Hukum impersonal yang mengatur bekerjanya alam semesta dalam Buddhisme Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Dalam Buddhisme, Lima Niyāma (Pali: pañcaniyāma, pañcaniyāmadhamma, pañcavidhaniyāma), juga dikenal sebagai Hukum Alam, adalah salah satu konsep aliran Theravāda mengenai hukum keteraturan yang bekerja di seluruh alam semesta.[1][2] Daftar ini menunjukkan cakupan universal hukum Kemunculan Bersebab (paṭiccasamuppāda) dan ruang lingkup Hukum Alam sebagai tanggapan terhadap klaim teisme.[3] Lima Niyāma tersebut adalah:
Dalam agama Hindu, Niyāma (Sanskerta)—sangat berbeda dari pemaknaan Buddhisme—merujuk pada tugas religius atau ketaatan yang positif;[4] kegiatan dan kebiasaan yang direkomendasikan untuk hidup sehat, pencerahan spiritual, dan keadaan keberadaan yang terbebaskan.[5] Kata ini juga memiliki banyak arti tergantung pada konteksnya. Lima Niyāma dalam agama Hindu adalah:
Shaucha (शौच): kemurnian eksternal (tubuh) dan internal (pikiran).[6][7]
Santosha (सन्तोष): kepuasan; tidak tertarik pada perolehan lebih dari kebutuhan hidup seseorang.[8][7]
Tapa (तपस्): penghematan, disiplin diri,[9] meditasi terus-menerus dan ketekunan.[10][11]
Svādhyāya (स्वाध्याय): mempelajari kitab suci untuk pembebasan diri.[7]
Īśvarapranidhāna (ईश्वरप्रणिधान): mempersembahkan seluruh aktivitas seseorang kepada Tuhan (Īśvara).[7]
Kata Niyāma (नियम) berasal dari akar bahasa Sanskertaniyam (नियम्) yang berarti "memegang". Dengan demikian, Niyāma berarti “hukum”, “aturan”, “kepatuhan”, atau “praktik pengendalian diri”.[12][13][14]
Dalam Buddhisme, istilah ini spesifik digunakan untuk menjelaskan hukum-hukum alam yang mengatur alam semesta. Dalam Hinduisme, istilah ini utamanya digunakan untuk menjelaskan tugas-tugas religius.
Dalam Abhidhammāvatāra (PTS hal. 54), ringkasan syair Abhidhamma karya Buddhadatta, bhikkhu penafsir sezaman Buddhaghosa.[17]
Komentar Internal Abhidhammamātika (hal. 58). Abhidhamma-mātika adalah sebuah matriks abstrak untuk Abhidhamma, dengan daftar pasangan dan rangkap tiga istilah yang darinya keseluruhan teks secara teoritis dapat direkonstruksi. Penggalan tentang Niyāma berasal dari komentar internal pada mātika yang terkait dengan kitab Dhammasaṅgaṇī ("Niyāma" tampaknya tidak disebutkan dalam matriks itu sendiri, tetapi hanya dalam lampiran ini); dan disusun di India Selatan oleh Coḷaraṭṭha Kassapa (pada abad ke-12-13).
Abhidhammāvatāra-purāṇatīkā (hal. 1.68). Disusun di Sri Lanka oleh Vācissara Mahāsāmi sekitar abad ke-13 atau Sāriputta sekitar abad ke-12. Kitab ini berisi komentar kata demi kata yang tidak lengkap atas teks Abhidhammāvatāra Nāmarūpa-parichedo (sebuah kitab ṭīka).
