Loading AI tools
agama Abrahamik monoteistik Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Kekristenan[note 1] adalah agama Abrahamik monoteistik berasaskan riwayat hidup dan ajaran Yesus Kristus, yang merupakan inti sari agama ini. Agama Kristen adalah agama terbesar di dunia berdasarkan jumlah populasi,[1][2] dengan lebih dari 2,5 miliar pemeluk, atau sekitar 2,6 miliar jiwa[3][4][5] atau hampir sepertiga dari populasi dunia, yang disebut "umat Kristen".[note 2] Umat Kristen percaya bahwa Yesus adalah Anak Allah dan Juru Selamat umat manusia yang datang sebagai Mesias sebagaimana yang dinubuatkan dalam Alkitab Perjanjian Lama.[6]
Jenis | Universal |
---|---|
Penggolongan | Abrahamik |
Kitab suci | Alkitab |
Teologi | Monoteistik |
Wilayah | Di seluruh dunia |
Bahasa | Aramaik, Ibrani, Yunani dan Latin |
Daerah | Dunia Kristiani |
Pendiri | Yesus |
Didirikan | Abad ke-1 M Yudea, Kekaisaran Romawi |
Terpisah dari | Yudaisme |
Jumlah pengikut | ca 2.4 miliar (disebut sebagai Umat Kristen) |
Bagian dari seri tentang |
Kekristenan |
---|
Portal Kristen |
Teologi Kristen terangkum dalam pengakuan-pengakuan seperti Pengakuan Para Rasul dan Pengakuan Nikea. Pengakuan-pengakuan iman ini berisi pernyataan bahwa Yesus telah menderita, kematian Yesus, dimakamkan, turun ke alam maut, dan bangkit dari maut, untuk mengaruniakan kehidupan kekal kepada siapa saja yang percaya kepadanya dan mengandalkannya demi beroleh pengampunan atas dosa-dosa yang telah mereka perbuat. Pengakuan-pengakuan ini juga menyatakan bahwa Yesus secara jasmani naik ke surga, tempat ia memerintah bersama Allah Bapa dalam persekutuan Roh Kudus, dan bahwa ia kelak datang kembali untuk menghakimi orang-orang hidup dan orang-orang mati, serta mengaruniakan kehidupan kekal bagi para pengikutnya. Inkarnasi, karya pelayanan, penyaliban, dan kebangkitannya sering kali disebut "Injil", yang berarti "kabar baik".[note 3] Injil juga berarti catatan-catatan riwayat hidup dan ajaran Yesus, empat di antaranya—Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas, dan Injil Yohanes—dianggap kanonik (sahih) dan dijadikan bagian dari Alkitab Kristen.
Agama Kristen adalah agama Abrahamik yang bermula sebagai sebuah sekte dari agama Yahudi era Kenisah kedua pada pertengahan abad pertama tarikh Masehi.[7][8] Sekte ini berasal dari Yudea, kemudian menyebar dengan pesat ke Eropa, Syam, Mesopotamia, Anatolia, Transkaukasia, Mesir, Etiopia, serta India, dan pada akhir abad ke-4 telah menjadi agama resmi Kekaisaran Romawi.[9][10][11] Sesudah Abad Penjelajahan, agama Kristen menyebar pula ke Benua Amerika, Australasia, Afrika Sub-Sahara, dan ke segenap penjuru dunia melalui karya misi dan kolonialisme.[12][13][14] Agama Kristen telah berperan besar dalam pembentukan Peradaban Dunia Barat.[15][16][17][18][19]
Sepanjang sejarahnya, agama Kristen telah mengalami skisma dan sengketa teologi yang memunculkan bermacam-macam gereja dan denominasi. Tiga cabang agama Kristen yang terbesar di dunia adalah Gereja Katolik, Gereja Ortodoks Timur, dan rumpun besar denominasi Kristen Protestan. Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks Timur saling memutuskan hubungan persekutuan dalam peristiwa Skisma Timur–Barat pada 1054, sementara rumpun Kristen Protestan muncul pada zaman reformasi abad ke-16 sebagai pecahan dari Gereja Katolik.[20]
Umat Kristen perdana yang berkebangsaan Yahudi menyebut diri pengikut-pengikut jalan (bahasa Yunani: τῆς ὁδοῦ, tês hodoû), mungkin mengacu kepada nas Yesaya 40:3, "persiapkanlah di padang gurun jalan untuk TUHAN."[21][note 4] Berdasarkan nas Kisah Para Rasul 11:26, istilah "orang Kristen" (bahasa Yunani: Χρῑστῐᾱνός, Krīstiānós) berarti "pengikut Kristus", mengacu kepada murid-murid Yesus, dan pertama kali dipakai di kota Antiokhia oleh warga non-Yahudi.[27] Istilah "Kekristenan" (bahasa Yunani: Χρῑστῐᾱνισμός, Krīstiānismós) pertama kali dipakai Ignasius dari Antiokhia di dalam surat-suratnya yang ditulis sekitar tahun 100 Masehi.[28]
Ada banyak perbedaan tafsir dan pandangan mengenai Alkitab dan Tradisi Suci yang merupakan landasan agama Kristen.[29] Perbedaan-perbedaan teologi yang tak terukunkan, serta kurangnya kata sepakat mengenai pokok-pokok iman Kristen, menyebabkan umat Kristen Katolik, Ortodoks dan Protestan sering kali tidak mengakui umat dari denominasi-denominasi Kristen tertentu sebagai sesama orang Kristen.[30]
Ikhtisar dari maklumat doktrin atau ungkapan keyakinan agama Kristen disebut syahadat (dari bahasa bahasa Arab: الشهادة, asy-syahadah, yang berarti "kesaksian") atau kredo (dari bahasa Latin credo, yang berarti "aku percaya"); umat Kristen Protestan di Indonesia lazimnya menggunakan istilah "pengakuan iman" (terjemahan dari istilah khas Protestan dalam bahasa Latin, confessio fidei). Syahadat-syahadat agama Kristen mula-mula disusun sebagai rumusan ayat-ayat upacara pembaptisan, yang di kemudian hari dijabarkan lebih luas lagi sewaktu terjadi sengketa Kristologi pada abad ke-4 dan ke-5, sehingga akhirnya menjadi rumusan-rumusan ungkapan iman.
Banyak denominasi Protestan Injili menolak syahadat sebagai ungkapan iman yang definitif, bahkan meskipun mereka setuju dengan sebagian atau seluruh isi syahadat itu. Denominasi-denominasi Protestan Baptis bersikukuh menjadi kaum tak bersyahadat, "yakni tidak berusaha menetapkan pengakuan-pengakuan iman yang bersifat otoritatif dan mengikat sebagai pegangan bersama."[31] Golongan lain yang juga menolak syahadat adalah denominasi-denominasi Protestan yang lahir dari Gerakan Restorasi di Amerika Serikat pada awal abad ke-19.[32][33][34]
Syahadat Para Rasul adalah butir-butir ungkapan iman Kristen yang paling berterima. Syahadat ini digunakan oleh sejumlah denominasi Kristen, baik untuk keperluan liturgi (peribadatan) maupun untuk keperluan katekese (pengajaran), sebagaimana yang jelas terlihat di Gereja-Gereja berliturgi dalam tradisi Kristen Barat, antara lain Gereja Katolik Ritus Latin, gereja-gereja Lutheran, gereja-gereja Anglikan, dan Gereja Ortodoks Ritus Barat. Syahadat ini juga digunakan oleh gereja-gereja Presbiterian, gereja-gereja Metodis, dan gereja-gereja Kongregasional. Inti sari dari Syahadat Para Rasul, yang disusun antara abad ke-2 dan ke-9 ini, adalah ajaran-ajaran mengenai Tritunggal dan Allah Sang Mahapencipta. Tiap-tiap ajaran dalam syahadat ini dapat ditelusuri asal-usulnya sampai ke pernyataan-pernyataan yang muncul pada Zaman Apostolik (masa hidup rasul-rasul Kristus). Syahadat ini tampaknya digunakan sebagai semacam ringkasan ajaran agama Kristen bagi para calon penerima baptisan di gereja-gereja Kota Roma.[35]
Pokok-pokok keyakinan dalam Syahadat Para Rasul adalah:
Syahadat Nikea disusun dengan tujuan utama melawan paham Arianisme dalam penyelenggaraan Konsili Nikea pada 325 M dan Konsili Konstantinopel pada 381 M,[36][37] kemudian disahkan menjadi syahadat Kristen sejagat oleh Konsili Efesus I pada 431 M.[38]
Rumusan Kalsedon atau Syahadat Kalsedon disusun dalam penyelenggaraan Konsili Kalsedon pada 451.[39] Syahadat yang ditolak oleh Gereja Ortodoks Oriental ini[40] mengajarkan bahwa Kristus "dikenal dalam dua kodrat yang tak tercampur, tak terubahkan, tak terbagi, dan tak terpisahkan," satu kodrat ilahi dan satu kodrat insani, yang masing-masing sempurna adanya, namun juga sempurna manunggal dalam satu pribadi.[41]
Syahadat Atanasius, yang diterima di Gereja Barat sebagai syahadat yang setaraf dengan Syahadat Nikea dan Syahadat Kalsedon, berisi kalimat "bahwasanya kami menyembah satu Allah dalam ketritunggalan, dan ketritunggalan dalam keesaan; tanpa menyama-nyamakan pribadi maupun membeda-bedakan hakikat."[42]
Sebagian besar umat Kristen (Katolik, Ortodoks Timur, Ortodoks Oriental, maupun Protestan) menerima pemakaian syahadat, dan menggunakan sekurang-kurangnya salah satu dari syahadat-syahadat di atas.[43]
Asas utama agama Kristen adalah kepercayaan pada Yesus sebagai Putra Allah dan Mesias (Kristus). Umat Kristen percaya bahwa Yesus, selaku Mesias, diurapi oleh Allah menjadi juru selamat umat manusia, dan yakin bahwa Yesus datang ke dunia sebagai penggenapan nubuat tentang Mesias yang termaktub dalam Alkitab Perjanjian Lama. Konsep Mesias dalam agama Kristen pada dasarnya berbeda dari konsep Mesias dalam agama Yahudi. Inti dari keyakinan Kristen adalah bahwasanya dengan percaya dan menerima kematian dan kebangkitan Yesus, umat manusia yang berdosa dapat dirukunkan kembali dengan Allah, dan dengan demikian beroleh tawaran keselamatan dan janji hidup kekal.[44]
Meskipun ada berbagai macam perbedaan pandangan teologi mengenai kodrat Yesus pada abad-abad permulaan sejarah agama Kristen, pada umumnya umat Kristen percaya bahwa Yesus adalah penjelmaan Allah dan adalah "Allah sejati sekaligus manusia sejati" (atau seutuhnya ilahi dan seutuhnya insani). Karena menjelma menjadi manusia yang seutuhnya, maka Yesus juga mengalami sakit derita dan godaan hidup selayaknya seorang manusia fana, namun tidak berbuat dosa. Sebagai Allah yang seutuhnya, Yesus hidup kembali sesudah kematiannya. Menurut Alkitab Perjanjian Baru, Yesus bangkit dari antara orang mati,[45] naik ke surga, duduk di sebelah kanan Sang Bapa,[46] dan pada akhirnya akan datang kembali (Kisah Para Rasul 1:9–11) untuk menggenapi nubuat-nubuat selebihnya yang berkaitan dengan Mesias, yakni kebangkitan orang mati, penghakiman terakhir, dan pendirian Kerajaan Allah.
Menurut Injil Matius dan Injil Lukas, Yesus dikandung berkat kuasa Roh Kudus, dan dilahirkan oleh Perawan Maria. Hanya sedikit saja kisah masa kanak-kanak Yesus yang diriwayatkan dalam injil-injil sahih, namun ada pula injil-injil tentang masa kanak-kanak Yesus yang populer pada Abad Kuno. Sebaliknya masa dewasa Yesus, teristimewa sepekan menjelang kematiannya, justru diriwayatkan secara terperinci oleh injil-injil yang terdapat dalam kumpulan kitab suci Perjanjian Baru, karena masa-masa inilah yang diyakini paling penting. Riwayat-riwayat Alkitab tentang karya pelayanan Yesus meliputi peristiwa pembaptisannya, mukjizat-mukjizatnya, khotbah-khotbahnya, ajaran-ajarannya, serta sikap dan perbuatannya.
Bagi umat Kristen, kebangkitan Yesus adalah batu penjuru iman mereka (1 Korintus 15) dan peristiwa terpenting dalam sejarah.[47] Di antara sekian banyak keyakinan Kristen, kematian dan kebangkitan Yesus adalah dua peristiwa utama yang melandasi sebagian besar doktrin dan teologi Kristen.[48] Menurut Alkitab Perjanjian Baru, Yesus disalibkan, meninggal secara jasmaniah, dimakamkan, dan bangkit dari antara orang mati tiga hari kemudian (Yohanes 19:30–31, Markus 16:1, Markus 16:6).
Alkitab Perjanjian Baru meriwayatkan beberapa peristiwa penampakan diri Yesus pascabangkit kepada kedua belas rasul dan murid-muridnya, termasuk peristiwa penampakan yang disaksikan oleh "lebih dari lima ratus orang saudara sekaligus" (1 Korintus 15:6), sebelum kenaikan Yesus ke surga. Kematian dan kebangkitan Yesus diperingati oleh umat Kristen dalam semua ibadat, dan diperingati secara lebih khusus selama Pekan Suci (sudah termasuk Hari Jumat Agung dan Hari Minggu Paskah).
Kematian dan kebangkitan Yesus lazimnya dianggap sebagai peristiwa-peristiwa terpenting dalam teologi Kristen, salah satu sebabnya adalah karena peristiwa-peristiwa ini menunjukkan bahwa Yesus berkuasa atas hidup dan mati, dan oleh karena itu berwenang dan berkuasa untuk menganugerahkan hidup kekal kepada umat manusia.[49]
Gereja-Gereja Kristen mengakui dan mengajarkan riwayat Perjanjian Baru mengenai kebangkitan Yesus dengan segelintir pengecualian.[50] Beberapa pengkaji modern menjadikan kepercayaan para pengikut Yesus akan kebangkitannya sebagai titik tolak dalam menetapkan kesinambungan antara sosok Yesus selaku tokoh sejarah dan sosok Yesus dalam pewartaan Gereja perdana.[51] Segolongan umat Kristen liberal tidak mengakui kebangkitan jasmaniah secara harfiah,[52][53] dan menganggap riwayat kebangkitan Yesus sekadar sebagai mitos yang kaya akan perlambang dan bermanfaat bagi pertumbuhan rohani. Argumen-argumen terkait keyakinan akan kematian dan kebangkitan Yesus muncul dalam banyak debat keagamaan dan dialog-dialog lintas agama.[54] Rasul Paulus, salah seorang pemeluk perdana sekaligus misionaris agama Kristen, pernah menulis bahwa "andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu" (1 Korintus 15:14).[55]
Sebagaimana orang Yahudi dan orang Romawi penyembah berhala pada zamannya, Rasul Paulus percaya bahwa korban persembahan berkhasiat menciptakan ikatan kekerabatan baru, menyucikan, dan mendatangkan kehidupan kekal.[56] Bagi Paulus, korban persembahan yang diperlukan adalah kematian Yesus. Bangsa-bangsa lain, yang berkat pengorbanan nyawa Yesus telah menjadi "milik kepunyaan Kristus", juga adalah keturunan Abraham dan "berhak menerima janji Allah", sama seperti bangsa Israel (Galatia 3:29).[57] Allah yang membangkitkan Yesus dari antara orang mati juga mengaruniakan kehidupan baru bagi "tubuh fana" umat Kristen dari bangsa-bangsa lain, yang bersama-sama dengan bangsa Israel telah menjadi "anak-anak Allah", dan oleh karena itu tidak lagi "hidup menurut daging" (Roma 8:9,11,16).[56]
Gereja-gereja modern cenderung lebih memusatkan perhatiannya pada permasalahan tentang bagaimana umat manusia dapat diselamatkan dari keadaan berdosa dan maut yang universal sifatnya itu, daripada permasalahan tentang bagaimana orang Yahudi dan bangsa-bangsa lain dapat menjadi anggota keluarga Allah. Menurut doktrin Katolik maupun Protestan, keselamatan datang berkat pengorbanan nyawa Yesus menggantikan umat manusia dan berkat kebangkitannya. Gereja Katolik mengajarkan bahwa keselamatan tidak terwujud tanpa adanya kesetiaan di pihak umat Kristen; orang-orang yang telah bertobat dan hendak menjadi pengikut Kristus harus hidup menurut prinsip-prinsip cinta kasih, dan sepatutnya harus dibaptis.[58][59] Martin Luther mengajarkan bahwa baptisan diperlukan demi beroleh keselamatan, akan tetapi gereja Lutheran dan gereja-gereja Protestan lainnya pada zaman modern cenderung mengajarkan bahwa keselamatan adalah anugerah yang diperoleh seseorang berkat kasih karunia Allah, yang kadang-kadang didefinisikan sebagai "kerahiman tanpa pandang kelayakan", bahkan di luar dari baptisan.
