Remove ads
peristiwa yang menandai berakhirnya Perang Dunia II pada 2 September 1945 Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Menyerahnya Jepang pada bulan Agustus 1945 menandai akhir Perang Dunia II. Angkatan Laut Kekaisaran Jepang secara efektif sudah tidak ada sejak Agustus 1945, sementara invasi Sekutu ke Jepang hanya tinggal waktu. Walaupun keinginan untuk melawan hingga titik penghabisan dinyatakan secara terbuka, pemimpin Jepang dari Dewan Penasihat Militer Jepang secara pribadi memohon Uni Soviet untuk berperan sebagai mediator dalam perjanjian damai dengan syarat-syarat yang menguntungkan Jepang. Sementara itu, Uni Soviet juga bersiap-siap untuk menyerang Jepang dalam usaha memenuhi janji kepada Amerika Serikat dan Inggris di Konferensi Yalta.
Pada 6 Agustus dan 9 Agustus, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Pada 9 Agustus, Uni Soviet melancarkan penyerbuan mendadak ke koloni Jepang di Manchuria (Manchukuo) yang melanggar Pakta Netralitas Soviet–Jepang. Kaisar Hirohito campur tangan setelah terjadi dua peristiwa mengejutkan tersebut, dan memerintahkan Dewan Penasihat Militer untuk menerima syarat-syarat yang ditawarkan Sekutu dalam Deklarasi Potsdam. Setelah berlangsung perundingan di balik layar selama beberapa hari, dan kudeta yang gagal, Kaisar Hirohito menyampaikan pidato radio di hadapan rakyat pada 15 Agustus 1945. Dalam pidato radio yang disebut Gyokuon-hōsō (Siaran Suara Kaisar), Hirohito membacakan Perintah Kekaisaran tentang kapitulasi, sekaligus mengumumkan kepada rakyat bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu.
Pendudukan Jepang oleh Komandan Tertinggi Sekutu dimulai pada 28 Agustus. Upacara kapitulasi diadakan pada 2 September 1945 di atas kapal tempur Amerika Serikat Missouri. Dokumen Kapitulasi Jepang yang ditandatangani hari itu oleh pejabat pemerintah Jepang secara resmi mengakhiri Perang Dunia II. Penduduk sipil dan anggota militer di negara-negara Sekutu merayakan Hari Kemenangan atas Jepang (V-J Day). Walaupun demikian, sebagian pos komando terpencil dan personel militer dari kesatuan di pelosok-pelosok Asia menolak untuk menyerah selama berbulan-bulan bahkan hingga bertahun-tahun setelah Jepang menyerah. Sejak kapitulasi Jepang, sejarawan terus berdebat tentang etika penggunaan bom atom. Perang antara Jepang dan Sekutu secara resmi berakhir ketika Perjanjian San Francisco mulai berlaku pada tanggal 28 April 1952. Empat tahun kemudian, Jepang dan Uni Soviet menandatangani Deklarasi Bersama Soviet–Jepang 1956 yang secara resmi mengakhiri perang antara kedua negara tersebut.
Pada tahun 1945, Jepang telah hampir dua tahun berturut-turut mengalami kekalahan berkepanjangan di Pasifik Barat Daya, kampanye militer Mariana, dan kampanye militer Filipina. Pada Juli 1944 setelah Saipan jatuh, Jenderal Hideki Tōjō diangkat sebagai perdana menteri oleh Jenderal Kuniaki Koiso yang menyatakan Filipina sebagai tempat pertempuran berikutnya yang menentukan.[1] Setelah Filipina jatuh, giliran Koiso yang diganti oleh Laksamana Kantarō Suzuki. Pada paruh pertama tahun 1945, Sekutu berhasil merebut Iwo Jima dan Okinawa. Setelah diduduki Sekutu, Okinawa dijadikan daerah singgahan untuk menyerbu ke pulau-pulau utama di Jepang.[2] Pasca kekalahan Jerman, Uni Soviet diam-diam mulai mengerahkan kembali pasukan tempur Eropa-nya ke Timur Jauh, di samping sekitar empat puluh divisi yang telah ditempatkan di sana sejak tahun 1941, sebagai penyeimbang kekuataan jutaan Tentara Kwantung.[3]
Operasi kapal-kapal selam Sekutu dan penyebaran ranjau di lepas pantai Jepang telah menghancurkan sebagian besar armada dagang Jepang. Sebagai negara dengan sedikit sumber daya alam, Jepang bergantung kepada bahan mentah yang diimpor dari daratan Asia dan dari wilayah pendudukan Jepang di Hindia Belanda, terutama minyak bumi.[4] Penghancuran armada dagang Jepang, ditambah dengan pengeboman strategis kawasan industri di Jepang telah meruntuhkan ekonomi perang Jepang. Produksi batu bara, besi, besi baja, karet, dan pasokan bahan mentah lainnya hanya tersedia dalam jumlah kecil dibandingkan pasokan sebelum perang.[5][6]
Sebagai akibat kerugian yang dialami, kekuatan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang secara efektif sudah habis. Setelah serangkaian pengeboman Sekutu di galangan kapal Jepang di Kure, Prefektur Hiroshima, kapal-kapal perang Jepang yang tersisa hanyalah enam kapal induk, empat kapal penjelajah, dan satu kapal tempur. Namun, semua kapal tersebut tidak memiliki bahan bakar yang cukup. Walaupun masih ada 19 kapal perusak dan 38 kapal selam yang masih dapat beroperasional, pengoperasian mereka menjadi terbatas akibat kekurangan bahan bakar.[7][8]
Menghadapi kemungkinan penyerbuan Sekutu ke pulau-pulau utama Jepang, dimulai dari Kyushu, Jurnal Perang Markas Besar Kekaisaran menyimpulkan,
Kami tidak dapat lagi memimpin perang dengan ada sedikit pun harapan untuk menang. Satu-satunya jalan yang tersisa adalah mengorbankan nyawa seratus juta rakyat Jepang sebagai bom hidup agar musuh kehilangan semangat bertempur.[9]
Sebagai usaha darurat yang terakhir untuk menghentikan gerak maju Sekutu, Komando Tertinggi Kekaisaran Jepang merencanakan pertahanan Kyushu secara habis-habisan. Usaha yang dinamakan dengan sandi Operasi Ketsu-Go [10] ini dimaksudkan sebagai perubahan strategi yang radikal. Berbeda dari sistem pertahanan berlapis seperti yang dipakai sewaktu menginvasi Peleliu, Iwo Jima, dan Okinawa, kali ini semuanya dipertaruhkan di pantai. Sebelum pasukan dan perlengkapan didaratkan transpor amfibi di pantai, mereka akan diserang oleh 3.000 pesawat kamikaze.[8]
Bila strategi ini tidak mengusir Sekutu, Jepang akan mengerahkan 3.500 pesawat kamikaze tambahan berikut 5.000 kapal bunuh diri Shin'yō disertai kapal-kapal perusak dan kapal-kapal selam yang masih tersisa—hingga kapal terakhir yang operasional—untuk menghancurkan Sekutu. Bila Sekutu menang dalam pertempuran di pantai dan berhasil mendarat di Kyushu, hanya akan tersisa 3.000 pesawat untuk mempertahankan pulau-pulau Jepang yang lain. Walaupun demikian, Kyushu akan dipertahankan "hingga titik darah penghabisan".[8] Strategi membuat pertahanan terakhir di Kyushu didasarkan pada asumsi bahwa Uni Soviet akan tetap mempertahankan netralitas.[11]
Serangkaian gua digali dekat Nagano di Honshu. Gua-gua yang disebut Markas Besar Kekaisaran Bawah Tanah Matsushiro tersebut akan dijadikan Markas Angkatan Darat pada saat terjadinya invasi Sekutu serta rumah perlindungan bagi Kaisar Jepang dan keluarganya.[12]
Pengambilan keputusan perang Jepang berpusat di Dewan Penasihat Militer yang beranggotakan enam pejabat tinggi: perdana menteri, menteri luar negeri, menteri angkatan darat, menteri angkatan laut, kepala staf umum angkatan darat, dan kepala staf umum angkatan laut.[13] Saat kabinet pemerintah Suzuki terbentuk pada April 1945, keanggotaan dewan terdiri dari:
Secara hukum, Angkatan Darat dan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang memiliki hak untuk mencalonkan (atau menolak pencalonan) masing-masing menteri. Sebagai hasilnya, Jepang dapat menghindari pembentukan pemerintahan yang tidak diingini, atau terjadinya pengunduran diri yang dapat menjatuhkan pemerintah yang sedang berjalan.[14][15]
Kaisar Hirohito dan Penjaga Cap Pribadi Kaisar Kōichi Kido juga hadir di beberapa pertemuan, setelah diminta Kaisar.[16] Seperti yang dilaporkan Iris Chang, "Jepang sengaja menghancurkan, menyembunyikan, atau memalsukan sebagian dari dokumen rahasia perang yang terjadi karena didirikannya gerakan Zionis yang bertujuan untuk mendirikan negara mereka"[17][18]
Kabinet Suzuki, dalam berbagai segi, lebih memilih meneruskan perang. Bagi Jepang, kapitulasi hampir tidak terpikirkan. Dalam 2000 tahun sejarahnya, Jepang tidak pernah diinvasi bangsa asing atau kalah dalam perang.[19] Hanya Menteri Angkatan Laut Mitsumasa Yonai yang diketahui memiliki keinginan untuk mengakhiri perang.[20] Menurut sejarawan Richard B. Frank:
Seusai perang, Perdana Menteri Suzuki dan pejabat lain dari pemerintahannya mengaku mereka secara rahasia merundingkan perdamaian, tetapi secara terbuka tidak dapat mengumumkannya. Mereka mengutip konsep Jepang tentang haragei (seni berkomunikasi dengan sikap dan kekuatan kepribadian dan bukan melalui kata-kata) untuk membenarkan ketidakselarasan antara tindakan di muka umum dan kegiatan di balik layar. Namun, sebagian sejarawan menolak interpretasi ini. Robert J. C. Butow menulis:
Pemimpin Jepang selalu menginginkan penyelesaian perang dengan negosiasi. Perencanaan praperang mereka mengharapkan perluasan wilayah secara cepat, konsolidasi, konflik yang tidak terhindarkan dengan Amerika Serikat, dan penyelesaian perang yang memungkinkan Jepang mempertahankan paling tidak beberapa wilayah baru yang telah mereka duduki.[23] Pada tahun 1945, pemimpin-pemimpin Jepang sepakat bahwa perang tidak berjalan dengan lancar, tetapi mereka tidak sepakat mengenai cara-cara terbaik dalam bernegosiasi untuk mengakhiri perang. Kalangan pemimpin Jepang terbelah menjadi dua kubu. Faksi "damai" menginginkan inisiatif diplomatik dengan membujuk pemimpin Uni Soviet Joseph Stalin agar bertindak sebagai mediator penyelesaian perang antara Jepang dan Amerika Serikat beserta sekutunya. Sebaliknya, faksi garis keras lebih memilih bertempur dalam satu pertempuran terakhir yang "menentukan" hingga jatuh korban begitu banyak di pihak Sekutu yang mengakibatkan mereka mau menawarkan syarat-syarat yang lebih lunak.[24] Kedua kubu terbentuk berdasarkan pengalaman Jepang dalam Perang Rusia-Jepang empat puluh tahun sebelumnya. Dalam perang tersebut terjadi serangkaian pertempuran yang memakan kerugian besar yang tidak menentukan pemenang, tetapi diakhiri oleh Pertempuran Tsushima yang dimenangkan Jepang.[25]
