Remove ads
kerajaan di Afrika Barat Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Kekaisaran Mali dikenal juga sebagai Kekaisaran Manding atau Manden Kurufa adalah suatu peradaban Afrika Barat yang berasal dari bangsa Mandika pada abad pertengahan sekitar abad ke 1235 sampai abad 1610. Kekaisaran ini didirikan oleh Sundiata Keita. Kekaisaran Mali juga terkenal akan kekayaan raja-raja penguasanya, terutama Raja Mansa Musa I. Kekaisaran ini memiliki pengaruh yang besar terhadap kebudayaan Afrika Barat, karena menyebarluaskan pemakaian bahasa, hukum, dan adat istiadat yang diterapkan di daerah tersebut kepada daerah lainnya di sepanjang sungai Niger.[3] Pada puncak kejayaannya, pejabat dan penguasa di Kekaisaran Mali dianugrahkan dengan gelar kehormatan yang saat itu dikenal sebagai "penguasa yang paling mulia dan terkaya di antara penguasa lainnya".[4] Kekuasaan kekaisaran Mali meliputi wilayah yang lebih luas dari Eropa Barat dan terdiri dari berbagai kerajaan boneka dan terbagi menjadi provinsi-provinsi.
Kekaisaran Mali Manden Kurufa | |||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1235–1610-an | |||||||||||
Bendera | |||||||||||
Kekuasaan Kekaisaran Mali tahun 1350 | |||||||||||
Status | Kekaisaran | ||||||||||
Ibu kota | Niani; nantinya Ka-ba | ||||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Mandinkan | ||||||||||
Agama | Pemujaan nenek moyang dan Islam | ||||||||||
Pemerintahan | Monarki Konstitusional | ||||||||||
Mansa (kaisar) | |||||||||||
Mari Djata I (pertama) | |||||||||||
• kira-kira abad ke-17 | Mahmud IV (terakhir) | ||||||||||
Legislatif | Gbara | ||||||||||
Sejarah | |||||||||||
• Didirikan | 1235 | ||||||||||
• Ibukota dipindah dari Niani ke Kangaba | 1559 | ||||||||||
• Runtuhnya negara dan terbagi antara anak-anak kaisar | 1610-an | ||||||||||
Luas | |||||||||||
1380[1] | 1.100.000 km2 (420.000 sq mi) | ||||||||||
Populasi | |||||||||||
• 1380[2] | 20000000 | ||||||||||
Mata uang | Emas (Garam, tembaga dan cypraea juga umum digunakan) | ||||||||||
| |||||||||||
Simbol Negara: Elang Binatang suci:Elang dan beberapa hewan lain bergantung dari setiap klan yang memerintah (singa, babi hutan, dll) | |||||||||||
Manden adalah daerah tempat Kekaisaran Mali bermula dan berkembang.[5] Nama Manden diperoleh dari penduduknya masa itu yang dijuluki Mandinka (Manden’ka dengan “ka” berarti orang),[6] yang terdiri dari Guinea utara dan Mali selatan modern. Kekaisaran ini pada mulanya berdiri sebagai federasi Mandinka yang disebut Manden Kurufa (secara harfiah berarti Federasi Manden), tetapi federasi ini kemudian berkembang menjadi kekaisaran yang memerintah jutaan orang yang berasal dari hampir semua grup etnis yang mungkin terdapat di Afrika Barat.
Asal usul penamaan kekaisaran Mali masih diperdebatkan dalam lingkaran ilmiah di seluruh dunia. Meskipun nama “Mali” masih diperdebatkan, tidak ada keraguan tentang proses nama tersebut memasuki kosakata regional. Seperti yang disebut di atas ini, bangsa Mandinka pada abad pertengahan merujuk kepada kampung halaman etnis mereka sebagai “Manden”.[5]
Di antara banyak grup etnis yang berbeda yang mengelilingi Manden terdapat grup penutur Bahasa Pulaar di Macina, Tekrur dan Fouta Djallon. Dalam bahasa Pulaar, Mandinka dari Manden menjadi Malinke dari Mali.[7] Meskipun orang Mandinka umumnya merujuk tanah dan ibu kota provinsi mereka sebagai Manden, Fulan, kawula Mali yang semi-nomadik yang tinggal di sebelah barat wilayah tengah negara (Tekrur), selatan (Fouta Djallon) dan perbatasan timur (Macina) memopulerkan nama Mali untuk kerajaan ini (yang kemudian menjadi kekaisaran) pada Abad Pertengahan.
