Remove ads
Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Sosialisasi atau pemasyarakatan adalah proses memasukkan nilai-nilai kebudayaan terhadap individu, supaya individu menjadi bagian masyarakat.[1] Proses sosialisasi merupakan pendidikan sepanjang hayat, melalui pemahaman dan penerimaan individu atas peranannya dalam masyarakat. Sosialisasi dapat terjadi karena; agen primer, yaitu keluarga dengan sifat emosional dan afektif; dan agen sekunder, yaitu teman dan perkumpulan dengan bersifat leluasa. Tujuan sosialisasi adalah mengajarkan nilai budaya suatu masyarakat kepada individu dari segi peran dan status sosial.[2]
Sosiologi |
---|
Portal |
Teori dan Sejarah |
Positivisme · Antipositivisme |
Metode penelitian |
Topik dan Cabang |
agama ·
budaya ·
demografi |
Peter L. Berger (1978) mendefinisikan sosialisasi sebagai proses melalui mana seorang anak belajar menjadi seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat. Definisi ini disampaikan oleh Berger dalam suatu kajian yang berjudul Society in Man. Menurut Kamanto Sunarto, definisi yang dipaparkan oleh Berger menunjukkan pandangan bahwa melalui sosialisasi itulah (nilai-nilai) masyarakat masuk ke dalam individu manusia.[3]
Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua: sosialisasi primer (dalam keluarga) dan sosialisasi sekunder (dalam masyarakat). Menurut Goffman kedua proses tersebut berlangsung dalam institusi total, yaitu tempat tinggal dan tempat bekerja. Dalam kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah individu dalam situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu kurun tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkukung, dan diatur secara formal.[4]
Peter L. Berger dan Luckmann mendefinisikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat (keluarga). Sosialisasi primer berlangsung saat anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum masuk ke sekolah. Anak mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga. Secara bertahap dia mulai mampu membedakan dirinya dengan orang lain di sekitar keluarganya.[5]
Dalam tahap ini, peran orang-orang yang terdekat dengan anak menjadi sangat penting sebab seorang anak melakukan pola interaksi secara terbatas di dalamnya. Warna kepribadian anak akan sangat ditentukan oleh warna kepribadian dan interaksi yang terjadi antara anak dengan anggota keluarga terdekatnya.[5]
Sosialisasi sekunder adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer yang memperkenalkan individu ke dalam kelompok tertentu dalam masyarakat. Bentuk-bentuknya adalah resosialisasi dan desosialisasi. Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi suatu identitas diri yang baru. Sedangkan dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami 'pencabutan' identitas diri yang lama.[5]
Menurut Erving Goffman, proses resosialisasi dan desosialisasi tersebut berkaitan dengan fungsi institusi sosial (social institutions). Institusi-institusi sosial itu antara lain rumah tahanan dan rumah sakit jiwa.[5] Berikut ini adalah apa yang dimaksud Goffman sebagai institusi sosial:
"Suatu tempat tinggal dan bekerja di dalamnya sejumlah individu dalam situasi sama, terputus dari masyarakat yang lebih luas untuk suatu jangka waktu tertentu, bersama-sama mejalani hidup yang terkungkung dan diatur secara formal."[5]
Setiap kelompok masyarakat mempunyai standar dan nilai yang berbeda. contoh, standar 'apakah seseorang itu baik atau tidak' di sekolah dengan di kelompok sepermainan tentu berbeda. Di sekolah, misalnya, seseorang disebut baik apabila nilai ulangannya di atas tujuh atau tidak pernah terlambat masuk sekolah. Sementara di kelompok sepermainan, seseorang disebut baik apabila solider dengan teman atau saling membantu. Perbedaan standar dan nilai pun tidak terlepas dari tipe sosialisasi yang ada. Ada dua tipe sosialisasi. Kedua tipe sosialisasi tersebut adalah sebagai berikut.
Sosialisasi tipe ini terjadi melalui lembaga-lembaga yang berwenang menurut ketentuan yang berlaku dalam negara, seperti pendidikan di sekolah dan pendidikan militer.
