From Wikipedia, the free encyclopedia
Gajah perang adalah gajah yang dilatih dan digunakan untuk berperang pada zaman dahulu tidak sahaja untuk kenderaan dalam perang serta serangan menyerbu, bahkan mematahkan barisan dan menginjak-injak musuh. Gajah jantan dipilih sepenuhnya untuk tujuan ini kerana ia lebih pantas dan bersifat garang atau agresif.[1] Gajah perang ini dilatih khas agar tidak mudah gentar dengan bunyi bising hiruk-pikuk semasa peperangan, kerana gajah perang yang berada di luar kawal amat merbahaya kepada pihak lawan atau pasukan sendiri.
Penggunaan gajah dalam perang pertama kali dilakukan di India, ketika gajah disediakan sebagai salah satu sayap dari empat sayap dalam militer India, pengetahuan strategi ini kemudian menyebar ke Asia Tenggara dan ke barat di daerah Mediterania. Pada masa Peradaban Hellenis, gajah digunakan oleh Diadokhoi untuk menangkis serangan kavaleri. Di barat, penggunaan gajah untuk perang yang paling terkenal adalah oleh Jenderal Pirros. Gajah perang dalam jumlah besar juga digunakan oleh pasukan Kartago, terutama di bawah kepemimpinan Hannibal.
Seiring perkembangan zaman, taktik perang yang semakin moden ikut menurunkan daya serangan gajah selain dengan berkurangnya taburan gajah yang semakin sulit didapati. Penggunaan gajah dalam perang di India juga berakhir ketika meriam dipergunakan, gajah pun hanya digunakan sebagai tenaga pembantu.
Gajah dijinakkan sekitar 4,000 tahun dahulu. Menjinakkan tidak serupa dengan menternakkan: haiwan ternakan seperti lembu atau anjing, dilahirkan dalam kurungan dan akhirnya menurut pembiakan pilihan. Namun, gajah lebih sukar dikendalikan kerana naluri bengisnya, makanannya yang mahal dan pertumbuhan yang perlahan (15 tahun untuk menjadi dewasa). Biasanya, kecuali dengan beberapa pengecualian, sentiasa ditangkap dari hutan dan berikutnya dijinakkan untuk beberapa tujuan. Spesies pertama dijinakkan dengan itu adalah Gajah Asia yang dipergunakanuntuk tujuan pertanian. Pengunaan gajah dalam ketenteraan bermula sekitar 1100 BC dan disebut dalam beberapa penulisan suci Sanskrit. Penjinakan gajah—bukan sepenuhnya domestikasi, kerana gajah masih ditangkap di alam liar dan belum dibiakkan secara sengaja—kemungkinan dimulai di tempat-tempat berikut ini.
Gajah mulai dijinakkan di lembah sungai Indus (dalam India moden)sekitar tahun 2000 SM pada masa , .[2] Di Mesopotamia pada waktu yang kurang lebih sama, gajah juga diperkirakan mulai dijinakkan. Tempat lainnya adalah di Cina, tempat bukti-bukti arkeologis menunjukkan adanya gajah liar di lembah Sungai Kuning pada masa Dinasti Shang (1600-1100 SM). Ini memunculkan dugaan Cina sebagai tempat awal penjinakkan gajah.[3] Populasi gajah liar di Mesopotamia dan Cina berkurang secara drastis kerana penebangan hutan dan meledaknya populasi manusia. Pada 850 SM, gajah Mesopotamia punah, dan pada 500 SM gajah Cina tinggal sedikit dan hanya terdapat di daerah selatan Sungai Kuning.
Menangkap gajah dari alam liar merupakan tugas yang sulit, tetapi cara ini diperlukan kerana metode pembiakan memakan waktu yang lama untuk menghasilkan gajah dewasa yang siap tempur. Secara umum, gajah yang digunakan dalam perang adalah gajah jantan kerana mereka lebih agresif. Selain itu, gajah betina dalam perang akan kabur dari gajah jantan, sehingga hanya gajah jantan yang dapat digunakan dalam perang, sedangkan gajah betina digunakan untuk keperluan logistik.[4]
.
Dari Timur, gajah perang berhijrah ke empire Persia di mana mereka digunakan dalam beberapa kempen. Pertempuran Gaugamela (1 Oktober, 331 BC), bertempur melawan Zulkarnain Agung kemungkinannya antara pertembungan pertama orang-orang Eropah dengan gajahperang. Lima belas gajah yang diletakkan ditengah-tengah barisan Persia, memberikan kesan kepada tentera Makedonian sehinggakan Zulkarnain merasakan perlu untuk membuat pengorbanan kepada dewa takut pada malam sebelum pertempuran. Gaugamela merupakan kejayaan paling cermerlang Zulkarnain,yang dimenanginyadengan meletakkan tentera berkudanya jauh dari gajah-gajah tersebut. Berikutan dengan penjajahan Persia, Zulkarnain mengakui kegunaan haiwan tersebutdan menggunakan beberapa ekor darinya dalam tenteranya. Lima tahun kemudian, dalam pertempuran sungai Hydaspes, walaupun tanpa gajah, Zulkarnain sudahpun mahir menangani mereka.
Kejayaan kegunaan gajah untuk tujuan ketenteraan berkembang seluruh dunia. Waris empire Zulkarnain, Diadochi, menggunakan beratus-ratus gajah India dalam perperangan mereka. Carthage dan Mesir mula menjinakkan gajah Afrika untuk tujuan yang sama, sementara Numidia menggunakan gajah Hutan. Gajah Afrika lebih besar tetapi tidak menjamin kemenangan bagi Antiochus III Agung dalam pertempuran Raphia pada 217 BC.
