Loading AI tools
Penguasaan dan pengendalian atas seseorang dengan cara paksa Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Perbudakan atau perhambaan[1] adalah suatu perbuatan atau keadaan yang membuat seseorang menjadi budak,[2][3] yang merupakan objek properti yang dimiliki oleh orang lainnya.[4]
Banyak kasus perbudakan dalam sejarah terjadi sebagai hukuman dari pelanggaran hukum, kasus terlilit utang, kekalahan militer, atau eksploitasi untuk mendapatkan tenaga kerja yang lebih murah. Bentuk perbudakan lainnya juga dilembagakan menurut garis demografis seperti ras atau jenis kelamin. Budak dapat dibelenggu dalam perbudakan seumur hidup, atau untuk jangka waktu tertentu, dan setelah itu mereka akan diberikan kebebasan.[5] Meskipun perbudakan umumnya dilakukan secara paksa, terdapat pula kasus perbudakan secara sukarela dengan tujuan untuk membayar utang atau mendapatkan sedikit uang karena alasan kemiskinan. Dalam sejarah manusia, perbudakan telah menjadi salah satu aspek dari peradaban,[6] dan pernah legal di sebagian besar masyarakat dunia, tetapi sekarang dilarang secara hukum di semua negara di dunia.[7][8]
Dalam perbudakan tradisional (chattel slavery), budak secara hukum dianggap sebagai properti pribadi (barang) yang dimiliki oleh pemilik budak. Dalam ilmu ekonomi, istilah perbudakan de facto merujuk pada kondisi kerja paksa yang dialami oleh sebagian besar budak.[9]
Republik Islam Mauritania adalah negara terakhir di dunia yang secara resmi melarang perbudakan.[10] Pada tahun 2007, "karena tekanan dunia internasional", Pemerintah Mauritania mengesahkan undang-undang yang membuat para pemilik budak dapat dituntut secara pidana dan diadili di pengadilan.[11] Namun demikian, pada tahun 2019, masih terdapat sekitar 40 juta orang, di antaranya 26 persen adalah anak-anak, yang diperbudak di seluruh dunia meskipun ilegal. Di dunia modern, lebih dari 50 persen orang yang diperbudak untuk melakukan kerja paksa, biasanya di pabrik-pabrik di sektor swasta suatu negara.[12] Di negara-negara industri, perdagangan manusia adalah jenis perbudakan modern; di negara-negara non-industri, perbudakan dengan utang adalah bentuk umum dari perbuatan memperbudak seseorang,[9] seperti pembantu rumah tangga tawanan, kawin paksa, dan tentara anak.[13]
Terdapat perdebatan di antara para sejarawan tentang apakah istilah seperti "buruh kerja paksa" atau "orang yang diperbudak", lebih baik digunakan dibandingkan istilah "budak" untuk para korban perbudakan. Menurut mereka yang mengusulkan perubahan terminologi, istilah budak melanggengkan kejahatan perbudakan dengan mereduksi korbannya menjadi kata benda dan bukan manusia. Sejarawan lain lebih memilih budak karena istilah itu lebih familier dan lebih pendek, atau karena secara akurat mencerminkan ketidakmanusiawian praktik perbudakan, dan sebaliknya, kata orang secara implisit menunjukkan adanya tingkat otonomi yang dimiliki, yang justru tidak ada dalam perbudakan.[14]
Sebagai sebuah praktik sosial yang terinstitusionalisasi, perbudakan tradisional menolak agensi atau otonomi manusia dan secara hukum merendahkan derajat dan status kemanusiaan mereka menjadi barang-barang (chattel) yang dimiliki oleh pemiliknya; oleh karena itu budak dianggap melahirkan budak; anak-anak budak dilahirkan juga sebagai budak, di bawah doktrin hukum pada tahun 2100 SM, Undang-Undang Ur-Nammu ("4. Jika seorang budak menikahi seorang budak, dan budak itu dibebaskan, dia tidak meninggalkan rumah. 5. Jika seorang budak menikah dengan orang merdeka, dia harus menyerahkan anak sulungnya kepada pemiliknya. ...") atau doktrin hukum pada tahun 1662 CE partus sequitur venttrem ("Apa yang dilahirkan mengikuti rahim").[15] Seperti ternak, mereka dapat dibeli dan dijual sesuka hati.[16]
Secara hukum, budak dapat digunakan secara seksual dengan cara apa pun yang diinginkan pemiliknya; perempuan tidak punya hak untuk menolak. Pada periode Antebellum di Amerika Serikat, banyak perempuan yang diperbudak dipaksa untuk hamil dan melahirkan berulang kali, tanpa ada keterangan siapa yang menghamili mereka; anak-anak mereka biasanya diambil dari mereka dan dijual, seolah-olah mereka adalah anak sapi. Meski beberapa bentuk perbudakan umum telah terjadi sepanjang sejarah manusia, gagasan spesifik perbudakan orang sebagai barang yang dijelaskan di atas mencapai puncaknya di Amerika.[17] Dimulai di abad ke-18, gerakan abolisionis melihat perbudakan sebagai pelanggaran hak setiap orang sebagai manusia ("semua manusia diciptakan sama"), dan berusaha untuk menghapusnya. Gerakan ini berhasil; negara Barat terakhir yang menghapus perbudakan adalah Brasil pada tahun 1888.[18] Negara dunia ketiga terakhir yang menghapus perbudakan adalah Mauritania, yang mempertahankan praktik perbudakan sampai tahun 1981.
Bentuk lain dari perbudakan chattel adalah perbudakan seksual, yang seringkali terjadi dalam konteks militer, termasuk penahanan di "kamp pemerkosaan" atau "stasiun penghiburan", "wanita penghibur", "perkawinan paksa" dengan tentara dan praktik lain yang melibatkan perlakuan terhadap perempuan atau laki-laki sebagai barang properti. Semua praktik-praktik ini merupakan pelanggaran terhadap norma-norma fundamental internasional (jus cogens) yang melarang perbudakan.[19][20][21][22]
Indenture, atau dikenal sebagai kerja paksa yang terikat atau perbudakan utang, adalah suatu bentuk kerja paksa yang melibatkan seseorang yang menjaminkan dirinya sendiri atas suatu pinjaman/utang. Bentuk kerja paksa yang diperlukan untuk membayar utang, dan durasinya, mungkin tidak ditentukan. Kerja paksa terkait utang dapat diturunkan dari generasi ke generasi, dengan anak-anak diminta untuk melunasi utang nenek moyang atau orang tua mereka.[23] Perbudakan Ini adalah bentuk perbudakan yang paling luas saat ini.[24] Kerja paksa terkait jeratan utang paling banyak terjadi di Asia Selatan.[23] Pernikahan uang (money marriage) mengacu pada pernikahan yang melibatkan seorang gadis, biasanya, dinikahkan dengan seorang pria untuk melunasi utang orang tuanya.[25] Sistem Chukri adalah sistem ijon yang ditemukan di beberapa bagian Benggala yang membuat seorang wanita dapat dipaksa menjadi pelacur untuk melunasi utang.[26]
Istilah "perbudakan" juga telah digunakan untuk merujuk pada status ketergantungan hukum kepada orang lain.[27][28] Misalnya, di Persia, situasi dan kehidupan budak bisa lebih baik daripada warga biasa.[29]
Kerja paksa, atau kerja tidak bebas, adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan seseorang yang dipaksa bekerja di luar keinginan mereka sendiri, di bawah ancaman kekerasan, atau hukuman lain, tetapi istilah umum kerja tidak bebas juga digunakan untuk menggambarkan perbudakan properti orang (chattel), serta setiap situasi lain ketika seseorang diwajibkan untuk bekerja di luar keinginannya sendiri, dan kemampuan seseorang untuk bekerja secara produktif berada di bawah kendali penuh orang lain.[butuh rujukan] Ini mungkin juga termasuk lembaga-lembaga yang tidak biasa diklasifikasikan sebagai perbudakan, seperti perbudakan tani, wajib militer, dan buruh hukuman. Meski beberapa pekerja yang tidak bebas, seperti budak tani, memiliki beberapa hak de jure hukum atau tradisional, mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengakhiri pengaturan mereka bekerja dan sering menjadi target bentuk-bentuk pemaksaan, kekerasan, dan pembatasan aktivitas dan gerakan mereka di luar tempat kerja mereka.[butuh rujukan]
Perdagangan manusia, misalnya, melibatkan perempuan dan anak-anak yang dipaksa menjadi pelacur merupakan bentuk kerja paksa yang paling cepat berkembang, dengan Thailand, Kamboja, India, Brasil, dan Meksiko telah diidentifikasi sebagai hotspot utama eksploitasi seksual komersial anak-anak.[30][31]
Pada tahun 2007, Human Rights Watch memperkirakan bahwa 200.000 hingga 300.000 anak menjadi tentara dalam konflik pada waktu itu.[32] Lebih banyak anak perempuan di bawah 16 tahun bekerja sebagai pekerja rumah tangga dibandingkan kategori pekerja anak lainnya. Mereka sering kali dikirim ke kota oleh orang tua mereka yang hidup dalam kemiskinan di pedesaan[33] seperti di restaveks di Haiti.
Pernikahan paksa dan pernikahan dini sering dianggap sebagai jenis perbudakan. Pernikahan paksa terus dipraktikkan di beberapa bagian dunia termasuk beberapa bagian Asia dan Afrika dan di komunitas imigran di negara-negara Barat.[34][35][36][37] Pelacuran suci adalah ketika wanita dan anak perempuan dijanjikan kepada pendeta atau orang-orang dari kasta yang lebih tinggi, seperti praktik Devadasi di Asia Selatan atau budak fetish di Afrika Barat. Pernikahan dengan penculikan terjadi di banyak tempat di dunia saat ini, dengan studi tahun 2003 menemukan rata-rata nasional 69% pernikahan di Ethiopia dilakukan dengan penculikan.[38]
Istilah Perbudakan sering digunakan sebagai merendahkan untuk mendeskripsikan setiap kegiatan ketika seseorang dipaksa untuk melakukan kegiatan itu. Beberapa berpendapat bahwa wajib militer dan bentuk lain dari kerja paksa pemerintah merupakan "perbudakan yang dioperasikan oleh negara".[39][40] Beberapa libertarian dan anarko-kapitalis memandang pajak pemerintah sebagai bentuk perbudakan.[41]
Beberapa pendukung hak-hak hewan telah menggunakan istilah perbudakan pada kondisi beberapa atau semua hewan milik manusia, dengan alasan bahwa status mereka sama seperti dengan budak manusia.[42]
Pasar tenaga kerja, sebagaimana dilembagakan di bawah sistem kapitalis kontemporer, telah dikritik oleh sosialis arus utama dan oleh anarko-sindikalis, yang menggunakan istilah perbudakan upah sebagai kata peyoratif untuk tenaga kerja upahan.[43][44][45] Orang-orang sosialis membandingkan antara perdagangan tenaga kerja sebagai komoditas dan perbudakan. Cicero juga diketahui telah menunjukkan parbandingan seperti itu.[46]
Dalam praktiknya, seorang budak telah dimiliki secara pribadi oleh individu dan juga berada di bawah kepemilikan negara. Misalnya, kisaeng adalah wanita dari kasta rendah di Korea pra-modern, yang dimiliki oleh negara di bawah pejabat pemerintah yang dikenal sebagai hojang dan diharuskan memberikan hiburan kepada para bangsawan; pada tahun 2020-an beberapa kisaeng dilambangkan dengan Kippumjo (brigade kesenangan Korea Utara — bertugas untuk melayani para penguasa negara sebagai selir).[47] "Tribute labour" adalah kerja wajib bagi negara dan telah digunakan dalam berbagai kejadian berulang seperti corvée, mit'a dan repartimiento. Kamp-kamp interniran rezim totaliter seperti Nazi dan Uni Soviet menekankan pentingnya tenaga kerja yang disediakan di kamp-kamp tersebut, yang menyebabkan kalangan sejarawan menyebut sistem seperti itu sebagai perbudakan.[48]
Para ekonom telah memodelkan keadaan bagaimana perbudakan (dan varian seperti perbudakan tani) muncul dan menghilang. Dalam satu observasi dinyatakan bahwa perbudakan menjadi lebih diinginkan bagi pemilik tanah ketika tanah berlimpah tetapi tenaga kerjanya langka, sehingga harga sewa tanah turun dan pekerja yang dibayar dapat menuntut upah yang tinggi. Jika hal sebaliknya yang terjadi, maka adalah lebih mahal bagi pemilik tanah untuk menjaga para budak dibandingkan mempekerjakan pekerja yang dibayar yang hanya dapat menuntut upah rendah karena adanya tingkat persaingan.[49] Jadi, perbudakan pertama dan kemudian perbudakan tani secara bertahap menurun di Eropa seiring dengan pertumbuhan populasi. Bentuk-bentuk perbudakan ini diperkenalkan kembali di Amerika dan di Rusia ketika terdapat area tanah yang luas, tetapi hanya terdapat sedikit penduduk yang ada.[50]
Perbudakan lebih sering terjadi ketika bentuk-bentuk pekerjaannya relatif sederhana dan mudah diawasi, seperti pengerjaan tanaman monokultur skala besar seperti tebu dan kapas, di mana outputnya bergantung pada skala ekonomi. Hal ini memungkinkan sistem perburuhan, seperti sistem geng di Amerika Serikat, menjadi menonjol di perkebunan besar ketika pekerja lapangan bekerja keras dengan presisi seperti pabrik. Kemudian, setiap geng kerja didasarkan pada pembagian kerja internal yang menugaskan setiap anggota geng untuk suatu tugas dan membuat kinerja setiap pekerja bergantung pada tindakan yang pekerja yang lain. Yang diperbudak memotong rumput liar yang mengelilingi tanaman kapas serta kecambah berlebih. Geng bajak mengikuti di belakang, mengaduk tanah di dekat tanaman dan melemparkannya kembali ke sekitar tanaman. Dengan demikian, sistem geng bekerja seperti jalur perakitan.[51]
Sejak abad ke-18, para kritikus berpendapat bahwa perbudakan menghambat kemajuan teknologi karena fokusnya adalah pada peningkatan jumlah budak yang melakukan tugas-tugas sederhana dibandingkan meningkatkan efisiensinya. Misalnya, telah dikatakan bahwa karena fokus bentuk pekerjaan yang sedikit ini, teknologi di Yunani – dan kemudian di Roma – tidak diterapkan untuk memudahkan kerja fisik atau meningkatkan manufaktur.[52]
Ekonom Skotlandia Adam Smith mengatakan bahwa tenaga kerja bebas secara ekonomi lebih baik dibandingkan tenaga kerja budak. Akan tetapi, Smith melanjutkan, hampir tidak mungkin untuk mengakhiri praktik perbudakan dalam sistem pemerintahan yang bebas, demokratis, atau republik karena banyak legislator atau tokoh politiknya adalah pemilik budak, dan tidak akan menghukum diri mereka sendiri. Dia lebih lanjut menyatakan bahwa budak akan lebih mampu mendapatkan kebebasan di bawah pemerintahan terpusat, atau otoritas terpusat seperti raja atau gereja.[53][54] Argumen serupa muncul kemudian dalam karya Auguste Comte, terutama berkaitan dengan dukungan Smith terhadap konsep pemisahan kekuasaan, atau apa yang disebut Comte sebagai "pemisahan spiritual dan temporal" selama Abad Pertengahan dan masa akhir perbudakan. Seperti yang dinyatakan Adam Smith dalam Lectures on Jurisprudence, "Kekuatan besar pendeta yang sejalan dengan raja dapat membebaskan para budak. Tetapi hal ini memerlukan suatu kondisi bahwa otoritas raja dan pendeta harus besar. Ketika salah satu dari otoritas ini ingin melanjutkan praktik perbudakan, maka perbudakan akan berlanjut..."[55]
Bahkan setelah perbudakan menjadi sebuah tindak pidana, pemilik budak tetap bisa mendapatkan keuntungan yang tinggi. Menurut peneliti Siddharth Kara, keuntungan yang dihasilkan di seluruh dunia oleh segala bentuk perbudakan pada tahun 2007 adalah $91,2 miliar. Keuntungan itu merupakan yang terbesar kedua setelah perdagangan narkoba, terkait dengan perusahaan kriminal global. Pada saat itu, diperkirakan rata-rata harga penjualan global seorang budak adalah sekitar $340, dengan tertinggi $1,895 untuk rata-rata budak seks yang diperdagangkan, dan terendah $40 hingga $50 untuk budak yang terikat hutang di sebagian Asia dan Afrika. Keuntungan tahunan rata-rata yang dihasilkan oleh seorang budak pada tahun 2007 adalah $3.175, dengan rata-rata terendah $950 untuk kerja paksa dan $29.210 untuk budak seks yang diperdagangkan. Sekitar 40% dari keuntungan budak setiap tahun dihasilkan oleh budak seks yang diperdagangkan, merepresentasikan lebih dari 4% dari 29 juta budak di dunia.[56]
Sepanjang sejarah, para budak berpakaian dengan cara yang khas, seperti jarang memakai alas kaki, karena mereka biasanya dipaksa untuk bertelanjang kaki. Sebagian besar disebabkan oleh alasan ekonomi, tetapi hal ini juga menjadi ciri khasnya, terutama di Afrika Selatan dan Amerika Selatan. Misalnya, hukum budak Cape Town menyatakan bahwa "Budak harus bertelanjang kaki dan harus membawa izin."[57] Hal ini juga menempatkan budak pada kerugian fisik karena kurangnya perlindungan terhadap kondisi lingkungan dan dalam situasi konfrontasi, sehingga membuat mereka lebih sulit untuk melarikan diri atau memberontak melawan pemiliknya.