Sosialisasi tipe ini terdapat di masyarakat atau dalam pergaulan yang bersifat kekeluargaan, seperti antara teman, sahabat, sesama anggota klub, dan kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam masyarakat.
Baik sosialisasi formal maupun sosialisasi informal tetap mengarah kepada pertumbuhan pribadi anak agar sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di lingkungannya. Dalam lingkungan formal seperti di sekolah, seorang siswa bergaul dengan teman sekolahnya dan berinteraksi dengan guru dan karyawan sekolahnya. Dalam interaksi tersebut, ia mengalami proses sosialisasi. dengan adanya proses sosialisasi tersebut, siswa akan disadarkan tentang peranan apa yang harus ia lakukan. Siswa juga diharapkan mempunyai kesadaran dalam dirinya untuk menilai dirinya sendiri. Misalnya, apakah saya ini termasuk anak yang baik dan disukai teman atau tidak? Apakah perliaku saya sudah pantas atau tidak?
Meskipun proses sosialisasi dipisahkan secara formal dan informal, namun hasilnya sangat suluit untuk dipisah-pisahkan karena individu biasanya mendapat sosialisasi formal dan informal sekaligus.
Dalam sosialisasi, memiliki tujuan antara lain:[6]
1. Memberikan keterampilan kepada seseorang untuk dapat hidup bermasyarakat. Dengan memberikan sosialisasi kepada individu, maka individu tersebut pada akhirnya dapat dengan mudah belajar untuk bersosialisasi pada masyarakat, sehingga individu tersebut dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat.
2. Mengembangkan kemampuan seseorang dalam berkomunikasi secara efektif. Dengan sosialisasi, individu dapat dengan terbiasa untuk berkomunikasi dengan dunia luar dan masyarakat.
3. Mengembangkan fungsi-fungsi organik seseorang melalui introspeksi yang tepat. Dengan bersosialisasi, fungsi organik dalam tubuh/jiwa seseorang akan dapat terlatih dengan baik, sehingga individu tersebut dapat dengan mudah untuk berkumpul pada masyarakat. Serta, dengan komunikasi yang baik, maka individu tersebut dapat dengan mudah untuk hidup berdampingan di masyarakat.
4. Menanamkan nilai-nilai dan kepercayaan kepada seseorang yang mempunyai tugas pokok dalam masyarakat. Dengan sosialisasi, individu dapat dengan mudah untuk mendapatkan kepercayaan diri karena mereka memiliki komunikasi yang baik di masyarakat. Dengan adanya kepercayaan dan komunikasi tersebut maka individu dapat dengan mudah untuk bersosialisasi pada masyarakat.
Gertrudge Jaeger dengan mengutip Uri Bronfenbrenner dan Melvin L. Kohn,,sosialisasi dapat dibagi menjadi dua pola, yakni; sosialisasi represif dan sosialisasi partisipatoris.[7]
George Herbert Mead memaparkan pemikiranya melalui buku Mind, Self, and Society yang terbit pada 1972. Mead menguraikan tahap-tahap pengembangan diri manusia, mulai dari ketika individu manusia baru lahir dan belum memiliki kepribadian, hingga individu tersebut mulai menjadi anggota masyarakat. Menurut Mead pengembangan diri ini terdiri dari tiga tahap.[8] George Herbert Mead berpendapat bahwa sosialisasi yang dilalui seseorang dapat dibedakan melalui tahap-tahap sebagai berikut:[9]
Tahap ini dialami sejak manusia dilahirkan, saat seorang anak mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk memperoleh pemahaman tentang diri. Pada tahap ini juga anak-anak mulai melakukan kegiatan meniru meski tidak sempurna.[9]
Tahap ini ditandai dengan semakin sempurnanya seorang anak menirukan peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini mulai terbentuk kesadaran tentang nama diri dan siapa nama orang tuanya, kakaknya, dan sebagainya. Anak mulai menyadari tentang apa yang dilakukan seorang ibu dan apa yang diharapkan seorang ibu dari anak.[9] Dengan kata lain, kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain juga mulai terbentuk pada tahap ini. Kesadaran bahwa dunia sosial manusia berisikan banyak orang telah mulai terbentuk. Sebagian dari orang tersebut merupakan orang-orang yang dianggap penting bagi pembentukan dan bertahannya diri, yakni dari mana anak menyerap norma dan nilai. Bagi seorang anak, orang-orang ini disebut orang-orang yang amat berarti (Significant other)
Peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran yang secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya menempatkan diri pada posisi orang lain meningkat sehingga memungkinkan adanya kemampuan bermain secara bersama-sama.[9] Seseorang mulai menyadari adanya tuntutan untuk membela keluarga dan bekerja sama dengan teman-temannya. Pada tahap ini lawan berinteraksi semakin banyak dan hubunganya semakin kompleks. Individu mulai berhubungan dengan teman-teman sebaya di luar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku di luar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami. Bersamaan dengan itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma tertentu yang berlaku di luar keluarganya.