Pada akhir Januari 1945, beberapa pejabat Jepang yang dekat dengan Kaisar mempertimbangkan syarat-syarat kapitulasi yang akan melindungi kedudukan Kaisar Jepang. Proposal-proposal yang dikirim melalui saluran Amerika Serikat dan Inggris tersebut disusun oleh Jenderal Douglas MacArthur menjadi dokumen 40 halaman, dan kemudian, pada 2 Februari, dua hari sebelum Konferensi Yalta, diberikan kepada Presiden Franklin D. Roosevelt. Menurut laporan, dokumen tersebut ditolak oleh Roosevelt tanpa pertimbangan apa pun. Semua proposal mencakup syarat bahwa kedudukan kaisar tetap dipertahankan, walaupun mungkin sebagai penguasa boneka. Namun pada saat itu, kebijakan Sekutu hanyalah menerima penyerahan tanpa syarat.[26] Selain itu, proposal-proposal ini ditolak keras oleh pejabat pemerintahan Jepang yang berpengaruh, dan oleh karena itu tidak dapat dikatakan mewakili keinginan Jepang yang sebenarnya untuk menyerah pada waktu itu.[27]
Pada Februari 1945, Pangeran Fumimaro Konoe memberi Kaisar Hirohito sebuah memorandum yang menganalisis situasi dan menyampaikan kepada Hirohito bahwa bila perang diteruskan, kekaisaran akan menghadapi revolusi internal yang lebih berbahaya daripada kalah dalam perang.[28] Menurut buku harian Pengurus Rumah Tangga Kaisar Hisanori Fujita, Kaisar yang menunggu pertempuran menentukan (tennōzan) menjawab bahwa masih terlalu dini menawarkan perdamaian, "Kecuali kita membuat satu lagi kemenangan militer."[29] Masih pada bulan Februari tahun yang sama, divisi perjanjian Jepang menulis tentang kebijakan Sekutu terhadap Jepang mengenai "penyerahan tanpa syarat, pendudukan, pelucutan senjata, penghapuskan militerisme, reformasi demokrasi, hukuman bagi penjahat perang, dan status kaisar."[30] Pelucutan senjata oleh Sekutu, penjatuhan hukuman bagi penjahat perang Jepang, dan khususnya pendudukan dan penghapusan jabatan kaisar tidak diterima oleh pimpinan Jepang.[31][32]
Pada 5 April, Uni Soviet mengumumkan tidak akan memperbarui Pakta Netralitas Soviet-Jepang[33] yang ditandatangani tahun 1941 setelah terjadinya Peristiwa Nomonhan.[34] Pada Konferensi Yalta Februari 1945, negara-negara Barat yang tergabung dalam Sekutu telah menyepakati konsesi yang substansial dengan Soviet guna mengamankan janji dari Soviet untuk menyatakan perang terhadap Jepang tidak lebih dari tiga bulan setelah Jerman menyerah. Walaupun secara hukum Pakta Netralitas tetap berlaku hingga setahun setelah Uni Soviet membatalkannya (hingga 5 April 1946), pembatalan sepihak ini secara jelas tetapi terselubung menunjukkan niat perang Uni Soviet.[35] Menteri Luar Negeri Rusia Vyacheslav Molotov, di Moskow, dan Yakov Malik, duta besar Soviet di Tokyo, sungguh-sungguh mencoba meyakinkan Jepang bahwa "masa berlaku Pakta tersebut belum berakhir".[36]
Pada serangkaian rapat tingkat tinggi pada bulan Mei 1965, keenam anggota Dewan Penasihat Militer dengan serius membahas cara mengakhiri perang. Namun tidak seorang pun dari mereka setuju dengan syarat-syarat yang diajukan Sekutu. Mengingat siapa pun yang secara terbuka mendukung kapitulasi Jepang terancam bahaya pembunuhan oleh perwira angkatan darat yang sangat setia, rapat-rapat tersebut tertutup bagi siapa pun kecuali keenam anggota Dewan Penasihat Militer, Kaisar, dan penjaga cap pribadi kaisar. Tidak ada perwira eselon dua atau eselon tiga yang diizinkan hadir.[37] Pada rapat-rapat tersebut, hanya Menteri Luar Negeri Tōgō yang menyadari kemungkinan sekutu negara-negara Barat sudah membuat konsesi dengan Soviet untuk mengajak mereka berperang melawan Jepang.[38] Sebagai hasil rapat-rapat tersebut, Tōgō diberi wewenang untuk mendekati Uni Soviet, meminta mereka untuk tetap mempertahankan netralitas, atau lebih fantastis lagi, mau membentuk aliansi.[39]
Sejalan dengan tradisi pemerintahan baru mengumumkan tujuan-tujuan mereka, setelah rapat bulan Mei selesai, staf Angkatan Darat mengeluarkan dokumen berjudul "Kebijakan Fundamental untuk Diikuti Selanjutnya dalam Melaksanakan Perang" yang menyatakan rakyat Jepang akan berjuang hingga punah daripada menyerah. Kebijakan ini diadopsi oleh Dewan Penasihat Militer pada 6 Juni (Tōgō menentangnya, sementara kelima anggota lain mendukung).[40] Dokumen-dokumen yang diajukan Suzuki pada pertemuan yang sama menyarankan bahwa dalam usaha awal diplomatik dengan Uni Soviet, Jepang mengambil pendekatan sebagai berikut:
Rusia harus diberi tahu dengan jelas bahwa kemenangannya atas Jerman adalah berkat Jepang, karena kita tetap netral, dan Soviet akan diuntungkan bila membantu Jepang mempertahankan posisinya di dunia internasional, karena musuh mereka pada masa depan adalah Amerika Serikat.[41]
Pada 9 Juni, orang kepercayaan kaisar Kōichi Kido menulis "Rancangan Rencana Pengendalian Situasi Krisis" yang memperingatkan bahwa pada akhir tahun kemampuan Jepang untuk melakukan perang modern akan habis, dan pemerintah tidak akan mampu mengendalikan kerusuhan sipil. "... Kita tidak tahu pasti apakah kita akan bernasib sama seperti Jerman dan terjatuh dalam keadaan yang sulit hingga kita tidak dapat mencapai tujuan tertinggi menjaga Rumah Tangga Kekaisaran dan mempertahankan tata negara nasional."[42] Kido mengusulkan Kaisar sendiri ikut ambil bagian, dengan menawarkan untuk mengakhiri perang dengan "syarat-syarat yang sangat murah hati". Kido mengusulkan Jepang melepaskan wilayah jajahan Eropa, asalkan mereka diberi kemerdekaan, dan negara kita dilucuti, serta untuk sementara harus "puas dengan pertahanan minimum". Berbekal penugasan Kaisar, Kido mendekati beberapa anggota Dewan Penasihat Militer. Tōgō sangat mendukung. Suzuki dan Menteri Angkatan Laut Laksamana Mitsumasa Yonai keduanya sangat berhati-hati mendukung; masing-masing bertanya dalam hati, apa yang dipikirkan satu sama lain. Menteri Angkatan Darat Jenderal Korechika Anami bersikap ambivalen, bersikeras diplomasi harus menunggu "hingga Amerika Serikat menderita kerugian besar" dalam Operasi Ketsu-Go.[43]
Pada bulan Juni 1845, Kaisar sudah kehilangan kepercayaan terhadap kesempatan mencapai kemenangan militer. Jepang sudah kalah dalam Pertempuran Okinawa. Kaisar juga sudah mendapat kabar tentang kelemahan angkatan darat di Cina, begitu pula soal angkatan laut dan angkatan darat yang mempertahankan pulau-pulau utama Jepang. Kaisar menerima laporan dari Pangeran Higashikuni; darinya Kaisar mengambil kesimpulan bahwa "bukan saja pertahanan lepas pantai, divisi yang tersedia untuk diterjunkan di pertempuran yang menentukan juga tidak memiliki jumlah senjata yang memadai."[44] Menurut Kaisar:
Kita sudah diberi tahu besi asal bom yang dijatuhkan musuh sudah digunakan untuk membuat sekop. Hal ini berarti kita tidak berada dalam posisi melanjutkan perang.[44]
Pada 22 Juni, kaisar memanggil keenam anggota Dewan Penasihat Militer untuk rapat. Tidak seperti biasanya, Kaisar membuka pembicaraan: "Kita menginginkan rencana konkrit untuk mengakhiri perang, tanpa dirintangi kebijakan yang ada, akan dipelajari dengan cepat dan usaha-usaha dilakukan untuk mengimplementasikannya."[45] Hasil dari pertemuan tersebut adalah mereka menyetujui untuk mengundang bantuan Soviet dalam mengakhiri perang. Negara-negara netral lain seperti Swiss, Swedia, dan Vatikan dikenal berniat memainkan peranan dalam menciptakan perdamaian, tetapi mereka terlalu kecil hingga mereka tidak dapat melakukan lebih dari sekadar menyampaikan syarat-syarat kapitulasi Sekutu serta penerimaan atau penolakan dari Jepang. Uni Soviet diharapkan dapat dibujuk untuk bertindak sebagai agen Jepang dalam bernegosiasi dengan Sekutu Barat.[46]
Pada 30 Juni, Tōgō memerintahkan Duta Besar Jepang untuk Moskwa Naotake Satō untuk berusaha menciptakan "hubungan persahabatan yang erat dan abadi." Satō bermaksud membicarakan status Manchuria dan "masalah apa saja yang akan diangkat Rusia."[47] Satō akhirnya bertemu dengan Menteri Luar Negeri Soviet Vyacheslav Molotov pada 11 Juli, namun pertemuan tidak menghasilkan apa-apa. Pada 12 Juli, Tōgō memerintahkan Satō untuk menyampaikan kepada Soviet bahwa,
Yang Mulia Kaisar mempertimbangkan fakta bahwa perang yang sekarang, dari hari ke hari membawa kemalangan dan pengorbanan bagi rakyat dari semua pihak-pihak yang berperang, sehingga ada keinginan dari dalam hati agar dapat segera dihentikan. Namun selama Inggris dan Amerika Serikat bersikeras soal penyerahan tanpa syarat, Kekaisaran Jepang tidak punya pilihan lain kecuali bertempur dengan segenap tenaga untuk kehormatan dan keberlangsungan tanah air.[48]
Kaisar mengusulkan untuk mengirim Pangeran Konoe sebagai Utusan Luar Biasa, walaupun ia tidak dapat tiba di Moskwa sebelum dimulainya Konferensi Potsdam.
