Remove ads
pendudukan Hindia Belanda oleh Jepang selama Perang Dunia II, 1942-1945 Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Masa pendudukan Jepang di Nusantara yang saat itu masih bernama Hindia Belanda dimulai pada tahun 1942 dan berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945 seiring dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan M. Hatta.
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Pendudukan Jepang di Hindia Belanda | |||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1942–1945 | |||||||||||||||
Bekas wilayah Hindia Belanda (merah tua) dengan Kekaisaran Jepang (merah muda) pada wilayah terluasnya pada masa Perang Pasifik | |||||||||||||||
Status | Pendudukan militer oleh Kekaisaran Jepang | ||||||||||||||
Ibu kota | Djakarta | ||||||||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Jepang, Indonesia | ||||||||||||||
Pemerintahan | Pendudukan militer | ||||||||||||||
Era Sejarah | Perang Dunia II | ||||||||||||||
8 Maret 1942 | |||||||||||||||
1941–1945 | |||||||||||||||
27 Februari 1942 | |||||||||||||||
1 Maret 1942 | |||||||||||||||
1943 - 1944 | |||||||||||||||
14 Februari 1945 | |||||||||||||||
15 Agustus 1945 | |||||||||||||||
17 Agustus 1945 | |||||||||||||||
Mata uang | Rupiah Hindia Belanda | ||||||||||||||
| |||||||||||||||
Sekarang bagian dari | Indonesia Timor-Leste | ||||||||||||||
Bagian dari seri mengenai |
---|
Garis waktu |
Portal Indonesia |
Bagian dari seri mengenai |
---|
Garis waktu |
Topik |
|
Pada Mei 1940, awal Perang Dunia II, Belanda diduduki oleh Jerman Nazi. Hindia Belanda mengumumkan keadaan siaga dan mengalihkan ekspor untuk Kekaisaran Jepang ke Amerika Serikat dan Inggris. Negosiasi dengan Jepang yang bertujuan untuk mengamankan persediaan bahan bakar pesawat gagal pada Juni 1941, dan Jepang memulai penaklukan hampir seluruh wilayah Asia Tenggara pada bulan Desember di tahun yang sama.[1] Pada bulan yang sama, faksi dari Sumatra menerima bantuan Jepang untuk mengadakan revolusi terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda yang terakhir dikalahkan Jepang pada Maret 1942. Pengalaman penduduk di bawah penguasaan Jepang bervariasi, tergantung tempat seseorang tinggal dan status sosial orang tersebut. Bagi yang tinggal di daerah yang dianggap penting dalam peperangan, mereka mengalami siksaan, terlibat perbudakan seks, penahanan tanpa alasan dan hukuman mati, serta kejahatan perang lainnya. Orang Belanda dan campuran Indonesia-Belanda merupakan target sasaran dalam penguasaan Jepang.
Selama masa pendudukan, Jepang juga membentuk badan persiapan kemerdekaan yaitu BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau dalam bahasa Jepang: 独立準備調査会, Dokuritsu Junbi Chōsakai. Badan ini bertugas membentuk persiapan-persiapan pra-kemerdekaan dan membuat dasar negara dan digantikan oleh PPKI atau dalam bahasa Jepang: 独立準備委員会, Dokuritsu Junbi Iinkai yang bertugas menyiapkan kemerdekaan.
Pada Bulan Oktober 1941, Jenderal Hideki Tojo menggantikan Konoe Fumimaro sebagai Perdana Menteri Jepang.[2] Sebenarnya, sampai akhir tahun 1940, pimpinan militer Tambelang tidak menghendaki melawan beberapa negara sekaligus, namun sejak pertengahan tahun 1941, mereka melihat bahwa Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda harus dihadapi sekaligus apabila mereka ingin menguasai sumber daya alam di Asia Tenggara. Apalagi setelah Amerika melancarkan embargo minyak bumi yang sangat dibutuhkan untuk industri di Jepang maupun untuk keperluan perang.
Laksamana Isoroku Yamamoto, Panglima Angkatan Laut Jepang, mengembangkan sebuah strategi perang yang sangat berani, yaitu mengerahkan seluruh kekuatan armadanya untuk dua operasi besar. Seluruh potensi Angkatan Laut Jepang mencakup 6 kapal induk (pengangkut pesawat tempur), 10 kapal perang, 18 kapal penjelajah berat, 20 kapal penjelajah ringan, 4 kapal pengangkut perlengkapan, 112 kapal perusak, 65 kapal selam serta 2.274 pesawat tempur. Kekuatan pertama, yaitu 6 kapal induk, 2 kapal perang, 11 kapal perusak serta lebih dari 1.400 pesawat tempur, tanggal 7 Desember 1941, akan menyerang secara mendadak basis Armada Pasifik Amerika Serikat di Pearl Harbor di kepulauan Hawaii. Sedangkan kekuatan kedua, sisa kekuatan Angkatan Laut yang mereka miliki, mendukung Angkatan Darat dalam Operasi Selatan, yaitu penyerangan atas Filipina dan Malaya/Singapura, yang akan dilanjutkan ke Jawa. Kekuatan yang dikerahkan ke Asia Tenggara adalah 11 Divisi Infanteri yang didukung oleh 7 resimen tank serta 795 pesawat tempur. Seluruh operasi direncanakan selesai dalam 150 hari. Admiral Chuichi Nagumo memimpin armada yang ditugaskan menyerang Pearl Harbor.[3]
Pada pagi 7 Desember 1941, 360 pesawat terbang yang terdiri dari pembom pembawa torpedo serta sejumlah pesawat tempur diberangkatkan dalam dua gelombang. Pengeboman Pearl Harbor ini berhasil menghancurkan 188 pesawat dan merusak delapan kapal perang Angkatan Laut Amerika Serikat. Selama dua jam pengeboman, 2.402 orang Amerika tewas dan 1.283 lainnya luka-luka.[4] Namun tiga kapal induk Amerika selamat, karena pada saat itu tidak berada di Pearl Harbor.