Dalam abad berikutnya, kegunaan lanjut gajah perang di Eropah kebanyakannya menentang Republik Rom. Dari pertempuran Heraclea (280 BC, Perperangan Macedonian) sehingga barisan terkemuka menyeberangi Alps oleh Hannibal semasa Perang Punic kedua, gajah menakutkan legion Rom. Sepertimana Zulkarnain, pihak Rom menjumpai cara untuk menangani serbuan gajah yang merbahaya. Dalam pertempuran terakhir Hannibal (pertempuran Zama, 202 BC), serbuan gajahnya tidak berkesan kerana Maniple Rom hanya memberi laluan bagi mereka lalu. Lebih satu abad kemudian, dalam pertempuran Thapsus (6 February 46 BC), Julius Caesar melengkapkan legion kelima (Alaudae) dengan kapak dan memerintahkan legionnya untuk menetak kaki gajah. Legion tersebut menahan serbuan dan gajah menjadi simbolnya.
Senjata anti gajah berkesan yang dilapurkan adalah babi. Pliny yang tua melapurkan bahawa "gajah takutkan bunyi babi mengelikik perlahan sekalipun " (VIII, 1.27). Pengepungan Megara dilapurkan gagal selepas orang-orang Megara menuang minyak pada sekawan babi, membakar mereka, dan menghalau mereeka kearah gajah perang besar musuh. Gajah-gajah tersebut lari ketakutan dari jeritan babi yang terbakar.
Pada Zaman Pertengahan, gajah jarang digunakan. Charlemagne menggunakan gajahnya, Abul-Abbas, apabila dia melawan Danes pada tahun 804, dan Krusade memberikan peluang kepada Frederick II, Maharaja Holy Roman untuk menangkap gajah di Tanah Suci, kemudian digunakan untuk menawan Cremona pada tahun 1214.
Penggunaan gajah sekali lagi oleh Kesultanan India, hampir mengakhiri penaklukan Raja Timur. Pada tahun 1398 tentera Timur berhadapan dengan seratus gajah India dalam pertempuran dan hampir kalah akibat tenteranya ketakutan. Sejarah menceritakan bahawa orang-oang Turki menang dengan menggunakan strategi bijaksana: Raja Timur membakar jerami dibelakang untanya sebelum menyerbu. Asap membuatkan unta berlari kehadapan dan menakutkan gajah yang melenyek tentere mereka sendiri ketika berusaha melarikan diri.. Satu lagi cerita dalam kempen itu (oleh Ahmed ibn Arabshah) melapurkan bahawa Raja Timur menggunakan (kaltrop) besar untuk menghentikan serbuan gajah. Kemudian, pemimpin Turki tersebut menggunakan gajah-gajah tersebut menentang Empayar Turki Uthmaniyyah.
Dalam Rihlah Ibnu Batutah (petualang dari maroko),di asia tenggara pulau sumatra Ibnu Batutah memberikan deskripsi lebih lengkap mengenai gajah kesultanan Samudra Pasai.dia sampai di samudera pasai pada kepimpinan sultan malik al zahir1 anak kepada malik al salih(sebelum aceh pada 1345. Selain dimiliki Raja, gajah-gajah itu juga menjadi bagian armada perang kerajaan. Jumlahnya 300 gajah. Meski untuk berperang, gajah-gajah itu tetap dihias. Menurutnya, kekuatan dan kemegahan armada Gajah Samudra Pasai hanya bisa disaingi oleh Kerajaan Delhi India
Tidak ada bukti pasti mengenai kapan persisnya gajah perang mulai digunakan. Himne religius Weda India terawal. Rigweda, bertahun antara akhir milenium kedua dan awal milenium pertama SM, menyebutkan tentang penggunaan gajah sebagai kenderaan—tepatnya dewa Indra yang mengendarai gajah putihnya, Airawata—namun tidak disebutkan mengenai penggunaan gajah dalam perang, dan lebih berfokus pada peran Indra dalam memimpin pasukan berkuda.[5] Sementara dalam kisah Mahabharata, yang berasal dari sekitar abad kedelapan SM dalam bentuk terawalnya, dan Ramayana, yang berasal dari sekitar abad keempat SM,[6] menyebutkan adanya gajah perang, mengindikasikan awal penggunaan gajah dalam perang.[7] Raja-raja India kuno sangat memandang tinggi fungsi gajah perang. Beberapa raja bahkan berpendapat bahawa pasukan tanpa gajah sama lemahnya dengan hutan tanpa singa, kerajaan tanpa raja, keberanian tanpa senjata.[8]
thumb|250px|Ilustrasi mengenai gajah perang yang menyerang pasukan Aleksander yang Agung dalam Pertempuran Sungai Hydaspes.
Dari India, penggunaan gajah dalam militer menyebar ke barat ke Empayar Persia. Di sana gajah perang digunakan dalam beberapa kampanye militer dan pada gilirannya ikut memengaruhi kampanye militer Aleksander yang Agung. Konfrontasi pertama antara pasukan Aleksander dan gajah perang Persia terjadi pada Pertempuran Gaugamela (331 SM) saat Persia mengerahkan lima belas gajah perang.[9] Gajah-gajah tersebut ditempatkan di bagian tengah barisan Persia dan cukup membuat pasukan Makedonia terkejut, sampai-sampai Aleksander merasa harus memberi kurban pada Dewa Rasa Takut pada malam sebelum pertempuran. Namun menurut beberapa sumber, gajah-gajah itu tidak banyak terlibat dalam pertempuran kerana terlalu lelah setelah melakukan perjalanan panjang menuju medan pertempuran.[10] Aleksander menang secara meyakinkan di Gaugamela, tetapi dia sangat terpukau pada gajah perang Persia. Dia pun kemudian mengambil lima belas gajah perang tersebut dan memasukkannya ke dalam pasukannya dan jumlah itu bertambah ketika Aleksander menaklukan sisa wilayah Persia.