Buddhisme tidak membenarkan bahwa alam semesta diatur oleh sesosok dewa tertinggi atau Tuhan Yang Maha Kuasa. Niyāma merupakan hukum abadi impersonal yang bekerja tanpa pribadi pengatur tertinggi. Hukum ini bekerja sebagai hukum sebab akibat dan membuat segala sesuatu bergerak sebagaimana dinyatakan oleh ilmu pengetahuan modern, seperti ilmu fisika, kimia, biologi, astronomi, psikologi, dan sebagainya. Timbul tenggelamnya bulan, turunnya hujan, tumbuhnya tanaman, hingga berubahnya musim disebabkan oleh hukum ini.[18]
Diperkenalkannya istilah "pañca-niyāma" dalam kitab komentar bukan untuk menggambarkan bahwa alam semesta etis secara intrinsik, namun sebagai daftar yang menunjukkan cakupan universal hukum Kemunculan Bersebab (paṭiccasamuppāda). Tujuan awalnya, menurut Ledi Sayadaw, bukanlah untuk meninggikan atau merendahkan hukum karma, namun untuk menunjukkan ruang lingkup Hukum Alam sebagai tanggapan terhadap klaim teisme.[3]
Lima Niyāma dalam set ini adalah:
Utu Niyāma, "keteraturan musim", yaitu berbunga dan berbuahnya pohon-pohon sekaligus (ekappahāreneva) di daerah-daerah tertentu di bumi pada periode-periode tertentu, bertiup atau berhentinya angin, derajat panas matahari, banyaknya curah hujan, beberapa bunga seperti bunga teratai mekar pada siang hari dan menutup pada malam hari, dan seterusnya;
Bīja Niyāma, "keteraturan benih atau bibit", yaitu benih yang menghasilkan jenisnya sendiri seperti benih jelai yang menghasilkan jelai;
Kamma Niyāma, "keteraturan kamma", yaitu perbuatan yang baik akan menghasilkan akibat yang baik dan perbuatan yang buruk akan menghasilkan akibat yang buruk. Keteraturan ini dicontohkan oleh syair Dhammapada ayat 127 yang menjelaskan bahwa akibat dari suatu perbuatan tidak dapat dihindari;
Citta Niyāma, "keteraturan kesadaran/pikiran", yaitu urutan proses aktivitas-aktivitas pikiran sebagai momen-pikiran sebelumnya yang menyebabkan dan mengkondisikan momen-pikiran berikutnya dalam suatu hubungan sebab-akibat;
Dhamma Niyāma, "keteraturan dhamma (fenomena)", yaitu peristiwa-peristiwa seperti guncangan sepuluh ribu sistem dunia pada saat Bodhisatta dikandung dalam rahim ibu-Nya dan pada saat kelahiran-Nya. Di akhir pembahasan syair kitab komentar Sumaṅgalavilāsinī, dijelaskan bahwa dhammaniyāma merupakan definisi untuk istilah dhammatā dalam teks Mahāpadāna Sutta (D ii.12) (Bdk. S 12.20 untuk pembahasan penggunaan kata dhammaniyamatā dalam sutta)
Rhys Davids adalah sarjana barat pertama yang tertarik pada daftar "pañcavidha niyāma" dalam bukunya tahun 1912, "Buddhism". Alasan Davids menjelaskan istilah "Niyāma" adalah untuk menekankan bahwa menurut ajaran Buddha, kita berada dalam sebuah "alam semesta moral", artinya suatu perbuatan membawa akibat yang adil sesuai dengan tatanan moral alami, sebuah situasi yang ia sebut sebagai "kosmodik" yang berbeda dengan teodisi Kristen.[19][20]
Dalam skema Rhys Davids, Niyāma dijabarkan menjadi:
Kamma Niyāma: ("perbuatan") konsekuensi atas perbuatan seseorang
Utu Niyāma: ("waktu, musim") perubahan musim dan iklim, hukum yang berurusan dengan benda mati
Bīja Niyāma: ("benih") hukum keturunan
Citta Niyāma: ("pikiran") kehendak pikiran
Dhamma Niyāma: ("hukum") kecenderungan alam untuk menyempurnakan
Skema ini serupa dengan skema yang diajukan oleh Ledi Sayadaw.[21] Sangharakshita, seorang sarjana Buddhis Barat, menggunakan skema Niyāma dari Rhys David dan menjadikannya sebagai aspek penting dalam pengajarannya.[22]
Utu Niyāma: hukum kepastian atau keteraturan musim yang mengatur kepastian pergantian musim dan perubahan-perubahan temperatur di alam semesta.
Bīja Niyāma: hukum kepastian atau keteraturan biji yang mengatur kehidupan tumbuh-tumbuhan, yaitu biji-biji tertentu akan menghasilkan tanaman atau buah tertentu; buah-buah tertentu memiliki citarasa tertentu dan lain-lain.
Kamma Niyāma: hukum kepastian atau keteraturan perbuatan (kamma) yang memastikan bahwa kamma baik akan menghasilkan kebahagiaan, sedangkan kamma buruk akan menghasilkan penderitaan.