Kerajaan Mandinka di Mali atau Manden telah ada beberapa abad sebelum unifikasi Sundiata sebagai negara kecil di selatan kekaisaran Soninké di Wagadou. Kekaisaran Soninke ini lebih dikenal sebagai kekaisaran Ghana.[8] Wilayah ini terdiri dari pegunungan, sabana, dan hutan yang menyediakan perlindungan dan sumber daya ideal bagi populasi pemburu.[9] Penduduk yang tidak tinggal di pegunungan membentuk negara-kota kecil seperti Toron, Ka-Ba dan Niani. Hampir setiap kaisar Mali dari Dinasti Keita melacak garis silsilahnya kembali ke Bilal,[10] muadin nabi Islam, Muhammad. Selama abad pertengahan, terdapat kebiasaan bagi penguasa Kristen dan Muslim untuk merunut garis darah mereka ke figur yang sangat penting dalam sejarah. Meskipun garis silsilah dinasti Keita meragukan, masing-masing para juru pencatat kejadian lisan menyediakan daftar penguasa Keita dari Lawalo (menurut dugaan salah satu dari tujuh anak Bilal yang menetap di Mali) sampai Maghan Kon Fatta (ayah Sundiata Keita).
Selama puncak kekuasaan Wagadou, tanah Manden menjadi salah satu provinsinya.[11] Negara-kota Manden di Ka-ba (Kangaba modern) menjadi ibu kota dan nama provinsi ini. Selama awal abad ke-11, raja-raja Mandinka yang disebut dengan gelar faama menguasai Manden dari Ka-ba dalam nama Ghana.[12]
Kekuasaan Wagadou terhadap Manden terhalang akibat perang selama 14 tahun melawan Murabitun, orang-orang Muslim yang kebanyakan keturunan Berber dari Afrika Utara. Jendral Murabitun, Abu Bekr menaklukkan dan membumihanguskan ibu kota Wagadou, Kumbi Saleh tahun 1076 dan mengakhiri dominasinya terhadap wilayah ini.[13] Namun, Murabitun tidak dapat mempertahankan wilayah ini, yang dengan cepat direbut kembali oleh Soninké yang telah melemah. Provinsi Kangaba yang bebas dari pengaruh Soninké dan Berber, menyerpih menjadi dua belas kerajaan dengan maghan (berarti pangeran) atau faama sendiri.[14] Manden terbagi dua dengan wilayah Dodougou di timur laut dan wilayah Kri di barat daya.[15] Kerajaan kecil Niani adalah satu dari beberapa wilayah Kri di Manden.
Kira-kira pada tahun 1140, kerajaan Sosso di Kaniaga, bekas vazal (negara yang berdaulat di bawah negara) Wagadou, mulai menaklukkan wilayah penguasa lamanya. Pada tahun 1180, Sosso bahkan telah menundukkan Wagadou, memaksa Soninké membayar upeti. Pada tahun 1203, raja Sosso, Soumaoro, dari klan Kanté naik tahta dan dilaporkan meneror Manden dengan mencuri wanita dan harta benda baik dari Dodougou dan Kri.[16]
Selama bangkitnya Kaniaga, Sundiata dari klan Keita lahir sekitar tahun 1217. Ia adalah anak dari faama Niani, Nare Fa (juga diketahui sebagai Maghan Kon Fatta yang berarti pangeran tampan). Ibu Sundiata adalah istri kedua Maghan Kon Fatta, Sogolon Kédjou.[10] Wanita ini adalah orang bungkuk dari negeri Do, selatan Mali. Anak dari pernikahannya menerima nama pertama ibunya (Sogolon) dan nama keluarga ayahnya (Djata). Dalam bahasa sehari-hari Mandinka yang diucapkan dengan cepat, namanya kemudian menjadi Sondjata atau Sundjata.[10] Versi bahasa Inggris nama ini, Sundiata, juga populer.