Tanggal 8 Desember 1941, Kongres Amerika Serikat menyatakan perang terhadap Jepang.[5] Tiga hari kemudian, Jerman menyatakan perang terhadap Amerika Serikat. Kondisi ini menjadikan Amerika Serikat tergabung dengan pasukan Sekutu dan terlibat pertempuran di Eropa dan Asia Pasifik.[4]
Perang Pasifik ini berpengaruh besar terhadap gerakan kemerdekaan negara-negara di Asia Timur, termasuk Indonesia. Tujuan Jepang menyerang dan menduduki Hindia Belanda adalah untuk menguasai sumber-sumber alam, terutama minyak bumi, guna mendukung potensi perang Jepang serta mendukung industrinya. Jawa dirancang sebagai pusat penyediaan bagi seluruh operasi militer di Asia Tenggara, dan Sumatra sebagai sumber minyak utama.
Pada tanggal 8 Desember 1941, pemerintah di pengasingan Belanda menyatakan perang terhadap Jepang.[6] Pada bulan Januari 1942 Komando Amerika-Inggris-Belanda-Australia dibentuk untuk mengoordinasikan pasukan Sekutu di Asia Tenggara, di bawah komando Jenderal Archibald Wavell.[7] pada minggu-minggu menjelang invasi, pejabat senior pemerintah Belanda mengasingkan diri, membawa tahanan politik, keluarga, dan staf pribadi ke Australia. Sebelum kedatangan pasukan Jepang, terdapat konflik antara kelompok-kelompok di Indonesia yang mengakibatkan banyak orang terbunuh, hilang, atau bersembunyi. Properti milik orang Cina dan Belanda dijarah dan dihancurkan.[8]
Invasi pada awal tahun 1942 berlangsung cepat dan menyeluruh. Pada bulan Januari 1942, sebagian Sulawesi dan Kalimantan berada di bawah kendali Jepang. Pada bulan Februari, Jepang telah mendarat di Sumatera dan mendorong orang Aceh untuk memberontak melawan Belanda.[9] Pada tanggal 19 Februari, setelah merebut Ambon, Satgas Timur Jepang mendarat di Timor, menerjunkan unit parasut khusus ke Timor Barat dekat Kupang, dan mendarat di daerah Dili di Timor Portugis untuk mengusir pasukan Sekutu yang menyerbu pada bulan Desember.[10]
Pada tanggal 27 Februari, upaya terakhir angkatan laut Sekutu untuk membendung Jepang digagalkan oleh kekalahan mereka dalam Pertempuran Laut Jawa.[9] Dari tanggal 28 Februari hingga 1 Maret 1942, pasukan Jepang mendarat di empat tempat di sepanjang pantai utara Jawa hampir tanpa gangguan. Pertempuran paling sengit terjadi di titik-titik invasi di Ambon, Timor, Kalimantan, dan di Laut Jawa. Di tempat yang tidak ada pasukan Belanda, seperti Bali, tidak terjadi pertempuran. Pada tanggal 8 Maret, tentara Jepang menyita stasiun radio NIROM di Batavia dan memerintahkan siaran tetap dilanjutkan. Para pegawai radio dengan menantang memainkan lagu Het Wilhelmus yang mengakibatkan Jepang mengeksekusi 3 orang di antaranya.[11] Pada tanggal 9 Maret, komandan Belanda menyerah bersama Gubernur Jenderal Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer.[9]
Pendudukan Jepang pada awalnya disambut dengan semangat optimis oleh masyarakat Indonesia yang datang menemui tentara Jepang sambil mengibarkan bendera dan meneriakkan dukungan seperti “Jepang adalah kakak kita” dan “banzai Dai Nippon”. Ketika Jepang maju, orang-orang Indonesia yang memberontak di hampir seluruh wilayah nusantara membunuh kelompok-kelompok orang Eropa (khususnya Belanda) dan memberi tahu Jepang yang mereka percaya mengenai keberadaan kelompok-kelompok yang lebih besar.[12] Seperti yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer: “Dengan kedatangan Jepang, hampir semua orang penuh harapan, kecuali mereka yang pernah bekerja untuk melayani Belanda."[13]
Berharap bahwa para administrator Belanda akan tetap dipegang oleh Jepang untuk menjalankan koloni, sebagian besar orang Belanda menolak untuk pergi. Sebaliknya, mereka dikirim ke kamp penahanan dan penggantinya dari Jepang atau Indonesia ditempatkan pada posisi senior dan teknis.[14] Pasukan Jepang menguasai birokrasi sektor infrastruktur dan layanan pemerintah seperti pelabuhan dan layanan pos. Selain 100.000 warga sipil Eropa (dan beberapa warga Tiongkok) yang diinternir, 80.000 tentara Belanda, Inggris, Australia, dan Sekutu AS dikirim ke kamp tawanan perang dengan tingkat kematian antara 13 dan 30 persen. Kelas penguasa Indonesia (terdiri dari pejabat lokal dan politisi yang pernah bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda) bekerja sama dengan otoritas militer Jepang yang pada gilirannya membantu menjaga elit politik lokal tetap berkuasa dan mempekerjakan mereka untuk memasok kebutuhan industri, bisnis, dan angkatan bersenjata Jepang yang baru datang. Kerja sama Indonesia memungkinkan pemerintah militer Jepang untuk fokus pada pengamanan perairan dan udara di kepulauan besar tersebut dan menggunakan pulau-pulaunya sebagai pos pertahanan terhadap serangan Sekutu (yang diasumsikan kemungkinan besar berasal dari Australia).[15]
