Loading AI tools
Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Sonjo (dalam Bahasa Indonesia berarti bertamu atau berkunjung) adalah suatu tradisi dan kearifan lokal dalam wujud perilaku sosial.[1][2][3][4] Sonjo merupakan bagian dari kebudayaan Jawa yang masih dipegang teguh oleh sebagian besar masyarakat Etnis Jawa, baik yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah ataupun Jawa Timur.[2] Tradisi sonjo juga dikenal sebagai tradisi bertamu atau silaturahmi yang memiliki banyak fungsi sosial, kerohanian, bahkan juga dapat menjaga keberlangsungan tradisi-tradisi lainnya yang ada di dalam masyarakat.[5][6] Tradisi ini lebih banyak terdapat di daerah pedesaan dibandingkan di perkotaan, hal ini dikarenakan masyarakat desa masih menjaga nilai-nilai kekeluargaan dan kolektivitas.[3][7][8][9][10]
Sebagai sebuah tradisi dan budaya yang berbasis pada kearifan lokal, sonjo memiliki banyak sekali manfaat, terutama dalam hal kehidupan bermasyarakat. Bahkan, sonjo bisa menjadi medium baru yang lebih efektif untuk melakukan rekonsiliasi guna menyelesaikan berbagai macam konflik, karena sonjo adalah tradisi yang penuh dengan kebersamaan, solidaritas, dan tentunya cinta kasih.[1]
Bagian dari seri tentang |
Budaya Indonesia |
---|
Sebagai tradisi yang berwujud perilaku sosial, sonjo tentu saja dpat dilihat dari kacamata sosiologi dan psikologi, tentunya ilmu antropologi. Untuk memahami tradisi sonjo dan manfaat-manfaat yang terkandung di dalamnya, maka itu perlu pula memahami tentang teori-teori yang berkaitan dengannya, yakni teori tentang kebudayaan, teori perilaku sosial, dan tentu saja memahami beberapa falsafah hidup Jawa.
Secara terminologi, kebudayaan berasal dari Bahasa Sanskerta buddhayah, kata ini merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti 'akal'. Menurut antropolog Koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehiduapan bersosial dan bermasyarakat.[11]
Menurut Budiono Kusumohamidjojo kebudayaan dilihat sebagai culture, bagi Kusumohamidjojo kebudayaan sebagai seluruh proses dialektika yang lahir dari proses fikir, jiwa, dan nurani yang terwujud dalam bentuk perilaku dan karya manusia dalam bentuk materialisasi, sebagai gagasan yang diadaptasi, diterapkan, distandardisasi, dikembangkan, diteruskan melalui proses belajar, dan diadaptasikan dalam kehidupan bersama.[11]
Kemudian menurut ahli filsafat Belanda, Cornelis Anthonie van Peursen kebudayaan adalah manifestasi kehidupan setiap orang (individu) dan setiap kelompok orang. Bagi Cornelis Anthonie Peursen, kebudayaan-lah yang membuat manusia berbeda dengan spesies lainnya yang ada di Bumi, karena manusia selalu mampu mengubah alam dan memanfaatkannya.[12]
Sementara secara lengkap Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, Ki Hadjar Dewantara pernah mengatakan pendapatnya dalam forum Majelis Luhur Tamansiswa. Ki Hadjar Dewantara mengatakan kebudayaan adalah:
Kebudayaan berarti segala apa yang berhubungan dengan budaya, sedangkan budaya berasal dari perkataan budi yang dengan singkat boleh diartikan sebagai jiwa manusia yang telah masak. Budaya atau kebudayaan tidak lain artinya dari buah budi manusia. Di dalam bahasa asing kebudayaan itu dinamakan kultur dan diartikan pula sebagai buah budi manusia. Perkataan kultur itu berasal dari cultura dari bahasa Latin, perubahan dari colere yang berarti memelihara, memajukan serta memuja-muja. Perkataan kultur itu biasanya terpakai berhubungan dengan pemeliharaan hidup tumbuh-tumbuhan, pun juga berhubung dengan pemeliharaan hidup manusia.[11]
Yang perlu diutamakan dalam segala soal kebudayaan atau kultur yaitu, bahwa didalamnya tidak saja terkandung arti buah budi, tetapi juga arti memelihara dan memajukan. Dari sifat kodrati ke arah sifat kebudayaan. Itulah tujuan dari segala usaha kultural. Acapkali suatu bangsa itu hanya mementingkan sifat keindahan atau kemegahan yang terdapat pada suatu benda kebudayaan hingga lupa akan hubungan kebudayaan dengan masyarakat yang hidup pada suatu zaman.[11]
Berdasarkan teori-teori diatas, maka kebudayaan dapat dikatakan secara singkat sebagai hasil dari buah pikir manusia, yang dielaborasikan dengan variabel-variabel lainnya yang juga mempengaruhi, seperti lingkungan, teknologi, pengetahuan, hingga spiritualitas. Semua variabel-variabel itu saling terkait dan mempengaruhi satu sama lainnya, maka ia akan melahirkan sebuah tradisi yang lambat laun menjadi kebudayaan karena telah mengalami pengembangan dan diwariskan tutun-temurun.