Umat Kristen berbeda pandangan mengenai sejauh mana keselamatan seseorang telah ditakdirkan sejak semula oleh Allah. Teologi Kalvinis memberi penekanan khusus pada kasih karunia dengan mengajarkan bahwa tiap-tiap orang sama sekali tidak mampu membebaskan diri sendiri dari dosa, akan tetapi kasih karunia yang menguduskan itu tak terelakkan.[60] Sebaliknya umat Kristen Katolik, Ortodoks, dan Protestan Arminian percaya bahwa pelaksanaan kehendak bebas diperlukan untuk beriman pada Yesus.[61]
Istilah "Tritunggal" mengacu pada ajaran bahwa Allah yang esa[63] terdiri atas tiga pribadi berlainan yang serentak ada secara kekal, yakni Bapa, Putra (menjelma menjadi Yesus Kristus), dan Roh Kudus. Adakalanya ketiga pribadi ini bersama-sama disebut sebagai Keilahian (bahasa Yunani: θειότης, Teiotēs; bahasa Latin: Divinitas),[64][65][66] walau tak ada satu pun istilah yang digunakan dalam Alkitab untuk membahasakan gagasan Keilahian yang manunggal.[67] Syahadat Atanasius, salah satu ungkapan perdana dari keyakinan Kristen, menjelaskannya dengan kalimat "Sang Bapa adalah Allah, Sang Putra adalah Allah, Roh Kudus adalah Allah, akan tetapi bukan ada tiga Allah melainkan satu Allah."[68] Tiga pribadi ini berbeda satu sama lain: Sang Bapa tidak bersumber, Sang Putra diperanakkan oleh Sang Bapa, dan Roh Kudus keluar dari Sang Bapa. Sekalipun berbeda, ketiga-tiganya tak terpisahkan satu sama lain, baik dalam keberadaan maupun dalam berkarya. Sebagian umat Kristen juga percaya bahwa Allah tampil sebagai Sang Bapa pada masa Perjanjian Lama, tampil sebagai Sang Putra pada masa Perjanjian Baru, dan tampil sebagai Roh Kudus pada masa kini, namun tetap saja Allah hadir pada ketiga masa ini sebagai tiga pribadi.[69] Meskipun demikian, ada keyakinan Kristen tradisional bahwa Sang Putralah yang tampil dalam Perjanjian Lama, karena bilamana Tritunggal digambarkan dalam seni rupa, Sang Putra lazimnya digambarkan dengan ciri khusus, yakni dengan praba bertanda salib yang melambangkan Kristus, dan sosok dengan ciri seperti inilah yang ditampilkan sebagai rupa Allah dalam penggambaran Taman Eden, yakni sosok penjelmaan Allah yang baru mengejawantah di kemudian hari. Pada sejumlah sarkofagus umat Kristen perdana, gambar sosok Sang Logos dicirikan dengan janggut, "yang membuatnya terlihat sudah lanjut usia, bahkan terkesan prawujud (ada mendahului zamannya)."[70]
Tritunggal adalah doktrin hakiki dari agama Kristen arus utama. Jauh sebelum Syahadat Nikea dirumuskan pada 325 M, agama Kristen sudah mengajarkan[71] misteri hakikat ketritunggalan Allah sebagai suatu ungkapan iman normatif. Menurut Roger E. Olson dan Christopher Hall, melalui doa, tafakur, kajian dan praktik, komunitas Kristen menyimpulkan "bahwa Allah mestilah wujud sebagai suatu kemanunggalan maupun ketritunggalan", dan mengundangkan kesimpulan ini dalam konsili oikumene pada penghujung abad ke-4.[72][73]
Menurut doktrin ini, Allah tidak terbagi-bagi dalam arti tiap-tiap pribadi merupakan sepertiga dari keseluruhan diri Allah; sebaliknya, tiap-tiap pribadi dianggap sebagai Allah yang seutuhnya (baca perikoresis). Perbedaannya terletak dalam hubungan antarpribadi, Sang Bapa tidak bersumber; Sang Putra diperanakkan oleh Sang Bapa; Roh Kudus keluar dari Sang Bapa dan (dalam teologi Gereja Barat) dari Sang Putra. Sekalipun hubungannya berbeda, tiap-tiap "pribadi" ini kekal dan mahakuasa. Sekte-sekte Kristen seperti Universalisme Unitarian, Saksi Yehuwa, Gereja Mormon, dan sekte-sekte lainnya tidak menganut paham-paham Tritunggal semacam ini.
Kata Latin "trias", cikal bakal dari kata "trinitas", yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi "tritunggal", pertama kali muncul dalam karya-karya tulis Teofilus dari Antiokhia. Teofilus menulis tentang "Ketritunggalan Allah (Sang Bapa), Firman-Nya (Sang Putra), dan Hikmat-Nya (Roh Kudus)".[74] Istilah ini mungkin saja telah digunakan sebelum zaman Teofilus. Sesudah Teofilus, kata ini muncul kembali dalam karya-karya tulis Tertulianus.[75][76] Pada abad berikutnya, kata ini menjadi umum dipergunakan, dan sering muncul dalam karya tulis Origenes.[77]
Penganut paham tritunggal atau kaum trinitarianisme adalah sebutan bagi umat Kristen yang percaya pada konsep tritunggal. Hampir semua denominasi Kristen menganut paham tritunggal. Sekalipun kata "tritunggal" tidak termaktub dalam Alkitab, para teolog telah mengembangkan istilah dan konsep ini semenjak abad ke-3 untuk memudahkan orang memahami ajaran-ajaran Perjanjian Baru mengenai Allah sebagai Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Semenjak saat itu pula, para teolog Kristen dengan cermat menegaskan bahwa tritunggal bukan berarti ada tiga Allah (bidah antitritunggal Triteisme), juga bukan berarti tiap-tiap hipostasis dari Tritunggal adalah sepertiga dari satu Allah yang tak terhingga (bidah parsialisme), dan bukan pula berarti Sang Putra dan Roh Kudus adalah makhluk ciptaan yang derajatnya di bawah Sang Bapa (bidah Arianisme). Sebaliknya, Trinitas justru didefinisikan sebagai Allah Yang Maha Esa Dalam Tiga Pribadi.[78]
Antitritunggal atau antitrinitarianisme (atau nontrinitarianisme) mengacu pada teologi yang menolak doktrin Tritunggal. Berbagai pandangan antitritunggal, semisal adopsionisme atau modalisme, sudah muncul semenjak permulaan sejarah agama Kristen, dan telah menjadi pemicu sengketa Kristologi.[79] Paham antitritunggal kembali muncul pada abad ke-11 sampai abad ke-13 dalam ajaran gnostik kaum Katari, pada abad ke-16 di kalangan jemaat-jemaat berpaham unitarian yang terbentuk semasa Reformasi Protestan,[80] pada Zaman Pencerahan abad ke-18, dan pada abad ke-19 di kalangan jemaat-jemaat Protestan yang terbentuk semasa Kebangunan Rohani II.
Sama seperti agama-agama lain, agama Kristen juga memiliki beragam pemeluk dengan beragam keyakinan dan penafsiran Kitab Suci. Dalam agama Kristen, kumpulan kitab-kitab kanonik, yakni Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, diyakini sebagai Firman Allah yang terilhamkan. Menurut pandangan tradisional mengenai ilham ini, Allah berkarya sedemikian rupa melalui para pujangga insani sehingga para pujangga ini dapat menuliskan hal-hal yang hendak diwahyukan Allah. Perkataan Yunani dalam 2 Timotius 3:16 yang mengacu pada ilham ilahi ini adalah teopneustos, yang secara harfiah berarti "diembuskan Allah".[81]
Sebagian kalangan percaya bahwa ilham ilahi membuat Alkitab yang ada sekarang ini bebas dari kesalahan. Kalangan lain percaya bahwa Alkitab bebas dari kesalahan dalam naskah-naskah aslinya saja, walau tak satu pun naskah asli Alkitab yang masih ada sampai sekarang. Ada pula kalangan yang percaya bahwa hanya Alkitab dalam terjemahan tertentu saja yang bebas dari kesalahan, misalnya Alkitab Versi Raja James.[82][83][84] Pandangan lain yang erat kaitannya dengan keyakinan ini adalah infalibilitas Alkitab atau sifat bebas-salah-terbatas dari Alkitab, yakni pandangan yang mengatakan bahwa Alkitab bebas dari kesalahan selaku tuntunan menuju keselamatan, namun mungkin saja mengandung kesalahan sehubungan dengan hal-hal tertentu seperti sejarah, geografi, atau ilmu pengetahuan.
Kitab-kitab yang diakui sebagai bagian dari Alkitab oleh Gereja Ortodoks, Gereja Katolik, dan gereja-gereja Protestan agak bervariasi, sementara umat Yahudi hanya mengakui kesahihan Alkitab Ibrani (kumpulan pustaka dalam Alkitab yang ditulis dalam bahasa Ibrani); meskipun demikian, ada banyak kitab yang diakui kesahihannya oleh semua pihak. Variasi-variasi dalam daftar kitab yang dianggap sahih ini merupakan cerminan dari rentang tradisi dan konsili-konsili yang pernah diselenggarakan sehubungan dengan hal ini. Tiap-tiap versi daftar Kitab Suci Perjanjian Lama selalu memuat kumpulan Tanak (Taurat-Nabi-Kitab), yakni Alkitab Ibrani atau kumpulan pustaka yang dianggap sahih oleh umat Yahudi. Selain kumpulan Tanak, Gereja Katolik dan Ortodoks menganggap kumpulan pustaka Deuterokanonika (kumpulan sahih kedua) sebagai kitab-kitab yang sahih dan layak dijadikan bagian dari Kitab Suci Perjanjian Lama. Kitab-kitab Deuterokanonika termuat dalam Alkitab Septuaginta (terjemahan perdana Alkitab Yahudi dalam bahasa Yunani), namun dianggap apokrif (daif) oleh kalangan Protestan. Meskipun demikian, kitab-kitab ini dianggap sebagai dokumen-dokumen sejarah penting, yang dapat membantu orang memahami kosakata, tata bahasa, dan tata kalimat yang lazim digunakan pada zaman penulisannya. Beberapa versi terbitan Alkitab memuat kitab-kitab Deuterokanonika dan bagian-bagian dari kitab sahih yang dianggap apokrif di kalangan Protestan pada bagian tersendiri di antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.[85] Kumpulan Kitab Suci Perjanjian Baru, yang ditulis dalam bahasa Yunani Koine (bahasa Yunani pasaran), terdiri atas 27 kitab yang diakui kesahihannya oleh semua denominasi Kristen.
Kajian modern telah memunculkan berbagai isu terkait Alkitab. Meskipun diagung-agungkan oleh banyak kalangan penutur bahasa Inggris karena keindahan prosanya yang memukau, Alkitab Versi Raja James sesungguhnya diterjemahkan dari Alkitab Yunani Erasmus yang disusun "atas dasar satu saja naskah salinan abad ke-12, yakni salah satu dari naskah-naskah terburuk yang masih ada sampai sekarang".[86] Banyak kajian yang dilakukan selama beberapa ratus tahun terakhir telah membanding-bandingkan berbagai naskah yang berlainan guna mereka-ulang naskah asli. Isu lain yang juga dimunculkan adalah anggapan bahwa sejumlah kitab mengandung ayat-ayat palsu. Anjuran kepada kaum perempuan untuk "berdiam diri dan bersikap patuh" dalam 1 Timotius 2[87] diduga oleh banyak kalangan sebagai ayat palsu yang disusupkan salah seorang pengikut Paulus ke dalam Alkitab. Ayat serupa dalam 1 Korintus 14,[88] yang diduga sebagai buah pikiran Paulus, muncul di tempat-tempat yang berlainan dalam naskah-naskah yang berlainan pula, dan diduga mula-mula adalah catatan pinggir yang dibuat oleh seorang penyalin.[86] Ayat-ayat lain dalam 1 Korintus, misalnya 1 Korintus 11:2–16 yang berisi anjuran bagi kaum perempuan untuk menudungi rambut "bilamana berdoa atau bernubuat",[89] justru bertentangan dengan anjuran bagi mereka untuk berdiam diri selama ibadat berlangsung.
Isu terakhir terkait Alkitab adalah cara menyeleksi kitab-kitab untuk dimasukkan ke dalam kumpulan Kitab Suci Perjanjian Baru. Injil-injil lain telah ditemukan, semisal injil-injil yang ditemukan di dekat Nag Hammâdi pada 1945, dan meskipun sebagian dari nas-nas ini berbeda dari nas-nas yang lumrah digunakan umat Kristen, perlu dipahami bahwa beberapa di antara materi injil temuan baru ini mungkin sekali berasal dari masa yang sama, atau bahkan mendahului masa penulisan injil-injil Perjanjian Baru. Nas-nas inti dari Injil Tomas, pada khususnya, diperkirakan ditulis seawal-awalnya pada tahun 50 M (meskipun beberapa pengkaji menyanggah penetapan batas awal perkiraan tarikh penulisan Injil Tomas ini),[90] dan jika benar demikian maka injil ini dapat menawarkan suatu cara pandang baru dalam mencermati nas-nas injil yang mendasari injil-injil kanonik, yakni nas-nas yang terdapat dalam Injil Lukas 1:1–2. Injil Tomas memuat banyak nas yang mirip dengan nas injil-injil kanonik, misalnya saja ayat 113 ("Kerajaan Bapa tersebar di muka bumi, akan tetapi orang-orang tidak melihatnya"),[91] yang mengingatkan orang pada ayat-ayat Injil Lukas (Lukas 17:20–21)[92][93] dan Injil Yohanes, dengan peristilahan dan pendekatan yang mengesankan pada apa yang di kemudian hari disebut sebagai ajaran Gnostik, yang belakangan ini telah dianggap mungkin saja merupakan tanggapan terhadap Injil Tomas, yakni injil yang umumnya dilabeli proto-Gnostik. Para pengkaji kini sedang menjajaki hubungan dalam Gereja perdana antara spekulasi dan pengalaman mistik di satu pihak, dan upaya pencarian tata tertib Gereja di lain pihak, dengan menelaah nas-nas temuan baru, dengan meneliti nas-nas kanonik secara lebih seksama. dan dengan menguji tahapan yang dilalui nas-nas Kitab Suci Perjanjian Baru sehingga berstatus kanonik.
