Pertapaan Santa Maria Rawaseneng
gereja di Indonesia Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
gereja di Indonesia Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Biara Pertapaan Santa Maria Rawaseneng adalah suatu kompleks biara para rahib Katolik dari Ordo Trapis (O.C.S.O.) yang terletak di Desa Ngemplak, Kandangan, di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Pertapaan ini didirikan secara resmi pada tanggal 1 April 1953 sebagai biara cabang dari Biara Koningshoeven di Tilburg, Belanda. Selain biara sebagai tempat tinggal para rahib, di dalam kompleks pertapaan juga terdapat gereja, taman doa, wisma retret, perkebunan kopi dan peternakan sapi perah beserta industri-industri pengolahannya. Ronald Bell, seorang peziarah asal Amerika Serikat, menyampaikan kesannya mengenai tempat ini, "Anda akan mendapatkan keseluruhan tahapannya, berdoa, meditasi, merenungkan bacaan suci, dan bekerja. Semua itu merupakan bagian tidak terpisahkan dari pengalaman ini."[2] Tidak jauh dari kompleks pertapaan, terletak Gereja Santa Maria dan Yoseph Rawaseneng sebagai pusat Paroki Rawaseneng,[3] dan TK-SD Fatima Rawaseneng yang dikelola oleh para suster Dominikan.[4]
Informasi biara | |
---|---|
Ordo | Trapis (OCSO) |
Didirikan | 1 April 1953 |
Biara induk | Biara Koningshoeven, Tilburg, Belanda |
Didedikasikan kepada | Santa Maria |
Keuskupan | Keuskupan Agung Semarang |
Tokoh | |
Pendiri | Dom Bavo van der Ham, OCSO |
Abbas | Dom Aloysius Gonzaga Rudiyat, OCSO |
Tokoh penting yang terkait | Dom Frans Harjawiyata, OCSO |
Situs | |
Lokasi | Desa Ngemplak, Kandangan, Temanggung, Jawa Tengah |
Negara | Indonesia |
Koordinat | 7°13′1″S 110°12′36″E[1] |
Akses publik | Ya, selain area klausura |
Sebagaimana para rahib dalam biara Trapis lainnya, rahib-rahib yang menghuni Pertapaan Rawaseneng menjalani hidup dengan misi doa dan kerja tangan. Hasil pekerjaan tangan di perkebunan kopi, peternakan sapi perah, dan industri roti/kue menjadi sumber nafkah utama para rahib di Pertapaan Rawaseneng,[5] sehingga mereka tidak hidup dengan mengandalkan sumbangan umat.[2] Dalam sambutannya saat perayaan syukur 60 tahun Pertapaan Santa Maria Rawaseneng tanggal 25 Agustus 2013, Uskup Agung Semarang Mgr. Johannes Pujasumarta mengatakan, "Bersama dengan para rubiah Trappist Gedono, mereka menghadirkan Gereja yang berdoa dan bekerja di Keuskupan Agung Semarang."[6]
Pimpinan Pertapaan Santa Maria Rawaseneng saat ini adalah Romo Abbas Aloysius Gonzaga Rudiyat, OCSO (panggilan resminya yaitu Dom Aloysius Gonzaga Rudiyat, OCSO).