Maghan Sundiata diramalkan akan menjadi penakluk besar. Orangtuanya takut karena pangeran tidak memiliki masa kecil yang menjanjikan. Maghan Sundiata, menurut tradisi lisan, tidak dapat berjalan sampai ia berusia tujuh tahun.[14] Namun, ketika Sundiata dapat menggunakan kakinya, ia menjadi kuat dan sangat dihormati. Hal ini tidak terjadi sebelum ayahnya meninggal. Meskipun faama Niani berharap untuk menghormati ramalan dan memahkotai Sundiata, anak dari istri pertamanya Sassouma Bérété dimahkotai. Segera anak Sassouma Dankaran Touman mengambil alih tahta, ia dan ibunya memaksa Sundiata yang kepopulerannya meningkat dibuang bersama dengan ibunya dan dua saudara kandung perempuannya. Sebelum Dankaran Touman dan ibunya dapat menikmati kekuatan mereka yang tidak terhalangi, Raja Soumaoro mencapai Niani dan memaksa Dankaran meninggalkan Kissidougou.[10]
Setelah bertahun-tahun dalam pembuangan, pertama di istana Wagadou dan kemudian di Mema, Sundiata dicari oleh delegasi Niani dan diminta untuk mengalahkan Sosso dan membebaskan kerajaan Manden selamanya.
Setelah kembali dengan angkatan bersenjata gabungan Mema, Wagadou, dan semua negara-kota Mandinka yang melawan, Maghan Sundiata memimpin revolusi melawan kerajaan Kaniaga sekitar tahun 1234. Pasukan gabungan Manden utara dan selatan menaklukan angkatan bersenjata Sosso dalam pertempuran Kirina (nantinya dikenal sebagai Krina) kira-kira tahun 1235.[14] Kemenangan ini membuat jatuhnya kerajaan Kaniaga dan bangkitnya kekaisaran Mali. Setelah kemenangan, raja Soumaoro menghilang, dan Mandinka memasuki kota terakhir Sosso. Maghan Sundiata ditetapkan sebagai “faama dari semua faama” dan menerima gelar “mansa”, yang secara kasar dapat diterjemahkan sebagai kaisar. Pada usia 18 tahun, ia menerima kekuasaan terhadap seluruh duabelas kerajaan pada persekutuan yang diketahui sebagai Manden Kurufa. Ia dimahkotai dengan nama Mari Djata dan menjadi kaisar Mandinka pertama.[14]
Manden Kurufa yang didirikan oleh Mari Djata I terdari dari “tiga negara bebas yang bersekutu" di Mali, Mema dan Wagadou ditambah Dua Belas Pintu Mali.[10] Penting untuk diingat bahwa Mali, merujuk pada negara-kota di Niani.
Dua Belas Pintu Mali adalah koalisi wilayah yang ditaklukkan atau wilayah sekutu, kebanyakan di Manden, yang bersumpah setia kepada Sundiata dan keturunannya. Dengan menikamkan tombak mereka ke dalam tanah di depan tahta Sundiata, kedua belas raja melepaskan kerajaannya kepada dinasti Keita.[10] Sebagai imbalan terhadap kesetiaan mereka, mereka diangkat menjadi “farbas”, kombinasi kata-kata Mandinka, "farin" dan "ba" (farin besar).[17] Farin adalah istilah umum untuk komandan utara pada saat itu. Farbas tersebut menguasai kerajaan lama mereka atas nama mansa dengan mempertahankan sebagian besar wewenang yang mereka pegang sebelum memilih bergabung dengan Manden Kurufa.
Dewan Besar atau Gbara akan menjadi badan musyawarah Mandinka sampai runtuhnya Manden Kurufa tahun 1645. Pada pertemuan pertamanya, di Kouroukan Fouga (Divisi Dunia), terdapat 29 delegasi klan diketuai oleh belen-tigui (tuan upacara). Bentuk terakhir Gbara, menurut tradisi Guinea utara yang ada, terdiri aas 32 posisi yang diduduki oleh 28 klan.[18]
Kouroukan Fouga juga melakukan reformasi sosial dan politik dengan larangan terhadap penyiksaan tahanan dan budak, memasukkan wanita ke dalam pemerintahan dan menempatkan sistem olok-olok antara klan yang dengan jelas menyatakan siapa yang menyatakan tentang apa pada siapa. Sundiata juga membagi tanah di antara rakyatnya, memastikan semua orang memiliki tempat di kekaisaran dan memperbaiki nilai tukar untuk produk.
Mansa Mari Djata mengawasi penaklukan dan penggabungan beberapa tokoh lokal penting di kekaisaran Mali. Ketika kampanye selesai, kekaisarannya terbentang 1.000 mil dari timur ke barat dengan perbatasan itu adalah tikungan Sungai Senegal dan Sungai Niger.[19] Setelah menyatukan Manden, ia menambah ladang emas Wangara yang menjadi perbatasan selatan. Kota perdagangan utara Oualata dan Audaghost juga ditaklukkan dan menjadi bagian dari perbatasan utara negara baru. Wagadou dan Mema menjadi sekutu junior pada kerajaan dan bagian dari inti imperium. Wilayah Bambougou, Jalo (Fouta Djallon), dan Kaabu berturut-turut dimasukkan kedalam Mali oleh Fakoli Koroma,[14] Fran Kamara, dan Tiramakhan Traore,[20] .
