Remove ads
kerajaan di Asia Tenggara Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Kesunanan Surakarta Hadiningrat (bahasa Jawa: ꦟꦒꦫꦶꦑꦱꦸꦤꦤꦤ꧀ꦯꦸꦫꦏꦂꦠꦲꦢꦶꦤꦶꦁꦫꦠ꧀; Nagari Kasunanan Surakarta Hadiningrat) adalah sebuah kerajaan di Pulau Jawa bagian tengah yang berdiri pada tahun 1745, yang merupakan penerus dari Kesultanan Mataram yang beribu kota di Kartasura dan selanjutnya berpindah di Surakarta. Pada tahun 1755, sebagai hasil dari Perjanjian Giyanti yang disahkan pada tanggal 13 Februari 1755 antara VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dengan Pangeran Mangkubumi,[4][5] disepakati bahwa wilayah Mataram dibagi menjadi dua pemerintahan, yaitu Surakarta dan Yogyakarta.[6]
Kesunanan Surakarta Hadiningrat ꦑꦱꦸꦤꦤꦤ꧀ꦯꦸꦫꦏꦂꦠꦲꦢꦶꦤꦶꦁꦫꦠ꧀
Kasunanan Surakarta Hadiningrat | |||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1745–Sekarang | |||||||||||
Wilayah Kesunanan Surakarta sejak tahun 1830 (warna merah tua); termasuk berbagai daerah enklavenya serta wilayah Kadipaten Mangkunegaran (warna merah muda), yang merupakan wilayah vasal dari Kesunanan Surakarta.[2][3] | |||||||||||
Ibu kota | Surakarta | ||||||||||
Bahasa resmi | Jawa | ||||||||||
Agama | Islam (Resmi) | ||||||||||
Pemerintahan | Monarki Kesunanan | ||||||||||
Susuhunan (Sunan) | |||||||||||
• 1745-1749 | Susuhunan Pakubuwana II | ||||||||||
• 1823-1830 | Susuhunan Pakubuwana VI | ||||||||||
• 1893-1939 | Susuhunan Pakubuwana X | ||||||||||
• 1945-2004 (1946 Status Diturunkan) | Susuhunan Pakubuwana XII | ||||||||||
• 2004-Petahana | Susuhunan Pakubuwana XIII | ||||||||||
Pepatih Dalem (Mantrimuka) | |||||||||||
• 1745-1755 (Pertama) | KRA. Pringgalaya | ||||||||||
• 1945-1946 (Terakhir) | KRMT. Yudhanagara | ||||||||||
Sejarah | |||||||||||
• Hadeging Nagari Surakarta Hadiningrat | 20 Februari 1745 | ||||||||||
• Pendirian Daerah Istimewa Surakarta | 19 Agustus 1945 Sekarang | ||||||||||
• Pengundangan Penetapan Pemerintah No. 16/SD tahun 1946 (Pembekuan DIS) | 16 Juni 1946 | ||||||||||
Situs web resmi www | |||||||||||
| |||||||||||
Sekarang bagian dari | Kota Surakarta, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sragen, Kabupaten Klaten, Sebagian Kabupaten Bantul | ||||||||||
Status Politik:
| |||||||||||
Susuhunan Surakarta | |
---|---|
Sedang berkuasa | |
Susuhunan Pakubuwana XIII sejak 10 September 2004 | |
Perincian | |
Pewaris sementara | KGPAA. Hamangkunegara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram (KGPH. Purubaya) |
Penguasa pertama | Susuhunan Pakubuwana II |
Pembentukan | 1745 |
Kediaman | Keraton Surakarta Hadiningrat |
Penunjuk | Hereditas |
Semula, sejak tahun 1745 hingga peristiwa Palihan Nagari pada tahun 1755, Kesunanan Surakarta yang beribu kota di Surakarta merupakan kelanjutan dari Kesultanan Mataram yang sebelumnya berkedudukan di Kartasura, baik dari segi wilayah, pemerintahan, maupun kedudukan penguasanya. Kemudian, berlakunya Perjanjian Giyanti dan diadakannya Pertemuan Jatisari pada tahun 1755 menyebabkan terpecahnya Kesunanan Surakarta menjadi dua kerajaan; kota Surakarta tetap menjadi pusat pemerintahan sebagian wilayah Kesunanan Surakarta dengan rajanya yaitu Susuhunan Pakubuwana III,[7] sedangkan sebagian wilayah Kesunanan Surakarta yang lain diperintah oleh Sultan Hamengkubuwana I yang berkedudukan di kota Yogyakarta, dan wilayah kerajaannya kemudian disebut sebagai Kesultanan Yogyakarta. Keraton dan kota Yogyakarta sendiri baru dibangun pada 1755, dengan pola tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu berdiri. Adanya Perjanjian Salatiga tanggal 17 Maret 1757 turut memperkecil wilayah Kesunanan, dengan diberikannya sebagian daerah apanase di dalam wilayah Nagara Agung (wilayah inti di sekitar ibu kota kerajaan) kepada pihak Raden Mas Said yang kemudian bergelar Adipati Mangkunegara I.[8] Sejak tahun 1755 itulah, Kesunanan Surakarta bersama dengan Kesultanan Yogyakarta dianggap sebagai pengganti dan penerus Kesultanan Mataram, karena raja-rajanya merupakan kelanjutan dan keturunan raja-raja Mataram. Setiap raja Kesunanan Surakarta bergelar susuhunan atau sunan, sedangkan raja Kesultanan Yogyakarta bergelar sultan.
Setelah selama beberapa waktu menjadi bagian dari daerah koloni Hindia Belanda dan berada dalam Pendudukan Jepang, Kesunanan Surakarta kemudian bergabung dengan Republik Indonesia usai Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945. Pada tanggal 1 September 1945, Susuhunan Pakubuwana XII menerbitkan maklumat penegasan yang menyatakan bahwa Kesunanan Surakarta merupakan bagian dari Republik Indonesia sebagai sebuah Daerah Istimewa.[9] Adanya ketidakstabilan politik dan pemerintahan di Surakarta yang terjadi selanjutnya mengakibatkan pemerintah Indonesia membekukan Daerah Istimewa Surakarta (DIS) pada tahun 1946 demi menjaga keselamatan serta kestabilan pemerintahan, dan menjadikannya sebagai Karesidenan yang bersifat khusus, hingga menggabungkannya ke dalam Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1950.[9] Sejak saat itu, Kesunanan Surakarta berkedudukan sebagai monarki seremonial tak berdaulat sekaligus pusat pelestarian dan pengembangan budaya Jawa di dalam negara Republik Indonesia.