Perilaku sosial telah menciptakan kondisi saling ketergantungan antar-manusia, kondisi ini tentu bertujuan sebagai upaya untuk bertahan hidup. Dengan adanya perilaku sosial, manusia tidak bisa hanya menjadi makhluk individualis saja, manusia juga membutuhkan manusia lainnya untuk dapat bertahan hidup (kolektif dan komunal). Saling ketergantungan antar-manusia itulah yang kemudian menciptakan ikatan dan interaksi sosial. Dari sini dapat dikatakan, jika keberadaan dan kemampuan manusia dalam beratahan hidup juga dipengaruhi dari kebersamaan, kemampuan bekerja sama, saling menghormati, dan toleran.[13]
Menurut sosiolog Amerika Serikat, George Homans perilaku sosial itu sama seperti melakukan transaksi, di mana saat salah satu individu berharap bahwa sesuatu yang ia berikan akan sama dengan sesuatu yang akan ia dapatkan.[14] Namun tampaknya teori dari George Homans ini tidak terlalu tepat untuk perilaku sosial orang Jawa, khususnya dalam praktik tradisi sonjo. Tetapi bila dilihat dari sudut lain, teori George Homans bisa menjadi tepat, karena jika seseorang berbuat baik kepada sesama, tentu ia akan mendapatkan sesuatu yang baik juga.
Kemudian menurut psikolog - yang juga merumuskan psikologi perkembangan - Elizabeth B. Hurlock, perilaku sosial menunjukkan kemampuan individu untuk bermasyarakat. Perilaku sosial digambarkan sebagai perilaku umum yang ditunjukkan individu dalam komunitas yang lebih besar, yakni masyarakat. Perilaku ini lahir pada dasarnya merupakan hasil dari respon terhadap apa yang dianggap dapat diterima dan tidak dapat diterima oleh komunitas. Perilaku sosial dapat ditunjukkan dengan perasaan, keyakinan, sikap, rasa hormat, dan tindakan.[15]
Pada dasarnya, dapat dilihat jika manusia adalah makhluk sosial yang sangat membutuhkan orang lain untuk hidup. Sejak dari lahir, manusia diharuskan melalui pergaulan dan interaksi sosial yang intens dengan manusia yang lain. Dengan adanya interaksi sosial yang berkelanjutan seorang manusia akan dapat diterima dalam sebuah komunitas masyarakat, dari sinilah seorang manusia akan dapat dikatakan sebagai makhluk sosial. Setelah masuk ke dalam sistem sosial, manusia akan mulai terbiasa dengan perilaku sosial yang umum, isinilah manusia mulai dikatakan sebagai seorang anggota masyarakat.