Pertapaan Rawaseneng berawal dari keinginan Vikaris Apostolik Batavia Mgr. Antonio van Velsen, S.J. agar Pulau Jawa memiliki biara dari Ordo Trapis (OCSO), dan pada bulan Maret 1928 ia mengirimkan surat yang berisi keinginannya itu kepada Abbas Generalis OCSO di Roma. Banyak hal, termasuk Perang Dunia II, yang menyebabkan permohonan tersebut membutuhkan proses yang lama. Vikaris berikutnya, yaitu Mgr. Peter Willekens SJ, terus menjalin kontak dengan Generalat OCSO agar permohonan pendahulunya dikabulkan.[7] Mgr. Willekens mengkhawatirkan pandangan rendah masyarakat akan "kerja tangan" yang mengakibatkan adanya "korban pemerasan lintah darat". Oleh karenanya ia berharap bahwa kehadiran para rahib Trapis yang mampu menafkahi diri sendiri dengan kerja tangan dapat menjadi teladan yang baik bagi masyarakat.[8]
Di Dusun Rawaseneng, para bruder Budi Mulia (Bruder Santa Maria dari Lourdes) mendirikan Sekolah Pertanian "Helderweirdt" pada tahun 1936.[9] "Helderweirdt" terpaksa tutup pada zaman pendudukan Jepang dan menjadi kamp kerja paksa;[9] kemudian pada tahun 1948 sekolah, beserta dengan asrama, biara dan bangunan gerejanya, hancur karena bentrokan fisik.[10] Pada tahun 1950, Pater Bavo van der Ham, OCSO dari Biara Koningshoeven, Tilburg, Belanda diutus ke Indonesia oleh Kapitel Umum OCSO untuk menjajaki kemungkinan didirikannya biara cabang di Indonesia. Setelah meninjau beberapa alternatif lokasi,[7] bekas sekolah di Rawaseneng itu diputuskan sebagai tempat yang tepat untuk pendirian biara yang diharapkan, dan pada tahun 1952 abbas Biara Koningshoeven datang sendiri mengunjungi tempat tersebut serta memperoleh persetujuan Kapitel Umum untuk melanjutkan rencana pendirian.[5][6] Kongregrasi Bruder Budi Mulia menghibahkan kompleks bangunan seluas 3 hektar itu kepada mereka.[7]
Pada bulan Maret 1953 empat rahib dari Tilburg, yakni Pater Balduinus Ten Hacken OCSO, Pater Nicasius Schilders OCSO, Pater Silvester Oemen OCSO, dan Frater Maurus Corel OCSO, diutus ke Rawaseneng untuk membantu Pater Bavo merintis pertapaan. Pembangunan pertapaan yang dimulai sejak tahun 1952 terselesaikan pada tanggal 1 April 1953,[11] yang ditetapkan sebagai tanggal berdirinya Pertapaan Santa Maria Rawaseneng dan pembukaannya sebagai cabang dari biara induk di Tilburg.[5][12][13] Pada tanggal 3 November 1953, biara di kompleks ini diresmikan dan Pater Bavo terpilih sebagai superior Pertapaan Rawaseneng.[11]
Novisiat untuk pendidikan bagi para calon rahib dibuka pada tanggal 19 Agustus 1954.[5] Namun para Trapis asli Indonesia yang berjumlah 14 orang pada tahun 1957 itu harus dikirim ke Tilburg untuk menempuh pendidikan tinggi; mereka berasal dari Flores, Sulawesi, dan Kalimantan.[14] Adanya banyak kesulitan menyebabkan tiga rahib lainnya dari Tilburg diutus ke Rawaseneng pada awal tahun 1958. Definitorium OCSO baru mendapatkan izin mengunjungi Rawaseneng pada bulan Desember 1958, dan pada tanggal 27 Desember 1958 pertapaan ini diangkat sebagai biara otonom dengan status priorat serta melangsungkan pemilihan pimpinan untuk pertama kalinya yang memilih Romo Bavo van der Ham, OCSO sebagai Prior Tituler.[5][10] Pada tahun 1961 Romo Maurus Henrich OCSO dan Romo Aelred Tietjen OCSO dari Biara New Melleray di Iowa, Amerika Serikat, diutus ke Rawaseneng untuk memberikan bantuan sementara selama 5 tahun kepada komunitas yang baru terbentuk ini.[5][15]
Dalam rangka Pesta Perak pendiriannya, pertapaan ini kemudian diberikan status keabbasan (abbacy) pada tanggal 23 April 1978, sehingga sejak saat itu pemimpinnya disebut "abbas" (bermakna "bapa rohani") dan Romo Frans Harjawiyata, OCSO merupakan abbas yang pertama.[5][10]
Pada tahun 1987 komunitas ini mendirikan biara cabang untuk rubiah di Gedono, Getasan, di Kabupaten Semarang. Dan pada tahun 1996 membuka biara cabang untuk rahib di Desa Lamanabi, Tanjung Bunga, di Kabupaten Flores Timur, yang berada dalam yurisdiksi Keuskupan Larantuka.[16][17] Setelah disetujui oleh Kapitel Umum OCSO pada bulan September 2011, komunitas rintisan para rubiah Gedono di Makau secara resmi dibentuk pada tanggal 15 April 2012.[18][19]