Ada dua mazhab eksegesis (tafsir ayat-ayat suci) yang muncul dan berkembang pada Abad Kuno, satu di Aleksandria, dan satu lagi di Antiokhia. Tafsir mazhab Aleksandria, sebagaimana yang dicontohkan oleh Origenes, cenderung menelaah makna kiasan (makna yang tersirat) dari ayat-ayat Alkitab, sementara tafsir mazhab Antiokhia menelaah makna harfiahnya (makna yang tersurat), dengan keyakinan bahwa makna-makna lain (disebut teoria) hanya boleh diterima jika didasarkan atas makna harfiah.[94]
Teologi Katolik membedakan makna yang dikandung ayat-ayat Alkitab menjadi dua macam, yakni makna harfiah dan makna rohaniah.[95]
Makna harfiah adalah arti dari kata-kata yang digunakan dalam susunan ayat-ayat suci, sementara makna rohaniah masih dibedakan lagi menjadi:
Sehubungan dengan eksegesis, menurut pedoman tafsir yang benar, teologi Katolik menegaskan bahwa:
Umat Kristen Protestan yakin bahwa Alkitab adalah wahyu yang swadaya, kewenangan tertinggi di atas seluruh doktrin Kristen, dan menyingkap seluruh kebenaran yang diperlukan demi keselamatan. Keyakinan ini terkenal dengan sebutan sola scriptura.[101] Sudah menjadi ciri khas bagi umat Protestan untuk meyakini bahwa umat awam mampu memahami Kitab Suci secara memadai, baik karena Kitab Suci itu sendiri sudah jelas (atau "lugas"), berkat pertolongan Roh Kudus, maupun karena kedua-duanya. Martin Luther percaya bahwa tanpa pertolongan Allah, Kitab Suci akan "terselubungi kegelapan".[102] Ia menghendaki adanya "satu pemahaman Kitab Suci yang bersifat definitif dan sederhana".[102] Yohanes Kalvin pernah menulis bahwa "barang siapa tidak menolak bimbingan Roh Kudus, ia akan menemukan cahaya terang dalam Kitab Suci".[103] Pengakuan Iman Helvetika kedua, yang disusun oleh gembala jemaat Kalvinis di Zürich (pengganti Hulderikus Zwingli), diadopsi sebagai maklumat doktrin oleh sebagian besar jemaat Kalvinis di Eropa.[104]
Umat Protestan menitikberatkan makna dari kata-kata yang termaktub dalam Kitab Suci. Cara tafsir yang mementingkan arti kata dalam ayat-ayat suci ini disebut metode historis-gramatikal (metode kesejarahan-ketatabahasaan).[105] Metode historis-gramatikal merupakan suatu upaya di bidang Hermeneutika Alkitab (ilmu tafsir Alkitab) untuk menemukan makna mula-mula dan maksud yang sesungguhnya dari nas-nas Kitab Suci.[106] Makna asali dan maksud sejati dari nas Kitab Suci diperoleh melalui penelaahan ayat dari segi tata bahasa dan tata kalimat, latar belakang sejarah, ragam sastra, serta pertimbangan-pertimbangan teologi (kanon Alkitab).[107] Metode historis-gramatikal membedakan antara satu makna asali dan arti penting dari nas Alkitab. Arti penting dari suatu nas Alkitab mencakup penggunaan atau penerapan nas tersebut. Ayat Alkitab dianggap hanya memiliki satu arti atau makna tunggal. Sebagaimana yang diutarakan oleh Milton S. Terry, "salah satu prinsip dasar dari eksposisi historis-gramatikal adalah bahwasanya kata-kata dan kalimat-kalimat hanya memiliki satu signifikansi dalam satu koneksi yang sama. Bilamana kita mengabaikan prinsip ini, di saat itu pula kita hanyut di lautan ketidakpastian dan penerkaan."[108] Jelasnya, metode tafsir historis-gramatikal berlainan dengan penentuan arti penting dari suatu ayat yang ditafsirkan. Jika disatukan, kedua-duanya membentuk pengertian dari istilah hermeneutika Alkitab.[106]
Sejumlah mufasir Protestan menggunakan pendekatan tipologi.[109]
Pembahasan mengenai akhir dari segala sesuatu, baik akhir hayat setiap insan, akhir zaman, maupun akhir dunia, pada dasarnya adalah eskatologi Kristen, yakni kajian mengenai takdir umat manusia sebagaimana yang diwahyukan dalam Alkitab. Pokok-pokok bahasan utama dalam eskatologi Kristen adalah zaman kesusahan besar, maut dan akhirat, pengangkatan, kedatangan Yesus untuk kedua kalinya, kebangkitan orang mati, surga dan neraka, milenialisme (keyakinan tentang kerajaan seribu tahun), pengadilan terakhir, hari kiamat, serta langit yang baru dan bumi yang baru.
Umat Kristen percaya bahwa kedatangan Kristus untuk kedua kalinya akan terjadi pada akhir zaman, sesudah kurun waktu penganiayaan dahsyat (zaman kesusahan besar). Semua orang yang telah meninggal dunia akan dibangkitkan secara jasmaniah dari kematian untuk menjalani pengadilan terakhir. Yesus akan mendirikan Kerajaan Allah yang paripurna untuk menggenapi nubuat-nubuat dalam Kitab Suci.[111][112]
Sebagian besar umat Kristen percaya bahwa umat manusia akan menghadap mahkamah ilahi dan diganjari hidup kekal atau laknat kekal. Kepercayaan tentang mahkamah ilahi ini meliputi keyakinan akan penghakiman umum atas segenap umat manusia manakala orang-orang mati dibangkitkan, serta keyakinan (dianut oleh umat Kristen Katolik,[113][114] Ortodoks,[115][116] dan sebagian besar denominasi Protestan) akan penghakiman khusus atas tiap-tiap jiwa manakala yang bersangkutan mengalami kematian jasmani.
Dalam ajaran Katolik, orang-orang yang meninggal dalam keadaan berahmat, yakni tanpa dosa berat yang memisahkannya dari Allah namun belum sepenuhnya bersih dari akibat-akibat dosa, akan dimurnikan di purgatorium (alam pemurnian) sehingga mencapai kekudusan dan layak masuk ke hadirat Allah.[117] Orang-orang yang telah mencapai kekudusan disebut orang-orang kudus.[118]
Beberapa denominasi Kristen, misalnya Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh, menganut paham mortalisme, yakni keyakinan bahwa jiwa manusia tidak diciptakan baka, dan berada dalam keadaan tidak sadar sejak meninggal dunia sampai dengan dibangkitkan. Umat Kristen penganut paham mortalisme ini juga menganut paham anihilasionisme, yakni keyakinan bahwa selepas pengadilan terakhir, orang-orang jahat akan lenyap, bukannya menanggung siksaan kekal. Umat Saksi Yehuwa juga menganut paham serupa.[119]
Hari raya Kekristenan ditetapkan berdasarkan astronomi. Dua diantaranya ialah natal dan paskah. Paskah dirayakan pada pekan pertama ketika Bulan purnama terlewati. Kondisi ini tercapai ketika eukinoks musim semi. Sedangkan natal dirayakan pada hari pertama dari titik balik Matahari kembali terbit di musim dingin dengan arah yang berlawanan dalam pandangan di langit.[120]
Dalam karya tulisnya, Pembelaan Pertama (ca. 150 M), Yustinus Martir menggambarkan jalannya liturgi (upacara ibadat berjemaah) Kristen dalam penjelasannya mengenai agama Kristen kepada Kaisar Antoninus Pius. Penggambarannya ini masih relevan dengan tatanan dasar upacara peribadatan Kristen. Yustinus Martir memberi gambaran sebagai berikut:
Dan pada hari yang disebut hari Minggu, semua orang yang tinggal di kota-kota maupun di desa-desa berhimpun di satu tempat, dan riwayat-riwayat para rasul atau tulisan-tulisan para nabi dibacakan, sepanjang waktu mengizinkan; lalu bilamana pembaca telah menyelesaikan tugasnya, pemimpin ibadat memberi arahan secara lisan, dan mengimbau agar hal-hal baik ini diteladani. Kemudian kami semua berdiri bersama-sama dan berdoa, dan sebagaimana yang sudah kami katakan sebelumnya, bilamana kami selesai berdoa, roti dan anggur serta air diantarkan, dan pemimpin ibadat dengan cara yang sama mempersembahkan doa-doa dan ucapan-ucapan syukur, sesuai dengan kesanggupannya, dan para hadirin mengiyakan dengan berucap amin; dan ada pencatuan bagi tiap-tiap hadirin, dan pengambilan bagian dari yang atasnya telah dipersembahkan ucapan syukur, dan bagi orang-orang yang tidak hadir ada jatah yang diantar oleh para diakon. Orang-orang yang mampu, dan yang rela, menyumbang sebanyak yang ia anggap layak; dan sumbangan yang terkumpul disimpan oleh pemimpin ibadat, yang menyantuni yatim piatu dan janda-janda serta orang-orang yang memerlukan santunan karena sedang sakit atau karena sebab lain, juga orang-orang yang terbelenggu dan orang-orang asing yang sedang singgah di tengah-tengah kami, singkatnya, menyantuni semua orang yang memerlukan santunan.[121]
Dari karya tulis Yustinus Martir dapat diketahui bahwa, pada masa hidupnya, umat Kristen berhimpun untuk beribadat secara berjemaah pada hari Minggu, hari kebangkitan Yesus, meskipun ada pula upacara-upacara peribadatan lain yang dilaksanakan di luar hari Minggu. Bacaan-bacaan Kitab Suci diambil dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, teristimewa injil. Seringkali bacaan-bacaan ini ditata berurutan mengikuti suatu siklus tahunan, di dalam sebuah buku yang disebut leksionari (kumpulan bacaan). Arahan lisan dari pemimpin ibadat didasarkan atas bacaan-bacaan ini, dan disebut khotbah atau homili. Ada bermacam-macam doa berjemaah, antara lain doa ucapan syukur, doa pengakuan dosa, dan doa syafaat, yang diucapkan selama ibadat berlangsung. Bentuk doa-doa ini juga bermacam-macam, antara lain doa yang didaraskan, doa berbalas-balasan, doa dalam hati, maupun doa yang dilantunkan. Doa Bapa Kami, atau Doa Tuhan, diucapkan secara teratur.
Sebagian denominasi Kristen telah meninggalkan tata peribadatan tradisional ini. Di negara-negara penutur bahasa Inggris, orang sering kali membedakan upacara peribadatan menjadi kebaktian gereja "tinggi", yang bercirikan upacara yang lebih megah dan takzim, dan kebaktian gereja "rendah", namun dalam kedua-dua kategori ini pun terdapat banyak sekali variasi bentuk peribadatan. Jemaat-jemaat Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh menyelenggarakan ibadat berjemaah pada hari Sabtu, dan ada pula jemaat-jemaat Kristen yang menyelenggarakan ibadat berjemaah tidak secara berkala (seminggu sekali). Jemaat-jemaat Karismatik atau Pentakosta boleh saja serta-merta melakukan tindakan-tindakan tertentu selama ibadat berlangsung bilamana merasa digerakkan oleh Roh Kudus, alih-alih mengikuti suatu urut-urutan upacara yang baku. Tindakan serta-merta ini juga mencakup berdoa secara spontan. Jemaat Quaker akan duduk berdiam diri selama ibadat berlangsung sampai digerakkan oleh Roh Kudus untuk berkata-kata.
Beberapa denominasi Protestan Injili menyelenggarakan ibadat seperti konser-konser, lengkap dengan musik rock dan pop, tari-tarian, dan penggunaan multimedia. Denominasi-denominasi yang tidak mengakui keberadaan jabatan imamat yang terpisah dari umat awam pada umumnya beribadat tanpa harus dipandu oleh seorang pemimpin ibadat yang resmi, baik karena prinsip yang dianut denominasi tersebut, maupun karena sekadar menyesuaikan penyelenggaraan ibadat dengan kebutuhan jemaat setempat. Beberapa denominasi hanya menggunakan musik akapela, baik karena prinsip yang dianutnya (sebagai contoh, banyak jemaat dari denominasi Sidang Jemaat Kristus menolak penggunaan alat musik dalam ibadat), maupun karena tradisi (seperti di Gereja Ortodoks).
Hampir semua denominasi Kristen menyelenggarakan upacara perayaan Ekaristi (perjamuan kudus), yakni upacara pemberkatan dan pembagi-bagian roti dan anggur. Upacara ini dilakukan demi mematuhi perintah Yesus dalam Perjamuan Terakhir kepada murid-muridnya agar diperbuat guna mengenang dirinya sewaktu membagi-bagikan roti kepada mereka sambil berkata, "inilah tubuhku", dan mengedarkan cawan berisi minuman anggur sambil berkata, "inilah darahku".[122] Beberapa denominasi Kristen mempraktikkan komuni tertutup (persekutuan tertutup), sehingga hanya membagikan komuni (roti dan anggur yang sudah diberkati) kepada orang-orang yang sudah bergabung dengan denominasinya, atau kadang-kadang hanya kepada orang-orang yang sudah bergabung dengan jemaat gerejanya. Gereja Katolik hanya membagikan komuni kepada anggota-anggotanya yang tidak dalam keadaan berdosa berat. Sebagian besar denominasi mempraktikkan komuni terbuka, karena menurut pandangan mereka komuni adalah sarana untuk bersekutu, dan bukan persekutuan itu sendiri. Denominasi-denominasi semacam ini mempersilahkan semua orang Kristen untuk ikut mengambil bagian.
Tata ibadat dapat diubah suai pada kesempatan-kesempatan istimewa seperti pembaptisan atau pernikahan yang diselenggarakan selama ibadat berlangsung, atau pada hari-hari raya penting. Dalam peribadatan Gereja perdana, orang-orang yang belum selesai menjalani proses inisiasi (para katekumen) akan dipisahkan dari jemaat bilamana ibadat akan dilanjutkan ke bagian upacara Ekaristi. Di banyak gereja sekarang ini, kanak-kanak dipisahkan dari orang dewasa sepanjang seluruh atau sebagian dari waktu peribadatan untuk diberi pengajaran yang sesuai dengan usia mereka. Ibadat khusus untuk kanak-kanak ini disebut Sekolah Minggu atau Sekolah Sabat (Sekolah Minggu sering kali diselenggarakan sebelum ibadat, alih-alih sewaktu ibadat berlangsung).
Dan di kalangan kami santapan ini disebut Eukaristia, yang tak seorang pun diperbolehkan ikut menyantapnya kecuali yang percaya bahwa segala sesuatu yang kami ajarkan itu benar adanya, dan yang telah dibasuh dengan pembasuhan demi penghapusan dosa, dan demi kelahiran kembali, dan yang dengan demikian menjalani hidup seturut arahan Kristus. Karena bukan seperti roti biasa dan minuman biasa kami menyantapnya; melainkan selayaknya Yesus Kristus Juru Selamat kami, yang setelah menjadi manusia oleh Sabda Allah, memiliki daging maupun darah demi keselamatan kami, demikianlah kami diajarkan bahwa santapan yang diberkati dengan doa dari perkataannya itu, dan yang olehnya darah dan daging kami dipelihara melalui perubahan zat itu, adalah daging dan darah Yesus setelah menjadi manusia.
