di Nyaunggan, Birma, menemukan perkakas perunggu bersama tembikar dan artefak-artefak batu. Rentang waktu pertanggalannya masih sangat panjang sampai sekarang (tahun 3500-500 SM).
Pada Zaman Besi terjadi perluasan penggunaan peralatan, persenjataan, dan perlengkapan pelindung dari besi di seluruh peradaban besar Asia.
Wangsa Akhaimeni di Kekaisaran Persia, didirikan oleh Koresy Agung, menguasai wilayah luas yang membentang dari Yunani dan Turki sampai ke Sungai Indus dan Asia Tengah pada abad ke-6 sampai abad ke-4 SM. Kebijakan-kebijakan pemerintah Persia di antaranya adalah toleransi terhadap budaya-budaya lain, struktur pemerintahan yang sangat terpusat, dan pengembangan infrastruktur yang signifikan. Kelak, pada masa pemerintahan Darius Agung, wilayah-wilayah kekuasaan dipersatukan, suatu sistem birokrasi dikembangkan, kaum bangsawan diberi jabatan-jabatan militer, pemungutan cukai diatur dengan saksama, dan mata-mata disebar untuk menyelidiki kesetiaan kepala-kepala daerah. Agama utama di Persia kala itu adalah Zoroastrianisme, yang diajarkan oleh filsuf Zoroaster. Agama ini memperkenalkan suatu bentuk awal monoteisme di wilayah itu. Agama ini melarang kurban hewan dan pemakaian ramuan-ramuan memabukkan dalam upacara-upacara keagamaan; serta memperkenalkan konsep keselamatan rohani melalui amal dan perbuatan pribadi, konsep akhir zaman, dan konsep penghakiman baik atas bangsa-bangsa maupun atas pribadi-pribadi dengan ganjaran surga atau neraka. Konsep-konsep ini kelak sangat mempengaruhi para penguasa dan rakyat kekaisaran Persia. Lebih daripada itu, Zoroastrianisme adalah agama terpenting yang mendahului keberadaan agama-agama samawi seperti Kristen, Islam, dan Yahudi. Kekaisaran Persia berjaya menegakkan perdamaian dan stabilitas di seluruh Timur Tengah dan memberi pengaruh besar terhadap seni rupa, politik (mempengaruhi para pemimpin Helenistis), dan agama.
Aleksander Agung menaklukkan wangsa ini pada abad ke-4 SM, dan menciptakan suatu zaman Helenistis yang berlangsung singkat. Ia tidak sanggup menegakkan stabilitas dan sesudah kematiannya, Persia pecah menjadi wangsa-wangsa kecil yang lemah, termasuk wangsa Seleukia, disusul oleh Kekaisaran Parthia. Menjelang akhir Zaman Kuno, Persia telah dikonsolidasikan kembali menjadi Kekaisaran Sasania yang dikenal pula sebagai Kekaisaran Persia yang kedua.
Kekaisaran Romawi kelak menguasai sebagian Asia Barat. Wangsa-wangsa Seleukia, Parthia, dan Sasania dari Persia menguasai Asia Barat selama berabad-abad.
Kekaisaran Maurya dan Kekaisaran Gupta disebut-sebut sebagai Zaman Keemasan India dan ditandai oleh banyak penemuan dan hasil karya di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni rupa, agama, dan filsafat yang mengkristalisasi unsur-unsur dari apa yang secara umum dikenal sebagai kebudayaan India. Agama Hindu dan agama Buddha, yang bermula di Anak Benua India, berpengaruh besar atas Asia Selatan, Timur, dan Tenggara.
Menjelang 600 SM, India telah terpecah-pecah menjadi enam belas negara daerah yang kadang-kadang saling memerangi. Pada 327 SM, Aleksander Agung datang ke India dengan cita-cita menaklukkan seluruh dunia. Ia menyeberangi barat laut India dan menciptakan Provinsi Baktria tetapi tidak dapat maju lebih jauh lagi karena pasukannya ketakutan menghadapi prajurit-prajurit berjalan kaki India. Tak lama sebelumnya, para prajurit Candragupta Maurya mulai menguasai Sungai Gangga dan kemudian mendirikan Kekaisaran Maurya. Kekaisaran Maurya (bahasa Sanskerta: मौर्य राजवंश, Maurya Rājawangśya) adalah kekaisaran yang secara geografis sangat luas dan sangat kuat di India Kuno, diperintah oleh wangsa Maurya sejak 321 sampai 185 SM. Kekaisaran ini adalah salah satu kekaisaran terbesar di dunia kala itu, yang pada puncaknya pernah membentang jauh sampai ke Pegunungan Himalaya di utara, daerah yang kini disebut Assam di timur, mungkin sekali melampaui wilayah Pakistan modern di barat, dan menganeksasi Balochistan beserta sebagian besar dari wilayah yang kini dikenal sebagai Afganistan. India dipersatukan untuk pertama kalinya oleh Kekaisaran Maurya. Pemerintahan yang dibentuk Candragupta dikepalai oleh seorang raja otokratis, yang sangat mengandalkan kekuatan militer untuk menegakkan kekuasaannya.[5] Pemerintahan Chandragupta juga memanfaatkan suatu struktur birokrasi dan bahkan menyelenggarakan suatu pelayanan pengiriman.[5] Cucu Candragupta, Asoka, memperluas wilayah kekaisaran dengan menaklukkan sebagian besar dari wilayah India sekarang ini (selain ujung selatan). Namun ia akhirnya beralih keyakinan memeluk agama Buddha dan mulai hidup dengan tenang sambil mendakwahkan agama itu serta cara-cara yang manusiawi ke seluruh India. Kekaisaran Maurya terpecah-belah segera sesudah kematian Asoka dan ditaklukkan oleh bangsa Kusyan yang menyerbu dari barat laut lalu mendirikan Kekaisaran Kusyan. Peralihan keyakinan bangsa Kusyan ke agama Buddha mengakibatkan agama itu mulai dikait-kaitkan dengan bangsa asing sehingga popularitasnya pun merosot.[5]
Kekaisaran Kusyan tumbang menjelang 220 Masehi, menambah kisruh politik di India. Kemudian pada 320, Kekaisaran Gupta (bahasa Sanskerta: गुप्त राजवंश, Gupta Rājawangśya) berdiri dan meliputi sebagian besar Anak Benua India. Didirikan oleh Maharaja Sri-Gupta, wangsa ini menjadi suri-teladan dari peradaban kuno. Raja-raja Gupta lebih sering mempersatukan daerah-daerah kekuasaannya melalui perundingan dengan para penguasa dan keluarga-keluarga setempat serta melalui taktik perkawinan putra-puteri antar daerah.[6] Pemerintahan mereka meliputi wilayah yang tidak seluas wilayah Kekaisaran Maurya, tetapi sangat berhasil menegakkan stabilitas.[6] Pada 535, kekaisaran ini berakhir tatkala India dikuasai bangsa Hun.
Sejak 1029 SM, wangsa Zhou (Hanzi: 周朝; Pinyin: Zhōu Cháo; Wade–Giles: Chou Ch'ao) sudah bertahta di Tiongkok dan terus memerintah sampai pada 258 SM.[7] Wangsa Zhou telah memberlakukan suatu sistem feodal dengan cara memberi wewenang kepada kaum bangsawan di tiap-tiap daerah asalnya dan mengandalkan kesetiaan mereka untuk mengendalikan wilayah kekuasaannya yang begitu luas.[7] Kebijakan ini mengakibatkan pemerintah Tiongkok kala itu cenderung tidak terpusat dan lemah, kerap kali hanya sedikit yang dapat diperbuat kaisar untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan bangsa. Sekalipun demikian, pemerintah mampu mempertahankan keberadaannya dengan menciptakan gagasan Mandat Langit, yang mengagung-agungkan kaisar sebagai pemimpin pilihan ilahi. Wangsa Zhou juga melarang kurban manusia yang berasal dari zaman-zaman sebelumnya dan mempersatukan bahasa Tionghoa. Pada akhirnya, pemerintah Zhou mendorong warganya untuk berpindah ke lembah Sungai Yangtze, sehingga membentuk Kerajaan Tengah Tiongkok.
