Loading AI tools
provinsi di Pulau Sumatera, Indonesia Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Riau (Jawi: رياو) adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di pantai timur pulau Sumatra bagian tengah. Wilayah pesisirnya berbatasan dengan Selat Malaka. Hingga tahun 2004, provinsi ini juga meliputi Kepulauan Riau, sekelompok besar pulau-pulau kecil (pulau-pulau utamanya antara lain Pulau Batam dan Pulau Bintan) yang terletak di sebelah Timur Sumatra dan sebelah Selatan Singapura. Kepulauan ini dimekarkan menjadi provinsi tersendiri pada Juli 2004.
Riau | |
---|---|
Transkripsi bahasa Melayu | |
Julukan:
| |
Motto: | |
Negara | Indonesia |
Dasar hukum pendirian | UU RI No. 19/drt Tahun 1957 |
Hari jadi | 9 Agustus 1957 |
Ibu kota | Kota Pekanbaru |
Kota besar lainnya | Kota Dumai |
Jumlah satuan pemerintahan | Daftar
|
Pemerintahan | |
• Gubernur | Rahman Hadi (Pj.) |
• Wakil Gubernur | lowong |
• Sekretaris Daerah | S. F. Hariyanto |
• Ketua DPRD | Yulisman |
Luas | |
• Total | 89.935,90 km2 (34,724,45 sq mi) |
Populasi | |
• Total | 6.969.031 |
• Kepadatan | 77/km2 (200/sq mi) |
Demografi | |
• Agama | |
• Bahasa | Indonesia (resmi), Melayu Riau (dominan), Jawa, Minangkabau, Batak, Banjar, Loncong, Tionghoa, Bugis, Lainnya |
• IPM | 74,95 (2023) tinggi[5] |
Zona waktu | UTC+07:00 (WIB) |
Kode pos | 28xxx-29xxx |
Kode area telepon | Daftar
|
Kode ISO 3166 | ID - RI |
Pelat kendaraan | BM |
Kode Kemendagri | 14 |
Kode BPS | 14 |
DAU | Rp 1.603.291.532.000,00- (2020)[6] |
Lagu daerah | |
Rumah adat | Selaso Jatuh Kembar |
Senjata tradisional |
|
Flora resmi | Nibung |
Fauna resmi | Serindit |
Situs web | riau |
Ibu kota dan kota terbesar di provinsi Riau adalah Pekanbaru, dan kota besar lainnya setelah Pekanbaru adalah kota Dumai. Berdasarkan hasil Badan Pusat Statistik Riau tahun 2022, penduduk provinsi Riau berjumlah 6.493.603 jiwa, dengan kepadatan penduduk 75 jiwa/km², dan pada pertengahan 2024 berjumlah 6.969.031 jiwa peduduk.[3][4]
Riau saat ini merupakan salah satu provinsi terkaya di Indonesia, dan sumber dayanya didominasi oleh sumber alam, terutama minyak bumi, gas alam, karet, kelapa sawit dan perkebunan serat. Tetapi, penebangan hutan yang merajalela telah mengurangi luas hutan secara signifikan, dari 78% pada 1982 menjadi hanya 33% pada 2005.[7] Rata-rata 160.000 hektare hutan habis ditebang setiap tahun, meninggalkan 22%, atau 2,45 juta hektare pada tahun 2009.[8] Deforestasi dengan tujuan pembukaan kebun-kebun kelapa sawit dan produksi kertas telah menyebabkan kabut asap yang sangat mengganggu di provinsi ini selama bertahun-tahun, dan menjalar ke negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Ada tiga kemungkinan asal kata riau yang menjadi nama provinsi ini. Pertama, dari kata Portugis, rio berarti sungai.[9][10] Pada tahun 1514, terdapat sebuah ekspedisi militer Portugis yang menelusuri Sungai Siak, dengan tujuan mencari lokasi sebuah kerajaan yang diyakini mereka ada pada kawasan tersebut, dan sekaligus mengejar pengikut Sultan Mahmud Syah yang melarikan diri setelah kejatuhan Kesultanan Malaka.[11]
Versi kedua menyebutkan bahwa riau berasal dari kata riahi yang berarti air laut. Kata ini diduga berasal dari tokoh Sinbad al-Bahar dalam kitab Seribu Satu Malam,[10] dan versi ketiga menyebutkan bahwa kata ini berasal dari penuturan masyarakat setempat, diangkat dari kata rioh atau riuh, yang berarti ramai, hiruk pikuk orang bekerja.[12]
Riau diduga telah dihuni sejak masa antara 10.000-40.000 SM. Kesimpulan ini diambil setelah penemuan alat-alat dari zaman Pleistosin di daerah aliran sungai Sungai Sengingi di Kabupaten Kuantan Singingi pada bulan Agustus 2009. Alat batu yang ditemukan antara lain kapak penetak, perimbas, serut, serpih dan batu inti yang merupakan bahan dasar pembuatan alat serut dan serpih. Tim peneliti juga menemukan beberapa fosil kayu yang diprakirakan berusia lebih tua dari alat-alat batu itu. Diduga manusia pengguna alat-alat yang ditemukan di Riau adalah pithecanthropus erectus seperti yang pernah ditemukan di Sangiran, Jawa Tengah. Penemuan bukti ini membuktikan ada kehidupan lebih tua di Riau yang selama ini selalu mengacu pada penemuan Candi Muara Takus di Kampar sebagai titik awalnya.[13][14]
Pada awal abad ke-16, Tome Pires, seorang penjelajah Portugal, mencatat dalam bukunya, Suma Oriental bahwa kota-kota di pesisir timur Sumatra antara suatu daerah yang disebutnya Arcat (sekitar Aru dan Rokan) hingga Jambi adalah pelabuhan dagang yang dikuasai oleh raja-raja dari Minangkabau.[15] Di wilayah tersebut, para pedagang Minangkabau mendirikan kampung-kampung perdagangan di sepanjang Sungai Siak, Kampar, Rokan, dan Indragiri. Satu dari sekian banyak kampung yang terkenal adalah Senapelan yang kemudian berkembang menjadi Pekanbaru, yang kini menjadi ibu kota provinsi.
Sejarah Riau pada masa pra-kolonial didominasi beberapa kerajaan otonom yang menguasai berbagai wilayah di Riau. Kerajaan yang terawal, Kerajaan Keritang, diduga telah muncul pada abad keenam, dengan wilayah kekuasaan diperkirakan terletak di Keritang, Indragiri Hilir. Kerajaan ini pernah menjadi wilayah taklukan Majapahit, namun seiring masukkan ajaran Islam, kerajaan tersebut dikuasai pula oleh Kesultanan Melaka. Selain kerajaan ini, terdapat pula Kerajaan Kemuning, Kerajaan Batin Enam Suku, dan Kerajaan Indragiri, semuanya diduga berpusat di Indragiri Hilir.[16] hingga kedatangan kolonial, terdapat beberapa kerajaan dan kesultanan di Riau. Kerajaan Tambusai, Rambah, Kepenuhan, Rokan IV Koto dan Kunto Darussalam menguasai kawasan hulu sungai Rokan dan anak sungainya yang sekarang menjadi kabupaten Rokan Hulu.