Pada tahap ini seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah dapat menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secara luas. Dengan kata lain, ia dapat bertenggang rasa tidak hanya dengan orang-orang yang berinteraksi dengannya tetapi juga dengan masyarakat luas.[9] Manusia dewasa menyadari pentingnya peraturan, kemampuan bekerja sama—bahkan dengan orang lain yang tidak dikenalnya—secara mantap. Manusia dengan perkembangan diri pada tahap ini telah menjadi warga masyarakat dalam arti sepenuhnya.
Charles H. Cooley menuangkan konsep sosialisasi yang dikenal dengan isitilah self-concept (konsep diri) seseorang melalui interaksinya dengan individu dan kelompok manusia lainnya. Pemikirannya itu yang kemudian berkembang lagi dengan istilah looking glass-self, istilah ini muncul karena Cooley melihat analogi antara pembentukan diri seseorang dengan perilaku seseorang yang sedang bercermin. Analogi ini muncul berdasarkan pemahaman Cooley bahwa jika cermin memantulkan objek yang ada di depannya, maka dengan demikian manusia juga sama - manusia akan memantulkan apa yang dirasakannya sebagai reaksi dari tanggapan masyarakat terhadap dirinya.[10]
Pemikiran Cooley terkenal dengan looking glass-self (cermin diri) yang juga menekankan pentingnya peranan interaksi dalam sosialisasi. Seorang individu berkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Dalam hal ini, seorang individu berkembang melalui tiga tahap, yaitu:[11]
Agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang melaksanakan atau melakukan sosialisasi. Bentuk agen sosialisasi yaitu keluarga, sekolah, kelompok teman sebaya, media massa, agama, lingkungan tempat tinggal, dan tempat kerja. Peran agen sosialisasi adalah untuk meningkatkan partisipasi individu di dalam masyarakat melalui pembentukan pengetahuan sikap, nilai, norma, dan perilaku yang bermakna.[12]
Pesan-pesan yang disampaikan agen sosialisasi berlainan dan tidak selamanya sejalan satu sama lain. Apa yang diajarkan keluarga mungkin saja berbeda dan bisa jadi bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh agen sosialisasi lain. Misalnya, di sekolah anak-anak diajarkan untuk tidak merokok, meminum minman keras dan menggunakan obat-obatan terlarang (narkoba), tetapi mereka dengan leluasa mempelajarinya dari teman-teman sebaya atau media massa.
Proses sosialisasi akan berjalan lancar apabila pesan-pesan yang disampaikan oleh agen-agen sosialisasi itu tidak bertentangan atau selayaknya saling mendukung satu sama lain. Akan tetapi, di masyarakat, sosialisasi dijalani oleh individu dalam situasi konflik pribadi karena dikacaukan oleh agen sosialisasi yang berlainan.