Falsafah hidup orang Jawa tidak terlepas dari filsafat atau pemikiran para leluhur. Seperti filsafat pada umumnya, filsafat Jawa juga memiliki dimensi-dimensi yang saling terkait satu sama lainnya, dimensi-dimensi itu adalah dimensi metafisika, ontologi, epistemologi, dan aksiologi.[16] Keempat dimensi dalam filsafat Jawa tentu saling terkait satu sama lain, karena pada dasarnya filsafat Jawa memiliki satu tujuan, yakni mencapai kesempurnaan hidup (dalam Bahasa Jawa disebut ngudi kasampurnaan).[17]
Kemunculan sonjo sebagai sebuah tradisi berwujud perilaku sosial berasal dari kumpulan nilai yang telah menjadi pandangan hidup atau filosofi yang sudah mendarahdaging dalam kultur orang Jawa. Berikut ini adalah nilai-nilai kehidupan dan falsafah hidup orang Jawa yang juga dapat ditemui dalam tradisi sonjo, yang tentu saja dapat pula diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah Jawa di atas hanya beberapa saja, masih banyak falsafah-falsafah Jawa lainnya yang juga bemanfaat bagi kehidupan sosial dan bermasyarakat. Namun untuk kontek tradisi sonjo, falsafah-falsafah Jawa diatas adalah yang kurang lebih paling dekat aktualisasinya dengan tradisi sonjo, oleh karena itu falsafah-falsafah di atas adalah yang paling mudah ditemui dalam setiap praktik tradisi sonjo di mana saja di Jawa.
Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, tradisi-tradisi yang berwujud perilaku sosial merupakan bagian dari pengetahuan budaya dan pengetahuan tradisional yang berangkat dari nilai-nilai, gagasan-gagasan dan ide-ide yang sudah berkembang dalam masyarakat. Nilai, gagasan, dan ide yang ada di masyarakat itu merupakan hasil dari pengalaman nyata dalam berinteraksi, sehingga terus berkembang dan diwariskan dari generasi ke generasi hingga menjadi budaya.[22]
Berdasarkan teori ataupun pengertian tentang perilaku sosial di atas, maka sonjo sebagai sebuah tradisi hadir karena adanya proses sosial berkat aktualisasi dari filsafat Jawa. Proses sosial itu melahirkan gagasan-gagasan dan ide-ide yang berkembang menjadi nilai-nilai, kemudian nilai-nilai yang berkembang itu mulai diterapkan dan menjadi kebiasaan dan perilaku sosial yang umum di masyarakat. Karena telah menjadi suatu kebiasaan umum, maka kebiasaan kemudian menjadi tradisi dan kemudian diwariskan turun termurun sebagai bentuk bagian dari sautu kebudayaan, yakni kebudayaan Jawa.
Tidak terlalu jelas kapan tradisi sonjo muncul, tetapi pada zaman dahulu saat industrialisasi belum terlalu luas dan kota-kota masih sedikit, masyarakat Jawa menganggap sonjo sebagai hal yang sangat penting dalam membagun interaksi sosial. Di berbagai daerah di Jawa, baik itu di Jawa Tengah ataupun Jawa Timur, sonjo memiliki makna yang berbeda-beda, tentunya dengan tradisi yang berkembang di masing-masing daerah.
Secara umum, sonjo memang diartikan sebagai 'bertamu' atau 'bertandang', tetapi sonjo juga dapat diartikan dan dimaknai jauh lebih luas sebagai budaya berbagi. Dengan begitu, sonjo dapat dimaknai pula sebagai suatu kegiatan yang dilakukan untuk mempererat hubungan kekeluargaan dan persaudaraan.[1] Saat melakukan sonjo, warga yang berperan sebagai tuan rumah akan secara sukarela menyediakan kudapan ataupun makanan lainnya untuk menemani perbincangan dengan tamu. Bahkan bila tamu yang datang berasal dari luar daerah atau dari tempat yang jauh, tuan rumah bahkan biasanya menyiapkan jamuan yang lebih besar. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan tuan rumah kepada tamunya.[23]