Kerajaan Kampar Kiri dan Singingi menguasai kawasan sehilir sungai Kampar Kiri dan Singingi yang sekarang menjadi sebagian wilayah kabupaten Kampar dan sebagian wilayah kabupaten Kuantan Singingi. Kerajaan Kuantan menguasai kawasan sehilir sungai Kuantan yang sekarang menjadi sebagian wilayah kabupaten Kuantan Singingi. Kesultanan Siak Sri Inderapura menguasai kawasan yang sekarang menjadi kabupaten Rokan Hilir, Bengkalis, kota Dumai, Siak, Kepulauan Meranti, sebagian kota Pekanbaru, kawasan sehilir sungai Tapung Kiri dan kanan serta Taratak Buluh dan sekitarnya yang sekarang masuk kabupaten Kampar.
Kesultanan Pelalawan menguasai kawasan yang sekarang menjadi kabupaten Pelalawan. Dan kesultanan Indragiri menguasai kawasan yang sekarang menjadi kabupaten Indragiri Hulu dan Indragiri Hilir, sedangkan sebagian kawasan pesisir Indragiri dulunya menjadi wilayah kesultanan Lingga–Riau yang berpusat di Daik Lingga. Kawasan sehilir sungai Kampar Kanan dipimpin oleh Datuk-datuk adat mereka sendiri.
Kesultanan Indragiri didirikan pada tahun 1298 oleh Raja Merlang I, yang uniknya tidak berkedudukan di Indragiri, melainkan di Melaka.[17] Urusan pemerintahan diserahkan pada para pembesar tradisional. Baru pada masa kekuasaan Narasinga II sekitar tahun 1473, para raja Indragiri mulai menetap di pusat pemerintahannya di Kota Tua.[16][17] Pada tahun 1815, di bawah Sultan Ibrahim, ibu kota kerajaan dipindahkan ke Rengat, yang kini menjadi ibu kota Kabupaten Indragiri Hulu. Pada masa inilah Belanda mulai campur tangan dengan urusan internal Indragiri, termasuk dengan mengangkat seorang Sultan Muda yang berkedudukan di Peranap.[16]
Dengan adanya traktat perdamaian dan persahabatan yang ditandatangani pada tanggal 27 September 1938 antara Indragiri dengan Belanda, maka Kesultanan Indragiri menjadi zelfbestuur lindungan Belanda, dipimpin seorang controleur yang memegang wewenang mutlak terhadap kekuasaan lokal.[16]
Kesultanan Siak Sri Inderapura didirikan oleh Raja Kecil dari Pagaruyung pada tahun 1723.[18] Siak segera saja menjadi sebuah kekuatan besar yang dominan di wilayah Riau: atas perintah Raja Kecil, Siak menaklukkan Rokan pada 1726 dan membangun pangkalan armada laut di Pulau Bintan.[19] Namun keagresifan Raja Kecil ini segera ditandingi oleh orang-orang Bugis pimpinan Yang Dipertuan Muda dan Raja Sulaiman. Raja Kecil terpaksa melepaskan pengaruhnya untuk menyatukan kepulauan-kepulauan di lepas pantai timur Sumatra di bawah bendera Siak, meskipun antara tahun 1740 hingga 1745 ia bangkit kembali dan menaklukkan beberapa kawasan di Semenanjung Malaya.[20]
Pada akhir abad ke-18, Siak telah menjelma menjadi kekuatan yang dominan di pesisir timur Sumatra. Pada tahun 1761, Sultan Abdul Jalil Syah III mengikat perjanjian eksklusif dengan Belanda, dalam urusan dagang dan hak atas kedaulatan wilayahnya, serta bantuan dalam bidang persenjataan. Walau kemudian muncul dualisme kepemimpinan di dalam tubuh kesultanan yang awalnya tanpa ada pertentangan di antara mereka, Raja Muhammad Ali, yang lebih disukai Belanda, kemudian menjadi penguasa Siak, sementara sepupunya Raja Ismail, tidak disukai oleh Belanda, muncul sebagai Raja Laut, menguasai perairan timur Sumatra sampai ke Laut Cina Selatan, membangun kekuatan di gugusan Pulau Tujuh.[21] Tahun 1780, Siak menaklukkan daerah Langkat, termasuk wilayah Deli dan Serdang. Di bawah ikatan perjanjian kerjasama mereka dengan VOC, pada tahun 1784 Siak membantu tentara Belanda menyerang dan menundukkan Selangor, dan sebelumnya mereka telah bekerjasama memadamkan pemberontakan Raja Haji Fisabilillah di Pulau Penyengat.
Invasi Belanda yang agresif ke pantai timur Sumatra tidak dapat dihadang oleh Siak. Belanda mempersempit wilayah kedaulatan Siak, dengan mendirikan Keresidenan Riau (Residentie Riouw) di bawah pemerintahan Hindia Belanda yang berkedudukan di Tanjung Pinang.[22] Para sultan Siak tidak dapat berbuat apa-apa karena mereka telah terikat perjanjian dengan Belanda. Kedudukan Siak semakin melemah dengan adanya tarik-ulur antara Belanda dan Inggris yang kala itu menguasai Selat Melaka, untuk mendapatkan wilayah-wilayah strategis di pantai timur Sumatra. Para sultan Siak saat itu terpaksa menyerah kepada kehendak Belanda dan menandatangani perjanjian pada Juli 1873 yang menyerahkan Bengkalis kepada Belanda, dan mulai saat itu, wilayah-wilayah yang sebelumnya menjadi kekuasaan Siak satu demi satu berpindah tangan kepada Belanda. Pada masa yang hampir bersamaan, Indragiri juga mulai dipengaruhi oleh Belanda, namun akhirnya baru benar-benar berada di bawah kekuasaan Batavia pada tahun 1938. Penguasaan Belanda atas Siak kelak menjadi awal pecahnya Perang Aceh.
Di pesisir, Belanda bergerak cepat menghapuskan kerajaan-kerajaan yang masih belum tunduk. Belanda menunjuk seorang residen di Tanjung Pinang untuk mengawasi daerah-daerah pesisir, dan Belanda berhasil memakzulkan Sultan Riau-Lingga, Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah pada Februari 1911.[23]
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, Riau menjadi salah satu sasaran utama untuk diduduki. Bala tentara Jepang menduduki Rengat pada 31 Maret 1942.[16] Seluruh Riau dengan cepat tunduk di bawah pemerintahan Jepang. Salah satu peninggalan masa pendudukan Jepang adalah jalur kereta api sepanjang 220 km yang menghubungkan Muaro Sijunjung dan Pekanbaru yang terbengkalai. Ratusan ribu rakyat Riau dipaksa bekerja oleh tentara Jepang untuk menyelesaikan proyek ini.[24][25][26]
Pada awal kemerdekaan Indonesia, bekas wilayah Keresidenan Riau dilebur dan tergabung dalam Provinsi Sumatra yang berpusat di Medan. Seiring dengan penumpasan simpatisan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Provinsi Sumatra dimekarkan lagi menjadi tiga provinsi, yakni Sumatera Utara, Sumatra Tengah, dan Sumatera Selatan. Ketika itu, Sumatra Tengah menjadi basis terkuat dari PRRI, situasi ini menyebabkan pemerintah pusat membuat strategi memecah Sumatra Tengah dengan tujuan untuk melemahkan pergerakan PRRI.[27] Selanjutnya pada tahun 1957, berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 19 tahun 1957, Sumatra Tengah dimekarkan menjadi tiga provinsi yaitu Riau, Jambi dan Sumatera Barat. Kemudian yang menjadi wilayah Provinsi Riau yang baru terbentuk adalah bekas wilayah Kesultanan Siak Sri Inderapura dan Keresidenan Riau serta ditambah Kampar.