Tetapi menjelang 500 SM, stabilitas politiknya mulai merosot akibat berulang kali diterjang kaum pengembara[7] dan juga akibat pertikaian internal yang timbul dari perselisihan antar petinggi dan antar keluarga. Keadaan ini tertolong oleh banyaknya gerakan filsafat, dimulai dengan kehidupan Konfusius. Tulisan-tulisan filfasatnya (disebut Konfusianisme) mengenai hormat pada tetua dan negara kelak luas digunakan di masa kekuasaaan wangsa Han. Selain itu, konsep-konsep Taoisme dari Laozi, termasuk konsep yin dan yang, serta konsep dualitas dan keseimbangan asali alam dan jagad raya, menjadi populer pada zaman itu. Meskipun demikian, wangsa Zhou akhirnya tercerai-berai begitu para bangsawan daerah mulai meraup kekuasaan yang lebih besar dan perselisihan di antara mereka lambat-laun menggiring Tiongkok memasuki zaman negara-negara berperang, mulai 402 sampai 201 SM.[8]
Salah satu pemimpin daerah akhirnya berjaya menempati posisi puncak, Qin Shi Huang (Hanzi: 始皇帝, Shǐ Huángdì), yang menjatuhkan kaisar Zhou terakhir dan mendirikan wangsa Qin.[7] Wangsa Qin (bahasa Tionghoa: 秦朝; pinyin: Qín Cháo) adalah wangsa pertama yang memerintah atas Kekaisaran Tiongkok, bertahan sejak 221 sampai 207 SM.[9] Kaisar baru ini menghapuskan sistem feodal dan secara langsung menunjuk sebuah birokrasi yang bergantung padanya demi kekuasaan. Pasukan-pasukan kekaisaran Huang memberantas setiap pembangkangan di daerah-daerah, dan memajukan Kekaisaran Tiongkok dengan berekspansi ke Laut Tiongkok Selatan dan kawasan utara Vietnam. Organisasi yang lebih besar menghasilkan sistem cukai yang seragam, sensus nasional, regulasi pembangunan jalan raya (dan lebar kereta), ukuran-ukuran standar, uang logam standar, serta bahasa lisan dan tulisan yang resmi.[10] Perbaikan-perbaikan selanjutnya mencakup pula proyek-proyek irigasi baru, peningkatan produksi sutra,[10] dan (yang paling masyhur) dimulainya pendirian Tembok Besar Tiongkok—dirancang untuk menghalangi kaum pengembara yang terus-menerus datang merampok dan menindas rakyat. Meskipun demikian, Shi Huang juga dikenal karena tindakan sewenang-wenangnya, memaksa rakyat membangun Tembok Besar, mengenakan cukai yang memberatkan, dan menghukum dengan kejam semua orang yang berani menentangnya. Ia menekan Konfusius dan mempromosikan paham Legalisme yang mengajarkan bahwa rakyat pada hakikatnya jahat sehingga diperlukan pemerintah yang kuat dan berkuasa untuk mengendalikan mereka. Legalisme dipekatkan dengan pandangan-pandangan logis yang realistis dan menolak kegemaran berbincang secara ilmiah sebagai perbuatan yang tidak berfaedah. Semua ini menjadikan Shi Huang sangat tidak populer di mata rakyat. Begitu Qin mulai melemah, berbagai golongan pun mulai bangkit bertarung memperebutkan kekuasaan atas Tiongkok.
Wangsa Han (bahasa Tionghoa: 汉朝 (aksara yang disederhanakan) atau 漢朝 (aksara tradisional); pinyin: Hàn Cháo; 206 SM – 220 Masehi) adalah wangsa penguasa kekaisaran Tiongkok yang kedua, didahului oleh wangsa Qin dan digantikan oleh Tiga Kerajaan (220–265 Masehi). Rentang masa kekuasaannya yang mencapai empat abad menjadikan zaman wangsa Han dipandang sebagai zaman keemasan dalam sejarah Tiongkok. Salah satu kaisar terbesar wangsa Han, Kaisar Wu dari wangsa Han, menegakkan perdamaian di seluruh Tiongkok, sebanding dengan Pax Romana di Mediterania seratus tahun kemudian.[10] Sampai sekarang, kelompok etnis mayoritas di Tiongkok menyebut dirinya "orang Han". Wangsa Han bermula ketika dua orang pria dari kalangan rakyat jelata berjaya bangkit melawan pengganti Shi Huang yakni puteranya yang jauh lebih lemah. Pemerintah Han yang baru mempertahankan sistem sentralisasi dan birokrasi warisan Qin, tetapi mengurangi banyak sekali penindasan yang dilakukan pemerintah sebelumnya. Pemerintah Han memperluas wilayah teritorial sampai ke Korea, Vietnam, dan Asia Tengah, menjadikan Kekaisaran Tiongkok jauh lebih besar dibanding pada zaman Qin.
Melalui Jalur Sutra, pemerintah Han menjalin kontak dengan Kekaisaran Persia di Timur Tengah dan dengan bangsa Romawi, sehingga dapat memperdagangkan banyak komoditas dengan mereka, terutama sutra. Banyak peradaban kuno mendapatkan pengaruh dari luar melalui Jalur Sutra, yang menghubungkan Tiongkok, India, Timur Tengah, dan Eropa. Kaisar-kaisar Han seperti Wu juga mempromosikan ajaran Konfusius sebagai "agama" bangsa (meskipun para teolog memperdebatkan, apakah konfusianisme dimaknai sebagai suatu agama ataukah filsafat). Rumah-rumah peribadatan yang dibaktikan bagi Konfusius didirikan dan filsafat Konfusius diajarkan kepada semua cendekiawan yang masuk ke birokrasi Tiongkok. Birokrasi dikembangkan lebih lanjut dengan memperkenalkan sebuah sistem ujian yang menyaring para cendekiawan berilmu tinggi. Kebanyakan para birokrat ini adalah warga kelas atas yang dididik di sekolah-sekolah khusus, tetapi kekuasaan mereka diimbangi pemeriksaan oleh warga kelas bawah yang dimasukkan ke dalam birokrasi berkat keterampilan mereka. Birokrasi Kekaisaran Tiongkok sangat efektif, sangat dihormati seluruh rakyat, dan bertahan lebih dari 2.000 tahun. Pemerintah Han yang sangat teratur itu mengurusi bidang militer, kehakiman (yang mempergunakan sistem peradilan dan hukum-hukum yang tegas), produksi pertanian, perekonomian, dan kehidupan rakyat pada umumnya. Pemerintah juga mempromosikan filsafat intelektual, kajian ilmiah, dan pencatatan sejarah secara rinci.