Pertapaan Rawaseneng merupakan biara Trapis pertama di Indonesia, dan pada awal tahun 1996 terdapat 47 rahib yang menghuni pertapaan ini.[20] Pada tahun 2015, anggota komunitas Pertapaan Rawaseneng berjumlah 35 orang.[21]
Pertapaan Santa Maria Rawaseneng berada di Desa Ngemplak, Kecamatan Kandangan, di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah,[22] sekitar 14 kilometer di sebelah utara Kota Temanggung yang sering berkabut.[12] Desa Ngemplak berada di ketinggian 500–825 mdpl (meter di atas permukaan laut), dengan permukaan tanah berbukit di lereng Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing; terdapat 9 dusun di desa tersebut, dan Dusun Rawaseneng termasuk salah satunya. Dusun Rawaseneng merupakan daerah sejuk dengan suhu udara rata-rata 19–25 derajat Celsius dan curah hujan rata-rata lebih besar dari 2500 mm per tahun.[23] Pertapaan Rawaseneng terletak persis di sebelah timur TK-SD Fatima,[24] yang dikelola oleh Yayasan Santo Dominikus dan sebagian besar muridnya beragama Islam.[25]
Keseluruhan kompleks Pertapaan Rawaseneng dikatakan seluas 178 hektar; selain terdapat peternakan babi dan sapi perah, sebagian besar wilayah kompleks pertapaan dengan luas 137[26] – 150[27] hektar merupakan perkebunan kopi robusta. Belakangan lahan tersebut juga ditanami tanaman-tanaman lain yang bernilai ekonomis seperti pisang raja, ketumbar, dilem (nilam jawa), dan berbagai pohon peneduh untuk dimanfaatkan kayunya.[26] Sebagian lahan dalam kompleks pertapaan merupakan hutan yang dipertahankan sebagai area konservasi.
Untuk mengolah hasil perkebunan dan peternakan, dalam kompleks pertapaan terdapat area untuk usaha pertukangan yang memanfaatkan hasil kayu, serta industri roti dan bangunan untuk pengolahan kopi yang hanya beroperasi saat musim panen kopi pada bulan Juli–Agustus.[26][28] Dalam kompleks pertapaan terdapat pembangkit listrik dua turbin yang memanfaatkan sumber air dari hutan di kompleks pertapaan.[26]
Di bagian depan kompleks Pertapaan Rawaseneng terdapat museum yang lapangan parkirnya merupakan lapangan parkir untuk para pengunjung kompleks ini. Pada bangunan yang sama terdapat toko yang menjual buku dan benda rohani, serta produk-produk olahan dari hasil perkebunan dan peternakan yang dikelola para rahib seperti susu, kue, dan roti. Selain biara dan bangunan gereja, di dalam kompleks pertapaan juga terdapat pemakaman para rahib, wisma-wisma untuk tamu yang menginap, ruang makan tamu, kapel, dan beberapa patung di taman sekitar wisma (patung Yesus dan patung St. Benediktus), serta Taman Doa yang diresmikan dan diberkati oleh Duta Besar Vatikan Mgr. Antonio Guido Filipazzi pada tanggal 24 Agustus 2013.[29]
Dengan meneladani cara hidup Santo Benediktus, para rahib di Rawaseneng melakukan pekerjaan tangan dan juga melayani orang yang berkunjung dengan bimbingan rohani. Para rahib membatasi diri dalam berbicara, sehingga orang Jawa mengatakan kalau mereka "berkata dalam hati" (mbatin).[30] Cita-cita mereka adalah: "mencari Allah dalam 'kerasulan tersembunyi', hidup dalam persaudaraan, askesis (matiraga) monastik, berdoa tanpa kunjung henti (ofisi & pribadi), kerja tangan". Para rahib ini disebut juga senobit karena cara hidup bersama dalam persaudaraan seperti yang mereka lakukan, berbeda dengan para eremit (istilah "pertapa" umumnya dikaitkan dengan mereka yang menjalani cara hidup eremit) yang hidup sendiri-sendiri.[21]
Selain merayakan Ekaristi (hari biasa pukul 06.30, hari raya/Minggu pukul 10.00), setiap harinya para rahib melaksanakan Ibadat Harian sebanyak 7 kali:[31]
Seluruh rangkaian ibadat di atas dilakukan setiap hari untuk "menjaga ingatan [para rahib] kepada Allah". Para rahib Rawaseneng yang telah berkaul kekal mengenakan skapulir hitam khas Ordo Trapis sebagai simbol perlindungan Bunda Maria, dan tudung kepalanya biasa digunakan pada saat mereka melakukan meditasi.