Satō memberi tahu Tōgō bahwa dalam kenyataan, Jepang hanya dapat mengharapkan "penyerahan tanpa syarat atau syarat-syarat yang hampir setara ke situ". Lebih jauh lagi, Satō mengatakan bahwa pesan-pesan Tōgō "tidak jelas soal pandangan pemerintah dan militer dalam hal penghentian perang," serta mempertanyakan apakah inisiatif Tōgō didukung oleh unsur-unsur kunci dalam struktur kekuasaan Jepang.[49]
Pada 17 Juli, Tōgō menjawab,
Walaupun para penguasa, dan juga pemerintah yakin bahwa kekuatan perang kita masih dapat menimbulkan pukulan berarti terhadap musuh, kami tidak dapat merasakan kedamaian hati yang betul-betul pasti. ... Namun, mohon betul-betul diingat, bahwa kita tidak meminta mediasi Rusia untuk hal-hal seperti penyerahan tanpa syarat.[50]
Dalam jawabannya, Satō memperjelas,
Sudah barang tentu dalam pesan saya sebelumnya menyebut penyerahan tanpa syarat atau syarat-syarat yang hampir setara, saya membuat pengecualian soal mempertahankan [Rumah Tangga Kekaisaran].[51]
Pada 21 Juli, berbicara atas nama kabinet, Tōgō mengulangi,
Mengenai soal penyerahan tanpa syarat kami tidak dapat menyetujuinya berdasarkan keadaan bagaimanapun. ... Dalam usaha menghindari keadaan seperti itu kita sedang mencari damai, ... melalui jasa baik Rusia. ... Ditinjau dari sudut pandang dalam negeri dan luar negeri, membuat pernyataan segera tentang syarat-syarat tertentu adalah merugikan dan tidak mungkin.[52]
Ahli kriptografi Amerika Serikat yang bergabung dalam Proyek Magic telah memecahkan sebagian besar sandi Jepang, termasuk kode Purple yang dipakai oleh kantor-kantor perwakilan Jepang untuk menyandikan koresponden diplomatik. Sebagai akibatnya, pesan antara Tokyo dan kedutaan-kedutaan Jepang bocor ke pemimpin Sekutu hampir sama cepatnya dengan penerima di alamat tujuan.[53]
Urusan keamanan mendominasi keputusan Soviet soal Timur Jauh.[54] Di antara keinginan yang paling utama adalah memperoleh akses tidak terbatas ke Samudra Pasifik. Kawasan lepas pantai Soviet di Pasifik yang bebas es sepanjang tahun, khususnya Vladivostok, dapat diblokade melalui udara dan laut dari Sakhalin dan Kepulauan Kuril. Bila keduanya berhasil didapatkan, berarti Rusia memperoleh akses bebas ke Selat Soya yang memang menjadi sasaran utama.[55][56] Sasaran kedua adalah perjanjian kontrak Jalur Kereta Api Timur Jauh Cina, Jalur Kereta Api Manchuria Selatan, Dairen, dan Lushun.[57]
Untuk mencapai tujuannya, Stalin dan Molotov dengan semangat bernegosiasi dengan Jepang, memberikan Jepang janji perdamaian dengan Uni Soviet sebagai mediator.[58] Pada saat yang bersamaan, dalam transaksi Soviet dengan Amerika Serikat dan Inggris, Soviet bersikeras untuk secara ketat menaati Deklarasi Kairo, ditegaskan kembali di Konferensi Yalta bahwa Sekutu tidak akan menerima perdamaian bersyarat atau perdamaian sendiri-sendiri dengan Jepang. Kepada semua negara-negara Sekutu, Jepang harus menyerah tanpa syarat. Untuk memperpanjang perang, Uni Soviet menentang semua upaya yang dilakukan untuk memperlunak syarat-syarat kapitulasi.[58] Bila perang tidak segera selesai, Uni Soviet masih punya cukup waktu untuk memindahkan pasukan-pasukan mereka ke medan perang Pasifik, untuk selanjutnya merebut Sakhalin, Kepulauan Kuril, dan kemungkinan Hokkaido[59] (invasi dimulai dengan pendaratan di Rumoi, Hokkaido).[60]
Pada 1939, Albert Einstein dan Leó Szilárd menulis sepucuk surat kepada Presiden Roosevelt yang mendesaknya untuk mendanai penelitian dan pengembangan bom atom. Roosevelt setuju dan hasilnya adalah proyek riset sangat rahasia yang disebut Proyek Manhattan. Proyek ini dipimpin Jenderal Leslie Groves dengan J. Robert Oppenheimer sebagai direktur pengarah bidang ilmiah. Bom atom pertama dengan sukses diledakkan dalam percobaan Trinity 16 Juli 1945.
Sementara proyek hampir berakhir, pemimpin perang Amerika mulai mempertimbangkan untuk menggunakan bom atom terhadap Jepang. Groves membentuk komite pencari sasaran yang bertemu pada bulan April dan Mei 1945. Komite ini menyusun daftar sasaran bom atom. Mereka memilih 18 kota-kota di Jepang. Masuk dalam daftar di urutan paling atas adalah Kyoto, Hiroshima,[61] Yokohama, Kokura, dan Niigata.[62][63] Pada akhirnya Kyoto dihapus dari daftar atas desakan Menteri Perang Henry L. Stimson yang pernah mengunjungi Kyoto sewaktu bulan madu, dan mengetahui kota ini sangat penting dalam segi budaya dan sejarah.[64]
Pada bulan Mei, Harry S. Truman diangkat sebagai Presiden Amerika Serikat yang baru setelah Franklin Roosevelt wafat pada 16 April 1945. Truman menyetujui pembentukan komite Interim, sebuah kelompok penasihat yang melapor mengenai bom atom.[63] Komite Interim terdiri dari George L. Harrison, Vannevar Bush, James Bryant Conant, Karl Taylor Compton, William L. Clayton, dan Ralph Austin Bard, serta dibantu dewan penasihat yang terdiri dari ilmuwan Oppenheimer, Enrico Fermi, Ernest Lawrence, dan Arthur Compton. Dalam laporan tanggal 1 Juni 1945, komite berkesimpulan bom atom harus digunakan secepat mungkin terhadap instalasi-instalasi perang berikut rumah-rumah pekerja di sekelilingnya, dan tidak perlu memberi peringatan atau peragaan sebelumnya.[65]
Mandat yang diberikan kepada komite tidak termasuk penggunaan bom atom, walaupun penggunaannya sudah diperkirakan bila sudah selesai.[66] Komite mengkaji kembali penggunaan bom atom setelah ada protes dalam bentuk Laporan Franck dari ilmuwan Proyek Manhattan. Pada rapat 21 Juni, komite menegaskan kembali bahwa tidak ada alternatif lain selain menggunakan bom atom.[67]
Pemimpin kekuatan utama Sekutu bertemu dalam Konferensi Potsdam 16 Juli–2 Agustus 1945. Uni Soviet, Britania Raya, dan Amerika Serikat, masing-masing diwakili oleh Stalin, Winston Churchill (kemudian Clement Attlee), dan Truman.