Ketika Aleksander yang Agung memasuki daerah India, dia sudah memiliki pasukan gajah perang di bawah komandonya sendiri. Di India, Aleksander harus menghadapi pasukan Raja Porus, yang berkuasa di daerah Punjab di Pakistan modern. Raja Porus mengerahkan antara 85 sampai 100 gajah perang[11][12] pada Pertempuran Sungai Hydaspes. Aleksander melawan dengan hanya mengerahkan pasukan infantri dan kavalerinya, yang pada akhirnya berhasil mengalahkan pasukan Porus, termasuk pasukan gajahnya, meskipun korban juga berjatuhan di pihak Aleksander. Aleksander terus melaju ke timur sampai dia mengetahui bahawa raja-raja di Empayar Nanda dan Gangaridai mampu mengerahkan antara 3.000 sampai 6.000 gajah perang. Jumlah ini jauh lebih besar daripada pasukan gajah yang dimiliki oleh pasukan Yunani ataupun Persia. Menghadapi kekuatan sebesar ini, pasukan Aleksander, yang jauh lebih sedikit, akhirnya memilih untuk menghentikan pergerakan mereka di India.[13] Sepulangnya dari India, Aleksander membentuk suatu pasukan gajah untuk menjaga istananya di Babilonia, dan membuat pos elephantarch untuk memimpin unit gajahnya.[10]
Penggunaan gajah dalam perang terus menyebar. Para penerus Empayar Aleksander, yaitu para Diadokhoi, menggunakan ratusan gajah India dalam perang mereka. Penggunaan gajah perang oleh Diadokhoi yang paling terkenal adalah oleh Empayar Seleukos, yang memperoleh gajah perangnya dari India. Perang antara Empayar Seleukos dengan Chandragupta Maurya (Sandrokottos), pendiri Empayar Maurya (Perang Seleukia-Maurya), pada 305 SM berakhir dengan penyerahan wilayah timur Seleukos yang cukup luas, yang ditukar dengan 500 ekor gajah perang India.[14] Jumlah tersebut relatif kecil dibandingkan keseluruhan pasukan gajah Maurya, yang disebut-sebut mencapai 9.000 ekor gajah perang.[15] Seleukos menggunakan gajah perang mereka pada Pertempuran Ipsos empat tahun kemudian. Empayar Seleukos juga menggunakan gajah perang untuk menghentikan Pemberontakan Makabim di Judea. Ketika itu, gajah-gajah perang berhasil membuat para prajurit Yahudi, yang menggunakan senjata yang lebih sederhana, ketakutan. Eleazar Makkabeus, pria termuda di antara Hasmonean bersaudara, berhasil membunuh seekor gajah perang dalam Pertempuran Beth Zakaria. Dia menusuk perut sang gajah dengan tombaknya sebelum akhirnya dia mati tertindih oleh badan gajah tersebut. Dia menyerang gajah tersebut kerana secara salah mengira bahawa gajah itu mengangkut Antiokhos V, raja Seleukos.[16] Meskipun dia keliru dan akhirnya mati, tindakannya menjadi terkenal.
Penggunaan pertama gajah perang di Eropah adalah pada tahun 318 SM oleh Polyperkhon, salah satu mantan jenderal Aleksander Agung, ketika itu dia mengepung Megalopolis di Peloponnesos dalam Perang Diadokhoi. Dia mengerahkan 60 gajah yang dibawa dari Asia bersama pawang mereka. Seorang veteran dari pasukan Aleksander yang bernama Damis ikut membantu rakyat Megalopolis bertahan menghadapi gajah-gajah itu dan pada akhirnya Polyperkhon dikalahkan. Gjah-gajah itu kemudian diambil oleh Kassandros dan dipindahkan, sebagian lewat laut, ke medan tempur lainnya d Yunani. Diduga bahawa Kassandros adalah yang pertama kali membuat kenderaan laut pengangkut gajah. Beberapa gajah mati kerana kelaparan pada tahun 316 SM ketika mengepungan kota Pydna di Makedonia. Gajah-gajah Polyperkhon lainnya digunakan di berbagai wilayah di Yunani oleh Kassandros.[17]
Bangsa Mesir dan Kartago juga menggunakan gajah untuk perang, seperti yang dilakukan oleh bangsa Numidia dan Kush. Jenis gajah yang digunakan adalah gajah hutan Afrika Utara (Loxodonta africana pharaohensis), yang kelak punah akibat eksploitasi yang berlebihan.[18] Gajah jenis ini berukuran lebih kecil dibandingkan gajah yang digunakan oleh Empayar Seleukos di daerah timur Mediterania, khususnya gajah dari Suriah (Elephas maximus asurus) yang tingginya mencapai 2,5-3,5 meter (8–10 kaki) sampai ke pundak. Ada kemungkinan bahawa beberapa gajah Suriah diperdagangkan ke daerah-daerah di sekitarnya. Pendapat ini didukung oleh bukti yang menunjukkan bahawa gajah favorit Hannibal dinamai Surus (dari Suriah) dan kemungkinan berasal dari Suriah. Meskipun begitu, bukti ini tidak terlalu meyakinkan.[19]
Sejak akhir 1940-an, beberapa sejarawan berpendapat bahawa gajah hutan Afrika yang digunakan oleh Numidia, Kartago, dan Mesir tidak membawa rengga (tempat duduk) atau menara kecil di punggungnya dalam pertempuran, mungkin kerana fisiknya yang tidak sekuat gajah Asia.[20] Beberapa referensi mengenai keberadaan rengga pada gajah perang Afrika hanyalah penggambaran puitis dan anakronistis, tetapi beberapa sumber lainnya juga tidak bisa begitu saja diabaikan. Ada kesaksian kontemporer yang secara jelas menyebutkan bahawa pasukan Juba I dari Numidia menggunakan gajah yang berengga pada 46 SM.[21] Pendapat ini dididukung oleh gambar gajah Afrika berengga pada koin Juba II.[22] Rengga juga diceritakan ada pada pasukan Ptolemaios dari Mesir. Polybius melaporkan bahawa dalam Pertempuran Raphia pada 217 SM, gajah-gajah perang milik Ptolemaios IV membawa rengga; gajah-gajah ini jauh lebih kecil daripada gajah Asia yang digunakan oleh Empayar Seleukos dan kemungkinan juga gajah hutan Afrika.[23] Juga ada bukti bahawa gajah perang Kartago dilengkapi dengan rengga atau menara kecil untuk keperluan militer tertentu.[24].
