Jawa Pos

Surat kabar nasional harian Indonesia Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas

Jawa Pos

Jawa Pos adalah surat kabar harian yang berpusat di Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Jawa Pos merupakan salah satu perusahaan media tertua di Jawa Timur yang masih beroperasi, dan merupakan surat kabar dengan oplah terbesar di Indonesia dengan sirkulasi rata-rata mencapai 842.000 per hari menurut Nielsen Consumer & Media View (CMV).[3]

Fakta Singkat Tipe, Format ...
Jawa Pos
Selalu Ada Yang Baru
Thumb
Thumb
Jawa Pos Edisi 1 Juli 2021
TipeSurat kabar harian nasional
FormatLembar lebar
PemilikJawa Pos Group
PendiriSuseno Tedjo
PenerbitPT Jawa Pos Koran
Pemimpin redaksiEko Priyono[1]
DidirikanSejak 1949 dengan nama "Java Post"[2]
BahasaIndonesia
PusatGraha Pena, Jalan Jenderal A. Yani No. 88, Kelurahan Ketintang, Kecamatan Gayungan, Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
Sirkulasi surat kabar842.000 (harian)[3]
Surat kabar saudariRadar Surabaya, Radar Jember, Radar Malang, Radar Bali, Radar Bromo, radar Bojonegoro, Radar Mojokerto, Radar Kediri, Radar Lawu, Radar Solo, Radar Madiun, Radar Banyuwangi, Radar Madura, Radar Semarang, Radar Kudus, Radar Jombang, Radar Jogja, Radar Tulungagung, Bali Express
Situs webwww.jawapos.com
Tutup

Surat Kabar Jawa Pos juga terbit dalam bentuk daring yang dikelola oleh PT Jawa Pos Grup Multimedia.[butuh rujukan] Selain itu, ada e-paper Jawa Pos yang berisi konten surat kabar harian Jawa Pos dalam bentuk teks, gambar, dan format koran.[butuh rujukan]

Sejarah

Ringkasan
Perspektif

Ide awal penerbitan harian ini datang dari Suseno Tedjo (The Chung Shen). Seluruh kegiatan operasional Java Post dilakukan di kawasan Kembang Jepun 166 Surabaya, yang sebelumnya merupakan gedung Bank Taiwan. Peresmian gedung Java Post dilakukan 26 Juni 1949. Kemunculan Java Post menjadi penting dalam perkembangan pers di Indonesia kala itu lantaran semakin memperkaya jumlah surat kabar di Indonesia yang terbit dalam suasana perang kemerdekaan.

Era Suseno Tedjo

The Chung Shen (Suseno Tedjo) adalah seorang pengusaha kelahiran Bangka. Dia awalnya bekerja sebagai akuntan di perusahaan New China di Suikerstraat 2 Surabaya (sekarang Jalan Gula). Pengalaman itu turut berperan membentuk kemampuan manajerial The Chung Shen yang teliti, cekatan, dan rapi. Namun, ketertarikan The Chung Shen terhadap dunia surat kabar bermula ketika bekerja di salah satu kantor bioskop di Surabaya. Tugasnya kala itu adalah menghubungi berbagai surat kabar guna memastikan iklan film yang dipasang kliennya dimuat tepat waktu. Perlahan tapi pasti, The Chung Shen mulai jatuh cinta pada dunia persuratkabaran dan merasa tertantang untuk memulai korannya. The Chung Shen sadar pekerjaannya itu tidak akan mudah.

Pada awal revolusi Indonesia, Surabaya sudah memiliki beberapa koran berbahasa Indonesia yang mumpuni dengan oplah cukup besar seperti Pewarta Soerabaia dan Trompet Masjarakat. Namun, The Chung Shen jeli melihat peluang yang ada. Dia melihat, sekalipun Surabaya memiliki populasi Tionghoa yang tergolong banyak, hanya ada satu koran Mandarin yang terbit di sana kala itu, yakni Tsing Kwang Daily Press (terbit 11 Januari 1946).

Memanfaatkan keterbatasan tersebut, The Chung Shen lantas mendirikan koran pertamanya yang diberi nama Chinese Daily News (Hua Chiao Hsin Wen, artinya Berita Tionghoa Hari Ini). The Chung Shen bertindak selaku direktur, sementara Chan Ping Hung menjabat pimpinan redaksi. Tidak butuh waktu lama bagi harian ini menuai kesuksesan. Pada 1948, Chinese Daily News sudah menjadi surat kabar berbahasa Tionghoa terbesar di Surabaya yang dibaca seluruh penutur bahasa tersebut di Jawa Timur.[4]

Berdirinya Jawa Pos

Tiga tahun berselang, The Chung Shen mengajak Goh Tjing Hok, mantan wartawan Sin Min (Semarang), dan Tan Boen Aan, seorang insinyur lulusan Technische Hoogeschool (sekarang ITB Bandung), untuk mendirikan Java Post. Goh menempati posisi pemimpin redaksi. Tan menjadi salah seorang wartawan andalan koran tersebut. Peresmian Java Post dilakukan pada 26 Juni 1949. Gedung Java Post di Kembang Jepun pun disulap menjadi lokasi resepsi yang mampu menampung ratusan tamu undangan.[5] Tercatat, sejumlah tamu kehormatan turut hadir dalam acara tersebut seperti A.M. van Liere (residen Surabaya), R.T. Djoewito (pimpinan sementara Parlemen Jawa Timur), Indrakoesoma (wali kota Surabaya), hingga berbagai wartawan dari seantero Jawa Timur. De Vrije Pers, salah satu koran Belanda terkemuka di Jawa Timur, menyebut Java Post sebagai aset berharga Jawa Timur.