Ini adalah kasus di sebagian besar negara. Sebagian besar gambar dari periode sejarah menunjukkan bahwa budak bertelanjang kaki.[58] Brother Riemer mengatakan, "[para budak], bahkan dalam pakaian mereka yang paling indah, wajib bertelanjang kaki. Budak dilarang memakai sepatu. Ini adalah tanda utama perbedaan antara yang bebas dan yang terikat dan tidak ada pengecualian yang diizinkan."[59]
Menurut Alkitab, sepatu telah dianggap sebagai lencana kebebasan sejak zaman kuno: "Tetapi sang ayah berkata kepada hamba-hambanya, Bawalah jubah yang terbaik, dan kenakan padanya; dan kenakan cincin di tangannya, dan sepatu di [kakinya]" (Luke 15:22:KJV). Aspek ini dapat dilihat sebagai hukum informal di daerah tempat perbudakan yang ada karena setiap orang yang terlihat bertelanjang kaki di depan umum dianggap sebagai budak.
Dalam masyarakat tertentu aturan ini berlanjut. Tuareg masih secara tidak resmi mempraktikkan perbudakan dan memaksa budak mereka untuk bertelanjang kaki.[60]
Praktik luas lainnya adalah branding, baik untuk secara eksplisit menandai mereka sebagai properti atau sebagai budak karena hukuman.
Tergantung pada masa dan negaranya, budak terkadang memiliki hak hukum yang terbatas. Misalnya, di Provinsi New York, orang yang dengan sengaja membunuh budak dapat dihukum berdasarkan undang-undang tahun 1686.[61] Terdapat pula hak-hak hukum tertentu yang melekat pada nobi di Korea, untuk memperbudak orang di berbagai masyarakat Afrika, dan budak perempuan kulit hitam di koloni Prancis Louisiana. Memberikan budak hak-hak hukum terkadang didasarkan pada alasan moralitas, tetapi terkadang juga didasarkan pada kepentingan pribadi. Misalnya, di Athena kuno, melindungi budak dari perlakuan buruk secara bersamaan dapat melindungi orang yang mungkin dikira budak, dan memberi budak hak kepemilikan terbatas dapat mendorong budak untuk bekerja lebih keras untuk mendapatkan lebih banyak keuntungan.[62] Di Amerika Serikat bagian selatan sebelum pemusnahan perbudakan pada tahun 1865, sebuah risalah hukum yang mendukung perbudakan melaporkan bahwa budak yang dituduh melakukan kejahatan biasanya memiliki hak hukum untuk mendapatkan nasihat, kebebasan dari bahaya ganda, hak untuk diadili oleh juri dalam kasus yang lebih berat, dan hak untuk dakwaan grand jury, tetapi mereka tidak memiliki banyak hak lain seperti kemampuan orang dewasa kulit putih untuk mengendalikan hidup mereka sendiri.[63]
Beberapa sarjana membedakan bentuk perbudakan kuno dari perbudakan yang sebagian besar berbasis ras. Jenis perbudakan kuno, kadang-kadang disebut "perhambaan yang adil", dikenakan pada tawanan perang, debitur, dan orang-orang rentan lainnya. Perbudakan berbasis ras mulai berkembang secara eksponensial mulai abad ke-14.[64] Bahkan oleh beberapa penulis pada masa itu telah dikatakan bahwa perbudakan secara intrinsik adalah perbuatan yang tidak bermoral.[65][66][67]
Perbudakan telah ada mendahului catatan-catatan tertulis dan ada di banyak budaya.[6] Perbudakan jarang terjadi di antara populasi pemburu-pengumpul karena hal itu membutuhkan surplus ekonomi dan kepadatan populasi yang besar. Jadi, meskipun pada masa pemburu-pengumpul, telah ada pemburu dan pengumpul yang kaya dan mempunyai sumber daya yang luar biasa, misalnya seperti orang Indian Amerika di sungai yang kaya salmon di pantai Barat Laut Pasifik, perbudakan baru menjadi tersebar luas dengan adanya penemuan tentang pertanian selama Revolusi Neolitik sekitar 11.000 tahun yang lalu.[68]
Dalam catatan paling awal yang diketahui, perbudakan telah ada sebagai praktik sosial yang mapan. Kode Hammurabi (c. 1760 BC), misalnya, menetapkan kematian bagi siapa saja yang membantu seorang budak melarikan diri atau yang melindungi seorang buronan.[69] Alkitab menyebutkan perbudakan sebagai institusi yang mapan.[6] Perbudakan dipraktekkan di hampir setiap peradaban kuno.[6] Praktik-praktik perbudakan tersebut termasuk perbudakan hutang, hukuman atas kejahatan, perbudakan tawanan perang, perbudakan anak terlantar, dan perbudakan terhadap keturunan budak.[70]
Perbudakan telah ada di masa Mesir Firaun, tetapi untuk melakukan studi terhadapnya adalah hal yang sulit karena kompleksitas terminologi yang digunakan oleh orang Mesir untuk merujuk pada kelas perbudakan yang berbeda sepanjang sejarah. Penafsiran terhadap bukti-bukti tekstual kelas budak di Mesir kuno sulit dibedakan hanya dengan penggunaan kata-kata yang berbeda.[71][72] Namun tampaknya terdapat tiga jenis perbudakan yang di Mesir Kuno: perbudakan tradisional (chattel), perbudakan hutang, dan kerja paksa.[73][74][75]
Perbudakan juga telah ada di Tiongkok kuno pada awal Dinasti Shang.[76] Perbudakan digunakan sebagian besar oleh pemerintah dinasti sebagai sarana untuk mempertahankan angkatan kerja publik.[77][78]
Catatan tentang perbudakan di Yunani Kuno merujuk pada masa Peradaban Yunani Mikenai. Athena klasik memiliki populasi budak terbesar, sebanyak 80.000 budak pada abad ke-6 dan ke-5 SM.[79] Ketika Republik Romawi berkembang dan melakukan ekspansi, seluruh populasi di seluruh Eropa dan Mediterania diperbudak. Budak-budak itu digunakan untuk tenaga kerja, serta untuk hiburan (misalnya gladiator dan budak seks). Penindasan oleh elit minoritas ini akhirnya menyebabkan pemberontakan budak (lihat Roman Servile Wars); Perang Budak Ketiga dipimpin oleh Spartacus.
Pada akhir era Republik, perbudakan telah menjadi salah satu pilar dan sumber kekayaan Romawi, serta masyarakat Romawi.[80] Diperkirakan bahwa 25% atau lebih dari penduduk Roma Kuno telah diperbudak, meskipun persentase sebenarnya diperdebatkan oleh para sarjana dan bervariasi dari satu wilayah ke wilayah lainnya.[81][82] Budak mewakili 15–25% populasi Italia,[83] sebagian besar merupakan tawanan perang,[83] terutama dari Galia[84] dan Epiros. Perkiraan jumlah budak di Kekaisaran Romawi menunjukkan bahwa mayoritas tersebar di seluruh provinsi di luar Italia.[83] Umumnya, budak di Italia adalah orang Italia asli.[85] Orang asing (termasuk budak dan orang merdeka) yang lahir di luar Italia diperkirakan mencapai 5% dari total di ibukota, yang merupakan jumlah terbesar. Mereka yang berasal dari luar Eropa sebagian besar adalah keturunan Yunani. Budak Yahudi tidak pernah sepenuhnya berasimilasi ke dalam masyarakat Romawi dan tetap menjadi minoritas yang dapat diidentifikasi. Budak ini (terutama orang asing) memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi dan tingkat kelahiran yang lebih rendah daripada penduduk asli dan kadang-kadang mengalami pengusiran massal.[86] Rata-rata usia kematian budak yang tercatat di Roma adalah tujuh belas setengah tahun (17,2 tahun untuk pria; 17,9 tahun untuk wanita).[87]
Pada masa ini, perbudakan telah tersebar luas di Afrika, mengikuti perdagangan budak internal dan eksternal.[88] Di wilayah Senegambia, antara tahun 1300 dan 1900, hampir sepertiga penduduknya diperbudak. Di negara-negara Islam awal Sahel barat, termasuk Ghana, Mali, Segou, dan Songhai, sekitar sepertiga dari populasinya diperbudak.[89]
Selama perdagangan budak trans-Sahara, budak dari Afrika Barat diangkut melintasi gurun Sahara ke Afrika Utara untuk dijual ke peradaban Mediterania dan Timur Tengah. Perdagangan budak Samudra Hindia, kadang-kadang disebut perdagangan budak Afrika timur, bersifat multi-arah. Orang Afrika dikirim sebagai budak ke Semenanjung Arab, ke pulau-pulau Samudra Hindia (termasuk Madagaskar), ke anak benua India, dan kemudian ke Amerika. Para pedagang ini menangkap orang Bantu (Zanj) dari pedalaman di kawasan yang kini dikenal sebagai Kenya, Mozambik dan Tanzania, dan membawa mereka ke kawasan pesisir.[91][92] Di sana, para budak secara bertahap berasimilasi di daerah pedesaan, terutama di pulau Unguja dan Pemba.[93]
Perbudakan di Meksiko dapat ditelusuri ke suku Aztec.[94] Orang Amerindian lainnya, seperti Inca di Andes, Tupinambá dari Brasil, Muscogee Georgia, dan Comanche dari Texas, juga mempraktikkan perbudakan.[6] Perbudakan di Kanada dipraktekkan oleh orang-orang asli dan pemukim Eropa.[95] Komunitas-komunitas pemilik budak yang kemudian menjadi bagian dari Kanada adalah, misalnya, masyarakat nelayan, seperti Yurok, yang tinggal di sepanjang pantai Pasifik dari Alaska hingga California,[96] di tempat yang kadang-kadang digambarkan sebagai Pantai Pasifik atau Pantai Barat Laut Utara. Selain itu, beberapa masyarakat adat di Pantai Barat Laut Pasifik, seperti Haida dan Tlingit, secara tradisional dikenal sebagai pejuang dan pedagang budak yang ganas yang menyerbu hingga ke California. Perbudakan juga dilakukan turun temurun. Keturunan tawanan perang yang diperbudak juga adalah budak.[97] Terdapat beberapa komunitas di British Columbia yang terus memisahkan dan mengucilkan keturunan budak hingga akhir 1970-an.[98]
Di Abad Pertengahan, perbudakan juga terjadi di India, Jepang dan Vietnam.
Banyak orang suku Han yang diperbudak dalam proses invasi Mongol ke Tiongkok.[99] Menurut sejarawan Jepang Sugiyama Masaaki (杉山正明) dan Funada Yoshiyuki (舩田善之), selama masa dinasti Yuan, banyak orang-orang suku Han mempunyai budak Mongolia.[100][101]
Perbudakan di Korea sudah ada sejak sebelum periode Tiga Kerajaan Korea.[102] Perbudakan telah dianggap "sangat penting di Korea abad pertengahan, mungkin lebih penting daripada di negara Asia Timur lainnya, tetapi pada abad ke-16, pertumbuhan populasi membuat [perbudakaan] tidak diperlukan".[103] Perbudakan menurun sekitar abad ke-10 tetapi muncul kembali pada akhir periode Goryeo ketika Korea juga mengalami banyak pemberontakan budak.[102]
Pada periode Joseon di Korea, anggota kelas budak dikenal sebagai nobi. Nobi secara sosial tidak berbeda dari orang bebas (yaitu, kelas menengah dan umum) selain kelas penguasa yangban, dan beberapa memiliki hak milik, dan hak hukum dan sipil. Oleh karena itu, beberapa sarjana berpendapat bahwa tidak pantas untuk menyebut mereka "budak",[104] sementara beberapa sarjana lain menggambarkan mereka sebagai budak.[105][106] Populasi nobi dapat berfluktuasi hingga sekitar sepertiga dari total, tetapi rata-rata nobi terdiri sekitar 10% dari total populasi.[102] Pada tahun 1801, mayoritas nobi pemerintah dibebaskan,[107] dan pada tahun 1858, populasi nobi mencapai sekitar 1,5 persen dari populasi Korea.[108]
Perdagangan budak dalam skala besar terutama terjadi di Selatan dan Timur Eropa abad pertengahan awal: Kekaisaran Bizantium dan dunia Muslim adalah tujuannya, sementara Eropa Tengah dan Timur pagan (bersama dengan Kaukasus dan Tartar) adalah sumbernya. Para pedagang Viking, Arab, Yunani, dan Yahudi Radhanite semuanya terlibat dalam perdagangan budak selama Abad Pertengahan Awal.[109][110][111] Perdagangan budak Eropa mencapai puncaknya pada abad ke-10 setelah Pemberontakan Zanj yang mengurangi penggunaan budak Afrika di dunia Arab.[112][113]
Perbudakan di Eropa abad pertengahan awal sangat umum sehingga Gereja Katolik berulang kali melarangnya, atau setidaknya melarang ekspor budak Kristen ke negeri-negeri non-Kristen, seperti misalnya di Council of Koblenz (922), Council of London (1102) (yang ditujukan terutama pada penjualan budak Inggris ke Irlandia)[114] dan Dewan Armagh (1171). Perbudakan tani juga diterima secara luas. Pada tahun 1452, Paus Nicholas V mengeluarkan bulla kepausan Dum Diversas, untuk memberikan raja Spanyol dan Portugal hak untuk mengurangi "Saracen (Muslim), pagan dan orang tidak percaya lainnya" menjadi budak abadi. Ini melegitimasi perdagangan budak sebagai akibat dari perang.[115] Persetujuan perbudakan di bawah kondisi ini ditegaskan kembali dan diperluas dalam bulla Romanus Pontifex Paus tahun 1455.