Dalam ruang lingkup keyakinan dan praktik agama Kristen, sakramen adalah ritus yang ditetapkan oleh Kristus menjadi saluran kasih karunia ilahi, dan merupakan suatu misteri suci. Istilah "sakramen" berasal dari kata Latin, sacramentum, yang dijadikan padanan bagi kata Yunani, μυστήριον, misterion (misteri). Denominasi-denominasi Kristen berbeda pandangan sehubungan dengan ritus mana saja yang dapat disebut sakramen, dan tindakan apa saja yang diperlukan demi kesahihan sebuah sakramen.[123]
Definisi fungsional yang paling lazim dari sakramen adalah suatu tanda yang bersifat lahiriah yang ditetapkan oleh Kristus sebagai saluran kasih karunia rohani yang bersifat batiniah melalui Kristus. Dua sakramen yang paling berterima luas adalah sakramen Pembaptisan dan sakramen Ekaristi (Perjamuan Kudus). Meskipun demikian, mayoritas umat Kristen juga mengakui lima sakramen lain, yakni sakramen Penguatan (disebut Krisma di kalangan Kristen Ortodoks), sakramen Imamat (pentahbisan), sakramen Tobat (pengakuan dosa), sakramen Pengurapan, dan sakramen Pernikahan.[123]
Jika disatukan, sakramen-sakramen ini merupakan Ketujuh Sakramen yang diakui oleh Gereja-Gereja bertradisi Gereja Tinggi, terutama Gereja Katolik, Gereja Ortodoks Timur, Gereja Ortodoks Oriental, gereja-gereja Katolik Independen, gereja Katolik Lama, banyak gereja Anglikan, dan sejumlah gereja Lutheran. Sebagian besar dari denominasi-denominasi Kristen yang selebihnya hanya mengakui Baptisan dan Perjamuan Kudus sebagai sakramen, sementara sejumlah denominasi Protestan, misalnya kaum Quaker, menolak teologi sakramen.[123] Denominasi-denominasi Kristen yang meyakini bahwa ritus-ritus ini tidak mendatangkan kasih karunia, misalnya gereja Baptis, lebih suka menyebut Baptisan dan Perjamuan Kudus sebagai ordinansi daripada sebagai sakramen.
Selain sakramen-samramen di atas, Gereja Negeri Timur mengakui pula dua sakramen lain sebagai ganti sakramen Pernikahan dan sakramen Pengurapan, yakni sakramen Ragi Suci (Melka) dan sakramen Tanda Salib.[124]
Umat Kristen Katolik, Anglikan, Ortodoks Timur, dan jemaat-jemaat Protestan tradisional menata hari-hari peribadatannya sedemikian rupa sehingga membentuk satu tahun liturgi. Satu siklus liturgi tahunan ini terbagi lagi menjadi serangkaian masa. Masing-masing masa dalam tahun liturgi menonjolkan tema teologi tertentu dan tata cara beribadat tertentu yang ditunjukkan dengan berbagai macam cara menghias gereja, warna-warna paramentum dan vestimentum bagi rohaniwan,[125] nas-nas Alkitab yang dibacakan dalam ibadat, tema-tema khotbah, dan bahkan dengan berbagai macam tradisi serta praktik untuk diamalkan oleh anggota jemaat secara pribadi atau di tempat tinggalnya masing-masing.
Penanggalan liturgi Kristen di Dunia Barat disusun mengikuti siklus tahunan dari pelaksanaan ritus Romawi dalam Gereja Katolik,[125] sementara umat Kristen Timur menggunakan penanggalan-penanggalan serupa yang disusun mengikuti siklus tahunan dari pelaksanaan ritus Gereja mereka masing-masing. Dalam penanggalan-penanggalan ini, hari-hari tertentu diistimewakan sebagai hari-hari suci, misalnya solemnitas (hari raya) untuk memperingati peristiwa-peristiwa tertentu dalam kehidupan Yesus, Maria, atau orang-orang kudus. Ada jangka-jangka waktu tertentu yang ditetapkan untuk berpuasa, misalnya masa prapaskah (masa puasa); ada hari-hari yang ditetapkan untuk memperingati peristiwa-peristiwa penting tertentu, misalnya memoria (peringatan); ada pula hari-hari yang ditetapkan untuk merayakan festum (pesta) orang-orang kudus. Denominasi-denominasi Kristen yang tidak menggunakan penanggalan liturgi sering kali masih mempertahankan hari-hari suci tertentu sebagaimana yang ditetapkan dalam penanggalan liturgi, misalnya hari raya Natal untuk memperingati kelahiran Yesus, hari raya Paskah untuk memperingati kebangkitan Yesus, dan hari raya Pentakosta untuk memperingati turunnya Roh Kudus ke atas Gereja. Ada pula segelintir denominasi Kristen yang sama sekali tidak memanfaatkan penanggalan liturgi.[126]
Pada umumnya agama Kristen tidak mempraktikkan anikonisme, yaitu penolakan atau pelarangan terhadap pemanfaatan berbagai macam citra, meskipun beberapa sekte Kristen Yahudi dan sejumlah denominasi Kristen modern sampai pada taraf tertentu lebih suka untuk tidak menggunakan citra-citra makhluk hidup sebagai lambang dengan alasan ketaatan pada larangan menyembah berhala dalam Dasatitah.
Salib, yakni salah satu lambang yang paling dikenal di seluruh dunia sekarang ini, digunakan sebagai salah satu lambang agama Kristen semenjak permulaan sejarah Gereja.[127][128] Dalam karya tulisnya yang berjudul De Corona (Perihal Mahkota), Tertulianus mengemukakan bahwa sudah menjadi tradisi bagi umat Kristen untuk berulang kali menandai dahi mereka dengan tanda salib.[129] Meskipun lambang salib sudah dikenal oleh umat Kristen perdana, krusifiks (salib dengan citra Yesus) baru mulai digunakan pada abad ke-5.[130]
Di antara berbagai macam lambang yang digunakan oleh umat Kristen perdana, agaknya lambang ikanlah yang menempati posisi terpenting. Dari peninggalan-peninggalan sejarah semisal bangunan-bangunan makam diketahui bahwa lambang ikan sangat lumrah digunakan oleh umat Kristen semenjak permulaan sejarah Gereja. Gambar ikan sudah digunakan sebagai salah satu lambang agama Kristen pada dasawarsa-dasawarsa pertama dalam abad ke-2.[131] Kepopulerannya di kalangan umat Kristen agaknya bersumber dari sebuah singkatan terkenal yang terdiri atas lima huruf Yunani pembentuk kata iktys (ikan). Kalimat yang disingkat menjadi kata iktys ini adalah serangkai perkataan Yunani yang pendek namun dengan jelas menggambarkan fitrah Kristus sebagai pribadi yang layak disembah oleh orang-orang percaya, yakni Iesous Kristos Teou Yios Soter (Ίησοῦς Χριστός, Θεοῦ Υἱός, Σωτήρ), yang berarti Yesus Kristus, Putra Allah, Juru Selamat.[131]
Lambang-lambang utama lainnya dalam agama Kristen meliputi, monogram ki-ro, burung merpati (lambang Roh Kudus), anak domba kurban (lambang pengorbanan diri Kristus), pokok anggur (melambangkan perlunya umat Kristen senantiasa terhubung dengan Kristus), dan berbagai macam lambang lain. Semua lambang ini bersumber dari ayat-ayat Kitab Suci Perjanjian Baru.[130]
Baptisan adalah tindakan ritual, dengan menggunakan air, untuk mengesahkan seseorang menjadi anggota warga Gereja. Denominasi-denominasi Kristen berbeda keyakinan sehubungan dengan baptisan. Perbedaan yang pertama berkaitan dengan permasalahan mengenai apakah tindakan membaptis memiliki arti rohani yang penting. Sebagian denominasi, misalnya Gereja Katolik, Gereja Ortodoks Timur, serta sejumlah gereja Lutheran dan Anglikan, menganut doktrin baptisan demi kelahiran kembali, yang menegaskan bahwa baptisan menumbuhkan atau meneguhkan iman seseorang, dan erat kaitannya dengan keselamatan. Denominasi-denominasi lain beranggapan bahwa baptisan semata-mata adalah suatu tindakan simbolis belaka, yakni suatu pernyataan di muka umum mengenai perubahan batiniah yang telah terjadi dalam diri seseorang, namun tidak mengandung khasiat rohaniah. Perbedaan yang kedua berkaitan dengan tata cara pelaksanaan baptisan. Orang dapat dibaptis dengan cara imersi (celup), submersi (selam), afusi (guyur), dan aspersi (percik). Denominasi-denominasi yang percaya bahwa baptisan mengandung khasiat rohaniah lazimnya mengamalkan pula tradisi pembaptisan bayi.[132] Semua Gereja Ortodoks mempraktikkan pembaptisan bayi, dan senantiasa membaptis dengan cara mencelupkan tubuh si penerima baptisan ke dalam air sebanyak tiga kali berturut-turut dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus.[133][134] Gereja Katolik juga mempraktikkan pembaptisan bayi,[135] biasanya dengan cara mengguyurkan air ke kepala bayi yang dibaptis seraya mendaraskan rumusan Tritunggal.[136]
Taklimat Yesus mengenai doa dalam Khotbah di Bukit menunjukkan kurangnya minat terhadap aspek-aspek lahiriah dari doa. Kepedulian terhadap teknik-teknik berdoa dikutuk sebagai perbuatan 'syirik', sementara sikap percaya secara bersahaja pada kerahiman Allah sebagai pribadi yang kebapakan justru digiatkan (Matius 6:5–15). Dalam berbagai ayat Perjanjian Baru, kebebasan untuk mendekat pada Allah ini juga ditonjolkan (Filipi 4:6, Yakobus 5:13–19). Sikap percaya diri semacam ini harus dipahami dalam lingkup keyakinan Kristen akan adanya hubungan istimewa antara orang percaya dan Kristus melalui Roh Kudus yang bersemayam di dalam dirinya.[137]
Dalam tradisi-tradisi agama Kristen pada masa-masa selanjutnya, gerak-gerik tubuh tertentu ditonjolkan, termasuk gerak-gerik tubuh khas Abad Pertengahan seperti berlutut atau membuat tanda salib. Berlutut, bersoja, dan bersujud (lihat pula poklon) sering kali dipraktikkan oleh denominasi-denominasi Kristen yang lebih tradisional. Umat Kristen di Dunia Barat acap kali berdoa sambil merapatkan kedua telapak tangan dengan ujung-ujung jari mengarah ke depan seperti dalam upacara komendasi feodal (baiat). Adakalanya digunakan pula sikap berdoa orans yang jauh lebih kuno, yakni mengangkat kedua belah tangan dengan telapan tangan menghadap ke depan, ujung-ujung jari mengarah ke atas, dan kedua siku tertekuk.
Doa syafaat adalah berdoa demi kepentingan orang lain. Ada banyak riwayat tentang doa syafaat dalam Alkitab, antara lain doa syafaat Rasul Petrus demi kesembuhan orang-orang sakit (Kisah Para Rasul 9:40) dan doa syafaat nabi-nabi dalam Perjanjian Lama demi kepentingan orang lain (1 Raja–Raja 17:19–22). Dalam Surat Yakobus, doa syafaat orang-orang percaya biasa tidak dibedakan dari doa syafaat Elia, nabi besar Perjanjian Lama (Yakobus 5:16–18). Menurut agama Kristen, makbul tidaknya doa bergantung pada kuasa Allah, bukan pada status si pendoa.[137]
Gereja purba, yang mencakup Gereja Timur maupun Gereja Barat, mengembangkan tradisi memohon syafaat orang-orang kudus (yang sudah meninggal dunia). Sampai sekarang tradisi ini masih dipraktikkan dalam Gereja Ortodoks Timur, Gereja Ortodoks Oriental, Gereja Katolik, dan sejumlah gereja Anglikan. Meskipun demikian, gereja-gereja yang terbentuk pada zaman Reformasi Protestan menolak tradisi berdoa kepada orang-orang kudus, dengan alasan bahwa Kristus adalah satu-satunya perantara bagi umat manusia.[138] Tokoh Reformasi Protestan, Hulderikus Zwingli, mengaku pernah berdoa kepada orang-orang kudus sampai akhirnya diyakinkan oleh nas Alkitab bahwa perbuatan semacam itu adalah penyembahan berhala.[139]
Menurut Katekismus Gereja Katolik, "berdoa adalah mengarahkan akal budi dan hati kepada Allah atau meminta hal-hal baik dari Allah."[140] Buku Doa Bersama yang dipergunakan di kalangan Anglikan adalah sebuah buku pedoman tata ibadat di gereja yang memuat doa-doa, bacaan-bacaan Kitab Suci, dan sekumpulan madah atau mazmur untuk dinyanyikan.
Agam Kristen bermula sebagai sebuah sekte agama Yahudi di kawasan Syam, Timur Tengah, pada pertengahan abad pertama tarikh Masehi. Selain agama Yahudi era kenisah kedua, keyakinan-keyakinan besar yang turut mempengaruhi agama Kristen perdana adalah agama Majusi dan ajaran-ajaran Gnostik.[note 2][7][8][141] John Bowker berpendapat bahwa gagasan-gagasan Kristen seperti "para malaikat, kiamat, pengadilan terakhir, kebangkitan, serta surga dan neraka mendapatkan bentuk dan maknanya dari ... kepercayaan-kepercayaan agama Majusi".[142] Agama Kristen mula-mula bertumbuh di bawah kepemimpinan kedua belas rasul, khususnya Petrus dan Paulus, yang dilanjutkan oleh para uskup[note 5] perdana yang dihormati oleh umat Kristen selaku pengganti para rasul.
Menurut Kitab Suci agama Kristen, umat Kristen sejak semula telah ditindas oleh sejumlah pemuka agama Yahudi dan Romawi, yang tidak setuju dengan ajaran-ajaran para rasul (baca Perpecahan Gereja Perdana dan Yudaisme). Penindasan ini juga dilakukan melalui pemberian berbagai macam hukuman, termasuk hukuman mati, kepada umat Kristen, seperti yang dialami oleh Stefanus (Kisah Para Rasul 7:59) dan Yakobus bin Zebedeus (Kisah Para Rasul 12:2). Penindasan-penindasan berskala besar dilakukan oleh pemerintah Kekaisaran Romawi, dan pertama kali terjadi pada tahun 64, manakala Kaisar Nero mengambinghitamkan umat Kristen sebagai penyebab peristiwa kebakaran besar di Roma. Menurut tradisi Gereja, pada masa penindasan Kaisar Nero inilah para pemimpin Gereja Perdana, Petrus dan Paulus, meninggal sebagai syuhada di Roma.
Penindasan-penindasan yang lebih luas lagi berlangsung selama masa pemerintahan sembilan Kaisar Romawi berikutnya, dan yang paling gencar terjadi pada masa pemerintahan Kaisar Desius dan Kaisar Dioklesianus. Semenjak tahun 150, para ulama Kristen mulai menghasilkan karya-karya tulis teologi dan apologi untuk membela iman Kristen. Para pujangga ini dikenal dengan sebutan bapa-bapa Gereja, dan kajian atas karya-karya mereka disebut Studi Patristik atau Patrologi. Bapa-bapa Gereja terdahulu yang terkenal antara lain Ignasius dari Antiokhia, Polikarpus, Yustinus Martir, Ireneus, Tertulianus, Klemens dari Aleksandria, dan Origenes.