”Bila Java Post mampu mempertahankan kualitasnya seperti Chinese Daily News, koran ini akan mampu bersaing dan bertahan lama di Surabaya,” tulis De Vrije Pers. Prediksi tersebut terbukti tepat. Java Post terbukti mampu berumur panjang. Malahan, pada 19 Februari 1954, Naamloze Vennotschap (N.V., perseroan terbatas), perusahaan penerbitan Java Post, resmi mengakuisisi seluruh aset De Vrije Pers setelah perusahaan penerbit ini mengalami kesulitan finansial. Di gedung De Vrije Pers di Kaliasin 52, dilakukan serah terima resmi dari J.A. Wormser selaku pemilik De Vrije Pers ke The Chung Shen. Nama De Vrije Pers digunakan hingga 1958, hingga kemudian diganti menjadi Indonesian Daily News yang bertahan hingga 1981.[5]

Memasuki era 1980-an, upaya Chung Shen mempertahankan bisnis media mulai mengalami kesulitan. Setelah Hua Chiao Hsin Wen ditutup pada 1960-an dan Indonesian Daily News tutup pada 1981, kondisi Jawa Pos (dahulu bernama Java Post) ikut menjadi payah, dengan hanya beroplah 6.800 eksemplar per hari. Jawa Pos kalah pamor dari surat kabar top lain Surabaya saat itu, Surabaya Post. Pada 1982, sirkulasi koran pagi itu cuma sekitar 10% dari tiras Surabaya Post. Anak-anak keluarga The, yang disekolahkan di Inggris, ternyata enggan balik ke Indonesia untuk melanjutkan usaha koran ini. Sementara Chung Shen dan istrinya Mega Endah The merasa makin dirongrong usia sehingga memutuskan menjual Jawa Pos agar ada yang meneruskan penerbitannya.[5][6]

Akuisisi oleh majalah Tempo

Chung Shen akhirnya memilih menjual Jawa Pos, dengan awalnya ada dua penawar yang berminat: koran Kompas Group dan majalah Tempo Group. Kompas mundur karena Jakob Oetama memiliki hubungan baik dengan pengelola Surabaya Post pada saat itu, sehingga Tempo akhirnya menjadi pembelinya. Pemilik Tempo Group, PT Grafiti Pers di bawah Eric Samola, kemudian menugaskan Dahlan Iskan, yang sebelumnya adalah kepala biro Tempo di Surabaya untuk memimpin Jawa Pos. Dahlan saat itu hanya diberi dana Rp 45 juta oleh manajemen Tempo Group, plus beberapa karyawan boyongan dari bironya di Surabaya seperti Slamet Oerip Prihadi, Oemiati, Dharma Dewangga (alm), dan Karni Ilyas.[5] Komposisi pemegang saham menjadi PT Grafiti Pers 40%, Eric Samola 20%, saham karyawan 20%, plus sisanya dikuasai manajemen Tempo yaitu Goenawan Mohammad (komut Jawa Pos), Fikri Jufri, Lukman Setiawan dan Harjoko Trisnadi sebesar masing-masing 5%.[7] Namun, pemegang saham yang ada lebih cenderung pasif dengan menyerahkan segala keputusan kepada Dahlan Iskan.[6]

Dahlan berperan besar dalam membangkitkan Jawa Pos yang hampir bangkrut. Para wartawan diminta aktif mengejar berita, maupun menganalisis berita-berita yang sudah terbit, untuk selanjutnya dilaporkan ke Dahlan. Gaya pemberitaan Jawa Pos dibuat runut dan sederhana. Dahlan secara khusus membidik para penggemar Persebaya Surabaya, klub sepak bola utama di Surabaya lewat program seperti kegiatan "Tret tet tet!". Hubungan Jawa Pos dengan Persebaya menjadi sangat erat, sampai-sampai Dahlan diangkat menjadi Ketua Umum Persebaya. Oplah Jawa Pos diperbesar dengan merekrut istri para jurnalisnya untuk menjadi agen koran ini, dan membidik pasar secara bertahap dari daerah-daerah di Jawa Timur hingga Jawa Tengah. Setelah kondisi Jawa Pos mulai stabil, Dahlan berusaha mereposisinya sebagai "koran nasional yang terbit dari Surabaya", sehingga mirip dengan segmen pembaca Kompas. Beberapa wartawannya dikirim untuk meliput langsung peristiwa internasional, seperti Revolusi EDSA tahun 1986 di Filipina. Dengan gaya baru ini, Jawa Pos yang waktu itu hampir mati dengan oplah 6.000 eksemplar, dalam waktu 5 tahun menjadi surat kabar dengan oplah 300.000 eksemplar.[5][6]