Setelah Kesultanan Mataram yang beribu kota di Plered porak-poranda akibat pemberontakan Trunajaya tahun 1677,[10] ibu kotanya lalu dipindahkan oleh Susuhunan Amangkurat II ke Kartasura.[11] Pada masa Susuhunan Pakubuwana II memegang tampuk pemerintahan, Keraton Kartasura mendapat serbuan dari pemberontakan orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan dari orang-orang Jawa anti VOC di tahun 1742. Peristiwa tersebut merupakan bagian dari sebuah konflik panjang yang dikenal sebagai Geger Pacinan. Kesultanan Mataram yang berpusat di Kartasura itu akhirnya mengalami keruntuhan. Kota Kartasura kemudian berhasil direbut kembali berkat bantuan Panembahan Cakraningrat IV, seorang penguasa Bangkalan yang merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak parah. Susuhunan Pakubuwana II yang menyingkir ke Ponorogo, akhirnya memutuskan untuk membangun istana baru di Desa Sala sebagai ibu kota Kerajaan Mataram yang baru.
Bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur karena serbuan pemberontak di tahun 1742, kemudian dianggap telah "tercemar". Susuhunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Hanggawangsa (bernama kecil Jaka Sangrib atau Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar Tumenggung Arungbinang I), bersama Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota dan keraton yang baru. Setelah itu, dibangunlah sebuah kompleks keraton di lokasi ibu kota baru yang sudah ditetapkan, yang berjarak sekitar 20 km ke arah tenggara dari Kartasura; tepatnya yaitu berada di Desa Sala, sebuah desa yang terletak di tepi Bengawan Solo (bahasa Jawa: Bengawan Sala). Untuk pembangunan keraton tersebut, Pakubuwana II membeli tanah seharga selaksa keping emas[12] yang diberikan kepada akuwu (lurah) Desa Sala yang dikenal sebagai Ki Gedhe Sala. Di tengah pembangunan keraton, Ki Gedhe Sala meninggal dan dimakamkan di area keraton.[13][14]
Pemindahan keraton dari Kartasura ke Desa Sala dilakukan dengan berbagai pertimbangan. Pertama, menurut ahli nujum Raden Tumenggung Hanggawangsa, kerajaan itu bisa menjadi baik, ramai, serta makmur. Walaupun kekuasaan raja tidak seberapa luas, namun kekuasaan itu dapat berlangsung lama. Kedua, Desa Sala terletak di dekat tempuran, artinya tempat bertemunya dua sungai, yaitu Sungai Pepe dan Bengawan Solo. Menurut mistik Jawa, tempuran mempunyai arti magis dan tempat-tempat di dekatnya dianggap keramat. Ketiga, letak Desa Sala dekat dengan Bengawan Solo, sungai terbesar di Jawa yang sejak zaman dahulu mempunyai arti penting sebagai penghubung antara Jawa bagian tengah dengan Jawa bagian timur. Fungsi Bengawan Solo sebagai penghubung ini dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, antara lain ekonomi, sosial, politik, dan militer. Sampai abad ke-19, bepergian lewat sungai ternyata lebih aman daripada melewati jalur darat.
Selanjutnya, yang keempat, karena Sala sudah merupakan sebuah desa yang ramai, sehingga untuk mendirikan keraton tidak diperlukan tenaga untuk pembabat hutan yang didatangkan dari tempat lain. Selain Semanggi, di dekat Sala juga terdapat desa-desa penting yang telah ada sejak zaman Kartasura, yaitu Baturana dan Gabudan. Keduanya ditempati oleh abdi dalem pembuat babud (permadani). Kelima, supaya kebijakan VOC yang telah ditetapkan dapat dilaksanakan dengan mudah, agar pusat kota Mataram yang baru itu mudah dicapai dari Semarang dan harus dijaga, sehingga pemerintah mudah mengirim bala bantuannya karena Semarang dikenal sebagai jalan masuk menuju Mataram. Keenam, orang Jawa percaya bahwa keadaan tanah akan berpengaruh pada penghuni rumah kediaman yang didirikan di atas tanah itu. Tanah di Desa Sala dianggap layak, sehingga dibangunlah keraton di wilayah ini.[15]
Atas kehendak Susuhunan Pakubuwana II, Tumenggung Secayudha dan Kyai Ageng Derpayudha diperintahkan supaya merencanakan serta menentukan urut-urutan perjalanan perpindahan keraton dari Kartasura ke Surakarta.[15] Setelah upacara tradisional selesai, pada hari Rabu Pahing tanggal 17 Sura/Muharam tahun Je 1670 Jawa Windu Sancaya atau tanggal 20 Februari 1745, Susuhunan pindah dari Kartasura ke keraton yang baru.[13][16] Dalam Babad Giyanti I, prosesi perpindahan Keraton Kartasura ke Keraton Surakarta dituliskan bertepatan pada hari Rabu Pahing tanggal 17 Sura dengan candra sengkala Kumbuling Pudya Kapyarsih ing Nata, Susuhunan berangkat dari Kartasura pindah ke Sala.[15]
Selanjutnya, oleh Pakubuwana II nama Desa Sala kemudian diubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Penyebutan nama kerajaan (Nagari Mataram) pun turut berubah mengikuti nama ibu kota kerajaan yang baru diresmikan. Nama "Surakarta" digunakan sebagai kebalikan dari "Kartasura", yang dimaksudkan untuk membuang riwayat buruk mengenai peristiwa jatuhnya Keraton Kartasura di tangan pemberontak sewaktu Perang Jawa (1741-1743). Selain itu, kata sura dalam bahasa Jawa berarti "keberanian" dan karta berarti "makmur" (versi lain mengartikannya sebagai "penuh" atau "sempurna");[13][17] dengan harapan bahwa Surakarta menjadi tempat di mana penghuninya adalah orang-orang yang selalu berani berjuang untuk kebaikan serta kemakmuran negara dan bangsa.[13]
Kesultanan Mataram yang berpusat di Surakarta sebagai ibu kota pemerintahan kemudian dihadapkan pada pemberontakan besar karena Pangeran Mangkubumi, adik Susuhunan Pakubuwana II, pada tahun 1746 meninggalkan keraton dan menggabungkan diri dengan Raden Mas Said yang berjuluk Pangeran Sambernyawa. Di tengah ramainya peperangan, Pakubuwana II meninggal karena sakit pada tahun 1749. Namun, ia sempat menyerahkan kedaulatan negerinya kepada VOC, yang diwakili oleh Baron von Hohendorff. Sejak saat itu, VOC yang dianggap berhak melantik raja-raja Dinasti Mataram baik Surakarta maupun Yogyakarta; setelah VOC bubar pada tahun 1799, kewenangan tersebut dilanjutkan oleh pemerintah Hindia Belanda dan berakhir pada masa Pendudukan Jepang di tahun 1942.