Terdapat 21 mansa kekaisaran Mali yang diketahui setelah Mari Djata I dan sekitar dua atau tiga lainnya yang masih harus diungkapkan. Nama pemimpin tersebut muncul dalam sejarah melalui djeli dan keturunan modern dinasti Keita di Kangaba. Yang membedakan para penguasa tersebut dari sang pendiri, selain dari peran sejarah dalam mendirikan negara, adalah transformasi Manden Kurufa menjadi kekaisaran Manden. Tidak puas hanya menguasai kawula Manding saja yang disatukan oleh kemenangan Mari Djata I, para mansa tersebut juga kemudian menaklukkan dan mencaplok Bangsa Peuhl, Wolof, Serer, Bamana, Songhai, Tuareg, dan bangsa-bangsa lain ke dalam sebuah kekaisaran yang besar.
Tiga penerus pertama Mari Djata semuanya mengklaim dengan hak darah atau sesuatu yang dekat dengannya. Pada periode 25 tahun in terlihat pendapatan luar biasa untuk para mansa dan awal persaingan internal sengit yang hampir mengakhiri kekaisaran.
Setelah kematian Mari Djata tahun 1255, adat menentukan bahwa anak lelakinya naik tahta dengan mengasumsikan bahwa dia sudah cukup umur. Namun, Yérélinkon masih kecil ketika ayahnya mangkat.[21] Manding Bory, saudara tiri Mari Djata dan kankoro-sigui (wazir atau perdana menteri), seharusnya dinobatkan menurut Kouroukan Fouga. Anak laki-laki Mari Djata menguasai tahta dan dimahkotai sebagai Mansa Ouali (juga diucapkan “Wali”).
Mansa Ouali ternyata adalah kaisar yang baik dengan menambah kekuasaan kekaisaran Mali, termasuk provinsi Bati dan Casa di Gambia. Ia juga menguasai provinsi Bambuk dan Bondou yang memproduksi emas. Provinsi tengah Konkodougou didirikan. Kerajaan Songhai di Gao juga ditaklukan untuk pertama kalinya dalam periode ini.[13]
Selain penaklukan militer, Ouali juga melakukan reformasi pertanian terhadap kekaisaran dengan mempekerjakan pasukan menjadi petani di provinsi Gambia yang baru direbut. Tepat sebelum kematiannya tahun 1270, Ouali melaksanakan haji ke Mekkah untuk menguatkan hubungan dengan pedagang Afrika Utara dan Muslim.[13]
Sebagai kebijakan mengendalikan dan memberi penghargaan jenderalnya, Mari Djata mengadopsi anak lelaki mereka.[14] Anak-anak tersebut diasuh di istana mansa dan menjadi keita ketika dewasa. Karena melihat tahta sebagai hak mereka, dua anak Mari Djata yang diadopsi saling berperang antara satu dengan yang lainnya. Perang ini hampir menghancurkan apa yang dibangun oleh dua mansa pertama. Anak pertama yang menguasai tahta adalah Mansa Ouati (juga disebut “Wati) tahun 1270.[22] Menurut djeli, ia berkuasa selama empat tahun. Ia adalah orang yang boros dan berkuasa dengan kejam. Dengan kematiannya tahun 1274, anak angkat lainnya menguasai tahta.[22] Mansa Khalifa diingat sebagai penguasa yang lebih buruk dari Ouati. Ia memerintah sama buruknya dan dilaporkan menembakan panah ke orang yang lewat dari atap istananya. Ia dibunuh, kemungkinan atas perintah Gbara, dan digantikan oleh Manding Bory tahun 1275.[23]
Setelah kekacauan pada masa kekuasaan Ouali dan Khalifa, beberapa pejabat istana yang memiliki hubungan dekat dengan Mari Djata berkuasa (atau memerintah). Mereka mulai mengembalikan keanggunan kekaisaran Mali dan menyiapkannya untuk sebuah zaman keemasan para pemimpinnya.