Sonjo pada dasarnya tidak hanya dilakukan saat ada acara atau upacara tertentu saja, melainkan dapat dilakukan setiap saat dan bahkan telah menjadi keseharian.[1] Orang Jawa biasanya melakukan sonjo dengan cara berkunjung atau bertamu ke rumah kerabat atau tetangga terdekat. Sonjo umumnya dilakukan setelah bekerja atau pada saat waktu istirahat sepulang dari sawah, ladang, atau kebun, hal ini dilakukan agar pekerjaan tidak terganggu. Selain itu, melakukan sonjo di waktu istirahat juga bisa melepas penat dengan berkumpul bersama setelah lelah seharian bekerja.[8][9]
Sekilas bila diperhatikan antara tradisi sonjo agak mirip dengan tradisi sowan, tetapi sebenarnya keduanya sangat berbeda meskipun sama-sama memiliki arti bertamu. Dalam sonjo siapapun bisa melakukannya tanpa mengenal status sosial ataupun kelas sosial, namun dalam sowan biasanya yang dikunjungi adalah seseorang yang dituakan atau dihormati, misalkan kiai, raja, guru, termasuk orang tua.[24][25] Sowan sendiri lebih tepat diartikan dengan 'menghadap' daripada 'mengunjungi'.[18]
Seperti halnya tradisi lainnya yang ada di Nusantara, sonjo juga memiliki beberapa prinsip yang sangat penting dalam kehidupan bersosial dan bermasyarakat. Prinsip utama dan pertama dalam sonjo yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Jawa adalah mengakomodir nilai-nilai multikulturalisme. Dengan sonjo setiap orang mendapatkan pengakuan terhadap martabat dan identitasnya sebagai manusia.[26]
Pengaktualisasian nilai-nilai multikulturalisme itu dapat dilihat dari sikap-sikap keseharian yang dapat ditemui seperti datang melayat dan turut berbelasungkawa ketika adanya warga yang berbeda keyakinan atau suku meninggal dunia. Adapula mengucapkan selamat kepada warga dari keyakinan atau suku yang berbeda saat hari-hari perayaan mereka. Ada pun juga mengikutsertakan warga dari berbagai keyakinan dan suku yang berbeda dalam rapat-rapat desa atau kelurahan. Bahkan hal yang paling sederhana seperti kerja bakti bersama juga merepresentasikan prinsip-prinsip multikulturalisme dalam tradisi sonjo.[27]
Dengan adanya sonjo setiap individu dengan individu lainnya menjadi terhubung satu sama lain sehingga terbentuk ikatan sosial yang kuat.[3] Dalam praktiknya setiap orang yang melakukan sonjo pasti akan berkomunikasi, sehingga terjadilah pertukaran informasi untuk saling mengenal satu sama lain. Hal ini akan semakin bermanfaat bila setiap orang yang melakukan sonjo berasal dari latar belakang yang berbeda, sehingga sonjo tidak hanya mempererat hubungan sosial tetapi juga menambah wawasan dan ilmu pengetahuan yang baru.[1]
Bila dilihat dari pemaknaannya, sonjo merupakan tradisi yang sangat berpotensi baik dan memiliki kontribusi yang sangat positif dalam menciptakan suasana yang damai dan harmonis di tengah-tengah masyarakat. Berikut ini adalah beberapa aspek potensial yang dapat dilihat dari tradisi sonjo.
Aspek-aspek positif yang ada dalam tradisi sonjo mengandung nilai-nilai perdamaian seperti yang dijelaskan dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1998. Di dalam deklarasi tersebut budaya damai dimaknai sebagai seperangkat nilai, tradisi, dan cara berperilaku yang dapat merepresentasikan unsur-unsur perdamaian,[29] seperti:
Dengan adanya aspek-aspek positif dalam tradisi sonjo, maka dapat dikatakan jika sonjo telah memenuhi syarat dari konsep respecting tolerance yang digagas oleh Peter Balint karena adanya penghargaan dan penghormatan atas perbedaan dan keberagaman. Bahkan sebenarnya tradisi sonjo telah jauh melampaui syarat dari thin model of tolerance, bahkan sudah dapat tergolong dan masuk dalam thick model of tolerance.[26]
Berdasarkan aspek-aspek, unsur-unsur, dan variabel-variabel yang telah dijelaskan di atas, sonjo dapat menghapuskan segala macam perbadaan yang ada di masyarakat. Dengan sonjo batas-batas yang ada di antara masyarakat dapat terlampaui dan terlewati, masyarakat tidak lagi terdikotomi oleh batasan gender, kelas sosial, suku, etnis, maupun agama, sehingga setiap orang menjadi sejajar dan setara satu sama lain.