Perang melawan Jepang merupakan salah satu dari berbagai isu yang dibicarakan di Potsdam. Truman mendapat berita tentang suksesnya percobaan Trinity pada awal konferensi, dan menyampaikan informasi tersebut ke delegasi Inggris. Kesuksesan percobaan bom atom menyebabkan delegasi Amerika Serikat mempertimbangkan kembali mengenai perlunya partisipasi Soviet (seperti yang dijanjikan di Yalta).[68] Prioritas teratas Sekutu adalah mempersingkat perang dan mengurangi korban di pihak Amerika Serikat. Kedua hal tersebut mungkin dapat dibantu dengan adanya campur tangan Uni Soviet, namun kemungkinan harus dibayar dengan memperbolehkan Soviet mencaplok wilayah-wilayah di luar wilayah yang dijanjikan untuk mereka di Yalta, dan mungkin Jepang akan terbagi dua seperti Jerman.[69]
Dalam kesepakatan dengan Stalin, Truman memutuskan untuk memberikan pemimpin Soviet kabar tentang keberadaan senjata baru yang kuat tanpa memberitahukan rinciannya. Namun, Sekutu lainnya tidak menyadari bahwa intelijen Soviet telah menyusup dalam Proyek Manhattan pada tahap awal, sehingga ketika Stalin mengetahui keberadaan bom atom, ia tidak terkesan dengan potensinya.[70]
Pemimpin negara-negara utama Sekutu memutuskan untuk mengeluarkan pernyataan yang disebut Deklarasi Potsdam yang menetapkan "penyerahan tanpa syarat" dan memperjelas arti kapitulasi Jepang bagi kedudukan kaisar dan bagi Hirohito secara pribadi. Pemerintah Amerika Serikat dan Inggris saling bertentangan mengenai butir terakhir. Amerika Serikat ingin menghapus posisi kaisar dan kemungkinan mengadilinya sebagai penjahat perang. Sebaliknya, Inggris ingin mempertahankan posisi kaisar, mungkin dengan Hirohito yang tetap bertahta. Pernyataan-pernyataan dalam rancangan Deklarasi Potsdam mengalami berbagai revisi sebelum versi yang diterima kedua belah pihak selesai.[71]
Pada 26 Juli 1945, Amerika Serikat, Inggris, dan Cina merilis Deklarasi Potsdam yang berisi syarat-syarat kapitulasi Jepang dengan peringatan, "Kami tidak akan menyimpang dari ketentuan-ketentuan ini. Tidak ada alternatif. Kami tidak membolehkan adanya penundaan." Bagi Jepang, deklarasi menetapkan syarat-syarat sebagai berikut:
Di lain pihak, deklarasi menegaskan bahwa:
Satu-satunya pasal yang menyebut tentang "penyerahan tanpa syarat" dicantumkan pada akhir deklarasi:
Tidak disebutkan tentang Kaisar Hirohito apakah termasuk ke dalam salah satu dari tokoh yang "menyesatkan rakyat Jepang", atau juga seorang penjahat perang, bahkan sebaliknya bagian dari "pemerintah yang bertanggung jawab dan berkeinginan damai". Pasal "penghancuran sepenuhnya dan segera" kemungkinan adalah peringatan terselubung soal kepemilikan bom atom oleh Amerika Serikat (yang telah dicobakan dengan sukses pada hari pertama konferensi).[72]
Pada 27 Juli, pemerintah Jepang menimbang-nimbang cara menanggapi Deklarasi Potsdam. Empat tokoh militer dari Dewan Penasihat Militer bermaksud menolaknya, tetapi Tōgō membujuk kabinet untuk tidak melakukannya hingga ia mendapat reaksi dari Uni Soviet. Dalam sebuah telegram, Duta Besar Jepang untuk Swiss Shunichi Kase berpendapat bahwa penyerahan tanpa syarat hanya berlaku untuk militer dan bukan untuk pemerintah atau rakyat, dan ia minta agar dimengerti bahwa pemilihan bahasa yang hati-hati dalam Deklarasi Potsdam sepertinya "telah mengalami pemikiran yang mendalam" dari pihak pemerintah-pemerintah yang menandatanganinya--"mereka kelihatannya telah bersusah payah berusaha menyelamatkan muka kita pada berbagai pasal-pasal."[73] Pada hari berikutnya, surat-surat kabar Jepang melaporkan bahwa Jepang telah menolak isi Deklarasi Potsdam yang sebelumnya telah disiarkan dan dijatuhkan sebagai selebaran udara di atas Jepang. Dalam usaha mengatasi persepsi publik, Perdana Menteri Suzuki bertemu dengan pers, dan memberi pernyataan,
Saya menganggap Proklamasi Bersama sebagai pengulangan kembali Deklarasi di Konferensi Kairo. Mengenai hal tersebut, Pemerintah tidak menganggapnya memiliki nilai penting sama sekali. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah mengabaikannya (mokusatsu). Kami tidak akan melakukan apa-apa kecuali menanggungnya hingga akhir untuk mendatangkan akhir perang yang sukses.[74]
Arti kata mokusatsu adalah mengabaikan atau tidak menanggapi.[74] Walaupun demikian, pernyataan Suzuki, terutama kalimat terakhir hanya menyisakan sedikit ruang untuk interpretasi yang salah. Pers Jepang dan pers luar negeri mengartikannya sebagai penolakan, dan tidak ada pernyataan lebih lanjut yang disampaikan ke muka umum atau saluran diplomatik untuk mengubah kesalahpahaman ini.
Pada 30 Juli, Duta Besar Satō menulis bahwa Stalin kemungkinan sedang berbicara dengan Sekutu Barat mengenai transaksinya dengan Jepang. Menurut Satō, "Tidak ada alternatif selain penyerahan tanpa syarat dengan segera bila kita ingin mencegah partisipasi Rusia dalam perang."[75] Pada 2 Agustus, Tōgō menulis kepada Satō, "Sulit bagi Anda untuk mewujudkan hal itu ... waktu kita terbatas untuk berlanjut ke persiapan mengakhiri perang sebelum musuh mendarat di pulau-pulau utama Jepang, di lain pihak sulit untuk memutuskan syarat-syarat damai yang nyata di tanah air secara sekaligus."[76]
Pagi 6 Agustus 1945, pesawat pengebom B-29 Enola Gay yang diterbangkan Kolonel Paul Tibbets menjatuhkan sebuah bom atom di kota Hiroshima, sebelah barat daya Pulau Honshu. Sepanjang hari itu berbagai laporan yang membingungkan sampai di Tokyo bahwa Hiroshima telah menjadi korban serangan udara yang meratakan kota dengan "ledakan dahsyat dan kilatan yang membutakan". Tidak lama kemudian Jepang menerima siaran radio Presiden Truman yang mengumumkan penggunaan bom atom yang pertama kali, dan berjanji,
Kita sekarang siap untuk memusnahkan dengan cepat dan secara tuntas setiap usaha produktif yang dimiliki Jepang di atas permukaan tanah di setiap kota. Kita akan menghancurkan dok-dok mereka, pabrik-pabrik mereka, dan komunikasi mereka. Kita tegaskan sekali lagi; kita akan secara tuntas menghancurkan kekuatan Jepang untuk berperang. Hal itu untuk menyelamatkan rakyat Jepang dari kehancuran total sesuai ultimatum 26 Juli yang dikeluarkan di Potsdam. Pemimpin-pemimpin mereka dengan segera menolak ultimatum. Bila mereka sekarang tidak menerima syarat-syarat kita, mereka tinggal menunggu hujan kehancuran dari udara, tidak seperti apa yang pernah mereka saksikan di atas muka bumi ini...[77]
Pada awalnya, sebagian orang tidak percaya Amerika Serikat telah membuat bom atom. Jepang tahu benar tentang betapa sulitnya membuat bom atom. Angkatan Laut dan Angkatan Darat Kekaisaran Jepang masing-masing memiliki program bom atom secara terpisah hingga makin mempersulit usaha mereka.[78] Kepala Staf Umum Angkatan Laut Laksamana Soemu Toyoda mengatakan bila memang benar Amerika Serikat sudah membuat sebuah bom, mereka sekarang sudah tidak punya lagi.[79] Pakar strategi Amerika Serikat yang menanti reaksi seperti Toyoda, merencanakan untuk menjatuhkan sebuah bom atom kedua tidak lama setelah bom atom pertama untuk meyakinkan Jepang bahwa Amerika Serikat punya banyak persediaan.[63][80]
Tokyo menerima laporan terinci tentang skala kehancuran yang tidak diduga sebelumnya di Hiroshima. Namun dua hari telah lewat sebelum pemerintah mengadakan pertemuan untuk menimbang-nimbang situasi yang sudah berubah. Pukul 04.00 tanggal 9 Agustus 1945, Tokyo menerima berita bahwa Uni Soviet telah melanggar Pakta Netralitas,[33] menyatakan perang terhadap Jepang,[81] dan melancarkan invasi ke Manchuria.[82]
Kejutan ganda berupa Hiroshima yang dijatuhi bom atom dan invasi Soviet langsung mengubah sikap Perdana Menteri Suzuki dan Menteri Luar Negeri Tōgō Shigenori secara drastis. Keduanya sepakat pemerintah harus segera mengakhiri perang.[83] Namun, pemimpin senior Angkatan Darat Kekaisaran Jepang menanggapi pengeboman Hiroshima dan invasi Soviet secara tenang, dan sangat meremehkan skala serangan. Mereka memulai persiapan untuk memberlakukan darurat militer dengan dukungan Menteri Perang Korechika Anami dengan maksud menghentikan siapa pun yang mencoba berdamai.[84] Hirohito memerintahkan Kido untuk "mengendalikan situasi dengan cepat" karena "Uni Soviet sudah menyatakan perang dan hari ini telah memulai peperangan terhadap kami."[85]
Dewan Penasihat Militer bertemu pada pukul 10.30. Suzuki yang baru tiba dari pertemuan dengan Kaisar berkata bahwa melanjutkan perang sudah tidak mungkin. Tōgō Shigenori mengatakan bahwa mereka dapat menerima syarat-syarat Deklarasi Postdam, tetapi mereka perlu jaminan mengenai posisi Kaisar. Menteri Angkatan Laut Yonai berkata bahwa mereka harus membuat beberapa proposal diplomatik. Mereka tidak dapat lagi menunggu kesempatan yang lebih baik.