Jepang membagi Indonesia menjadi tiga wilayah terpisah; Sumatera (bersama Malaya) ditempatkan di bawah Angkatan Darat ke-25, Jawa dan Madura di bawah Angkatan Darat ke-16, sedangkan Kalimantan dan Indonesia bagian timur dikuasai oleh Armada Selatan ke-2 Angkatan Laut Kekaisaran Jepang (IJN) yang berpangkalan di Makassar. Angkatan Darat ke-16 bermarkas di Jakarta dan Angkatan Darat ke-25 bermarkas di Singapura hingga April 1943, ketika komandonya dipersempit menjadi hanya di Sumatera dan markas besarnya dipindahkan ke Bukittinggi.[16][17]
Di Jawa, Angkatan Darat ke-16 berencana mengelola Jawa sebagai satu entitas kesatuan. Namun pihak militer tidak membawa cukup administrtor yang handal untuk membentuk badan terpisah. Sejumlah besar penduduk Jepang di Jawa, yang bisa memberi nasihat kepada pemerintah, dibawa ke Australia ketika perang pecah, sementara sekelompok pejabat sipil terbunuh dalam Pertempuran Laut Jawa. Permasalahan ini diperparah oleh fakta bahwa hanya sedikit orang Indonesia yang bisa berbahasa Jepang. Pada bulan Agustus 1942 pemerintahan secara resmi dipisahkan dari komando tentara. Pemerintahan militer (gunsei) dikepalai oleh kepala staf Angkatan Darat ke-16 (gunseikan). Wakilnya mengepalai bagian terpenting pemerintahan, Departemen Urusan Umum (Jepang: 総務部), yang bertindak sebagai sekretariat dan mengeluarkan kebijakan. Ada tiga Gunseikan untuk Jawa selama pendudukan:[18][19][20]
Sumatera juga punya Gunseikan. Di wilayah yang dikuasai angkatan laut, rencananya wilayah tersebut akan diubah menjadi koloni permanen yang dikelola oleh birokrat sipil Jepang, namun tetap berada di bawah angkatan laut. Oleh karena itu, IJN membawa serta pegawai sipilnya. Kepala administrator sipil (sōkan) bertanggung jawab langsung kepada Komandan Armada Area Barat Daya. Di bawah Sōkan ada tiga departemen administrasi yang bermarkas di Makassar, Banjarmasin, dan Ambon.[21][22]
Kebijakan untuk pendudukan sangat bervariasi, tergantung pada lokasi dan posisi sosial. Banyak orang yang tinggal di wilayah yang dianggap penting bagi upaya perang mengalami penyiksaan, perbudakan seks, penangkapan dan eksekusi sewenang-wenang serta kejahatan perang lainnya. Ribuan orang dibawa keluar dari Indonesia sebagai pekerja paksa (romusha) untuk proyek-proyek militer Jepang, termasuk jalur kereta api Burma-Siam dan Saketi-Bayah. Banyak dari mereka menderita atau meninggal akibat penganiayaan dan kelaparan. Diperkirakan antara 200.000 hingga 500.000 romusha yang direkrut dari Jawa dipaksa bekerja oleh militer Jepang.[23]
Puluhan ribu masyarakat Indonesia kelaparan, bekerja sebagai buruh paksa, atau terpaksa meninggalkan rumah mereka. Dalam Revolusi Nasional berikutnya, puluhan bahkan ratusan ribu orang akan tewas dalam pertempuran melawan Jepang, pasukan Sekutu, dan sesama masyarakat Indonesia lainnya, sebelum kemerdekaan tercapai.[24][16] Laporan PBB selanjutnya menyatakan bahwa 4.000.000 orang tewas di Indonesia akibat kelaparan dan kerja paksa selama pendudukan Jepang, termasuk 30.000 kematian warga sipil di interniran Eropa. Sebuah penelitian pemerintah Belanda yang menggambarkan bagaimana militer Jepang merekrut perempuan sebagai pelacur secara paksa di Indonesia menyimpulkan bahwa di antara 200 hingga 300 perempuan Eropa yang bekerja di rumah bordil militer Jepang, “sekitar enam puluh lima orang kemungkinan besar dipaksa menjadi pelacur."[25][26] Perempuan muda lainnya (dan keluarga mereka), yang dihadapkan pada berbagai tekanan di kamp interniran atau di masyarakat masa perang, menyetujui tawaran pekerjaan, yang sifatnya sering kali tidak disebutkan secara eksplisit.[27][28]
Sejak awal datang ke Indonesia pada tahun 1942 hingga melenggang keluar Indonesia pada tahun 1945, Jepang banyak memproduksi film-film propaganda. Kala itu, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang terpengaruh. Terlebih dengan bumbu dan gorengan semangat anti-sekutu—yang mana Belanda termasuk di dalamnya—dan telah lama menjajah Indonesia.