250px|thumb|Gajah perang dalam pertempuran pada Perang Karnataka. Di daerah selatan, suku-suku tertentu memiliki akses terhadap gajah savana Afrika (Loxodonta africana oxyotis). Gajah jenis ini berukuran lebih besar dibandingkan gajah hutan Afrika atau gajah Asia, tetapi haiwan ini sukar dijinakkan dan kerana itu tidak banyak digunakan dalam perang. Ukuran tidak selalu menjadi faktor yang menentukan. Contohnya, gajah yang digunakan oleh Mesir dalam Pertempuran Raphia pada 217 SM lebih kecil daripada gajah Asia milik lawan mereka, Antiokhos III yang Agung dari Suriah. Namun, pada akhirnya pasukan Mesirlah yang berhasil menang. Beberapa gajah Asia diperdagangkan ke barat, tepatnya ke pasar Mediterania; Plinius Tua menyebutkan bahawa gajah Sri Lanka, misalnya, lebih besar, lebih galak, dan dengan demikian lebih baik dalam perang jika dibandingkan gajah lokal. Keunggulan ini, serta dekatnya pasokan ke pelabuhan, membuat gajah Sri Lanka menjadi komoditas perdagangan yang menguntungkan.[25]
Meskipun penggunaan gajah perang di Mediterania paling sering dihubungan dengan perang antara Kartago dan Romawi, tetapi gajah perang pertama kali diperkenalkan ke Mediterania oleh salah satu kerajaan di Yunani, yaitu Epiros. Raja Pirros dari Epiros membawa serta dua puluh ekor gajah untuk menyerang Romawi dalam Pertempuran Herakleia pada 280 SM. Dia meninggalkan lima puluh ekor gajah lainnya, yang dipinjam dari Firaun Ptolemaios II, di daratan utama Yunani. Ketika itu pasukan Romawi tidak siap menghadapi pasukan gajah dan pasukan Yunani sukses mengalahkan mereka. Setahun kemudian, Yunani kembali mengerahkan pasukan gajah untuk menghadapi Romawi dalam Pertempuran Asculum. Kali ini pasukan Romawi sudah bersiap-siap dengan menggunakan api serta senjata antigajah, yaitu kereta perang yang ditarik kerbau dan dilengkapi dengan tombak panjang untuk melukai gajah dan api untuk menakuti gajah serta dikawal oleh pasukan bersenjata tombak untuk mengusir gajah. Serangan terakhir gajah Yunani pada akhirnya berhasil mengalahkan pasukan Romawi lagi. Namun, meskipun menang, Pirros menderita kerugian yang sangat besar, sampai-sampai dia berkata bahawa walaupun sekali lagi dia menang, pasukannya tetap akan dihancurkan oleh Romawi. Ungkapan ini kemudian terkenal sebagai istilah yang disebut Kemenangan Piris.
Terilhami oleh kehebatan gajah perang, Kartago pun mulai menggunakan gajah perang secara besar-besaran pada Perang Punisia Pertama. Namun, hasilnya kurang memuaskan. Dalam Pertempuran Adys pada 255 SM, gajah perang Kartago menjadi kurang efektif kerana medannya kurang menguntungkan. Sedangkan dalam Pertempuran Panormus pada 251 SM, pasukan Romawi berhasil menakut-nakuti gajah perang Kartago, sehingga haiwan-haiwan tersebut kabur dari medan tempur. Pada Perang Punisia Kedua, Hannibal memimpin pasukan gajah perang menyeberangi pegunungan Alpen, meskipun pada akhirnya sebagian besar gajah itu mati kerana kondisi lingkungan di sana. Pasukan Romawi sendiri telah mengembangkan taktik anti-gajah perang, yang berujung pada kemenangan Romawi atas Hannibal dalam Pertempuran Zama pada 202 SM. Ketika itu gajah perang Hannibal menjadi tidak efektif kerana begitu disiplinnya pasukan manipulus Romawi, yang membiarkan gajah perang Hannibal lewat begitu saja.