Sonjo tidak hanya dapat membangun Interaksi sosial antar-individu, tetapi juga dapat menciptakan dan membangun harmoni antara kelompok masyarakat. Untuk menciptakan nuansa yang harmoni antar kelompok, sonjo juga bisa disebut dengan istilah sonjo kampung atau sonjo desa (dalam Bahasa Jawa juga dapat disebut sonjo deso). Sonjo kampung atau sonjo deso terjadi jika warga dari satu kampung atau desa melakukan sonjo atau bersilaturahmi dengan warga dari kampung atau desa lainnya. Sonjo kampung sangat bermanfaat bagi terciptanya kerukunan antar-kampung atau antar-desa.[3][10]
Salah satu desa di Magelang, Jawa Tengah yakni Desa Bandung Rejo bahkan dapat memanfaatkan tradisi sonjo sebagai media pelestarian budaya. Melalui sonjo kampung, warga desa mengadakan suatu acara kebudayaan yang menampilkan berbagai pageralaran seni tradisional, seperti Tari Soreng dan Warok Bocah. Selain itu sonjo kampung di desa yang terletak di lereng Gunung Merbabu tersebut juga melestarikan tradisi-tradisi budaya yang terkait dengan spiritualitas Islam, seperti Saparan, Mauludan, dan Suronan. Berkat kontribusnya dalam pelestarian budaya melalui sonjo kampung tersebut, Desa Bandung Rejo mendapatkan gelar "Kampung Pelestari Seni Tradisi".[10][30] Pemerintah Kabupaten Magelang bahkan menetapkan Sonjo Desa ke dalam Kalender Event Pariwisata tahun 2018.[31]
Dengan adanya sonjo, berbagai komunitas dalam masyarakat juga dapar bertukar informasi dan pengetahuan tentang kebudayaannya masing-masing. Seperti yang terjadi di Pekojan, Semarang, Jawa Tengah, warga keturunan Pakistan-Indonesia melakukan sonjo kepada warga lainnya untuk mempererat tali silaturahmi.[32] Begitu pula dengan yang terjadi di Ambarawa, Jawa Tengah, sonjo telah menyatukan berbagai elemen masyarakat yang ada dari berbagai agama dan etnis, termasuk keturunan Tionghoa-Indonesia.[1][2]
Selain sebagai wadah untuk membangun interaksi sosial, sonjo juga bisa menjadi sarana bermusyawarah di antara warga guna mengambil keputusan dalam masalah-masalah tertentu. Dengan sonjo pula nilai-nilai demokrasi tercipta dalam lingkungan bermasyarakat, karena di dalam sonjo setiap orang dapat mengemukakan idenya sehingga terjadi pertukaran pikiran dengan bebas.[3] Tentu saja ini bermanfaat bagi pendidikan politik bagi masyarakat
Salah satu contoh dari aktualisasi sonjo di bidang politik adalah yang dilakukan oleh Walikota Solo, F.X. Hadi Rudyatmo. Sebagai pemimpin di Kota Solo, Walikota F.X. Hadi Rudyatmo memiliki program yang bernama Sonjo Wargo (dalam Bahasa Indonesia berarti 'mengunjungi warga'). Program tersebut (dikenal juga dengan istilah dalam Bahasa Jawa sebagai blusukan) sebenarnya sudah ada sejak kepemimpinan Joko Widodo saat masih menjabat sebagai Walikota Solo, kemudian program ini dilanjutkan oleh Walikota F.X. Hadi Rudyatmo (yang sebelumnya menjabat sebagai wakil wali kota) dengan nama Sonjo Wargo, namun esensinya tetap sama yakni melakukan kunjungan kepada warga masyarakat di seluruh Solo. Dengan adanya Sonjo Wargo, maka warga dapat langsung menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah, sehingga pemerintah pun dapat bekerja lebih maksimal untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.[33][34][35]
Sonjo juga tidak hanya bermanfaat bagi manusia, tetapi juga bagi keberlangsungan kelestarian alam, salah satunya adalah yang dilakukan oleh Universitas Brawijaya. Melalui program Sonjo Deso - sebenarnya mirip dengan Kuliah Kerja Nyata (KKN) - pihak kampus mengirim mahasiswanya untuk menjalankan tridarma perguruan tinggi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Melalui program Sonjo Deso itu, mahasiswa Universitas Brawijaya melakukan pemberdayaan terhadap hutan di setiap desa yang ada di Malang, Jawa Timur tentunya dengan prinsip gotong royong bersama warga desa.[36][37] Tentu saja program tersebut selain bermanfaat bagi warga desa, juga bermanfaat bagi kelestarian lingkungan.