Meskipun demikian, dengan segala stabilitas yang mengagumkan ini, kekuasaan pusat mulai kehilangan kendali menjelang peralihan dari kurun Sebelum Masehi ke kurun Masehi. Seiring kemerosotan wangsa Han, banyak permasalahan datang bertubi-tubi menimpa dan menjadikannya tak berdaya sehingga Tiongkok terpuruk dalam kekacauan. Menjelang 100 Masehi, kegiatan filsafat melamban, dan korupsi dalam birokrasi tak terbendung lagi. Para tuan tanah di daerah mulai mengambil alih kendali tatkala para cendekiawan menelantarkan tugas-tugas mereka, akibatnya rakyat jelata harus menanggung beban cukai yang berat. Para pengikut ajaran Tao mulai mendapat dukungan yang signifikan dan memprotes kemerosotan yang tengah berlangsung. Mereka mulai mengaku-aku menguasai ilmu sihir dan berjanji akan menggunakannya demi menyelamatkan Tiongkok; Pemberontakan Serban Kuning yang dikobarkan kaum Tao pada 184 (dipimpin para pemberontak yang mengenakan destar kuning) berakhir dengan kegagalan namun mampu melemahkan pemerintah. Serbuan bangsa Hun bersamaan dengan merebaknya wabah penyakit membunuh setengah dari keseluruhan populasi dan secara resmi mengakhiri kekuasaan wangsa Han pada 220. Zaman kekacauan yang mengikutinya teramat parah sampai-sampai berlangsung selama tiga abad. Selama itu pula tak satu pun pemimpin dan wangsa daerah yang mampu menegakkan ketertiban di Tiongkok. Zaman kekacauan beserta upaya-upaya penegakkan ketertiban ini secara umum dikenal sebagai zaman enam wangsa. Babak pertama dari zaman ini meliputi zaman tiga kerajaan yang dimulai pada 220 dan diisi oleh "wangsa-wangsa" lemah yang silih berganti berkuasa dalam jangka pendek sesudah tumbangnya pemerintah Han. Pada 265, wangsa Jin di Tiongkok mulai berkuasa dan tak lama kemudian pecah menjadi dua kekaisaran, yang satu menguasai wilayah barat laut Tiongkok, dan yang lain menguasai wilayah tenggara Tiongkok. Pada 420, penaklukan dan pengunduran diri kedua wangsa ini berujung pada zaman kekuasaan perdana wangsa-wangsa selatan dan utara. Zaman kekuasaan wangsa-wangsa selatan dan utara terus berlangsung hingga akhirnya, menjelang 557, wangsa Zhou Utara memerintah atas wilayah utara dan wangsa Chen memerintah atas wilayah selatan.
Pada zaman ini, kekaisaran-kekaisaran dunia Timur terus-menerus berekspansi melalui perniagaan, perpindahan penduduk, dan penaklukkan wilayah-wilayah jiran. Serbuk mesiu dipergunakan secara luas seawal abad ke-11, dan alat cetak yang dapat dibongkar-pasang sudah dipergunakan lima ratus tahun sebelum Gutenberg menciptakan mesin cetaknya. Ajaran-ajaran Buddha, Tao, dan Konfusius adalah paham-paham filsafat yang dominan di Timur Jauh pada zaman pertengahan. Marco Polo bukanlah orang barat pertama yang berkunjung ke timur lalu pulang membawa kisah-kisah menakjubkan tentang peradaban lain, tetapi catatan kisah-kisahnya yang diterbitkan pada penghujung abad ke-13 dan permulaan abad ke-14 adalah yang pertama dibaca khalayak ramai di seluruh Eropa.
Kekhalifahan Islam dan negara-negara Islam lainnya mengambil alih kekuasaan atas Timur Tengah, Kaukasus, dan Asia Tengah selama penaklukan kaum Muslim pada abad ke-7, dan di kemudian hari berekspansi ke Anak Benua India dan Kepulauan Melayu.
Di awal Zaman Pertengahan pada 500, Timur Tengah terdiri atas negara-negara kecil yang lemah; dua negara yang paling terkemuka adalah Kekaisaran Sasania di Persia (sekarang Iran), dan Kekaisaran Bizantium di Turki. Di semenanjung Arabia (sekarang Arab Saudi), suku-suku pengembara Badawi mendominasi wilayah padang pasir, tempat mereka menyembah berhala-berhala dan hidup dalam puak-puak kecil yang saling berkerabat.[11] Urbanisasi dan pertanian sangat terbatas, kecuali di beberapa daerah dekat pesisir pantai. Mekah dan Madinah adalah dua di antara kota-kota yang menjadi pangkalan-pangkalan dagang di antara Afrika dan Eurasia. Perdagangan menjadi urat nadi kehidupan kota, sehingga sebagian besar warganya adalah para saudagar.
Sejak 613 sampai pada 630, Muhammad menyebarkan agama Islam di gurun Arabia, berpuncak pada kemenangannya di Mekah. Ia kemudian mempersatukan suku-suku Arab menjadi sebuah Kekaisaran Islam yang dikepalai oleh seorang pemimpin agama dan politik, khalifah. Gabungan suku-suku Arab ini kelak maju menaklukkan Kekaisaran Sasania serta wilayah-wilayah yang kini disebut Suriah, Palestina, Mesir, dan Libya.[12] Sebuah bala pasukan laut Arab dibentuk dan tak lama kemudian menguasai Mediterania, membuat Kekaisaran Bizantium tidak berdaya dalam kepungannya sampai berabad-abad kemudian.[13] Permasalahan-permasalahan seputar penentuan para khalifah pengganti Muhammad berakibat meletusnya Perang Riddah dan pada akhirnya mengakibatkan perpecahan Sunni-Syi'ah, dua golongan umat Islam yang saling bertentangan; kaum Sunni pada akhirnya menjadi golongan yang dominan dan mendirikan Kekhalifahan Umawiyah.[13]
Kekhalifahan Umawiyah berpusat di ibu kota mereka, Damsyik di Suriah sekarang ini. Bani Umayyah melakukan lebih banyak lagi penaklukan yang menjadikan mereka penguasa atas Asia Tengah, sebagian besar Afrika Utara, dan dari situ ke Semenanjung Iberia (sekarang Spanyol dan Portugal). Hanya sedikit konversi agama yang terjadi kala itu akibat dari kurangnya rasa hormat terhadap kaum Muslim non-Arab (bahasa Arab: موالي, Mawali), yang ditunjukkan oleh Bani Umayyah. Umat Kristen dan Yahudi lebih dihargai sebagai kaum yang dilindungi (bahasa Arab: أهل الذمة, Ahl al-Dzimmah), dan khususnya sebagai kaum berkitab (bahasa Arab: أهل الكتاب, Ahl al-Kitab), mengacu pada Kitab Suci mereka. Di masa kekuasaan Bani Umayyah, posisi perempuan meningkat ke taraf yang lebih baik dibanding semasa Arab pra-Islam; ajaran Muhammad melarang zinah, mendorong perkawinan dan perlakuan baik terhadap isteri dan anak perempuan, serta memproklamirkan kesetaraan wanita dan pria "di mata Tuhan."[14]
Kekaisaran Umawiyah mengalami kemunduran sejak permulaan abad ke-8 tatkala para pemimpinnya makin lama makin menjauh dari rakyat, terutama dari para pejuang yang telah mempertaruhkan nyawa dalam perang-perang penaklukan.[14] Sebuah golongan politik baru, Bani Abbas, bergabung dengan golongan-golongan yang memendam kekecewaan, yakni para pejuang, kaum Syi'ah, dan kaum Mawali, kemudian menumbangkan Bani Umayyah pada 750 dalam Pertempuran Zab. Sisa-sisa Bani Umayyah melarikan diri ke Semenanjung Iberia, kemudian mendirikan di sana sebuah kerajaan Islam merdeka, Kekhalifahan Kordoba. Pembentukan Kekhalifahan Abbasiyah bermula dengan pemindahan ibu kota ke Baghdad di Persia (sekarang Irak) pada 762, dan bersamaan dengan itu terjadi pula penerapan tata lembaga politik Persia, seperti pembentukan monarki absolut yang berkuasa penuh secara mutlak tanpa tentangan, serta suatu birokrasi yang lebih baik di bawah kepemimpinan seorang Wazir yang mengambil alih hampir seluruh tanggung jawab politik dan administrasi yang sebelumnya diemban Khalifah.[15] Pemerintahan Bani Abbas juga mengalami suatu lonjakan besar di bidang perniagaan, khususnya perniagaan di laut, dengan mengirim kapal-kapal dow (bahasa Arab: داو, dāw) yang melanjutkan ekspansi, pertama-tama dengan mengutus para saudagar dan misionaris ke India dan Asia Tenggara. Pada akhirnya timbul konflik akibat dari masalah-masalah perompakan di India yang mendorong Bani Abbas mulai berupaya menaklukkan wilayah barat India yang menjadi mitra dagang mereka. Ekspedisi pertama dipimpin oleh seorang panglima berkebangsaan Turki, Qutb-ud-din Aybak, dan berjaya mendirikan Kesultanan Mamluk pada 1206 yang diperintah oleh seorang sultan (bahasa Arab: سلطان) yang berarti "penguasa."