Meskipun pekerjaan utama para rahib adalah berdoa—antara lain melalui pujian, bacaan rohani, meditasi bersama—dan mereka telah mengasingkan diri dari kehidupan duniawi, mereka tetap memperhatikan sesama dan kehidupan di dunia ini.[32] Sebagaimana biara-biara Ordo Trapis yang lain, para rahib Rawaseneng menjalani hidup menurut Peraturan Santo Benediktus yang mengharuskan mereka melakukan kerja tangan sebagai mata pencaharian dan sedapat mungkin berbagi hasil kerja dengan masyarakat sekitar khususnya kaum miskin.[12][21] Para rahib berbagi dengan masyarakat sekitar utamanya dengan cara mempekerjakan karyawan-karyawan dan menggaji mereka sesuai kemampuan di dalam industri, perkebunan, dan peternakan yang dikelola para rahib sehingga pertapaan berkontribusi dalam menyediakan lapangan pekerjaan serta meningkatkan perekonomian setempat.[12]
Suatu studi pada tahun 2008 di Pertapaan Rawaseneng menyimpulkan bahwa ajaran monastik memberikan pengaruh besar terhadap aktivitas di pertapaan ini, dan memiliki hubungan erat dengan etos kerja.[33] Para rahib memandang kerja tangan sesuai dengan ajaran dalam Kitab Suci agar senantiasa bekerja keras tanpa melihat besar kecilnya pekerjaan yang dilakukan. Ajaran monastik yang dipegang para rahib berkontribusi dalam bentuk etos kerja yang baik, terutama bagi anggota-anggota komunitas, sementara etos kerja tersebut berkontribusi terhadap "perkembangan ajaran keagamaan, memenuhi kebutuhan komunitas, fasilitas-fasilitas yang ada di pertapaan, pengadaan lapangan pekerjaan maupun peningkatan skill".[33]
Dalam acara Temu Fungsionaris Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan (HAK) di Pertapaan Rawaseneng pada tanggal 24–25 Oktober 2015, Romo Antonius Anjar Daniadi OCSO dan Romo Abbas Aloysius Gonzaga Rudiyat OCSO menyampaikan suatu presentasi kepada para hadirin agar dapat lebih memahami ensiklik Laudato si. Abbas Gonzaga menegaskan arti penting "berdoa dan bekerja" (ora et labora) sebagaimana diajarkan oleh Santo Benediktus, serta menyampaikan bahwa seseorang dapat "lebih ramah dengan lingkungan" jika memadukan pekerjaan yang dilakukannya dengan doa.[34]
Para rahib Rawaseneng melakukan "kerja tangan" bukan untuk tujuan mencari keuntungan, tetapi untuk menafkahi hidup mereka sendiri secara mandiri, dan dilakukan di luar waktu ibadat. Untuk maksud tersebut, di kompleks Pertapaan Rawaseneng terdapat perkebunan kopi, peternakan dan pemerahan sapi perah yang dikelola secara profesional; sebagian di antara usaha-usaha itu dikelola oleh para rahib sendiri.[27] Selain pekerjaan di bidang administrasi, pertukangan kayu, perbengkelan, dan pekerjaan rumah tangga,[35] para rahib juga mengelola peternakan babi, rumah retret, industri pembuatan kue, perkebunan buah-buahan dan sayuran. Usaha-usaha yang dikelola oleh para rahib ini turut memberdayakan masyarakat di wilayah sekitar pertapaan, dan pada tahun 2015 terdapat sekitar 100 karyawan tetap di Pertapaan Rawaseneng.[21]