Pada awal tahun 1755, pihak VOC yang sudah mengalami kebangkrutan berhasil mengajak Pangeran Mangkubumi berdamai untuk bersatu melawan pemberontakan Raden Mas Said yang tidak mau berdamai. Padahal, semula Pangeran Mangkubumi bersekutu dengan Raden Mas Said. Adanya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) yang ditandatangani oleh VOC yang diwakili oleh Nicolaas Hartingh dengan Pangeran Mangkubumi, yang kemudian ditindaklanjuti dalam Pertemuan Jatisari (15 Februari 1755) antara Susuhunan Pakubuwana III dengan Pangeran Mangkubumi dan disaksikan oleh perwakilan VOC,[5] mengakibatkan terpecahnya Mataram Surakarta menjadi dua entitas kerajaan yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.[18]
Dalam pertemuan di Jatisari, Pakubuwana III mengizinkan Mangkubumi untuk memerintah sebagian tanah negeri Mataram Surakarta serta diperbolehkan untuk menggunakan dan mempertahankan sebagian budaya Mataram lama; termasuk selanjutnya dilakukan pula pembagian pusaka-pusaka warisan Mataram antara kedua belah pihak, baik pusaka benda maupun tak benda.[5] Dan sesuai surat persetujuan Susuhunan Pakubuwana III tanggal 4 November 1754 yang dikeluarkan untuk menindaklanjuti kesepakatan antara Kompeni dengan Pangeran Mangkubumi (23 September 1754; sebelum Perjanjian Giyanti), kedudukan Pangeran Mangkubumi sebagai raja di separuh wilayah Mataram diperkenankan menggunakan gelar Sultan Hamengkubuwana, sedangkan raja Kesunanan Surakarta melestarikan gelar Susuhunan Pakubuwana warisan Mataram. Kemudian, negeri Mataram yang dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwana lalu dikenal dengan nama Kesultanan Yogyakarta (Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat), sedangkan negeri Mataram yang dipimpin oleh Susuhunan atau Sunan Pakubuwana tetap dikenal dengan nama Kesunanan Surakarta (Nagari Surakarta Hadiningrat).
Setelahnya, wilayah Nagara Agung (wilayah inti di sekitar ibu kota) Kesunanan Surakarta semakin berkurang karena Perjanjian Salatiga tanggal 17 Maret 1757, menyebabkan Raden Mas Said diakui sebagai seorang pangeran miji alias pangeran utama yang otonom, sekaligus diberi wilayah kekuasaan berupa tanah lungguh yang berasal dari hampir setengah wilayah Nagara Agung dengan status daerah vasal (dan secara tradisional tetap berada di bawah Kesunanan Surakarta), yang kemudian disebut dengan nama Kadipaten Mangkunegaran.[2] Selaku pangeran miji yang berkedudukan langsung di bawah Pakubuwana III sekaligus sebagai penguasa di wilayahnya, Raden Mas Said bergelar Adipati Mangkunegara I. Wilayah Kesunanan Surakarta kemudian berkurang lebih jauh lagi usai berakhirnya Perang Diponegoro pada tahun 1830, dimana daerah-daerah Mancanagara dirampas oleh Belanda sebagai ganti rugi atas biaya peperangan.
Sepeninggal Susuhunan Pakubuwana III, penerus takhta Kesunanan Surakarta berikutnya yakni Sri Susuhunan Pakubuwana IV (1788–1820), adalah sosok raja yang membenci penjajah dan penuh cita-cita serta keberanian. Pada November 1790, terjadi Peristiwa Pakepung, yakni insiden pengepungan Keraton Surakarta oleh persekutuan VOC, Hamengkubuwana I, dan Mangkunegara I. Pengepungan ini terjadi karena Pakubuwana IV yang berpaham politik Islam dan dekat dengan kaum santri, menyingkirkan para pejabat istana yang tidak sepaham dengannya. Para pejabat istana yang merasa disingkirkan kemudian meminta bantuan VOC untuk menghadapi Pakubuwana IV.
VOC akhirnya bersekutu dengan Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I untuk menghadapi Pakubuwana IV. Pada bulan November 1790, aliansi tersebut mengepung Keraton Surakarta. Dari dalam istana sendiri, para pejabat senior yang tersisih ikut menekan Pakubuwana IV agar menyingkirkan para penasehat politik dan penasehat rohaninya. Pakubuwana IV akhirnya terpaksa mengalah pada tanggal 26 November 1790, dengan menyerahkan para penasehatnya yang terdiri dari para haji untuk dibuang VOC. Dan meski kerap menunjukkan sikap yang tidak bersahabat dengan Kompeni, berkat kecerdasan serta kelihaian politiknya, Pakubuwana IV tetap mampu mempertahankan kedudukannya sebagai raja bahkan sampai beberapa kali pergantian rezim kolonial, yaitu semasa pemerintahan VOC, pemerintahan Hindia Belanda, pemerintahan Hindia Belanda-Perancis, pemerintahan Pendudukan Inggris, sampai kembalinya pemerintahan Hindia Belanda.
Pengganti Susuhunan Pakubuwana IV adalah Sri Susuhunan Pakubuwana V, yang oleh masyarakat saat itu dijuluki sebagai Sunan Ngabehi, karena baginda yang sangat kaya, baik kaya harta maupun kesaktian. Setelah wafat, pengganti Susuhunan Pakubuwana V adalah Sri Susuhunan Pakubuwana VI. Pakubuwana VI adalah pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, yang memberontak terhadap Kesultanan Yogyakarta dan pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1825. Penulis naskah-naskah babad waktu itu sering menutupi pertemuan rahasia Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro menggunakan bahasa simbolis. Misalnya, Pakubuwana VI dikisahkan pergi bertapa ke Gunung Merbabu atau bertapa di Hutan Krendawahana. Padahal sebenarnya, ia pergi menemui Pangeran Diponegoro secara diam-diam.
Ketika pecah Perang Jawa sejak pertengahan tahun 1825, Susuhunan Pakubuwana VI menjalankan aksi ganda. Di samping memberikan bantuan dan dukungan kepada Diponegoro, ia juga mengirim pasukan untuk pura-pura membantu Belanda. Pujangga besar Ranggawarsita mengaku semasa muda dirinya pernah ikut serta dalam pasukan sandiwara tersebut. Namun setelah menangkap Pangeran Diponegoro, Belanda tetap saja menangkap Pakubuwana VI dan membuangnya ke Ambon pada tanggal 8 Juni 1830 dengan alasan bahwa Mas Pajangswara sudah membocorkan semuanya, dan kini ia hidup nyaman di Batavia.[19]
Fitnah yang dilancarkan pihak Belanda ini kelak berakibat buruk pada hubungan antara putra Pakubuwana VI, yaitu Pakubuwana IX dengan putra Mas Pajangswara, yaitu Ranggawarsita. Pakubuwana IX sendiri masih berada dalam kandungan ketika Pakubuwana VI berangkat ke Ambon. Takhta Surakarta kemudian jatuh kepada paman Pakubuwana VI, yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana VII.