Akan tetapi pemerintahan Bani Abbas tak lama kemudian tumbang oleh penyebab yang sama dengan penyebab kejatuhan Bani Umayyah. Golongan-golongan yang berbeda-beda di kalangan istana, khususnya sejumlah kelompok orang Turki, bertarung memperebutkan kekuasaan. Khalifah mulai bergantung pada para penasihat yang berasal dari keluarga-keluarga kaya, yang kadang-kadang menjadikannya sebagai boneka mereka belaka. Semua ini terjadi tatkala wangsa Buya berkebangsaan Persia berdiri pada 934. Pemerintah Syi'ah ini hanya mampu bertahan selama seabad lebih, dan dengan cepat dikalahkan bangsa Turki yang kelak membentuk wangsa Seljuk menjelang 1051 dan menegakkan kembali pemerintahan Sunni. Meskipun demikian, masalah-masalah seputar suksesi dan selisih paham sengit antar faksi terus-menerus berlanjut selama Perang Salib Pertama, yang dikobarkan oleh bangsa-bangsa Eropa Kristen pada 1095, dan yang umumnya tak diacuhkan para penguasa Muslim yang jauh lebih kuat,[16] bahkan sesudah para prajurit Perang Salib berhasil menguasai Yerusalem. Delapan Perang Salib berikutnya berakhir dengan tingkat keberhasilan berbeda-beda, dan pihak Kristen kelak kehilangan banyak wilayah setelah kaum Muslim bersatu di bawah pimpinan Saladin pada penghujung abad ke-12.[16] Menjelang 1291, seusai Perang Salib Terakhir dan jatuhnya kota Akko, pihak Kristen telah kehilangan seluruh wilayah yang pernah direbutnya.[16]
Wilayah Kekhalifahan Abbasiyah yang sedikit demi sedikit terpecah-belah kelak dihadapkan pada tantangan-tantangan baru di awal abad ke-13, ketika Asia Tengah diterjang suku-suku pengembara, bangsa Monggol; di bawah pimpinan Jenghis Khan yang terkenal bengis, bangsa Monggol menjarah-rayah sebagian besar wilayah imperium timur.[17] Pada 1258, cucu Jenghis Khan, Hulagu Khan, merampungkan usaha kakeknya dengan menjarah kota Baghdad dan menewaskan khalifah.[17] Bangsa Monggol pada akhirnya mundur, akan tetapi kekacauan yang terjadi di seluruh kekaisaran membuat wangsa Seljuk kehilangan kekuasaan. Pada 1401, kondisi kekhalifahan yang sudah lemah dan lumpuh itu semakin diperparah oleh tokoh berdarah campuran Turki-Monggol, Timūr-i Leng, dengan serbuan-serbuannya yang keji. Kala itu telah muncul segolongan bangsa Turki lain, yakni kaum Utsmaniyah. Dari pangkalannya di Anatolia, kelak menjelang 1566 mereka maju menaklukkan Mesopotamia, Balkan, Yunani, Bizantium, sebagian besar Mesir, sebagian besar Afrika Utara, dan wilayah-wilayah tertentu di Arabia, serta mempersatukan semuanya di bawah pemerintahan Kekaisaran Utsmaniyah. Masa pemerintahan sultan-sultan Utsmaniyah menandai akhir dari zaman pascakuno di Timur Tengah, dan akhir dari zaman kekhalifahan.
Zaman Pertengahan Awal di India, 600 hingga 1200, adalah zaman kerajaan-kerajaan daerah dan keanekaragaman budaya. Tatkala Harsya dari Kannauj, yang memerintah atas sebagian besar Dataran Indus-Gangga sejak 606 sampai 647, mencoba berekspansi ke selatan, ia dikalahkan oleh penguasa Dekkan dari wangsa Chalukya. Ketika penggantinya mencoba berekspansi ke timur, ia dikalahkan oleh Raja Benggala dari wangsa Pala. Bilamana wangsa Chalukya mencoba berekspansi ke selatan, mereka dikalahkan wangsa Pallawa dari ujung selatan, yang pada gilirannya harus menghadapi wangsa Pandya dan wangsa Chola yang juga dari ujung selatan. Tak satu pun penguasa di kala itu mampu mendirikan kekaisaran dan mempertahankan kedaulatannya atas daerah-daerah di luar wilayah inti kekuasaannya. Pada zaman ini, suku-suku bangsa penggembala ternak yang tanahnya dialihfungsikan demi ekonomi pertanian yang terus-menerus bertumbuh, dimasukkan ke dalam jenjang kasta, sama seperti yang terjadi pada kelas-kelas penguasa non-tradisional yang baru.[18]
Penaklukan kaum Muslim di Anak Benua India sebagian besar dilakukan semenjak abad ke-12 dan seterusnya, walaupun kaum Muslim mampu memasuki negeri itu sampai batas-batas tertentu pada penaklukan-penaklukan perdananya, mulai dari masa kekuasaan kerajaan-kerajaan Rajput di India Utara, sekalipun Sindh dan Multan direbut pada abad ke-8.
Zaman pascakuno Tiongkok adalah zaman kebangkitan dan keruntuhan wangsa Sui, wangsa Tang, wangsa Song, dan wangsa Yuan, yang berdampak pada peningkatan mutu birokrasi, penyebaran agama Buddha, dan munculnya filsafat Neo-Konfusianisme. Zaman Pertengahan adalah zaman tiada-banding dalam seni tembikar dan seni lukis Tiongkok. Mahakarya-mahakarya arsitektur seperti Gapura Selatan Agung di Todaiji, Jepang, dan kuil Tien-ning di Beijing, Tiongkok, adalah beberapa di antara bangunan-bangunan yang masih bertahan dari zaman ini.
Pada 580-an, sebuah wangsa kuat yang baru muncul dari tengah-tengah sekian banyak faksi yang saling bertikai di Tiongkok. Semuanya bermula tatkala seorang bangsawan bernama Yang Jian menikahkan puterinya dengan kaisar dari wangsa Zhou utara. Kelak Yang Jian menyatakan diri sebagai Kaisar Wen dari wangsa Sui dan mengambil hati bala tentara kelana dengan menelantarkan golongan cendekiawan konfusianis. Tak lama kemudian Kaisar Wen pun memimpin perang penaklukan atas wangsa Chen selatan dan berhasil mempersatukan kembali Tiongkok di bawah pemerintahan wangsa Sui. Kaisar Wen menurunkan beban cukai dan membangun lumbung-lumbung yang ia gunakan untuk mencegah bencana kelaparan dan untuk mengendalikan pasar. Ia kelak dibunuh puteranya sendiri yang merebut takhta kekaisaran dan menyatakan diri sebagai Kaisar Yang dari wangsa Sui. Kaisar Yang menghidupkan kembali golongan cendekiawan konfusianis dan birokrasi, yang menimbulkan kemarahan kaum bangsawan dan para panglima bala tentara kelana. Kaisar Yang adalah seorang pemimpin yang melampaui batas, yang menghambur-hamburkan kekayaan Tiongkok untuk hidup bermewah-mewahan dan untuk membiayai usaha-usaha penaklukan atas Korea. Kegagalan-kegagalan militernya dan pengabaiannya terhadap kekaisaran memaksa menteri-menterinya sendiri untuk membunuhnya pada 618, yang menjadi akhir bagi kekuasaan wangsa Sui.