Mengikuti ketentuan pemerintah Indonesia, didirikan badan usaha bernama PT Naksatra Kejora sebagai tempat bernaung beberapa unit usaha yang dikelola pertapaan,[36][37] dan menggunakan ketentuan upah minimum dari pemerintah sebagai acuan kesejahteraan karyawan.[12] Pimpinan pertapaan (abbas) sekaligus menjabat sebagai pimpinan badan usaha berbentuk perseroan terbatas ini.[36] Dalam sejarahnya, banyak orang awam yang berkontribusi dalam memasarkan usaha yang dikelola para rahib. Misalnya keluarga The Bian San dari Temanggung yang pada tahun 1956 membantu menjualkan susu, serta keluarga Boen Kosasih yang pada tahun 2008-2009 turut memasarkan kue kering dan kopi di Jakarta.[12]
Selain suplai dari PLN, kebutuhan listrik juga dipenuhi dari pembangkit listrik dengan dua turbin yang mereka miliki. Pembangkit tersebut memanfaatkan sumber air dari hutan kecil perkebunan kopi dengan cara membendungnya di sebuah dam kecil; sumber air tersebut juga dialirkan ke seluruh kompleks pertapaan dan masyarakat sekitar untuk memenuhi kebutuhan air bersih.[2][26] Di samping berbagi air bersih, pertapaan juga berbagi energi listrik dan hasil usaha yang mereka kelola—misalnya susu—dengan masyarakat sekitar.[38]
Selain terdapat Taman Doa Santa Maria Rawaseneng yang dikenal sebagai tempat wisata rohani dan tempat berlangsungnya beragam kegiatan rohani, misalnya novena dalam rangka Yubileum Luar Biasa Kerahiman,[29] di dalam kompleks pertapaan juga terdapat perkebunan kopi Rawaseneng yang dikatakan sebagai kawasan agrowisata. Perkebunan tersebut termasuk salah satu Perkebunan Besar Swasta (PBS) di Kabupaten Temanggung.[39] Dari tiga sentra perkebunan kopi di Kabupaten Temanggung, perkebunan kopi Rawaseneng dikatakan paling diminati wisatawan karena—selain menyaksikan dan turut memanen kopi—pengunjung juga dapat melihat peternakan sapi perah.[40] Sebuah artikel di Kompas.com menuliskan bahwa kopi dari perkebunan Rawaseneng dikenal oleh para penggemar kopi,[41] dan artikel lainnya menyebutkan bahwa aromanya seperti "pisang ranum".[42]
Sebelum beralih ke pihak Pertapaan Rawaseneng, hak pengelolaan seluruh lahan dalam kompleks pertapaan seluas 178 hektar yang sebagian besar areanya merupakan perkebunan kopi ini dipegang oleh tarekat Yesuit melalui Perkumpulan Aloysius. Perkumpulan Aloysius menyerahterimakan hak pengelolaan lahan tersebut kepada pihak pertapaan yang diwakili oleh Mayor Ngaspin, seorang awam, pada tanggal 1 Januari 1966. Mulai bulan Februari 1967, kepemimpinan kaum awam—yang pada saat itu dijabat oleh Mayor Ngaspin—dalam pengelolaan kebun kopi digantikan oleh kaum rahib Rawaseneng.[12]
Perkebunan kopi merupakan area terbesar, dengan luas 137 – 150 hektar, di dalam kompleks Pertapaan Rawaseneng. Kopi yang ditanam di perkebunan tersebut adalah jenis robusta. Terdapat suatu bangunan khusus yang berisikan mesin-mesin untuk mengolah kopi, yang hanya dioperasikan sekitar bulan Juli–Agustus ketika musim panen kopi tiba.[28] Selama masa panen kopi, perusahaan dapat mempekerjakan hingga 300-350 karyawan.[12] Saat harga kopi jatuh, biji-biji kopi diolah sendiri menjadi kopi bubuk kemudian dijual dalam kemasan dengan beragam aroma seperti moka, stroberi, dan coklat agar dapat bersaing di pasaran.[37]