Ekspansi di bawah Dahlan Iskan

Tidak puas dengan Jawa Pos saja, Dahlan melebarkan sayapnya dengan mengakuisisi sejumlah koran lokal di sejumlah daerah, seperti Fajar (Ujung Pandang) dan Riau Pos (Pekanbaru). Dengan gaya yang sama, koran-koran lokal yang hampir mati tersebut, kemudian menggeliat kembali. Untuk memperkuat suplai kertas ke surat-surat kabar ini, didirikan perusahaan percetakan kertas PT Adiprima Suraprinta pada 1994 dan PT Temprina Media Grafika di Gresik pada 1996.[5] Percetakan dan surat kabar ini kemudian digabungkan dalam wadah Jawa Pos News Network (JPNN), salah satu jaringan surat kabar terbesar di Indonesia, di mana memiliki lebih dari 80 surat kabar, tabloid, dan majalah, serta 40 jaringan percetakan di Indonesia. Kemudian pada tahun 1997, Jawa Pos yang sebelumnya berada di Jl. Karah Agung 45, berpindah kantor ke Gedung Graha Pena, gedung berlantai 21 yang berada di Jl. Ahmad Yani 88 Surabaya.[8]

Pada tahun 2001, Jawa Pos berekspansi ke industri penyiaran dengan mendirikan stasiun televisi swasta regional JTV di Surabaya. Kemudian, pada tahun 2002, Jawa Pos Group membangun pabrik kertas koran yang kedua dengan kapasitas dua kali lebih besar dari pabrik yang pertama. Kini pabrik itu, PT Adiprima Suraprinta, mampu memproduksi kertas koran 450 ton/hari. Lokasi pabrik ini di Kabupaten Gresik, hanya 45 menit bermobil dari Surabaya. Di tahun 2002 ini pula dibangun Graha Pena di Jakarta. Dan, hingga saat ini bermunculan gedung-gedung Graha Pena di hampir semua wilayah di Indonesia. Memasuki tahun 2003, Jawa Pos Group merambah bisnis baru, yaitu bisnis pembangkit listrik. Proyek pertama adalah 1 x 25 MW di Kab. Gresik, yakni dekat pabrik kertas. Proyek yang kedua 2 x 25 MW, didirikan di Kaltim, bekerja sama dengan perusahaan daerah setempat.

Pada tahun 2008, Jawa Pos Group menambah stasiun televisi baru: Mahkamah Konstitusi Televisi (MKtv) yang berkantor di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta. Pada tahun 2009, Jawa Pos Group menambah data center baru: Fangbian Iskan Corporindo (FIC) yang berkantor di Gedung Graha Pena Surabaya. Kini, Jawa Pos hadir dengan stasiun televisi Jawa Pos TV dan acara utamanya Nusantara Kini yang di sebagian akhir acaranya mengundang Redaktur Harian Jawa Pos untuk memberikan informasi yang akan ditampilkan di Koran Jawa Pos.

Struktur kepemilikan

Mulanya, relasi antara Dahlan Iskan dan Jawa Pos lebih sekedar hubungan profesional. Hal ini dikarenakan Dahlan tidak memiliki saham sedikitpun di koran ini. Dahlan lebih memilih skema bonus dibandingkan memberikan saham secara langsung kepada karyawan karena lebih menarik. Namun, akhirnya keluarga Samola memberikan sahamnya kepada Dahlan, mulanya hanya sebesar 2,4%.[6] Belakangan saham Dahlan menjadi 10,2% (awalnya sempat 25,15% sebelum 2016), keluarga Samola 8,9%, PT Grafiti Pers 49,04%, dan sisanya pemegang saham lain.[9][7] Namun, skema kerja Dahlan juga dinilai kurang memerhatikan karyawannya, di saat produktivitas dan laba perusahaan meningkat. Misalnya, koran-koran anak Jawa Pos di sejumlah daerah sempat memiliki kebijakan merekrut hanya sarjana, namun gajinya dibayar seadanya. Ketika sudah mendapatkan untung, baru mereka akan diberikan bonus yang lumayan.[6] Dana alokasi gaji rupanya lebih digunakan Dahlan untuk berekspansi bisnis dengan membeli media-media lokal atau mendirikan yang baru.[4]

Upaya saling menarik untung pun terjadi pada pemegang saham yang lain. Seperti disampaikan dalam buku Konflik Jawa Pos, meskipun majalah Tempo dirintis banyak pihak, hanya Goenawan Mohamad dan Fikri Jufri yang menerima dividen dari Jawa Pos. Kekecewaan itu memicu sejumlah jurnalis lain yang sempat tergabung dalam Tempo keluar dengan mendirikan majalah Editor di tahun 1987 (dibredel pada tahun 1994). Buku tersebut juga menyebutkan bahwa meskipun kebijakan resmi perusahaan adalah mengalokasikan 20% sahamnya bagi karyawan (ESOP), Dahlan lebih memilih membagi-bagikan saham itu kepada orang-orang Tempo atau dirinya sendiri lewat proses rekayasa. Tidak jelas apakah saham itu sah "dititipkan" ke Dahlan, atau apakah legal menjual saham itu dengan biaya rendah kepada para pemilik dan pimpinan Jawa Pos.[7] Padahal alokasi saham itu merupakan amanah RUPS perusahaan di tahun 2001, yang mengamanatkan pembentukan Yayasan Karyawan Jawa Pos sebagai realisasinya. Kelak, setelah Dahlan terdepak dari Jawa Pos, sekumpulan mantan karyawannya yang tergabung dalam Konco Lawas Jawa Pos (COWAS-JP) menuding sang eks-dirut sudah menyelewengkan dana ESOP hingga Rp 2 triliun.[10][11]

