Loading AI tools
gerakan Islam bercabang dari Sunni Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Wahhabisme (bahasa Arab: ٱلْوَهَّابِيَةُ, translit. al-Wahhābiyyah) atau Wahabi[lower-alpha 1] adalah sebuah gerakan reformis di dalam Islam Sunni, berdasarkan ajaran dari ulama Hambali pada abad ke-18, Muhammad bin Abdul Wahhab (ca 1703–1792)[1][2][3][4][5][6][7] Istilah "Wahabisme" pada dasarnya adalah eksonim; istilah ini tidak digunakan oleh Ibnu Abdul Wahhab sendiri atau penganut gerakan tersebut, yang biasanya lebih suka disebut sebagai "Salafi" (istilah Salafi juga digunakan oleh pengikut gerakan reformasi Islam lainnya).[lower-alpha 2]
Penyuntingan Artikel oleh pengguna baru atau anonim untuk saat ini tidak diizinkan. Lihat kebijakan pelindungan dan log pelindungan untuk informasi selengkapnya. Jika Anda tidak dapat menyunting Artikel ini dan Anda ingin melakukannya, Anda dapat memohon permintaan penyuntingan, diskusikan perubahan yang ingin dilakukan di halaman pembicaraan, memohon untuk melepaskan pelindungan, masuk, atau buatlah sebuah akun. |
Gerakan reformasi ini didirikan di Arab tengah dan kemudian di Arab Barat Daya,[18][19][20][21] dan diikuti terutama di Arab Saudi dan Qatar. Gerakan ini menentang ritual yang berkaitan dengan pemujaan orang suci Muslim (wali) dan ziarah ke makam dan tempat suci mereka, yang tersebar luas di antara orang-orang Najd. Ibnu Abdul Wahhab dan para pengikutnya terinspirasi oleh ulama Hanbali abad ke-13 yang berpengaruh, Ibnu Taimiyah[22][23][24] (1263–1328 M/661–728 H) yang menyerukan untuk kembali ke kemurnian tiga generasi pertama (Salafusshalih) untuk menyingkirkan umat Islam dari perkara-perkara yang tidak autentik (bidʻah), dan menganggap karya-karyanya sebagai inti referensi ilmiah dalam teologi. Meski dipengaruhi oleh doktrin mazhab Hambali, gerakan tersebut menolak taklid kepada otoritas hukum (mazhab), termasuk ulama yang sering dikutip seperti Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim (d. 1350 C.E/ 751 A.H).[25]
Wahhabisme telah banyak digambarkan sebagai gerakan "ortodoks", "puritan(istik)", "revolusioner",[26][27][28] serta merupakan "gerakan reformasi" Islam untuk memurnikan "ibadah monoteistik murni" oleh para penganutnya. Secara sosial-politik, gerakan tersebut merupakan protes besar pertama yang dipimpin oleh Arab terhadap Turki, Kekaisaran Persia, dan bangsa asing yang mendominasi Dunia Muslim sejak Invasi Mongol dan jatuhnya Kekhalifahan Abbasiyah pada abad ke-13; dan kemudian berfungsi sebagai dorongan revolusioner untuk pan-Arabisme abad ke-19.[29][30] Pada 1744, Ibnu ʿAbdul Wahhab membentuk pakta dengan pemimpin lokal, Muhammad bin Saud; yang menghasilkan aliansi politik-agama yang berlanjut selama 150 tahun berikutnya, yang puncak politisnya adalah proklamasi berdirinya Kerajaan Arab Saudi pada tahun 1932. Akhirnya, gerakan tersebut muncul sebagai salah satu tren reformasi antikolonial abad ke-18 yang paling berpengaruh yang menyebar ke seluruh Dunia Muslim; menganjurkan untuk kembali ke nilai-nilai Islam yang murni berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah untuk membangkitkan kembali kekuatan sosial dan politik Muslim; dan tema-tema revolusionernya mempengaruhi banyak kebangkitan Islamis, cendekiawan, ideolog, dan aktivis pan-Islamisme dan anti-kolonial hingga Afrika Barat.[31][32]
