![cover image](https://wikiwandv2-19431.kxcdn.com/_next/image?url=https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/0/09/Star_and_Crescent.svg/langid-640px-Star_and_Crescent.svg.png&w=640&q=50)
Penyebaran Salafi dan Wahabi internasional
From Wikipedia, the free encyclopedia
Menyusul embargo oleh pengekspor minyak Arab selama Perang Arab-Israel pada Oktober 1973 dan peningkatan besar dalam pendapatan ekspor minyak bumi setelahnya,[1][2][3] dimulai pada pertengahan tahun 1970-an dan 1980-an (dan tampaknya berkurang setelah tahun 2017),[4], penyebaran Salafi dan Wahabi internasional dalam kalangan Islam Suni[5] didukung oleh kerajaan pengekspor minyak konservatif Arab Saudi[1][6][7] dan monarki Teluk yang lain mencapai "kedudukan kekuatan yang unggul dalam ekspresi global Islam."[8] Penafsiran Islam Saudi bukan hanya mencakup "Salafiah" (sering dirujuk oleh orang luar sebagai "Wahabiah")[1], melainkan juga Islam islamis atau revivalis (kebangkitan kembali),[9] dan "campuran"[10][11] dari dua penafsiran tersebut (hingga tahun 1990-an).
Bagian dari seri tentang: Islamisme |
---|
![]() |
Ideologi |
Konsep |
Pengaruh
|
Gerakan Mazhab
Politik
Militan
|
Teks utama |
Kepala negara |
Ideolog utama
|
|
![]() |
Bagian dari seri tentang |
Islam Sunni |
---|
![]() |
|
|
![]() |
Dorongan bagi penyebaran internasional penafsiran Islam ini ke seluruh dunia Islam, menurut ilmuwan politik Alex Alexiev adalah "kampanye propaganda terbesar di seluruh dunia yang pernah dilakukan",[Catatan 1][12] David A. Kaplan menggambarkannya sebagai "mengerdilkan upaya propaganda Soviet di puncak Perang Dingin"[Catatan 2][12] yang didanai oleh ekspor minyak bumi.[1][2][3] Di sisi lain, pakar seperti Peter Mandaville telah memberi peringatan terhadap pernyataan hiperbolis semacam itu dengan menunjukkan ketidakandalan perkiraan data yang tidak konsisten berdasarkan "desas-desus yang tidak spesifik".[13]
Dari tahun 1982 hingga 2005 (masa pemerintahan Raja Fahd dari Arab Saudi), lebih dari $75 miliar diperkirakan telah dihabiskan dalam upaya menyebarkan Islam Salafiah. Uang tersebut digunakan untuk mendirikan 200 perguruan tinggi Islam, 210 pusat Islam, 1500 masjid, dan 2000 sekolah untuk anak-anak Islam di negara mayoritas Islam dan bukan Islam.[14][15] Sekolah-sekolah tersebut berpandangan "fundamentalis" dan membentuk jaringan "dari Sudan hingga Pakistan Utara".[16][17] Menjelang tahun 2000, Arab Saudi juga telah menyalurkan 138 juta naskah Al-Quran ke seluruh dunia. [18]
Pada tahun 1980-an, atase agama di kira-kira 70 kedutaan besar Kerajaan di seluruh dunia berupaya untuk "membangun masjid-masjid baru di negara mereka dan membujuk masjid-masjid yang ada untuk menyebarkan dakwah Salafiah".[1][19]
Pemerintah Arab Saudi mendanai sejumlah organisasi internasional untuk menyebarkan Islam fundamentalis, termasuk Liga Dunia Islam, Majelis Pemuda Islam Dunia, Organisasi Bantuan Islam Internasional, dan berbagai badan amal kerajaan.[Catatan 3] Mendukung tabsyir atau dakwah Islam telah disebut sebagai "persyaratan agama" bagi penguasa Saudi yang tidak dapat ditinggalkan "tanpa kehilangan legitimasi dalam negeri mereka" sebagai pelindung dan penyebar Islam.[20]
Menurut wartawan Scott Shane, "ketika para imam Saudi tiba di negara-negara Islam di Asia atau Afrika atau dalam perguyuban Islam di Benua Eropa atau Amerika, mengenakan jubah tradisional Arab, bertutur bahasa Al-Quran — dan membawa buku cek yang banyak — mereka mempunyai ketepercayaan dengan sendirinya."[21]
Selain penafsiran Islam Salafi, penafsiran Islam Suni lain yang ketat dan konservatif yang secara langsung atau tidak langsung dibantu oleh dana dari Arab Saudi dan negara-negara Arab di Teluk Persia termasuk yang dilakukan oleh organisasi-organisasi islamis seperti Ikhwanulmuslimin dan Jamaat-e-Islami. Salafi dan bentuk-bentuk islamisme dikatakan telah membentuk "usaha patungan",[9] sama-sama mempunyai "kebencian" yang kuat terhadap pengaruh Barat,[22] keyakinan akan penerapan ketat perintah dan larangan hukum syariat,[2] perlawanan terhadap Syiah dan amalan agama Islam yang populer (kultus para wali),[9] dan keyakinan akan pentingnya jihad bersenjata.[11]
Belakangan kedua gerakan tersebut dikatakan telah "melebur"[10] atau membentuk "campuran", khususnya sebagai akibat dari jihad Afganistan pada tahun 1980-an melawan Uni Soviet,[11] dan mengakibatkan pelatihan dan pembekalan beribu-ribu umat Islam untuk berperang melawan Soviet dan sekutu Afganistan mereka di Afganistan pada tahun 1980-an.[11] (Persekutuan ini tidak bersifat permanen dan Ikhwanulmuslimin dan Usamah bin Ladin memutuskan hubungan dengan Arab Saudi selama Perang Teluk. Kelompok-kelompok revivalis (kebangkitan kembali) juga berselisih paham di antara mereka sendiri -- contohnya, kelompok Salafi Jihadi yang berbeda pendapat dengan Ikhwanulmuslimin yang tidak terlalu ekstrem.[23])
Pendanaan tersebut dikritik karena mendorong bentuk Islam yang tidak toleran dan fanatik yang diduga membantu melahirkan radikalisme, terorisme Islam,[20][24] dan takfir. Para pengkritik berpendapat bahwa para sukarelawan yang dikerahkan untuk berperang di Afganistan (seperti Usamah bin Ladin) yang "bersukacita" atas keberhasilan mereka melawan negara adidaya Soviet, terus melakukan jihad melawan pemerintah Islam dan warga sipil di negara lain[25] dan kelompok Suni konservatif seperti Taliban di Afganistan dan Pakistan menyerang dan membunuh bukan hanya kelompok bukan Islam (kafir), melainkan juga sesama muslim yang mereka anggap murtad, seperti kaum Syiah dan Sufi.[26] Per tahun 2017, perubahan kebijakan agama di Saudi telah menyebabkan beberapa pihak berpendapat bahwa "kaum islamis di seluruh dunia harus mengikuti langkah tersebut atau berisiko untuk terjerumus ke sisi ortodoksi yang salah".[4]