Steve Fuller dan Jerry Jacobs menjelaskan bahwa agen sosiologi terdiri dari empat unsur utama, yakni keluarga, kelompok teman, lembaga pendidikan formal dan media massa. Keduanya mendefinisikan keempat agen tersebut berdasarkan pengamatan mereka terhadap kondisi sosial masyarakat Amerika Serikat, tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa di negara lain juga dapat diterapkan dengan agen-agen yang sama.[13]
Bagi keluarga inti (nuclear family) agen sosialisasi meliputi ayah, ibu, saudara kandung, dan saudara angkat yang belum menikah dan tinggal secara bersama-sama dalam suatu rumah. Sedangkan pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan diperluas (extended family), agen sosialisasinya menjadi lebih luas karena dalam satu rumah dapat saja terdiri atas beberapa keluarga yang meliputi kakek, nenek, paman, dan bibi di samping anggota keluarga inti. Pada masyarakat perkotaan yang telah padat penduduknya, sosialisasi dilakukan oleh orang-orabng yang berada di luar anggota kerabat biologis seorang anak. Kadang kala terdapat agen sosialisasi yang merupakan anggota kerabat sosiologisnya, misalnya pramusiwi, menurut Gertrudge Jaeger peranan para agen sosialisasi dalam sistem keluarga pada tahap awal sangat besar karena anak sepenuhnya berada dalam ligkugan keluarganya terutama orang tuanya sendiri.
Teman pergaulan (sering juga disebut teman bermain) pertama kali didapatkan manusia ketika ia mampu berpergian ke luar rumah. Pada awalnya, teman bermain dimaksudkan sebagai kelompok yang bersifat rekreatif, namun dapat pula memberikan pengaruh dalam proses sosialisasi setelah keluarga. Puncak pengaruh teman bermain adalah pada masa remaja. Kelompok bermain lebih banyak berperan dalam membentuk kepribadian seorang individu.
Berbeda dengan proses sosialisasi dalam keluarga yang melibatkan hubungan tidak sederajat (berbeda usia, pengalaman, dan peranan), sosialisasi dalam kelompok bermain dilakukan dengan cara mempelajari pola interaksi dengan orang-orang yang sederajat dengan dirinya. Oleh sebab itu, dalam kelompok bermain, anak dapat mempelajari peraturan yang mengatur peranan orang-orang yang kedudukannya sederajat dan juga mempelajari nilai-nilai keadilan.
Lingkungan tempat tinggal dapat dibagi menjadi perumahan dan perkampungan. Perumahan merupakan lingkungan tempat tinggal yang terencana sehingga memiliki tata ruang yang rapi. Sedangkan lingkungan perkampungan merupakan lingkungan tempat tinggal yang terbentuk secara alamiah dan penghuninya relatif memiliki kehidupan sosial dan budaya yang serupa.[14] Interaksi sosial di dalam perumahan lebih sedikit dibandingkan dengan perkampungan. Pada perumahan elit, pengurangan interaksi sosial bertujuan untuk mengurangi pengaruh negatif dari lingkungan tempat tinggal. Selain itu, berkurangnya interaksi sosial dapat mengurangi risiko timbulnya masalah akibat sosialisasi. Sedangkan bagi lingkungan perkampungan, sebagian besar masyarakat masih memiliki hubungan kekeluargaan dan hubungan kekerabatan.[15]
Agama mejadi agen sosialisasi melalui lembaga keagamaan. Pertanyaa-pertanyaan tentang makna kehidupan dapat dijawab melalui pemahaman tentang agama. Agama memberikan tuntunan tentang nilai kebenaran sehingga mampu menuntun manusia dalam persoalan moralitas. Dalam hubungan sosial, agama tidak hanya mempengaruhi kerohanian manusia, tetapi juga mempengaruhi berbagai bidang kehidupan lainnya.[16]
Menurut Dreeben, dalam lembaga pendidikan formal seseorang belajar membaca, menulis, dan berhitung. Aspek lain yang juga dipelajari adalah aturan-aturan mengenai kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme, dan kekhasan (specificity). Di lingkungan rumah seorang anak mengharapkan bantuan dari orang tuanya dalam melaksanakan berbagai pekerjaan, tetapi di sekolah sebagian besar tugas sekolah harus dilakukan sendiri dengan penuh rasa tanggung jawab.
Yang termasuk kelompok media massa di sini adalah media cetak (surat kabar, majalah, tabloid), media elektronik (radio, televisi, video, film). Besarnya pengaruh media sangat tergantung pada kualitas dan frekuensi pesan yang disampaikan.