Kaum awam juga tercatat memberikan kontribusi yang signifikan bagi Pertapaan Rawaseneng ketika para rahib merintis peternakan sapi perah. Pada tahun 1956, Oma Godee, seorang lanjut usia umur 83 tahun dari Bandung, memberi sumbangan yang cukup besar kepada pertapaan; kemudian ia mempertemukan pihak mereka dengan sepupunya di Semarang demi pengembangan peternakan, dan mengirimkan rumput jenis khusus ke Pertapaan Rawaseneng untuk pakan sapi perah yang akan mereka ternakkan.[12]
Pada awalnya hanya ada 5 induk sapi yang didatangkan dari Belanda,[2] dan kemudian didatangkan juga sapi dari Australia, sehingga mereka telah memiliki 20 sapi pada tahun 1957.[14] Pada tahun 2011 terdapat sekitar 130 – 150 sapi, 70 – 80 di antaranya merupakan sapi betina yang dapat diambil susunya, sisanya sapi anak-anak dan remaja serta 3 sapi jantan.[26] Untuk menjaga kualitas dari keturunan sapi, sapi-sapi tersebut diberi nama agar silsilahnya dapat dilacak dan tidak terjadi perkawinan sedarah atau seketurunan. Pemerahan susu dilakukan pagi hari kira-kira pukul setengah lima dan sore hari kira-kira pukul setengah lima; pada saat itu para tamu juga dapat turut serta memerah susu. Situasi tenang di kompleks pertapaan dikabarkan "membantu menjaga kondisi kejiwaan sapi" agar tidak tertekan, sehingga dapat dihasilkan susu dalam jumlah banyak.[2]
Menurut suatu catatan pada tahun 2003, peternakan sapi perah di Pertapaan Rawaseneng dapat menghasilkan sekitar 600 liter susu per hari.[20] Sebagian dari susu yang dihasilkan—yaitu sekitar 150 liter per hari menurut laporan tahun 2015—diolah menjadi susu segar dengan metode pasteurisasi untuk membunuh bakteri patogen. Setelah proses pasteurisasi, susu segar yang dihasilkan memasuki tahap pengemasan yang steril dan tanpa kontaminasi dari luar.[43]
Sebagian lainnya dari susu sapi yang dihasilkan diolah menjadi keju melalui proses pengolahan tradisional,[27] menjadi yogurt, serta sebagai bahan campuran untuk industri roti[26] dan kue kering Trappist Cookies[39] berbahan baku alamiah dengan peralatan yang relatif canggih.[2][37] Dikabarkan bahwa roti buatan mereka tidak menggunakan bahan pengawet ataupun bahan campuran lainnya, sehingga memiliki rasa yang khas dibandingkan dengan roti-roti yang dijual di pasaran pada umumnya. Cara pengolahan keju dipelajari pada tahun 1958 dari seorang awam di Lembang bernama Tuan Meyer.[12] Keju sebagai bahan baku kue kastengel disimpan terlebih dahulu setidaknya selama 3 bulan dalam suhu minus 10 derajat Celcius sebelum digunakan.[2] Dikatakan bahwa kastengel buatan mereka sangat dikenal di Jawa Tengah.[37]
Produk-produk turunan susu ini dipasarkan di daerah setempat, bahkan hingga ke Jakarta,[26] dan memiliki pasar tetap di beberapa kota besar di sekitar pertapaan.[20] Produk-produk Rawaseneng, bersama dengan produk-produk yang dihasilkan Pertapaan Gedono seperti kefir, sirup asem, dan selai, juga dipasarkan secara khusus di pinggir jalan menuju Gua Maria Kerep di atas sebuah mobil pikap bernama "Rumah Lima Roti & Dua Ikan", milik CB Nurjati dan keluarganya.[6][44]