Sonjo juga ternyata bisa bermanfaat dalam pengembangan industri kreatif, salah satunya ada di Dusun Menayu, Magelang, Jawa Tengah. Berkat program pengabdian dari sekelompok mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Magelang, kampung tersebut kini menjadi salah satu destinasi wisata budaya dan menjadi salah satu pariwisata unggulan bagi Magelang.[7][9][31][38] Apa yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Muhammadiyah Magelang adalah salah satu contoh jika melestarikan tradisi, maka tradisi juga akan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat.
Sebagai budaya dan tradisi yang berwujud perilaku sosial, sonjo dapat menopang keberlangsungan tradisi-tradisi lainnya. Adanya sonjo membuat masyarakat berkumpul bersama, sehingga terjadi komunikasi diantara orang-orang yang melakukan sonjo, sehingga tercipta ikatan psikologis yang dihasilkan dari interaksi sosial yang intens. Di beberapa tempat di Jawa, tradisi sonjo ikut menopang pelestarian tradisi lainnya.
Di Banyuwangi, Jawa Timur terutama di dalam masyarakat adat Osing, tradisi sonjo telah menjadi rutinitas yang tidak dapat ditinggalkan. Bagi masyarakat Suku Osing, sonjo paling tepat bila ditemani dengan minum kopi bersama keluarga. Uniknya bagi masyarakat Suku Osing, minum kopi hanya dilakukan di rumah atau saat sonjo, jadi minum kopi dan sojo bagi masyarakat Suku Osing sangat erat kaitannya. Hal ini dikarenakan bagi masyarakat Suku Osing, minum kopi dan sonjo adalah perpaduan simbol dari kerukunan, penghormatan, pengabdian, dan berbagi.[39]
Sonjo di kawasan lereng Gunung Merbabu, tepatnya di Magelang, Jawa Tengah juga dapat bermanfaat bagi pelestarian budaya lokal lainnya. di Desa Bandung Rejo adalah di mana diadakan acara Sonjo Kampung, yang melibatkan berbagai macam penampilan seni dan budaya tradisional. Desa ini bahkan mendapatkan gelar kehormatan sebagai "Kampung Pelestari Seni Tradisi". Berbagai pihak juga turut mendukung keberlangsungan tradisi sonjo di Desa Bandung Rejo, mulai dari Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), Jaringan Kampung Nusantara (Japung), Bhakti Budaya Borobudur, dan penyanyi Trie Utami juga turut mendukung dan terlibat dalam tradisi tersebut.[10]
Tradisi sonjo tidak hanya membangun interaksi sosial antar-manusia ataupun antara manusia dengan alam semata, namun juga ada relasi spiritualitas, khususnya dalam menghubungkan antara manusia dengan Tuhan. Hubungan antara manusia dengan Tuhan tidak hanya diwujudkan melalui ritual-ritual keagaman saja, tetapi juga harus dibarengi dengan membangun hubungan yang baik dengan sesama manusia, itu tentu akan menjadi amalan baik yang akan diterima oleh Tuhan.[40][41]
Ajaran Islam yang berkembang di Indonesia memang banyak mengakulturasikan nilai-nilai Islam dengan tradisi-tradisi lokal yang sudah ada sebelum Islam itu sendiri masuk, termasuk dalam tradisi sonjo. Adanya tradisi sonjo membuat beberapa ritual yang terkait dengan ajaran Islam juga menjadi berkembang, salah satunya adalah di Desa Bandung Rejo, Kecamatan Ngablak, Magelang, Jawa Tengah. Di desa tersebut, sonjo menjadi media untuk menjalankan sekaligus melestarikan beberapa ritual keagamaan Islam, seperti Saparan dan Mauludan.[10][30]
Sebagai budaya yang penuh dengan makna positif, sonjo telah berkembang dan mampu menyatukan seluruh kelompok sosial bahkan yang berbeda agama ataupun etnis. Di beberapa tempat di Jawa, sonjo tidak hanya ditemukan di komunitas Muslim saja, tetapi juga terjadi di komunitas agama lainnya, seperti Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu hingga agama lokal.