Selama lebih dari dua abad hingga saat ini, ajaran Ibnu Abdul Wahhab diperjuangkan sebagai bentuk resmi Islam dan kredo dominan di tiga Negara Saudi. Pada 2017, perubahan kebijakan agama Saudi oleh Putra Mahkota Muhammad bin Salman telah menyebabkan tindakan keras yang meluas terhadap Islamis di Arab Saudi dan seluruh Dunia Arab. Pada tahun 2018, Putra Mahkota Saudi Muhammad bin Salman, membantah bahwa ada orang yang "dapat mendefinisikan Wahhabisme ini" atau bahkan keberadaannya. Pada tahun 2021, memudarnya kekuatan para ulama yang disebabkan oleh perubahan sosial, agama, ekonomi, politik, dan kebijakan pendidikan baru yang menegaskan "identitas nasional Saudi" yang menekankan komponen non-Islam telah menghasilkan sesuatu yang dikenal sebagai "era pasca-Wahhabi" Arab Saudi.[33][34][35] Keputusan untuk merayakan "Hari Pendirian Saudi" setiap tahun pada tanggal 22 Februari sejak tahun 2022, untuk memperingati berdirinya Keamiran Dir'iyah tahun 1727 oleh Muhammad bin Saud, alih-alih memperingati sejarah sejak Pakta 1744 dari Ibnu Abdul Wahhab, telah menyebabkan Saudi "berlepas" dari para ulama secara resmi.[36][37][38][39]
Menurut seorang penulis berkebangsaan Saudi, Abdul Aziz Qasim dan yang lainnya, yang pertama kali memberikan julukan "Wahabi" kepada dakwah ibnu Abdul Wahhab adalah Kesultanan Utsmaniyah, kemudian bangsa Inggris mengadopsi dan menggunakannya di Timur Tengah.[40]
Penganut Wahhabiyah atau Wahabi tidak menyukai istilah yang disematkan oleh beberapa kalangan tersebut kepada mereka dan menolak penyematan nama individu, termasuk menggunakan nama seseorang untuk menamai aliran mereka.[41][42] Mereka menamakan diri dengan nama Salafi dan gerakannya dengan Salafiyah.
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz berkata: “Penisbatan (Wahhabiyah) tersebut tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Semestinya kalaupun harus ada faham baru yang dibawa oleh Al-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bentuk penisbatannya adalah ‘Muhammadiyah’, karena sang pengemban dan pelaku dakwah tersebut adalah Muhammad, bukan ayahnya yang bernama Abdul Wahhab.”[43][44]
Istilah "Wahabi" dan "Salafi" (serta Ahli Hadits yaitu orang-orang hadits) sering digunakan secara bergantian, tetapi Wahabi juga telah disebut sebagai "orientasi tertentu dalam Salafisme",[45] yang dianggap ultra-konservatif.[46][47] Namun dapat disimpulkan, Wahabi merupakan gerakan Islam sunni yang bertujuan untuk memurnikan ajaran Islam dari ajaran-ajaran atau praktik-praktik yang menyimpang seperti: syirik, ilmu hitam, penyembahan berhala, bid'ah dan khurafat.[48]
.[49] Dakwah utama adalah Tauhid yaitu Keesaan dan Kesatuan Allah.[50] Ibnu Abdul Wahhab dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Ibnu Taymiyyah dan mempertanyakan interpretasi Islam dengan mengandalkan Alquran dan hadits.[50] Ia mengincar "kemerosotan moral yang dirasakan dan kelemahan politik" di Semenanjung Arab dan mengutuk penyembahan berhala, pengkultusan orang-orang suci, pemujaan kuburan orang yang saleh, dan melarang menjadikan kuburan sebagai tempat beribadah.[50]
Gerakan Wahhabi dimulai sebagai gerakan revivalis di wilayah terpencil nan gersang di Najd. Dengan runtuhnya Kesultanan Utsmaniyah setelah Perang Dunia I, dinasti Al Saud menjadi penyokong utama Wahhabisme, dan menyebar ke kota-kota suci Mekkah dan Madinah. Setelah penemuan minyak di dekat Teluk Persia pada tahun 1939, Kerajaan Saudi memiliki akses terhadap pendapatan ekspor minyak, pendapatan yang tumbuh hingga miliaran dollar. Uang ini - digunakan untuk menyebarkan dakwah wahhabi melalui buku, media, sekolah, universitas, masjid, beasiswa, beasiswa, pekerjaan bagi para jurnalis, akademisi dan ilmuwan Islam - hal ini memberikan Wahhabisme sebuah "posisi kekuatan yang unggul" dalam Dunia Islam global.[51]