Di Inggris, perbudakan terus dipraktikkan setelah jatuhnya Roma, dan telah menjadi bagian dari hukum Hywel Dda untuk mengatur tentang budak di Wales abad pertengahan. Perdagangan budak meningkat setelah invasi Viking, dengan pusat perdagangan terletak di Chester[116] dan Bristol[117] yang dipasok dari Denmark, Mercian, dan Welsh yang saling menyerang perbatasan satu sama lain. Pada akhir abad ke-11, hampir 10% dari populasi Inggris adalah budak.[118] William Sang Penakluk memperkenalkan undang-undang yang mencegah penjualan budak ke luar negeri.[119] Menurut sejarawan John Gillingham, pada tahun 1200 perbudakan di Kepulauan Inggris sudah tidak ada.[120]
Perbudakan tidak pernah disahkan dengan undang-undang di Inggris dan Wales. Pada tahun 1772, dalam kasus Somerset v Stewart, Lord Mansfield menyatakan bahwa praktik perbudakan juga tidak didukung di Inggris oleh hukum umum. Perdagangan budak dihapuskan oleh Undang-Undang Perdagangan Budak 1807, meski perbudakan tetap legal di wilayah-wilayah di luar Eropa sampai pengesahan Undang-Undang Penghapusan Perbudakan 1833 dan Undang-Undang Perbudakan India 1843.[121]
Namun, ketika Inggris mulai memiliki koloni di Amerika, dan khususnya dari tahun 1640-an, budak Afrika mulai muncul di Inggris dan tetap ada sampai abad kedelapan belas. Di Skotlandia, budak terus dijual sebagai barang bergerak sampai akhir abad kedelapan belas (pada 2 Mei 1722, sebuah iklan muncul di Edinburgh Evening Courant yang mengumumkan bahwa seorang budak curian telah ditemukan dan akan dijual untuk membayar biaya, kecuali diklaim dalam waktu dua minggu).[122]
Selama hampir dua ratus tahun dalam sejarah penambangan batu bara di Skotlandia, para penambang terikat pada "tuan" mereka oleh Undang-Undang 1606 "Anent Coalyers and Salters". Undang-Undang Colliers and Salters (Skotlandia) 1775 menyatakan bahwa "banyak pekerja tambang batu bara dan pedagang garam yang berada dalam praktik perbudakan" dan mengumumkan emansipasi; mereka yang mulai bekerja setelah 1 Juli 1775 tidak akan menjadi budak, sedangkan mereka yang sudah dalam keadaan perbudakan, setelah 7 atau 10 tahun, tergantung pada usia mereka, dapat mengajukan dekrit Pengadilan Sheriff yang memberikan kebebasan mereka. Hanya sedikit budak yang bisa mengajukan dekrit Pengadilan Sheriff. Situasi ini berlanjut sampai undang-undang tahun 1799 yang menetapkan kebebasan mereka dan membuat perbudakan ini ilegal.[122][123]
Perang Bizantium-Utsmaniyah dan perang Utsmaniyah di Eropa membawa banyak budak ke dunia Islam.[124] Untuk mengatur birokrasinya, Kesultanan Utsmaniyah membentuk pasukan elit yanisari yang bertugas menangkap ratusan ribu anak laki-laki Kristen melalui sistem devşirme. Anak-anak ini dirawat dengan baik tetapi secara hukum adalah budak yang dimiliki oleh pemerintah dan tidak diizinkan untuk menikah. Mereka tidak pernah dibeli atau dijual. Kesultanan memberi mereka peran administratif dan militer yang besar. Sistem ini dimulai sekitar tahun 1365; dan berakhir pada tahun 1826, yang menyisakan 135.000 yanisari.[125]
Setelah Pertempuran Lepanto, 12.000 budak galai Kristen ditangkap kembali dan dibebaskan dari armada Utsmaniyah.[126] Di masa ini, Eropa Timur mendapatkan serangkaian invasi Tatar, yang tujuannya adalah untuk menjarah dan menangkap orang-orang untuk dijual sebagai budak ke Kesultanan Utsmaniyah.[127] Tujuh puluh lima serangan Tatar Krimea tercatat di Polandia–Lithuania antara tahun 1474 dan 1569.[128]
Perbudakan di Polandia dilarang pada abad ke-15; di Lituania, perbudakan secara resmi dihapuskan pada tahun 1588; tetapi kemudian terdapat perbudakan tani.
Spanyol dan Portugal abad pertengahan adalah tempat invasi Muslim yang hampir dilakukan secara terus menerus ke wilayah yang didominasi Kristen. Ekspedisi penyerangan berkala dikirim dari Al-Andalus untuk menghancurkan kerajaan Kristen Iberia. Ekspedisi-ekspedisi ini kemudian membawa pulang barang rampasan dan budak. Dalam serangan terhadap Lisbon pada tahun 1189, misalnya, khalifah Almohad Yaqub al-Mansur mengambil 3.000 tawanan wanita dan anak-anak, sementara gubernurnya di Córdoba, dalam serangan berikutnya ke Silves, Portugal, pada tahun 1191, mengambil 3.000 budak Kristen.[129] Dari abad ke-11 hingga abad ke-19, Bajak Laut Barbaria Afrika Utara terlibat dalam ghazi dan menyerbu kota-kota pesisir Eropa untuk menangkap budak-budak Kristen yang kemudian dijual di pasar budak di tempat-tempat seperti Aljazair dan Maroko.[130][131] Kota maritim Lagos adalah pasar budak pertama yang dibuat di Portugal (salah satu penjajah paling awal di Amerika) untuk penjualan budak Afrika yang diimpor – Mercado de Escravos, dibuka pada tahun 1444.[132][133] Pada 1441, budak pertama dibawa ke Portugal dari Mauritania utara.[133]
Pada 1552, terdapat 10% dari populasi Lisbon yang merupakan budak Afrika kulit hitam.[134][135] Pada paruh kedua abad ke-16, Raja melepaskan monopoli perdagangan budak, dan fokus perdagangan budak Afrika bergeser dari impor ke Eropa ke transportasi budak langsung ke koloni tropis di Amerika. – terutama Brasil.[133] Pada abad ke-15 sepertiga budak dijual kembali ke pasar Afrika dengan imbalan emas.[136]
Di Rus Kiev dan Moskwa, budak biasanya diklasifikasikan sebagai petani budak. Menurut David P. Forsythe, "Pada 1649 hingga tiga perempat petani Muscovy, atau 13 hingga 14 juta orang, adalah budak yang kehidupan materialnya hampir tidak dapat dibedakan dari budak. Mungkin 1,5 juta lainnya secara resmi diperbudak, dengan budak Rusia melayani tuan Rusia."[138] Perbudakan tetap menjadi praktik yang penting di Rusia sampai tahun 1723, ketika Peter the Great mengubah para budak rumah tangga menjadi pembantu rumah tangga. Budak pertanian Rusia secara resmi diubah menjadi buruh tani pada awal tahun 1679.[139]
Di Skandinavia, thrall dihapuskan pada pertengahan abad ke-14.[140]
Pada awal 1960-an, populasi budak Arab Saudi diperkirakan mencapai 300.000.[141] Bersama dengan Yaman, Arab Saudi baru menghapus perbudakan pada tahun 1962.[142] Secara historis, budak di Dunia Arab datang dari berbagai daerah, termasuk Afrika Sub-Sahara (terutama Zanj), [143] Kaukasus (terutama Sirkasia),[144] Asia Tengah (terutama Tartar), dan Eropa Tengah dan Timur (terutama Slav [Saqaliba]).[145]
Beberapa sejarawan menyatakan bahwa sebanyak 17 juta orang dijual sebagai budak di pantai Samudra Hindia, Timur Tengah, dan Afrika Utara, dan sekitar 5 juta budak Afrika dibeli oleh pedagang Muslim dan dibawa dari Afrika melintasi Laut Merah, Samudra Hindia, dan gurun Sahara antara tahun 1500 dan 1900.[146] Para tawanan itu dijual ke seluruh Timur Tengah. Perdagangan ini meningkat karena kapal-kapal yang canggih memungkinkan peningkatan aktivitas perdagangan dan permintaan tenaga kerja yang lebih besar di perkebunan di wilayah tersebut. Diperkirakan puluhan ribu tawanan diambil setiap tahun.[93][147][148] Perdagangan budak Samudra Hindia bersifat multi-arah dan berubah dari waktu ke waktu. Untuk memenuhi permintaan tenaga kerja kasar, budak Bantu yang dibeli oleh pedagang budak Afrika timur dari Afrika tenggara dijual dalam jumlah besar secara kumulatif selama berabad-abad kepada pembeli di Mesir, Arab, Teluk Persia, India, koloni Eropa di Timur Jauh, India Pulau laut, Ethiopia dan Somalia.[149]
Menurut Encyclopedia of African History, "Diperkirakan pada tahun 1890-an populasi budak terbesar di dunia, sekitar 2 juta orang, terkonsentrasi di wilayah Kekhalifahan Sokoto. Di sana, penggunaan tenaga kerja budak sangat umum dilakukan, terutama di bidang pertanian."[150][151] Masyarakat Anti-Perbudakan memperkirakan ada 2 juta budak di Ethiopia pada awal 1930-an dari perkiraan populasi yang berjumlah antara 8 dan 16 juta.[152]
Tenaga kerja budak di Afrika Timur diambil dari suku Zanj, Bantu yang tinggal di sepanjang pantai Afrika Timur.[153][154] Zanj selama berabad-abad dikirim sebagai budak oleh para pedagang Arab ke semua negara yang berbatasan dengan Samudra Hindia. Para khalifah Umayyah dan Abbasiyah merekrut banyak budak Zanj sebagai tentara dan, pada awal 696, ada pemberontakan budak Zanj melawan majikan Arab mereka di Irak. Pemberontakan Zanj, serangkaian pemberontakan yang terjadi antara tahun 869 dan 883 di dekat Basra (juga dikenal sebagai Basara), yang terletak di Irak saat ini, diyakini telah melibatkan Zanj yang diperbudak yang awalnya direbut dari wilayah Danau Besar Afrika dan daerah lebih jauh ke selatan di Afrika Timur.[155] Pemberontkan ini kemudian melibatkan lebih dari 500.000 budak dan orang bebas yang diimpor dari seluruh kerajaan Muslim dan merenggut lebih dari "puluhan ribu nyawa di Irak selatan".[156] Zanj yang dibawa sebagai budak ke Timur Tengah sering digunakan dalam pekerjaan pertanian yang berat.[157] Ketika ekonomi perkebunan berkembang pesat dan orang-orang Arab menjadi lebih kaya, pertanian dan pekerjaan kasar lainnya dianggap sebagai pekerjaan yang merendahkan. Kekurangan tenaga kerja yang dihasilkan menyebabkan pasar budak meningkat.
Di Aljir, ibu kota Aljazair, orang Kristen dan orang Eropa yang ditangkap dipaksa menjadi budak. Pada sekitar tahun 1650, ada sebanyak 35.000 budak Kristen di Aljir.[158] Menurut satu observasi, perompakan oleh bajak laut Barbary di desa-desa pesisir dan kapal-kapal yang membentang dari Italia ke Islandia, diperkirakan telah memperbudak 1 hingga 1,25 juta orang Eropa antara abad ke-16 dan ke-19.[159][160][161] Namun, perkiraan ini adalah hasil dari ekstrapolasi yang mengasumsikan bahwa jumlah budak Eropa yang ditangkap oleh bajak laut Barbary adalah konstan selama periode 250 tahun:
Tidak ada catatan tentang berapa banyak pria, wanita dan anak-anak yang diperbudak, tetapi hal itu mungkin dapat dilakukan dengan menghitung secara kasar jumlah tawanan baru yang diperlukan untuk menjaga populasi agar tetap stabil dan menggantikan budak-budak yang mati, melarikan diri, ditebus, atau dikonversi ke Islam. Atas dasar ini diperkirakan bahwa sekitar 8.500 budak baru dibutuhkan setiap tahun untuk menambah jumlah - sekitar 850.000 tawanan dari tahun 1580 hingga 1680. Dengan perluasan, selama 250 tahun antara tahun 1530 dan 1780, angka tersebut dapat dengan mudah mencapai setinggi 1,250.000.[162]
Perkiraan Davis telah dibantah oleh sejarawan lain, seperti David Earle, yang mengatakan bahwa gambaran sebenarnya dari budak Eropa dikaburkan oleh fakta bahwa corsair juga menyita kulit putih non-Kristen dari Eropa timur. Selain itu, jumlah budak yang diperdagangkan sangat hiperaktif, dengan perkiraan berlebihan yang mengandalkan tahun-tahun puncak untuk menghitung rata-rata selama berabad-abad, atau ribuan tahun. Oleh karena itu, terdapat fluktuasi yang lebar dari tahun ke tahun, khususnya pada abad ke-18 dan ke-19, mengingat impor budak, dan juga mengingat fakta bahwa, sebelum tahun 1840-an, tidak ada catatan yang konsisten. Pakar Timur Tengah, John Wright, mengatakan bahwa perkiraan modern didasarkan pada perhitungan kembali dari pengamatan manusia.[163] Pengamatan semacam itu, pada pengamat akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17, mencakup sekitar 35.000 budak Kristen Eropa yang ditahan selama periode ini di Pantai Barbary, melintasi Tripoli, Tunis, tetapi sebagian besar di Aljir. Mayoritas adalah pelaut (terutama yang orang Inggris), dibawa dengan kapal mereka, tetapi yang lain adalah nelayan dan penduduk desa pesisir. Namun, sebagian besar tawanan ini adalah orang-orang dari negeri yang dekat dengan Afrika, khususnya Spanyol dan Italia.[164] Hal ini akhirnya menyebabkan pemboman Aljir oleh armada Inggris-Belanda pada tahun 1816.[165][166]
Di bawah orang Arab Oman, Zanzibar menjadi pelabuhan budak utama Afrika Timur, dengan sebanyak 50.000 orang Afrika yang diperbudak melewatinya setiap tahun selama abad ke-19.[167][168] Beberapa sejarawan memperkirakan bahwa antara 11 dan 18 juta budak Afrika menyeberangi Laut Merah, Samudra Hindia, dan Gurun Sahara dari tahun 650 hingga 1900 M.[6][169] Eduard Rüppell menjelaskan hilangnya budak Sudan yang diangkut dengan berjalan kaki ke Mesir: "setelah kampanye Daftardar bey tahun 1822 di pegunungan Nuba selatan, hampir 40.000 budak ditangkap. Meskipun mendapat perlakuan buruk, penyakit dan melakukan perjalanan melewati gurun, hampir 5.000 orang berhasil sampai ke Mesir.."[170] WA Veenhoven menulis: "Dokter Jerman, Gustav Nachtigal, seorang saksi mata, percaya bahwa untuk setiap budak yang tiba di pasar tiga atau empat meninggal dalam perjalanan . . . Keltie (The Partition of Africa, London, 1920) percaya bahwa untuk setiap budak yang dibawa orang Arab ke pantai, setidaknya enam orang tewas dalam perjalanan atau selama penyerbuan para budak itu. Livingstone menempatkan angka setinggi sepuluh banding satu."[171]
Sistem penghambaan dan perbudakan umum terjadi di beberapa bagian Afrika, seperti halnya di sebagian besar dunia kuno. Di banyak masyarakat Afrika yang mempraktikkan perbudakan, orang-orang yang diperbudak tidak diperlakukan sebagai budak barang dan diberi hak-hak tertentu dalam sistem yang mirip dengan perbudakan kontrak di tempat lain di dunia. Bentuk-bentuk perbudakan di Afrika terkait juga dengan dengan struktur kekerabatan. Di banyak komunitas Afrika, perbudakan individu digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan pengaruh yang dimiliki seseorang dan memperluas koneksi.[172] Hal ini membuat budak menjadi bagian permanen dari garis keturunan tuannya dan anak-anak budak bisa berhubungan erat dengan ikatan keluarga yang lebih besar.[173] Anak-anak budak yang lahir dalam keluarga dapat diintegrasikan ke dalam kelompok kekerabatan tuannya dan naik ke posisi terkemuka dalam masyarakat, bahkan ke tingkat kepala dalam beberapa kasus. Namun, stigma sering tetap ada dan mungkin terdapat pemisahan yang ketat antara anggota budak dari kelompok kekerabatan dan mereka yang terkait dengan tuannya.[172] Perbudakan dipraktikkan dalam berbagai bentuk: perbudakan hutang, perbudakan tawanan perang, perbudakan militer, dan perbudakan kriminal, semuanya dipraktikkan di berbagai kawasan di Afrika.[174] Perbudakan untuk keperluan rumah tangga dan pengadilan tersebar luas di seluruh Afrika.
Ketika perdagangan budak Atlantik dimulai, banyak sistem budak lokal mulai memasok tawanan untuk pasar budak barang di luar Afrika. Meskipun perdagangan budak Atlantik bukan satu-satunya perdagangan budak dari Afrika, itu adalah yang terbesar dalam volume dan intensitas. Seperti yang ditulis Elikia M'bokolo dalam Le Monde diplomatique:
Benua Afrika kehabisan sumber daya manusianya melalui semua rute yang memungkinkan. Rute yang dilewati adalah melintasi Sahara, melalui Laut Merah, dari pelabuhan Samudera Hindia dan melintasi Samudera Atlantik. Setidaknya perbudakan telah dilakukan selama sepuluh abad untuk kepentingan negara-negara Muslim (dari abad kesembilan hingga abad kesembilan belas).... Empat juta orang yang diperbudak diekspor melalui Laut Merah, empat juta lainnya melalui pelabuhan Swahili di Samudra Hindia. Kira-kira sembilan juta orang di sepanjang rute karavan trans-Sahara, dan sebelas hingga dua puluh juta melintasi Samudra Atlantik.[175]
Perdagangan budak trans-Atlantik mencapai puncaknya pada akhir abad ke-18, ketika jumlah terbesar budak ditangkap dalam ekspedisi penyerangan ke pedalaman Afrika Barat. Ekspedisi ini biasanya dilakukan oleh kerajaan-kerajaan Afrika, seperti Kekaisaran Oyo (Yoruba), Kekaisaran Ashanti,[176] kerajaan Dahomey,[177] dan Konfederasi Aro.[178] Diperkirakan sekitar 15 persen dari mereka yang ditangkap telah meninggal selama perjalanannya, dengan tingkat kematian yang jauh lebih tinggi di Afrika sendiri, terutama dalam proses penangkapan dan pengangkutan orang-orang Afrika ke kapal.[179][180]
Perbudakan di Amerika tetap menjadi isu yang diperdebatkan dan berperan penting dalam sejarah dan evolusi beberapa negara yang memicu revolusi, perang saudara, dan berbagai pemberontakan.