Pecah kongsi Dahlan dan Tempo Group

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pemegang saham Jawa Pos pra-2017 didominasi oleh grup majalah Tempo dan Dahlan Iskan. Relasi Jawa Pos dan Tempo pun terbilang erat. Ketika majalah top itu dibredel pemerintah pada tahun 1994, Jawa Pos dan anak usahanya hadir sebagai wadah penampung eks-karyawan Tempo. Langkah Tempo mengakuisisi Jawa Pos untuk pengembangan bisnisnya ternyata tepat, bahkan surat kabar ini kemudian menjadi penyumbang dividen yang ikut menunjang pendanaan dan operasional majalah itu baik periode pra-bredel maupun setelah lahir kembali di tahun 1998.[10]

Namun, kondisi berubah ketika isu regenerasi mulai mengemuka. Mulanya, Dahlan menyatakan bahwa karyawan Jawa Pos tidak boleh membawa keluarganya ke perusahaan, namun entah kenapa dirinya kemudian melanggar sendiri komitmen itu dengan membawa putranya, Azrul Ananda di tahun 2000.[4] Azrul merintis karirnya dengan menjadi pengasuh rubrik-rubrik yang lebih segar dan berjiwa muda, dengan tujuan memperkuat citra Jawa Pos agar dapat dibaca secara tetap dari saat masih remaja. Jawa Pos kemudian juga ikut mensponsori klub basket, tur bersepeda tahunan Jawa Pos Cycling, hingga puncaknya mengakuisisi klub Persebaya seiring minat besar Azrul pada bidang olahraga.[12] Karirnya pun menanjak dengan cepat, dengan hanya dalam waktu lima tahun sudah menjadi pimpinan redaksi.[5]

Agresivitas Azrul rupanya tidak disukai oleh pengasuh lama yang masih memegang pakem jurnalistik tradisional. Salah satu cerita terjadi ketika pemimpin redaksi Jawa Pos Dhimam Abror berselisih dengan Azrul mengenai penempatan tulisan di bulan Ramadan. Tidak terima tulisannya tak dimuat di halaman pertama, pertengkaran pun pecah antara keduanya. Akhirnya, Abror yang justru didepak dari jabatannya sebagai PemRed. Cara kerja Azrul dan ayahnya pun terbilang berbeda. Latar belakang dirinya yang berasal dari bisnis dan pemasaran membuat Azrul kurang peduli akan ketajaman maupun kualitas pemberitaan Jawa Pos. Para partner JPNN di berbagai daerah ikut terkesan kurang dipedulikan oleh Azrul.[5] Azrul juga nampak lebih mendelegasikan operasional grup maupun surat kabar kepada Eddy Nugroho, Leak Kustiya dan Ratna Dewi Wonoatmodjo (orang kepercayaan Dahlan), sedangkan dirinya asyik bersepeda dengan teman-temannya di luar negeri, jika dibandingkan Dahlan yang bekerja keras hingga tidur di kantor Jawa Pos.[13]

Kinerja Jawa Pos pun mulai menurun pada awal 2010-an. Grup media ini gagal memperkuat sayapnya di bidang digital sehingga kalah saing dengan situs berita lain, di saat minat masyarakat akan media cetak mulai menurun.[5] Sementara itu, Dahlan kemudian cenderung menjadikan Jawa Pos dan anak usahanya layaknya media milik sendiri.[11] Azrul sendiri didapuk sebagai Direktur Utama PT Jawa Pos Koran di tahun 2011.[5] Sedangkan orang-orang kepercayaan Dahlan seperti Nany Wijaya, Zainal Muttaqien dan Ratna Dewi Wonoatmodjo ditempatkan di kursi-kursi strategis. Puncaknya adalah ketika Azrul mengangkat Leak Kustiya, seorang desainer grafis menjadi PimRed Jawa Pos. Langkah "gila" Dahlan tersebut memicu protes dari 25 redaktur surat kabar ini.[11] Pemberitaan Jawa Pos pun berpihak sepenuhnya pada Dahlan, terlihat saat dirinya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi PT Panca Wira Usaha di bulan Oktober 2016. Menurut pengamatan tirto.id, topik mengenai penangkapan Dahlan masuk di halaman utama koran-koran JPNN, saat surat kabar lain tidak begitu menganggapnya penting.[14]