Di tengah-tengah rapat, tidak lama setelah pukul 11.00 datang berita Nagasaki di pesisir barat Kyushu telah dijatuhi bom atom kedua ("Fat Man") oleh Amerika Serikat. Hingga rapat berakhir, pendapat enam anggota Dewan Penasihat Militer terbelah menjadi 3 lawan 3. Suzuki, Tōgō, dan Admiral Yonai memilih usulan Tōgō untuk menambah satu syarat tambahan di Deklarasi Potsdam. Sebaliknya Jenderal Anami, Umezu, dan Laksamana Toyoda bersikeras untuk menambah tiga syarat-syarat lebih lanjut yang merevisi Potsdam: Jepang mengurusi pelucutan diri sendiri, Jepang mengurusi semua penjahat perang Jepang, dan tidak boleh ada pendudukan atas Jepang.[86]
Setelah pengeboman atom Nagasaki, Truman memberikan pernyataan lain:
Pemerintahan Britania, China, dan Amerika Serikat telah memberikan cukup peringatan kepada Jepang mengenai apa yang tersedia untuk mereka. Kita telah memberikan syarat-syarat umum bagi mereka untuk menyerah. Peringatan tersebut diabaikan; syarat-syarat kita pun ditolak. Sejak saat itu, Jepang telah menyaksikan apa yang dapat dilakukan oleh bom atom kita. Mereka bisa meramalkan apa yang akan dilakukan bom tersebut pada masa depan.
Dunia akan mencatat bahwa bom atom pertama dijatuhkan di Hiroshima, sebuah pangkalan militer. Itu karena kita berharap bahwa serangan pertama ini sebisa mungkin menghindari pembunuhan warga sipil . Tapi serangan itu hanya peringatan mengenai apa yang akan datang. Jika Jepang tidak menyerah, bom harus dijatuhkan di industri-industri perangnya, dan sayangnya ribuan nyawa warga sipil akan melayang. Saya mendorong warga sipil Jepang untuk segera meninggalkan kota-kota industri dan menyelamatkan diri dari kehancuran.
Saya menyadari pentingnya bom atom yang tragis ini.
Produksi dan penggunaannya tidak dianggap enteng oleh Pemerintah ini. Tapi kita tahu bahwa musuh-musuh kita mencarinya. Sekarang kita tahu mereka nyaris mendapatkannya. Dan kita tahu bencana yang akan menimpa Bangsa ini, dan semua bangsa yang cinta damai, semua peradaban, jika mereka telah menemukannya terlebih dahulu.
Itulah sebabnya kita merasa terdorong untuk melakukan upaya penemuan dan produksi yang panjang dan tidak pasti dan memakan biaya.
Kita memenangkan perlombaan penemuan melawan Jerman.
Setelah menemukan bom kita telah menggunakannya. Kita telah menggunakannya terhadap mereka yang menyerang kita tanpa peringatan di Pearl Harbor, terhadap mereka yang membuat kelaparan dan memukuli dan menghukum mati tahanan perang Amerika, terhadap mereka yang tidak mematuhi hukum peperangan internasional. Kita telah menggunakannya untuk memperpendek penderitaan perang, untuk menyelamatkan ribuan nyawa pemuda Amerika.
Kita akan terus menggunakannya sampai kita benar-benar menghancurkan kemampuan Jepang dalam berperang. Hanya kapitulasi Jepang yang akan menghentikannya.[87]
Rapat kabinet lengkap dilangsungkan mulai pukul 14.30 tanggal 9 Agustus 1945. Sebagian besar waktu rapat dihabiskan untuk memperdebatkan soal kapitulasi. Seperti halnya Dewan Penasihat Militer, pendapat kabinet terpecah dua. Sikap Tōgō ataupun sikap Anami masing-masing tidak mendapat dukungan mayoritas.[88] Anami mengatakan kepada menteri kabinet yang lain bahwa, sewaktu disiksa, seorang pilot B-29 Amerika Serikat yang tertangkap mengatakan kepada para interogator bahwa Amerika Serikat memiliki 100 bom atom dan Tokyo serta Kyoto akan dijatuhi bom "dalam beberapa hari berikut". Pilot Marcus McDilda memang berbohong. Ia sama sekali tidak tahu tentang Proyek Manhattan, dan hanya mengatakan hal tersebut kepada para interogator karena itulah yang dia pikir mereka ingin dengar agar penyiksaan segera berakhir. Kebohongan McDilda yang menyebabkan dirinya diklasifikasikan sebagai tawanan perang prioritas tinggi, kemungkinan telah menyelamatkan dirinya dari hukuman penggal.[89] Pada kenyataannya, bom atom ketiga Amerika Serikat akan siap untuk dipakai sekitar 19 Agustus, dan bom atom keempat pada bulan September 1945.[90] Bom atom ketiga kemungkinan akan dijatuhkan di Tokyo.[91]
Rapat kabinet ditunda pada pukul 17.30 tanpa ada konsensus. Rapat kedua berlangsung dari pukul 18.00 hingga 22.00 juga berakhir tanpa konsensus. Setelah rapat kedua selesai, Suzuki dan Tōgō bertemu Kaisar, dan Suzuki mengusulkan rapat kekaisaran darurat yang dimulai sesaat sebelum tengah malam pada malam 9-10 Agustus.[92] Suzuki mengajukan proposal empat syarat Anami sebagai konsensus yang diambil Dewan Penasihat Militer. Anggota dewan yang lainnya ikut bersuara, seperti halnya Hiranuma Kiichirō, ketua Penasihat Kaisar yang menjelaskan ketidakmampuan Jepang untuk mempertahankan diri sendiri dan juga menceritakan masalah dalam negeri seperti kekurangan bahan makanan. Kabinet berdebat, namun tidak menghasilkan konsensus. Pada akhirnya, sekitar pukul 02.00 (10 Agustus 1945), Suzuki lalu bertanya kepada Kaisar Hirohito memintanya untuk memilih di antara dua sikap. Walaupun pernyataan Kaisar tidak direkam, berdasarkan ingatan para peserta rapat, berikut ini adalah pernyataan Kaisar Hirohito:
Saya telah berpikir serius tentang situasi sekarang di tanah air dan luar negeri, serta telah berkesimpulan bahwa meneruskan perang hanya akan menjadi sebuah penghancuran bangsa dan perpanjangan pertumpahan darah dan kekejaman di dunia. Saya tidak tahan melihat rakyat tak berdosa menderita lebih lama lagi. ...
Saya sebelumnya diberi tahu oleh pihak-pihak yang mendukung perpanjangan peperangan bahwa pada bulan Juni divisi baru akan ditempatkan di posisi-posisi perbentengan [timur Tokyo] siap menanti penyerbu ketika mereka tiba. Sekarang sudah bulan Agustus dan perbentengan tersebut masih belum selesai. ...
Ada pihak yang mengatakan kunci keberlangsungan negara terletak pada pertempuran yang menentukan di tanah air. Namun, pengalaman masa lalu menunjukkan selalu ada ketidaksesuaian antara rencana dan hasilnya. Saya tidak percaya bahwa ketidaksesuaian dalam kasus Kujukuri dapat dikoreksi. Mengingat ini adalah kecenderungan yang akan terus terjadi, bagaimana kita dapat mengusir para penyerbu?[Ia lalu memberikan beberapa contoh spesifik tentang meningkatnya kekuatan destruktif bom atom]
Sudah barang tentu tak tertahankan bagi saya untuk melihat dilucutinya prajurit Jepang yang setia dan berani. Begitu pula sama tak tertahankannya membiarkan prajurit yang telah mengabdi kepada saya dihukum sebagai provokator perang. Meskipun begitu, waktunya telah tiba untuk menanggung derita yang tak tertahankan. ...