Armenia diyakini sebagai negara pertama yang menerima agama Kristen,[110][143][144] manakala Raja Tirdat III menjadikan agama Kristen sebagai agama negara Armenia antara tahun 301 dan 314. Agama Kristen bukanlah agama baru di Armenia kala itu, karena sudah menyebar ke negeri itu selambat-lambatnya sejak abad ke-3, dan mungkin saja sudah hadir lebih awal lagi.[145]
Penindasan oleh negara mereda pada abad ke-4, setelah Konstantinus I mengeluarkan maklumat toleransi pada tahun 313. Kala itu, penganut agama Kristen masih merupakan golongan minoritas, mungkin hanya lima persen dari populasi Romawi.[146] Pada 27 Februari 380, Kaisar Teodosius I mengundangkan sebuah hukum yang menetapkan agama Kristen versi Nikea sebagai agama Kristen yang sah dianut di Kekaisaran Romawi.[147] Segera sesudah dijadikan agama negara, agama Kristen tumbuh dengan subur. Gereja menerima banyak sumbangan dari orang-orang kaya hingga mampu membeli tanah.[148] Selambat-lambatnya semenjak abad ke-4, agama Kristen telah berperan penting dalam pembentukan peradaban Dunia Barat.[149]
Kaisar Konstantinus juga berjasa menyelenggarakan Konsili Nicea yang pertama pada 325, untuk mengusut tuntas bidah Arianisme, dan merumuskan Syahadat Nikea yang hingga kini masih dipakai oleh Gereja Katolik, Gereja Ortodoks Timur, persekutuan gereja-gereja Anglikan, dan banyak gereja Protestan.[43] Konsili Nikea adalah yang pertama dari serangkaian Konsili Oikumene (sedunia) yang secara resmi merumuskan unsur-unsur teologi Gereja, terutama yang berkaitan dengan Kristologi.[150] Gereja Timur Asiria tidak menerima keputusan Konsili Oikumene yang ketiga berikut keputusan konsili-konsili yang diselenggarakan sesudahnya, dan sampai sekarang masih berdiri sendiri di luar lingkup persekutuan-persekutuan Kristen lainnya.
Kehadiran agama Kristen di Afrika bermula pada abad pertama Masehi di Mesir, dan pada abad ke-2 di kawasan sekitar Kartago. Penginjil Markus merintis pembentukan Gereja Ortodoks Koptik di Aleksandria pada ca. 43 M.[151][152][153] Tokoh-tokoh Afrika yang telah mempengaruhi perkembangan agama Kristen antara lain Tertulianus, Klemens dari Aleksandria, Origenes dari Aleksandria, Siprianus, Atanasius, dan Agustinus dari Hipo. Di kemudian hari, kemunculan Islam di Afrika Utara menyusutkan ukuran dan jumlah jemaat-jemaat Kristen, serta hanya menyisakan Gereja Koptik di Mesir, Gereja Tewahedo Ortodoks Etiopia di kawasan Tanduk Afrika, dan Gereja Nubia di Sudan (Nobatia, Makuria, dan Alodia).
Di bidang kemakmuran dan kehidupan berbudaya, Kekaisaran Romawi Timur merupakan salah satu dari puncak-puncak pencapaian dalam sejarah agama Kristen dan peradaban Kristen.[154] Konstantinopel tetap menjadi kota terunggul di seluruh Dunia Kristen dari segi ukuran, kemakmuran, dan budayanya.[155] Di kota ini pula minat terhadap filsafat Yunani klasik bersemi kembali, dan jumlah karya sastra dalam bahasa Yunani semakin bertambah banyak.[156] Kesenian dan kesusastraan Romawi Timur sangat dihargai di Eropa, dan seni rupa Romawi Timur telah meninggalkan kesan yang bertahan sangat lama dalam kebudayaan Dunia Barat.[157]
Dengan runtuhnya Kekaisaran Romawi di Eropa Barat, lembaga kepausan tampil menjadi salah satu pihak yang turut berperan di pentas politik. Kenyataan ini pertama kali terlihat dalam perundingan diplomatik yang dilakukan Sri Paus Leo dengan orang Hun dan orang Vandal.[158] Gereja juga memasuki kurun waktu usaha dakwah dan penambahan umat yang berlangsung lama di tengah-tengah berbagai suku dan kaum di Eropa. Manakala pengikut bidah Kristen Arian menetapkan hukuman mati bagi pelaku penyembahan berhala (lihat Pembantaian Verden sebagai contoh), agama Kristen Katolik justru menyebar di kalangan suku-suku bangsa Jermani,[158] Kelt, Slav, Magyar, dan Balt yang masih memuja berhala. Agama Kristen telah menjadi unsur penting dalam pembentukan peradaban Dunia Barat, setidaknya semenjak abad ke-4.[16][17][149]
Sekitar tahun 500, Santo Benediktus menyusun aturan biara, dan dengan demikian menghadirkan suatu tatanan regulasi yang berkaitan dengan pendirian dan pengelolaan biara.[158] Monastisisme menjadi kekuatan besar di seluruh Eropa,[158] dan memunculkan banyak pusat pendidikan perdana; yang paling terkenal di antaranya adalah pusat-pusat pendidikan di Irlandia, Skotlandia, dan di Galia, yang turut andil dalam gerakan Pembaharuan Karoling pada abad ke-9.
Pada abad ke-7, bala tentara Muslim menaklukkan Negeri Syam (termasuk Yerusalem), Afrika Utara, dan Spanyol. Salah satu faktor yang mendukung keberhasilan bala tentara Musim adalah merosotnya kekuatan Kekaisaran Romawi Timur akibat perang berpuluh-puluh tahun melawan Persia.[159] Semenjak abad ke-8, seiring meningkatnya kekuasaan raja-raja wangsa Karoling, lembaga kepausan mulai mendapatkan dukungan politik yang lebih besar dari Kerajaan orang Franka.[160]
Pada Abad Pertengahan, terjadi perubahan-perubahan besar dalam Gereja. Paus Gregorius Agung secara dramatis merombak dan menata ulang struktur dan administrasi Gereja.[161] Pada permulaan abad ke-8, umat Kristen terpecah-belah akibat bidah ikonoklasme yang didukung oleh kaisar-kaisar Romawi Timur. Konsili Oikumene Nikea yang kedua pada 787 akhirnya mengeluarkan keputusan yang membenarkan penggunaan ikon oleh umat Kristen.[162] Pada permulaan abad ke-10, monastisisme Kristen di Dunia Barat semakin berkembang berkat usaha-usaha pembaharuan yang dipelopori oleh biara induk tarekat Benediktin di Cluny.[163]
Hebraisme, sebagaimana Helenisme, merupakan salah satu faktor mahapenting dalam perkembangan peradaban Dunia Barat; agama Yahudi, selaku pendahulu dari agama Kristen, secara tidak langsung banyak memberi sumbangan bagi pembentukan nilai-nilai luhur dan akhlak bangsa-bangsa Barat semenjak agama Kristen menyebar luas di daratan Eropa.[17]
Semenjak abad ke-11, sekolah-sekolah katedral yang sudah lama berdiri di Dunia Barat dikembangkan menjadi universitas-universitas (lihat Universitas Oxford, Universitas Paris, dan Universitas Bologna). Universitas-universitas tradisional Abad Pertengahan ini—hasil pengembangan sekolah-sekolah gereja Katolik dan Protestan—selanjutnya membentuk struktur-struktur akademik khusus untuk mendidik mahasiswa dalam jumlah yang lebih besar secara lebih layak agar menjadi tenaga-tenaga profesional. Profesor Walter Rüegg, penyunting buku A History of the University in Europe, mengemukakan bahwa universitas-universitas pada zaman itu hanya mendidik mahasiswa untuk menjadi rohaniwan, ahli hukum, pamong praja, dan tabib.[164]
Meskipun pada awalnya hanya mengajarkan mata kuliah teologi, universitas-universitas mulai menambahkan mata-mata kuliah lain, seperti ilmu pengobatan, filsafat, dan hukum. Universitas-universitas yang mengajarkan berbagai mata kuliah tambahan ini menjadi cikal bakal dari lembaga-lembaga pendidikan tinggi modern.[165] Pada umumnya universitas dianggap sebagai lembaga yang berlatar belakang agama Kristen Abad Pertengahan.[166][167] Sebelum universitas-universitas didirikan, penyelenggara pendidikan tinggi di Eropa selama ratusan tahun adalah sekolah-sekolah katedral atau sekolah-sekolah biara (bahasa Latin: scholae monasticae), tempat para biarawan dan biarawati mengajarkan berbagai mata pelajaran. Sekolah-sekolah yang merupakan para leluhur langsung dari universitas-universitas ini terbukti sudah ada di berbagai tempat semenjak abad ke-6.[168]
Seiring maraknya pendirian "kota-kota baru" di seluruh Eropa, terbentuk pula tarekat-tarekat fakir Kristen yang membawa keluar cara hidup bakti dari lingkungan biara ke tengah-tengah lingkungan perkotaan. Dua tarekat fakir yang paling menonjol adalah Tarekat Fransiskan yang didirikan oleh Santo Fransiskus,[169] dan Tarekat Dominikan yang didirikan oleh Santo Dominikus.[170] Kedua tarekat ini sangat berjasa bagi tumbuh kembangnya universitas-universitas besar di Eropa. Tarekat baru lainnya adalah Tarekat Sistersien yang membangun biara-biara besar di daerah-daerah yang belum dihuni orang. Biara-biara Sistersien ini berjasa merintis berdirinya permukiman-permukiman baru. Pada masa itu, gedung-gedung gereja dan seni arsitektur gerejawi meraih capaian-capaian baru, yang berpuncak pada gaya arsitektur Romanik dan Gothik, serta katedral-katedral megah di Eropa.[171]
Sejak tahun 1095, yakni pada masa pontifikat Paus Urbanus II, Perang Salib dikobarkan.[172] Perang Salib adalah serangkaian aksi militer di Tanah Suci dan di tempat-tempat lain, yang dilancarkan sebagai tanggapan atas permohonan bantuan yang diajukan Kaisar Romawi Timur, Aleksios I, untuk melawan usaha perluasan wilayah yang dilakukan oleh bangsa Turki. Perang Salib pada akhirnya gagal membendung agresi Islam, bahkan menjadi penyebab timbulnya rasa permusuhan di kalangan umat Kristen sendiri setelah kota Konstantinopel dijarah bala tentara Kristen dari Eropa Barat semasa Perang Salib yang ke-4.[173]
Dari abad ke-7 sampai abad ke-13, umat Kristen di Dunia Barat dan umat Kristen di Dunia Timur lambat laun terasing satu sama lain. Keterasingan ini bermuara pada skisma yang memecah-belah umat Kristen menjadi Gereja cabang barat, yakni Gereja Katolik,[174] dan Gereja cabang timur (sebagian besar adalah Kristen Yunani), yakni Gereja Ortodoks. Dua Gereja ini berselisih pendapat mengenai sejumlah isu seputar tadbir, liturgi, dan doktrin, terutama isu keutamaan yurisdiksi Sri Paus.[175][176] Konsili Lyon II pada 1274, dan Konsili Firenze pada 1439 berusaha mempersatukan kembali kedua Gereja ini, akan tetapi Gereja Ortodoks menolak memberlakukan putusan-putusan Konsili Lyon maupun Konsili Firenze, sehingga kedua Gereja masih tetap terpisah sampai sekarang. Meskipun demikian, Gereja Katolik telah berhasil memulihkan persatuan dengan sejumlah Gereja Timur yang lebih kecil.
Mulai sekitar tahun 1184, sesudah Perang Salib melawan bidah Katarisme,[177] berbagai lembaga peradilan, yang secara umum disebut Inkuisisi, dibentuk dengan tujuan memberantas bidah serta menjaga kesatuan agama dan doktrin Kristen melalui konversi agama dan gugatan hukum.[178]
Semangat Pembaharuan pada abad ke-15 menghidupkan kembali minat orang pada khazanah ilmu pengetahuan peninggalan Abad Kuno. Skisma besar lainnya, yakni Reformasi Protestan, memecah-belah umat Kristen di Dunia Barat menjadi beberapa aliran.[182] Pada 1517, Martin Luther memprotes penjualan indulgensi (anugerah penghapusan ganjaran dosa) dan tak seberapa lama kemudian mulai menafikan sejumlah pokok penting dalam doktrin Gereja Katolik.[183]
Tokoh-tokoh Reformasi Protestan lainnya seperti Hulderikus Zwingli, Yohanes Oecolampadius, Yohanes Kalvin, Yohanes Knox, dan Yakobus Arminius bertindak lebih jauh lagi dengan mengecam ajaran dan peribadatan Katolik. Penentangan-penentangan terhadap Gereja Katolik ini berkembang menjadi sebuah gerakan bernama Protestantisme yang menafikan keutamaan Sri Paus, peranan Tradisi Suci, Tujuh Sakramen, serta berbagai doktrin dan praktik lainnya.[183] Gerakan Reformasi Protestan di Inggris bermula pada 1534, manakala Raja Henry VIII dipermaklumkan sebagai Kepala Gereja Inggris. Mulai dari tahun 1536, biara-biara di seluruh Inggris, Wales, dan Irlandia dibubarkan.[184]
Tomas Müntzer, Andreas Karlstadt, dan sejumlah teolog lainnya beranggapan bahwa baik Gereja Katolik maupun aliran-aliran Reformasi Magisterial sudah menyimpang dari kebenaran. Para teolog ini memprakarsai gerakan Reformasi Radikal yang melahirkan berbagai denominasi Anabaptis.
Gereja Katolik menanggapi gerakan Reformasi Protestan dengan melakukan serangkaian upaya perombakan dan pembaharuan internal yang disebut Kontra Reformasi atau Reformasi Katolik.[185] Konsili Trento menjelaskan dan menegaskan kembali doktrin Gereja Katolik. Selama abad-abad berikutnya, persaingan antara agama Kristen Katolik dan agama Kristen Protestan dicampuradukkan dengan perjuangan politik negara-negara Eropa.[186]
Sementara itu, penemuan Amerika oleh Kristoforus Kolumbus pada 1492 menimbulkan suatu gelombang kegiatan dakwah yang baru. Berkat semangat baru untuk berdakwah ini, meskipun seiring sejalan dengan usaha perluasan wilayah jajahan oleh negara-negara kuat di Eropa, agama Kristen menyebar ke Amerika, Oseania, Asia Timur, dan Afrika Sub-Sahara.