Untuk menetapkan dirinya sebagai kerajaan Amerika, Spanyol harus berperang melawan peradaban Dunia Baru yang relatif kuat. Penaklukan Spanyol atas masyarakat adat di Amerika termasuk menggunakan orang-orang asli untuk melakukan kerja paksa. Koloni Spanyol adalah orang Eropa pertama yang menggunakan budak Afrika di Dunia Baru di pulau-pulau seperti Kuba dan Hispaniola.[181] Bartolomé de las Casas, seorang biarawan Dominika abad ke-16 dan sejarawan Spanyol, berpartisipasi dalam kampanye di Kuba (di Bayamo dan Camagüey ) dan hadir pada pembantaian Hatuey; pengamatannya tentang pembantaian itu membuatnya memperjuangkan gerakan sosial yang tidak lagi menggunakan penduduk asli sebagai budak. Selain itu, penurunan populasi penduduk asli yang mengkhawatirkan telah mendorong undang-undang kerajaan pertama yang melindungi penduduk asli. Budak Afrika pertama tiba di Hispaniola pada tahun 1501.[182] Inggris berperan penting dalam perdagangan budak Atlantik. "Segitiga budak" dipelopori oleh Francis Drake dan rekan-rekannya.
Banyak orang kulit putih yang tiba di Amerika Utara selama abad ke-17 dan ke-18 dikontrak sebagai pelayan kontrak.[183] Transformasi dari perbudakan kontrak menjadi perbudakan adalah proses bertahap di Virginia. Dokumentasi hukum paling awal dari pergeseran semacam tercatat pada tahun 1640, ketika seorang negro, John Punch, dijatuhi hukuman perbudakan seumur hidup dan membuatnya terpaksa harus melayani tuannya, Hugh Gwyn, selama sisa hidupnya, karena berusaha melarikan diri. Kasus ini penting karena menunjukkan perbedaan antara hukuman bagi pria kulit hitam dan dua pelayan kontrak kulit putih yang melarikan diri bersamanya (satu orang digambarkan sebagai orang Belanda dan satu sebagai orang Skotlandia). Ini adalah kasus pertama yang didokumentasikan dari seorang pria kulit hitam yang dijatuhi hukuman seumur hidup dan dianggap sebagai salah satu kasus hukum pertama yang membuat perbedaan rasial antara pegawai kontrak kulit hitam dan putih.[184][185][186][187]
Setelah tahun 1640, para pemilik perkebunan mulai mengabaikan berakhirnya kontrak pelayan-pelayan mereka dan menjadikan pelayan-pelayan itu sebagai budak seumur hidup. Hal ini ditunjukkan dalam perkara tahun 1655 Johnson v. Parker. Dalam perkara ini, pengadilan memutuskan bahwa seorang pria kulit hitam, Anthony Johnson dari Virginia, diberikan kepemilikan pria kulit hitam lainnya, John Casor, sebagai akibat dari suatu kasus perdata.[188] Perkara ini adalah contoh pertama dari keputusan pengadilan di Tiga Belas Koloni yang menyatakan bahwa seseorang yang tidak melakukan kejahatan dapat ditahan sebagai budak seumur hidup.[189][190][191][192][193][194][195]
Pada awal abad ke-17, sebagian besar tenaga kerja di Barbados disediakan oleh pelayan kontrak Eropa, terutama Inggris, Irlandia dan Skotlandia, dengan budak Afrika dan budak Amerindian menyediakan sedikit tenaga kerja. Pengenalan tebu dari Brasil Belanda pada tahun 1640 benar-benar mengubah masyarakat dan ekonomi. Barbados kemudian memiliki salah satu industri gula terbesar di dunia.[196]
Ketika hasil dari tanaman baru meningkat, demikian pula pergeseran komposisi etnis Barbados dan pulau-pulau sekitarnya. Perkebunan gula yang bisa dikerjakan membutuhkan investasi besar dan banyak tenaga kerja berat. Pada awalnya, pedagang Belanda memasok peralatan, pembiayaan, dan memperbudak orang Afrika, selain juga mengangkut sebagian besar gula ke Eropa. Pada tahun 1644, populasi Barbados diperkirakan mencapai 30.000, dan sekitar 800 irang adalah keturunan Afrika, dengan sisanya adalah keturunan Inggris. Petani-petani kecil Inggris ini akhirnya dibeli, dan pulau itu dijadikan perkebunan gula besar yang dikerjakan oleh orang-orang Afrika yang diperbudak. Pada tahun 1660, ada hampir 27.000 orang kulit hitam dan 26.000 orang kulit putih yang diperbudak. Pada 1666, setidaknya 12.000 petani kulit putih telah dibeli, meninggal, atau meninggalkan pulau itu. Banyak dari orang kulit putih yang tinggal menjadi semakin miskin. Pad tahun 1680, ada 17 budak untuk setiap pelayan kontrak. Pada tahun 1700, 15.000 orang kulit putih yang diperbudak menjadi bebas dan 50.000 orang Afrika yang tetap diperbudak.
Karena penerapan hukum budak, yang menciptakan perlakuan berbeda antara orang Afrika dan pekerja kulit putih dan kelas pemilik perkebunan, pulau itu menjadi semakin tidak menarik bagi orang kulit putih yang miskin. Hukum perbudakan diimplementasikan pada tahun 1661, 1676, 1682, dan 1688. Hukum-hukum perbudakan ini menyebabkan munculnya beberapa pemberontakan budak yang telah direncanakan, tetapi tidak ada yang berhasil. Namun demikian, orang kulit putih miskin yang memiliki atau memperoleh sarana untuk beremigrasi memilih untuk meninggalkan daerah itu. Para pemilik perkebunan meningkatkan pembelian mereka terhadap orang-orang Afrika yang diperbudak untuk menanam tebu.
Perbudakan di Brasil telah dimulai jauh sebelum dimulainya kolonisasi oleh Portugis pada tahun 1532, dengan anggota satu suku biasanya ditangkap dan diperbudak oleh suku yang lain.[197]
Ketika penjajah Portugis masuk, mereka sangat bergantung pada tenaga kerja pribumi selama fase awal kolonialisasi untuk mempertahankan ekonomi subsisten, dan penduduk asli sering ditangkap oleh ekspedisi yang disebut bandeiras. Impor budak Afrika dimulai pada pertengahan abad ke-16, tetapi perbudakan orang-orang asli berlanjut hingga abad ke-17 dan ke-18.
Selama era perdagangan budak Atlantik, Brasil mengimpor lebih banyak budak Afrika dibandingkan negara-negara lain. Hampir 5 juta budak dibawa dari Afrika ke Brasil selama periode 1501 hingga 1866.[198] Sampai awal tahun 1850-an, sebagian besar orang Afrika yang diperbudak yang tiba di pantai Brasil dipaksa untuk berangkat dari pelabuhan Afrika Tengah Barat, terutama di Luanda (sekarang Angola). Saat ini, dengan pengecualian Nigeria, negara dengan populasi terbesar dari orang-orang keturunan Afrika adalah Brasil.[199]
Tenaga kerja budak adalah kekuatan kekuatan di belakang pertumbuhan ekonomi gula di Brasil, dan gula adalah ekspor utama koloni itu dari tahun 1600 hingga 1650. Deposit emas dan berlian ditemukan di Brasil pada tahun 1690, yang kemudian memicu peningkatan impor budak Afrika untuk menggerakkan pasar baru yang menguntungkan ini. Sistem transportasi dikembangkan untuk infrastruktur pertambangan, dan populasi melonjak dengan datangnya imigran yang ingin mengambil bagian dalam pertambangan emas dan berlian. Permintaan budak Afrika tidak berkurang setelah penurunan industri pertambangan di paruh kedua abad ke-18. Peternakan sapi dan produksi bahan makanan berkembang setelah pertumbuhan populasi, yang keduanya sangat bergantung pada tenaga kerja budak. 1.7 juta budak diimpor ke Brasil dari Afrika dari tahun 1700 hingga 1800, dan kebangkitan industri kopi pada tahun 1830-an semakin mendorong perluasan perdagangan budak.
Brasil adalah negara terakhir di dunia Barat yang menghapus perbudakan. Empat puluh persen dari jumlah total budak yang dibawa ke Amerika dikirim ke Brasil. Sebagai perbandingan, Amerika Serikat menerima sekitar 10 persen dari jumlah total budak itu. Meski telah dihapuskan, masih ada orang yang bekerja dalam kondisi seperti perbudakan di Brasil pada abad ke-21.
Pada tahun 1789, Kerajaan Spanyol memulai upaya untuk mereformasi perbudakan karena permintaan akan tenaga kerja budak di Kuba semakin meningkat. Raja mengeluarkan dekrit, Código Negro Español (Spanyol Black Codex), yang menetapkan ketentuan makanan dan pakaian, membatasi jumlah jam kerja, membatasi hukuman, mewajibkan instruksi agama, melindungi pernikahan, dan melarang penjualan anak-anak jauh dari ibu mereka. Inggris membuat perubahan lain pada institusi perbudakan di Kuba. Tetapi para pemilik industri perkebunan sering kali melanggar hukum dan memprotesnya. Mereka menganggap pembatasan-pemabatasan ini sebagai ancaman terhadap otoritas mereka dan mengganggu kehidupan pribadi mereka.[200]
Para pemilik budak tidak memprotes semua aturan dalam Codex karena banyak aturan di dalamnya yang menurut mereka sudah menjadi praktik umum. Mereka keberatan dengan upaya untuk membatasi kemampuan mereka untuk menerapkan hukuman fisik. Misalnya, Black Codex membatasi pencambukan hingga 25 dan mengharuskan cambuk "tidak menyebabkan memar atau pendarahan yang serius". Pemilik budak menganggap bahwa budak akan menafsirkan batasan ini sebagai kelemahan sistem perbudakan, yang pada akhirnya mengarah pada perlawanan. Isu lain yang diperdebatkan adalah jam kerja yang dibatasi "dari matahari terbit sampai terbenam"; Pemilik perkebunan menanggapi hal ini dengan mengatakan bahwa pemotongan dan pengolahan tebu membutuhkan waktu 20 jam sehari selama musim panen.[201]
Budak-budak yang bekerja di perkebunan gula dan di pabrik gula sering kali mengalami kondisi yang paling berat. Pekerjaan lapangan adalah kerja manual yang ketat yang dimulai para budak pada usia dini. Hari kerja berlangsung hampir 20 jam selama masa panen dan pengolahan, termasuk mengolah dan memotong tanaman, mengangkut gerobak, dan mengolah tebu dengan mesin yang berbahaya. Budak-budak itu dipaksa untuk tinggal di barakun, tempat mereka dipaksa masuk dengan paksa dan dikunci oleh gembok. Di malam hari, mereka tidur sekitar tiga sampai empat jam. Kondisi barakun sangat keras, sangat tidak sehat dan sangat panas. Biasanya tempat itu tidak mempunyai ventilasi; satu-satunya jendela adalah lubang kecil berjeruji di dinding.[202]
Sistem perbudakan Kuba didasarkan pada gender sehingga beberapa tugas hanya dilakukan oleh budak laki-laki, beberapa hanya oleh budak wanita. Budak wanita di Havana dari abad ke-16 dan seterusnya melakukan tugas-tugas seperti mengoperasikan kedai minuman di kota, rumah makan, dan penginapan, serta menjadi tukang cuci dan pekerja rumah tangga dan pelayan. Budak wanita juga bertugas sebagai pelacur kota.
Beberapa wanita Kuba bisa mendapatkan kebebasan dengan memiliki anak dengan pria kulit putih. Seperti dalam budaya Latin lainnya, ada perbatasan yang lebih longgar dengan populasi mulatto atau ras campuran. Terkadang pria yang mengambil budak sebagai istri atau selir membebaskan mereka dan anak-anak mereka. Seperti di New Orleans dan Saint-Domingue, mulatto mulai diklasifikasikan sebagai kelompok ketiga antara penjajah Eropa dan budak Afrika. Orang-orang merdeka, umumnya dari ras campuran, merepresentasikan 20% dari total populasi Kuba dan 41% dari populasi Kuba non-kulit putih.[203]
Para pemilik kebun meminta budak-budak Afro-Kuba untuk memiliki anak untuk mereproduksi tenaga kerja mereka. Para pemilik budak ini juga ingin memasangkan pria kulit hitam yang kuat dan bertubuh besar dengan wanita kulit hitam yang sehat. Mereka ditempatkan di barakun dan dipaksa untuk berhubungan seks dan menciptakan keturunan dari anak-anak “ternak”, yang akan dijual seharga sekitar 500 peso. Para pekebun membutuhkan anak-anak yang dilahirkan untuk menggantikan budak yang mati di bawah sistem perbudakan yang keras. Kadang-kadang jika para pengawas tidak menyukai kualitas anak-anak, mereka memisahkan anak-anak itu dari orang tuanya dan mengirim ibunya kembali bekerja di ladang.[202]
Baik perempuan maupun laki-laki menjadi sasaran hukuman kekerasan dan pelecehan yang merendahkan. Budak yang berperilaku tidak baik atau tidak mematuhi tuan mereka sering ditempatkan di gudang di kedalaman rumah kamar ketel, tempat mereka ditinggalkan selama berhari-hari, dan seringkali dua sampai tiga bulan. Kamar ketel ini dibuat dalam dua jenis: jenis berbaring atau berdiri. Di masa itu, wanita dihukum, bahkan ketika hamil. Mereka menjadi sasaran cambuk: mereka harus berbaring "menghadap ke bawah di atas [tanah] yang telah digali untuk melindungi perut mereka."[202] Beberapa pemilik budak dilaporkan mencambuk wanita hamil di perut mereka, sehingga mereka sering mengalami keguguran. Luka-luka yang dialami mereka diobati dengan "kompres daun tembakau, urin dan garam."[202]
Perbudakan di Haiti dimulai dengan kedatangan Christopher Columbus di pulau itu pada tahun 1492. Praktik perbudakan itu sangat merusak bagi penduduk asli.[204] Menyusul penyusutan penduduk asli Taíno akibat kerja paksa, wabah penyakit dan perang, orang Spanyol, di bawah nasihat pendeta Katolik Bartolomeu de las Casas, dan dengan restu gereja Katolik mulai terlibat dengan sungguh-sungguh dalam penculikan dan kerja paksa para budak orang Afrika. Selama periode kolonial Prancis yang dimulai pada tahun 1625, ekonomi Haiti (kemudian dikenal sebagai Saint-Domingue) didasarkan pada perbudakan, dan praktik perbudakan di sana dianggap sebagai yang paling brutal di dunia.
Setelah Perjanjian Ryswick tahun 1697, Hispaniola dibagi antara Prancis dan Spanyol. Prancis menerima sepertiga barat dan kemudian menamakannya Saint-Domingue. Untuk mengembangkannya menjadi perkebunan tebu, Prancis mengimpor ribuan budak dari Afrika. Gula adalah tanaman komoditas yang menguntungkan sepanjang abad ke-18. Pada 1789, sekitar 40.000 koloni kulit putih tinggal di Saint-Domingue. Orang kulit putih kalah jumlah dengan puluhan ribu budak Afrika yang mereka impor untuk bekerja di perkebunan mereka, yang terutama ditujukan untuk produksi tebu. Di utara pulau, para budak dapat mempertahankan banyak ikatan dengan budaya, agama, dan bahasa Afrika; ikatan ini terus diperbarui oleh orang Afrika yang baru didatangkan. Orang kulit hitam kalah jumlah dengan kulit putih sekitar sepuluh banding satu.