Untung saja salah satu penasehat tepercaya Kaisar Yang, Li Yuan, lekas-lekas mengambil alih tahta sehingga mencegah merebaknya kekacauan menyusul runtuhnya kekaisaran. Ia menyatakan diri sebagai Kaisar Gaozu, dan mendirikan wangsa Tang pada 623. Pada zaman wangsa Tang, wilayah Tiongkok diperluas dengan menaklukkan Tibet di sebelah barat, Vietnam di selatan, dan Manchuria di utara. Para kaisar Tang juga memperbaiki mutu pendidikan para cendekiawan penggerak birokrasi Tiongkok. Kaisar membentuk semacam Kementrian Agama dan memperbaiki sistem ujian sehingga penentuan bidang kerja bagi para peserta ujian dapat dilakukan dengan lebih tepat.[19] Selain itu, agama Buddha menjadi populer di Tiongkok dalam dua aliran berbeda, aliran Tanah Murni yang populer di kalangan rakyat jelata dan aliran Zen yang populer di kalangan para pembesar.[20] Tokoh yang sangat mendukung penyebaran agama Buddha adalah Maharani Wu, yang selain itu sempat pula mendirikan "wangsa Zhou" dan memperlihatkan toleransi Tiongkok terhadap seorang penguasa perempuan, yang langka kala itu. Sekalipun demikian, agama Buddha juga kelak mengalami serangan balik, khususnya dari golongan pengikut Konfusianisme dan Taoisme. Serangan balik ini lazimnya menyertakan kritik bahwasanya keberadaan agama Buddha hanya menggerogoti kas negara, karena pemerintah tidak dapat memungut pajak dari biara-biara Buddha, dan malah mengucurkan banyak derma dan hadiah kepada biara-biara itu.[21]
Wangsa Tang mulai mengalami kemunduran pada masa pemerintahan Kaisar Xuanzong, yang mula-mula mengabaikan perekonomian dan militer serta menimbulkan keresahan di kalangan istana akibat terlampau dipengaruhi selirnya, Yang Guifei, beserta keluarganya.[22] Kenyataan ini mengakibatkan timbulnya pemberontakan pada 755.[22] Pemberontakan itu dapat dipadamkan meskipun dengan jalan melibatkan suku-suku pengembara yang liar dari luar Tiongkok dan dengan memberikan lebih banyak kewenangan kepada penguasa-penguasa daerah, sehingga keadaan pemerintahan dan perekonomian yang merosot dibiarkan tak tertanggulangi. Kekuasaan wangsa Tang secara resmi berakhir pada 907 dan berbagai faksi yang dipimpin suku-suku pengembara dan penguasa-penguasa daerah tersebut pun bangkit bertarung memperebutkan kekuasaan atas Tiongkok pada zaman Lima Wangsa dan Sepuluh Kerajaan.
Menjelang 960, sebagian besar Tiongkok telah dipersatukan kembali di bawah kepemimpinan wangsa Song, meskipun terpaksa kehilangan wilayah di utara dan tidak berhasil mengalahkan salah satu di antara suku-suku pengembara di sana, yakni wangsa Liao dari bangsa Khitan yang sudah sangat dipengaruhi budaya Tionghoa. Semenjak itu, wangsa Song terpaksa membayar upeti untuk mencegah invasi dan dengan demikian membuka jalan bagi kerajaan-kerajaan bangsa pengembara lainnya untuk menindas mereka. Pada zaman wangsa Song, Konfusianisme dihidupkan kembali dalam bentuk Neo-Konfusianisme. Hal ini menjadikan para cendekiawan beraliran Konfusianisme berstatus lebih tinggi daripada kaum bangsawan atau penganut agama Buddha, dan juga semakin mengecilkan kekuasaan perempuan. Sebagai akibatnya, pada periode ini timbul tradisi mengikat kaki. Pada akhirnya wangsa Liao di utara ditumbangkan oleh wangsa Jin dari bangsa Jurchen yang masih berkerabat dengan bangsa Manchu. Kerajaan Jin yang baru berdiri ini menginvasi Tiongkok utara, mengakibatkan wangsa Song harus melarikan diri jauh-jauh ke selatan Tiongkok kemudian mendirikan wangsa Song selatan pada 1126. Di tempat yang baru ini, kehidupan budaya pun tumbuh subur.
Menjelang 1227, bangsa Monggol telah menaklukkan kerajaan Xia barat di barat laut Tiongkok. Tak lama kemudian orang-orang Monggol pun mulai mengincar kekaisaran Jin milik bangsa Jurchen. Kota-kota Tiongkok dengan segera dikepung pasukan berkuda Monggol yang nyaris tak berbelas kasihan terhadap siapapun yang berani melawan dan kerajaan Song Selatan pun kehilangan wilayahnya dalam waktu singkat. Pada 1271, pemegang jabatan khan agung saat itu, Kubilai Khan, menyatakan diri sebagai Kaisar Tiongkok dan secara resmi mendirikan wangsa Yuan. Menjelang 1290, seluruh Tiongkok telah dikuasai bangsa Monggol, dan untuk pertama kali dalam sejarahnya seluruh wilayah Tiongkok jatuh ke dalam kekuasaan penakluk asing; Khanbaliq (sekarang Beijing) ditetapkan sebagai ibu kota yang baru. Kubilai Khan menyekat budaya Monggol dari budaya Tionghoa dengan cara menghalang-halangi interaksi antar masyarakat kedua bangsa, memisahkan kawasan pemukiman dan tempat peribadatan mereka, dan mekhususkan jabatan puncak dalam administrasi negara bagi orang-orang Monggol, dan dengan demikian menyingkirkan para cendekiawan konfusianis dari sistem birokrasi. Sekalipun demikian, Kubilai tetap mengagumi gagasan-gagasan bangsa Tionghoa dan mengangkat para penasihat dari kalangan Tionghoa penganut agama Buddha, Tao, dan Konfusianisme.
Kaum wanita Monggol menunjukkan sifat yang lebih mandiri dibanding kaum wanita Tionghoa yang terus-menerus tertindas. Perempuan Monggol kerap turut serta menunggang kuda dalam kegiatan-kegiatan berburu atau bahkan untuk maju berperang. Isteri Kubilai, Chabi, adalah contoh yang sempurna; Chabi menjadi penasihat suaminya dalam beberapa urusan politik dan diplomasi; ia meyakinkan Kubilai bahwa orang Tionghoa harus dihormati dan diperlakukan dengan baik agar menjadikan mereka lebih mudah diatur.[23] Namun semuanya itu tidak cukup berdaya mengubah kedudukan kaum wanita Tionghoa, dan para pengganti Kubilai yang makin lama makin berhaluan Neo-Konfusianisme malah meningkatkan penindasan terhadap kaum wanita Tionghoa bahkan terhadap kaum wanita Monggol sendiri.
Maut Hitam, yang kelak mengharubirukan Eropa Barat, mula-mula merebak di Asia dan melenyapkan sebagian besar populasi Tiongkok pada 1331.
Pada zaman ini, Jepang mengalami proses sinifikasi, atau penerapan gagasan-gagasan budaya dan politik bangsa Tionghoa. Penyebab utama sinifikasi Jepang adalah kekaguman kaisar dan para petinggi Jepang kala itu terhadap birokrasi Tiongkok. Pengaruh besar dari Tiongkok terhadap Jepang ditunjukkan oleh penyebaran ajaran Konfusius, penyebaran agama Buddha, dan pembentukan birokrasi Jepang (meskipun rentan berpihak pada kaum berpunya). Pada abad-abad akhir dari zaman pertengahan di Jepang, terjadi gerakan kembali pada keyakinan Shinto yang merupakan warisan leluhur mereka dan terus-menerus populernya agama Buddha mazhab Zen.