Ketika sekutu masuk ke Indonesia, film-film propaganda produksi Jepang ini disita. Pada Agustus 2020, Nederlandsch Instituut voor Beeld en Geluid merilis film-film propaganda Jepang hasil sitaan sekutu yang diproduksi selama Perang Pasifik ketika Hindia-Belanda diduduki oleh Jepang ke Wikimedia Commons.
Berikut beberapa film propaganda Jepang yang telah tersedia di Wikimedia Commons :
Sistem stratifikasi sosial pada zaman Jepang menempatkan golongan bumiputera di atas golongan Eropa maupun golongan Timur Asing, kecuali Jepang. Hal ini karena Jepang ingin mengambil hati rakyat Indonesia untuk membantu mereka dalam perang Asia Timur Raya.
Selama masa pendudukan Jepang, kehidupan sosial dan budaya masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan. Penderitaan rakyat bertambah karena segala kegiatan rakyat dicurahkan untuk memenuhi kebutuhan perang Jepang dalam menghadapi musuh-musuhnya.[30] Terlebih rakyat dijadikan pekerja romusha (kerja paksa zaman Jepang) sehingga banyak jatuh korban akibat kelaparan dan penyakit. Salah satu kebijakan Jepang adalah penggantian nama-nama kota dengan bahasa Indonesia, seperti Batavia menjadi Jakarta dan Buitenzorg menjadi Bogor. Kebijakan lain di bidang sosial yang dapat dikatakan positif adalah Kinrohoshi, yaitu gerakan kerja bakti massal di tiap desa. Salah satu kebijakan Jepang di bidang budaya menjadi pemicu perlawanan rakyat Indonesia. Sikap Seikerei atau kewajiban bagi masyarakat untuk membungkuk 90 derajat ke arah matahari terbit mendapat pertentangan dari masyarakat terutama kalangan ulama. Salah satunya peristiwa Singaparna yaitu perlawanan yang dilakukan KH Zainal Mustafa, seorang pemimpin Pondok Pesantren Sukamanah, Tasikmalaya, Jawa Barat.[30]
Pemberontakan dipimpin seorang ulama muda Tengku Abdul Jalil, guru mengaji di Cot Plieng, Lhokseumawe.[31] Usaha Jepang untuk membujuk sang ulama tidak berhasil, sehingga Jepang melakukan serangan mendadak di pagi buta sewaktu rakyat sedang melaksanakan salat Subuh. Dengan persenjataan sederhana/seadanya rakyat berusaha menahan serangan dan berhasil memukul mundur pasukan Jepang untuk kembali ke Lhokseumawe. Begitu juga dengan serangan kedua, berhasil digagalkan oleh rakyat. Baru pada serangan terakhir (ketiga) Jepang berhasil membakar masjid sementara pemimpin pemberontakan (Teuku Abdul Jalil) berhasil meloloskan diri dari musuh, namun akhirnya tertembak saat sedang salat.
Perlawanan fisik ini terjadi di pesantren Sukamanah Singaparna Tasikmalaya, Jawa Barat di bawah pimpinan KH. Zainal Mustafa, tahun 1943. Dia menolak dengan tegas ajaran yang berbau Jepang, khususnya kewajiban untuk melakukan Seikerei setiap pagi, yaitu memberi penghormatan kepada Kaisar Jepang dengan cara membungkukkan badan ke arah matahari terbit.[32] Kewajiban Seikerei ini jelas menyinggung perasaan umat Islam Indonesia karena termasuk perbuatan syirik/menyekutukan Tuhan. Selain itu diapun tidak tahan melihat penderitaan rakyat akibat tanam paksa.
Saat utusan Jepang akan menangkap, KH. Zainal Mustafa telah mempersiapkan para santrinya yang telah dibekali ilmu bela diri untuk mengepung dan mengeroyok tentara Jepang, yang akhirnya mundur ke Tasikmalaya.
Jepang memutuskan untuk menggunakan kekerasan sebagai upaya untuk mengakhiri pembangkangan ulama tersebut. Pada tanggal 25 Februari 1944, terjadilah pertempuran sengit antara rakyat dengan pasukan Jepang setelah salat Jumat.[33] Meskipun berbagai upaya perlawanan telah dilakukan, namun KH. Zainal Mustafa berhasil juga ditangkap dan dibawa ke Tasikmalaya kemudian dibawa ke Jakarta untuk menerima hukuman mati dan dimakamkan di Ancol.[34]
Peristiwa Indramayu terjadi bulan April 1944 disebabkan adanya pemaksaan kewajiban menyetorkan sebagian hasil padi dan pelaksanaan kerja paksa yang telah mengakibatkan penderitaan rakyat yang berkepanjangan.[35] Pemberontakan ini dipimpin oleh Haji Madriyas dan kawan-kawan di desa Karang Ampel, Sindang, Kabupaten Indramayu. Pasukan Jepang sengaja bertindak kejam terhadap rakyat di kedua wilayah (Lohbener dan Sindang) agar daerah lain tidak ikut memberontak setelah mengetahui kekejaman yang dilakukan pada setiap pemberontakan.
Teuku Hamid adalah seorang perwira Giyugun, bersama dengan satu pleton pasukannya melarikan diri ke hutan untuk melakukan perlawanan. Ini terjadi pada bulan November 1944.