Pada akhir Perang Punisia, Romawi mengambil banyak gajah perang Kartago dan menggunakannya untuk keperluan militer mereka sendiri. Ketika menakluk Yunani, Romawi mulai mengerahkan pasukan gajah perang, termasuk di antaranya pada serangan ke atas Makedonia pada 199 SM, Pertempuran Kinoskefalai pada 197 SM,[26] pertempuran Thermopilai,[27] dan Pertempuran Magnesia pada 190 SM, saat lima puluh gajah perang Antiokhos III menghadapi enam belas gajah perang Romawi. Bertahun-tahun kemudian, Romawi mengerahkan dua puluh dua gajah perang dalam Pertempuran Pidna pada 168 SM.[28] Gajah perang juga digunakan oleh Romawi dalam kampanye militer melawan bangsa Keltiberia dan Galia. Yang paling terkenal adalah ketika Romawi menggunakan gajah perang dalam serangan ke atas Britania. Satu penulis kuno menyebutkan bahawa "Caesar memiliki seekor gajah yang besar, yang dilengkapi dengan baju perang dan membawa menara kecil, yang ditempati oleh pemanah dan pelempar batu. Ketika haiwan tak dikenal ini menyeberangi sungai, pasukan Briton dan kuda-kuda mereka kabur melarikan diri.'[29] Akan tetapi, dia mungkin salah membedakan gajah tersebut dengan gajah serupa yang digunakan pada penaklukan terakhir Britania oleh Claudius. Setidaknya satu kerangka gajah dengan senjata batu api ditemukan di Inggris dan awalnya dikira sebagai gajah Romawi, meskipun kemudian terbukti sebagai kerangka mammoth dari Zaman batu.[30]
Pada masa Claudius, penggunaan gajah perang mula berkurang. Penggunaan terakhir gajah perang yang signifikan di Mediterania terjadi dalam Pertempuran Thapsus, 46 SM. Ketika itu Julius Caesar mempersenjatai legion kelimanya (Alaudae) dengan kapak dan dia memerintahkan pasukannya untuk menyerang kaki gajah perang yang dikerahkan oleh Romawi. Pasukan Caesar pun meraih kemenangan. Pertempuran Thapsus merupakan penggunaan terakhir gajah perang yang signifikan di Romawi.[31]
Empayar Parthia di Persia beberapa kali menggunakan gajah perang dalam perang melawan Empayar Romawi. Sementara di Empayar Sassaniyah, yang merupakan penerus Empayar Parthia, gajah perang merupakan komponen militer yang penting.[32] Empayar Sassaniyah mengerahkan gajah perang dalam kampanye-kampanye militer mereka melawan musuh-musuh di barat. Salah satu konflik yang terkenal adalah Pertempuran Vartanantz pada 451 M, saat gajah perang Sassaniyah berhasil menakut-nakuti pasukan Armenia. Contoh lainnya adalah Pertempuran al-Qādisiyyah pada 636 M, saat tiga puluh tiga gajah perang dikerahkan oleh Empayar Sassaniyah untuk melawan pasukan Arab. Pasukan gajah Sassaniyah memegang keunggulan dibandingkan pasukan kavaleri Sassaniyah. Pasukan Sassaniyah memperoleh gajah dengan cara memasoknya dari India. Pasukan gajah perang Sassaniyah dipimpin oleh seorang pejabat yang disebut Zend−hapet, atau "Komandan India", entah kerana gajahnya memang didapat dari India atau kerana gajah-gajah itu diurus oleh orang Hindustan asli.[33] Pasukan gajah Sassaniyah tidak pernah sekuat pasukan gajah India dan setelah Empayar Sassaniyah runtuh, penggunaan gajah perang di daerah ini juga berhenti.
Di Cina, penggunaan gajah perang agak jarang dibandingkan dengan di lokasi lainnya.[34][35] Menurut catatan tertua yang pernah ditemukan, gajah perang digunakan pada 554 M, ketika Dinasti Wei Barat mengerahkan dua ekor gajah berbaju perang dari Lingnan ke medan tempur dengan dipandu oleh budak-budak Melayu dan dilengkapi dengan menara kayu serta pedang yang diikatkan ke belalai mereka.[34] Gajah-gajah itu berhasil dihalau oleh para pemanah.[34]
Dinasti Han pada abad kedua SM berperang dengan kerajaan Yue dari Asia Tenggara yang menggunakan gajah perang. Taktik yang digunakan untuk menghalau gajah-gajah perang tersebut di antaranya adalah dengan menggunakan api dan panah busur silang yang sangat banyak di samping menggali lubang dan parit yang diisi dengan tombak.
Di Champa pasukan mengerahkan sampai 602 ekor gajah perang melawan Dinasti Sui.[36] Pasukan Sui mengalahkan gajah-gajah perang itu dengan membuat perangkap berupa lubang-lubang, selain itu mereka juga menggunakan banyak busur silang.[36]
Catatan sejarah Sri Lanka mengindikasikan penggunaan gajah sebagai kenderaan yang dinaiki oleh raja ketika sedang memimpin pasukan dalam pertempuran,[37] dan beberapa gajah tercatat dalam sejarah. Gajah Kandula merupakan kenderaan raja Dutugamunu, sedangkan Maha Pambata, "Batu Besar", adalah kenderaan raja Elara dalam pertempuran pada 200 SM.[38]
Pada Abad Pertengahan, gajah perang jarang digunakan di Eropah. Karel yang Agung menggunakan gajahnya, yang bernama Abul-Abbas, ketika dia berperang dengan pasukan Denmark pada 804 Masehi.[39] Prajurit Perang Salib memberi kesempatan pada Maharaja Suci Frederick II untuk menangkap gajah di Tanah Suci. Gajah juga digunakan dalam penaklukan kota Cremona pada 1214. Akan tetapi, pada masa ini penggunaan gajah dalam perang lebih bersifat simbolis ketimbang praktis.
Lebih jauh ke timur, gajah masih tetap digunakan dalam peperangan. Pasukan Mongol berhadapan dengan gajah perang di Khorazm, Burma, Vietnam dan India pada abad ke-13 M.[40] Meskipun mengalami kegagalan dalam serangan mereka ke atas Vietnam, dan India, pasukan Mongol berhasil mengalahkan gajah perang di luar Samarkand dengan menggunakan katapel dan mangonel, sedangkan di Burma, pasukan Mongol menghujani gajah perang dengan panah dari busur campur mereka yang terkenal.[41] Genghis Khan dan Kublai Khan sama-sama mengambil gajah perang yang mereka tangkap untuk kemudian dimasukkan ke dalam pasukan Mongol.[42] Satu abad kemudian, penakluk lainnya dari Asia Tengah, Timur Lenk juga menghadapi pasukan gajah perang. Pada 1398, pasukan Timur berhadapan dengan lebih dari seratus ekor gajah India dalam suatu pertempuran. Gajah-gajah tersebut memicu ketakutan pada pasukan Timur dan hampir menyebabkan pasukannya kalah. Timur akhirnya bisa menang dengan menerapkan strategi khusus. Dia mengikatkan jerami yang terbakar di punggung pasukan untanya. Asapnya membuat unta-untanya berlari dan membuat gajah-gajah musuh ketakutan. Gajah-gajah itu pun mencuba kabur dan malah menginjak-injak pasukan mereka sendiri. Catatan sejarah lainnya menceritakan bahawa Timur menggunakan galtrop berukuran besar untuk menghentikan pergerakan pasukan gajah musuh.[43] Di kemudian hari, para pemimpin Dinasti Timuriyah menggunakan gajah tangkapan untuk menghadapi pasukan Kesultanan Utsmaniyah.