Zaman pertengahan Jepang ditandai oleh bermulanya zaman Asuka. Pada zaman Azuka, wangsa Yamato terbentuk, bertepatan dengan permulaan pencatatan sejarah Jepang dan pendirian sebuah ibu kota di daerah Nara selatan. Pada 600, Jepang mengirimkan misi diplomasi perdananya ke Tiongkok guna mempercepat proses adopsi budaya Tiongkok. Wangsa Yamato memperkokoh kekuasaan mereka dengan birokrasi ala Tiongkok dan mendukung penyebaran agama Buddha yang sampai ke Jepang melalui Tiongkok. Penyebaran agama Buddha dilakukan melalui pendirian kuil-kuil Buddha di kota-kota maupun di desa-desa.[24]
Kekaisaran Mongol menaklukkan sebagian besar Asia pada abad ke-13, yakni wilayah yang membentang dari Tiongkok hingga Eropa. Asia pada zaman pertengahan adalah kerajaan para Khan. Sebelum Jenghis Khan, tak seorangpun pernah menguasai wilayah yang sebegitu luasnya. Ia memperkokoh kekuasaannya dengan cara mempersatukan suku-suku Monggol yang terpecah-belah sebelum memperluas jangkauan kekuasaannya ke selatan dan barat. Ia dan cucunya, Kubilai Khan, menguasai daerah-daerah di Tiongkok, Birma, Asia Tengah, Rusia, Iran, Timur Tengah, dan Eropa Timur. Diperkirakan bala tentara Monggol membinasakan hampir sepertiga populasi Tiongkok. Jenghis Khan adalah seorang penyembah berhala yang toleran terhadap hampir semua agama, meskipun budaya orang-orang yang beragama itu kerap mendapat perlakuan kejam dari bala tentara Monggol. Bala tentara Khan maju mendesak ke arah barat sampai ke Yerusalem sebelum akhirnya dikalahkan pada 1260.
Kekaisaran Rusia mulai berekspansi ke Asia semenjak abad ke-17, dan pada akhirnya menguasai seluruh Siberia dan sebagian besar Asia Tengah menjelang akhir abad ke-19. Kekaisaran Utsmaniyah menguasai Anatolia, Timur Tengah, Afrika Utara, dan wilayah Balkan semenjak abad ke-16. Pada abad ke-17, Manchu menaklukkan Tiongkok dan mendirikan wangsa Qing. Pada abad ke-16, Kekaisaran Mughal menguasai sebagian besar India dan menjadi perintis zaman keemasan kedua dalam sejarah India. Hampir sepanjang zaman ini Tiongkok menjadi negara dengan perekonomian terbesar di dunia, diikuti oleh India sampai dengan abad ke-18.
Jelang 1368, Zhu Yuanzhang telah menyatakan diri sebagai Kaisar Hongwu dan mendirikan wangsa Ming di Tiongkok. Segera saja kaisar baru ini memimpin para pengikutnya menghalau bangsa Monggol berikut budayanya keluar dari Tiongkok, jauh-jauh dari Tembok Besar.[25] Kaisar baru agak berprasangka buruk terhadap para cendekiawan yang mendominasi birokrasi Tiongkok, karena ia terlahir di kalangan petani dan tidak berpendidikan.[25] Meskipun demikian, para cendekiawan Konfusianis penting artinya bagi birokrasi Tiongkok sehingga dipulihkan kembali berikut serta. sistem-sistem ujian juga dipulihkan dan direfromasi sehingga menjadikan peranannya semakin penting sebagai cara seleksi masuk ke birokrasi. Ujian-ujian menjadi semakin sukar, kecurangan ditindaki dengan sangat tegas, dan para lulusannya pun semakin tinggi disanjung-sanjung. Pada akhirnya, Hongwu juga mengalihkan lebih banyak kewenangan ke jabatan kaisar, guna menghentikan langkah-langkah korup para birokrat.
Mungkin karena bersimpati pada rakyat jelata, Kaisar Hongwu membangun banyak jaringan irigasi dan menyelenggarakan proyek-proyek kemasyarakatan yang membantu kaum tani.[26] Rakyat diizinkan pula untuk meneroka dan mengklaim tanah tak bertuan tanpa perlu membayar pajak apa pun dan kewajiban kerja bakti dikurangi.[26] Meskipun demikian, semuanya itu tidaklah cukup untuk menghentikan sepak terjang golongan tuan tanah yang semakin lama semakin kuat, yang mendapatkan banyak hak istimewa dari pemerintah dan perlahan-lahan mengambil alih kendali atas rakyat jelata. Pembelian dan penyitaan lahan oleh para rentenir sebagai ganti pinjaman yang tak terbayarkan memaksa para petani mengabdikan diri kepada para tuan tanah sebagai petani penggarap atau berkelana mencari pekerjaan ke lain tempat.[27] Pada zaman ini pula, paham Neo-Konfusianisme jauh lebih mengakar dibanding pada zaman dua wangsa sebelumnya (Song dan Yuan). Penitikberatan pada superioritas yang tua atas yang muda, pria atas wanita, dan guru atas murid menimbulkan sedikit diskriminasi atas golongan-golongan "bawah". Seni rupa bertumbuh pada zaman Ming, dengan teknik-teknik yang makin baik di bidang seni lukis dengan kuas yang menggambarkan suasana di dalam istana, kota dan desa; menggambarkan orang-orang seperti para cendekiawan atau para petualang; ataupun keindahan pegunungan, danau-danau, atau rawa-rawa. Novel Tionghoa berkembang penuh pada zaman ini, dengan karya-karya tulis klasik seperti Batas Air, Perjalanan ke Barat, dan Jin Ping Mei.
Perekonomian juga tumbuh pesat pada zaman Ming. Diperkenalkannya tanaman pangan Amerika seperti jagung, ubi jalar, dan kacang tanah memungkinkan pemanfaatan lahan tandus dan membantu mencegah bencana kelaparan. Pertambahan populasi, yang bermula semenjak zaman wangsa Song, terus meningkat sehingga populasi Tiongkok melonjak dari 80 atau 90 juta jiwa menjadi 150 juta jiwa dalam tiga abad, memuncak pada 1600.[28] Kenyataan ini paralel dengan ekonomi pasar yang tengah bertumbuh baik internal maupun eksternal. Sutra, teh, keramik, dan and barang-barang lakuer hasil karya para seniman yang memperdagangkannya di Asia dan kepada orang-orang Eropa. Orang-orang Barat mulai berniaga (dalam batas-batas yang ditetapkan oleh Tiongkok), terutama di bandar Makau dan bandar Kanton. Meskipun para saudagar Tionghoa sangat diuntungkan dari perniagaan ini, tanah tetaplah menjadi simbol utama kesejahteraan di Tiongkok, sehingga harta kekayaan mereka kerap dipergunakan untuk membeli lebih banyak lagi tanah.[28] Oleh karena itu, hanya sedikit dari kekayaan hasil niaga ini yang ditanam dalam usaha-usaha swasta yang dapat memungkinkan Tiongkok untuk mengembangkan ekonomi pasar yang kerap menyertai negara-negara Barat yang sangat sukses.