Code Noir ("Kode Hitam") yang dibuat oleh Prancis, disiapkan oleh Jean-Baptiste Colbert dan diratifikasi oleh Louis XIV, telah menetapkan aturan tentang perlakuan budak dan kebebasan yang diizinkan. Saint-Domingue telah dideskripsikan sebagai salah satu koloni budak yang paling efisien dan brutal; sepertiga orang Afrika yang baru didatangkan meninggal dalam beberapa tahun.[205] Banyak budak yang meninggal karena penyakit seperti cacar dan demam tifoid.[206] Mereka memiliki tingkat kelahiran sekitar 3 persen, dan terdapat bukti bahwa beberapa wanita menggugurkan janin, atau melakukan pembunuhan bayi, dibandingkan harus membiarkan anak-anak mereka hidup dalam ikatan perbudakan.[207][208]
Budak-budak yang berhasil sampai ke Haiti dari perjalanan trans-Atlantik dan budak yang lahir di Haiti didokumentasikan dalam arsip Haiti dan dipindahkan ke Kementerian Pertahanan Prancis dan Kementerian Luar Negeri. Hingga 2015[update], catatan ini ada di Arsip Nasional Prancis. Menurut Sensus 1788, penduduk Haiti terdiri dari hampir 40.000 orang kulit putih, 30.000 orang kulit berwarna yang merdeka, dan 450.000 budak.[209]
Revolusi Haiti tahun 1804, merupakan satu-satunya pemberontakan budak yang berhasil dalam sejarah manusia dan mempercepat berakhirnya perbudakan di semua koloni Prancis. Pemberontakan ini membuat Haiti menjadi negara pertama yang melarang perbudakan secara permanen.[210]
Jamaika dijajah oleh suku Taino sebelum kedatangan Columbus pada tahun 1494. Orang Spanyol yang datang kemudian memperbudak banyak orang Taino; beberapa melarikan diri, tetapi sebagian besar meninggal karena wabah penyakit dari Eropa dan karena terlalu banyak pekerjaan. Orang-orang Spanyol juga memperkenalkan budak Afrika pertama.[211]
Para penjajah Spanyol tidak membawa wanita dalam ekspedisi pertama mereka. Mereka mengambil wanita Taíno sebagai istri mereka, yang kemudian menghasilkan anak-anak mestizo.[212] Kekerasan seksual dengan perempuan Taíno oleh orang Spanyol juga sering terjadi.[213][214]
Meskipun populasi budak Afrika pada tahun 1670-an dan 1680-an tidak pernah melebihi 10.000, pada tahun 1800 telah meningkat menjadi lebih dari 300.000.
Pada tahun 1519, Hernán Cortés membawa budak modern pertama ke daerah tersebut.[215] Pada pertengahan abad ke-16, raja muda kedua Meksiko, Luis de Velasco, melarang perbudakan suku Aztec. Kekurangan tenaga kerja terjadi karena suku Aztec terbunuh atau mati karena wabah penyakit. Hal ini menyebabkan budak Afrika didatangkan, karena mereka tidak rentan terhadap cacar. Sebagai gantinya, banyak orang Afrika diberi kesempatan untuk membeli kebebasan mereka, sementara yang lain akhirnya diberikan kebebasan oleh tuan mereka.[215]
Ketika Ponce de León dan orang-orang Spanyol tiba di pulau Borikén (Puerto Riko), mereka memperbudak suku Taíno di pulau itu dan memaksa mereka untuk bekerja di tambang emas dan dalam pembangunan benteng. Banyak orang-orang Taíno meninggal, terutama karena wabah cacar, karena mereka tidak memiliki kekebalan terhadapnya. Orang-orang Taíno lainnya bunuh diri atau meninggalkan pulau itu setelah pemberontakan orang-orang Taíno gagal pada tahun 1511.[216] Koloni Spanyol, takut kehilangan tenaga kerja mereka, mengajukan komplain kepada pengadilan bahwa mereka membutuhkan tenaga kerja. Sebagai alternatif, Las Casas menyarankan impor dan penggunaan budak Afrika. Pada tahun 1517, Kerajaan Spanyol mengizinkan rakyatnya untuk mengimpor dua belas budak masing-masing, dan karena itu, memulai perdagangan budak di koloni.[217]
Budak-budak Afrika secara hukum dicap dengan besi panas di dahi mereka untuk mencegah "pencurian" mereka atau tuntutan hukum yang menantang penawanan mereka.[218] Para penjajah melanjutkan praktik branding ini selama lebih dari 250 tahun.[219] Mereka dikirim untuk bekerja di tambang emas, atau di ladang jahe dan gula di pulau itu. Mereka diizinkan untuk tinggal bersama keluarga mereka di sebuah gubuk di tanah tuannya, dan diberi sebidang tanah agar mereka bisa bertani, tetapi mereka juga menjadi sasaran perlakuan kasar; termasuk pelecehan seksual karena mayoritas penjajah datang tanpa perempuan; banyak dari mereka menikah dengan orang Afrika atau Taínos. Keturunan ras campuran mereka membentuk generasi pertama dari populasi awal Puerto Rico.[218]
Para budak menghadapi diskriminasi yang parah dan tidak memiliki kesempatan untuk memajukan diri mereka, meskipun mereka dididik oleh tuan mereka. Orang Spanyol menganggap orang Afrika lebih unggul dari orang Taíno, karena orang Taino tidak mau berasimilasi. Sebaliknya, para budak tidak punya banyak pilihan selain beradaptasi. Banyak yang masuk Kristen dan diberi nama keluarga tuan mereka.[218]
Pada 1570, para penjajah mengetahui bahwa tambang emas telah habis, sehingga menurunkan status pulau itu menjadi garnisun untuk kapal yang lewat. Budidaya tanaman seperti tembakau, kapas, kakao, dan jahe menjadi tumpuan perekonomiannya.[220] Dengan meningkatnya permintaan gula di pasar internasional, perkebunan besar meningkatkan budidaya padat karya dan pengolahan tebu mereka. Perkebunan gula menggantikan pertambangan sebagai industri utama Puerto Riko dan membuat permintaan untuk perbudakan Afrika tetap tinggi.[220]
Setelah tahun 1784, Spanyol memberikan lima cara bagi para budak untuk memperoleh kebebasan.[219] Lima tahun kemudian, Raja Spanyol mengeluarkan "Dekrit Kerajaan tahun 1789", yang menetapkan aturan baru terkait perdagangan budak dan menambahkan pembatasan pada pemberian status orang merdeka. Dekrit tersebut memberikan rakyatnya hak untuk membeli budak dan untuk berpartisipasi dalam perdagangan budak yang berkembang pesat di kawasan Karibia. Pada tahun yang sama, hukum budak baru, juga dikenal sebagai El Código Negro (Hukum Orang Kulit Hitam), diadopsi.[221]
Di bawah "El Código Negro", seorang budak dapat membeli kebebasannya, jika tuannya bersedia menjual, dengan membayar harga yang diminta dengan mencicil. Budak diizinkan untuk mendapatkan uang selama waktu luang mereka dengan bekerja sebagai pembuat sepatu, membersihkan pakaian, atau menjual hasil yang mereka tanam di lahan mereka sendiri. Demi kebebasan anak mereka yang baru lahir dan belum dibaptis, mereka membayar setengah dari harga yang berlaku untuk seorang anak yang dibaptis.[221] Banyak dari orang-orang yang dibebaskan ini kemudian mulai menetap di daerah yang kemudian dikenal sebagai Cangrejos (Santurce), Carolina, Canóvanas, Loíza, dan Luquillo. Beberapa dar mereka menjadi pemilik budak.[218] Terlepas dari jalan menuju kebebasan ini, sejak tahun 1790 dan seterusnya, jumlah budak meningkat lebih dari dua kali lipat di Puerto Rico sebagai akibat dari ekspansi dramatis industri gula di pulau itu.[222]
Pada 22 Maret 1873, perbudakan secara hukum dihapuskan di Puerto Rico. Namun, para budak di sana tidak dibebaskan, melainkan harus membeli kebebasan mereka sendiri dengan harga berapa pun yang ditetapkan oleh tuan terakhir mereka. Mereka juga diharuskan bekerja selama tiga tahun lagi untuk mantan majikan mereka, untuk penjajah lain yang tertarik dengan layanan mereka, atau untuk negara untuk membayar sejumlah kompensasi.[223] Antara 1527 dan 1873, budak di Puerto Rico telah melakukan lebih dari dua puluh pemberontakan.[224][225]
Para pemilik perkebunan koloni Belanda sangat bergantung pada budak Afrika untuk mengolah dan memanen tanaman komoditas perkebunan kopi, kakao, tebu dan kapas di sepanjang sungai. Perlakuan para pemilik perkebunan terhadap para budak sangat buruk.[226] Sejarawan CR Boxer menulis bahwa "ketidakmanusiawian manusia terhadap manusia hampir mencapai batasnya di Suriname."[227]
Banyak budak yang melarikan diri dari perkebunan. Dengan bantuan penduduk asli Amerika Selatan yang tinggal di hutan hujan yang bersebelahan, budak yang melarikan diri ini membangun budaya baru dan unik di pedalaman yang berhasil dengan caranya sendiri. Mereka secara kolektif dikenal dalam bahasa Inggris sebagai Maroon, dalam bahasa Prancis sebagai Nèg'Marrons (secara harfiah berarti "negro coklat", yang berarti "negro berkulit pucat"), dan dalam bahasa Belanda sebagai Marron. Maroon secara bertahap mengembangkan beberapa suku independen melalui proses etnogenesis, karena mereka terdiri dari budak dari etnis Afrika yang berbeda. Suku-suku tersebut antara lain Saramaka, Paramaka, Ndyuka atau Aukan, Kwinti, Aluku atau Boni, dan Matawai.
Orang-orang Maroon sering menyerbu perkebunan untuk merekrut anggota baru dari budak, menangkap wanita, dan untuk mendapatkan senjata, makanan, dan bahan persediaan. Mereka kadang-kadang membunuh pemilik perkebunan dan keluarga mereka dalam suatu perampokan.[228] Para koloni juga melakukan kampanye bersenjata melawan orang-orang Maroon, yang umumnya melarikan diri melalui hutan hujan. Untuk mengakhiri permusuhan, pada abad ke-18 otoritas kolonial Eropa menandatangani beberapa perjanjian damai dengan suku yang berbeda. Mereka memberikan status kedaulatan dan hak perdagangan orang-orang Maroon di wilayah pedalaman mereka dan memberi mereka otonomi.
Pada tahun 1861–1863, Presiden Abraham Lincoln dari Amerika Serikat dan pemerintahannya mencari tempat di luar negeri untuk merelokasi budak yang dibebaskan yang ingin meninggalkan Amerika Serikat. Hal ini membuka negosiasi dengan pemerintah Belanda mengenai emigrasi Afrika-Amerika ke koloni Belanda Suriname di Amerika Selatan. Namun, setelah 1864 proposal itu dibatalkan.[229]
Belanda menghapus perbudakan di Suriname pada tahun 1863, di bawah proses bertahap yang mengharuskan budak bekerja di perkebunan selama 10 tahun transisi dengan bayaran minimal, yang dianggap sebagai kompensasi parsial untuk majikan mereka. Setelah tahun 1873, sebagian besar orang merdeka meninggalkan perkebunan tempat mereka bekerja selama beberapa generasi menuju ibu kota, Paramaribo.
Perbudakan di Amerika Serikat adalah praktik perbudakan barang manusia yang legal dengan para budak merupakan orang Afrika dan Afrika Amerika, yang ada di Amerika Serikat pada abad 18 dan 19. Perbudakan telah dipraktikkan di Amerika Britania sejak hari-hari awal masa kolonial dan legal di semua Tiga Belas Koloni, pada saat Deklarasi Kemerdekaan tahun 1776. Pada saat Revolusi Amerika, status budak telah dilembagakan sebagai kasta rasial yang terkait dengan keturunan Afrika.[230] Amerika Serikat menjadi terpolarisasi terhadap masalah perbudakan yang direpresentasikan oleh budak dan negara bagian bebas dan dipisahkan oleh garis Mason–Dixon, yang memisahkan Pennsylvania bebas dari budak Maryland dan Delaware.
Selama pemerintahan Jefferson, Kongres melarang impor budak secara efektif pada tahun 1808, meskipun penyelundupan (impor ilegal) masih terjadi.[231] Namun, perdagangan budak domestik berlanjut dengan cepat karena didorong oleh permintaan tenaga kerja dari pengembangan perkebunan kapas di Ujung Selatan Amerika. Negara-negara bagian itu berusaha memperluas perbudakan ke wilayah barat baru untuk mempertahankan bagian kekuasaan politik mereka di negara itu. Undang-undang tersebut diusulkan kepada Kongres untuk melanjutkan penyebaran perbudakan ke negara-negara yang baru diratifikasi termasuk Undang-Undang Kansas-Nebraska.
Perlakuan terhadap budak di Amerika Serikat sangat bervariasi tergantung pada kondisi, waktu, dan tempat. Hubungan kekuasaan perbudakan telah membuat banyak orang kulit putih yang memiliki otoritas atas budak korup, dengan anak-anak mereka bahkan menunjukkan kekejaman mereka terhadap budak. Pemiliki budak dan pengawas budak menggunakan hukuman fisik untuk memaksakan kehendak mereka. Budak dihukum dengan cara dicambuk, dibelenggu, digantung, dipukul, dibakar, dimutilasi, dicap dan dipenjara. Hukuman paling sering dijatuhkan karena ketidaktaatan atau pelanggaran yang dilakukan, tetapi terkadang pelecehan dilakukan untuk menegaskan kembali dominasi tuan atau pengawas budak.[232] Perlakuan lebih keras biasanya terjadi di perkebunan besar yang sering dikelola oleh pengawas budak tanpa dihadiri oleh pemilik perkebunannya.
William Wells Brown, yang melarikan diri dari perkebunan, melaporkan bahwa di satu perkebunan, budak laki-laki diharuskan memetik 80 pon kapas per hari, sementara wanita diharuskan memetik 70 pon per hari; jika ada budak yang gagal dalam kuota mereka, mereka akan dicambuk untuk setiap pon yang kurang. Tiang pencambuk berdiri di samping sisik kapas.[234] Seorang pria New York yang menghadiri pelelangan budak pada pertengahan abad ke-19 melaporkan bahwa setidaknya tiga perempat dari budak laki-laki yang dia lihat di tempat penjualan memiliki bekas luka di punggung mereka karena dicambuk.[235] Sebaliknya, keluarga kecil pemilik budak memiliki hubungan yang lebih dekat antara pemilik dan budak; ini terkadang menghasilkan lingkungan yang sedikit lebih manusiawi.[232]
Lebih dari satu juta budak dijual dari Upper South, yang memiliki surplus tenaga kerja, dan dibawa ke Deep South dalam migrasi secara paksa yang memecah banyak keluarga orang-orang kulit hitam. Komunitas baru budaya Afrika-Amerika dikembangkan di Deep South, dan total populasi budak di Selatan akhirnya mencapai 4 juta sebelum adanya pembebasan.[236][237] Pada abad ke-19, para pendukung perbudakan sering kali membela institusi tersebut sebagai "kejahatan yang diperlukan". Orang kulit putih pada waktu itu takut bahwa emansipasi budak kulit hitam akan memiliki konsekuensi sosial dan ekonomi yang lebih berbahaya daripada kelanjutan perbudakan. Penulis dan pelancong Prancis Alexis de Tocqueville, dalam Demokrasi di Amerika (1835), menyatakan penentangan terhadap perbudakan sambil mengamati dampaknya terhadap masyarakat Amerika. Dia merasa bahwa masyarakat multiras tanpa perbudakan tidak dapat dipertahankan, karena dia percaya bahwa prasangka terhadap orang kulit hitam meningkat karena mereka diberikan lebih banyak hak. James Henry Hammond berpendapat bahwa perbudakan adalah "kebaikan positif" dengan menyatakan: "Kelas seperti itu harus Anda miliki, atau Anda tidak akan memiliki kelas lain yang memimpin kemajuan, peradaban, dan pemurnian."
Pemerintah negara bagian Selatan ingin menjaga keseimbangan antara jumlah budak dan negara bagian bebas untuk menjaga keseimbangan politik kekuasaan di Kongres. Wilayah baru yang diperoleh dari Inggris, Prancis, dan Meksiko menjadi subyek kompromi politik besar. Pada tahun 1850, Kawasan Selatan yang kaya akan kapas dan baru tumbuh mengancam untuk memisahkan diri dari Negara Utara, dan ketegangan terus meningkat. Banyak orang Kristen kulit putih Selatan, termasuk pendeta gereja, berusaha membenarkan perbudakan menurut paternalisme Kristen.[238] Denominasi terbesar, gereja Baptis, Metodis, dan Presbiterian, terpecah menjadi beberapa organisasi regional di Utara dan Selatan karena isu perbudakan.