Di seluruh Eropa, perpecahan yang ditimbulkan oleh Reformasi Protestan bermuara pada maraknya aksi kekerasan bermotif agama dan pembentukan gereja-gereja negara yang berdiri sendiri-sendiri. Aliran Lutheran menyebar ke kawasan utara, tengah, dan timur dari wilayah negara Jerman, Livonia, dan Skandinavia. Aliran Anglikan terbentuk di Inggris pada 1534. Aliran Kalvinis dan beragam pecahannya (misalnya Aliran Presbiterian) menyebar di Skotlandia, Negeri Belanda, Hongaria, Swiss, dan Prancis. Alitan Arminian mendapatkan pengikut di Belanda dan Frisia. Semua perbedaan ini pada akhirnya menimbulkan sengketa-sengketa yang dipicu oleh masalah agama. Perang Tiga Puluh Tahun, Perang Saudara Inggris, dan Perang Agama Prancis merupakan contoh-contoh yang paling menonjol. Peristiwa-peristiwa semacam ini memanaskan perdebatan di kalangan umat Kristen seputar persekusi dan toleransi.[187]
Pada era yang terkenal dengan sebutan Penyimpangan Besar, manakala Abad Pencerahan dan Revolusi Ilmiah di Dunia Barat menimbulkan perubahan-perubahan besar di bidang kemasyarakatan, agama Kristen dihadapkan pada berbagai macam bentuk skeptisisme dan ideologi-ideologi politik modern tertentu seperti sosialisme dan liberalisme.[188] Agama Kristen ditentang dalam berbagai macam peristiwa yang berkisar dari sekadar aksi antiklerikalisme sampai luapan aksi kekerasan semisal aksi dekristenisasi saat berlangsungnya Revolusi Prancis,[189] Perang Saudara Spanyol, dan gerakan-gerakan Marxis tertentu, khususnya Revolusi Rusia dan penindasan umat Kristen di Uni Soviet oleh rezim ateis.[190][191][192][193]
Perkembangan yang sangat pesat di Eropa kala itu adalah pembentukan negara-negara bangsa selepas era Napoleon. Di seluruh negara Eropa, berbagai macam denominasi Kristen sadar sedang terlibat dalam kancah persaingan, pada taraf tinggi maupun rendah, antara satu sama lain maupun dengan negara. Variabel-variabel dalam persaingan ini adalah ukuran nisbi dari denominasi-denominasi serta orientasi keagamaan, politik, dan ideologi dari negara. Urs Altermatt dari Universitas Fribourg, yang secara khusus mencermati agama Kristen katolik di Eropa, berhasil mengidentifikasi empat ragam kehidupan berbangsa di Eropa. Di negeri-negeri yang mayoritas warganya turun-temurun memeluk agama Kristen Katolik seperti Belgia, Spanyol, dan sampai taraf tertentu juga Austria, komunitas-komunitas keagamaan dan kebangsaan kurang lebih identik. Simbiosis dan pemisahan budaya didapati di Polandia, Irlandia, dan Swiss, yakni negeri-negeri dengan denominasi-denominasi yang saling bersaing. Persaingan didapati di Jerman, Belanda, dan juga di Swiss, yakni negara-negara dengan populasi Katolik minoritas yang kurang lebih bangga menjadi anak bangsa dari negeri yang ditinggalinya. Yang terakhir, pemisahan antara agama (khususnya agama Kristen Katolik) dan negara didapati dalam taraf yang tinggi di Prancis dan Italia, yakni di negeri-negeri tempat negara secara aktif menentang kewenangan Gereja Katolik.[194]
Gabungan faktor-faktor pembentukan negara-negara bangsa dan ultramontanisme, khususnya di Jerman dan Belanda, juga di Inggris (dalam taraf yang jauh lebih rendah[195]), sering kali memaksa gereja-gereja, organisasi-organisasi, dan anggota-anggota jemaat Katolik untuk memilih antara tunduk pada tuntutan-tuntutan kebangsaan dari negara atau tunduk pada kewenangan Gereja, teristimewa pada kewenangan lembaga kepausan. Permasalahan ini mengemuka dalam Konsili Vatikan Pertama, dan juga menjadi sebab langsung dari Kulturkampf (pergolakan budaya) di Jerman, manakala kubu liberal dan Protestan di bawah pimpinan Otto von Bismarck berhasil mengundangkan berbagai macam peraturan yang sungguh-sungguh membatasi keleluasaan Gereja Katolik dalam berekspresi dan berorganisasi.
Ketaatan beragama umat Kristen di Eropa merosot seiring munculnya modernitas dan sekularisme di benua itu,[196] khususnya di Republik Ceko dan Estonia,[197] sementara ketaatan beragama di Amerika pada umumnya tinggi jika dibandingkan dengan Eropa. Pada penghujung abad ke-20, terjadi peralihan jumlah umat Kristen yang taat beragama dari Eropa dan Amerika ke negara-negara Dunia Ketiga, dan belahan bumi selatan pada umumnya. Peradaban Dunia Barat akhirnya tak lagi menjadi pengusung utama panji-panji agama Kristen.
Beberapa kelompok masyarakat Eropa (termasuk yang di perantauan), masyarakat-masyarakat pribumi Amerika, dan masyarakat-masyarakat pribumi di benua-benua lainnya telah menghidupkan kembali agama-agama aslinya masing-masing. Sekitar 7,1 sampai 10% dari orang Arab adalah umat Kristen,[198] sebagian besar di antaranya bermukim di Mesir, Suriah, dan Lebanon.
Menurut sebuah naskah Kristen Mesir dari abad ke-12, ada sebuah gereja yang dibangun di Barus, bandar niaga di kawasan pesisir barat Sumatera Utara. Bandar ini diketahui sering dikunjungi oleh saudagar-saudagar India, sehingga gereja di Barus mungkin saja memiliki hubungan dengan umat Kristen Santo Tomas di India.[199]
Setelah berhasil menguasai bandar Goa di India pada 1510 dan merebut bandar Malaka di Semenanjung Malaya pada 1511, para pelaut Portugis melanjutkan pelayaran niaganya ke berbagai pelosok kepulauan Nusantara. Pemimpin-pemimpin orang Makassar di kawasan selatan Pulau Sulawesi beberapa kali mengungkapkan ketertarikan mereka terhadap agama Kristen pada abad ke-16. Permintaan tenaga misionaris Katolik ke Malaka tidak kunjung dikabulkan, mungkin karena ketiadaan rempah-rempah di daerah ini, dan masyarakat di kawasan selatan Pulau Sulawesi akhirnya memeluk agama Islam semenjak 1605.[200] Setelah para saudagar Portugis dianugerahi hak monopoli niaga cengkih dari Sultan Ternate, komunitas Kristen Katolik pertama di kepulauan Nusantara akhirnya terbentuk di Halmahera pada 1534. Melalui jalur niaga kayu cendana antara Malaka dan Pulau Timor, saudagar-saudagar Portugis berhasil menyebarkan agama Kristen Katolik di Pulau Solor, Pulau Timor, dan Pulau Flores. Pada 1562, para misionaris Dominikan datang dari Malaka dan mendirikan sebuah gereja di Flores.[201] Manado dijadikan pangkalan pertahanan Portugis dalam rangka menghadapi sepak terjang Kesultanan Ternate. Para misionaris Portugis mendakwahkan agama Kristen di kawasan utara Pulau Sulawesi antara 1563 dan 1570, namun daerah misi ini akhirnya ditinggalkan ketika orang-orang Portugis diserang bertubi-tubi selepas peristiwa pembunuhan Sultan Hairun di Ternate.[202]
Setelah mengalahkan Portugis pada 1605, Bangsa Belanda mengusir para misionaris Katolik.[203] Kompeni Belanda menaklukkan dan menduduki Ambon pada 1605. Warga Kristen Katolik di Ambon, Manado, dan Kepulauan Sangihe-Talaud dipaksa beralih keyakinan menjadi Protestan. Pada 1613, Solor jatuh ke tangan Belanda sehingga kegiatan misi Katolik meredup di Pulau Flores dan Pulau Timor, meskipun kedua pulau ini masih dikuasai bangsa Portugis.[204]
Agama Kristen Protestan masuk ke Nusantara pada zaman penjajahan Belanda. Pada pertengahan era 1700-an, sudah ada jemaat Lutheran dalam jumlah yang signifikan di Jakarta dengan sebuah gedung gereja Lutheran yang dibangun oleh Gubernur Jenderal penganut aliran Lutheran, Gustaaf Willem van Imhoff, pada 1749.[205]
Umat Kristen Katolik baru diberi kebebasan untuk beribadat di wilayah Hindia Belanda oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada 1808. Kebijakan ini lebih ditujukan bagi kepentingan umat Kristen Katolik berkebangsaan Eropa, karena Gubernur Jenderal Daendels memerintah Hindia Belanda di bawah rezim Prancis, negara penganut agama Kristen Katolik. Kebebasan beribadah bagi umat Katolik ini dikukuhkan oleh Thomas Raffles.
Pada 1817, pemerintah kolonial Belanda mendirikan Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indie (Gereja Protestan di Hindia Belanda) atau Indische Kerk (Gereja Hindia) untuk mewadahi denominasi-denominasi Gereformeerd (Kalvinis), Lutheran, Baptis, Arminian, dan Menonit.[206] Dengan maklumat tanggal 11 Desember 1835, Raja Belanda, Willem I, menitahkan penyatuan seluruh denominasi Lutheran dan Kalvinis (baru terwujud pada 1854), serta pembentukan majelis gereja tunggal untuk mengawasi seluruh denominasi Kristen Protestan di Hindia Belanda (terwujud pada 1844).[207]
Setelah Indonesia Merdeka, agama Kristen (Katolik maupun Protestan) terus bertumbuh sekalipun bangsa Belanda maupun bangsa-bangsa Eropa lainnya diusir dari Indonesia. Agama Kristen tumbuh sangat pesat selepas pemakzulan Presiden Sukarno pada 1965. Pelarangan terhadap komunisme dan kebijakan-kebijakan anti-Konfusianisme yang dikeluarkan oleh rezim Orde Baru mengakibatkan orang berbondong-bondong (sebagian besar adalah orang Tionghoa) memeluk agama Kristen.[203]
Sejak akhir abad ke-20 sampai dengan awal abad ke-21, banyak misionaris dari Amerika Serikat yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan aliran Injili dan Pentakosta. Aliran-aliran yang sering kali disebut "karismatik" ini merupakan aliran-aliran yang dianggap "modern" karena menggabungkan keyakinan Kristen tradisional dengan pola pikir modern.[208]
Dengan jumlah pemeluk sekitar 2,5 miliar jiwa,[3][4] yang terbagi-bagi dalam tiga cabang utama, yakni Kristen Katolik, Kristen Protestan, dan Kristen Ortodoks Timur, agama Kristen merupakan agama terbesar di dunia.[2] Persentase umat Kristen dari keseluruhan populasi dunia bertahan di kisaran 33% selama seratus tahun terakhir, yang berarti bahwa satu dari tiga orang di dunia memeluk agama Kristen. Persentase ini sesungguhnya tidak memperlihatkan pergeseran besar yang telah terjadi dalam demografi Kristen, yakni pertambahan besar jumlah pemeluk agama Kristen di negara-negara berkembang yang terjadi seiring dengan penurunan besar jumlah pemeluk agama Kristen di Eropa dan Amerika Utara.[209] Menurut kajian tahun 2015 yang dilakukan oleh lembaga Pew Research Center, agama Kristen masih akan tetap menjadi agama terbesar di dunia dalam empat dasawarsa berikutnya, dan jumlah pemeluk agama Kristen mungkin akan melampaui 3 miliar jiwa pada 2050.[210]
Persentase umat Kristen Katolik dan Ortodoks (baik Gereja Ortodoks Timur maupun Gereja Ortodoks Oriental) semakin menurun, sementara persentase umat Kristen Protestan dan kelompok-kelompok Kristen lainnya semakin meningkat.[211][212][213] Kelompok yang disebut aliran Protestan populer[note 6] adalah salah satu di antara golongan-golongan keagamaan dengan pertumbuhan tercepat di dunia.[214][215]
Agama Kristen adalah agama yang paling dominan di Eropa, Benua Amerika, dan kawasan selatan Afrika. Di Asia, agama Kristen adalah agama dominan di Georgia, Armenia, Timor Leste, dan Filipina.[216] Meskipun demikian, agama Kristen mengalami penurunan jumlah pemeluk di banyak tempat, termasuk di kawasan utara dan kawasan barat Amerika Serikat,[217] Oseania (Australia dan Selandia Baru), kawasan utara Eropa (mencakup Britania Raya,[218] Skandinavia, dan lain-lain), Prancis, Jerman, Provinsi Ontario, Provinsi British Columbia, dan Provinsi Quebec di Kanada, dan berbagai negara di Asia (khususnya di Timur Tengah – sebagai akibat dari emigrasi umat Kristen,[219][220][221] Korea Selatan,[222] Taiwan,[223] dan Makau[224]).
Populasi Kristen tidak berkurang di Brazil, kawasan selatan Amerika Serikat,[225] dan Provinsi Alberta di Kanada,[226] tetapi persentasenya menurun. Di negara-negara seperti Australia[227] dan Selandia Baru,[228] populasi Kristen mengalami penurunan baik dalam jumlah maupun persentase.
Meskipun mengalami penurunan jumlah pemeluk, agama Kristen masih tetap menjadi agama terbesar di Dunia Barat, karena 70% warganya memeluk agama Kristen.[5] Survei Pew Research Center tahun 2011 mendapati bahwa 76,2% orang Eropa, 73,3% di Oseania dan sekitar 86,0% di Benua Amerika (90,0% di Amerika Latin dan 77,4% di Amerika Utara) mengaku beragama Kristen.[5][229][230][231] Pada tahun 2010, sekitar 157 negara dan wilayah di dunia merupakan tempat-tempat berpenduduk mayoritas Kristen.[2]
Meskipun demikian, banyak gerakan karismatik yang sudah berdiri kukuh di berbagai belahan dunia, teristimewa di Afrika, Amerika Latin, dan Asia.[232][233][234][235][236] Sejak 1900, terutama melalui perpindahan agama, aliran Protestan telah menyebar dengan cepat di Afrika, Asia, Oseania, dan Amerika Latin.[237] Sejak 1960 sampai 2000, tingkat pertumbuhan global umat Protestan Injili yang terlaporkan meningkat tiga kali lipat dibanding tingkat pertumbuhan populasi dunia, dan dua kali lipat dibanding tingkat pertumbuhan pemeluk agama Islam.[238] Kajian Universitas Saint Mary memperkirakan ada sekitar 10,2 juta umat Muslim beralih menjadi pemeluk agama Kristen pada 2015,[239] dan ada pula pemeluk-pemeluk agama Islam dalam jumlah yang signifikan beralih menjadi pemeluk agama Kristen di Afganistan,[240] Albania,[239] Azerbaijan[241][242] Aljazair,[243][244] Belgia,[245] Prancis,[244] Jerman,[246] Iran,[247] India,[244] Indonesia,[248] Malaysia,[249] Maroko,[244][250] Rusia,[244] Belanda,[251] Arab Saudi,[252] Tunisia,[239] Turki,[244][253][254][255] Kazakstan,[256] Kirgistan,[239] Kosovo,[257] Amerika Serikat,[258] dan Asia Tengah.[259][260] Dilaporkan pula bahwa agama Kristen cukup populer di kalangan orang-orang dari latar belakang yang berbeda-beda di India (sebagian besar beragama Hindu),[261][262] Malaysia,[263] Mongolia,[264] Nigeria,[265] Vietnam,[266] Singapura,[267] Indonesia,[268][269] Tiongkok,[270] Jepang,[271] dan Korea Selatan.[272]
Di sebagian besar negara berkembang, kebiasaan menghadiri ibadat berjemaah di gereja di kalangan masyarakat yang masih mengaku sebagai pemeluk agama Kristen telah merosot dalam beberapa dasawarsa terakhir.[273] Beberapa sumber memandang kenyataan ini sekadar sebagai bagian dari tindakan menanggalkan keanggotaan pada lembaga-lembaga tradisional,[274] sementara sumber-sumber lain mengaitkannya dengan tanda-tanda penurunan keyakinan akan pentingnya agama secara umum.[275] Meskipun jumlahnya menurun, populasi Kristen Eropa masih merupakan komponen geografis terbesar dari agama Kristen.[276] Menurut data Survei Sosial Eropa dari tahun 2012, sekitar sepertiga dari umat Kristen Eropa mengaku menghadiri ibadat berjemaah di gereja sebulan sekali atau lebih dari sekali.[277] Sebaliknya sekitar dua pertiga dari umat Kristen Amerika Latin, dan menurut World Values Survey sekitar 90% dari umat Kristen Afrika (di Ghana, Nigeria, Rwanda, Afrika Selatan, dan Zimbabwe), mengaku menghadiri ibadat berjemaah di gereja secara teratur.[277]
Agama Kristen dalam berbagai bentuknya merupakan satu-satunya agama negara di negara-negara berikut ini: Argentina (Katolik),[278] Tuvalu (Kalvinis), Tonga (Metodis), Norwegia (Lutheran),[279][280][281] Kosta Rika (Katolik),[282] Kerajaan Denmark (Lutheran),[283] Inggris (Anglikan),[284] Georgia (Ortodoks Georgia),[285] Yunani (Ortodoks Yunani),[286] Islandia (Lutheran),[287] Liechtenstein (Katolik),[288] Malta (Katolik),[289] Monako (Katolik),[290] dan Kota Vatikan (Katolik).[291]
Ada pula sejumlah besar negara lain, misalnya Siprus, yang tidak menjadikan agama Kristen sebagai agama negara namun tetap memberikan pengakuan dan dukungan resmi bagi salah satu denominasi Kristen tertentu.[292]
Aliran | Pemeluk | % dari populasi Kristen | % dari populasi dunia | Dinamika pemeluk | Dinamika masuk dan keluar agama Kristen |
---|---|---|---|---|---|
Katolik | 1,369,610,000 | 46,1 | 15,9 | Naik | Naik |
Protestan | 1.000,640,000 | 40.7 | 11.6 | Naik | Naik |
Ortodoks | 260,380,000 | 11.9 | 3.8 | Naik | Turun |
Lain-lain | 48,430,000 | 1.3 | 0.4 | Naik | Naik |
Agama Kristen | 2.5 Miliyar | 100 | 31.7 | Naik | Stabil |
Empat pecahan utama dari agama Kristen adalah Gereja Katolik, Gereja Ortodoks Timur, Gereja Ortodoks Oriental, dan rumpun bersar Protestan.[34][295] Adakalanya agama Kristen dibedakan menjadi dua pecahan yang lebih besar, yakni Gereja Timur dan Gereja Barat, yang bersumber dari peristiwa Skisma Timur-Barat (Skisma Akbar) pada abad ke-11. Meskipun demikian, ada pula kelompok-kelompok umat Kristen lain[296] yang juga bersejarah[297] namun tidak dapat begitu saja digolongkan ke dalam kategori-kategori utama ini.