Saat itu Perang Diponegoro baru saja berakhir. Masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana VII relatif damai apabila dibandingkan masa raja-raja sebelumya. Keadaan yang damai itu mendorong tumbuhnya kegiatan sastra secara besar-besaran di lingkungan keraton. Masa pemerintahan Pakubuwana VII dianggap sebagai puncak kejayaan Sastra Jawa di Kesunanan Surakarta dengan pujangga besar Ranggawarsita sebagai pelopornya. Pemerintahannya berakhir saat wafatnya, dan karena tidak memiliki putra mahkota maka Susuhunan Pakubuwana VII digantikan oleh kakaknya (lain ibu) bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana VIII yang naik takhta pada usia 69 tahun.
Pemerintahan Susuhunan Pakubuwana VIII berjalan selama tiga tahun hingga akhir hayatnya. Pakubuwana VIII digantikan putra Pakubuwana VI sebagai raja Surakarta selanjutnya, yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana IX. Hubungan antara Pakubuwana IX dengan Ranggawarsita sendiri kurang harmonis karena fitnah pihak Belanda bahwa Mas Pajangswara (ayah Ranggawarsita yang menjabat sebagai juru tulis keraton) telah membocorkan rahasia persekutuan antara Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro. Akibatnya, Pakubuwana VI pun dibuang ke Ambon. Hal ini membuat Pakubuwana IX membenci keluarga Mas Pajangswara, padahal juru tulis tersebut ditemukan tewas mengenaskan karena disiksa dalam penjara oleh Belanda. Ranggawarsita sendiri berusaha memperbaiki hubungannya dengan raja melalui persembahan naskah Serat Cemporet. Pemerintahan Susuhunan Pakubuwana IX berakhir saat kematiannya pada tanggal 16 Maret 1893. Ia digantikan putranya sebagai raja Surakarta selanjutnya, bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana X.
Masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana X ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana politik kerajaan yang stabil. Pada masa pemerintahannya yang cukup panjang, Kesunanan Surakarta mengalami transisi, dari kerajaan tradisional menuju era modern, sejalan dengan perubahan politik di Hindia Belanda. Meskipun berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, Pakubuwana X memberikan kebebasan berorganisasi dan penerbitan media massa. Ia mendukung pendirian organisasi Sarekat Islam, salah satu organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia. Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta (1938) diadakan pada masa pemerintahannya.
Infrastruktur modern Kesunanan Surakarta banyak dibangun pada masa pemerintahan Pakubuwana X, seperti bangunan Pasar Gedhe Harjanagara, Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo-Kota (Sangkrah), Stadion Sriwedari, Taman Sriwedari, Taman Satwataru Jurug, Jembatan Jurug yang melintasi Bengawan Solo di timur kota, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, Griya Wangkung (rumah singgah bagi tunawisma), Rumah Sakit Kadipala, rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga Tionghoa, rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, saluran air bersih dan irigasi di kabupaten-kabupaten, serta berbagai infrastruktur dan fasilitas publik lainnya. Pakubuwana X meninggal dunia pada akhir Februari 1939. Sejak di masa keemasan pemerintahannya sampai ia wafat, Susuhunan Pakubuwana X dikenal sebagai Sinuhun Ingkang Minulya saha Ingkang Wicaksana atau raja yang mulia dan bijaksana. Pemerintahannya kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana XI.
Pemerintahan Susuhunan Pakubuwana XI terjadi pada masa sulit, yaitu bertepatan dengan meletusnya Perang Dunia II. Ia juga mengalami pergantian pemerintah penjajahan dari tangan Belanda kepada Jepang sejak tahun 1942. Pihak pemerintah Pendudukan Jepang menyebut Kesunanan Surakarta dengan nama Solo-Kōchi (Kōti), dan Pakubuwana XI diakui serta diberi kedudukan sebagai Solo-Kō. Sekalipun pemerintahan Pakubuwana XI berada dalam masa sulit karena penjajahan Jepang, sejak awal tahun 1945, Kesunanan Surakarta melalui para beberapa orang kerabat keraton dan pejabat-pejabatnya turut terlibat aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan dan pembentukan Negara Indonesia, dengan bergabung dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Mereka adalah GPH. Suryahamijaya (saudara Pakubuwana XI), KRMH. Sasradiningrat V (patih Kesunanan Surakarta), KRMTA. Wuryaningrat, dr. KRT. Rajiman Wedyadiningrat (dokter keraton; ketua BPUPK), Mr. KRMT. Wongsonegoro (bupati Kabupaten Sragen), Mr. R. Supomo, serta Mr. R.P. Singgih.
Menjelang kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II dan kemerdekaan Indonesia, Susuhunan Pakubuwana XI meninggal dunia pada tanggal 1 Juni 1945. Ia kemudian digantikan oleh putra termudanya yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana XII.
Awal pemerintahan Susuhunan Pakubuwana XII hampir bersamaan dengan lahirnya Republik Indonesia. Di awal masa kemerdekaan (1945–1946), Kesunanan Surakarta (dan Kadipaten Mangkunegaran) sempat menjadi daerah istimewa, yaitu Daerah Istimewa Surakarta (DIS). Akan tetapi, karena kerusuhan dan agitasi politik saat itu, maka pada tanggal 16 Juni 1946 oleh Pemerintah Indonesia statusnya diubah menjadi Keresidenan, menyatu dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.[20] Penetapan status Istimewa ini dilakukan Presiden Sukarno sebagai balas jasa atas pengakuan raja-raja Kesunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran yang menyatakan wilayah mereka adalah bagian dari Republik Indonesia pada tanggal 19 Agustus 1945.[21]
Kemudian pada tanggal 1 September 1945, Kesunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran mengirimkan maklumat kepada Presiden Sukarno perihal pernyataan dari Susuhunan Pakubuwana XII dan Adipati Mangkunegara VIII yang menyatakan bahwasanya Negeri Surakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia, di mana hubungan antara Negeri Surakarta dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung. Atas dasar semua itulah, maka Presiden Sukarno memberikan pengakuan resmi kepada Susuhunan Pakubuwana XII dan Adipati Mangkunegara VIII dengan diberikannya piagam kedudukan resmi, masing-masing sebagai kepala daerah istimewa.[22]
Sebagaimana diketahui, barulah sekitar empat hari setelahnya, yaitu pada tanggal 5 September 1945, Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman mengeluarkan maklumat serupa, yang menjadi dasar dari pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Belanda yang tidak merelakan kemerdekaan Indonesia berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan Januari 1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda. Kemudian, pada Oktober 1945, muncul gerakan anti swapraja/anti monarki/anti feodal di Surakarta, di mana salah seorang pimpinannya adalah Tan Malaka, pimpinan Partai Murba dan Persatuan Perjuangan.[23] Barisan Banteng juga berhasil menguasai Surakarta, sedangkan pemerintah Indonesia tidak menumpasnya karena pembelaan Jenderal Sudirman. Bahkan, Jenderal Sudirman juga berhasil mendesak pemerintah untuk mencabut status Daerah Istimewa Surakarta. Tujuan gerakan ini adalah penghapusan DIS serta penurunan status kedudukan Susuhunan dan Mangkunegara, termasuk perampasan tanah-tanah pertanian milik pemerintah Kesunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran untuk dibagi-bagikan sesuai dengan kegiatan landreform oleh golongan sosialis-komunis.