Demi kemuliaan bangsa, negara Tiongkok mulai mengirim jung-jung yang mengesankan melayari Laut Tiongkok Selatan dan Samudra Hindia. Sejak 1403 sampai 1433, Kaisar Yongle menitahkan dilaksanakannya serangkaian ekspedisi di bawah pimpinan Laksamana Zheng He, seorang sida-sida Muslim dari Tiongkok. Jung-jung Tiongkok mengangkut ratusan prajurit, barang, dan hewan-hewan untuk kebun-kebun binatang, berlayar ke Asia Tenggara, Persia, Arabia selatan, dan Afrika timur untuk mempertontonkan kebesaran Tiongkok. Kehebatannya melampaui yang dilakukan bangsa Eropa kala itu, dan andaikata ekspedisi-ekspedisi ini tidak berakhir, perekonomian dunia mungkin akan berbeda dari yang tampak sekarang.[29] Pada 1433, pemerintah Tiongkok memutuskan bahwa pembiayaan angkatan laut adalah pengeluaran yang tidak penting. Angkatan laut Tiongkok perlahan-lahan dibubarkan dan pemerintah mulai memusatkan perhatiannya pada perbaikan dalam negeri dan pertahanan militer. Sudah menjadi prioritas jangka panjang Tiongkok untuk melindungi diri terhadap suku-suku pengembara dan sudah sepatutnya Tiongkok kembali memusatkan perhatiannya pada hal itu.
Seakan tak terhindarkan, orang-orang Barat pun berlabuh di pantai timur Tiongkok, terutama para misionaris Yesuit yang mencapai daratan Tiongkok pada 1582. Mereka berupaya membuat orang-orang Tionghoa menjadi pemeluk agama Kristen dengan jalan pertama-tama mengkonversi orang-orang yang berada di puncak hierarki sosial dan selanjutnya membiarkan golongan-golongan masyarakat di bawahnya ikut beralih keyakinan dengan sendirinya. Guna menghimpun dukungan, banyak padri Yesuit mengadopsi busana, adat-istiadat, dan bahasa Tionghoa.[30] Beberapa cerdik-pandai Tionghoa berminat mendalami ajaran-ajaran Barat tertentu dan khususnya teknologi Barat. Jelang 1580-an, para cendekiawan Yesuit seperti Matteo Ricci dan Adam Schall memukau para petinggi Tionghoa dengan kecangihan-kecanggihan teknologi seperti jam lonceng Eropa, kalender dan meriam yang sudah disempurnakan, dan prediksi waktu terjadinya gerhana secara akurat.[30] Meskipun beberapa pejabat-cendekiawan menjadi pemeluk agama Kristen, banyak yang curiga pada orang-orang Barat yang mereka sebut "orang-orang barbar" dan bahkan jengkel pada mereka karena merasa malu dikoreksi mereka. Sekalipun demikian sejumlah kecil cendekiawan Yesuit terus hadir di istana untuk memukau kaisar dan para penasihatnya.
Mendekati akhir 1500-an, pemerintahan yang sangat terpusat, yang memberikan begitu banyak kewenangan kepada kaisar, mulai gagal berfungsi seiring makin seringnya pemimpin yang tidak cakap menduduki tahta. Bersamaan dengan pemimpin-pemimpin yang tidak cakap ini, berkuasa pula pejabat-pejabat yang kian korup dan memanfaatkan kemerosotan pemerintahan demi keuntungan pribadi. Proyek-proyek prasarana umum sekali lagi telantar akibat ketidakpedulian birokrasi sehingga berbuntut pada bencana banjir, kekeringan, dan kelaparan yang menyengsarakan rakyat jelata. Bencana kelaparan dengan cepat bertambah parah sampai-sampai sebagian orang terpaksa menjual anak-anak mereka sebagai budak agar tidak mati kelaparan, atau terpaksa memakan pepagan, kotoran angsa, bahkan daging manusia.[31] Banyak tuan tanah memanfaatkan situasi itu dengan mendirikan rumah-rumah tinggal yang besar tempat para petani yang sudah sangat tertekan itu dapat bekerja dan dieksploitasi. Pada gilirannya, ramai di antara petani-petani itu yang melarikan diri, menjadi penyamun, dan terang-terangan memberontak.
Semua kekacauan dan bencana ini berkaitan kemerosotan wangsa Tiongkok yang lazim terjadi di masa-masa sebelumnya, dan berkaitan pula dengan peningkatan ancaman asing. Pada pertengahan abad ke-16, para perompak Jepang dan Tiongkok mulai menerjang pesisir selatan, tanpa dapat dicegah baik oleh birokrasi maupun oleh militer.[32] Ancaman dari bangsa Manchu di utara juga meningkat. Bangsa Manchu sudah menjadi sebuah negara besar di utara Tiongkok, tatkala pada awal abad ke-17 seorang pemimpin setempat bernama Nurhaci tiba-tiba mempersatukan mereka dalam wadah bala tentara Delapan Panji yang beranggotakan keluarga-keluarga yang saling berseteru. Bangsa Manchu mengadopsi banyak adat-istiadat bangsa Tionghoa, terutama birokrasi mereka. Meskipun demikian, bangsa Manchu masih tetap menjadi negara bawahan Tiongkok. Pada 1644 administrasi Tiongkok menjadi sangat lemah, Kaisar Chongzhen, Kaisar Tionghoa ke-16 dan yang terakhir, meremehkan kekacauan-kekacauan yang ditimbulkan para pemberontak sampai akhirnya musuh menyerang Kota Terlarang (kediaman pribadinya). Ia pun segera gantung diri di taman istana.[32] Dalam rentang waktu yang cukup singkat, sempat dipermaklumkan berdirinya wangsa Shun, sampai seorang pejabat yang setia pada wangsa Ming meminta dukungan orang-orang Manchu untuk menumbangkan wangsa dadakan itu. Wangsa Shun berakhir dalam setahun dan bangsa Manchu kini berada dalam wilayah yang dilindungi Tembok Besar. Bangsa Manchu pun memanfaatkan situasi itu dan berbaris menuju Beijing, ibu kota Tiongkok. Dalam dua dasawarsa seluruh Tiongkok jatuh ke tangan Manchu dan wangsa Qing pun didirikan.
Jelang 1644, bangsa Manchu dari utara telah menaklukkan Tiongkok dan sekali lagi mendirikan sebuah wangsa asing di negeri itu, yakni wangsa Qing. Kaisar-kaisar Manchu, terutama Kangxi yang juga seorang cendekiawan Konfusianis, bersikap konservatif dalam banyak hal, seperti mempertahankan birokrasi berikut para cendekiawan di dalamnya, dan mempertahankan gagasan-gagasan mulia Konfusius yang dianut masyarakat Tionghoa. Sekalipun demikian, perubahan-perubahan di bidang ekonomi dan upaya-upaya baru dalam penyelesaian permasalahan-permasalahan tertentu juga terjadi. Di antaranya adalah meningkatnya perniagaan dengan negara-negara Barat yang mendatangkan sejumlah besar perak bagi perekonomian Tiongkok sebagai ganti teh, porselen, dan tekstil sutra. Keadaan ini memungkinkan tumbuhnya sebuah golongan saudagar baru, para komprador. Selain itu, pemerintah juga memperbaiki tanggul-tanggul, terusan-terusan, jalan-jalan, dan tatanan irigasi peninggalan wangsa-wangsa sebelumnya. Perbaikan-perbaikan ini, ditambahi penurunan pajak-pajak dan pengurangan kerja bakti untuk negara, dimaksudkan untuk mengambil hati rakyat jelata. Akan tetapi, wangsa Qing gagal mengendalikan golongan tuan tanah yang semakin marak dan mulai mengeksploitasi rakyat jelata serta menyalahgunakan kewenangan mereka.
Jelang penghujung abad ke-18, permasalahan-permasalahan baik yang bersifat internal maupun eksternal mulai bermunculan di bidang politik, kemasyarakatan, dan ekonomi Tiongkok di bawah pemerintahan wangsa Qing. Sistem ujian yang digunakan untuk menentukan jabatan yang tepat bagi para cendekiawan di dalam struktur birokrasi semakin lama semakin diselewengkan; suap dan berbagai macam kecurangan dimanfaatkan para cendekiawan yang tidak berpengalaman dan yang tidak berkeahlian tinggi untuk memasuki birokrasi yang berbuntut pada penelantaran rakyat jelata, bidang militer, dan proyek-proyek prasarana yang disebutkan di atas. Kemiskinan dan penggarongan terus meningkat, khususnya di daerah-daerah pedesaan, dan migrasi besar-besaran dalam rangka mencari pekerjaan terjadi di seluruh Tiongkok. Pemerintah yang senantiasa bersikap konservatif menolak untuk melakukan perubahan-perubahan yang perlu guna menanggulangi permasalahan-permasalahan ini.