Menghadapi kondisi tersebut, pemerintah Jepang melakukan ancaman akan membunuh para keluarga pemberontak jika tidak mau menyerah. Kondisi tersebut memaksa sebagian pasukan pemberontak menyerah, sehingga akhirnya dapat ditumpas.
Di daerah Aceh lainnya timbul pula upaya perlawanan rakyat seperti di Kabupaten Berenaih yang dipimpin oleh kepala kampung dan dibantu oleh satu regu Giyugun (perwira tentara sukarela), namun semua berakhir dengan kondisi yang sama yakni berhasil ditumpas oleh kekuatan militer Jepang dengan sangat kejam.
Perlawanan ini dipimpin oleh Syodanco Supriyadi, Syodanco Muradi, dan Dr. Ismail.[36] Perlawanan ini disebabkan karena persoalan pengumpulan padi, rōmusha maupun Heiho yang diperlakukan secara paksa dan di luar batas perikemanusiaan. Sebagai putera rakyat para pejuang tidak tega melihat penderitaan rakyat. Di samping itu sikap para pelatih militer Jepang yang angkuh dan merendahkan prajurit-prajurit Indonesia. Perlawanan PETA di Blitar merupakan perlawanan yang terbesar di Jawa. Tetapi dengan tipu muslihat Jepang melalui Kolonel Katagiri (Komandan pasukan Jepang), pasukan PETA berhasil ditipu dengan pura-pura diajak berunding. Empat perwira PETA dihukum mati dan tiga lainnya disiksa sampai mati. Sedangkan Syodanco Supriyadi tidak diketahui keberadaannya hingga akhirnya dinyatakan menghilang.[37]
Perlawanan ini dipimpin oleh Perwira Gyugun Teuku Hamid. Latar belakang perlawanan ini karena sikap Jepang yang angkuh dan kejam terhadap rakyat pada umumnya dan prajurit Indonesia pada khususnya.
Perlawanan ini dipimpin oleh pemimpin regu (Bundanco), Kusaeri bersama rekan-rekannya. Perlawanan yang direncanakan dimulai tanggal 21 April 1945 diketahui Jepang sehingga Kusaeri ditangkap pada tanggal 25 April 1945. Kusaeri divonis hukuman mati tetapi tidak terlaksana karena Jepang terdesak oleh Sekutu.
Perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Pang Suma berkobar di Kalimantan Barat. Pang Suma adalah pemimpin suku Dayak yang besar pengaruhnya di kalangan suku-suku di daerah Tayan dan Meliau. Perlawanan ini bersifat gerilya untuk mengganggu aktivitas Jepang di Kalimantan.
Momentum perlawanan Pang Suma diawali dengan pemukulan seorang tenaga kerja Dayak oleh pengawas Jepang, satu di antara sekitar 130 pekerja pada sebuah perusahaan kayu Jepang. Kejadian ini kemudian memulai sebuah rangkaian perlawanan yang mencapai puncak dalam sebuah serangan balasan Dayak yang dikenal dengan Perang Majang Desa, dari April hingga Agustus 1944 di daerah Tayan-Meliau-Batang Tarang (Kab. Sanggau). Sekitar 600 pejuang kemerdekaan dibunuh oleh Jepang, termasuk Pang Suma.
Perlawanan ini dimulai dari gerakan kultural Koreri pimpinan Angganita Manufandu tahun 1939. Saat Jepang sampai Angganita dipenjara pemerintah Jepang sehingga gerakan dipimpin oleh Stefanus Simioparef yang kemudian menjadi gerakan bernuansa politis. Pertempuran terbuka dimulai 10 October 1942, di Pantai Manswan, Selatan Biak yang mengakibatkan sekitar korban 2000 orang.[38] Perlawanan ini dilatarbelakangi oleh penderitaan rakyat yang diperlakukan sebagai budak belian, dipukuli, dianiaya tapi juga untuk melawan kolonial dan pengaruh dari luar yang mulai merubah agama dan budaya lokal. Dalam perlawanan tersebut rakyat banyak jatuh korban, tetapi rakyat melawan dengan gigih. Pimpinan lain gerakan ini adalah Lukas Rumkorem yang kemudian mendirikan iterasi pertama Perserikatan Indonesia Merdeka (PIM), partai politik pertama di Biak pada September 1945, yang mengadakan pertemuan di September hingga November di Nusi, lalu kemudian pindah sejak Januari 1946 ke Bosnek.[39]
Perlawanan ini termasuk dari sebaran gerakan Koreri di Biak dan dipimpin oleh Nimrod. Ketika Sekutu sudah mendekat maka memberi bantuan senjata kepada pejuang. Nimrod lalu dihukum pancung oleh Jepang. Tetapi muncullah seorang pemimpin gerilya baru yakni Silas Papare yang saat itu bekerja sama dengan NEFIS, intelejen Belanda. Dia menjadi penghubung antara mantan pasukan gerilya dengan sekutu.[40]
Perlawanan ini dipimpin oleh Simson. Dalam perlawanan rakyat di Papua, terjadi hubungan kerja sama antara gerilyawan dengan pasukan penyusup Sekutu sehingga rakyat mendapatkan modal senjata dari Sekutu.