Raja Rajasinghe I mengerahkan pasukan gajah berjumlah 2.200 ekor gajah perang ketika dia mengepung benteng Portugis di Colombo, Sri Lanka pada 1558.[44] Rakyat Sri Lanka sendiri tetap meneruskan tradisi mereka dalam menangkap dan melatih gajah yang sudah dilakukan sejak masa kuno. Pejabat yang bertanggung jawab dalam hal penangkapan dan pengelolaan gajah disebut Gajanayake Nilame,[44] sedangkan pejabat yang disebut Kuruve Lekham bertugas mengatur Kuruwe atau prajurit penunggang gajah.[44] Sementara itu, pelatihan gajah perang merupakan tugas klan Kuruwe yang berada di bawah wewenang Muhandiram (pos administratif Sri Lanka) mereka sendiri.
Di Asia Tenggara, Kerajaan Khmer berhasil menjadi kekuatan yang disegani pada abad kesembilan Masehi terutama berkat penggunaan gajah perang. Militer Khmer menempatkan busur-silang ganda di atas gajah perang mereka. Setelah jatuhnya kekuasaan Khmer pada abad kelima belas, kekuasaan penerusnya, yaitu Burma (kini Myanmar) dan Siam (kini Thailand), juga mengadopsi penggunaan gajah dalam peperangan. Dalam banyak pertempuran, para pemimpin pasukan biasanya bertarung di atas gajah perang mereka. Salah satu pertempuran yang terkenal adalah ketika pasukan Burma menyerang Kerajaan Ayutthaya di Siam. Puncak pertempuran tersebut terjadi ketika putra mahkota Burma, Minchit Sra, dibunuh oleh raja Siam, Naresuan, dalam pertarungan di atas gajah pada 1593.
Ketika Kesultanan Aceh berdiri meneruskan Samudera pasai pada paruh pertama abad ke-16, gajah tetap menjadi haiwan andalan, selain kuda. Sultan-sultan Aceh masa itu tersohor sebagai penunggang gajah yang mahir. Kecakapan menunggang gajah dianggap salah satu simbol keagungan sultan. Gajah-gajah pun dirawat dengan baik. Gajah-gajah liar di pedalaman diburu bukan untuk diambil gadingnya, melainkan untuk dijinakkan. Setelah jinak, gajah yang dipandang terbaik dan terbesar akan dijadikan gajah sultan. Sisanya untuk armada perang Aceh. Gajah-gajah perang itu dihias seindah mungkin dengan emas dan permata. Suatu pemandangan yang dapat ditemukan di India. Di sebutkan gajah perang sultan iskandar muda. Pada masanya melebihi 1000 pasukan bergajah. Kebanggaan Kesultanan Aceh terhadap gajah berlanjut hingga abad ke-17. Sultan Iskandar Muda misalnya akrab dengan gajah sejak kecil sehingga mempunyai peliharaan penemannya sendiri bernama Indra Jaya pemberian nendanya Sultan Alau’ddin Riayat Syah saat Iskandar berumur 5 tahun.
Dalam kitab Sejarah Melayu disebut mengenai gajah perang kepunyaan raja Melaka dan Sang Kertas kepunyaan raja Terengganu.
Dia juga menyebut gajah dapat digunakan sebagai alat eksekusi hukuman mati. Gajah bisa merobek badan orang hingga pecah berkeping-keping. Catatan Francois Martin, pedagang Perancis, pada 1602 menguatkan cerita Davies. Hukuman mati dengan gajah dikenakan pada pezina dan pembunuh. Dengan kemajuan teknologi peperangan seperti ubat bedil pada akhir abad ke 15, gajah perang sebagai elemen penyerbu menjadi lapuk kerana ia mudah dibunuh dengan menggunakan tembakan meriam.
Bangsa Cina secara umum sangat jarang menggunakan gajah perang. Salah satu pengecualian terjadi pada abad ke-10, ketika Han Selatan menggunakan gajah ketika berperang. kerana itu Han Selatan disebut sebagai "satu-satunya bangsa di daratan Cina yang pernah menggunakan gajah sebagai bagian dari pasukan regulernya".[34] Anomali ini terjadi kerana adanya kedekatan geografis dan kultural antara Han Selatan dengan Asia Tenggara.[34] Pejabat militer yang bertugas memimpin pasukan gajah disebut Wakil Digitan dan Agitan Gajah Raksasa.[45] Setiap gajah membawa menara kecil yang bisa menampung sepuluh prajurit atau lebih.[46] Selama beberapa waktu, gajah perang memainkan peranan penting dalam beberapa kemenangan Han Selatan, misalnya dalam serangan ke atas Chu pada 948 M.[46] Akan tetapi, pasukan gajah Han Selatan pada akhirnya dikalahkan secara telak di Shao pada 971 M. Ketika itu gajah perang Han Selatan diserang dengan busur silang api oleh pasukan Dinasti Song.[46] Setelah itu, penggunaan gajah perang di Cina mulai dihentikan."[46]
Dengan munculnya ubat mesiu pada akhir abad ke-15, posisi gajah dalam perang pun mulai berubah. Senapang lantak tidak terlalu berpengaruh pada gajah yang mampu menahan banyak tembakan.[47] Namun, tembakan meriam adalah sesuatu yang sangat berbeza. Seekor gajah dapat dengan mudah dirobohkan hanya dengan satu tembakan meriam. Dengan gajah yang masih digunakan untuk membawa komandan dalam pertempuran, mereka menjadi target yang menggiurkan bagi artileri musuh.