Riau sempat menjadi salah satu daerah yang terpengaruh Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia pada akhir 1950-an. Pemerintah pusat menggelar Operasi Tegas dibawah pimpinan Kaharuddin Nasution, yang kelak menjadi gubernur provinsi ini, dan berhasil menumpas sisa-sisa simpatisan PRRI.[28]
Setelah situasi keamanan berangsur pulih, pemerintah pusat mulai mempertimbangkan untuk memindahkan ibu kota provinsi dari Tanjung Pinang ke Pekanbaru, yang secara geografis terletak di tengah-tengah. Pemerintah akhirnya menetapkan Pekanbaru sebagai ibu kota provinsi yang baru pada 20 Januari 1959 lewat Kepmendagri No. Desember 52/I/44-25.[29]
Setelah jatuhnya Orde Lama, Riau menjadi salah satu tonggak pembangunan ekonomi Orde Baru yang kembali menggeliat.[30] Pada tahun 1944, ahli geologi NPPM, Richard H. Hopper dan Toru Oki bersama timnya menemukan sumur minyak terbesar di Asia Tenggara yaitu di Minas, Siak. Sumur ini awalnya bernama Minas No. 1. Minas terkenal dengan jenis minyak Sumatra Light Crude (SLC) yang baik dan memiliki kadar belerang rendah.[31] Pada masa awal 1950-an, sumur-sumur minyak baru ditemukan di Minas, Duri, Bengkalis, Pantaicermin, dan Petapahan. Eksploitasi minyak bumi di Riau dimulai di Blok Siak pada September 1963, dengan ditandatanganinya kontrak karya dengan PT California Texas Indonesia (kini menjadi Chevron Pacific Indonesia).[32] Provinsi ini sempat diandalkan sebagai penyumbang 70 persen dari produksi minyak nasional pada tahun 1970-an.[33]
Riau juga menjadi tujuan utama program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintahan Soeharto. Banyak keluarga dari Pulau Jawa yang pindah ke perkebunan-perkebunan kelapa sawit yang baru dibuka di Riau, sehingga membentuk suatu komunitas tersendiri yang kini berjumlah cukup signifikan.[34]
Pada tahun 1999, Saleh Djasit terpilih menjadi putra daerah asli Riau kedua (selain Arifin Achmad) dan pertama dipilih oleh DPRD Provinsi sebagai gubernur. Pada tahun 2003, mantan Bupati Indragiri Hilir, Rusli Zainal, terpilih menjadi gubernur, dan terpilih kembali lewat pemilihan langsung oleh rakyat pada tahun 2008. Mulai tanggal 19 Februari 2014, Provinsi Riau secara resmi dipimpin oleh gubernur, Annas Maamun. Baru memimpin 7 Bulan, Annas Maamun dilengserkan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Menangkap Tangan Annas Maamun dalam kasus Alih Fungsi Lahan di Kabupaten Kuansing. Saat ini provinsi Riau dipimpin oleh Arsyadjuliandi Rachman (Andi Rachman).
Setelah kejatuhan Orde Baru, Riau menjadi salah satu sasaran provinsi yang akan dimekarkan. Pada tahun 2002, pemerintah menetapkan pemekaran Kepulauan Riau yang beribu kota di Tanjung Pinang, dari provinsi Riau.[35]
Luas wilayah provinsi Riau adalah 87.023,66 km², yang membentang dari lereng Bukit Barisan hingga Selat Malaka.[4] Riau memiliki iklim tropis basah dengan rata-rata curah hujan berkisar antara 2000-3000 milimeter per tahun, serta rata-rata hujan per tahun sekitar 160 hari.
Provinsi ini memiliki sumber daya alam, baik kekayaan yang terkandung di perut bumi, berupa minyak bumi dan gas, serta emas, maupun hasil hutan dan perkebunannya. Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah, secara bertahap mulai diterapkan sistem bagi hasil atau perimbangan keuangan antara pusat dengan daerah. Aturan baru ini memberi batasan tegas mengenai kewajiban penanam modal, pemanfaatan sumber daya, dan bagi hasil dengan lingkungan sekitar.
Sejak berdirinya Provinsi Riau pada tahun 1958, provinsi ini telah dipimpin oleh tiga belas orang gubernur dan tujuh orang pejabat atau pelaksana tugas gubernur. Gubernur Riau petahana adalah Syamsuar, yang dilantik pada 20 Februari 2019 oleh Presiden Joko Widodo setelah memenangkan pemilihan gubernur tahun 2018.[36]
Dalam menjalankan tugasnya, Gubernur Riau dibantu oleh seorang Wakil Gubernur. Wakil Gubernur petahana adalah Edy Nasution, yang dilantik pada 20 Februari 2019 bersama Gubernur Syamsuar.[36] Kemudian, pada 27 November 2023, presiden Joko Widodo melantik Edy Nasution sebagai gubernur Riau, karena Syamsuar selaku gubernur Riau mengundurkan diri, ia mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif dalam pemilu 2024.[37] Selanjutnya, S. F. Hariyanto dilantik menjadi penjabat gubernur Riau pada 29 Februari 2024. Pada tanggal 15 Agustus 2024, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian resmi melantik Sekretaris Jenderal DPD RI Rahman Hadi sebagai Pj Gubernur Riau menggantikan S. F. Hariyanto yang akan maju sebagai kandidat calon kepala daerah tahun 2024.