Relasi antara Dahlan dan eks-seniornya di majalah Tempo pun ikut merenggang. Mulanya, Goenawan Mohamad (GM) sebagai tokoh utama di Tempo terkesan membela Dahlan karena keberhasilannya membesarkan Jawa Pos dari koran sekarat menjadi "angsa bertelur emas" milik Tempo.[11] Namun, ketika melihat Dahlan memboyong Azrul, Goenawan akhirnya juga ikut mengingkari niatnya sendiri tidak memasukkan keluarga dalam bisnis media. Walaupun bisa dikatakan langkahnya lebih ekstrim dibanding para pengelola Grup Jawa Pos lainnya. Meskipun memasukkan putranya ke Jawa Pos, Dahlan masih berprinsip bahwa mereka harus merintis karirnya dari bawah dahulu. Putra Eric Samola, Maesa Samola juga mengalami nasib serupa, dimana dirinya ikut bergabung dalam produksi acara JTV sebelum saat ini duduk sebagai direktur jaringan televisi tersebut.[11] Sedangkan GM langsung meminta agar Hidayat Jati, putranya, langsung duduk menjadi direktur utama Jawa Pos. Ada kesan bahwa pemegang saham dari Tempo khawatir, di masa depan Azrul yang bukan "orang Tempo" juga, dapat membuat mereka kehilangan kendali atas surat kabar ini.[10][11][5] Seperti dituturkan oleh Dhimam Abror, nepotisme Dahlan itulah yang akhirnya berbuah petaka bagi dirinya sendiri maupun Grup Jawa Pos ke depannya.[13]

Tersingkirnya Dahlan dari Jawa Pos

Konflik antar pemegang dan pengurus koran ini pun mencuat pada tahun 2016-2017. Kala itu, kubu GM-Tempo melihat bahwa dari tahun 2013 hingga 2017, pendapatan surat kabar ini terus menurun dari Rp 686,56 miliar menjadi Rp 345,57 miliar,[5] meskipun oplah Jawa Pos masih cukup stabil di angka 880.000-986.000. Kinerja surat kabar daerahnya pun juga mulai merosot, seperti yang terjadi di Riau Pos. Mendapat desakan dari pemegang saham, Dahlan mulai menjalankan pembenahan, termasuk menerapkan strategi bisnis yang dinamakannya Blue Ocean. Toh upaya ini tidak mendapatkan respon positif dari kubu GM-Tempo. Menurut kubu Dahlan, karena pimpinan perusahaan bekerja secara kolektif, tidak seharusnya penurunan itu disalahkan seluruhnya kepada Azrul.[9][11]

Akhirnya, ketegangan itu mencapai puncaknya pada RUPS Jawa Pos di bulan Juni 2017 dan 24 November 2017. Dalam RUPS pertama, GM langsung menyorongkan Hidayat Jati untuk ditunjuk sebagai direktur utama Jawa Pos menggantikan Leak Kustiya yang sudah disepakati sebelumnya. Usulan ini ditolak oleh kubu Dahlan (10,20% saham) dan kubu Eric Samola (8,9%), sehingga perwakilan kubu GM-Tempo (Yohannes Henky Wijaya) mengancam akan mengadakan pemungutan suara agar diketahui siapa pemenangnya. Tahu mereka akan kalah suara, kubu Dahlan-Samola lebih memilih menerima pengangkatan tersebut, dimana akhirnya Jati hanya masuk ke jajaran direksi.[10][5] Jati menggantikan posisi Nany Wijaya, orang kepercayaan Dahlan.[11] Azrul Ananda, putra Dahlan, kemudian mengundurkan diri dari dirut Jawa Pos di tanggal 14 November 2017, diduga akibat ketidaksetujuan masuknya Hidayat dalam direksi perusahaan. 10 hari kemudian, dalam RUPS lain Jawa Pos, pengunduran diri Azrul resmi disetujui. Dalam rapat itu kubu GM-Tempo juga menolak mentah-mentah upaya Dahlan menjalankan strategi bisnis barunya. Sebagai gantinya, Dahlan ditawari kursi komisaris. Malahan, dalam RUPS LB JP Holding di bulan Juli 2018, Dahlan diminta mengundurkan diri dari semua posisinya di Jawa Pos Group.[9]

Meskipun demikian, isu tentang dipaksanya Dahlan mengundurkan diri justru dibantah kubu GM-Tempo. Ketika dikonfirmasi pada Januari 2022, GM menyebut bahwa dirinya masih mengharapkan Dahlan ada di Grup Jawa Pos. Bahkan dirinya mengaku bahwa ketika Dahlan tersangkut kasus korupsi pada 2016, ia menulis surat ke Presiden Joko Widodo untuk meringankan jeratan hukum anak buahnya tersebut. Rekan GM, Harjoko Trisnadi, menyebut bahwa Dahlan yang justru mengundurkan diri karena tidak merasa mampu mengurus Jawa Pos dan anak usahanya. Konflik menurutnya terjadi lebih karena ketidaksepahaman antara putra GM dan Dahlan semata. Namun, Dahlan sudah menolak secara tersirat keinginan GM dan Harjoko agar dirinya bergabung ke Jawa Pos kembali, meskipun diminta berkali-kali seperti dalam buku Harjoko Trisnadi: Dari Jurnalis Mengelola Bisnis.[9] Bagi beberapa eks-karyawan Jawa Pos, aksi kelompok Tempo menyingkirkan Dahlan dinilai tidak etis dan bentuk kurang berterima kasihnya mereka kepada bekas anak buahnya itu.[11]