Meskipun demikian, di Asia Tenggara, gajah perang masih terus digunakan sampai akhir abad kesembilan belas. Salah satu kesulitan utama di kawasan ini adalah keadaan medan geografisnya dan gajah bisa melewati daerah yang sulit dengan lebih mudah dibandingkan jika menggunakan kavaleri kuda. Tentara Siam memanfaatkan gajah perang yang dipersenjatai dengan jingal sampai Perang Perancis-Siam pada 1893, sedangkan Vietnam menggunakan gajah perang sampai sekitar tahun 1885, ketika terjadi Perang Sino-Perancis.
Memasuki abad dua puluh, gajah yang tak dilatih bertempur digunakan untuk tujuan militer sampai Perang Dunia II,[48] terutama kerana haiwan ini mampu berjalan di daerah-daerah yang sulit dilalui oleh kenderaan modern. Sir William Slim,komandan Pasukan ke-XIV menulis mengenai gajah dalam pengantarnya pada "Elephant Bill":[49]
Mereka [gajah] membangun banyak jembatan bagi kami, mereka membantu membuat dan meluncurkan lebih banyak kapal bagi kami daripada yang Helene lakukan bagi Yunani. Tanpa mereka gerak mundur kami dari Burma akan menjadi lebih sukar dan gerak maju untuk melakukan pembebasan akan menjadi lebih lambat dan sulit.
Bagi banyak pasukan di negara-negara gagal, gajah kini lebih berharga untuk diambil gadingnya daripada fungsinya sebagai kenderaan. Ribuan gajah mati dalam perang saudara kerana perburuan ilegal. Gajah digolongkan sebagai haiwan pikul dalam manual lapangan Pasukan Khusus Amerika Serikat yang diterbitkan pada 2004, tetapi penggunaan gajah oleh personel Amerika Serikat tidak dianjurkan kerana gajah merupakan spesies yang terancam punah.[50] Catatan terakhir mengenai penggunaan gajah dalam perang terjadi pada 1987 ketika Irak diduga menggunakan gajah untuk mengangkut persenjataan berat untuk digunakan di Kirkuk.
Ada banyak tujuan mengapa gajah digunakan dalam perang. Gajah perang biasanya ditempatkan di tengah barisan, tempat mereka dimanfaatkan untuk menahan serangan musuh atau untuk melakukan serangan terhadap pasukan lawan. Ukurannya yang besar dan penampilannya yang menakutkan menjadikan gajah sebagai kavaleri berat yang cukup berguna.[51] Di luar medan tempur, gajah berguna untuk membawa perlengkapan perang yang berat sebelum akhirnya mereka digantikan oleh kenderaan bermesin yang lebih modern.
Serangan gajah bisa mencapai kecepatan sekitar 30 km/jam (20 mil/jam). Tidak seperti kavaleri kuda, gajah tidak dapat dihentikan dengan mudah oleh infantri. Serangan gajah dilakukan murni dengan kekuatan. Gajah menyerang barisan depan musuh dan menginjak-injak prajurit musuh sambil mengayun-ayunkan belalainya. Prajurit yang tak terinjak biasanya akan terlempar. Selain itu, gajah bisa memicu ketakutan pada pasukan yang tidak terbiasa bertempur melawan gajah, bahkan pasukan Romawi pun, yang terkenal disiplin, sempat terkejut menghadapi pasukan gajah. Teror yang disebabkan oleh gajah akan membuat barisan pertahanan musuh menjadi pecah dan buyar. Kuda yang tidak terbiasa dengan bau gajah juga bisa langsung panik jika berhadapan dengan pasukan gajah. Sementara itu, kulit yang tebal memberi perlindungan bagi gajah, sedangkan tinggi dan berat gajah memberi perlindungan bagi pengendaranya. Banyak gajah perang yang dilengkapi baju perang untuk memberi perlindungan yang lebih baik. Posisi dari atas gajah memberikan pandangan yang luas, kerana itu banyak jenderal yang menaiki gajah untuk memperoleh pandangan yang lebih luas pada medan pertempuran.
Selain untuk penyerangan, gajah juga menyediakan tempat yang aman dan stabil bagi pemanah untuk menembakkan panahnya di medan pertempuran, yang dari sana bisa melihat dan menyerang lebih banyak target. Panah terus berkembang menjadi senjata yang lebih maju dan beberapa raja Khmer dan India menggunakan busur silang raksasa (mirip dengan ballista) untuk meluncurkan tombak panjang untuk membunuh kavaleri dan gajah perang musuh. Pada akhir abad keenam belas Masehi, kulverin dan jingal juga digunakan pada gajah.
Gajah perang juga dilengkapi dengan persenjataan mereka sendiri. Di Sri Lanka, rantai dengan bola besi diikatkan pada belalai gajah dan gajahnya juga dilatih untuk mengayunkan-ayunkan belalainya dengan keterampilan tertentu. Di berbagai tempat, dibuat bermacam-macam baju perang untuk gajah dengan tujuan untuk melindungi badan dan kaki gajah, sementara belalainya dibiarkan bebas supaya lebih mudah menyerang musuh. Gajah perang juga dapat mengangkut menara kecil di punggungnya, yang disebut rengga. Benda ini merupakan tempat bagi para prajurit di atas gajah dan bisa berfungsi pula sebagai perlindungan.