Frater Maximilianus Slamet Widodo OCSO mengatakan bahwa saat ini kue kering merupakan produk utama pertapaan, yang dipromosikan dengan cara "gethok tular" (dari mulut ke mulut), dan mampu menafkahi hidup para rahib. Sementara perkebunan dan peternakan tetap dipertahankan, kendati hanya sedikit keuntungannya, demi kehidupan para karyawan. "Karyawan memahami bahwa bisnis kami tidak mencari untung semata, melainkan justru mau membantu mereka," kata Frater Amadeus OCSO ketika menjawab pertanyaan mengapa usaha yang dikelola para rahib tetap mampu bertahan setelah sekian lama.[12]
Lahan di kompleks Pertapaan Rawaseneng sebenarnya bukan tanah yang baik untuk tanaman kopi, dan memerlukan pupuk organik untuk menjadikannya subur.[12] Pupuk organik dibuat sendiri dari bahan baku seperti sisa pakan ternak, dan dari kotoran burung walet yang disumbangkan oleh pengusaha walet di Jakarta. Pupuk produksi sendiri itu tidak dijual untuk umum, dan juga digunakan untuk pembibitan tanaman hias di lahan yang tersisa.[26]
Lahan perkebunan kopi juga ditanami tanaman lainnya seperti sayuran,[35] buah-buahan (misalnya pisang raja), ketumbar, nilam jawa, cengkih, dan pohon-pohon peneduh untuk dimanfaatkan kayunya dalam usaha pertukangan.[26]
Wisma untuk tamu yang menginap tidak diperhitungkan sebagai mata pencaharian atau sumber pendapatan; wisma ini dianggap tidak menguntungkan secara ekonomis. Keberadaan wisma yang berisikan kamar-kamar untuk tamu dipandang sebagai "pelayanan" kepada para tamu yang berkunjung,[45] dan untuk "mengenalkan pertapaan kepada anak-anak".[26]
Pada awal mula didirikannya Pertapaan Rawaseneng, para rahib membuka poliklinik sebagai layanan kesehatan karena kebutuhan masyarakat sekitar akan layanan tersebut; belakangan relawan dokter dari Belanda juga turut membantu. Pater Nicasius, yang dikenal memiliki rasa humor tinggi sehingga menyenangkan orang-orang yang bergaul dengannya, bertindak sebagai Rama Dokter (Pastor Dokter); laporan dari tahun 1957 menyebutkan bahwa setiap hari ia menerima sekitar 60 pasien yang berobat dengan memberikan hasil bumi seperti pisang, gula, dan telur, sebagai imbalan sukarela.[14] Lama kelamaan para rahib menyadari bahwa layanan kesehatan seperti demikian tidak sesuai dengan cara hidup mereka sebagai anggota Ordo Trapis, dan pada tahun 1962 mereka menyerahterimakan pengelolaan layanan tersebut kepada para biarawati Dominikan.[4]
Selain menyediakan lapangan pekerjaan, Pertapaan Rawaseneng juga melakukan pembinaan kepada masyarakat sekitar dengan cara memberikan latihan ketrampilan agar masyarakat dapat berwiraswasta dan mengurangi arus urbanisasi ke kota. Pelatihan yang diberikan misalnya dalam bidang perkebunan kopi, peternakan, dan industri kecil.[46] Para rahib juga mempraktikkan pengelolaan lingkungan hidup secara nyata, misalnya dengan membuang sampah dan limbah industri pada tempat-tempat yang telah ditetapkan, sehingga mendorong perubahan hidup masyarakat sekitarnya untuk lebih menyadari arti penting pelestarian lingkungan hidup.[47]