Sebenarnya bentuk perlawanan terhadap pemerintah Jepang yang dilakukan rakyat Indonesia tidak hanya terbatas pada bentuk perlawanan fisik saja tetapi Anda dapat pula melihat bentuk perlawanan lain/gerakan bawah tanah seperti yang dilakukan oleh:
Pertempuran Laut Jawa: Dalam pertempuran di Laut Jawa dekat Surabaya yang berlangsung selama tujuh jam, Angkatan Laut Sekutu dihancurkan, kapal-kapal perusak Amerika lolos ke Australia. Sekutu kehilangan lima kapal perangnya, sedangkan Jepang hanya menderita kerusakan pada satu kapal perusaknya (Destroyer). Rear Admiral Karel Willem Frederik Marie Doorman, Komandan Angkatan Laut Hindia Belanda, yang baru dua hari sebelumnya, tanggal 25 Februari 1942 ditunjuk menjadi Tactical Commander armada tentara Sekutu ABDACOM, tenggelam bersama kapal benderanya De Ruyter.
Tanggal 28 Februari 1942, Tentara Angkatan Darat ke-16 di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi Imamura mendarat di tiga tempat di Jawa. Pertama adalah pasukan Divisi ke-2 mendarat di Merak,Banten, kedua adalah Resimen ke-230 di Eretan Wetan, dekat Indramayu dan yang ketiga adalah Divisi ke-48 beserta Resimen ke-56 di Kragan. Ketiganya segera menggempur pertahanan tentara Belanda. Setelah merebut Pangkalan Udara Kalijati (sekarang Lanud Suryadarma), Letnan Jenderal Imamura membuat markasnya di sana. Imamura memberikan ultimatum kepada Belanda, bahwa apabila tidak menyerah, maka tentara Jepang akan menghancurkan tentara Belanda.
Pada Maret 1942, pasukan-pasukan Sekutu di Jawa diberitahukan oleh mata-mata bahwa suatu kekuatan Jepang sejumlah 250.000 sedang mendekati Bandung, sementara kenyataannya kekuatannya hanya sepersepuluh jumlah itu. Informasi yang keliru itu mungkin merupakan bagian dari alasan mengapa Sekutu menyerah di Jawa.
Belanda sesungguhnya memindahkan kaum Komunis yang ditahan di kamp-kamp penjara di Hindia Belanda, sebagian dari mereka sejak 1926, ke penjara-penjara di Australia ketika Jepang tiba.
Pada 9 Maret 1942, Gubernur Jenderal Jonkheer Tjarda van Starkenborgh Stachouwer bersama Letnan Jenderal Hein ter Poorten, Panglima Tertinggi Tentara India-Belanda datang ke Kalijati dan dimulai perundingan antara Pemerintah Hindia Belanda dengan pihak Tentara Jepang yang dipimpin langsung oleh Letnan Jenderal Imamura. Imamura menyatakan, bahwa Belanda harus menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat. Letnan Jenderal ter Poorten, mewakili Gubernur Jenderal menanda-tangani pernyataan menyerah tanpa syarat. Dengan demikian secara de facto dan de jure, seluruh wilayah bekas Hindia Belanda sejak itu berada di bawah kekuasaan dan administrasi Jepang. Hari itu juga, tanggal 9 Maret Jenderal Hein ter Poorten memerintahkan kepada seluruh tentara Hindia Belanda untuk juga menyerahkan diri kepada balatentara Kekaisaran Jepang.
Para penguasa yang lain, segera melarikan diri. Dr. Hubertus Johannes van Mook, Wakil Gubernur Jenderal untuk Hindia Belanda bagian timur, Dr. Charles Olke van der Plas, Gubernur Jawa Timur, melarikan diri ke Australia. Jenderal Ludolf Hendrik van Oyen, perwira Angkatan Udara Kerajaan Belanda melarikan diri dan meninggalkan isterinya di Bandung. Tentara KNIL yang berjumlah sekitar 20.000 di Jawa yang tidak sempat melarikan diri ke Australia ditangkap dan dipenjarakan oleh tentara Jepang. Sedangkan orang-orang Eropa lain dan juga warganegara Amerika Serikat, diinternir. Banyak juga warga sipil tersebut yang dipulangkan kembali ke Eropa.
Secara resmi Jepang telah menguasai Indonesia sejak tanggal 8 Maret 1942, ketika Panglima Tertinggi Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat di Kalijati, Subang. Jepang tanpa banyak menemui perlawanan yang berarti berhasil menduduki Indonesia. Bahkan, bangsa Indonesia menyambut kedatangan balatentara Jepang dengan perasaan senang, perasaan gembira dan disambut baik karena akan membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan bangsa Belanda.
Pada April 1942, sekitar 200 tentara Sekutu yang telah melarikan diri ke bukit-bukit di Jawa Timur dan terus berperang, ditangkap oleh Jepang di bawah perintah Imamura. Mereka dikumpulkan dan dimasukkan ke kandang-kandang ternak dari bambu, dibawa dengan kereta-kereta api terbuka ke Surabaya, lalu dibawa ke laut dan dilemparkan ke ikan-ikan hiu, sementara masih berada di dalam kandang-kandang bambu itu. Imamura dinyatakan bersalah atas kekejaman ini oleh sebuah peradilan militer Australia setelah perang.
Pilihan satu-satunya yang dimiliki Soekarno dan Hatta adalah pura-pura bekerja sama dengan Jepang. Tujuan akhirnya, sudah tentu, bukanlah untuk mendukung Jepang, melainkan untuk mendapatkan kemerdekaan untuk Indonesia. Belakangan, Belanda yang kembali akan mencoba untuk menuduh Soekarno sebagai kolaborator Jepang guna mendapatkan dukungan Inggris dalam menghadapi republik Indonesia yang baru terbentuk.