Citta Niyāma: hukum kepastian atau keteraturan kesadaran yang mengatur kepastian kemunculan dan kelenyapan kesadaran (citta).
Dhamma Niyāma: hukum kepastian atau keteraturan fenomena (dhamma) yang mengatur fenomena-fenomena lain yang tidak termasuk di empat hukum di atas, seperti kejadian bumi bergetar saat Bodhisatta Gotama lahir, pencapaian penerangan sempurna, munculnya gempa bumi saat kejadian parinibbāna Buddha.
Penafsiran lanjutan
Kamma sebagai asal mula makhluk
Dalam Abhiṇhapaccavekkhitabbaṭhāna Sutta, Aṅguttara Nikāya 5.57, Buddha menyampaikan bahwa di antara kelima hukum alam tersebut, perbuatan (kamma) sebagaimana diatur oleh hukum kepastian perbuatan (kammaniyāma) bertindak sebagai properti, warisan, asal mula, keluarga, dan perlindungan suatu makhluk.[24]
... Semua makhluk
memiliki kamma sebagai properti mereka,
ahli waris dari kammanya sendiri,
memiliki kamma sebagai asal-mulanya,
memiliki kamma sebagai keluarganya,
memiliki kamma sebagai perlindungannya.
Apapun kamma yang mereka lakukan—
baik atau buruk—
mereka akan menjadi ahli waris dari kamma tersebut ...
Keterhubungan hukum-hukum
Setiap hukum tidak berjalan sendiri, artinya satu hukum dapat bekerja bersamaan dengan hukum-hukum lainnya. Oleh karena kamma didefinisikan sebagai kesadaran baik (kusalacitta) atau kesadaran buruk (akusalacitta) dengan eksistensi faktor-mental (cetasika) kehendak (cetanā), maka kamma-niyāma yang mengatur kepastian perbuatan juga melibatkan citta-niyāma yang mengatur kesadaran terciptanya perbuatan.
Manopubbaṅgamā
dhammā
manoseṭṭhā
manomayā;
Manasā ce paduṭṭhena bhāsati vā karoti vā;
Tato naṃ dukkhamanveti cakkaṃ'va vahato padaṃ.
Tiga gugusan nonmateri (cetasika)
memiliki kesadaran (citta) sebagai pelopor,
memiliki kesadaran sebagai yang terkemuka (pemimpin),
dibuat oleh kesadaran.
Apabila dengan kesadaran yang kotor, seseorang berbicara atau berbuat;
Dari sana penderitaan mengikuti dia, seperti roda mengikuti kaki lembu.
Dengan begitu, Buddhisme tidak setuju bahwa suatu kejadian disebabkan hanya karena satu hal. Misalnya, ketika manusia sudah semakin jahat dan tidak menyayangi alam (diatur oleh Kamma Niyāma), maka akan terjadi perubahan pada alam seperti perubahan suhu (diatur oleh Utu Niyāma), tumbuhan mati (diatur oleh Bija Niyāma), dan ketidaktenangan batin (diatur oleh Citta Niyāma).