Ketika Abraham Lincoln memenangkan pemilihan 1860 dengan kampanye untuk menghentikan perluasan perbudakan, menurut sensus AS 1860, sekitar 400.000 orang atau 8% dari semua keluarga AS memiliki hampir 4.000.000 budak.[239] Sepertiga dari total jumlah keluarga Selatan memiliki budak.[240] One-third of Southern families owned slaves.[241] Negara Selatan banyak berinvestasi dalam perbudakan. Oleh karena itu, pada pemilihan Lincoln, tujuh negara bagian memisahkan diri untuk membentuk Negara Konfederasi Amerika. Enam negara bagian pertama yang memisahkan diri memiliki jumlah budak terbanyak di Selatan. Tak lama setelah itu, terjadi Perang Saudara habis-habisan di Amerika Serikat karena isu perbudakan. Secara hukum, perbudakan berakhir setelah perang pada bulan Desember 1865.
Pada tahun 2018, Orlando Sentinel melaporkan beberapa sekolah Kristen swasta di Florida mengajar siswa debgab kurikulum kreasionis yang mencakup pernyataan seperti, "kebanyakan orang kulit hitam dan kulit putih selatan telah lama hidup bersama dalam harmoni" dan bahwa "individu yang haus kekuasaan menggerakkan orang-orang" mengarah ke Gerakan Hak-Hak Sipil.[242]
Perbudakan telah ada di seluruh Asia, dan beberapa bentuk perbudakan masih ada sampai sekarang.
Perbudakan dipraktikkan dalam berbagai bentuk sepanjang sejarah Tiongkok. Perbudakan dilaporkan telah dihapuskan sebagai praktik yang diakui secara hukum dalam undang-undang tahun 1909[243][244] yang sepenuhnya berlaku pada tahun 1910,[245] meskipun praktiknya berlanjut setidaknya sampai tahun 1949.[99]
Dinasti Tang membeli budak Barat dari orang Yahudi Radhanite.[246] Tentara dan bajak laut Tang Tiongkok juga memperbudak orang Korea, Turki, Persia, Indonesia, dan orang-orang dari Mongolia Dalam, Asia Tengah, dan India utara.[247][248][249][250] Sumber budak terbesar berasal dari suku-suku di selatan, termasuk orang Thailand dan penduduk asli dari provinsi selatan Fujian, Guangdong, Guangxi, dan Guizhou. Orang Melayu, Khmer, India, dan orang-orang "berkulit hitam" (yang merupakan Negrito Austronesia di Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik, atau Afrika, atau keduanya) juga dibeli sebagai budak pada masa dinasti Tang.[251]
Pada abad ke-17 Dinasti Qing, terdapat orang yang secara turun temurun yang diperbudak yang disebut Booi Aha (Manchu:booi niyalma), yang merupakan kata Manchu yang secara harfiah diterjemahkan "orang rumah tangga" dan kadang-kadang diterjemahkan sebagai "nucai." Orang-orang Manchu membangun hubungan pribadi dan paternalis yang erat antara seorang budak dan majikannya. Seperti yang dikatakan Nurhachi, "Majikan harus mencintai budak dan makan makanan yang sama dengannya".[252] Namun, booi aha "tidak persis sesuai dengan kategori "budak-pelayan"; sebaliknya, itu adalah hubungan ketergantungan pribadi budak kepada majikannya yang secara teori menjamin hubungan pribadi yang erat dan perlakuan yang sama, meskipun banyak sarjana barat yang menerjemahkan "booi" sebagai "pelayan-ikatan" (beberapa "booi" bahkan memiliki pelayan sendiri).[99]
Sufi Muslim Tiongkok (Tungan) yang dituduh mempraktikkan xiejiao (agama heterodoks), dihukum dengan pengasingan ke Xinjiang dan dijual sebagai budak kepada Muslim lain, seperti para sufi Baig.[253] Orang-orang suku Han yang melakukan kejahatan seperti menyalahgunakan opium dihukum menjadi budak orang-orang Baig. Praktik ini diatur oleh hukum Qing.[254] Kebanyakan orang Tiongkok di Altishahr adalah budak pengasingan dari orang-orang Baig Turkestani.[255] Meskipun pedagang Cina yang merdeka umumnya tidak terlibat dalam hubungan dengan wanita Turkistan Timur, beberapa budak Tiongkok milik orang-orang Baig, bersama dengan tentara Standar Hijau, Bannermen, dan Manchu, terlibat dalam perselingkuhan dengan wanita Turkistan Timur.[256]
Perbudakan di India tersebar luas pada abad ke-6 SM, dan mungkin bahkan pada periode Veda.[257] Praktik perbudakan meningkat selama dominasi Muslim di India utara setelah abad ke-11.[258] Perbudakan juga ada di India Portugis setelah abad ke-16. Belanda, juga, mempunyai budak Abyssian, yang dikenal di India sebagai Habshi atau Sheedes.[259] Arakan/Bengal, Malabar, dan Coromandel tetap menjadi sumber tenaga kerja paksa terbesar sampai tahun 1660-an.
Antara tahun 1626 dan 1662, Belanda mengekspor rata-rata 150–400 budak setiap tahun dari pantai Arakan-Benggala. Selama 30 tahun pertama Batavia, budak India dan Arakan menyediakan tenaga kerja utama Perusahaan Hindia Timur Belanda, sebagai kantor pusat Asia. Peningkatan budak Coromandel terjadi selama masa kelaparan menyusul pemberontakan penguasa India Nayaka di India Selatan (Tanjavur, Senji, dan Madurai) melawan penguasa Bijapur (1645) dan penghancuran berikutnya di pedesaan Tanjavur oleh tentara Bijapur. Dilaporkan, lebih dari 150.000 orang dibawa oleh tentara Muslim Deccani yang menyerang ke Bijapur dan Golconda. Pada tahun 1646, 2.118 budak diekspor ke Batavia, sebagian besar dari Koromandel selatan. Beberapa budak juga diperoleh lebih jauh ke selatan di Tondi, Adirampatnam, dan Kayalpatnam. Peningkatan lain dalam perbudakan terjadi antara tahun 1659 dan 1661 dari Tanjavur sebagai akibat dari serangkaian serangan Bijapuri yang terus dilakukan. Di Nagapatnam, Pulicat, dan di tempat lain, perusahaan membeli 8.000-10.000 budak, sebagian besar dikirim ke Ceylon, sementara sebagian kecil diekspor ke Batavia dan Malaka. Akhirnya, pada tahun 1673, setelah kemarau panjang di Madurai dan Koromandel selatan yang mengintensifkan perjuangan Madurai-Maratha yang berkepanjangan atas Tanjavur dan praktik fiskal yang menghukum, ribuan orang dari Tanjavur, kebanyakan anak-anak, dijual sebagai budak dan diekspor oleh para pedagang Asia dari Nagapattinam ke Aceh, Johor, dan pasar budak lainnya.
Pada bulan September 1687, 665 budak diekspor oleh Inggris dari Fort St. George, Madras. Dan pada tahun 1694–1696, ketika peperangan sekali lagi melanda India Selatan, total 3.859 budak diimpor dari Koromandel oleh orang-orang secara pribadi ke Ceylon.[260][261][262][263][264][265][266][267][268][269][270] Volume total perdagangan budak Samudra Hindia Belanda diperkirakan sekitar 15–30% dari perdagangan budak Atlantik, sedikit lebih kecil dari perdagangan budak trans-Sahara, dan satu setengah hingga tiga kali ukuran perdagangan budak pantai Swahili dan Laut Merah dan perdagangan budak Perusahaan Hindia Barat Belanda.[271] Menurut Sir Henry Bartle Frere (yang duduk di Dewan Viceroy), diperkirakan ada 8 atau 9 juta budak di India pada tahun 1841. Sekitar 15% penduduk Malabar adalah budak. Perbudakan secara hukum dihapuskan dengan adanya kepemilikan Perusahaan India Timur melalui Undang-Undang Perbudakan India, 1843.[6]
Orang-orang suku bukit di Indochina "diburu tanpa henti dan dibawa sebagai budak oleh orang Siam (Thailand), Anamites (Vietnam), dan Kamboja".[272] Sebuah kampanye militer Siam di Laos pada tahun 1876 dideskripsikan oleh seorang pengamat Inggris sebagai peristiwa yang "berubah menjadi serangan perburuan budak dalam skala besar".[272] Sensus yang diambil pada tahun 1879 menunjukkan bahwa 6% dari populasi di kesultanan Melayu Perak adalah budak.[273] Orang-orang yang diperbudak kira-kira merupakan dua pertiga dari populasi di sebagian Kalimantan Utara pada tahun 1880-an.[273]
Salah satu contoh perbudakan di Indonesia dapat ditelusuri dari keterangan yang dikemukakan oleh tiga misionaris dari Baptist Missionary Society, yaitu Nathan Ward, Evans Meers, dan Richard Burton yang berkunjung ke wilayah Silindung pada tahun 1824. Perbudakan suku Batak hanya terjadi diantara mereka karena mereka tidak melakukan impor atau ekspor budak. Biasanya budak tidak mengalami tindakan opresi dibandingkan manusia bebas yang menjadi pemilik mereka, maupun umpatan kasar. Biasanya alasan perbudakan terjadi karena kemiskinan yang menimpa suatu keluarga sehingga dia harus melepaskan salah satu keluarganya untuk diadopsi sebagai buda, anak yatim piatu yang tidak ingin diasuh oleh keluarga dekatnya, orang yang tidak bisa membayar hutang dan tawanan perang.[274]
Setelah orang-orang Portugis pertama kali melakukan kontak dengan Jepang pada tahun 1543, perdagangan budak berkembang dengan orang Portugis membeli orang Jepang sebagai budak dan menjualnya ke berbagai lokasi di luar negeri, termasuk Portugal, selama abad ke-16 dan ke-17.[275][276] Banyak dokumen yang menyebutkan perdagangan budak terjadi secara bersamaan dengan protes terhadap perbudakan Jepang. Budak Jepang diyakini sebagai yang orang pertama dari bangsa mereka yang pergi Eropa, dan orang-orang Portugis membeli sejumlah gadis budak Jepang untuk dibawa ke Portugal untuk tujuan seksual, seperti yang dicatat oleh Gereja[277] pada tahun 1555. Wanita budak Jepang bahkan dijual sebagai selir kepada laskar Asia dan anggota kru Afrika, bersama dengan rekan-rekan Eropa mereka yang melayani di kapal-kapal Portugis yang berdagang di Jepang, seperti disebutkan oleh Luis Cerqueira, seorang Yesuit Portugis, dalam sebuah dokumen tahun 1598.[278] Budak Jepang dibawa oleh Portugis ke Makau, tempat mereka diperbudak oleh orang-orang Portugis atau menjadi budak dari budak lain.[279][280]
Beberapa budak Korea juga dibeli oleh orang-orang Portugis dan dibawa kembali ke Portugal dari Jepang. Mereka termasuk di antaranya puluhan ribu tawanan perang Korea yang diangkut ke Jepang selama invasi Jepang ke Korea (1592–98).[281][282] Para sejarawan menunjukkan bahwa meskipun Pemimpin Jepang Hideyoshi mengungkapkan kemarahannya terhadap perdagangan budak Jepang oleh Portugis, dia juga terlibat dalam perdagangan budak massal yang merupakan tawanan perang Korea di Jepang.[283][284] Fillippo Sassetti melihat beberapa budak Tiongkok dan Jepang di Lisbon di antara komunitas budak besar pada tahun 1578, meskipun sebagian besar para budak itu berkulit hitam.[285][286][287][288][289] Orang-orang Portugis "jauh lebih menghargai" budak Asia dibandingkan budak dari Afrika sub-Sahara.[290] Orang-orang Portugis menghargai kualitas seperti kecerdasan dan kerajinan yang ditunjukkan oleh budak Tiongkok dan Jepang.[287][288][291][292]
Raja Sebastian dari Portugal khawatir bahwa perbudakan yang merajalela akan berdampak negatif terhadap penyebaran agama Katolik, sehingga ia memerintahkan agar perbudakan dilarang pada tahun 1571.[293] Hideyoshi sangat muak karena banyak orang-orang Jepang yang dijual secara massal sebagai budak di Kyushu. Dia kemudian menulis surat kepada Wakil Yesuit Provinsi Gaspar, Coelho Yesuit, pada 24 Juli 1587 untuk menuntut orang-orang Portugis, Siam (Thailand), dan Kamboja berhenti membeli dan memperbudak orang Jepang dan mengembalikan budak Jepang yang sampai ke India.[294][295][296] Hideyoshi menyalahkan Portugis dan Yesuit atas perdagangan budak ini dan akibatnya melarang penyebaran agama Kristen.[297][298] Pada tahun 1595, sebuah undang-undang disahkan oleh Portugal yang melarang penjualan dan pembelian budak Tiongkok dan Jepang.[299]
Selama periode Joseon, populasi nobi diperkirakan berfluktuasi hingga mencapai sekitar sepertiga dari jumlah populasi, tetapi rata-rata jumlah nobi mencapai sekitar 10% dari total populasi.[102] Sistem perbudakan nobi mulai mengalami penurunan pada abad ke-18.[300] Sejak awal masa dinasti Joseon dan terutama pada abad ke-17, terdapat kritik keras dari para pemikir terkemuka di Korea tentang sistem nobi. Bahkan di dalam pemerintahan Joseon, terdapat indikasi perubahan sikap terhadap kaum bangsawan.[301] Raja Yeongjo menerapkan kebijakan emansipasi bertahap pada tahun 1775,[103] dan dia serta penggantinya Raja Jeongjo membuat banyak proposal dan perkembangan yang mengurangi beban nobi, yang mengarah pada emansipasi sebagian besar sistem nobi pada tahun 1801.[301] Selain itu, adanya pertumbuhan populasi,[103] banyaknya budak yang melarikan diri,[102] komersialisasi pertanian yang berkembang, dan munculnya kelas petani kecil yang mandiri berkontribusi pada penurunan jumlah nobi menjadi sekitar 1,5% dari total populasi pada tahun 1858.[108] Sistem nobi turun temurun secara resmi dihapuskan sekitar tahun 1886-1887,[102][108] dan sistem nobi lainnya dihapuskan dengan Reformasi Gabo pada tahun 1894.[102][302] Namun, perbudakan tidak sepenuhnya hilang di Korea sampai tahun 1930 dan kembali terjadi selama masa pendudukan Kekaisaran Jepang.
Selama pendudukan Kekaisaran Jepang di Korea sekitar Perang Dunia II, sebagian orang-orang Korea diharuskan melakukan kerja paksa dalam kondisi yang disamakan dengan perbudakan.[102][303] Kerja paksa ini termasuk wanita yang dipaksa menjadi budak seks oleh Tentara Kekaisaran Jepang sebelum dan selama Perang Dunia II, yang dikenal sebagai "lanfu".[102][303]
Budak (he mōkai) memiliki peran sosial yang diakui dalam masyarakat tradisional Māori di Selandia Baru.[304]
Penangkapan orang untuk dijadikan budak (blackbirding) terjadi di pulau-pulau di Samudra Pasifik dan Australia, terutama pada abad ke-19.