Tanggal 17 Oktober 1945, patih (perdana menteri) Kesunanan Surakarta yang juga seorang mantan anggota BPUPKI, KRMH. Sasradiningrat V, diculik oleh gerombolan anti swapraja (ia kemudian berhasil bebas).[24] Aksi ini diikuti pencopotan bupati-bupati yang umumnya kerabat raja dan diganti orang-orang yang pro gerakan anti swapraja. Bulan Maret 1946, patih yang baru, KRMT. Yudhanagara, juga diculik. Dan pada bulan April 1946, sembilan pejabat Kepatihan mengalami hal yang sama.[25] KRMTA. Wuryaningrat alias KPH. Wuryaningrat yang merupakan tokoh Parindra kemudian dilantik menjadi pejabat sementara patih (wakil pepatih dalem) oleh Susuhunan Pakubuwana XII.[9]
Karena banyaknya kerusuhan, penculikan dan pembunuhan, pemerintah Republik Indonesia bersama komisaris tinggi Daerah Istimewa Surakarta serta pejabat patih Surakarta dan patih Mangkunegaran melakukan pertemuan-pertemuan untuk membahas penyelesaian masalah.[9] Akhirnya, melalui Penetapan Pemerintah (PP) No. 16/SD/1946, diputuskan bahwa untuk sementara waktu pemerintah Republik Indonesia membekukan status Daerah Istimewa Surakarta dan menurunkan kekuasaan Susuhunan Surakarta dan Adipati Mangkunegaran, menghapus jabatan komisaris tinggi, serta menjadikan daerah Surakarta-Mangkunegaran yang bersifat istimewa sebagai keresidenan khusus sebelum bentuk dan susunannya ditetapkan undang-undang.[9] Status Susuhunan Surakarta dan Adipati Mangkunegaran pun menjadi raja dan adipati seremonial, sebagai pemangku adat dan simbol pemersatu di tengah masyarakat Jawa dan warga negara Republik Indonesia, serta Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran kemudian lebih berfungsi sebagai pusat pelestarian dan pengembangan budaya Jawa.
Terdapat pendapat yang menilai[siapa?] bahwa pada awal pemerintahannya, Susuhunan Pakubuwana XII gagal mengambil peran penting dan memanfaatkan situasi politik Republik Indonesia. Pakubuwana XII saat itu dianggap kurang berdaya dalam menghadapi kelompok anti daerah istimewa yang gencar bermanuver dalam perpolitikan dan menyebarkan rumor bahwa para bangsawan Surakarta merupakan sekutu pemerintah Belanda, sehingga sebagian rakyat merasa tidak percaya dan memberontak terhadap kekuasaan Kesunanan.[26] Dalam buku seri Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jenderal Abdul Haris Nasution menuduh bahwa raja-raja Surakarta membelot dan mengkhianati Indonesia saat terjadi Agresi Militer Belanda II tahun 1948–1949. Bahkan pihak TNI sudah menyiapkan Kolonel GPH. Jatikusuma (KSAD pertama), putra Pakubuwana X, untuk diangkat menjadi Susuhunan yang baru dan Letkol. Suryo Sularso untuk diangkat menjadi Mangkunegara yang baru. Namun, sebagian fraksi rakyat dan oknum tentara semakin ingin menghapuskan monarki sama sekali. Akhirnya, Mayor Achmadi, penguasa militer kota Surakarta, hanya diberi tugas untuk langsung berhubungan dengan istana-istana monarki Surakarta. Kedua raja diminta untuk secara tegas memihak Republik. Jika raja-raja tersebut menolak, akan diambil tindakan sesuai Instruksi Non Koperasi.[27]
Kenyataannya, selama masa Revolusi Nasional, Pakubuwana XII tetap memihak pemerintah Republik Indonesia. Ia bahkan memperoleh pangkat militer letnan jenderal tituler, dan pada tahun 1945–1948 beberapa kali turut mendampingi Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta mengunjungi berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, baik dalam rangka konsolidasi pemerintahan maupun meninjau garis depan pertempuran.[28] Sebelum dan hingga peristiwa Serangan Umum Surakarta pada 7–10 Agustus 1948, Pakubuwana XII juga mengizinkan sepasukan TNI di bawah pimpinan Letkol. Slamet Riyadi untuk menggunakan Pesanggrahan Pracimaharja di Boyolali sebagai markas, sebelum akhirnya pesanggrahan peninggalan Pakubuwana VI tersebut dibakar untuk membendung manuver tentara Belanda yang hendak menduduki wilayah Surakarta.[28]
Selain itu, Pakubuwana XII juga menjadi salah satu anggota delegasi yang diberi kedudukan setingkat menteri negara dalam rombongan delegasi Republik Indonesia pimpinan Mohammad Hatta pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dari tanggal 23 Agustus hingga 2 November 1949.[29] Pada 17 Desember 1949, staf urusan sipil Komando Tentara dan Teritorial Kota Surakarta, mewakili pemerintah Republik Indonesia, bahkan memberikan surat tanda penghargaan dan terima kasih kepada Jawatan Pusat Karti Praja, sebuah badan pekerjaan umum yang dibentuk Pakubuwana XII dalam rangka membuka lapangan kerja bagi masyarakat karena telah ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara Republik Indonesia selama Agresi Militer Belanda II.[25][28] Meski demikian, kedudukan Daerah Istimewa Surakarta saat itu tetap belum dapat dipertahankan, karena ketidakstabilan politik dan pemerintahan di Surakarta yang berlangsung berlarut-larut sejak tahun 1945 sampai 1949.