No. | Potret | Gubernur | Mulai menjabat | Akhir menjabat | Wakil Gubernur | Referensi |
---|---|---|---|---|---|---|
13 | Rahman Hadi | 15 Agustus 2024 | Petahana | Lowong | [37] |
DPRD Riau beranggotakan 65 orang yang dipilih melalui pemilihan umum setiap lima tahun sekali. Pimpinan DPRD Riau terdiri dari 1 Ketua dan 3 Wakil Ketua yang berasal dari partai politik dengan jumlah kursi terbanyak. Anggota DPRD Riau yang sedang menjabat saat ini adalah hasil Pemilihan umum legislatif Indonesia 2024 yang dilantik pada 6 September 2024 oleh Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Riau di Gedung DPRD Provinsi Riau.[38][39][40]Komposisi DPRD Riau periode 2024-2029 terdiri dari 10 partai politik dimana PDI Perjuangan menjadi peraih kursi terbanyak yaitu 10 kursi disusul oleh Golkar yang meraih 8 kursi, Partai Gerindra meraih 8 kursi, dan PKS meraih 6 kursi. Berikut ini adalah komposisi anggota DPRD Riau sejak periode 2009-2014 hingga sekarang.[41][42][43]
Partai Politik | Jumlah Kursi dalam Periode | ||||
---|---|---|---|---|---|
2009-2014 | 2014-2019 | 2019-2024 | 2024-2029 | ||
PDI-P | 7 | 9 | 10 | 11 | |
PKS | 5 | 3 | 7 | 10 | |
Golkar | 15 | 14 | 11 | 10 | |
Gerindra | 1 | 7 | 8 | 8 | |
Demokrat | 8 | 9 | 9 | 8 | |
PKB | 3 | 6 | 6 | 6 | |
NasDem | (baru) 3 | 2 | 6 | ||
PAN | 6 | 7 | 7 | 5 | |
PPP | 6 | 5 | 4 | 1 | |
Hanura | 0 | 2 | 1 | 0 | |
PBB | 1 | 0 | 0 | 0 | |
PBR | 2 | ||||
PPRN | 1 | ||||
Jumlah Anggota | 55 | 65 | 65 | 65 | |
Jumlah Partai | 11 | 10 | 10 | 9 |
No. | Kabupaten/kota | Ibu kota | Bupati/wali kota | Luas wilayah (km2)[44] | Jumlah penduduk (2022)[45] | Kecamatan | Kelurahan/desa | Lambang | Peta lokasi |
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1 | Kabupaten Bengkalis | Bengkalis | Kasmarni | 8.616,36 | 634.553 | 11 | 19/136 | ||
2 | Kabupaten Indragiri Hilir | Tembilahan | Erisman Yahya (Pj.) | 13.521,26 | 676.983 | 20 | 39/197 | ||
3 | Kabupaten Indragiri Hulu | Rengat | Rezita Meylani Yopi | 7.871,85 | 455.669 | 14 | 16/178 | ||
4 | Kabupaten Kampar | Bangkinang | Hambali (Pj.) | 10.352,80 | 832.975 | 21 | 8/242 | ||
5 | Kabupaten Kepulauan Meranti | Selatpanjang | Asmar (Plt.) | 3.623,56 | 210.843 | 9 | 5/96 | ||
6 | Kabupaten Kuantan Singingi | Koto Taluk | Suhardiman Amby | 5.457,86 | 341.708 | 15 | 11/218 | ||
7 | Kabupaten Pelalawan | Pangkalan Kerinci | Zukri | 13.262,11 | 402.303 | 12 | 14/104 | ||
8 | Kabupaten Rokan Hilir | Bagansiapiapi | Afrizal Sintong | 9.068,46 | 649.692 | 15 | 25/159 | ||
9 | Kabupaten Rokan Hulu | Pasir Pengaraian | Sukiman | 7.658,15 | 561.313 | 16 | 6/139 | ||
10 | Kabupaten Siak | Siak | Alfedri | 7.805,54 | 463.660 | 14 | 9/122 | ||
11 | Kota Dumai | - | Paisal | 2.059,61 | 331.445 | 7 | 36/- | ||
12 | Kota Pekanbaru | - | Risnandar Mahiwa (Pj.) | 638,33 | 1.085.246 | 15 | 83/- |
Jumlah penduduk provinsi Riau berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2022, sebanyak 6.493.603 jiwa.[4] Kabupaten atau kota yang memiliki jumlah penduduk terbanyak adalah kota Pekanbaru dengan jumlah penduduk ± 994 ribu jiwa. Sedangkan kabupaten atau kota dengan jumlah penduduk paling sedikit adalah kabupaten Kepulauan Meranti yakni sebesar 210.407 jiwa.[3]
Penduduk provinsi Riau terdiri dari bermacam-macam suku bangsa. Berdasarkan Sensus Penduduk Indonesia 2010 menunjukkan bahwa Melayu adalah masyarakat terbesar dengan komposisi 33,35% dari seluruh penduduk Riau. Mereka umumnya berasal dari daerah pesisir di Rokan Hilir, Dumai, Bengkalis, Kepulauan Meranti, Indragiri Hilir, hingga ke daerah daratan di Pelalawan, Siak, Pekanbaru, dan Indragiri Hulu. Suku bangsa lainnya yaitu Jawa (29,20%), Batak (12,55%), Minangkabau (12,29%), Banjar (4,13%), Bugis (1,95%), Tionghoa (1,85%), Sunda (1,44%), Nias (1,30%), dan lainnya 1,94%.[46] Ada juga masyarakat asli Melayu Riau rumpun Minang seperti masyarakat Melayu Petalangan di sebagian Pelalawan, juga yang berasal dari Rokan Hulu, terutama Kampar, dan Kuantan Singingi memiliki kekerabatan dekat dengan Minangkabau karena wilayah-wilayah tersebut berdekatan bahkan berbatasan langsung dengan Sumatera Barat. Juga terdapat masyarakat Batak Mandailing di Rokan Hulu, yang kerap lebih mengaku sebagai Mandaling dan Melayu daripada sebagai Batak ataupun Minangkabau.[47]
Berdasarkan data dari Sensus Penduduk Indonesia 2010, berikut ini komposisi etnis atau suku bangsa di provinsi Riau, yakni;[46]
No | Suku | Jumlah 2010 | % |
---|---|---|---|
1 | Melayu | 1.836.812 | 33,35% |
2 | Jawa | 1.608.552 | 29,20% |
3 | Batak | 691.399 | 12,55% |
4 | Minangkabau | 676.948 | 12,29% |
5 | Banjar | 227.239 | 4,13% |
6 | Bugis | 107.159 | 1,95% |
7 | Tionghoa | 101.864 | 1,85% |
8 | Sunda | 79.289 | 1,44% |
9 | Nias | 71.537 | 1,30% |
10 | Asal Riau | 53.691 | 0,97% |
11 | Suku lainnya | 53.352 | 0,97% |
Provinsi Riau | 5.507.842 | 100% | |
Dalam Sensus Penduduk Indonesia 2010, suku asal Riau lainnya sudah termasuk 6 kelompok suku terasing seperti: Suku Hutan, Bonai, Talang mamak, Sakai, suku Akit, dan Orang Laut dari provinsi Riau. Sedangkan suku lain sisanya termasuk Aceh, Madura, Makassar, dan lain-lain.[46]
Abad ke-19, masyarakat Banjar dari Kalimantan Selatan dan Bugis dari Sulawesi Selatan, juga mulai berdatangan ke Riau. Mereka banyak bermukim di Indragiri Hilir khususnya Tembilahan.[48] Dibukanya perusahaan pertambangan minyak Caltex pada tahun 1940-an di Rumbai, Pekanbaru, mendorong orang-orang dari daerah-daerah di Indonesia untuk mengadu nasib di Riau.