Di Konstantinopel, sekitar seperlima dari populasinya merupakan budak.[68] Kota ini merupakan pusat utama perdagangan budak pada abad ke-15 dan masa selanjutnya. Para budak disediakan oleh orang-orang Tatar yang sering menyerang desa-desa Slavia.[127] Para budak juga didapat melalui penaklukan, penindasan dan pemberontakan terhadap kawasan tertentu, dan setelahnya, seluruh populasinya kadang-kadang diperbudak dan dijual di seluruh wilayah Kesultanan untuk mengurangi risiko pemberontakan di masa depan. Orang-orang Utsmaniyah juga membeli budak dari pedagang yang membawa budak ke Kesultanan dari Eropa dan Afrika. Diperkirakan sekitar 200.000 budak - terutama orang Sirkasia - telah diimpor ke Kesultanan Utsmaniyah antara tahun 1800 dan 1909.[273] Sampai akhir tahun 1908, para budak wanita masih dijual di Kesultanan Utsmaniyah.[305]
Sampai akhir abad ke-18, Kekhanan Krimea (negara Muslim Tatar) mempertahankan perdagangan budak besar-besaran dengan Kesultanan Utsmaniyah dan Timur Tengah.[127] Banyak budak yang ditangkap di Rusia selatan, Polandia-Lithuania, Moldavia, Wallachia, dan Sirkasia oleh penunggang kuda Tatar[306] dan dijual di pelabuhan Kaffa di Krimea.[307] Sekitar 2 juta budak (sebagian besar budak Kristen) diekspor selama abad ke-16 dan ke-17[308] sampai Kekhanan Krimea dihancurkan oleh Kekaisaran Rusia pada tahun 1783.[309]
Pasar budak Rusia dan Persia yang ditangkap berpusat di Kekhanan Khiva di Asia Tengah.[310] Pada awal 1840-an, populasi negara bagian Uzbekistan Bukhara dan Khiva mencakup sekitar 900.000 budak.[273] Darrel P. Kaiser pernah menuliskan, "Orang-orang Kazakh dan Kirghiz menculik 1573 penduduk dari koloni [pemukiman Jerman di Rusia] pada tahun 1774 saja dan hanya setengahnya yang berhasil ditebus. Sisanya dibunuh atau diperbudak."[311]
Pada tahun 1865, Amerika Serikat meratifikasi Amandemen ke-13 Konstitusi Amerika Serikat, yang melarang perbudakan dan penghambaan paksa "kecuali sebagai hukuman atas kejahatan yang pihak tersebut harus dihukum dengan sepatutnya". Ini memberikan dasar hukum untuk bentuk perbudakan, yang sekarang disebut sebagai kerja paksa di sana. Secara historis, amandemen konstitusi ini membuka ruang bagi sistem sewa narapidana yang masih berdampak pada orang Afrika-Amerika. The Prison Policy Initiative, sebuah lembaga think-tank peradilan pidana Amerika, menyatakan bahwa jumlah populasi penjara AS tahun 2020 adalah sebanyak 2,3 juta orang, dan hampir semua narapidana yang berbadan sehat dipekerjakan. Di Texas, Georgia, Alabama dan Arkansas, para narapidana tidak dibayar sama sekali untuk melakukan pekerjaan mereka. Di negara bagian lain, seorang narapidana dibayar antara $0,12 dan $1,15 per jam. Federal Prison Industries membayar narapidana rata-rata $0,90 per jam pada tahun 2017. Narapidana yang menolak bekerja dapat ditahan tanpa batas waktu dalam sel isolasi, atau kunjungan keluarganya dapat dicabut. Dari tahun 2010 hingga 2018, beberapa tahanan di AS menolak untuk bekerja. Mereka melakukan protes agar mendapatkan upah yang lebih baik, kondisi kerja yang lebih baik, dan untuk mengakhiri kerja paksa. Pemimpin pemogokan kerja ini dihukum dengan kurungan isolasi yang tidak terbatas. Kerja paksa di penjara terjadi di penjara umum/pemerintah dan penjara swasta. CoreCivic dan GEO Group merupakan setengah dari pangsa pasar penjara swasta, dan mereka menghasilkan pendapatan gabungan sebesar $3,5 miliar pada tahun 2015. Nilai dari semua kerja yang dilakukan oleh narapidana di Amerika Serikat diperkirakan mencapai miliaran dollar. Di California, 2.500 narapidana bekerja melawan kebakaran hutan di sana dan hanya diberikan kompensasi sebesar $1 per jam melalui Program Kamp Konservasi CDCR, yang menyelamatkan negara bagian sebanyak $100 juta per tahun.
Antara tahun 1930 dan 1960, Uni Soviet menciptakan sistem, yang menurut Anne Applebaum dan "perspektif Kremlin", kamp kerja paksa yang disebut Gulag (bahasa Rusia: ГУЛаг, translit. GULag).[312]
Tahanan di kamp-kamp ini bekerja sampai mati dengan kuota produksi yang ekstrim, kebrutalan fisik dan psikologis, kelaparan, kurangnya perawatan medis, dan lingkungan yang keras. Aleksandr Solzhenitsyn, yang selamat dari delapan tahun penahanan Gulag, memberikan kesaksian langsung tentang kamp tersebut dengan penerbitan The Gulag Archipelago, yang membuatnya dianugerahi Penghargaan Nobel Kesusastraan.[313][314] Tingkat kematian di Gulag mencapai 80% selama bulan-bulan pertama di banyak kamp. Ratusan ribu orang, mungkin jutaan, tewas sebagai akibat langsung dari kerja paksa di bawah Soviet.[315]
Golfo Alexopoulos membuat menyamakan kerja di Gulag dengan "bentuk-bentuk lain dari kerja paksa" dan "kekerasan eksploitasi manusia"; perbudakan Gulag dibahas dalam Illness and Inhumanity in Stalin's Gulag,\.
Gulag Stalin, dalam banyak hal, bukanlah sebuah kamp konsentrasi, tetapi sebuah kamp kerja paksa dan bukan sebuah sistem penjara, tetapi sebuah sistem perbudakan. Gambar budak sering muncul dalam literatur memoar Gulag. Seperti yang ditulis Varlam Shalamov: "Lapar dan kelelahan, kami bersandar ke kerah kuda, mengangkat lepuh darah di dada kami dan menarik gerobak berisi batu ke atas lantai tambang yang miring. Kerah itu adalah alat yang sama yang digunakan sejak lama oleh orang Mesir kuno." Perbandingan historis yang cermat dan teliti tentang kerja paksa Soviet dan bentuk-bentuk kerja budak lainnya layak mendapat perhatian ilmiah, dalam pandangan saya. Karena seperti dalam kasus perbudakan global, Gulag menemukan legitimasi dalam narasi perbedaan yang rumit yang melibatkan praduga bahaya dan rasa bersalah. Ideologi perbedaan dan kekerasan eksploitasi manusia ini meninggalkan warisan abadi di Rusia kontemporer.[316]
Sejarawan Anne Applebaum menulis dalam pengantar bukunya bahwa kata GULAG telah merepresentasikan "sistem kerja budak Soviet itu sendiri, dalam segala bentuk dan variasinya" :
Kata "GULAG" adalah akronim dari Glavnoe Upravlenie Lagerei, atau Administrasi Kamp Utama, lembaga yang mengelola kamp-kamp Soviet. Namun seiring waktu, kata itu juga berarti sistem kerja budak Soviet itu sendiri, dalam segala bentuk dan variasinya: kamp kerja paksa, kamp hukuman, kamp kriminal dan politik, kamp wanita, kamp anak-anak, kamp transit. Lebih luas lagi, “Gulag” berarti sistem represif Soviet itu sendiri, serangkaian prosedur yang pernah disebut Alexander Solzhenitsyn sebagai “penggiling daging kita”: penangkapan, interogasi, pengangkutan dengan gerbong ternak yang tidak dipanaskan, kerja paksa, kehancuran keluarga, tahun-tahun yang dihabiskan di pengasingan, dan kematian dini dan tidak perlu.[317]
Observasi Applebaum telah dikritik oleh peneliti Gulag Wilson Bell,[318] yang menyatakan bahwa bukunya " selain merupakan pengantar, adalah gambaran umum Gulag yang ditulis dengan baik, tetapi tidak menawarkan kerangka interpretatif jauh di luar paradigma Solzhenitsyn".[319]
Selama Perang Dunia Kedua, Nazi Jerman memperbudak sekitar 12 juta orang, baik yang dianggap tidak diinginkan maupun warga negara yang ditaklukkan, untuk memperlakukan Untermenschen (sub-manusia), sebagai kelas budak permanen dari makhluk inferior yang bisa menjadi bekerja sampai mereka meninggal, dan yang tidak memiliki hak maupun dan status hukum seperti anggota ras Arya.[320]
Selain orang Yahudi, kebijakan deportasi dan kerja paksa yang paling keras diterapkan pada penduduk Belarus, Ukraina, dan Rusia. Pada akhir perang, setengah dari penduduk Belarus telah dibunuh atau dideportasi.[321][322]
Meskipun perbudakan sekarang dilarang di setiap negara, jumlah budak saat ini diperkirakan antara 12 juta dan 29,8 juta.[323][324][325] Menurut definisi yang luas dari perbudakan, ada 27 juta orang dalam perbudakan pada tahun 1999 yang tersebar di seluruh dunia.[326] Pada tahun 2005, Organisasi Perburuhan Internasional memberikan perkiraan jumlah pekerja paksa sebanyak 12,3 juta orang.[327] Siddharth Kara juga telah memberikan perkiraan 28,4 juta budak pada akhir tahun 2006 dibagi menjadi tiga kategori: perbudakan hutang (18,1 juta), kerja paksa (7,6 juta), dan budak yang diperdagangkan (2,7 juta).[56] Kara menyediakan model dinamis untuk menghitung jumlah budak di dunia setiap tahun, dengan perkiraan 29,2 juta pada akhir tahun 2009.
Menurut laporan tahun 2003 oleh Human Rights Watch, diperkirakan 15 juta anak berada dalam jeratan hutang di India dan bekerja dalam kondisi seperti perbudakan untuk melunasi hutang keluarga mereka.[329][330]
Slavoj ižek menegaskan bahwa bentuk-bentuk baru perbudakan kontemporer telah diciptakan di era kapitalisme global pasca-Perang Dingin, termasuk pekerja migran yang kehilangan hak-hak sipil dasar di Semenanjung Arab, kontrol total pekerja di pabrik- pabrik pakaian Asia dan penggunaan kerja paksa dalam eksploitasi sumber daya alam di Afrika Tengah.[331]
Sebuah laporan oleh Walk Free Foundation pada tahun 2013,[332] menemukan bahwa India memiliki jumlah budak tertinggi, yakni hampir 14 juta, diikuti oleh Tiongkok (2,9 juta), Pakistan (2,1 juta), Nigeria, Ethiopia, Rusia, Thailand, Republik Demokratik Kongo, Myanmar dan Bangladesh; sedangkan negara dengan proporsi budak tertinggi adalah Mauritania, Haiti, Pakistan, India dan Nepal.[333]
Pada Juni 2013, Departemen Luar Negeri AS merilis laporan tentang perbudakan. Dalam laporan ini, Rusia, Tiongkok, dan Uzbekistan masuk dalam kategori pelanggar terburuk. Kuba, Iran, Korea Utara, Sudan, Suriah, dan Zimbabwe berada di level terendah. Daftar tersebut juga termasuk Aljazair, Libya, Arab Saudi dan Kuwait di antara total 21 negara.[334][335]
Di Kuwait, ada lebih dari 600.000 pekerja rumah tangga migran yang rentan terhadap kerja paksa dan terikat secara hukum dengan majikan mereka, yang seringkali mengambil paspor mereka secara ilegal.[336] Pada tahun 2019, pasar budak online di aplikasi seperti Instagram terungkap.[337]
Dalam persiapan Piala Dunia 2022 di Qatar, ribuan orang Nepal, kelompok buruh terbesar, menghadapi perbudakan dalam bentuk penolakan upah, penyitaan dokumen, dan ketidakmampuan untuk meninggalkan tempat kerja.[338] Pada 2016, PBB memberi Qatar waktu 12 bulan untuk mengakhiri perbudakan pekerja migran atau akan menghadapi penyelidikan.[339]
The Walk Free Foundation melaporkan pada tahun 2018 bahwa perbudakan di masyarakat Barat yang kaya jauh lebih umum daripada yang diketahui sebelumnya, khususnya di Amerika Serikat dan Inggris Raya, yang masing-masing memiliki 403.000 (satu dari 800) dan 136.000 budak. Andrew Forrest, pendiri organisasi tersebut, mengatakan bahwa "Amerika Serikat adalah salah satu negara paling maju di dunia namun memiliki lebih dari 400.000 budak modern yang bekerja di bawah kondisi kerja paksa."[340] Diperkirakan 40,3 juta diperbudak secara global, dengan Korea Utara memiliki budak paling banyak, yaitu 2,6 juta (satu dari 10). Yayasan tersebut mendefinisikan perbudakan kontemporer sebagai "situasi eksploitasi yang tidak dapat ditolak atau ditinggalkan oleh seseorang karena ancaman, kekerasan, pemaksaan, penyalahgunaan kekuasaan, atau penipuan."[341]
Pemerintah Tiongkok memiliki sejarah memenjarakan warganya karena alasan politik. Pasal 73 Hukum Acara Pidana yang diadopsi pada tahun 2012 memungkinkan pihak berwenang menahan orang dengan alasan "keamanan negara" atau "terorisme". Dalam hal ini, tahanan dapat ditahan selama enam bulan di "lokasi yang ditentukan" seperti penjara rahasia.[342]
Pada Maret 2020, pemerintah Tiongkok diketahui menggunakan minoritas Uyghur untuk melakukan kerja paksa, di dalam pabrik-pabrik sweatshop. Menurut sebuah laporan yang diterbitkan oleh Australian Strategic Policy Institute (ASPI), sekitar 80.000 orang Uyghur dipindahkan secara paksa dari wilayah Xinjiang untuk melakukan kerja paksa di setidaknya dua puluh tujuh pabrik.[343] Menurut the Business and Human Rights resource center, perusahaan seperti Abercrombie & Fitch, Adidas, Amazon, Apple, BMW, Fila, Gap, H&M, Inditex, Marks & Spencer, Nike, North Face, Puma, PVH, Samsung, dan UNIQLO memiliki produk masing-masing yang bersumber dari pabrik-pabrik ini sebelum publikasi laporan ASPI.[344]
Selama Perang Saudara Libya Kedua, orang-orang Libya mulai menangkap migran Afrika Sub-Sahara yang mencoba pergi ke Eropa melalui Libya dan menjual mereka di pasar budak atau menyandera mereka untuk mendapatkan tebusan[345] Wanita-wanita sering diperkosa, digunakan sebagai budak seks, atau dijual ke rumah bordil.[346][347][348] Migran anak menderita pelecehan dan pemerkosaan anak di Libya.[349][350]
Di Mauritania, negara terakhir yang menghapus perbudakan (pada 1981), diperkirakan 20% dari 3 juta penduduk, diperbudak sebagai pekerja yang terikat.[351][352][353] Perbudakan di Mauritania dikriminalisasi pada Agustus 2007.[354] Namun, meskipun perbudakan, sebagai praktik, dilarang secara hukum pada tahun 1981, memiliki budak sampai tahun 2007 bukanlah suatu kejahatan.[355] Meskipun banyak budak telah melarikan diri atau telah dibebaskan sejak 2007, hingga 2012, hanya satu pemilik budak yang dijatuhi hukuman penjara.[356]
Catatan hak asasi manusia Korea Utara sering dianggap sebagai yang terburuk di dunia dan telah dikecam secara global, dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Uni Eropa dan kelompok-kelompok seperti Human Rights Watch semuanya mengkritik catatan hak asasi manusia di negara itu. Dengan bentuk-bentuk penyiksaan, kerja paksa, dan pelecehan yang masih tersebar luas, sebagian besar organisasi hak asasi manusia internasional menganggap tidak ada negara yang menyamai Korea Utara[357] sehubungan dengan pelanggaran kebebasan.[358][359][360][361]
Jika budak Amerika pada tahun 1809 dijual seharga sekitar $40.000 (dalam dolar yang disesuaikan dengan inflasi), seorang budak saat ini dapat dibeli hanya dengan $90. Ini membuat penggantian budak lebih ekonomis daripada memberikan perawatan jangka panjang.[362] Perbudakan adalah industri bernilai miliaran dolar dengan perkiraan hingga $35 miliar profit yang dihasilkan setiap tahun.[363]
Korban perdagangan manusia biasanya direkrut melalui penipuan atau tipu daya (seperti tawaran pekerjaan palsu, tawaran migrasi palsu, atau tawaran pernikahan palsu), penjualan oleh anggota keluarga, perekrutan oleh mantan budak, atau penculikan langsung. Korban dipaksa masuk ke dalam situasi "perbudakan utang" dengan paksaan, penipuan, penipuan, intimidasi, isolasi, ancaman, kekuatan fisik, ijon atau bahkan pemaksaan dengan obat-obatan untuk mengendalikan korbannya.[364] “Setiap tahun, menurut penelitian yang disponsori pemerintah AS yang diselesaikan pada tahun 2006, sekitar 800.000 orang diperdagangkan melintasi perbatasan nasional, yang tidak termasuk jutaan yang diperdagangkan di negara mereka sendiri. Sekitar 80% korban transnasional adalah perempuan dan anak perempuan, dan hingga 50% adalah anak di bawah umur, menurut laporan Departemen Luar Negeri AS dalam sebuah penelitian tahun 2008.[365]
Jika sebagian besar korban perdagangan adalah perempuan yang dipaksa menjadi pelacur (dalam hal ini prakteknya disebut perdagangan seks), korban juga termasuk laki-laki, perempuan dan anak-anak yang dipaksa menjadi pekerja kasar.[366] Karena sifat perdagangan manusia yang ilegal, tidak diketahui luasnya. Sebuah laporan pemerintah AS, yang diterbitkan pada tahun 2005, memperkirakan bahwa sekitar 700.000 orang di seluruh dunia diperdagangkan melintasi perbatasan setiap tahun. Angka ini tidak termasuk mereka yang diperdagangkan secara internal.[366] Upaya penelitian lain mengungkapkan bahwa sekitar 1,5 juta orang diperdagangkan baik secara internal maupun internasional setiap tahun, dengan sekitar 500.000 di antaranya adalah korban perdagangan seks.[56]
Perbudakan telah ada sepanjang sejarah manusia yang tercatat dalam satu atau bentuk yang lain. Dalam berbagai periode, telah ada pula gerakan untuk membebaskan kelompok budak yang besar atau berbeda.