Ada beragam doktrin dan praktik peribadatan di kalangan kelompok-kelompok yang menyebut dirinya Kristen. Kelompok-kelompok ini dapat saja berbeda pandangan eklesiologi sehubungan dengan penggolongan denominasi-denominasi Kristen.[298] Meskipun demikian, syahadat Nikea tahun 325 lazimnya diakui sebagai pedoman yang patut diikuti oleh sebagian besar umat Kristen, termasuk Gereja Katolik, Gereja Ortodoks Timur, Gereja Ortodoks Oriental, dan aliran-aliran utama dalam rumpun besar aliran Protestan, misalnya berbagai macam denominasi Anglikan.[299]
Berdasarkan eklesiologi Protestan, semenjak kemunculannya pada abad ke-16, rumpun besar Protestan terdiri atas bermacam-macam kelompok jemaat dan praktik peribadatan. Selain Lutheran dan Kalvinis yang merupakan dua aliran utama dari gerakan Reformasi Protestan, ada pula aliran Anglikan yang muncul dari gerakan Reformasi Inggris. Aliran Anabaptis dikucilkan oleh aliran-aliran Protestan lainnya kala itu, namun di kemudian hari diakui pula sebagai bagian dari rumpun besar aliran Protestan. Aliran Adventis, Baptis, Metodis, Pentakosta, dan berbagai macam aliran Protestan lainnya baru muncul pada abad-abad berikutnya.
Gereja Katolik terdiri atas gereja-gereja partikularis yang dikepalai oleh uskup-uskup, dalam persekutuan dengan Sri Paus, Uskup Roma, pemangku kewenangan tertinggi dalam perkara iman, akhlak, dan kepemimpinan Gereja.[300][301] Sebagaimana Gereja Ortodoks Timur, Gereja Katolik merunut asal-usulnya melalui suksesi apostolik (alih jabatan rasuli) sampai pada paguyuban umat Kristen peerdana yang dibentuk oleh Yesus Kristus.[302][303] Umat Katolik percaya bahwa "Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik, yang didirikan oleh Yesus Kristus sendiri, seutuhnya berada dalam Gereja Katolik, namun mengakui pula keberadaan gereja-gereja dan komunitas-komunitas Kristen lainnya,[304][305] dan berusaha mewujudkan rekonsiliasi di antara seluruh umat Kristen.[304] Iman Katolik dijabarkan dalam Katekismus Gereja Katolik.[306][307]
2.834 keuskupan[308] dikelompokkan menjadi 24 Gereja swatantra partikularis (yang terbesar di antaranya adalah Gereja Latin), masing-masing memiliki tradisi khas di bidang liturgi dan pelayanan sakramen.[309] Dengan lebih dari 1,1 triliun anggota jemaat terbaptis, yakni lebih dari setengah jumlah seluruh umat Kristen dan seperenam dari populasi dunia, Gereja Katolik merupakan Gereja Kristen yang terbesar.[310][311][312]
Gereja Ortodoks Timur terdiri atas Gereja-Gereja yang menjalin persekutuan dengan para batrik[note 7] Gereja Timur, misalnya Batrik Oikumene Konstantinopel.[313] Sama seperti Gereja Katolik, Gereja Ortodoks Timur juga merunut asal-usulnya sampai pada saat pembentukan agama Kristen melalui suksesi apostolik, dan struktur kepemimpinannya juga dikepalai oleh para uskup. Meskipun demikian, Gereja-Gereja dalam lingkup persekutuan ini sangat menonjolkan keswatantraannya, dan sebagian besar di antaranya merupakan Gereja kebangsaan. Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Barat masih mempersengketakan sejumlah doktrin dan lingkup kewenangan yang berpuncak pada peristiwa Skisma Akbar. Gereja Ortodoks Timur merupakan denominasi Kristen terbesar kedua, dengan jumlah jemaat sekitar 225–300 juta jiwa.[5][311][314]
Gereja Ortodoks Oriental yang juga disebut Gereja Timur Lama merupakan persekutuan Gereja-Gereja yang menerima keputusan tiga Konsili Oikumene yang pertama (Konsili Nikea I, Konsili Konstantinopel I, dan Konsili Efesus) namun menolak dogma kristologi yang dirumuskan oleh Konsili Kalsedon, dan lebih memilih berpegang pada dogma kristologi Miafisit. Gereja Ortodoks Oriental terdiri atas enam Gereja, yakni Gereja Ortodoks Suryani, Gereja Ortodoks Koptik, Gereja Ortodoks Etiopia, Gereja Ortodoks Eritrea, Gereja Ortodoks Suriah Malankara, dan Gereja Apostolik Armenia.[315] Meskipun menjalin persekutuan satu sama lain, keenam Gereja ini sepenuhnya mandiri secara hierarki.[316] Gereja-Gereja ini masih melakukan dialog dengan Gereja Ortodoks Timur untuk membina persekutuan di antara Gereja-Gereja Ortodoks.[317]
Gereja Negeri Timur Asiria, dengan rangkaian suksesi kebatrikan yang berkesinambungan semenjak terbentuk pada abad ke-17, adalah sebuah denominasi Kristen Timur yang mandiri dan mengaku sebagai kelanjutan dari Gereja Negeri Timur, sama halnya dengan kebatrikan Katolik yang terbentuk pada abad ke-16 dan berkembang menjadi Gereja Katolik Kaldea, salah satu Gereja Katolik Timur yang menjalin persekutuan dengan Sri Paus.
Bagian dari seri |
Protestanisme |
---|
|
Portal Kristen |
Pada abad ke-16, Martin Luther, kemudian Hulderikus Zwingli dan Yohanes Kalvin, memprakarsai sebuah mazhab atau aliran pemikiran yang kemudian hari disebut Protestantisme. Para pengikut ajaran teologi Martin Luther disebut kaum Lutheran, sementara para pengikut ajaran teologi Hulderikus Zwingli dan Yohanes Kalvin membentuk lebih banyak denominasi yang pada umumnya disebut kaum Reformed (bahasa Belanda: Gereformeerd).[318]
Aliran-aliran Protestan tertua yang pertama kali memisahkan diri dari Gereja Katolik semasa Reformasi Protestan sering kali mengalami perpecahan lebih lanjut.[318] Misalnya saja pada abad ke-18, aliran Metodis muncul dari gerakan Kekudusan yang digagas oleh John Wesley, seorang imam gereja Anglikan.[319] Di kemudian hari, aliran Metodis memunculkan pula sejumlah gereja Pentakosta dan gereja nondenominasi yang mengutamakan kuasa penyucian Roh Kudus.[320] Karena aliran Metodis, Pentakosta, dan aliran-aliran injili lainnya senantiasa mendengung-dengungkan imbauan "terima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadimu",[321] yang berasal dari ajaran John Wesley tentang pentingnya "lahir baru",[322] maka para pengikut aliran-aliran ini sering kali menyebut dirinya sebagai orang Kristen lahir baru.[323][324]
Perkiraan jumlah keseluruhan umat Kristen Protestan sangat tidak pasti, namun rumpun besar Protestan jelas merupakan kelompok umat Kristen terbesar kedua sesudah Gereja Katolik berdasarkan jumlah pengikut (meskipun Gereja Ortodoks Timur jauh lebih besar dari denominasi Protestan yang mana pun).[311] Jumlah perkiraan yang kerap dikemukakan adalah lebih dari 800 juta jiwa, setara dengan 40% dari jumlah keseluruhan umat Kristen di dunia.[211] Sebagian besar umat Kristen Protestan merupakan anggota dari segelintir rumpun denominasi, yakni rumpun denominasi Adventis, rumpun denominasi Anglikan, rumpun denominasi Baptis, rumpun denominasi Reformed (Kalvinis),[325] rumpun denominasi Lutheran, rumpun denominasi Metodis, dan rumpun denominasi Pentakosta.[211] Selain itu, gereja-gereja Nondenominasi, Injili, Karismatik, neo-Karismatik, Independen, dan berbagai macam gereja lainnya semakin marak bermunculan di mana-mana dan bertumbuh menjadi bagian yang penting dari rumpun besar Protestan.[326]
Salah satu rumpun aliran di dalam rumpun besar Protestan yang istimewa adalah gereja-gereja Anglikan yang bermula dari gereja Inggris dan diorganisasikan dalam komuni (persekutuan) Anglikan. Sejumlah gereja Anglikan mengaku sebagai gereja Protestan sekaligus Katolik.[327] Sejumlah tokoh Anglikan menganggap gerejanya sebagai salah satu cabang dari "Gereja Katolik yang kudus dan esa" setingkat dengan Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks Timur. Anggapan semacam ini ditolak oleh Gereja Katolik, sejumlah Gereja Ortodoks Timur, dan banyak dari umat Anglikan injili sendiri.[328][329]
Jika aliran Anglikan, aliran Lutheran, dan aliran Reformed bermula dari gerakan Reformasi Magisteral, maka ada pula kelompok-kelompok lain seperti kaum Anabaptis yang sering kali tidak menganggap dirinya Protestan. Kelompok-kelompok lain ini bermula dari gerakan Reformasi Radikal, dan memiliki ciri khas menolak pembaptisan kanak-kanak; mereka menganut paham kredobaptisme atau baptisan orang percaya, yakni keyakinan bahwa yang boleh dibaptis hanyalah orang-orang dewasa yang percaya. Aliran Anabaptis mencakup jemaat-jemaat Amische (pengikut ajaran Jakob Ammann), jemaat-jemaat Kristen Rasuli (pengikut ajaran Samuel Heinrich Fröhlich), jemaat-jemaat Bruderhof (didirikan oleh Eberhard Arnold), jemaat-jemaat Menonit (pengikut ajaran Menno Simons), jemaat-jemaat Huterit (didirikan oleh Jakob Hutter), dan jemaat-jemaat Persaudaraan Schwarzenau atau kaum Baptis Jerman.[330][331][332]
Sekelompok orang yang menganut asas-asas ajaran aliran Protestan hanya menyebut dirinya "umat Kristen" atau "umat Kristen lahir baru". Kelompok ini biasanya menghindari paham konfesionalisme dan kredalisme dari komunitas-komunitas Kristen lain[333] dengan menyebut diri mereka sebagai "kaum nondenominasional" atau "kaum injili". Karena sering kali dibentuk oleh gembala-gembala perorangan, kelompok-kelompok semacam ini sedikit sekali memiliki kaitan afiliasi dengan denominasi-denominasi historis.[334]
Semasa Kebangunan Rohani Kedua, yakni kurun waktu kesadaran beragama yang berlangsung di Amerika Serikat pada awal era 1800-an, terjadi pertambahan jumlah gereja yang tidak memiliki kaitan dengan gereja lain. Pada umumnya gereja-gereja ini menganggap dirinya sedang memulihkan gereja mula-mula yang didirikan oleh Yesus Kristus, alih-alih menganggap dirinya mendirikan sebuah gereja baru.[335] Pada umumnya umat Kristen Pemulihan ini percaya bahwa kelompok-kelompok umat Kristen lainnya telah membawa masuk kesesatan ke dalam agama Kristen. Tindakan penyesatan agama Kristen inilah yang mereka sebut sebagai Murtad Besar.[336] Iglesia ni Cristo adalah gereja Pemulihan di Asia yang dibentuk pada permulaan era 1900-an.
Beberapa gereja Pemulihan yang terbentuk pada kurun waktu ini secara historis memiliki kaitan dengan kegiatan-kegiatan perkemahan rohani pada awal abad ke-19 di daerah Midwest dan daerah Upstate New York. Salah satu dari gereja-gereja terbesar yang dihasilkan oleh gerakan ini adalah Gereja Yesus Kristus dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir.[337] Aliran Seribu Tahun dan aliran Adventis di Amerika Serikat, yang berasal dari aliran Protestan injili, mempengaruhi gerakan Saksi-Saksi Yehuwa dan gerakan Adventis Hari Ketujuh. Gerakan Adventis Hari Ketujuh sendiri muncul sebagai tanggapan atas khotbah-khotbah William Miller. Gereja-gereja Pemulihan lainnya, yakni Gereja Kristen (Murid-Murid Kristus), Gereja Masehi Injili di Kanada,[338][339] Gereja-Gereja Kristus, serta gereja-gereja Kristen dan gereja-gereja Kristus, bersumber dari Gerakan Pemulihan Stone-Campbell yang berpusat di Kentucky dan Tennessee. Kelompok-kelompok lain yang terbentuk pada kurun waktu ini meliputi kaum Kristadelfian dan gerakan Orang-Orang Suci Zaman Akhir sebagaimana yang sudah diuraikan di atas. Meskipun gereja-gereja yang bersumber dari gerakan Kebangunan Rohani Kedua memiliki beberapa tampilan lahiriah yang serupa, doktrin dan praktik-praktiknya sangat berbeda satu sama lain.
Berbagai komunitas kecil Katolik mandiri, misalnya Gereja Katolik Lama, menambahkan embel-embel katolik pada namanya, dan boleh dikata memiliki banyak kesamaan praktik dengan Gereja Katolik, akan tetapi komunitas-komunitas ini telah keluar dari persekutuan paripurna dengan Takhta Suci.