Dalam agama Hindu, pemaknaan istilah Niyāma (Sanskerta: नियम, translit:niyamacode: sa is deprecated ) sangat berbeda dari pemaknaan Buddhisme. Niyāma merujuk pada tugas religius atau ketaatan yang positif.[4] Dalam Dharma yang diyakini Hindu, terutama Yoga, Niyāma dan pelengkapnya, Yāma, adalah kegiatan dan kebiasaan yang direkomendasikan untuk hidup sehat, pencerahan spiritual, dan keadaan keberadaan yang terbebaskan.[5]
Shaucha (शौच): kemurnian eksternal (tubuh) dan internal (pikiran).[6][7]
Santosha (सन्तोष): kepuasan; tidak tertarik pada perolehan lebih dari kebutuhan hidup seseorang.[8][7]
Tapa (तपस्): penghematan, disiplin diri,[9] meditasi terus-menerus dan ketekunan.[10][11]
Svādhyāya (स्वाध्याय): mempelajari kitab suci untuk pembebasan diri.[7]
Īśvarapranidhāna (ईश्वरप्रणिधान): mempersembahkan seluruh aktivitas seseorang kepada Tuhan (Īśvara).[7]
Sepuluh Niyāma
Beberapa teks memberikan daftar Niyāma yang berbeda dan diperluas. Misalnya, Shandilya dan UpanisadVaraha ,[26]Hatha Yoga Pradipika,[27] ayat 552 sampai 557 di Kitab ke-3 Tirumandhiram karya Tirumular.[28] Hatha Yoga Pradipika mencantumkan sepuluh Niyāma berikut dalam syair 1.18:[27][29]
Tapa (तपस्): kegigihan, ketekunan dalam tujuan seseorang, kesederhanaan[10][11]
Santosha (सन्तोष): kepuasan, penerimaan terhadap orang lain dan keadaan diri sendiri sebagaimana adanya, optimisme terhadap diri sendiri[8]
Āstikya (आस्तिक्य): keyakinan pada Diri Sejati (jnana yoga, raja yoga), kepercayaan pada Tuhan (bhakti yoga), keyakinan pada Weda/Upanishad (aliran ortodoks)[30]
Dāna (दान): kedermawanan, amal, berbagi dengan orang lain[31]
Īśvarapūjana (ईश्वरपूजन): pemujaan terhadap Iswara (Tuhan/Sosok Tertinggi, Brahman, Diri Sejati, Realitas yang Tidak Berubah)[32]
Siddhānta vākya śravaṇa (सिद्धान्त वाक्य श्रवण) atau Siddhānta śravaṇa (सिद्धान्त श्रवण): mendengarkan kitab suci kuno[30]
Hrī (ह्री): penyesalan dan penerimaan atas masa lalu seseorang, kesederhanaan, kerendahan hati[27][33]
Mati (मति): berpikir dan merenung untuk memahami, mendamaikan ide-ide yang bertentangan[34]
Japa (जप): pengulangan mantra, membaca doa atau pengetahuan[35]
Huta (हुत): ritual, upacara seperti pengorbanan yajna.
Vrata (व्रत): memenuhi janji, aturan, dan ketaatan agama dengan setia.[36]
Beberapa teks mengganti Niyāma terakhir (Huta) dengan Vrata.[30] Vrata berarti membuat dan menjaga sumpah (resolusi) seseorang, yang bisa berupa ketaatan yang saleh.[37] Misalnya, janji untuk berpuasa dan mengunjungi tempat ziarah merupakan salah satu bentuk Vrata. Proses pendidikan di India kuno, suatu tradisi penghafalan dan penurunan Weda dan Upanisad dari generasi ke generasi tanpa pernah dituliskan, memerlukan serangkaian praktik Vrata Niyāma selama bertahun-tahun.[38]
Hansen, Upa. Sasanasena Seng (September 2008). Ikhtisar Ajaran Buddha. Yogyakata: Insight Vidyasena Production.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Nasiman, Nurwito (2017). Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti Kelas 10. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm.175. ISBN978-602-427-074-2.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Cusack, Carmen (2012). "Alternative dispute resolution and niyama, the second limb of Yoga Sutra". Journal of Peace Education and Social Justice. 6 (2): 107–122.
Chicago, The University of; Libraries (CRL), Center for Research. "Digital South Asia Library". dsal.uchicago.edu (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-06-04.
Aṭṭhasālinī: Buddhaghosa’s Commentary on the Dhammasaṅgani. ed. E. Muller, PTS 1979 (orig. 1897) p.272, para. 562; trans. Pe Maung Tin as The Expositor PTS London 1921 vol.II p.360.
Nasiman, Nurwito (2017). Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti Kelas 10. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm.176. ISBN978-602-427-074-2.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
The Three Jewels Windhorse 1977 (originally published 1967) Windhorse pp.69–70; and in the lecture ‘Karma and Rebirth’, in edited form in Who is the Buddha? Windhorse 1994, pp.105–8.
Kheminda, Ashin (2020). Kamma: Pusaran Kelahiran & Kematian Tanpa Awal. Jakarta: Dhammavihari Buddhist Studies. hlm.46.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Original:
तपः सन्तोष आस्तिक्यं दानम् ईश्वरपूजनम् ।
सिद्धान्तवाक्यश्रवणं ह्रीमती च तपो हुतम् ।
नियमा दश सम्प्रोक्ता योगशास्त्रविशारदैः ॥१८॥
See: Hatha Yoga Pradipika; Note: this free on-line source author lists Tapas twice in the list of niyamas; others list the second last word of second line in the above as जपो, or Japa