Ashoka, yang memerintah Kekaisaran Maurya di anak benua India dari 269–232 SM, menghapuskan perdagangan budak tetapi bukan perbudakan.[367] Dinasti Qin, yang memerintah Tiongkok dari tahun 221 hingga 206 SM, menghapus perbudakan dan mengurangi perbudakan. Namun, banyak dari hukumnya dibatalkan ketika dinasti itu digulingkan.[368] Perbudakan sekali lagi dihapuskan oleh Wang Mang di Tiongkok pada tahun 17 M, tetapi diterapkan kembali setelah pembunuhannya.[369]
Penjajahan Spanyol di Amerika memicu diskusi tentang hak untuk memperbudak penduduk asli Amerika. Kritikus perbudakan terkemuka di koloni Dunia Baru Spanyol adalah misionaris dan uskup Spanyol, Bartolomé de las Casas, "yang pertama mengungkap penindasan penduduk asli oleh orang Eropa di Amerika dan menyerukan penghapusan perbudakan di sana."[370]
Di Amerika Serikat, semua negara bagian utara telah menghapus perbudakan pada tahun 1804, dengan New Jersey menjadi yang terakhir menghapusnya.[371] Tekanan gerakan abolisionis menghasilkan serangkaian langkah kecil menuju emansipasi. Setelah Undang-Undang Larangan Impor Budak mulai berlaku pada 1 Januari 1808, impor budak ke Amerika Serikat dilarang,[372] tetapi ini tidak termasuk perdagangan budak internal, atau keterlibatan dalam perdagangan budak internasional secara eksternal. Perbudakan legal bertahan di luar negara bagian utara; sebagian besar budak yang sudah ada di AS dibebaskan secara hukum baru pada tahun 1863. Banyak abolisionis Amerika yang mengambil peran aktif dalam menentang perbudakan dengan mendukung Underground Railroad. Bentrokan kekerasan antara gerakan anti-perbudakan dan pro-perbudakan Amerika termasuk Kansas Berdarah, serangkaian perselisihan politik dan bersenjata pada tahun 1854–1861 mengenai apakah Kansas akan bergabung dengan Amerika Serikat sebagai negara bagian budak atau negara bagian bebas. Pada tahun 1860, jumlah total budak mencapai hampir empat juta, dan Perang Saudara Amerika, yang dimulai pada tahun 1861, menyebabkan berakhirnya perbudakan di Amerika Serikat.[373] Pada tahun 1863, Lincoln mengeluarkan Proklamasi Emansipasi, yang membebaskan budak yang ditahan di Negara Konfederasi; Amandemen ke-13 Konstitusi Amerika Serikat melarang segala bentuk perbudakan di seluruh negeri.
Banyak dari budak yang dibebaskan menjadi petani bagi hasil dan pekerja kontrak. Dengan cara ini, beberapa orang menjadi terikat pada sebidang tanah, tempat mereka dilahirkan sebagai budak yang memiliki sedikit kebebasan atau peluang ekonomi karena hukum Jim Crow yang melanggengkan diskriminasi, pendidikan terbatas, mendorong penganiayaan tanpa proses hukum dan mengakibatkan kemiskinan yang berkelanjutan. Ketakutan akan pembalasan seperti penahanan yang tidak adil dan hukuman mati tanpa pengadilan menghalangi mobilitas lebih jauh.
Perancis menghapus perbudakan pada tahun 1794 selama masa Revolusi, tetapi dipulihkan pada tahun 1802 di bawah Napoleon.[374] Telah ditegaskan bahwa, sebelum Revolusi, perbudakan adalah ilegal di Prancis metropolitan (yang berlawanan dengan koloninya),[375] tetapi ini telah dibantah.[376]
Salah satu tonggak paling signifikan dalam kampanye untuk menghapus perbudakan di seluruh dunia terjadi di Inggris pada tahun 1772. Hakim Inggris Lord Mansfield memberikan pendapatnya dalam Kasus Somersett, yang secara luas dianggap telah menyatakan bahwa perbudakan adalah ilegal di Inggris. Putusan ini juga menetapkan prinsip bahwa perbudakan yang dikontrak di yurisdiksi lain tidak dapat ditegakkan di Inggris.[377]
Sons of Africa adalah kelompok Inggris di akhir abad ke-18 yang berkampanye untuk mengakhiri perbudakan. Anggotanya adalah orang-orang Afrika di London, budak yang dibebaskan termasuk Ottobah Cugoano, Olaudah Equiano dan anggota terkemuka lainnya dari komunitas kulit hitam London. Kelompok ini terkait erat dengan Society for Effecting the Abolition of the Slave Trade, sebuah kelompok non-denominasi yang didirikan pada 1787, yang anggotanya termasuk Thomas Clarkson. Anggota Parlemen Inggris William Wilberforce memimpin gerakan anti-perbudakan di Inggris, meskipun dasarnya adalah esai anti-perbudakan oleh Clarkson. Wilberforce didesak oleh teman dekatnya, Perdana Menteri William Pitt the Younger, untuk menjadikan masalah ini menjadi masalah pribadinya. Dia juga didukung oleh John Newton, seorang pengikut reformasi Evangelical. Undang-Undang Perdagangan Budak disahkan oleh Parlemen Inggris pada 25 Maret 1807. Undang-Undang ini membuat perdagangan budak menjadi ilegal di seluruh Kerajaan Inggris,[378] Wilberforce juga berkampanye untuk penghapusan perbudakan di Kerajaan Inggris, yang diadopsi dalam Undang-Undang Penghapusan Perbudakan 1833.
Setelah undang-undang tahun 1807 yang menghapuskan perdagangan budak disahkan, para pendukung gerakan anti perbudakan ini beralih untuk mendorong negara-negara lain untuk mengikutinya, terutama Prancis dan koloni-koloni Inggris. Antara tahun 1808 dan 1860, Armada Afrika Barat Inggris menyita sekitar 1.600 kapal budak dan membebaskan 150.000 orang Afrika yang ada di dalamnya.[379] Tindakan juga diambil terhadap para pemimpin Afrika yang menolak untuk menyetujui perjanjian Inggris untuk melarang perdagangan budak, misalnya terhadap Raja Lagos yang digulingkan pada tahun 1851. Perjanjian anti-perbudakan ditandatangani oleh lebih dari 50 penguasa Afrika.[380]
Pada tahun 1839, organisasi hak asasi manusia internasional tertua di dunia, Anti-Slavery International, dibentuk di Inggris oleh Joseph Sturge, yang berkampanye untuk melarang perbudakan di negara lain.[381] Pada tahun 2007, terdapat perayaan untuk memperingati 200 tahun penghapusan perdagangan budak di Inggris melalui karya-karya British Anti-Slavery Society.
Pada tahun 1860-an, laporan David Livingstone tentang kekejaman dalam perdagangan budak Arab di Afrika menarik perhatian publik Inggris dan menghidupkan kembali gerakan abolisionis yang mulai lesu. Angkatan Laut Kerajaan sepanjang tahun 1870-an berusaha untuk menekan "perdagangan Timur yang keji ini", khususnya di Zanzibar. Pada tahun 1905, Prancis menghapus perbudakan yang dilakukan penduduk asli di sebagian besar Afrika Barat Prancis.[382]
Pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang menyatakan bahwa kebebasan dari perbudakan adalah hak asasi manusia yang diakui secara internasional. Pasal 4 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan:
Tidak seorang pun boleh diperbudak; perbudakan dan perdagangan budak harus dilarang dalam segala bentuknya.[383]
Pada tahun 2014, untuk pertama kalinya dalam sejarah, para pemimpin besar dari banyak agama, Buddha, Hindu, Kristen, Yahudi, dan Muslim bertemu untuk menandatangani komitmen bersama mereka melawan perbudakan modern. Deklarasi yang mereka tandatangani menyerukan penghapusan perbudakan dan perdagangan manusia pada tahun 2020.[384] Para penandatangannya antara lain: Paus Fransiskus, Mātā Amṛtānandamayī, Bhikkhuni Thich Nu Chân Không (mewakili Zen Master Thích Nhất Hạnh), Datuk K Sri Dhammaratana, Kepala Imam Besar Malaysia, Rabi Abraham Skorka, Rabi David Rosen, Abbas Abdalla Abbas Solimary dari, Wakil Sekretaris Negara Bagian Al Azhar Alsharif (mewakili Mohamed Ahmed El-Tayeb, Imam Besar Al-Azhar), Ayatollah Agung Mohammad Taqi al-Modarresi, Syekh Naziyah Razzaq Jaafar, Penasihat Khusus Ayatollah Besar (mewakili Ayatollah Agung Syekh Basheer Hussain al Najafi), Sheikh Omar Abboud, Justin Welby, Uskup Agung Canterbury, dan Metropolitan Emmanuel dari Prancis (mewakili Patriark Ekumenis Bartholomew).[384]
Kelompok-kelompok seperti American Anti-Slavery Group, Anti-Slavery International, Free the Slaves, Anti-Slavery Society, dan Norwegian Anti-Slavery Society terus berkampanye untuk menghapus perbudakan.
Pada 21 Mei 2001, Majelis Nasional Prancis mengesahkan undang-undang Taubira, yang menyatakan perbudakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Permintaan maaf atas nama negara-negara Afrika, atas peran mereka dalam memperdagangkan warga negara mereka ke dalam perbudakan, tetap menjadi isu terbuka karena perbudakan dipraktikkan di Afrika bahkan sebelum orang Eropa pertama kali tiba dan perdagangan budak Atlantik dilakukan dengan tingkat keterlibatan yang tinggi dari beberapa masyarakat Afrika. Pasar budak hitam dipasok oleh jaringan perdagangan budak yang mapan yang dikendalikan oleh masyarakat dan individu setempat di Afrika.[385]
Ada cukup bukti yang mengutip kasus demi kasus kontrol Afrika atas segmen-segmen perdagangan budak. Beberapa negara Afrika seperti Calabar dan bagian selatan Nigeria lainnya memiliki perekonomian yang bergantung hanya pada perdagangan ini. Orang-orang Afrika seperti Imbangala dari Angola dan Nyamwezi dari Tanzania menjadi perantara atau kelompok keliling yang berperang dengan negara-negara Afrika lainnya untuk merebut orang Afrika yang diperuntukkan bagi orang Eropa.[386]
Beberapa sejarawan telah memberikan kontribusi penting dalam pemahaman global dari sisi Afrika dalam perdagangan budak Atlantik. Dengan berargumen bahwa pedagang Afrika menentukan kumpulan barang perdagangan yang diterima dengan imbalan budak, banyak sejarawan berpendapat bahwa agen Afrika pada akhirnya juga bertanggung jawab dalam perdagangan budak.[387]
Pada tahun 1999, Presiden Mathieu Kérékou dari Benin menyatakan permintaan maaf nasional atas peran sentral yang dimainkan orang-orang Afrika dalam perdagangan budak Atlantik.[176] Luc Gnacadja, menteri lingkungan dan perumahan untuk Benin, kemudian berkata: "Perdagangan budak adalah hal yang memalukan, dan kami menyesalinya."[388] Para peneliti memperkirakan bahwa 3 juta budak diekspor keluar dari Pantai Budak yang berbatasan dengan Teluk Benin.[388] Presiden Jerry Rawlings dari Ghana juga meminta maaf atas keterlibatan negaranya dalam perdagangan budak.[176]
Masalah permintaan maaf terkait dengan reparasi untuk perbudakan dan masih dikejar oleh banyak entitas di seluruh dunia. Misalnya, Gerakan Reparasi Jamaika menyetujui deklarasi dan rencana aksinya. Pada tahun 2007, Perdana Menteri Inggris Tony Blair membuat permintaan maaf resmi atas keterlibatan Inggris dalam perbudakan.[389]
Pada tanggal 25 Februari 2007, Persemakmuran Virginia menyatakan 'sangat menyesal' dan meminta maaf atas perannya dalam institusi perbudakan. Sebagai hal yang pertama di AS, permintaan maaf itu disahkan dengan suara bulat di kedua kamar parlemen saat Virginia mendekati peringatan 400 tahun berdirinya Jamestown.[390]
Pada tanggal 24 Agustus 2007, Walikota Ken Livingstone dari London meminta maaf secara terbuka atas peran Inggris dalam perdagangan budak kolonial. "Anda bisa melihat ke seberang sana untuk melihat institusi yang masih mendapatkan keuntungan dari kekayaan yang mereka ciptakan dari perbudakan," katanya sambil menunjuk ke distrik keuangan. Dia mengklaim bahwa London masih dinodai oleh kengerian perbudakan. Secara khusus, London melengkapi, membiayai, dan mengasuransikan banyak kapal, yang membantu mendanai pembangunan dermaga London.[391] Pejabat di Liverpool, kota yang dulunya merupakan tempat pelabuhan perdagangan budak besar, meminta maaf pada tahun 1999.[392]
Pada tanggal 30 Juli 2008, Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat mengeluarkan resolusi yang menyatakan permintaan maaf atas perbudakan Amerika dan undang-undang diskriminatif yang mengikutinya.[393] Pada Juni 2009, Senat AS mengeluarkan resolusi permintaan maaf kepada orang Afrika-Amerika atas "ketidakadilan yang mendasar, kekejaman, kebrutalan, dan perbudakan yang tidak manusiawi". Kabar tersebut disambut baik oleh Presiden Barack Obama, presiden pertama yang merupakan keturunan Afrika.[394] Beberapa nenek moyang Presiden Obama mungkin adalah pemilik budak.[395]
Pada tahun 2010, pemimpin Libya Muammar Gaddafi meminta maaf atas keterlibatan orang-orang Arab dalam perdagangan budak dengan mengatakan: "Saya menyesali perilaku orang-orang Arab ... Mereka membawa anak-anak Afrika ke Afrika Utara, menjadikan mereka budak, menjual mereka seperti binatang, dan mengambilnya sebagai budak dan memperdagangkannya dengan cara yang memalukan.”[396]
Terdapat gerakan untuk memberikan reparasi bagi mereka yang sebelumnya ditahan sebagai budak atau untuk keturunan mereka. Tuntutan untuk reparasi karena ditahan dalam perbudakan dianggap sebagai masalah hukum perdata di hampir setiap negara. Hal ini sering dikecam sebagai masalah serius, karena kekurangan uang kerabat mantan budak membuat mereka sering kali memiliki akses terbatas ke proses hukum yang berpotensi berbiaya mahal dan sia-sia. Sistem wajib denda dan reparasi yang dibayarkan kepada sekelompok penuntut yang belum ditentukan dari denda, dibayar oleh pihak yang tidak ditentukan, dan dikumpulkan oleh pihak berwenang telah diusulkan oleh para advokat untuk meringankan "masalah pengadilan sipil" ini. Karena di hampir semua kasus tidak ada mantan budak yang masih hidup atau mantan pemilik budak yang masih hidup, gerakan-gerakan ini hanya mendapat sedikit daya tarik. Dalam hampir semua kasus, pengadilan-pengadilan telah memutuskan bahwa undang-undang pembatasan atas kemungkinan klaim ini telah lama kedaluwarsa.
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.