Contoh:
Organisasi adalah sekelompok individu yang berkumpul dalam suatu wadah untuk mencapai tujuan yang sama, organisasi itu sebuah wadah yang menampung aspirasi, cita cita, harapan orang-orang. Organisasi memiliki karakter tersendiri, jati diri, sejarah, kisah, suka, sedih, cita-cita, aspiras harapan orang banyak. Organisasi adalah sebuah sebuah sarana sosialisasi dan sebagai wadah yang dibuat untuk menampung aspirasi masyarakat serta untuk mencapai tujuan bersama.
Mengapa organisasi dalam masyarakat sangatlah penting? Organisasi didirikan oleh sekelompok orang tentu memiliki alasan.
Organisasi merupakan suatu wadah untuk mencapai tujuan yang sama,organisasi mempunya tujuan, visi dan misi yang jelas, organisasi memegang pernanan penting dalam suatu masyarakat, karena organisasi dapat membantu/mengajak masyarakat untuk lebih aktif dalam lingkungan & kehidupannya,organisasi bisa sebagai pendukung proses sosialisasi yang berjalan di sebuah lingkungan bermasyrakat.Organisasi bisa juga disebut kumpulan orang-orang yang memiliki kesamaan.
Tempat kerja merupakan agen sosialisasi yang bersifat melengkapi agen sosialisasi lainnya. Sifat keagenan dari tempat kerja adalah adanya partisipasi langsung dari individu terhadap peranan sosialnya di dalam suatu kelompok sosial. Tempat kerja menjadi salah satu agen sosialisasi yang memberikan identitas individu dengan mengaitkannya dengan pekerjaan.[17]
dari konsep diri kita. Pada akhirnya kita akan melihat diri kita
dalam kerangka pekerjaan tersebut, sehingga jika seseorang meminta
kita mendiskripsikan diri kita, kita akan cenderung memasukkan
pekerjaan dalam deskripsi diri kita. Kita mungkin akan menjelaskan:
“saya adalah dosen”, “saya jurnalis”, atau “saya adalah pebisnis”.[17]
Selain keluarga, sekolah, kelompok bermain dan media massa, sosialisasi juga dilakukan oleh institusi agama, tetangga, organisasi rekreasional, masyarakat, dan lingkungan pekerjaan. Semuanya membantu seseorang membentuk pandangannya sendiri tentang dunianya dan membuat presepsi mengenai tindakan-tindakan yang pantas dan tidak pantas dilakukan. Dalam beberapa kasus, pengaruh-pengaruh agen-agen ini sangat besar.
Sosialisasi meliputi proses mengetahui dan memahami nilai sosial dan tindakan sosial yang berkaitan dengan kebudayaan di dalam masyarakat. Selain itu, sosialiasi juga merupakan proses memperoleh pengetahuan dan berbagai keterampilan yang berkaitan dengan kebudayaan. Dalam sosialisasi, terdapat lembaga sosial yang menerapkan suatu sistem norma sosial. Melalui sosialisasi, kepribadian manusia akan terbentuk dalam individu sejak masa kanak-kanak. Sosialisasi menyerupai pendidikan pada beberapa aspek dan berbeda pada aspek lainnya. Sosialisasi merupakan bentuk proses belajar, tetapi tidak menyeluruh dan tidak terencana. Kesamaan antara sosialisasi dan pendidikan adalah pada kesamaan tujuan yang diharapkan oleh masyarakat dapat terwujud, sehingga sosialisasi merupakan lembaga pendidikan di luar lingkungan keluarga.[18] Sosialisasi melibatkan proses individu dalam mengenali dan menanggapi suatu identitas kebudayaan tertentu. Sifat biologis pada individu diubah ke dalam suatu bentuk kebudayaan tertentu, sehingga terjadi pengendalian diri yang rumit. Dampak yang ditimbulkan ialah timbulnya kesadaran moral, kognitif, dan afektif pada individu yeng sesuai dengan tuntutan masyarakat terhadap peran sosial individu.[19]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.