Riau merupakan provinsi dengan latar belakang penduduk yang majemuk, sehingga terdapat banyak bahasa yang dituturkan sehari-hari. Menurut sensus 2010, 40,05% penduduk Riau berusia 5 tahun ke atas berbicara menggunakan bahasa Indonesia, sedangkan 58,68% menggunakan bahasa daerah. 1,27% sisanya menggunakan bahasa asing, tidak terdata/tidak didata (tidak diketahui), tidak ditanyakan, atau tidak menjawab.[49] Bahasa-bahasa daerah yang dominan dituturkan di Riau, antara lain Melayu, Jawa, Minangkabau, Batak, dan Banjar.[50]
Bahasa Melayu, yang dikenal sebagai bahasa Melayu Riau beserta dialeknya, merupakan bahasa yang dipertuturkan secara luas oleh etnis Melayu yang merupakan penduduk asli Riau khususnya di daerah pesisir, seperti Rokan Hilir, Bengkalis, Dumai, Kepulauan Meranti, Indragiri Hilir, hingga ke daerah daratan, seperti Pelalawan, Pekanbaru, Siak, Indragiri Hulu, Kampar, Kuantan Singingi, dan Rokan Hulu.[51]
Bahasa Minangkabau dipergunakan secara luas/dominan menjadi bahasa perniagaan di perkotaan (Pekanbaru) dan di sebagian wilayah bagian barat Riau yang berbatasan dengan Sumatera Barat. Selain menjadi bahasa yang digunakan masyarakat etnis Minangkabau dan digunakan di pasar-pasar/tempat perniagaan, dialek/bahasa Minangkabau juga bahkan dominan dan menjadi bahasa sehari-hari, bahasa pengantar/komunikasi (lingua franca), dan bahasa pergaulan masyarakat kota Pekanbaru.
Di Pekanbaru sendiri mayoritas etnis Minang, etnis Minang merupakan etnis terbesar di Pekanbaru. Hal ini dikarenakan banyak orang Minang yang merantau lalu berniaga, bekerja, dan sekolah/kuliah di Riau hingga menetap dan menjadi warga Riau (khususnya Pekanbaru yang merupakan ibu kota provinsi Riau), ini juga menyebabkan logat khas Minang dengan ciri khas penambahan partikel "do" diakhir kalimat dan beberapa kosakata/partikel seperti "mah", "wak", dan lainnya banyak dipakai masyarakat kota Pekanbaru oleh non-Minang seperti pendatang lainnya ataupun masyarakat asli Melayu Riau itu sendiri.
Bahasa Melayu lokal di daerah sekitar Pekanbaru yang dituturkan oleh masyarakat Melayu Riau memang terdengar banyak kemiripan dan ada beberapa persamaan dengan dialek bahasa Minangkabau terutama dari logatnya. Bahasa Melayu lokal disana juga memiliki ciri kata diakhiri "o" seperti Minang juga dengan beberapa kosakata yang sama dan banyak kemiripan terutama dari logat bahasa. Selain dituturkan di Pekanbaru, bahasa ini juga dituturkan oleh masyarakat asli Minang yang berada di sebagian wilayah yang berbatasan dengan Sumatera Barat di Kampar, Rokan Hulu, dan Kuantan Singingi. Ketiga daerah tersebut mempunyai banyak kemiripan dan persamaan dari adat-istiadat, budaya/kebudayaan, dan bahasa dengan daerah tetangganya di Sumatera Barat, serta mempunyai ciri dialek tersendiri yang agak berbeda dengan masyarakat Melayu Riau lainnya.
Pada umumnya, penutur asli tersebut tidak menyebutkan bahasanya sebagai bahasa Minang, tetapi sebagai bahasa tersendiri atau sebagai dialek Melayu.[52][53] Dialek-dialek rumpun Minang yang tersebar di Riau antara lain, dialek Melayu Kampar,[54][55] dialek Melayu Kuantan, dan dialek Melayu Rokan.[51][56][57]
Dialek-dialek dari bahasa Batak, juga dipertuturkan di provinsi Riau. Khususnya Batak Toba dituturkan oleh masyarakat Batak Toba yang tinggal disekitar perkotaan (Pekanbaru & Dumai) serta daerah-daerah Riau lainnya di beberapa kabupaten.[50], Batak Angkola, dialek Mandailing yang dituturkan oleh masyarakat Batak Angkola dan Batak Mandailing di wilayah kabupaten Rokan Hulu yang berbatasan dengan Sumatera Utara.[50]
Bahasa Banjar di Riau banyak dituturkan orang Banjar di Kabupaten Indragiri Hilir. Ada 4 dialek yang tersebar, yaitu dialek Pekan Kamis, dialek Simpang Gaung, dialek Sungai Raya-Sungai Piring, dan dialek Teluk Jira. Menurut perhitungan dialektrometri, dialek-dialek Banjar yang ada di Riau memiliki perbedaan cukup signifikan dari daerah asalnya di Kalimantan Selatan. Bahasa Banjar di Riau sudah tercampur dan terpengaruh beberapa bahasa salah satunya yang dominan ialah bahasa Melayu. Banyak kosakata yang diserap dari bahasa Melayu Riau (baik Indragiri Hilir dan sekitarnya maupun dialek Melayu Riau di wilayah lain), sisanya terdapat pula sebagian serapan dari bahasa Jawa dan Bugis.
Selain itu dialek Hokkien juga masih banyak digunakan di kalangan masyarakat Tionghoa, terutama yang bermukim di Pekanbaru, Dumai, Selatpanjang, Bengkalis, dan Bagansiapiapi[butuh rujukan] .
Dalam skala yang cukup besar juga didapati penutur bahasa Jawa yang digunakan oleh keturunan para pendatang asal Jawa yang telah bermukim di Riau sejak masa penjajahan dahulu, serta oleh para transmigran dari pulau Jawa pada masa setelah kemerdekaan.