Sonjo juga membuktikan mampu mengakulturasikan Islam dengan tradisi lokal di Tengger. Warga yang mendiami kawasan Tengger, Bojonegoro, Jawa Timur membuktikan bahwa dengan sonjo, baik Muslim maupun Hindu bisa hidup berdampingan dan tetap menjaga keharmonisan. Selain itu, sonjo juga dapat menyatukan komunitas masyarakat adat Tengger dengan agama lainnya. Salah satu contohnya adalah saat diberlangsungkanya upacara adat Kasada para tokoh adat dan tokoh agama bisa duduk berdampingan.[6]
Sonjo di Ambarawa juga memberikan contoh yang sangat plural dan unik, salah satunya dapat ditemukan dalam upacara pemakaman. Bila ada seorang warga yang meninggal dunia setiap pemuka agama dari masing-masing agama akan memanjatkan doa, terlepas dari apapun keyakinan yang dianut oleh jenazah semasa hidupnya. Dengan begitu maka kerukunan antara warga masyarakat tetap terjaga dan senantiasa dalam harmoni.[2][42] Keberagaman dalam masyarakat Ambarawa memang harus diakui sangat baik, masyarakat Ambarawa dapat menjadi suatu role model dari persatuan yang penuh dengan harmoni.
Sebagai sebuah tradisi lokal yang mulai jarang ditemui, sonjo tetap harus dapat berkembang. Perkembangan tersebut diharuskan agar kearifan lokal ini tidak punah dan senantiasa selalu bertahan. Seperti halnya tradisi-tradisi lainnya yang ada di Nusantara, sonjo juga mengalami akulturasi budaya dengan budaya lainnya yang berasal dari luar budaya Jawa, sonjo juga mengalami reaktualisasi dalam kehidupan bermasyarakat agar tetap selaras dengan zaman.
Karena memberikan pengaruh yang luar biasa, tradisi sonjo juga diaktualisasikan oleh etnis lain selain Etnis Jawa. Salah satu etnis non-Jawa yang mengaktualisasikan tradisi sonjo adalah keturunan Pakistan-Indonesia, khususnya yang berada di kawasan Pekojan, Semarang, Jawa Tengah. Warga keturunan Pakistan-Indonesia di Pekojan biasanya melakukan sonjo saat lebaran Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.[32] Selain sebagai bentuk perayaan dan rasa syukur, sonjo yang dilakukan oleh warga keturunan Pakistan-Indonesia juga menambah kekayaan budaya karena adanya proses akulturasi antara Budaya Jawa dengan Pakistan.
Selain warga keturunan Pakistan-Indonesia, tradisi sonjo juga diaktualisasikan oleh warga keturunan Tionghoa-Indonesia. Warga Tionghoa-Indonesia yang mempraktekkan tradisi sonjo salah satunya ada di Ambarawa, Jawa Tengah. Warga keturunan Tionghoa-Indonesia di Ambarawa mengaktualisasikan tradisi sonjo bersamaan dengan perayaan Cheng Beng, jadi di dalam perayaan tersebut terjadi akulturasi budaya antara Jawa dengan Tionghoa.[1][2][42]
Proses modernisasi, globalisasi, dan Industrialisasi yang kian hari kian cepat, membuat manusia semakin individualis. Kota-kota mulai banyak dan bertambah, desa-desa mulai tergerus. Bagi penduduk yang hidup di perkotaan di mana jam kerja yang panjang dan tuntutan pekerjaan lainnya membuat interaksi sosial menjadi berkurang, tentu saja berdampak pada berkurangnya interaksi sosial antar-manusia. Padahal seyogianya, manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain, hal ini tentu sedikit banyak berdampak pada keberlangsungan nilai-nilai tradisi bangsa, termasuk juga terhadap tradisi sonjo.[38]
Berangkat dari keresahan-keresahan yang ada, sekolompok mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Magelang berusaha merintis sebuah kampung wisata. Perintisan kampung tersebut berbasis pada kearifan lokal masyarakat Jawa, yakni tradisi sonjo. Selain bertujuan sebagai pelestarian tradisi sonjo, program gagasan kelompok mahasiswa tersebut juga memiliki dampak positif lainnya, yakni berkembangnya ekonomi kreatif warga sekitar, khususnya di bidang pariwisata.[7][43] Program yang dilaksanakan oleh sekolompok mahasiswa Universitas Muhammadiyah Magelang tersebut membuahkan hasil manis, pasalnya sonjo kini menjadi salah satu agenda wisata budaya yang menjadi andalan Pemerintah Kabupaten Magelang.[31]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.