Paham wahhabi masuk pertama kali ke Indonesia pada awal abad ke-19. Hubungan antara ajaran kaum "Wahabi" dengan orang-orang Minangkabau di Sumatera Barat dimulai melalui kepulangan tiga orang haji; Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang, yang baru pulang ibadah haji pada 1803.[52] Perjalanan haji mereka bersamaan dengan dikuasainya Mekkah oleh kaum Wahhabi.[53] Pengaruh itu terlihat dari penentangan terhadap praktik bid'ah, penggunaan tembakau baik untuk sirih pinang atau merokok, dan pemakaian baju sutra. Mereka usahakan pula untuk menyebarkan ajaran ini secara paksa di wilayah Minangkabau. Seperti kemudian tercatat dalam sejarah, ketiga haji itu dan sosok Tuanku Nan Renceh - didukung kaum Paderi - memaklumkan jihad melawan kaum Muslim lain yang tidak mau mengikuti ajaran-ajaran mereka. Lawan mereka terutama adalah golongan Adat, yakni kaum bangsawan Minang yang masih menjalankan praktik-praktik yang bertentangan dengan Islam.[52] Akibatnya, perang saudara yang disebut sebagai Perang Paderi pecah di tengah masyarakat Minangkabau. Atas campur tangan pemerintah kolonial Belanda, perang Paderi itu berakhir pada penghujung 1830-an.[52]
Dalam kaitannya terhadap penentangan terhadap takhayul, Sukarno disebutkan pernah memuji gerakan ini. Dalam salah satu tulisannya, Presiden Soekarno menyatakan pandangannya terhadap Wahabisme,
"Tjobalah pembatja renungkan sebentar "padang-pasir" dan "wahabisme" itu. Kita mengetahui djasa Wahabisme jang terbesar: ia punja kemurnian, ia punja keaslian, - murni dan asli sebagai udara padang- pasir, kembali kepada asal, kembali kepada Allah dan Nabi, kembali kepada islam dizamanja Muhammad!" Kembali kepada kemurnian, tatkala Islam belum dihinggapi kekotorannya seribu satu tahajul dan seribu satu bid'ah. Lemparkanlah djauh-djauh tahajul dan bid'ah itu, tjahkanlah segala barang sesuatu jang membawa kemusjrikan!"
— Ir. Soekarno, "Dibawah Bendera Revolusi" (Kumpulan tulisan dan pidato-pidato) jilid pertama, cetakan kedua, tahun 1963. halaman 390.
Organisasi Sunni terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama, menentang wahhabisme,[54] serta menyebutnya sebagai gerakan fanatik dan paham bid'ah dalam tradisi Sunni.[54]
Orang pertama yang menentang Muhammad bin Abdul Wahhab adalah ayahnya sendiri, Abdul Wahhab, dan saudaranya Salman bin Abdul Wahhab yang adalah seorang cendekiawan dan qadi terkemuka. Saudara laki-laki Ibn Abd al-Wahhab menulis sebuah buku untuk menolak ajaran baru saudaranya, yang disebut: "Kata Akhir dari Al Qur'an, Hadis, dan Ucapan cendekiawan tentang aliran Ibn 'Abd al-Wahhab" juga dikenal sebagai: "Al-Sawa`iq al-Ilahiyya fi Madhhab al-Wahhabiyya" ("Halilintar Ilahi mengenai Aliran Wahhabi").[60]
Dalam bukunya "Sanggahan terhadap Wahhabisme dalam Sumber Arab, 1745–1932",[60] Hamadi Redissi memberikan referensi asli tentang deskripsi Wahhabi sebagai sekte yang memecah belah (firqa) dan asing (Khawarij), dalam komunikasi antara ulama Usmani dan Khedive Muhammad Ali. Redissi merinci sanggahan terhadap Wahhabi oleh para cendekiawan (mufti); di antaranya Ahmed Barakat Tandatawin, yang pada tahun 1743 menyebut Wahhabisme sebagai suatu bentuk kebodohan (Jahili atau kejahilan).[60]