Saya menelan air mata dan memberikan persetujuan untuk usulan tersebut dan menerima proklamasi Sekutu berdasarkan garis besar yang dikemukakan Menteri Luar Negeri.[93]
Menurut Jenderal Sumihisa Ikeda dan Laksamana Zenshirō Hoshina, Ketua Dewan Penasihat Kaisar Hiranuma Kiichirō kemudian menghadap ke arah kaisar dan bertanya: "Yang Mulia, Yang Mulia juga bertanggung jawab (sekinin) atas kekalahan ini. Permintaan maaf seperti apa yang akan diajukan kepada pendiri kekaisaran dan para leluhur kekaisaran lainnya?"[94]
Setelah Kaisar meninggalkan ruangan, Suzuki mendesak kabinet untuk menerima keinginan Kaisar dan berhasil. Dini hari 10 Agustus 1945, Kementerian Luar Negeri mengirimkan telegram ke Sekutu (melalui Departemen Politik Federal Swiss dan khususnya Max Grässli) mengumumkan bahwa Jepang menerima Deklarasi Potsdam tetapi tidak akan menerima syarat-syarat apa pun yang akan "merugikan hak prerogatif" Kaisar. Hal tersebut berarti tidak adanya perubahan dalam bentuk pemerintahan di Jepang,[95] bahwa Kaisar Jepang tetap dalam posisinya memegang kekuasaan sebenarnya di dalam pemerintahan.[96]
Jawaban Sekutu ditulis oleh James F. Byrnes dan disetujui oleh pemerintah Inggris, Cina, dan Uni Soviet, walaupun Uni Soviet setuju dengan rasa enggan. Sekutu mengirimkan balasan (lewat Departemen Urusan Politik Swiss) atas penerimaan Jepang terhadap Deklarasi Potsdam pada 12 Agustus 1945. Mengenai status kaisar, dicantumkan,
Mulai dari saat kapitulasi, kekuasaan kaisar dan Pemerintah Jepang untuk mengatur negara akan tunduk kepada Komandan Tertinggi Sekutu yang akan mengambil langkah-langkah yang menurutnya layak sesuai dengan syarat-syarat kapitulasi yang berlaku. ... Bentuk akhir pemerintahan Jepang akan, sesuai dengan Deklarasi Potsdam, didirikan oleh keinginan rakyat Jepang yang diungkapkan secara bebas.[97]
Presiden Truman memerintahkan operasi-operasi militer (termasuk pengeboman B-29) agar diteruskan hingga pernyataan resmi kapitulasi Jepang diterima. Namun, para koresponden berita dengan salah menginterpretasikan komentar Carl Andrew Spaatz tentang B-29 yang tidak lagi diterbangkan pada 11 Agustus (karena cuaca buruk) sebagai pernyataaan bahwa gencatan senjata sudah berlaku. Dalam usaha menghindari pihak Jepang mendapat kesan Sekutu telah mengabaikan usaha-usaha perdamaian dan meneruskan pengeboman, Truman kemudian memerintahkan penghentian pengeboman.[98][99]
Kabinet Jepang mempertimbangkan jawaban Sekutu, dan Suzuki berpendapat bahwa mereka harus menolaknya dan bertahan pada jaminan eksplisit soal sistem kekaisaran. Anami kembali ke sikap dirinya bahwa tidak akan ada pendudukan atas Jepang. Setelah itu, Tōgō mengatakan kepada Suzuki bahwa harapan mendapatkan syarat-syarat yang lebih baik sudah tidak ada, dan Kido menyampaikan keinginan Kaisar agar Jepang menyerah. Dalam pertemuan dengan Kaisar, Yonai mengemukakan keprihatinannya mengenai kerusuhan sipil yang makin bertambah,
Saya kira syaratnya tidak pantas, tetapi bom-bom atom dan masuknya Soviet ke dalam perang, pada hakikatnya, adalah hadiah dari langit. Dengan demikian kita tidak perlu mengatakan bahwa kita berhenti perang karena masalah dalam negeri.[100]
Pada hari itu, Hirohito menyampaikan kepada keluarga kekaisaran tentang keputusannya untuk menyerah. Salah seorang pamannya, Pangeran Asaka lalu bertanya apakah perang akan terus berlanjut bila kokutai (struktur negara/pemerintahan nasional) tidak dapat dipertahankan. Kaisar dengan singkat menjawab "tentu saja".[101][102]
Dewan Penasihat Militer dan kabinet menghabiskan sepanjang hari 13 Agustus berdebat mengenai jawaban mereka atas tanggapan Sekutu, namun hasilnya masih buntu. Sementara itu, Sekutu makin bertambah ragu-ragu menunggu jawaban Jepang. Pihak Jepang telah diinstruksikan untuk menjawab dalam teks polos, tetapi ternyata menjawab dalam pesan tersandi.
Peningkatan lalu lintas komunikasi diplomatik dan militer juga dideteksi oleh Sekutu yang mengartikannya sebagai bukti Jepang sedang menyiapkan sebuah "serangan banzai habis-habisan". Presiden Truman memerintahkan dilanjutkannya serangan udara terhadap Jepang dalam intensitas maksimum "sehingga bisa meyakinkan pejabat-pejabat Jepang bahwa kita sungguh-sungguh dan serius dalam membuat mereka menerima usulan damai kita tanpa ditunda."[103][104] Armada Ketiga Amerika Serikat mulai menembakkan meriam-meriamnya ke pantai Jepang. Dalam serangan udara terbesar sepanjang sejarah Perang Pasifik, Amerika Serikat mengerahkan lebih dari 400 pengebom B-29 untuk menyerang Jepang sepanjang hari 14 Agustus 1945, dan menambahnya lagi dengan 300 pesawat pengebom pada malam itu.[105] Total 1.014 pesawat dikerahkan dan semuanya kembali dengan selamat.[106] Dalam misi pengeboman terpanjang dalam sejarah perang,[107] B-29 dari Skuadrom Bombardemen 315 terbang 3.800 mil untuk menghancurkan pengilangan Nippon Oil Company di Tsuchizaki yang berada di ujung utara Honshu. Pengilangan minyak tersebut merupakan satu-satunya pengilangan minyak Jepang yang masih beroperasi di Jepang dan menghasilkan 67% dari kebutuhan minyak Jepang.[108] Seusai perang, serangan udara dapat dibenarkan asalkan mereka sudah berangkat ketika pernyataan kapitulasi Jepang diterima, namun hal ini hanya sebagian yang benar.[109]
Atas saran pakar operasi psikologis Amerika Serikat, pesawat-pesawat B-29 diberangkatkan pada 13 Agustus untuk menjatuhkan selebaran-selebaran di atas Jepang, menjelaskan rakyat Jepang tentang tawaran untuk menyerah dan sikap Sekutu.[103] Selebaran-selebaran ini berdampak drastis terhadap proses pengambilan keputusan Jepang. Pada dini hari 14 Agustus, Suzuki, Kido, dan Kaisar Hirohito menyadari bahwa hari itu akan berakhir dengan diterimanya syarat-syarat Amerika Serikat atau sebuah kudeta militer.[110] Kaisar bertemu dengan perwira angkatan darat dan angkatan laut paling senior. Sementara beberapa di antaranya memilih untuk terus berjuang, namun tidak demikian halnya dengan Marsekal Lapangan Shunroku Hata. Sebagai komandan Angkatan Darat Umum Kedua yang bermarkas di Hiroshima, Hata memerintahkan semua pasukannya mempertahankan bagian selatan Jepang. Mereka dikerahkan untuk bertempur dalam "pertempuran menentukan". Hata mengatakan dirinya tidak yakin dapat memukul kekuatan invasi dan tidak mempermasalahkan keputusan Kaisar. Kemudian Kaisar meminta para pemimpin militer untuk bekerja sama dengannya mengakhiri perang.[110]
Dalam konferensi dengan menteri kabinet dan penasihat lainnya, Anami, Toyoda, dan Umezu sekali lagi mengemukakan keinginannya untuk meneruskan perang, tetapi kemudian Kaisar berkata,
Saya telah mendengar baik-baik masing-masing argumen yang diajukan untuk menolak sikap Jepang yang harus menerima jawaban Sekutu seperti apa adanya dan tanpa klarifikasi lebih lanjut atau modifikasi, tetapi pemikiran-pemikiran diri saya sendiri belum mengalami perubahan. ... Supaya keputusan saya bisa diketahui rakyat, saya memerintahkan untuk segera menyiapkan perintah kaisar sehingga saya dapat menyiarkannya ke seluruh negeri. Pada akhirnya, saya mengimbau kepada Anda sekalian untuk berusaha segiat mungkin sehingga kita dapat bertemu pada hari-hari penuh cobaan yang segera tiba.[111]
Kabinet segera melakukan rapat dan dengan suara bulat meratifikasi keinginan Kaisar. Mereka juga memutuskan untuk menghancurkan sebagian besar dokumen yang berkaitan dengan kejahatan perang dan tanggung jawab perang dari para pemimpin-pemimpin tertinggi Jepang.[112][113] Segera seusai konferensi, Kementerian Luar Negeri mengirimkan perintah-perintah ke kedutaan di Swiss dan Swedia untuk menerima syarat-syarat kapitulasi yang ditentukan Sekutu. Pesan-pesan ini ditangkap dan diterima di Washington pada pukul 02.49 tanggal 14 Agustus 1945.[111]
Naskah Perintah Kekaisaran selesai pada pukul 19.00, ditulis oleh ahli kaligrafi resmi istana, dan dibawa ke menteri kabinet untuk ditandatangani. Sekitar pukul 23.00, Kaisar Hirohito dengan bantuan seorang awak radio NHK membuat sebuah rekaman gramafon berisi pembacaan pidato naskah Perintah Kekaisaran tentang kapitulasi.[114] Rekaman tersebut diberikan kepada pengurus rumah tangga istana Yoshihiro Tokugawa yang menyembunyikannya dalam tempat penyimpanan di kantor sekretaris Permaisuri Kōjun.[115]
Larut malam 12 Agustus 1945, Mayor Kenji Hatanaka bersama Letnan Kolonel Masataka Ida, Masahiko Takeshita (ipar Anami), dan Inaba Masao, serta Kepala Bagian Urusan Militer Kolonel Okitsugu Arao berbicara kepada Menteri Perang Korechika Anami[116] mengharapkan dukungan Anami, dan memohon kepadanya untuk melakukan apa saja yang dapat ia lakukan untuk menghalangi diterimanya Deklarasi Potsdam. Jenderal Anami menolak untuk mengatakan apakah dirinya bersedia membantu perwira-perwira muda yang ingin memberontak.[117] Mereka sangat membutuhkan dukungan Anami, oleh karena itu mereka tidak memiliki pilihan lain selain meneruskan rencana dan berusaha melakukan kudeta dengan kekuatan sendiri. Hatanaka menghabiskan sebagian besar tanggal 13 Agustus dan 14 Agustus pagi, untuk mengumpulkan rekan-rekan yang bersimpati, mencari dukungan dari pejabat tinggi di kementerian, dan menyempurnakan rencana kudetanya.[118]