Dalam Perang Punisia, tiap gajah perang mengangkut beberapa orang pemanah serta beberapa prajurit yang membawa sarisa (tembiang sepanjang enam meter). Di daerah timur, gajah perang mengangkut banyak prajurit. Komandan senior berada di atas rengga, atau di atas leher gajah. Pengemudi gajah, yang disebut mahout (pawang gajah), bertugas untuk mengendalikan gajahnya. Dalam banyak pasukan, mahout membawa pisau pahat dan palu untuk memotong sumsum tulang belakang gajah jika gajah tersebut mengamuk dan tak bisa dikendalikan.
Gajah perang juga memiliki kelemahan. Gajah memiliki kecenderungan tersendiri untuk panik. Jika memperoleh luka yang sangat menyakitkan atau jika pengendaranya mati, gajah akan mengamuk dan berlari tak terkendali [51] serta bisa mengakibatkan kerugian pada kedua belah pihak yang sedang bertempur. Infantri Romawi yang berpengalaman kadang mencuba untuk memotong belalai gajah dengan tujuan membuat gajah tersebut panik dan berlari ke belakang barisan mereka sendiri. Skirmisher cepat yang bersenjatakan lembing juga sering berusaha menghalau gajah, kerana lembing dan senjata sejenisnya dapat membuat panik gajah. Gajah perang kadang tak terlindungi pada bagian samping, kerana itu infantri Romawi yang menggunakan api atau barisan tembiang yang banyak, misalnya Triarii, akan berusaha membuat gajah musuh memperlihatkan bagian sampingnya. Dengan begitu, gajah tersebut akan menjadi rentan terhadap tusukan tembiang atau lembing skirmisher. Olahraga kavaleri pancang tenda tumbuh dari rezim pelatihan bagi para penunggang kuda untuk melumpuhkan atau menghalau gajah perang.[52] Salah satu metode terkenal untuk mengacaukan pasukan gajah perang adalah dengan menggunakan babi perang. Para penulis kuno percaya bahawa "gajah takut pada suara lenguhan babi" [53] dan kelemahan tersebut banyak dieksploitasi. Di Megara, dalam Perang Diadokhoi, misalnya, pasukan Megara menumpahkan minyak pada sekawanan babi, membakarnya, dan mengusirnya ke arah pasukan gajah musuh. Gajah-gajah musuh menjadi panik akibat didatangi oleh kawanan babi yang melenguh dan terbakar.[54]
Nilai guna gajah perang berbeza-beza bagi daerah barat dan timur. Di barat, misalnya Romawi, militer lebih mengutamakan kedisplinan infantri dan kavaleri berkuda. Sementara di timur, gajah perang lebih banyak digunakan kerana mereka mengandalkan rasa takut dan teror untuk mengalahkan musuh. Pada abad kesembilan belas, adalah muncul tren untuk membandingkan perbedaan tersebut.[55] Salah satu sejarawan berkomentar bahawa gajah perang "telah terbukti mudah gugup dan gampang waswas pada suara-suara tak dikenal dan kerana alasan inilah gajah perang rentan memecah barisan dan melarikan diri."[56] Meskipun demikian, penggunaan gajah perang yang berlangsung selama ribuan tahun menunjukkan bahawa unit ini memang berguna dalam medan pertempuran.
Terdapat banyak kegunaan ketenteraan di mana gajah boleh digunakan. Sebagai haiwan besar, ia mampu membawa kargo berat dan memberikan cara baik untuk pengangkutan . Dalam pertempuran, gajah perang biasanya diletakkan di tengah baris, di mana ia berguna bagi menghalang serbuan atau digunakan bagi menyerbu.
Serbuan gajah mampu mencecah sekitar 30 km/j dan tidak seperti kavalri berkuda, sukar dihentikan oleh baris infantari berlembing. Kuasanya berasaskan kuasa sepenuhnya: ia akan menghetam baris musuh, memijak dan menghayun gadingnya. Mereka yang tidak mati akan ditolak ketepi atau dipaksa berundur. Tambahan lagi, ketakutan yang disebabkan oleh gajah terhadap mereka yang tidak pernah berhadapan dengan gajah (seperti Empire Rom) boleh menyebabkan mereka berpecah dan lari hanya dengan serbuan sahaja. Kalavari berkuda juga tidak selamat kerana kuda yang tidak biasa dengan bau gajah akan turut juga menjadi panik. Kulit tebal gajah menjadikan mereka amat sukar dibunuh atau dilemahkan dengan sebarang cara, dan ketinggian dan jisim mereka memberikan keselamatan yang agak baik bagi penunggang gajah. Malangnya mereka juga cenderung untuk panik: setelah mengalami kecederaan serdahana atau apabila gembala mereka mati, mereka akan mengamuk, tanpa hala tuju menyebabkan kecederaan ketika mereka cuba melarikan diri. Gajah mampu menyebabkan kerosakan besar pada kedua pihak semasa berundur dalam keadaan panik. Infantari Rom yang berpengalaman seringkali cuba memotong belalai gajah, bertujuan menimbulkan panik mengejut, dan dengan harapan menyebabkan gajah lari kembali kearah baris mereka.
Dalam Perang Punic, gajah perang berperisai penuh dan membawa di atas belakangnya, menara dikenali sebagai howdah, dengan tiga orang krew: pemanah dan/atau orang bersenjatakan dengan sarissa (senjata seperti cokmar sepanjang enam meter). Gajah perang hutan, lebih kecil berbanding saudara Afrikaatau Asia mereka, tidak cukup kuat untuk membawa menara dan membawa hanya dua atau tiga orang. Terdapat juga pemandu yang dikenali sebagai mahout dan biasanya (Numidia), yang bertanggung jawab bagi mengawal mereka. Mahout turut membawa mata pahat dan penukul untuk memotong saraf tunjang dan membunuh gajah sekiranya gajah mengamuk.. Sungguhpun dengan kelemahan sedemikian, gajah merupakan kereta kebal silam, seperti Perang Dunia II Panzer.
Sebahagian pertempuran bergajah termasuk:
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.