Meskipun gagal secara politik, namun Pakubuwana XII tetap menjadi figur pelindung kebudayaan Jawa. Pada zaman reformasi, para tokoh nasional, misalnya Presiden Abdurrahman Wahid, tetap menghormatinya sebagai salah satu sesepuh tanah Jawa.[30] Susuhunan Pakubuwana XII wafat pada tanggal 11 Juni 2004, dan masa pemerintahannya merupakan yang paling lama di antara para raja-raja Kesunanan terdahulu, yaitu sejak tahun 1945 hingga 2004.
Sepeninggal Susuhunan Pakubuwana XII, sempat terjadi perebutan takhta antara KGPH. Hangabehi dangan KGPH. Tejawulan, yang masing-masing menyatakan diri sebagai Pakubuwana XIII; keduanya mengklaim sebagai pemangku takhta yang sah, dan masing-masing menyelenggarakan acara pemakaman ayahnya secara terpisah. Akan tetapi, konsensus keluarga telah mengakui bahwa Hangabehi yang diberi gelar Sri Susuhunan Pakubuwana XIII.
Pada tahun 2012, konflik Raja Kembar telah usai setelah Pangeran Tejawulan melepaskan klaim takhta dan gelar Pakubuwana kepada kakaknya, yakni Pangeran Hangabehi, dalam sebuah rekonsiliasi resmi yang diprakarsai oleh Pemerintah Kota Surakarta bersama DPR-RI, dan Pangeran Tejawulan sendiri dilantik menjadi mahamenteri dengan gelar Kangjeng Gusti Pangeran Harya Panembahan Agung.[31]
Rekonsiliasi damai antara Susuhunan Pakubuwana XIII dan Tejawulan awalnya sempat ditentang oleh Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Surakarta yang dipimpin oleh GKR. Wandansari.[32] Sejak tahun 2013, Pakubuwana XIII bahkan tidak dapat memasuki kawasan inti Keraton Surakarta dan memimpin beberapa upacara adat karena adanya penutupan beberapa akses dari kediaman Susuhunan menuju kawasan inti keraton.[33] Setelah TNI dan Kepolisian turun tangan serta adanya mediasi antara pihak Pakubuwana XIII dan Lembaga Dewan Adat,[34][35] pada bulan April 2017 Pakubuwana XIII bisa kembali masuk ke dalam keraton dan menyelenggarakan upacara peringatan kenaikan takhta (tingalan dalem jumenengan) yang dihadiri oleh keluarga, abdi dalem, perwakilan masyarakat, dan beberapa pejabat tinggi pemerintahan.[36]
Penyelesaian konflik antara Susuhunan Pakubuwana XIII dengan GKR. Wandansari dan Lembaga Dewan Adat akhirnya terjadi pada tanggal 3 Januari 2023, usai kedua pihak berhasil dipertemukan dan dimediasi oleh KRAy. Herniatie Sriana Munasari (cucu dari R.P. Suroso, mantan gubernur Jawa Tengah sekaligus komisaris tinggi pemerintah pusat untuk Daerah Istimewa Surakarta) dan Polresta Surakarta.[37][38][39] Menindaklanjuti rekonsiliasi tersebut, Gibran Rakabuming Raka mengundang Susuhunan Pakubuwana XIII dan GKR. Wandansari bersama beberapa kerabat keraton di Loji Gandrung (rumah dinas wali kota Surakarta), pada tanggal 4 Januari 2023.[40] Pada pertemuan tersebut, GKR. Wandansari menyatakan bahwa ia telah bersatu dengan Susuhunan Pakubuwana XIII dan siap bersama-sama melestarikan kebudayaan serta adat istiadat keraton.[41]
Seperti di masa Kesultanan Mataram, pada awal berdirinya (semasa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana II dan Susuhunan Pakubuwana III) wilayah Kesunanan Surakarta dibagi menjadi daerah Kuthagara atau Kuthanagara, Nagara Agung, Mancanagara, dan Pasisiran.[42] Daerah Kuthagara adalah ibu kota dan pusat pemerintahan kerajaan, yang juga menjadi tempat tinggal raja beserta keluarganya termasuk para pejabat dan pegawai pemerintahan. Daerah Kuthagara juga sering disebut sebagai Siti Narawita, yang secara harfiah berarti daerah tempat orang-orang mengabdi. Daerah Nagara Agung adalah wilayah yang berada di sekitar Kuthagara, yang merupakan daerah apanase atau tanah lungguh dari para keluarga raja dan abdi dalem, termasuk pula daerah Siti Narawita milik raja. Sedangkan daerah Mancanagara dan Pasisiran merupakan wilayah di luar kawasan Nagara Agung; di daerah ini tidak terdapat tanah lungguh, namun pada saat perayaan grebeg dan tiap-tiap waktu tertentu harus menyerahkan pajak ke keraton. Secara keseluruhan, wilayah Kesunanan Surakarta ketika itu memiliki luas 352.382 karya.[42]
Wilayah kekuasaan Kesunanan Surakarta selanjutnya semakin berkurang pada masa pemerintahan raja-raja berikutnya, termasuk setelah adanya Perjanjian Giyanti tahun 1755 dan Perjanjian Salatiga tahun 1757, yang mengakibatkan Kesunanan Surakarta harus menyerahkan beberapa wilayah kekuasaannya kepada Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Mangkunegaran, serta menyerahkan wilayah Pasisiran kepada VOC. Usai Perang Jawa pada tahun 1830, seluruh wilayah Mancanagara dirampas oleh pemerintah Hindia Belanda, menyisakan wilayah Nagara Agung dan Kuthagara.[42] Wilayah yang tersisa tersebut, kemudian dibagi lagi menjadi beberapa kabupaten dan kawedanan.