Terdepaknya Dahlan dari grup yang dirintisnya itu diduga berkaitan dengan upayanya masuk ke kancah politik nasional, dimulai dari menjadi Direktur Utama PLN maupun Menteri BUMN di era Susilo Bambang Yudhoyono, hingga ikut dalam konvensi capres Partai Demokrat di tahun 2014. Nyatanya, kejatuhan Partai Demokrat dalam Pileg 2014, ikut mengubur mimpi Dahlan menjadi calon presiden. Dahlan kemudian justru tersangkut berbagai masalah, termasuk penyakit liver yang dideritanya maupun skandal korupsi. Di tengah ambisi politiknya itu, Dahlan memilih menyerahkan segala keputusan akan Jawa Pos kepada Azrul Ananda. Kepemimpinan Azrul yang tidak disukai beberapa kalangan, tidak disadari oleh Dahlan sendiri. Begitu juga adanya musuh dalam selimut yang tidak menyukai kiprah ayah dan anak itu dalam Jawa Pos.[9]

Hal yang sama ikut terjadi pada para "Brutus" yang sebelumnya adalah orang-orang kepercayaannya. Seperti misalnya Ratna Dewi Wonoatmodjo, yang pernah menjadi direktur keuangan berkat bantuan Dahlan, dianggap berperan meruntuhkan kepercayaan kubu Tempo pada Dahlan. Ratna disebutkan menyodorkan dokumen yang mengungkit bahwa Dahlan sudah menyelewengkan dana perusahaan untuk mengakuisisi Persebaya Surabaya, membuat Deteksi Basketball League (DBL), dan pembangunan PLTU Tenggarong dengan total Rp 1 triliun. Hal tersebut kemudian dilaporkannya kepada GM maupun Ir. Ciputra sebagai pemodal awal Tempo. Sedangkan Leak Kustiya yang menjadi PimRed berkat bantuan Dahlan, justru menandatangani surat penagihan hutang-hutang tersebut kepada Dahlan.[11] Akibat klaim hutang besar tersebut, meskipun masih tercatat sebagai salah satu pemegang saham, Dahlan tidak lagi menerima dividen dari Jawa Pos yang dianggap sebagai ganti rugi hutangnya (menurut versi resmi pihak GM-Tempo, dividen ini "ditahan"). Sebagai ganti "pengkhianatan" tersebut, Ratna Dewi diangkat menjadi dirut JP Holding di RUPS 2018 menggantikan Dahlan.[10] Klaim soal hutang besar itu dibantah oleh kubu Dahlan, yang menyebut bahwa hutang tersebut lebih bersifat spekulasi saja dan dananya diambil dari dividen sahamnya sendiri.[11]

Setelah Dahlan dan Azrul tersingkir, dirinya berniat untuk melepas sisa sahamnya kepada pihak lain. Diketahui Dahlan sempat menawarkan 10,20% saham di Jawa Pos kepada dua konglomerat, yaitu Ir. Ciputra (juga perintis Tempo) dan Dato Sri Tahir. Menurut beberapa sumber, bekas orang kepercayaan Dahlan yang kini "membelot" ke kubu GM-Tempo, Ratna Dewi, sengaja membocorkan isu hutang Dahlan kepada Tahir agar sang konglomerat batal membeli saham tersebut.[11] Akhirnya, Dahlan pun gagal menjual sisa sahamnya yang sebenarnya sudah tidak menghasilkan keuntungan apapun baginya. Namun, isu menghalang-halangi penjualan ini dibantah oleh Harjoko Trisnadi.[10] Belakangan saham Dahlan sudah menjadi 4% saja setelah PLTU Tenggarong 85% sahamnya menjadi milik Dahlan.[12]

Konflik Dahlan dan Jawa Pos ikut berakibat ke pemberitaan koran ini kepada klub Persebaya Surabaya. Setelah diakuisisi oleh Jawa Pos Group di tahun 2017, mulanya relasi keduanya yang sudah spesial, menjadi lebih istimewa lagi. Pemberitaan Persebaya mendapatkan coverage satu halaman penuh di Jawa Pos, begitu juga kantor pusatnya juga ada di Graha Pena. Setelah Azrul mengundurkan diri dari Jawa Pos, Persebaya pun pindah kantor ke Surabaya Town Square.[15] Dengan alot, Jawa Pos Group melepaskan merek DBL dan klub Persebaya dengan harga Rp 28 miliar, meskipun sebelumnya sudah dijanjikan hanya Rp 16,5 miliar ke keluarga Dahlan Iskan.[16] Setelah pelepasan itu, Persebaya berubah menjadi sasaran tembak Jawa Pos. Seakan berubah 180 derajat, Jawa Pos pun mengkritik habis-habisan manajemen Persebaya yang dipimpin bekas redakturnya, Azrul Ananda. Untuk meresponnya, Persebaya pun menggandeng harian lain, Surya sebagai partnernya. Bahkan, pada 6 Januari 2019, Jawa Pos mengangkat pemberitaan yang menyudutkan Persebaya, dimana klub itu dituduh ikut dalam skema match-fixing dalam pertandingan melawan Kalteng Putra di Liga 2, 12 Oktober 2017. Akibatnya, Persebaya sempat melaporkan Jawa Pos ke polisi dan Dewan Pers atas tuduhan pencemaran nama baik.[16]