Sjahrir memimpin gerakan di bawah tanah dari rumah kakak perempuannya di Cipanas, dekat Bogor. Informasi sering kali dan dengan diam-diam dibagikan Soekarno, yang mendapatkannya dari lingkaran dalam Jepang, dan Sjahrir.
Pada mulanya, propaganda Jepang kedengaran seperti perbaikan dibandingkan dengan pemerintahan Belanda. Setelah itu, pasukan-pasukan Jepang mulai mencuri makanan dan menangkapi orang untuk dijadikan pekerja paksa, sehingga pandangan bangsa Indonesia terhadap mereka mulai berbalik.
Militer Jepang membuat tiga kesalahan besar terhadap bangsa Indonesia:
Selain itu, Jepang menahan banyak warga sipil Belanda di kamp-kamp tahanan dalam kondisi-kondisi yang sangat buruk, dan memperlakukan tahanan perang militer di Indonesia dalam keadaan yang buruk pula.
Namun, kejahatan-kejahatan perang di tempat yang sangat serius pada kenyataannya tidak seburuk dengan apa yang dilakukan di Tiongkok atau Korea pada masa yang sama. Sejumlah komandan, seperti misalnya Jenderal Hitoshi Imamura di Jawa, secara terbuka dikritik di koran-koran Jepang karena terlalu lunak. Bahkan ada sejumlah perwira Jepang yang bersimpati dengan gagasan kemerdekaan Indonesia, dan yang bahkan memberikan dukungan mereka kepada tokoh-tokoh dan organisasi politik Indonesia, hingga kepada Soekarno sendiri.
Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta, bertemu dengan Jenderal Moichiro Yamamoto dan bermalam di kediaman Laksamana Muda Maeda Tadashi. Dari komunikasi antara Hatta dan tangan kanan komandan Jepang di Jawa ini, Soekarno dan Hatta menjadi yakin bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu, dan tidak memiliki wewenang lagi untuk memberikan kemerdekaan.
Tentara Pembela Tanah Air, kelompok muda radikal, dan rakyat Jakarta mengorganisasi pertahanan di kediaman Soekarno. Selebaran kemudian dibagi-bagikan berisi tentang pengumuman proklamasi kemerdekaan. Adam Malik juga mengirim pesan singkat pengumuman Proklamasi ke luar negeri. Meskipun pendudukan Jepang memiliki aspek negatif, seperti kerja paksa dan penggunaan bahasa Jepang, itu juga memainkan peran penting dalam mempersiapkan jalan bagi kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1945, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.[54]
18 Agustus - PPKI membentuk sebuah pemerintahan sementara dengan Soekarno sebagai Presiden dan Hatta sebagai Wakil Presiden. Piagam Jakarta yang memasukkan kata "Islam" di dalam sila Pancasila, dihilangkan dari mukadimah konstitusi yang baru.
Republik Indonesia yang baru lahir ini terdiri 8 provinsi: Sumatra, Kalimantan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil.
Pada 22 Agustus Jepang mengumumkan mereka menyerah di depan umum di Jakarta. Jepang melucuti senjata mereka dan membubarkan PETA Dan Heiho. Banyak anggota kelompok ini yang belum mendengar tentang kemerdekaan.
23 Agustus - Soekarno mengirimkan pesan radio pertama ke seluruh negeri Indonesia. Badan Keamanan Rakyat, angkatan bersenjata Indonesia yang pertama mulai dibentuk dari bekas anggota PETA dan Heiho. Beberapa hari sebelumnya, beberapa batalion PETA telah diberitahu untuk membubarkan diri.
29 Agustus - Rancangan konstitusi bentukan PPKI yang telah diumumkan pada 18 Agustus, ditetapkan sebagai UUD 45. Soekarno dan Hatta secara resmi diangkat menjadi Presiden dan Wakil Presiden. PPKI kemudian berubah nama menjadi KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat). KNIP ini adalah lembaga sementara yang bertugas sampai pemilu dilaksanakan. Pemerintahan Republik Indonesia yang baru, Kabinet Presidensial, mulai bertugas pada 31 Agustus.
Sesuai dengan perjanjian Wina pada tahun 1942, bahwa negara-negara sekutu bersepakat untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang kini diduduki Jepang pada pemilik koloninya masing-masing bila Jepang berhasil diusir dari daerah pendudukannya.
Menurut Sekutu sebagai pihak yang memenangkan Perang Dunia II, Lord Mountbatten sebagai Komandan Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara adalah orang yang diserahi tanggung jawab kekuasaan atas Sumatra dan Jawa. Tentara Australia diberi tanggung jawab terhadap Kalimantan dan Indonesia bagian Timur.
Pada 23 Agustus 1945 tentara Belanda mendarat di Sabang, Aceh.
15 September 1945, tentara sekutu tiba di Jakarta, ia didampingi Dr Charles van der Plas, wakil Belanda pada Sekutu. Kehadiran tentara sekutu ini, diboncengi NICA (Netherland Indies Civil Administration - pemerintahan sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr Hubertus J van Mook.
Kebijakan pertama yang dilakukan Dai Nippon (大日本、だいにっぽん、Jepang Raya) adalah melarang semua rapat dan kegiatan politik. Pada tanggal 20 Maret 1942, dikeluarkan peraturan yang membubarkan semua organisasi politik dan semua bentuk perkumpulan. Pada tanggal 8 September 1942 dikeluarkan UU no. 2 Jepang mengendalikan seluruh organisasi nasional.