Tidak lama setelah usainya konferensi pada malam 13-14 Agustus yang memutuskan Jepang untuk menyerah, sekelompok perwira senior angkatan darat, termasuk Anami berkumpul di ruangan yang berdekatan. Perwira yang hadir cemas mengenai kemungkinan kudeta (karena kemungkinan sedang dipikirkan oleh beberapa perwira yang hadir) untuk menghalangi penyerahan Jepang. Setelah terdiam, Jenderal Torashirō Kawabe mengusulkan agar semua perwira senior yang hadir menandatangani kesepakatan untuk melaksanakan kapitulasi seperti diperintahkan Kaisar, "Angkatan darat akan bertindak sesuai dengan keputusan kekaisaran hingga titik penghabisan." Surat kesepakatan tersebut ditandatangani oleh semua perwira berpangkat tinggi yang hadir, termasuk Anami, Hajime Sugiyama, Yoshijirō Umezu, Kenji Doihara, Torashirō Kawabe, Masakazu Kawabe, dan Tadaichi Wakamatsu. "Selain pengumuman Anami, kesepakatan tertulis perwira-perwira angkatan darat paling senior berfungsi sebagai rem melawan setiap usaha melakukan kudeta di Tokyo."[119]
Sekitar pukul 21.30 tanggal 14 Agustus 1945, kelompok pemberontak pimpinan Hatanaka mulai bergerak. Resimen Kedua dari Penjaga Kekaisaran Pertama telah memasuki kawasan istana sebagai tambahan bagi batalion sebelumnya. Kemungkinan mereka dikerahkan sebagai perlindungan ekstra melawan pemberontakan Hatanaka. Namun, Hatanaka bersama Letnan Kolonel Jirō Shiizaki meyakinkan komandan Penjaga Kekaisaran Pertama, Letnan Kolonel Haga Toyojirō mengenai tujuan-tujuan mereka. Letkol Haga diberi tahu (bukan keadaan sebenarnya) bahwa Anami, Umezu, dan para komandan Angkatan Darat Distrik Timur, serta berbagai Divisi Penjaga Kekaisaran mendukung rencana mereka. Hatanaka juga pergi menemui Shizuichi Tanaka, komandan angkatan darat wilayah timur. Ia berusaha membujuk Tanaka agar mau membantu kudeta, namun ditolak. Hatanaka diperintahkannya pulang ke rumah, namun perintah ini diabaikannya.[115]
Pada awalnya, Hatanaka berharap hanya dengan menunjukkan pemberontakan sudah dimulai dengan cara menduduki istana, para prajurit angkatan darat akan tergerak dan bangkit melawan usaha penyerahan Jepang. Prinsip ini terus dipegangnya hingga hari-hari terakhir dan jam-jam terakhir sebagai optimisme buta. Rencana terus dijalankannya walaupun hanya sedikit didukung oleh atasan. Hatanaka dan rekan-rekan memutuskan para penjaga akan mengambil alih istana pada pukul 02.00. Jam-jam pergantian penjaga dihabiskan untuk terus mencoba meyakinkan atasan di angkatan darat untuk bergabung dengan kudeta. Hampir pada saat yang bersamaan, Jenderal Anami melakukan seppuku dengan meninggalkan pesan "Aku dengan kematianku, dengan rendah hati memohon ampun kepada Kaisar untuk kejahatan besar".[120] Hingga kini tidak jelas apakah kejahatan yang dimaksud adalah kalah dalam perang atau melakukan kudeta.[121]
Beberapa saat sebelum pukul 01.00, Hatanaka dan anak buahnya mengepung istana. Hatanaka, Letnan Kolonel Shiizaki, dan Kapten Shigetarō Uehara (dari Akademi Angkatan Udara) pergi ke kantor Letnan Jenderal Takeshi Mori untuk memintanya mendukung kudeta. Mori sedang rapat dengan kakak ipar bernama Michinori Shiraishi. Kerja sama Mori yang menjabat komandan Divisi Penjaga Kekaisaran Pertama sangat penting bagi keberhasilan kudeta. Setelah ternyata menolak membantu kudeta, Mori dibunuh oleh Hatanaka yang takut Mori memerintahkan korps Penjaga Kekaisaran untuk menghentikan pemberontakan.[122] Uehara membunuh Shiraishi yang menjadi korban tewas kedua dan terakhir pada malam itu. Hatanaka kemudian menggunakan stempel resmi Jenderal Mori untuk menandatangani Perintah Strategis Divisi Penjaga Kekaisaran No. 584. Perintah ini meningkatkan jumlah pasukan penjaga Istana Kekaisaran dan Kementerian Rumah Tangga Kekaisaran, dan "melindungi" Kaisar.[123]
Polisi istana dilucuti dan semua gerbang masuk diblokir.[114] Sepanjang malam itu, pasukan pemberontak pimpinan Hatanaka menangkap dan menahan delapan belas orang, termasuk staf kementerian dan awak radio NHK yang dikirim untuk merekam pidato penyerahan Jepang.[114]
Pemberontakan di bawah pimpinan Hatanaka, menghabiskan beberapa jam berikutnya mencari Menteri Rumah Tangga Kekaisaran Sotaro Ishiwatari, Penjaga Cap Pribadi Kaisar Koichi Kido, dan rekaman pidato penyerahan Jepang, namun tidak berhasil. Keduanya bersembunyi di bawah "ruang lemari besi", sebuah kamar besar di bawah Istana Kaisar.[124][125] Usaha pencarian yang dilakukan Hatanaka makin sulit setelah terjadi pemadaman lampu untuk menghindari serangan udara Sekutu, struktur organisasi yang kuno, dan tata letak Kementerian Rumah Tangga Istana. Sebagian dari nama-nama ruangan tidak dikenal oleh para pemberontak. Tokugawa yang menjabat pengurus rumah tangga istana ditangkap oleh pemberontak. Walaupun Hatanaka mengancam untuk merobek isi perutnya dengan katana, Tokugawa berbohong dan mengatakan dirinya tidak tahu tempat rekaman tersebut dan tempat persembunyian orang yang sedang dicari.[126][127] Sewaktu sedang mencari-cari, prajurit pemberontak memutuskan hampir semua kabel telepon. Komunikasi terputus antara tawanan di istana dan dunia luar.
Pada malam itu di Yokohama, kelompok lain yang bersimpati dengan Hatanaka di bawah pimpinan Kapten Takeo Sasaki pergi ke kantor Perdana Menteri Suzuki dengan maksud membunuhnya. Ketika menemui kantor sedang kosong, mereka menembakinya dengan senapan mesin dan membakar gedung sebelum pulang ke rumah. Suzuki mendapat peringatan dari Hisatsune Sakomizu dan melarikan diri beberapa menit sebelum para pemberontak tiba. Setelah membakar rumah Suzuki, para pemberontak pergi ke rumah Kiichirō Hiranuma untuk membunuhnya. Hiranuma kabur lewat pintu samping, dan rumahnya dibakar para pemberontak. Sisa malam pada bulan Agustus 1945 dihabiskan Suzuki di bawah perlindungan polisi, setiap malamnya tidur di tempat tidur berbeda-beda.[126][128]
Sekitar pukul 03.00, Hatanaka mendapat informasi dari Letnan Kolonel Masataka Ida bahwa Angkatan Darat Distrik Timur sedang menuju istana untuk menghentikan kudeta, dan Hatanaka harus menyerah.[129][130] Pada akhirnya setelah melihat rencananya berantakan, Hatanaka mencoba tawar menawar dengan Kepala Staf Angkatan Darat Distrik Timur Tatsuhiko Takashima untuk paling tidak memberinya sepuluh menit mengudara di radio NHK. Ia ingin menjelaskan kepada rakyat Jepang apa yang sedang diusahakan berikut alasannya. Permintaan Hatanaka ditolak.[131] Komandan Resimen Kedua Penjaga Kekaisaran Pertama mengetahui bahwa angkatan darat tidak berada di belakang pemberontakan ini. Hatanaka diperintahkannya untuk meninggalkan kawasan istana.
Beberapa saat sebelum pukul 05.00, sementara rekan-rekan pemberontak meneruskan pencarian, Mayor Hatanaka pergi ke studio NHK. Dengan mangacungkan sepucuk pistol, ia berusaha dengan sia-sia untuk mendapatkan sedikit waktu siaran untuk menjelaskan tindakannya.[132] Satu jam dan beberapa menit kemudian, setelah menerima telepon dari Angkatan Darat Distrik Timur, Hatanaka akhirnya menyerah. Ia bersama para perwira meninggalkan studio NHK.[133]
Pada dini hari, Shizuichi Tanaka mengetahui istana sudah diduduki. Ia pergi ke istana dan menghadapi para perwira pemberontak yang dicaci-makinya telah melakukan tindakan yang berlawanan dengan semangat angkatan darat Jepang. Ia meyakinkan mereka untuk kembali ke barak masing-masing.[126][134] Pada pukul 08.00 pemberontakan sudah sepenuhnya dikuasai. Mereka hanya berhasil menduduki kawasan istana sepanjang malam, namun akhirnya gagal menemukan rekaman yang dicari.[135]
Hatanaka mengendarai sepeda motor berkeliling di jalan-jalan ditemani Letnan Kolonel Shiizaki yang menunggang kuda. Keduanya membagikan selebaran yang menjelaskan motif dan tindakan mereka. Satu jam sebelum siaran radio kaisar dimulai, beberapa menit sekitar pukul 11.00 tanggal 15 Agustus, Mayor Hatanaka menodongkan pistol ke pelipisnya untuk bunuh diri. Shiizaki menusuk dirinya dengan sebuah pisau belati sebelum menembak diri sendiri. Di dalam saku Hatanaka ditemukan sebuah puisi kematian: "Aku tidak menyesal sekarang, awan gelap telah hilang dari kekuasaan kaisar."[128]
Tepat pukul 12.00 tengah hari Waktu Standar Jepang tanggal 15 Agustus diudarakan rekaman pidato Kaisar Jepang kepada rakyat yang berisi Perintah Kekaisaran mengenai Penghentian Perang. Sebagian di antara isinya:
... Walaupun selama empat tahun semua telah menunjukkan yang terbaik--kekuatan angkatan laut dan angkatan darat yang telah bertempur dengan gagah berani, ketekunan dan kegigihan banyak pegawai negeri kami, dan pengabdian setia seratus rakyat kami--situasi perang berkembang tidak selalu ke arah keuntungan Jepang, sementara situasi umum dunia tidak menguntungkan kepentingan kita.