Dilihat dari komposisi, penduduk provinsi Riau meiliki latar belakang sosial budaya, bahasa, dan agama yang berbeda. Agama-agama yang dianut penduduk provinsi ini sangat beragam, di antaranya Islam, Kristen Protestan, Buddha, Kristen Katolik, Konghucu, dan Hindu.[58]
Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri pertengahan tahun 2024, mayoritas warga Riau menganut agama Islam. Penganut agama Islam sebanyak 87,04% yang umumnya dianut orang Melayu, Jawa, Minangkabau, Banjar, Bugis, Sunda, dan sebagian Batak, umumnya Mandailing dan sebagian Angkola. Kemudian, Kekristenan dianut oleh 10,95% dengan rincian Protestanisme sebanyak 9,85% dan Katolik Roma sebanyak 1,10% yang kebanyakan berasal dari etnis Batak (Khususnya Toba, Simalungun, serta Pakpak), Nias, Karo, dan sebagian dianut etnis Jawa, Tionghoa, serta penduduk dari Indonesia Timur (suku asal NTT, Minahasa, dan Ambon). Penganut Buddhisme sebanyak 1,96% dan Konfusianisme/Konghucu sebanyak 0,03% yang berasal dari etnis Tionghoa serta sebagian Jawa dan suku lainnya juga menganut Buddha. Sekitar 0,01% menganut Hindu yang dianut oleh masyarakat suku Bali serta sebagian masyarakat keturunan India-Indonesia (Hindi & Tamil), dan agama tradisional sebanyak 0,01%.[3]
Berbagai sarana dan prasarana peribadatan bagi masyarakat Riau sudah terdapat di provinsi ini, seperti masjid & musala (Islam), gereja Protestan dan gereja Katolik (Kristen), vihara/wihara Buddha, serta kuil atau pura Hindu. Jumlah rumah ibadah ibadah di Riau hingga tahun 2021, yakni masjid sebanyak 6.318 bangunan, kemudian musala sebanyak 6.544 bangunan, gereja Protestan sebanyak 1.895 bangunan, gereja Katolik sebanyak 244 bangunan, vihara/wihara sebanyak 94 bangunan, beberapa kelenteng, dan pura atau kuil sebanyak 8 bangunan.[4]
Riau mempunyai beberapa perguruan tinggi, di antaranya:
Daftar rumah sakit di Provinsi Riau sebagai berikut:
Perkebunan yang berkembang adalah perkebunan karet dan perkebunan kelapa sawit, baik itu yang dikelola oleh negara ataupun oleh rakyat. Selain itu juga terdapat perkebunan jeruk dan kelapa. Untuk luas lahan perkebunan kelapa sawit saat ini provinsi Riau telah memiliki lahan seluas 1.34 juta hektare. Selain itu telah terdapat sekitar 116 pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) yang beroperasi dengan produksi coconut palm oil (CPO) 3.386.800 ton per tahun.
Pembangunan kehutanan pada hakikatnya mencakup semua upaya memanfaatkan dan memantapkan fungsi sumber daya alam hutan dan sumber daya alam hayati lain serta ekosistemnya, baik sebagai pelindung dan penyangga kehidupan dan pelestarian keanekaragaman hayati maupun sebagai sumber daya pembangunan. Namun dalam realitanya tiga fungsi utamanya sudah hilang, yaitu fungsi ekonomi jangka panjang, fungsi lindung, dan estetika sebagai dampak kebijakan pemerintah yang lalu.
Hilangnya ketiga fungsi diatas mengakibatkan semakin luasnya lahan kritis yang diakibatkan oleh pengusahaan hutan yang mengabaikan aspek kelestarian. Efek selanjutnya adalah semakin menurunnya produksi kayu hutan non HPH, sementara upaya reboisasi dan penghijauan belum optimal dilaksanakan. Masalah lain yang sangat merugikan tidak saja provinsi Riau pada khususnya tetapi Indonesia pada umumnya, adalah masalah ilegal logging yang menyebabkan berkurangnya kawasan hutan serta masalah pengerukan pasir secara liar.
Pada provinsi ini terdapat beberapa perusahaan berskala internasional yang bergerak di bidang minyak bumi dan gas serta pengolahan hasil hutan dan sawit. Selain itu terdapat juga industri pengolahan kopra dan karet.
Beberapa perusahaan besar tersebut di antaranya Chevron Pacific Indonesia anak perusahaan Chevron Corporation, PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk di Perawang, dan PT. Riau Andalan Pulp & Paper di Pangkalan Kerinci
Hasil pertambangan provinsi Riau adalah Minyak bumi, Gas, dan Batu Bara.
Provinsi Riau merupakan satu-satunya provinsi yang mempunyai BUMD di bidang transportasi udara yakni PT. Riau Air, yang bertujuan untuk melayani daerah-daerah yang sulit dijangkau melalui jalan darat maupun laut. Riau Air mengoperasikan Fokker-50 buatan Belanda sebanyak lima armada, dan tahun 2008 perusahaan ini menambah dua armada lagi dengan jenis Avro-RJ 100.
Provinsi Riau memiliki Jalan Tol yang menghubungkan Kota Pekanbaru dan Kota Dumai yang bernama Jalan Tol Pekanbaru-Dumai (Jalan Tol Permai) memiliki panjang 131,5 KM dan melewati 3 Kabupaten yaitu Siak, Kampar, dan Bengkalis serta di Tol ini memiliki Jembatan Khusus untuk Gajah karena saat pembangunan melewati Balai Latihan Gajah tepatnya di kecamatan Minas. Riau memiliki Jalan Tol yang menghubungkan antara Kota Pekanbaru dan Kota Bangkinang, Kabupaten Kampar bagian dari Ruas Jalan Tol Padang–Pekanbaru sepanjang 30,9 Km.[59]
Riau bersama PT Hutama Karya sedang menggesa progres proyek pembangunan Jalan Tol Trans Sumatra yaitu Jalan Tol Padang–Pekanbaru, Jalan Tol Rengat–Pekanbaru, Jalan Tol Duri-Rantau Prapat, dan Jalan Tol Dharmasraya-Kuansing-Inhu. Sehingga dengan keberadaan jalan tol tersebut akan bisa menaikkan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Riau akan lebih baik.
Provinsi Riau memiliki 3 bandara aktif seperti Bandara Sultan Syarif Kasim II di kota Pekanbaru, Bandara Pinang Kampai di kota Dumai, dan Bandara Japura di Rengat, Indragiri Hulu yang menghubungkan antar satu daerah ke daerah lain seperti Banda AcehMedan,Padang Jakarta,Bandung,Yogyakarta,Semarang,Surabaya dan bukan rute domsetik aja bahkan hingga ke internasional seperti Malaysia,Singapura,Thailand, dll.
Riau juga memiiki pelabuhan penumpang yang berada di Bengkalis,Dumai,Pekanbaru,Selatpanjang yang melayani rute AKAP dan bahkan Internasional yaitu Malaysia.
Untuk bidang perbankan di provinsi sangat berkembang pesat, ini ditandai banyaknya bank swasta dan BPR, selain bank milik pemerintah daerah seperti Bank Riau Kepri.
Provinsi Riau sebenarnya memiliki bermacam-macam kawasan pariwisata alam di antaranya yaitu:
Terletak lebih kurang 45 mil dari ibu kota Kabupaten Rokan Hilir, Bagansiapiapi, dan 45 mil dari negara tetangga yakni Malaysia, sedangkan provinsi Sumatera Utara adalah provinsi yang terdekat dari Pulau Jemur. Pulau Jemur sebenarnya merupakan gugusan pulau-pulau yang terdiri dari beberapa buah pulau antara lain, Pulau Tekong Emas, Pulau Tekong Simbang, Pulau Labuhan Bilik, serta pulau-pulau kecil lainnya. Pulau-pulau yang terdapat di Pulau Jemur ini berbentuk lingkaran sehingga bagian tengahnya merupakan laut yang tenang. Pada musim angin barat laut tiba, gelombang laut di Selat Malaka sangat besar, dan biasanya nelayan-nelayan setempat berlindung di bagian tengah Pulau Jemur, karena air laut pada kawasan tersebut tenang. Setelah gelombang laut mengecil atau badai berkurang barulah para nelayan keluar untuk memulai aktivitas menangkap ikan kembali. Pulau Jemur memiliki pemandangan dan panorama alam yang indah, selain itu Pulau Jemur ini amat kaya dengan hasil lautnya, serta pulau ini dimanfaatkan oleh penyu untuk menyimpan telurnya di bawah lapisan pasir-pasir pantai. Selain itu pada pulau Jemur juga terdapat beberapa potensi wisata lain di antaranya adalah Gua Jepang, mercusuar, sisa-sisa pertahanan Jepang, batu Panglima Layar, taman laut dan pantai berpasir kuning emas.
Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) memiliki luas 144.223 Ha, dengan ekosistem hutan hujan tropika dataran rendah (lowland tropical rain forest), kawasan ini merupakan peralihan antara hutan rawa dan hutan pegunungan dengan ekosistem yang unik dan berbeda dibandingkan dengan kawasan taman nasional lainnya yang ada di Indonesia. Bukit Tiga Puluh merupakan hamparan perbukitan yang terpisah dari rangkaian pegunungan Bukit Barisan dan berbatasan dengan provinsi Jambi, daerah ini merupakan daerah tangkapan air (catchment area) sehingga membentuk sungai-sungai kecil dan merupakan hulu dari sungai-sungai besar di daerah sekitarnya. Beberapa jenis fauna yang dapat dijumpai di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh antara lain: Harimau Sumatra, Beruang Madu, Tapir, Siamang, Kancil, Babi Hutan, Burung Rangkong, Kuaw, dan berbagai jenis satwa lainnya. Sedangkan jenis flora langka yang diduga endemik di kawasan tersebut adalah Cendawan Muka Rimau (Rafflesia haseltii). Selain merupakan habitat dari berbagai jenis flora dan fauna langka yang dilindungi, kawasan TNBT juga merupakan tempat hidup dan bermukim beberapa komunitas masyarakat suku asli seperti Talang Mamak, Anak Rimba, dan Melayu Tua.
Berlokasi di Kecamatan Rupat Utara, Pulau Rupat. Kawasan Pantai Pasir Panjang terdiri atas Tanjung Medang, Teluk Rhu dan Tanjung Punak di Kecamatan Rupat dan berhadapan langsung dengan Kota Dumai, dengan mudah dapat dicapai karena dari Dumai tersedia transportasi laut untuk penumpang umum. Pasir di pantai ini berwarna putih dan bersih yang memungkinkan pengunjung untuk mandi, berjemur, berolahraga air, rekreasi keluarga dan bersantai menikmati kejernihan air lautnya dengan ombak yang sedang.
Berlokasi di Kecamatan Rupat Selatan, Kawasan Pantai berhadapan langsung dengan Selat Malaka,terdiri atas Pantai Ketapang, Pantai Lohong dan Pantai Makruh, tepatnya di Desa Sungai Cingam dan Desa Makruh. Panjang Garis Pantai +/- 4 KM dari Selat Morong sampai ke Pantai Makruh. Sarana transportasi darat dan laut dari Kota Dumai dapat ditempuh 1 Jam.
Terletak di kecamatan Bangun Purba, kabupaten Rokan Hulu adalah air terjun bertingkat-tingkat, sehingga sering pula disebut air terjun tangga seribu, dapat ditempuh melalui jalan darat, kira-kira dua per tiga dari bawah terdapat kuburan pertapa Cipogas dengan air terjun yang bertingkat-tingkat dan sungguh mengagumkan untuk dinikmati.
Terletak di Desa Teluk Meranti, sepanjang Sungai Kampar dan Sungai Rokan. Bono adalah fenomena alam yang datang sebelum pasang. Air laut mengalir masuk dan bertemu dengan air sungai Kampar sehingga terjadi gelombang dengan kecepatan yang cukup tinggi, dan menghasilkan suara seperti suara guntur dan suara angin kencang. Pada musim pasang tinggi, gelombang sungai Kampar bisa mencapai 4-6 meter, membentang dari tepi ke tepi menutupi keseluruhan badan sungai. Peristiwa ini terjadi setiap hari, siang maupun malam hari. Hal yang menarik turis ke objek wisata ini adalah kegiatan berenang, memancing, naik sampan, dan kegiatan lainnya.
Wisata bahari di kabupaten Siak yaitu Danau Pulau Besar yang terletak di Desa Zamrud, Kecamatan Siak Sri Indrapura. Danau ini memiliki luas sekitar 28.000 Ha, dan danau Naga di sungai Apit. Danau Bawah dan Danau Pulau Besar terletak dekat lapangan minyak Zamrud, Kecamatan Siak. Memiliki panorama indah yang mengagumkan dan menarik. Di sekitar danau masih ditemukan hutan yang masih asli. Kondisi danau maupun hutan di sekitar danau berstatus Suaka Marga Satwa yang luasnya mencapai 2.500 hektare, di mana masih terdapat berbagai aneka jenis satwa dan tumbuhan langka. Sumber daya hayati yang terdapat di danau ini seperti pinang merah, ikan arwana dan ikan Balido yang termasuk dilindungi. Keanekaragaman jenis satwa liar di Suaka Marga Satwa danau Pulau Besar dan danau Bawah merupakan kekayaan tersendiri sebagai objek wisata tirta di Riau Daratan.
Provinsi Riau memiliki berbagai wisata religi, budaya maupun sejarah. Beberapa wisata religi, budaya, dan sejarah yang terkenal dari daerah Riau di antaranya:
Upacara bakar Tongkang yang merupakan upacara tradisional masyarakat Tionghoa berlokasi di Bagansiapiapi adalah wisata budaya unggulan provinsi Riau dari kabupaten Rokan Hilir dan telah menjadi wisata nasional bahkan terkenal hingga internasional. Upacara Bakar Tongkang ini diadakan setiap tahun di bulan Juni untuk penutupan segala kegiatan aktivitas di hari raya Imlek. Ketika pandemi Covid-19, perayaan ini ditiadakan mengingat masih tingginya angka penyebaran COVID-19 di Indonesia khususnya provinsi Riau dan juga mengundang kerumunan dan tidak menerapkan protokol kesehatan sehingga menyebabkan penularan covid-19.
Acara Perayaan Imlek memang sudah menjadi bagian dari tradisi di Kota Selatpanjang. Hampir setiap tahun perayaan Imlek di kota ini dirayakan sangat meriah bahkan juga termasuk Perayaan Imlek yang paling meriah di kawasan Provinsi Riau. Apalagi pemerintah daerah Kabupaten Kepulauan Meranti juga sudah menjadikan ivent perayaan Imlek sebagai salah satu aset wisata tahunan yang masuk kedalam Kalender Wisata Riau. Puluhan ribu orang baik dari dalam maupun luar Selatpanjang, bahkan wisatawan dari luar negeri seperti Singapura, Malaysia, Hongkong, China, Taiwan, akan membanjiri Kota Selatpanjang untuk turut serta memeriahkan perayaan Imlek. Puncak acara Perayaan Tahun Baru Imlek di Selatpanjang berlangsung pada hari ke-6 bulan pertama Tahun Baru Imlek yang biasanya disebut Cue Lak Bahasa Hokkien,tetapi kemeriahannya mulai terasa dihari H-7 yaitu seminggu sebelum jatuhnya perayaan Imlek.