Selain itu, Jepang pun melakukan propaganda untuk menarik simpati bangsa Indonesia dengan cara:
Selain propaganda, Jepang juga melakukan berbagai tindakan nyata berupa pembentukan badan-badan kerjasama seperti berikut:
Penerapan sistem Autarki (daerah yang harus memenuhi kebutuhan sendiri dan kebutuhan perang). Sistem ini diterapkan di setiap wilayah ekonomi. Contoh Jawa menjadi 17 daerah, Sumatra 3 daerah, dan Meinsefu (daerah yang diperintah Angkatan Laut) 3 daerah.
Setelah penyerahan kekuasaan dari Belanda kepada Jepang di Kalijati maka seluruh daerah Hindia Belanda menjadi 3 daerah pemerintahan militer:
Selain kebijakan politik di atas, pemerintah Militer Jepang juga melakukan perubahan dalam birokrasi pemerintahan, diantaranya adalah pembentukan organisasi pemerintahan di tingkat pusat dengan membentuk Departemen dan pembentukan Cou Sang In/dewan penasehat. Untuk mempermudah pengawasan dibentuk tiga pemerintahan militer yakni:
Untuk kedudukan pemerintahan militer sementara khusus Asia Tenggara berpusat di Dalat/Vietnam.
Pada kedua aspek ini, Anda akan menemukan bagaimana praktik eksploitasi ekonomi dan sosial yang dilakukan Jepang terhadap bangsa Indonesia dan Anda bisa membandingkan dampak ekonomi dan sosial dengan dampak politis dan birokrasi. Hal-hal yang diberlakukan dalam sistem pengaturan ekonomi pemerintah Jepang adalah sebagai berikut:
Pada tahun 1944, kondisi politis dan militer Jepang mulai terdesak, sehingga tuntutan akan kebutuhan bahan-bahan perang makin meningkat. Untuk mengatasinya pemerintah Jepang mengadakan kampanye penyerahan bahan pangan dan barang secara besar-besaran melalui Jawa Hokokai dan Nagyo Kumiai (koperasi pertanian), serta instansi resmi pemerintah. Dampak dari kondisi tersebut, rakyat dibebankan menyerahkan bahan makanan 30% untuk pemerintah, 30% untuk lumbung desa dan 40% menjadi hak pemiliknya. Sistem ini menyebabkan kehidupan rakyat semakin sulit, gairah kerja menurun, kekurangan pangan, gizi rendah, penyakit mewabah melanda hampir di setiap desa di pulau Jawa salah satunya: Wonosobo (Jateng) angka kematian 53,7% dan untuk Purworejo (Jateng) angka kematian mencapai 224,7%. Bisa Anda bayangkan bagaimana beratnya penderitaan yang dirasakan bangsa Indonesia pada masa Jepang (bahkan rakyat dipaksa makan makanan hewan seperti keladi gatal, bekicot, umbi-umbian).
Pada aspek militer ini, Anda akan memahami bahwa badan-badan militer yang dibuat Jepang semata-mata karena kondisi militer Jepang yang semakin terdesak dalam perang Pasifik.
Memasuki tahun kedua pendudukannya (1943), Jepang semakin intensif mendidik dan melatih pemuda-pemuda Indonesia di bidang militer. Hal ini disebabkan karena situasi di medan pertempuran (Asia – Pasifik) semakin menyulitkan Jepang. Mulai dari pukulan Sekutu pada pertempuran laut di Midway (Juni 1942) dan sekitar Laut Karang (Agustus ’42 – Februari 1943). Kondisi tersebut diperparah dengan jatuhnya Guadalacanal yang merupakan basis kekuatan Jepang di Pasifik (Agustus 1943).
Situasi di atas membuat Jepang melakukan konsolidasi kekuatan dengan menghimpun kekuatan dari kalangan pemuda dan pelajar Indonesia sebagai tenaga potensial yang akan diikutsertakan dalam pertempuran menghadapi Sekutu.
Meskipun masa penjajahan menghadirkan banyak tantangan, itu juga memainkan peran penting dalam pembentukan identitas nasional Indonesia. Perlawanan terhadap penjajahan memupuk semangat nasionalisme, yang akhirnya menjadi pendorong kemerdekaan Indonesia.
Bahasa Indonesia juga berkembang sebagai bahasa nasional, menghubungkan berbagai etnis di seluruh negeri dan mengukuhkan identitas sebagai bangsa yang satu.[56]
Masa Pendudukan Jepang di Indonesia adalah masa yang sangat berpengaruh bagi perkembangan Indonesia, selain itu hampir tidak adanya tantangan yang berarti kepada Belanda sebelumnya. Dalam masanya yang singkat itu, Jepang membawa dampak yang positif dan juga membawa dampak yang negatif bagi bangsa Indonesia pada umumnya. Pada umumnya kebanyakan beranggapan masa pendudukan Jepang adalah masa-masa yang kelam dan penuh penderitaan. Akan tetapi tidak semuanya itu benar, ada beberapa kebijakan pemerintah pendudukan Jepang yang memberikan dampak positif, terutama dalam pembentukan nasionalisme Indonesia dan pelatihan militer bagi pemuda Indonesia.
Tidak banyak yang mengetahui tentang dampak positifnya Jepang menduduki Indonesia. Ada pun dampak positif yang dapat dihadirkan antara lain:
Selain membawa dampak positif, Jepang juga membawa dampak negatif yang luar biasa antara lain:
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.