Para rahib Rawaseneng memberikan pelayanan yang "bersifat strategis terhadap kebutuhan dasar manusia". Di samping berbagi energi listrik dan air bersih kepada masyarakat, mereka juga memberikan beragam pelayanan seperti pinjaman modal berupa ternak dan bibit tanaman, menyalurkan masyarakat ke kota sebagai tenaga kerja untuk profesi tertentu, bantuan atas musibah, serta dukungan biaya untuk renovasi rumah yang sederhana dan sehat. Pelayanan yang lain misalnya memberikan beasiswa pendidikan untuk jenjang studi tertentu, kendati beberapa penerimanya "tidak serius dan tidak tekun dalam studi".[48] Sampai dengan tahun 1995 dilaporkan bahwa pihak pertapaan telah memberikan beasiswa kepada 63 penerima.[49]
Kehidupan para rahib "terpisah dari luar", menjalani cara hidup yang kontemplatif, membatasi hubungan dengan pihak luar, dan tidak melakukan pelayanan secara langsung kepada jemaat Katolik setempat. Namun demikian para rahib tidak "menutup diri", mereka terbuka kepada masyarakat umum,[11] termasuk para pengunjung dari kalangan Muslim, dan Hindu. Masyarakat di Dusun Rawaseneng sendiri terdiri dari penganut Katolik dan Islam, dengan Islam sebagai agama mayoritas. Proporsi antara penganut Islam dan Katolik dikatakan perbandingannya 65:35.[50] Suatu studi pada tahun 2015 melaporkan bahwa kedua agama tersebut tidak pernah terlibat konflik dalam hubungan masyarakat maupun sosial. Dilaporkan bahwa kerukunan ini merupakan wujud dari adanya "dialog aksi"; salah satunya adalah pengaruh dari kehadiran Pertapaan Rawaseneng, adanya tradisi nyadran, serta interaksi antara masyarakat Muslim dan Katolik dalam kegiatan yang dilakukan bersama-sama seperti misalnya saat berlangsung perayaan keagamaan.[39][51] Pertapaan ini memiliki perusahaan yang sebagian besar pekerjanya adalah kaum Muslim dan Katolik, sehingga secara tidak langsung terjadi "dialog aksi" dalam aktivitas sehari-hari di Rawaseneng; selain itu pertapaan berperan dalam meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar melalui penyediaan lapangan pekerjaan, baik bagi masyarakat Muslim maupun Katolik.[52][53]
Dalam rangka peringatan 50 tahun Nostra Aetate untuk mewujudkan keterbukaan dalam dialog antaragama, dan untuk mendalami Evangelii gaudium, Provinsi Gerejawi Semarang pada tanggal 24–25 Oktober 2015 menyelenggarakan Temu Fungsionaris Komisi HAK di Pertapaan Rawaseneng. Acara ini dihadiri oleh Ketua Komisi HAK Keuskupan Agung Semarang RD Aloysius Budi Purnomo, Ketua Komisi HAK Keuskupan Malang RD Ignatius Adam Soencoko, Pengasuh Pondok Pesantren Al Ishlah Meteseh Semarang Kiai Budi Harjono, tokoh agama dan masyarakat Temanggung Haji Asnawi, 99 fungsionaris HAK dari Provinsi Gerejawi Semarang, beserta para rahib Trapis.[54] Selain menyajikan tarian sufi, Kiai Budi menyampaikan dalam pemaparan pembukaan bahwa, "Sebuah kebiadaban memang muncul dalam diri kita, kita hadang dan kita alihkan ke bentuk-bentuk peradaban. Cinta bisa mengubah kebiadaban menjadi peradaban."[34] RD Adam juga menekankan pentingnya dialog antaragama untuk menciptakan perdamaian dunia.[34]
Pimpinan-pimpinan komunitas sejak didirikan secara resmi pada tahun 1953:[5]
Pertapaan Rawaseneng telah menghasilkan beberapa biara cabang:[5]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.