Nama tarekat atau ordo ini berasal dari Biara La Trappe (La Grande Trappe) yang terletak di salah satu provinsi Prancis di Normandia. Suatu gerakan reformasi dimulai pada tahun 1664, sebagai tanggapan terhadap kendurnya praktik-praktik dalam banyak biara Sistersien.[1]Armand Jean le Bouthillier de Rancé, awalnya merupakan abbas kehormatan Biara La Trappe, merupakan pemimpin reformasi itu. Sebagai abbas kehormatan, de Rancé adalah seorang awam yang memperoleh penghasilan dari biara tersebut tetapi tidak memiliki kewajiban keagamaan. Setelah suatu konversi dalam kehidupannya antara tahun 1660 dan 1662, de Rancé secara resmi bergabung dengan Biara La Trappe dan menjadi abbas regulernya pada tahun 1663.[2] Pada tahun 1892, para "Trapis" reformasi memisahkan diri dari tarekat Sistersien dan membentuk suatu tarekat monastik independen atas persetujuan Paus.[3]
1892-1904: Sébastien Wyart
1904-1922: Augustin Marre
1922-1929: Jean-Baptiste Ollitraut de Keryvallan
1929-1943: Herman-Joseph Smets
1943-1951: Dominique Nogues
1951-1963: Gabriel Sortais
1964-1974: Ignace Gillet
1974-1990: Ambroise Southey
1990-2008: Bernardo-Luis-José Oliveira
2008-sekarang: Eamon Fitzgerald
Peraturan Santo Benediktus, yang ditulis pada abad ke-6, menjadi panduan hidup para Trapis. Peraturan atau regula tersebut mendeskripsikan cita-cita dan nilai-nilai dari kehidupan monastik.
"Observansi Ketat" (atau "Ketaatan Ketat") mengacu pada tujuan para Trapis untuk mengikuti Peraturan yang ditetapkan oleh St. Benediktus secara lebih tegas dan mengambil tiga kaul sebagaimana dideskripsikan dalam Peraturannya (bab 58): stabilitas, kesetiaan dalam kehidupan monastik, dan ketaatan. Penekanan St. Benediktus mengenai sedikit berbicara menghasilkan beberapa dampak pada cara hidup mereka, kendati—berlawanan dengan anggapan umum—mereka tidak berkaul keheningan.[4] Para rahib Trapis biasanya hanya berbicara jika diperlukan; dengan demikian bicara omong kosong atau yang tak berguna sangat tidak dianjurkan. Menurut St. Benediktus, bicara mengganggu daya penerimaan dan ketenangan seorang murid, serta dapat menggoda seseorang untuk mengikuti kehendaknya sendiri dan bukannya kehendak Allah. Bicara yang mengarah pada gelak tawa atau hiburan yang tidak baik dipandang sebagai kejahatan dan dilarang.[5]Bahasa isyarat Trapis, berbeda dengan bentuk-bentuk bahasa isyarat monastik lainnya, dikembangkan agar mereka tidak perlu banyak bicara. Biasanya mereka makan dalam keheningan kontemplatif karena para anggota tarekat ini diharapkan untuk mendengarkan suatu bacaan pada saat makan.[6]
Dibandingkan dengan para rahib/rubiah Benediktin dan Sistersien,[7][8] para rahib/rubiah Trapis berpantang daging sepenuhnya dalam hal "hewan berkaki empat".[9] Sementara hidup sebagai vegetarian, mereka terkadang makan ikan; menu makanan mereka utamanya terdiri dari "produk-produk sayuran, kacang-kacangan, dan biji-bijian".[9]
Meskipun masing-masing biara adalah otonom dan mungkin memiliki aturan berbeda, umumnya tahapan untuk memasuki kehidupan Trapis dapat dideskripsikan sebagai berikut:[10]
Peminat mengunjungi suatu biara dan berkonsultasi dengan promotor panggilan dan/atau superior (kepala biara) untuk membantu mereka menemukan panggilan hidup mereka. Biasanya mereka akan diminta untuk tinggal di biara tersebut sebagai aspiran selama jangka waktu singkat, setidaknya satu bulan.