Pada tahun 1801 dan 1802, golongan Wahhabi Saudi di bawah Abdul-Aziz bin Muhammad menyerang dan merebut kota suci Syiah Karbala dan Najaf di Irak, dan menghancurkan makam Husain bin Ali, cucu Muhammad, dan Ali bin Abu Thalib, menantu Muhammad. Pada tahun 1803 dan 1804 orang-orang Saudi merebut Makkah dan Madinah dan menghancurkan berbagai makam Ahlul Bait dan para Sahabat, monumen kuno, situs dan reruntuhan Islam. Menurut Wahhabi, mereka "menghapus sejumlah dari apa yang mereka pandang sebagai sumber atau gerbang menuju perbuatan syirik - seperti makam Fatimah, putri Muhammad. Pada tahun 1998 orang Saudi membuldozer dan menuangkan bensin ke atas makam Aminah binti Wahab, ibunda Muhammad. Hal ini menuai kemarahan di seluruh Dunia Islam.[61][62][63]
Wahhabisme telah dikritik keras oleh banyak kalangan Muslim Sunni arus utama dan terus dikecam oleh banyak cendekiawan Sunni terkemuka tradisional karena dianggap bid'ah, "sesat dan mendorong tindakan kekerasan" dalam Islam Sunni.[64] Di antara organisasi Sunni tradisional dunia yang menentang ideologi Wahhabi adalah Al-Azhar di Kairo, anggota fakultasnya yang secara konsisten mencela Wahhabisme dengan istilah seperti "ajaran setan." Mengenai Wahhabisme, cendekiawan dan intelektual Sunni Al-Azhar yang terkenal, Muhammad Abu Zahra berkata: "Wahhabi melebih-lebihkan (dan merusak) pernyataan Ibnu Taimiyah ... Kaum Wahhabi tidak menahan diri hanya melakukan dakwah penyebaran agama, tapi secara memaksa juga melakukan penghinaan terhadap siapapun yang tidak setuju dengan mereka dengan alasan bahwa mereka melawan bid`ah, dan perbuatan bid'ah adalah kejahatan yang harus diperangi ... Kapanpun mereka bisa merebut kota, mereka akan datang ke makam dan mengubahnya menjadi reruntuhan dan kehancuran... Kebrutalan mereka tidak berhenti di situ, tapi juga muncul ke kuburan siapa pun dan menghancurkannya juga. Dan ketika penguasa daerah Hijaz menyerah kepada mereka, mereka menghancurkan semua kuburan para Sahabat dan membakarnya sampai rata dengan tanah... Sebenarnya, telah diketahui bahwa Ulama kaum Wahhabi menganggap pendapat mereka sendiri benar dan tidak mungkin salah, sementara mereka menganggap pendapat orang lain salah dan tidak mungkin benar. Lebih dari itu, mereka menganggap apa orang lain lakukan; mendirikan makam dan mengelilinginya, sebagai perbuatan yang mendekati penyembahan berhala... Dalam hal ini perbuatan mereka sangat dekat dengan kaum Khawarij, yang biasa menyatakan orang-orang yang tidak setuju dengan mereka sebagai murtad dan memerangi mereka seperti yang telah kita sebutkan."[65]
Ajaran Wahhabi menentang "pemuliaan terhadap situs-situs bersejarah yang terkait dengan awal ajaran Islam", dengan alasan bahwa "hanya Allah yang patut disembah" dan "penghormatan terhadap situs-situs yang terkait dengan manusia menyebabkan "syirik" [66].
Akan tetapi, penghancuran bangunan diatas tersebut tidak semata mata menunjukkan bahwa sesungguhnya ziarah kubur itu dilarang, akan tetapi penghancuran tersebut bersumber kepada hadits nabi yang melarang membuat bangunan diatas makam karena dapat menimbulkan sifat ghuluw (melampaui batas)[67].
Banyak bangunan yang terkait dengan sejarah Islam awal, termasuk berbagai makam seperti Makam Al-Baqi dan artefak lainnya di Arab Saudi, telah dihancurkan oleh kaum wahhabi sejak awal abad-19 sampai kini.[68][69] Praktik penghancuran makam yang kontroversial ini telah menuai banyak kritikan dari Muslim Sufi, Syi'ah, serta dunia internasional.
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.