Tiongkok menyaksikan sendiri betapa statusnya merosot diakibatkan oleh apa yang dianggapnya sebagai perniagaan parasitisme dengan orang-orang Barat. Mula-mula para saudagar Eropa adalah pihak yang merugi karena orang-orang Tionghoa tidak terlampau menghiraukan barang-barang dagangan mereka, sementara kebutuhan orang-orang Eropa akan komoditas-komoditas Tiongkok seperti teh dan porselen malah terus meningkat. Demi kepentingan diri sendiri, para saudagar Inggris pun berupaya memperimbang perniagaan dengan mulai menjual candu India kepada orang-orang Tionghoa. Perdagangan candu tidak saja berhasil menguras simpanan batangan emas dan perak orang-orang Tionghoa, tetapi juga mengakibatkan ketergantungan akan candu berjangkit di kalangan birokrasi dan masyarakat luas. Kaisar Yongzheng mengeluarkan larangan atas candu semenjak 1729, tetapi hanya sedikit upaya yang dikerahkan untuk menerapkannya. Jelang awal abad ke-19, di bawah kepemimpinan kaisar baru, Daoguang, pemerintah mulai serius berupaya memberantas keberadaan candu di dalam masyarakat Tionghoa. Yang memimpin gerakan pemerintah ini adalah para pejabat cendekiawan yang disegani orang, salah satunya adalah Komisioner Kekaisaran Lin Zexu.
Setelah Lin menghancurkan lebih dari 20.000 peti candu pada musim panas 1839, orang-orang Eropa menuntut ganti rugi untuk apa yang mereka pandang sebagai campur tangan bangsa Tionghoa yang dilakukan tanpa dasar terhadap urusan-urusan pribadi mereka. Ketika ganti rugi tidak kunjung dibayar, orang-orang Inggris pun menyatakan perang pada tahun yang sama, diawali dengan Perang Candu Pertama. Jung-jung Tiongkok yang sudah ketinggalan zaman bukanlah tandingan kapal-kapal penembak Inggris yang canggih, sehingga tak lama kemudian daerah sepanjang Sungai Yángzǐ pun diliputi suasana mencekam akibat ancaman pengeboman dan serangan dari orang-orang Inggris. Kaisar tidak punya pilihan selain minta damai, yang berakibat penjatuhan hukuman buang bagi Lin serta penandatanganan Perjanjian Nanking yang memberikan kewenangan kepada Inggris untuk menguasai Hong Kong dan membuka kesempatan untuk menjalin hubungan dagang dan diplomasi dengan negara-negara Eropa lainnya, termasuk Jerman, Prancis, juga dengan Amerika Serikat.
Bangsa-bangsa Eropa menjajah berbagai wilayah Asia menjelang awal abad ke-20, misalnya Hindia Inggris, Indocina Prancis, Hindia Timur Spanyol, serta Makau dan Goa Portugis. Permainan Besar antara Rusia dan Inggris adalah perebutan kekuasaan di wilayah Asia Tengah pada abad ke-19. Jalur kereta api Trans-Siberia, lintas Asia dengan kereta api, rampung menjelang 1916. Beberapa wilayah Asia tetap merdeka dari kendali Eropa, meskipun tidak lepas dari pengaruhnya, misalnya Persia, Thailand, dan sebagian besar Tiongkok. Pada abad ke-20, Kekaisaran Jepang berekspansi ke Tiongkok dan Asia Tenggara dalam Perang Dunia II. Seusai perang, banyak negara Asia merdeka dari penjajahan bangsa-bangsa Eropa. Selama Perang Dingin, bagian utara Asia yang berpaham komunis berpihak pada Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok, sementara sekutu-sekutu barat membentuk pakta-pakta seperti CENTO dan SEATO. Konflik-konflik seperti Perang Korea, Perang Vietnam, dan Invasi Soviet atas Afganistan adalah pertempuran-pertempuran komunis lawan anti komunis. Dalam beberapa dasawarsa usai Perang Dunia II, sebuah program restrukturisasi besar-besaran berhasil memajukan Jepang menjadi raksasa ekonomi nomor dua di dunia, suatu fenomena yang dikenal sebagai mukjizat ekonomi pascaperang Jepang. Konflik Arab-Israel mendominasi sejarah modern Timur Tengah. Seusai tumbangnya Uni Soviet pada 1991, tumbuh banyak negara merdeka baru di Asia Tengah.
Jelang Perang Dunia II, pecah perang saudara di Tiongkok antara Partai Komunis pimpinan Mao Zedong melawan Partai Nasionalis pimpinan Chiang Kai-shek; kaum nasionalis tampak memimpin. Meskipun demikian, tatkala Jepang menginvasi pada 1937, kedua belah pihak terpaksa sepakat mengadakan gencatan senjata sementara dalam rangka mempertahankan Tiongkok. Kaum nasionalis mengalami banyak kekalahan dalam pertempuran yang mengakibatkan mereka kehilangan wilayah teritorial, dan oleh karena itu juga kehilangan rasa hormat dari rakyat Tiongkok. Berbeda dari kaum nasionalis, kaum komunis menggunakan taktik perang gerilya (di bawah pimpinan Lin Biao) yang terbukti efektif melawan metode-metode perang konvensional yang digunakan Jepang sehingga menempatkan Partai Komunis di posisi puncak menjelang 1945. Mereka juga mendapatkan popularitas dari upaya-upaya perbaikan yang sudah diterapkan di wilayah-wilayah yang mereka kuasai, seperti distribusi ulang tanah, reformasi pendidikan, dan karya pemeliharaan kesehatan sampai ke pelosok-pelosok daerah. Empat tahun berikutnya digunakan untuk memukul mundur kaum nasionalis ke pulau kecil di sebelah timur Tiongkok, yang dikenal dengan nama Taiwan (sebelumnya dikenal dengan nama Formosa), tempat mereka sekarang menetap. Di daratan Tiongkok, Partai Komunis mendirikan Republik Rakyat Tiongkok, dengan Mao Zedong sebagai kepala negara.
Pemerintah komunis di Tiongkok terbentuk dari para kader partai. Pejabat-pejabat garis keras ini mengendalikan Tentara Pembebasan Rakyat, dan Tentara Pembebasan Rakyat itu sendiri mengendalikan sejumlah besar birokrasi. Sistem ini selanjutnya dikendalikan oleh Komite Sentral, yang selain itu juga mendukung kepala negara sebagai kepala pemerintahan. Kebijakan-kebijakan luar negeri Republik Rakyat Tiongkok mencakup menekan upaya-upaya pemisahan diri di Mongolia dan Tibet, mendukung Korea Utara dalam Perang Korea, dan mendukung Vietnam Utara dalam Perang Vietnam. Selain itu, menjelang 1960 Tiongkok mulai memutus hubungan-hubungan dengan Uni Soviet karena masalah perbatasan, semakin meningkatnya rasa superioritas Tiongkok, dan khususnya karena ketidaksukaan pribadi Mao terhadap pemimpin Rusia, Nikita Khrushchev.
Kini Tiongkok, India, Korea Selatan, Jepang, dan Rusia memainkan peranan penting dalam perekonomian dan perpolitikan dunia. Tiongkok sekarang ini adalah negara dengan perekononomian terbesar kedua di dunia, sekaligus negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat kedua di dunia. Perekonomian India menempati peringkat terbesar ke-7 di dunia berdasarkan PDB nominal, dan peringkat terbesar ke-3 di dunia berdasarkan paritas daya beli, serta merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia.
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.