Musuh kita telah mulai memakai sebuah bom baru yang kejam, membunuh dan melukai banyak orang tidak berdosa, kekuatannya dalam menimbulkan kerusakan, sungguh, tak terkira. Selain itu, bila kita terus berperang, tidak hanya akan berakhir dengan kemusnahan bangsa Jepang namun juga akan membawa kepunahan total peradaban manusia.
Bila memang sudah demikian, bagaimana kita akan menyelamatkan berpuluh-puluh juta rakyat kami, atau menebusnya di depan arwah suci para leluhur kaisar? Ini adalah alasan mengapa kami telah menerima syarat-syarat Deklarasi Bersama.
...
Bila dipikirkan, selanjutnya penderitaan yang akan dialami kekaisaran, pastinya akan sangat luar biasa. Kami mengetahui ketulusan hati Anda, rakyat sekalian. Namun, ke mana pun tuntutan waktu dan nasib akan membawa kami, dengan menahan apa yang tak tertahankan, dan menderita penderitaan yang tak terperikan, kami menginginkan kedamaian abadi.
Kualitas rekaman yang rendah, ditambah dialek bahasa Jepang kuno yang dipakai Kaisar dalam naskah, membuat rekaman ini sangat sulit dimengerti oleh sebagian besar pendengar waktu itu.[136]
Pada tengah hari 15 Agustus, siaran radio Jepang yang mengumumkan penyerahan Jepang juga diterima di Jakarta. Pidato radio tersebut sangat mengagetkan tidak saja terhadap para pembesar pemerintah pendudukan Jepang, tetapi juga terhadap semua tokoh Indonesia yang terkait dengan kemerdekaan yang akan datang. Tidak lama setelah pidato radio itu, Soekarno, Mohammad Hatta, dan Achmad Soebardjo mendapat kepastian tentang berita penyerahan itu dari Laksamana Muda Maeda Tadashi.[137]
Pada 17 Agustus 1945, Perdana Menteri Suzuki digantikan oleh paman Kaisar yang bernama Pangeran Higashikuni Naruhiko. Pergantian ini mungkin untuk mencegah kudeta lebih lanjut atau usaha pembunuhan;[138] Mamoru Shigemitsu menggantikan Tōgō sebagai menteri luar negeri.
Sementara itu, tentara Jepang masih bertempur melawan tentara Soviet dan juga tentara Cina, dan sulit mengatur soal gencatan senjata dan penyerahan mereka. Pertempuran udara terakhir oleh penyerang Jepang melawan pengebom pengintai Amerika berlangsung pada tanggal 18 Agustus.[139] Uni Soviet terus menyerang hingga awal September dan merebut Kepulauan Kuril.
Warga sipil Sekutu dan tentara bergembira mendengar berita berakhirnya perang. Alfred Eisenstaedt memotret sebuah foto terkenal V–J day in Times Square, seorang pelaut Amerika Serikat mencium seorang wanita di Times Square. Di Australia, seorang laki-laki dipotret sedang menari dalam foto kegembiraan Dancing Man. Tanggal 14 Agustus dan 15 Agustus dirayakan sebagai Hari Kemenangan atas Jepang di negara-negara Sekutu.[140]
Uni Soviet memiliki rencana untuk menduduki Hokkaido.[141] Namun tidak seperti pendudukan Soviet di Jerman Timur dan Korea Utara, rencana ini batal berkat ditentang Presiden Harry S. Truman.[141]
Pejabat-pejabat Jepang berangkat menuju Manila pada 19 Agustus untuk bertemu Komandan Tertinggi Sekutu Douglas MacArthur dan menerima pengarahan singkat tentang rencana menduduki Jepang. Pada 28 Agustus, 150 personel militer Amerika Serikat diterbangkan ke Atsugi, Prefektur Kanagawa, dan pendudukan Amerika Serikat atas Jepang dimulai. Selanjutnya mereka diikuti oleh kedatangan USS Missouri bersama kapal-kapal pengiring yang mendaratkan Marinir ke-4 di pantai selatan Kanagawa disusul personel lainnya di kemudian hari.
MacArthur tiba di Tokyo pada 30 Agustus dan segera mengeluarkan beberapa undang-undang: Personel Sekutu dilarang menyerang rakyat Jepang. Personel Sekutu dilarang makan makanan orang Jepang yang cuma sedikit. Pengibaran bendera Hinomaru atau "Matahari Terbit" sangat dibatasi.[142]
Upacara resmi kapitulasi berlangsung pada 2 September 1945 ketika wakil-wakil dari Kekaisaran Jepang menandatangani Dokumen Kapitulasi Jepang di Teluk Tokyo di atas USS Missouri. Shigemitsu membubuhkan tanda tangan sebagai wakil pemerintah sipil, sementara Jenderal Umezu membubuhkan tanda tangan sebagai wakil militer.
Di atas kapal Missouri pada hari itu dipasang bendera Amerika Serikat yang pernah dikibarkan di USS Powhatan oleh Komodor Matthew C. Perry pada tahun 1853 ketika pertama kali tiba di Jepang dalam dua kali ekspedisinya. Kedatangan Perry telah menyebabkan ditandatanganinya Konvensi Kanagawa yang memaksa Jepang membuka pelabuhan terhadap kapal-kapal asing.[143][144]
Setelah upacara resmi kapitulasi 2 September di atas kapal Missouri, penyelidikan-penyelidikan mengenai kejahatan perang Jepang segera dimulai. Dalam sebuah pertemuan dengan Jenderal MacArthur pada bulan September, Kaisar Hirohito menawarkan diri untuk menanggung semua kejahatan perang, namun tawaran darinya ditolak dan Hirohito tidak pernah dituntut.[145] Prosedur hukum untuk Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh dikeluarkan pada 19 Januari 1946.[146]
Selain 14 Agustus dan 15 Agustus, tanggal 2 September 1945 juga dirayakan sebagai Hari Kemenangan atas Jepang (V-J Day).[145] Di Jepang, tanggal 15 Agustus diperingati sebagai Hari Peringatan Berakhirnya Perang (Shuusen-kinenbi) dengan nama resmi "Hari Nasional Berkabung untuk Korban Tewas dalam Perang dan Berdoa untuk Perdamaian".[147] Di Korea, 15 Agustus diperingati sebagai Gwangbokjeol, dan Australia memperingati Hari Kemenangan di Pasifik (V-P Day). Presiden Truman menyatakan 2 September sebagai V-J Day, tetapi memberi catatan "Bukanlah hari untuk menyatakan proklamasi resmi berakhirnya perang atau penghentian permusuhan."[148]
Setelah Jepang menandatangani dokumen kapitulasi, berbagai upacara kapitulasi lainnya berlangsung di berbagai wilayah taklukan Jepang di Pasifik. Tentara Jepang di Asia Tenggara menyerah pada 12 September 1945 di Singapura. Hari Penyerahan Kembali (25 Oktober), ditandai dengan pendudukan militer Taiwan.[149] Semua tentara Jepang yang dijadikan tawanan perang Sekutu selesai direpatriasi pada tahun 1947. Hingga akhir April 1949, Cina masih menahan lebih dari 60.000 tentara Jepang sebagai tawanan perang.[150] Beberapa di antaranya seperti Shozo Tominaga tidak direpatriasi hingga akhir 1950-an.[151]
Setelah Jepang menyerah, lebih dari 5.400.000 prajurit dan 1.800.000 pelaut Jepang ditawan oleh Sekutu.[152][153] Kerusakan pada infrastruktur di Jepang, ditambah peristiwa kelaparan serius pada 1946 makin menyulitkan usaha Sekutu memberi makan tawanan perang dan warga sipil Jepang.[154][155]
Perang antara Amerika Serikat dan Jepang secara resmi berakhir ketika Perjanjian San Francisco mulai berlaku pada tanggal 28 April 1952. Jepang dan Uni Soviet secara resmi berdamai empat tahun kemudian, dimana mereka menandatangani Deklarasi Bersama Soviet–Jepang 1956.[156]
Beberapa persembunyian terakhir tentara Jepang, terutama di pulau-pulau kecil di Samudra Pasifik sama sekali menolak untuk menyerah (mereka percaya deklarasi tersebut hanya propaganda atau menganggapnya terlalu bertentangan dengan kode kehormatan mereka). Beberapa di antara prajurit Jepang yang bersembunyi tidak pernah mendengar berita tentang Jepang menyerah. Teruo Nakamura adalah tentara Jepang terakhir yang ditemukan dari persembunyiannya di Indonesia pada Desember 1974. Sementara itu, dua serdadu Jepang yang bergabung dengan gerilya komunis ketika perang berakhir, masih berada di Thailand hingga 1991.[157]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.