Umat Kristen Rohani, seperti kaum Doukhobor dan kaum Molokan, memisahkan diri dari Gereja Ortodoks Rusia serta membina hubungan akrab dengan kaum Mennonit dan kaum Quaker karena memiliki kesamaan dalam praktik-praktik keagamaan. Di kemudian hari semua kaum ini disebut sebagai jemaat-jemaat cinta damai karena menganut paham pasifisme.[340][341]
Agama Yahudi Mesianis (atau Gerakan Mesianis) adalah nama sebuah gerakan Kristen yang terdiri atas sejumlah aliran yang anggota-anggotanya boleh menganggap dirinya sebagai umat Yahudi. Gerakan yang bermula pada era 1960-an dan 1970-an ini mencampurkan unsur-unsur dari praktik keagamaan Yahudi dengan ajaran Kristen injili. Agama Yahudi Mesianis meyakini asas-asas kepercayaan semisal status Mesias dan kodrat ilahi dari "Yesyua" (nama Yesus dalam bahasa Ibrani) serta hakikat ketritunggalan Allah, namun juga menaati sejumlah hukum dan adab makan Yahudi.[342]
Umat Kristen esoteris atau para penganut kebatinan Kristen menganggap agama Kristen sebagai sebuah agama misteri,[343][344] dan mengakui keberadaan serta mengaku memiliki doktrin-doktrin atau praktik-praktik esoteris (kebatinan) tertentu[345][346] yang tersembunyi dari khalayak ramai dan hanya dapat diakses oleh sekalangan kecil orang-orang yang "tercerahkan", "terinisiasi", atau sangat terdidik.[347][348] Contoh lembaga kebatinan Kristen antara lain Rosicrucian Fellowship (Perhimpunan Mawar Salib), Perhimpunan Antroposofi, dan Martinisme.
Hampir sepanjang sejarahnya, kebudayaan Barat telah disamakan dengan kebudayaan Kristen, dan sebagian besar populasi Dunia Barat dapat disebut umat Kristen budaya. Istilah "Eropa" dan "Dunia Barat" telah dikait-kaitkan begitu rapat dengan gagasan tentang "agama Kristen" dan "Dunia Kristen", bahkan banyak kalangan yang beranggapan bahwa agama Kristen merupakan salah satu mata rantai dalam pembentukan jati diri Eropa yang tunggal.[349]
Kebudayaan Barat memang mengandung sejumlah anasir dari agama-agama politeistik pada awal sejarahnya di bawah kekuasaan bangsa Yunani dan bangsa Romawi, namun begitu kekuasaan terpusat bangsa Romawi meredup, Gereja Katolik pun bangkit sebagai satu-satunya kekuatan yang mantap di Eropa.[350] Sampai dengan Abad Pencerahan,[351] kebudayaan Kristen mengendalikan arus perkembangan filsafat, kesusastraan, seni rupa, seni musik, dan ilmu pengetahuan.[350][352] Pengaruh agama Kristen pada bidang-bidang tersebut di kemudian hari melahirkan filsafat Kristen, seni rupa Kristen, seni musik Kristen, kesusastraan Kristen, dan sebagainya.
Agama Kristen telah banyak berjasa bagi dunia pendidikan karena Gerejalah yang menciptakan dasar-dasar sistem pendidikan Dunia Barat,[353] dan yang mendanai pendirian universitas-universitas di Dunia Barat; oleh karena itu, pada umumnya universitas dianggap sebagai lembaga yang terbentuk di dalam ruang lingkup masyarakat Kristen pada Abad Pertengahan.[166][167] Sepanjang sejarah, agama Kristen sering kali menjadi pengayom ilmu pengetahuan dan kedokteran. Agama Kristen telah mendirikan banyak sekali sekolah, universitas, serta rumah sakit, dan banyak rohaniwan Katolik,[354] khususnya rohaniwan Yesuit,[355][356] turut berkecimpung di bidang ilmu pengetahuan sepanjang sejarah serta memberi banyak sumbangsih penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan.[357] Agama Kristen Protestan juga memiliki andil besar di bidang ilmu pengetahuan. Menurut Tesis Merton, ada korelasi positif antara kebangkitan Puritanisme Inggris serta Pietisme Jerman di satu pihak dan eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan perdana di lain pihak.[358] Dampak agama Kristen terhadap peningkatan taraf hidup manusia meliputi bidang kesejahteraan sosial,[359] pendirian rumah-rumah sakit,[360] ilmu ekonomi (misalnya etika kerja Protestan),[361][362] politik,[363] arsitektur,[364] kesusastraan,[365] perawatan kebersihan diri,[366][367] dan kehidupan berumah tangga.[368]
Umat Kristen Timur (khususnya umat Kristen Nestorian) memiliki andil dalam kemajuan peradaban Islam Arab pada zaman Khilafah Bani Umayyah dan Khilafah Bani Abbas karena menerjemahkan karya-karya tulis para filsuf Yunani ke dalam bahasa Suryani dan selanjutnya ke dalam bahasa Arab.[369][370][371] Mereka juga menonjol di bidang filsafat, ilmu pengetahuan, teologi, dan kedokteran,[372][373][374] bahkan banyak cendekiawan di Balai Hikmat (bahasa bahasa Arab: بيت الحكمة, Baitul Hikmah) berlatar belakang agama Kristen.[375]
Umat Kristen telah memberikan berbagai macam kontribusi bagi kemajuan umat manusia dalam berbagai macam bidang,[376] antara lain filsafat,[377] ilmu pengetahuan dan teknologi,[354][378][379][380][381] seni murni dan arsitektur,[382] politik, kesusastraan, seni musik,[383] dan dunia usaha.[384] Menurut 100 Years of Nobel Prizes (Seabad Hadiah Nobel), sebuah ulasan mengenai anugerah hadiah Nobel antara 1901 dan 2000, sebagian besar (65,4%) dari penerima hadiah Nobel memilih agama Kristen dalam berbagai bentuknya sebagai agama yang mereka sukai.[385]
Pascakekristenan[386] adalah istilah yang digunakan sebagai sebutan bagi kemerosotan agama Kristen, khususnya di Eropa, Kanada, Australia, dan dalam taraf rendah di ujung selatan Benua Amerika, pada abad ke-20 dan ke-21, menurut ukuran-ukuran pascamodernisme. Istilah ini mengacu pada hilangnya monopoli agama Kristen atas nilai-nilai dan wawasan dunia di dalam masyarakat-masyarakat yang turun-temurun memeluk agama Kristen.
Umat Kristen budaya adalah masyarakat sekuler dengan warisan Kristen yang mungkin saja tidak percaya pada berbagai ajaran agama Kristen, tetapi mempertahankan keakraban dengan budaya populer, seni rupa, seni musik, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan agama Kristen. Istilah ini juga kerap digunakan untuk membedakan kelompok-kelompok politik di kawasan-kawasan yang didiami oleh masyarakat dari berbagai latar belakang keagamaan.
Kelompok-kelompok dan denominasi-denominasi Kristen sudah lama mendengung-dengungkan cita-cita untuk bersatu. Pada abad ke-20, gerakan oikumene (gerakan persatuan) umat Kristen mengalami kemajuan melalui dua cara.[387] Salah satu caranya adalah meningkatkan kerjasama antargolongan, contohnya adalah pembentukan Aliansi Injili Sedunia pada 1846 di London, penyelenggaraan Konferensi Utusan Injil Edinburgh di kalangan Protestan pada 1910, pembentukan Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Penciptaan dalam Dewan Gereja-Gereja Sedunia pada 1948 oleh gereja-gereja Protestan dan Gereja-Gereja Ortodoks, serta pembentukan dewan-dewan nasional seperti Dewan Gereja-Gereja Nasional Australia yang juga mengikutsertakan umat Kristen Katolik.[387]
Cara yang lain adalah membina persatuan kelembagaan melalui persatuan dan persekutuan antargereja, yakni suatu praktik yang dapat ditelusuri asal-usulnya sampai pada usaha-usaha persatuan yang dilakukan oleh jemaat-jemaat Lutheran dan jemaat-jemaat Kalvinis pada awal abad ke-19 di Jerman. Gereja-gereja Kongregasional, Metodis, dan presbiterian bersatu pada 1925 menjadi Gereja Kesatuan Kanada,[388] dan pada 1977 untuk membentuk Gereja Bersatu di Australia. Pada 1947, gereja-gereja Anglikan, Baptis, Metodis, Kongregasional, dan Presbiterian bersatu membentuk Gereja India Selatan.[389]
Komunitas Taizé adalah sebuah paguyuban monastik oikumene yang istimewa karena beranggotakan lebih dari seratus orang bruder dari Gereja Katolik maupun gereja-gereja Protestan.[390] Komunitas ini mementingkan rekonsiliasi di antara semua denominasi Kristen, dan gereja utamanya yang berlokasi di Taizé, Saône-et-Loire, Prancis, diberi nama "Gereja Rekonsiliasi".[390] Komunitas yang sudah terkenal di seluruh dunia ini dikunjungi lebih dari 100.000 peziarah muda setiap tahun.[391]
Langkah-langkah menuju rekonsiliasi pada tataran global dilakukan pada 1965 oleh Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks dengan menarik kembali pernyataan pengucilan dari masing-masing pihak yang menjadi pemicu skisma akbar di antara keduanya pada 1054.[392] Komisi Internasional Anglikan-Katolik Roma dibentuk pada 1969, dan telah berupaya memulihkan persekutuan penuh di antara kedua belah pihak semenjak 1970.[393] Sejumlah gereja Lutheran dan Gereja Katolik menandatangani Pernyataan Bersama Mengenai Doktrin Pembenaran pada 1999 demi menuntaskan sengketa-sengketa di antara kedua belah pihak yang dipicu oleh gerakan Reformasi Protestan. Pada 2006, Dewan Metodis Sedunia, atas nama seluruh denominasi Metodis, mengadopsi pernyataan bersama ini.[394]
Kritik terhadap agama Kristen dan umat Kristen sudah muncul semenjak masa hidup rasul-rasul. Alkitab Perjanjian Baru memuat riwayat-riwayat mengenai sengketa yang timbul di antara para pengikut Yesus di satu pihak dan kaum Farisi serta ahli-ahli Taurat di lain pihak (misalnya Matius 15:1–20 dan Markus 7:1–23).[395] Pada abad ke-2, agama Kristen dikritik oleh umat Yahudi dengan berbagai alasan, misalnya nubuat-nubuat dalam Alkitab Ibrani dikatakan tidak digenapi oleh Yesus karena hidupnya berakhir secara tragis,[396] dan bahwasanya kurban penghapusan dosa yang dipersembahkan di muka (dipersembahkan sebelum timbul perbuatan dosa), baik yang dipersembahkan demi kepentingan semua orang maupun yang dipersembahkan demi kepentingan diri sendiri, tidak sesuai dengan ritual kurban agama Yahudi. Selain itu dikatakan pula bahwa Allah menghakimi manusia berdasarkan perbuatannya, bukan berdasarkan keyakinannya.[397][398] Salah satu dari serangan komprehensif pertama terhadap agama Kristen berasal dari filsuf Yunani, Kelsos, yang menulis Perkataan Yang Benar (bahasa Yunani: Λόγος Ἀληθής, Logos Alētēs; bahasa Latin: Verbum Verum), sebuah polemik yang mengkritik umat Kristen sebagai warga yang tidak berguna bagi masyarakat.[399][400][401] Bapa Gereja, Origenes, menanggapi kritik Kelsos dengan menerbitkan risalahnya, Melawan Kelsos (bahasa Yunani: Κατὰ Κέλσου, Kata Kelsou; bahasa Latin: Contra Celsum), sebuah karya tulis yang menjadi cikal bakal dari ilmu apologetika Kristen. Origenes menanggapi kritik-kritik Kelsos secara sistematis, sehingga membantu meningkatkan wibawa akademik agama Kristen.[401][402]
Pada abad ke-3, kritik terhadap agama Kristen sudah menggunung, sebagian di antaranya merupakan bentuk pembelaan diri terhadap agama Kristen. Desas-desus liar mengenai umat Kristen telah menyebar ke mana-mana. Konon kabarnya umat Kristen adalah umat tak bertuhan, memakan bayi manusia dalam upacara-upacara peribadatannya, dan gemar melakukan persetubuhan sumbang secara beramai-ramai.[403][404] Porfirios, ahli filsafat Neoplatonis, menyusun karya tulisnya, Melawan Orang Kristen (bahasa Yunani: Κατὰ Χριστιανῶν, Kata Kristianon; bahasa Latin: Adversus Christianos), dalam lima belas jilid sebagai suatu serangan komprehensif terhadap agama Kristen, sebagian dari isinya disusun berdasarkan ajaran-ajaran Plotinos.[405][406]
Pada abad ke-12, Rabi Musa bin Maimun dalam karya tulisnya, Misneh Torah, mengkritik agama Kristen sebagai penyembahan berhala, karena umat Kristen memperilahkan Yesus yang berjasmani.[407] Pada abad ke-19, Nietzsche mulai menulis serangkai polemik mengenai ajaran-ajaran "tak wajar" agama Kristen (misalnya berpantang seks), dan terus-menerus mengkritik agama Kristen hingga akhir hayatnya.[408] Pada abad ke-20, filsuf Bertrand Russell menjabarkan kritiknya terhadap agama Kristen dalam esainya yang berjudul Why I Am Not a Christian. Bertrand Russell merumuskan penolakannya terhadap agama Kristen dalam bentuk argumen-argumen logis.[409]
Kritik terhadap agama Kristen terus-menerus bermunculan hingga hari ini, misalnya kritik dari ahli-ahli teologi Yahudi dan Muslim terhadap doktrin Tritunggal yang dianut oleh sebagian besar umat Kristen. Menurut alim-ulama Yahudi dan Muslim ini, doktrin Tritunggal menerbitkan asumsi bahwa ada tiga Allah, dan oleh karena itu bertentangan dengan asas monoteisme.[410] Pengkaji Perjanjian Baru, Robert M. Price, telah mengemukakan dugaan dalam bukunya yang berjudul "The Christ Myth Theory and its problems" (Teori Mitos Kristus dan Permasalahannya) bahwa sebagian isi dari sejumlah kisah dalam Alkitab didasarkan pada mitos.[411]
Apologetika Kristen bertujuan membentuk landasan rasional bagi agama Kristen. Kata "apologetika" berasal dari kata Yunani, "apologeomai", yang berarti "demi membela". Apologetika Kristen telah dilakukan dalam berbagai bentuk selama berabad-abad, mulai dari Rasul Paulus. Filsuf Tomas Aquinas mengemukakan lima argumen bagi eksistensi Allah dalam karya tulisnya yang berjudul Summa Theologica, sementara Summa contra Gentiles merupakan sebuah karya tulis utama di bidang apologetika Kristen yang juga dihasilkan oleh filsuf ini.[412][413] Ahli apologetika kenamaan lainnya, G. K. Chesterton, menulis pada permulaan abad ke-20 tentang manfaat-manfaat agama, teristimewa agama Kristen. G. K. Chesterton yang terkenal dengan penggunaan paradoks ini menjelaskan bahwa sekalipun merupakan agama yang paling banyak misterinya, agama Kristen juga adalah agama yang paling praktis.[414][415] Ia mengacu pada kemajuan peradaban-peradaban Kristen sebagai bukti dari praktikalitas agama Kristen.[416] John Polkinghorne, seorang imam Anglikan sekaligus seorang fisikawan, dalam bukunya yang berjudul Questions of Truth, membahas hal-ihwal hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan, yakni pokok bahasan yang juga pernah didalami oleh ahli-ahli apologetika Kristen lainnya seperti Ravi Zacharias, John Lennox, dan William Lane Craig. Sehubungan dengan pokok bahasan ini, John Lennox dan William Lane Craig berpendapat bahwa model Ledakan Besar yang memperluas ruang angkasa adalah bukti bagi eksistensi Allah.[417]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.