Pecahnya kerajaan media Jawa Pos Group

Mengutip data Media and Concentration in Indonesia, Jawa Pos Group pada 2012 menaungi 141 media surat kabar, 12 televisi, 1 radio, 2 majalah, 11 tabloid, 1 media daring, dan masih banyak lagi. Belum lagi ekspansi besar-besaran di bawah Dahlan membuatnya memiliki bisnis real estat, penyiaran televisi, maupun bisnis-bisnis lainnya. Diperkirakan dividen yang diraih pemegang saham Jawa Pos dari bisnis besar ini mencapai miliaran rupiah per tahun.[4] Strategi bisnis Dahlan, terutama dalam media cetak adalah spesialisasi bisnis media pada daerah masing-masing. Dahlan sangat percaya pada media yang bersifat kelokalan, bukan sentralisasi seperti yang banyak dipraktikkan raksasa media lainnya dengan Jawasentris dan Jakartasentris-nya. Karena tidak selalu disetujui pemegang saham Jawa Pos, modalnya tidak banyak sehingga ada beberapa cara yang ditempuh. Salah satu caranya adalah akuisisi sebagian saham surat kabar lokal yang sekarat, dengan menyisakan pemegang saham lokal yang signifikan. Contohnya dalam Riau Pos, pemegang sahamnya terdiri dari Jawa Pos 55%, PT Gading Cempaka Utama (pemegang saham lokal) 25%, Eric Samola 6%, dan PT Riau Multikarya (perusahaan bentukan karyawan) 14%. Dahlan juga banyak mengandalkan kepemilikan saham atas nama pribadi, bukannya Jawa Pos secara langsung.[17]

Ketika Dahlan akhirnya keluar dari Jawa Pos Group, rekan-rekan Dahlan yang memegang saham di koran-koran/media lokal maupun media yang sahamnya tidak dikuasai grup ini secara langsung, banyak yang melepaskan diri. Kondisi ini diistilahkan eks-PimRed Jawa Pos Dhimam Abror sebagai "balkanisasi" Grup Jawa Pos. Beberapa jaringan media yang lepas, seperti Sumatera Ekspres Group yang membawahi 20 surat kabar di Sumatra; Radar Lampung Group (13 media koran); Rakyat Bengkulu Group (14 surat kabar); dan Fajar Indonesia Network (FIN) di Makassar. Dahlan mengandalkan teman-temannya untuk mengelola surat kabar eks-Jawa Pos Group tersebut, seperti Alwi Hamu di Sumatera Ekspres dan Fajar. Media lain yang lepas adalah JPNN.com, situs berita yang dahulu didirikan untuk mengumpulkan berita-berita dari koran-koran Jawa Pos di seluruh Indonesia. Situs ini kini berdiri di bawah PT Jaringan Pemberitaan Nusantara Negeriku yang dinahkodai Auri Jaya, eks-jurnalis Jawa Pos. Sementara itu, induk media Jawa Pos, JPNN (Jawa Pos National Network) juga pecah menjadi dua: PT Jawapos Jaringan Media Nusantara (JPMN) milik Jawa Pos dan PT JPNN yang tetap dimiliki Dahlan.[17] Media-media eks-Jawa Pos Group yang kini di bawah Dahlan dikenal dengan nama Disway Media Network, yang kini mencapai 77 media. Ada sekitar 50 media eks-Jawa Pos yang saat ini bergabung ke Disway, dengan alasan membutuhkan tokoh yang berpengaruh sebagai pimpinan mereka plus tulisannya dapat dijual.[12]

Keluarnya Dahlan juga menjadi masalah bagi Jawa Pos. Citra Dahlan yang identik dengan koran ini membuat susahnya Grup Jawa Pos untuk bergerak, terlihat dari penurunan omset iklan, oplah dan lainnya. Dikuasai penuh oleh grup Tempo pun tidak membuat Jawa Pos lebih baik. Manajemen di bawah Leak Kustiya dan Eddy Nugroho oleh COWAS-JP dinilai antikritik dengan menyingkirkan karyawan yang tidak sesuai kepentingan perusahaan, ditambah penghematan besar-besaran yang terus dilakukan.[16]

Wilayah Edar

Ringkasan
Perspektif

Sirkulasi Jawa Pos menyebar hingga ke seluruh provinsi Jawa Timur, Bali, dan sebagian Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Jawa Pos terbit dalam beberapa edisi.

Jawa Pos edisi Surabaya

Jawa Pos edisi Surabaya beredar di daerah Kota Surabaya dan sekitarnya (Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Gresik), terbit dengan tiga seksi utama:

  • Jawa Pos (utama), berisi berita-berita utama, politik, ekonomi/bisnis, Jawa Timur, nasional, internasional, dan rubrik-rubrik tematik lainnya.
  • Metropolis, berisi berita Kota Surabaya dan sekitarnya (Sidoarjo dan Gresik), dan rubrik-rubrik "ringan" lainnya serta rubrik mingguan.
  • Sportainment, berisi berita-berita olahraga, terutama ulasan mengenai sepak bola dan balap (Formula 1, MotoGP), Zetizen (halaman untuk remaja, salah satunya berisi polling harian), Jawa Pos For Her dan di sini juga terdapat iklan baris yang disebut Iklan Jitu.
  • Zetizen Indonesia (sebelumnya bernama DetEksi), berisi berita tentang kehidupan remaja, mulai dari otomotif, style, techno, hingga anime. terdiri dari 3 halaman yang disisipkan pada bagian Metropolis. Hingga kini Zetizen Jawa Pos aktif mengadakan event seperti Developmental Basketball League dan Zetizen Convention. Halaman ini kini telah menjadi bacaan wajib bagi remaja di Surabaya. Seksi ini semua crew-nya masih berstatus mahasiswa, mulai dari reporter, editor, hingga fotografer.
  • Jawa Pos For Her, berisi berita tentang hiburan, kesehatan, teknologi, kehidupan dan gaya hidup wanita.