Postulat: peminat hidup sebagai anggota biara tersebut sebagai seorang postulan selama beberapa bulan, dan dibimbing oleh pembimbing novis.
Novisiat: postulan akan diberikan jubah biara dan secara resmi diterima sebagai anggota tarekat ini. Novis tetap dibimbing oleh pembimbing novis, dan menjalani tahap ini selama 2 tahun.
Setelah novisiat, novis dapat berkaul sementara. Tahap ini dijalani selama 3-9 tahun untuk memperdalam studi, mempraktikkan Injil dengan cara monastik, dan integrasi di dalam komunitas.
Setelah menyelesaikan tahap sebelumnya, anggota yang telah berkaul sementara dapat mengikrarkan kaul kekal (kaul agung) untuk seumur hidupnya.
Bab 48 dari Peraturan Santo Benediktus menyatakan, "Sebab mereka adalah rahib-rahib dalam kebenaran, jika mereka hidup dengan pekerjaan tangan mereka".[11] Sesuai aturan ini, sebagian besar biara Trapis menghasilkan produk untuk dijual demi memberikan pendapatan bagi biara.
Produk yang dihasilkan berkisar dari keju, roti, dan bahan makanan lain hingga pakaian dan peti mati, kendati mereka paling dikenal[12] karena bir Trapis, yang tergolong khas di dalam dunia bir,[13] serta mendapat pujian atas rasa dan kualitasnya yang tinggi.[14] Biara-biara di Belgia dan Belanda, seperti Biara Orval dan Biara Santo Sistus, membuat bir baik untuk para rahib sendiri maupun untuk dijual kepada masyarakat umum. Teleskop TRAPPIST dari Universitas Liège dinamai demikian untuk menghormati bir tersebut.[15][16] Bir Trapis mengandung gula residu dan khamir hidup sehingga, tidak seperti bir konvensional, akan meningkat kualitasnya seiring dengan waktu.[17]Westvleteren XII sering dianggap oleh beberapa kalangan sebagai bir terbaik di dunia.[18]
Para rahib Trapis dari Biara Tre Fontane (Tiga Air Mancur) memelihara domba-domba yang wolnya digunakan untuk membuat pallium bagi para uskup agungmetropolit baru. Paus mengenakan pallium tersebut kepada mereka pada Hari Raya Santo Petrus dan Paulus, Para Rasul Kudus, setelah diberkati oleh paus pada Pesta Santa Agnes tanggal 21 Januari.
Dikatakan bahwa Paus Paulus VI pernah menyampaikan kesan berikut ini kepada rahib-rahib Ordo Trapis:[19]
"Kehidupan Anda juga menjadi contoh tanpa tanding yang justru diperlukan oleh masyarakat kita. Sering masyarakat kita membiarkan diri diserap sama sekali oleh barang-barang temporal. Berkat kesunyian dan doanya, biara-biara Anda merupakan pulau atau pusat yang memberi sumbangan kepada dunia untuk memulihkan keseimbangan rohaninya. Anda memberikan sumbangan ini bukan hanya secara lahir. Lebih-lebih Anda memberikannya juga dalam misteri persekutuan para kudus. Sebab kalau tidak begitu, dunia akan dicekik oleh aktivisme yang menjadi-jadi. Dunia akan kehilangan kepekaannya terhadap nilai yang hakiki".
Terdapat hampir 170 biara Trapis di seluruh dunia, tempat kediaman bagi sekitar 2.100 rahib Trapis dan 1.800 rubiah Trapistin.[20]
(Inggris)Rule of St. Benedict, c. 38: Reading must not be wanting at the table of the brethren when they are eating. The 1949 Edition Translated by Rev. Boniface Verheyen, OSB
Kesaksian, Pertapaan St. Maria Rawaseneng, diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-11-27, diakses tanggal 11-05-2016Periksa nilai tanggal di: |accessdate= (bantuan)