Di era Hindia Belanda, status Kesunanan Surakarta beserta Mangkunegaran merupakan Daerah Swapraja setingkat karesidenan, yang di Pulau Jawa juga dikenal sebagai Vorstenlanden (Daerah Kerajaan-Kerajaan), yaitu daerah yang berhak memerintah sendiri alias tidak diatur oleh undang-undang pemerintah kolonial Hindia Belanda seperti daerah lain, tetapi diatur dengan kontrak politik antara Gubernur Jenderal dan Sri Susuhunan. Ada dua macam kontrak politik, yaitu kontrak panjang tentang kesetaraan kekuasaan keraton dengan Belanda, dan pernyataan pendek tentang pengakuan atas kekuasaan Belanda. Kesunanan Surakarta diatur dalam kontrak panjang, sementara Kadipaten Mangkunegaran diatur dalam pernyataan pendek. Sejak era Gubernur Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz (1904-1909), setiap terjadi pergantian raja, maka diadakan pembaharuan kontrak. Kontrak terakhir untuk Kasunanan diatur dalam S. 1939/614, sedangkan untuk Mangkunegaran diatur dalam S. 1940/543.[43]
Sejak masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana X pada abad ke-20, wilayah Kesunanan Surakarta meliputi:
Untuk wilayah kota Surakarta bagian utara serta Kabupaten Karanganyar (Kabupaten Kutha Mangkunegaran) dan Kabupaten Wonogiri (termasuk enklave Ngawen dan Semin) diperintah oleh Kadipaten Mangkunegaran, yang merupakan vasal dari Kesunanan Surakarta.[2][3] Di tahun 1928, pemerintah Hindia Belanda menjadikan wilayah Karesidenan Surakarta yang merupakan gabungan dari Kesunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran, sebagai sebuah kegubernuran setingkat provinsi. Wilayah dan pembagian administratif tersebut tidak banyak mengalami perubahan hingga masa Pendudukan Jepang dan era pemerintahan Republik Indonesia.[23]
Setelahnya, di masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana XII wilayah Kesunanan Surakarta mendapat kedudukan sebagai sebuah daerah istimewa dan menjadi Daerah Istimewa Surakarta, yang bertahan selama beberapa bulan pada tahun 1945-1946. Usai pembekuan Daerah Istimewa Surakarta dan sejak kembali dibentuknya Karesidenan Surakarta hingga penggabungan karesidenan tersebut ke dalam Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1950, saat ini wilayah Kesunanan Surakarta secara administratif telah menyatu dengan Provinsi Jawa Tengah.[23]
Kesunanan Surakarta dipimpin oleh seorang raja bergelar Susuhunan alias Sunan yang merupakan keturunan raja-raja Dinasti Mataram. Sejak tahun 1745 sampai sekarang, para Susuhunan Surakarta bertakhta menggunakan gelar Pakubuwana, dengan gelar lengkapnya yaitu Sahandhap Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng Kaping ... (diisi dengan angka terbilang sesuai urutan gelar raja ke berapa) ing Nagari Surakarta Hadiningrat.[3] Kedudukan Susuhunan adalah kepala negara dan pemerintahan Kesunanan Surakarta, sekaligus panglima tertinggi angkatan bersenjata kerajaan dan kepala urusan agama Islam.
Pada tahun 1745 sampai 1800, kedudukan Kesunanan Surakarta secara de facto merupakan negara merdeka, dan VOC alias Kompeni hanyalah mitra yang sejajar. Dalam rangka menjaga posisinya, VOC menempatkan seorang pejabat tinggi di ibu kota Surakarta untuk mengawasi Susuhunan dan kerajaannya. Kedudukan pejabat Kompeni ini mulanya berada di bawah Susuhunan dan sejajar dengan Pepatih Dalem. Setelah runtuhnya VOC pada akhir tahun 1799 dan kemudian dilanjutkan oleh rezim pemerintah kolonial Hindia Belanda (termasuk selama interregnum Inggris), posisi pejabat tinggi tersebut berkedudukan sebagai Residen dan selanjutnya Gubernur (sejak tahun 1928) yang mewakili kehadiran Gubernur Jenderal di Surakarta. Posisi Residen dan selanjutnya Gubernur Surakarta tersebut dianggap sejajar dengan Susuhunan Surakarta; keadaan yang sama juga berlaku di Kesultanan Yogyakarta, dimana kedudukan mereka sejajar dengan Sultan Yogyakarta. Dengan adanya campur tangan Residen dan Gubernur Belanda di kerajaannya, kekuasaan Susuhunan sebagai penguasa dan kepala negara menjadi berkurang.[42]
Pada masa Pendudukan Jepang, Susuhunan Surakarta diakui oleh Jepang sebagai Solo-Kō. Setelah berdirinya Republik Indonesia dan Kesunanan Surakarta menyatakan bergabung di dalamnya, Susuhunan juga berkedudukan sebagai Kepala Daerah Istimewa Surakarta. Keadaan tersebut berlangsung sampai pertengahan tahun 1946, dan selanjutnya posisi Susuhunan Surakarta adalah sebagai Pemangku Takhta Adat, raja seremonial yang dihormati dan simbol pemersatu di masyarakat.
Pemerintahan Kesunanan Surakarta pada awalnya meneruskan susunan pemerintahan warisan Kesultanan Mataram. Pemerintahan kerajaan dibedakan menjadi dua institusi, yaitu Parentah Karaton (pemerintahan istana) atau Parentah Lebet dan Parentah Nagari (pemerintahan negara) yang juga disebut Parentah Jawi.[42] Sebagai negara berbentuk monarki, Susuhunan selaku raja Kesunanan Surakarta memegang seluruh kekuasaan pemerintahan negara, namun dalam menjalankan dua cabang pemerintahannya Susuhunan dibantu oleh Pangageng Parentah Karaton untuk pemerintahan istana dan Pepatih Dalem (Patih) untuk pemerintahan negara.[42] Jika Susuhunan yang bertakhta memiliki seorang putra mahkota (bergelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangkunegara Sudibya Rajaputra Narendra Mataram), maka putra mahkota tersebut merupakan orang kedua yang berkuasa di pemerintahan istana. Dan selaku Adipati Anom (secara harfiah dianggap sebagai Patih Muda), ia juga berkedudukan sebagai orang ketiga di dalam pemerintahan negara.[3]
Di dalam pemerintahan istana (Parentah Karaton) yang berpusat di Keraton Surakarta terdapat berbagai kementerian dengan masing-masing tugas dan fungsinya, seperti kesekertariatan, urusan upacara, urusan agama Islam, urusan keluarga dan putra-putri raja, urusan abdi dalem, urusan kesenian dan kebudayaan, urusan keuangan, dan sebagainya.[42] Sementara itu, pemerintahan negara (Parentah Nagari) Surakarta merupakan pelaksana utama kebijakan Susuhunan. Pelaksana utamanya adalah institusi Kepatihan yang dipimpin oleh Pepatih Dalem atau Patih, pejabat birokrasi tertinggi di Kesunanan Surakarta yang berkedudukan langsung di bawah Susuhunan. Dalam hal ini, posisi Patih seolah seperti perdana menteri, meski status Susuhunan adalah kepala negara dan kepala pemerintahan. Sejak masuknya VOC dan kemudian pemerintah kolonial Hindia Belanda ke dalam birokrasi Kesunanan Surakarta, pelantikan seorang Patih oleh Susuhunan harus sepersetujuan Gubernur Jenderal.[44] Biasanya, Patih dijabat oleh mantan Bupati, pejabat tinggi kerajaan, atau kerabat Susuhunan. Dalam beberapa periode, bahkan posisi Patih sempat dijabat secara turun-temurun.