Jawa Pos edisi luar Surabaya

Kawasan Jawa Timur dan Bali

Hal yang membedakan Jawa Pos edisi Surabaya dan luar Surabaya adalah seksi "Metropolis" diganti dengan seksi yang lebih regional, dengan sebutan "Radar". Seksi "Radar" berisi konten berita lokal yang lebih banyak. Rubrik-rubrik Metropolis (seperti di Jawa Pos edisi Surabaya) sebagian masih dipertahankan. Seksi Jawa Pos utama dan Seksi Olahraga sama persis dengan edisi Surabaya.

Saat ini Jawa Pos memiliki 15 "Radar", yang masing-masing memiliki redaksi sendiri di kotanya yakni:

Redaksi "Radar"-"Radar" ini berada di sejumlah kota. Isi berita "Radar" bersifat lokal, dan memuat iklan yang juga bersifat lokal, serta seksi Olahraga lokal.

Kawasan Jawa Tengah dan DIY

Jawa Pos edisi Jawa Tengah/DIY sedikit berbeda dengan edisi Jawa Timur. Meski berita utama (headline) dan sebagian besar isi beritanya adalah sama, Jawa Pos edisi Jawa Tengah/DIY berisi rubrik tambahan yang bersifat lokal (seperti rubrik Ekonomi Bisnis, Jawa Tengah), serta tidak termasuk iklan baris (yang mana hanya beredar di Jawa Timur).

Jawa Pos di Jawa Tengah dan DIY juga terdiri atas sejumlah "Radar", yakni:

Dari sisi manajemen, Radar-Radar yang ada ini dikelola secara otonom. Rekrutmen karyawan dan wartawan dilakukan sendiri oleh masing-masing manajemen Radar.

Penghargaan

  • 1996. World Press Photo of the Year 1996 (photo by Sholihuddin)[18]
  • 2005. Cakram Newspaper tahun ini sebagai media terprestisius di masa itu[19]
  • 2009. Jawa Pos menerima Indonesia Best Brand Award
  • 2010. Jawa Pos menjadi surat kabar pertama yang menerima SUPERBRANDS Award[20]
  • 2010. Jawa Pos menerima Greatest Brand of The Decade bagian dari Marketeers Award[19]
  • 2011. Pada Oktober 2011, Jawa Pos dikukuhkan sebagai koran anak muda dunia dengan predikat Newspaper of The Year oleh World Young Reader Prize 2011. Penghargaan ini diterima oleh Azrul Ananda, Pemimpin Redaksi Jawa Pos, di Wina pada 12 Oktober 2011.[21]
  • 2011. Jawa Pos meraih penghargaan Most Favorite Woman Brand. Sejak Desember 2010, Jawa Pos mendedikasikan 3 halaman penuh untuk perempuan, dari kesehatan hingga fashion, makanan hingga kecantikan, dari relationship hingga parenting[22]
  • 2012. Best in Front Page Design in Asia Media Awards 2012 dari asosiasi surat kabar sedunia (WAN IFRA)[23]
  • 2013. Best in Front Page Design in Asia Media Awards 2013 dari asosiasi surat kabar sedunia (WAN IFRA)[24]
  • 2014. Best News Photography in Asian Media Awards 2014 (Photo by Dipta Wahyu) dari asosiasi surat kabar sedunia (WAN IFRA)[25]
  • 2015. Roy Morgan Reseaarch menganugerahi Jawa pos sebagai Newspaper of The Year Indonesia 2014, pada Maret 2015. Berdasar survey di seluruh Indonesia Jawa Pos mempunyai readership dan loyal pembaca terbesar di Indonesia[26]
  • 2016. Best in Sports Photography in Asian Media Awards 2016 (Photo by Wahyudin) dari asosiasi surat kabar sedunia (WAN IFRA)[27]

Program Jawa Pos

Pemimpin Redaksi

  • Dahlan Iskan (1984-1993)
  • Margiono (1993-1995)
  • Solihin Hidajat (1995-2000)
  • Dhimam Abror (2000-2002)
  • Arif Affandi (2002-2005)
  • Azrul Ananda (2005-2006)
  • R. Budijanto (2006-2009)
  • Leak Kustiyo (2009-2014)
  • Nurwahid (2014-2018)
  • Abdur Rokhim (2018-2019)
  • Ibnu Yunianto (2019-2024)
  • Eko Priyono (2024-sekarang)

Kerja sama

Lihat pula

Referensi

Pranala luar

Loading related searches...

Wikiwand - on

Seamless Wikipedia browsing. On steroids.