Penyambutan tahun baru imlek di Selatpanjang di pusatkan di Vihara Sejahtera Sakti. Pada puncak perayaan Imlek, bertepatan dengan dilangsungkannya upacara ulang tahun dewa 清水祖師 Qing Shui Zu Shi.[60] Pada momen ini, warga Tionghoa menyakini bahwa sang dewa sedang turun ke bumi dengan maksud untuk mengusir unsur-unsur kejahatan dan memberikan kemakmuran serta ketentraman bagi warga kota Selatpanjang. Untuk itu diadakan penyambutan khusus dengan menggotong tandu patung dewa dan diarak berkeliling kota melewati beberapa kelenteng lain disertai atraksi tarian liong (naga), dan barongsai (singa) yang diiringi seni budaya Jawa, Reog Ponorogo. Perayaan Cue Lak tersebut juga dihadiri oleh para tetua atau orang yang terpilih dan dirasuki oleh roh para dewa yang biasa disebut Thangkie, yaitu di mana raga atau tubuh orang tersebut dijadikan alat komunikasi atau perantara roh dewa. Budaya ini memiliki kesamaan dengan masyarakat Singkawang (Kalimantan Barat) yang biasa dikenal dengan Tatung.
Kelenteng Hoo Ann Kiong (lebih dikenal luas sebagai Vihara Sejahtera Sakti/Tua Pek Kong Bio (bahasa Hokkien) adalah kelenteng tertua yang ada di Selatpanjang, dan juga merupakan Kelenteng Tertua di Provinsi Riau. Kelenteng ini didirikan pada masa kolonial Belanda dan sampai hari ini belum diketahui dengan pasti kapan berdirinya. Sejarawan memprediksi kelenteng ini berumur lebih dari 150 tahun, setelah dilihat dari relief arsitektur bangunannya. Kelenteng ini sangat dikenal luas oleh masyarakat Selatpanjang maupun masyarakat luar negeri terutama bagi wisatawan Singapura dan Malaysia sebagai tempat ibadah umat Buddha, maupun Konghucu.
Masjid Raya dan Makan Marhum Bukit serta Makam Marhum Pekan. Masjid Raya Pekanbaru terletak di Kecamatan Senapelan memiliki arsitektur tradisional yang amat menarik dan merupakan masjid tertua di Kota Pekanbaru. Masjid ini dibangun pada abad ke-18 dan sebagai bukti Kerajaan Siak pernah berdiri di kota ini pada masa pemerintahan Sultan Abdul Jalil Muazzam Syah dan Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah sebagai sultan keempat dan kelima dari Kerajaan Siak Sri Indrapura. Di areal Masjid terdapat sumur mempunyai nilai magis untuk membayar zakat atau nazar yang dihajatkan sebelumnya. Masih dalam areal kompleks masjid kita dapat mengunjungi makam Sultan Marhum Bukit dan Marhum Pekan sebagai pendiri kota Pekanbaru. Marhum Bukit adalah Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (Sultan Siak ke-4) memerintah tahun 1766–1780, sedangkan Marhum Bukit sekitar tahun 1775 memindahkan ibu kota kerajaan dari Mempura Siak ke Senapelan dan dia mangkat tahun 1780.
Kerajaan Siak adalah sebuah kerajaan Melayu-Islam yang terbesar di Riau. Mencapai masa kejayaannya pada abad ke-16 sampai abad ke-20. Dalam silsilah, sultan Kerajaan Siak Sri Indrapura dimulai pada tahun 1725 dengan 12 sultan yang pernah bertahta. Kini sebagai bukti sejarah atas kebesaran kerajaan Melayu Islam tersebut, dapat kita lihat peninggalan kerajaan berupa kompleks Istana Kerajaan Siak yang dibangun oleh Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin pada tahun 1889 dengan nama Assirayatul Hasyimah, lengkap dengan peralatan kerajaan. Sekarang Istana Kerajaan Siak Sri Indrapura dijadikan tempat penyimpanan benda-benda koleksi kerajaan antara lain: kursi singgasana kerajaan yang berbalut emas, duplikat mahkota Kerajaan, brankas Kerajaan, payung Kerajaan, tombak Kerajaan, komet sebagai barang langka dan menurut cerita hanya ada dua di dunia, serta barang-barang lain-lainnya. Di samping istana kerajaan terdapat pula istana peraduan.
Candi Muara Takus terletak di Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar. Jaraknya kurang lebih 135 km dari Kota Pekanbaru. Jarak antara kompleks candi ini dengan pusat desa Muara Takus sekitar 2,5 km dan tak jauh dari pinggir Sungai Kampar Kanan. Kompleks candi ini dikelilingi tembok berukuran 74 x 74 meter. Di luar arealnya terdapat pula tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer yang mengelilingi kompleks ini sampai ke pinggir Sungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat pula bangunan Candi Tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa, serta Palangka. Bahan bangunan candi terdiri dari batu pasir, batu sungai, dan batu bata. Menurut sumber tempatan, batu bata untuk bangunan ini dibuat di desa Pongkai, sebuah desa yang terletak di sebelah hilir kompleks candi.
Bekas galian tanah untuk batu bata itu sampai saat ini dianggap sebagai tempat yang sangat dihormati penduduk. Untuk membawa batu bata ke tempat candi, dilakukan secara beranting dari tangan ke tangan. Cerita ini walaupun belum pasti kebenarannya memberikan gambaran bahwa pembangunan candi ini dilakukan secara bergotong royong oleh orang ramai. Selain Candi Tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa, dan Palangka, di dalam kompleks candi ini ditemukan pula gundukan yang diperkirakan sebagai tempat pembakaran tulang manusia. Di luar kompleks ini terdapat pula bangunan-bangunan yang terbuat dari batu bata, yang belum dapat dipastikan jenis bangunannya. Kompleks candi Muara Takus, satu-satunya peninggalan sejarah yang berbentuk candi di Riau. Candi yang bersifat Buddhisme ini merupakan bukti pernahnya agama Buddha berkembang di kawasan ini beberapa abad yang silam. Kendatipun demikian, para pakar purbakala belum dapat menentukan secara pasti kapan candi ini didirikan. Ada yang mengatakan abad kesebelas, ada yang mengatakan abad keempat, abad ketujuh, abad kesembilan dan sebagainya.
Benteng Tujuh Lapis terletak di daerah Dalu-Dalu, kecamatan Tambusai, Kabupaten Rokan Hulu. Benteng tanah ini dibuat oleh masyarakat Dalu-Dalu pada masa Perang Paderi atas petuah Tuanku Tambusai. Bekas benteng tersebut ditinggalkan Tuanku Tambusai pada tanggal 28 Desember 1839. Di sekitar daerah Dalu-Dalu ini juga terdapat beberapa benteng yang disebut Kubu Gedung, Kubu Baling-Baling dan Kubu Talikemain. Benteng yang pada awalnya diberi nama Kubu Aur Duri ini juga sempat digunakan oleh Sultan Zainal Abidin untuk melawan penjajah Belanda.
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.