Seorang Patih yang berkantor di Kepatihan ini oleh Susuhunan diberi hak untuk membantu mengatur negara dan mengadakan hubungan dengan daerah lain di wilayah Hindia Belanda,[42] sekaligus menjadi koordinator para Bupati dan Wedana yang memerintah di kabupaten-kabupaten di seluruh Kesunanan Surakarta. Menyesuaikan birokrasi modern, sejak akhir abad ke-19 Pepatih Dalem bersama para pejabatnya ini menjadi pelaksana pemerintahan kerajaan di bidang administrasi, keuangan, pembangunan, pendidikan, dan pengadilan.[42] Sejak era pemerintahan Susuhunan Pakubuwana IX, Patih KRA. Sasradiningrat IV menjadikan institusi Kepatihan sebagai salah satu pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, yang kemudian pada tahun 1890 melahirkan Paheman Radya Pustaka, dengan Museum Radya Pustaka yang masih berdiri sampai sekarang.[45] Institusi Kepatihan ini dibubarkan pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana XII, terlebih setelah sebagian besar bangunan kompleks Dalem Kepatihan hancur semasa Revolusi Nasional Indonesia (sekitar tahun 1948-1949).[44] Dan setelah pembekuan Daerah Istimewa Surakarta, pemerintahan istana yang berpusat di Keraton Surakarta masih lestari sampai sekarang, terdiri dari beberapa lembaga yang dikepalai oleh seorang Pangageng.[42]
Pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana X, di Kesunanan Surakarta juga terdapat Dewan Kerajaan (Raad Nagari) yang mendampingi raja beserta para abdi dalem dalam menjalankan pemerintahan.[42] Dewan tersebut terdiri dari tiga institusi, yaitu Dewan Bale Agung (Raad Bale Agung), Dewan Keraton, dan Dewan Kepatihan. Dewan Bale Agung merupakan parlemen kerajaan yang dibentuk atas persetujuan Pakubuwana X pada 21 Maret 1935, yang anggotanya terdiri dari beberapa putra Susuhunan Pakubuwana X, beberapa pegawai kerajaan, dan juga dari kalangan perseorangan.[46] Bale Agung utamanya bertugas membahas rancangan peraturan pemerintah kerajaan dan memberikan saran serta masukan kepada Susuhunan, sekaligus sebagai wadah aspirasi rakyat Surakarta. Sementara itu, Dewan Keraton yang berkantor di Sasana Wilapa Keraton Surakarta merupakan dewan pertimbangan raja, utamanya bertugas mengajukan usul serta mempertimbangkan keputusan Dewan Bale Agung.[42] Dan yang terakhir, Dewan Kepatihan, merupakan dewan pertimbangan patih yang bertugas memberikan pertimbangan atas segala keputusan Dewan Bale Agung yang telah mendapat peninjauan dari Dewan Keraton.[42]
Sama seperti seluruh monarki di Hindia Belanda, keberadaan rezim kolonial Belanda di Surakarta telah mereduksi kedudukan dan kekuasaan Susuhunan beserta pemerintahannya. Belanda tidak mencampuri urusan Parentah Karaton, namun sejak era VOC mereka telah menetapkan kontrolnya atas proses suksesi Susuhunan dan pengangkatan Patih. Dalam proses suksesi, pemerintah Hindia Belanda selalu mengajukan kontrak politik bagi calon Susuhunan yang akan bertakhta.[3] Ikut campurnya rezim kolonial di Surakarta semakin meluas, terlebih setelah berakhirnya Perang Diponegoro yang berujung pemakzulan Susuhunan Pakubuwana VI pada tahun 1830, yang membuat birokrasi Parentah Nagari di bawah pimpinan Patih menjadi kian dikontrol secara ketat oleh Belanda untuk mencegah terjadinya pemberontakan.
Sebagai bagian dari Hindia Belanda, Kesunanan Surakarta secara resmi berkedudukan sebagai negara protektorat berstatus Daerah Swapraja (Zelfbestuurende Landschappen). Bersama Kadipaten Mangkunegaran, wilayah Kesunanan Surakarta dijadikan sebuah Karesidenan yang dikepalai seorang Residen, yang kemudian pada tahun 1928 ditingkatkan menjadi Kegubernuran setingkat Provinsi dibawah pimpinan Gubernur. Kedudukan para Residen dan Gubernur tersebut dianggap sejajar dengan Susuhunan, sekaligus sebagai perpanjangan tangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berkedudukan di Batavia. Dan ketika masa Pendudukan Jepang tahun 1942-1945, Kesunanan Surakarta diberi status sebagai Kōchi, di bawah pengawasan rezim militer Jepang.
Berikut adalah daftar raja-raja Kesunanan Surakarta:
Nama | Jangka Hidup | Awal Bertahta | Akhir Memerintah | Keterangan | Keluarga | Gambar |
Susuhunan Pakubuwana II
|
18 Desember 1711 – 20 Desember 1749 (umur 38) | 1745 | 1749 | Pendiri Kesunanan Surakarta |
|
|
Susuhunan Pakubuwana III
|
17 Februari 1732 – 26 September 1788 (umur 56) | 1749 | 1788 |
|
||
Susuhunan Pakubuwana IV
|
2 September 1768 – 2 Oktober 1820 (umur 52) | 1788 | 1820 |
|
||
Susuhunan Pakubuwana V
|
3 Desember 1784 – 5 September 1823 (umur 39) | 1820 | 1823 |
|
||
Susuhunan Pakubuwana VI
|
26 April 1807 – 2 Juni 1849 (umur 42) | 1823 | 1830 | Pahlawan Nasional Indonesia |
|
|
Susuhunan Pakubuwana VII
|
8 Juli 1796 – 10 Mei 1858 (umur 61) | 1830 | 1858 |
|
||
Susuhunan Pakubuwana VIII
|
20 April 1789 – 28 Desember 1861 (umur 72) | 1858 | 1861 |
|
||
Susuhunan Pakubuwana IX
|
22 Desember 1830 – 16 Maret 1893 (umur 62) | 1861 | 1893 |
|
||
Susuhunan Pakubuwana X
|
29 November 1866 – 20 Februari 1939 (umur 72) | 1893 | 1939 | Pahlawan Nasional Indonesia |
|
|
Susuhunan Pakubuwana XI
|
1 Februari 1886 – 1 Juni 1945 (umur 59) | 1939 | 1945 |
|
||
Susuhunan Pakubuwana XII
|
14 April 1925 – 11 Juni 2004 (umur 79) | 1945 | 2004 | Menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia; Kepala Daerah Istimewa Surakarta (1945–1946); Bersama Mohammad Hatta dan Adipati Mangkunegara VIII turut menjadi Delegasi Indonesia di KMB (1949) |
|
|
Susuhunan Pakubuwana XIII
|
28 Juni 1948 (umur 76) | 2004 | Petahana |
|
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.