Manding Bory dimahkotai dengan nama Mansa Abubakari (bentuk Manding dari nama Muslim, Abu Bakr).[14] Ibu Mansa Abubakari adalah Namandjé,[14] istri ketiga Maghan Kon Fatta. Sebelum menjadi mansa, Abubakari menjadi salah satu jendral saudara lelakinya dan nantinya menjadi kankoro-sigui saudara laki-lakinya. Sedikit yang diketahui mengenai kekuasaan Abubakari I, tetapi ia berhasil menghentikan berkurangnya kekayaan Mali.
Pada tahun 1285, seorang budak istana dibebaskan oleh Mari Djata yang juga telah menjabat sebagai seorang jenderal yang merebut takhta Mali.[13] Kekuasaan Mansa Sakoura (juga diucapkan Sakura) bermanfaat meskipun terdapat gonjang-ganjing politik. Ia menambah penaklukan pertama Mali sejak kekuasaan Ouali termasuk provinsi Tekrour dan Diara, bekas provinsi Wagadou. Penaklukannya tidak berhenti pada batas Wagadou saja. Ia berkampanye ke Senegal dan menguasai provinsi Wolof milik Dyolof dan lalu pergi ke timur untuk menguasai wilayah Takedda yang merupakan produsen tembaga. Ia juga menaklukan Macina dan menyerang Gao untuk menekan pemberontakan pertama melawan Mali.[13] Mansa Sakoura lebih dari hanya seorang prajurit belaka. Ia melaksanakan haji dan membuka negosiasi perdagangan langsung dengan Tripoli dan Moroko.[13]
Mansa Sakoura dibunuh ketika kembali dari Mekkah di atau sekitar Djibouti sekarang oleh pasukan Danakil yang mencoba merampoknya.[24] Pembantu kaisar membawa tubuhnya kembali melalu wilayah Ouaddai dan ke Kanem, tempat salah satu utusan kekaisaran yang dikirim ke Mali dengan berita kematian Sakoura. Ketika tubuhnya tiba di Niani, ia dimakamkan secara agung meskipun ia memiliki akar budak.[24]
Gbara memilih Ko Mamadi sebagai mansa selanjutnya tahun 1300. Ia adalah mansa pertama dari garis penguasa baru yang secara langsung menurun dari saudara perempuan Mari Djata, Kolonkan.[14] Namun, melihat bagaimana pemimpin tersebut membagi darah Maghan Kon Fatta, mereka dianggap sebagai Keita sah. Bahkan Sakoura, dengan sejarah menjadi budak dalam keluarga Djata, dianggap sebagai seorang Keita; sehingga garis Bilal masih perlu dipatahkan.
Selama garis silsilah Kolonkan, karakteristik zaman keemasan Mali mulai muncul. Dengan menangani pembangunan Sakoura dan Abubakari I, mansa Kolonkan mengarahkan Mali dengan selamat ke puncak kejayaannya.
Kekaisaran Mali tumbuh subur karena perdagangan diatas segalanya. Kekaisaran ini memiliki tiga tambang emas besar di perbatasannya, tidak seperti kekaisaran Ghana, yang hanya merupakan tempat transit emas. Kekaisaran ini memberi pajak pada setiap ons emas atau garam yang memasuki perbatasannya. Pada awal abad ke-14, Mali adalah sumber dari hampir setengah emas Dunia Lama yang diekspor dari emas di Bambuk, Boure dan Galam.[13] Tidak terdapat mata uang standar, tetapi beberapa bentuk penting untuk wilayah ini.
Gumpal emas merupakan kepemilikan eksklusif mansa, dan ilegal untuk dijual dalam perbatasannya. Semua emas segera diberikan ke perbendaharaan kekaisaran dengan kembali nilai setara debu emas. Debu emas telah ditimbang dan dikantongi untuk penggunaan sejak kekuasaan kekaisaran Ghana. Mali meminjam praktik untuk membendung inflasi bahan, karena hal ini penting terhadap region. Pengukuran emas yang paling umum adalah ambigu mithqal (4.5 gram emas).[14] Istilah ini digunakan dengan dipertukarkan dengan dinar, walaupun masih belum jelas jika mata uang koin digunakan di kekaisaran ini. Debu emas digunakan di seluruh kekaisaran, tetapi tidak dihargai dengan seimbang di semua wilayah.
Satuan besar pertukaran selanjutnya di kekaisaran Mali adalah garam. Garam dipotong menjadi kepingan dan dihabiskan untuk sumber daya yang dekat dengan keseimbangan kemampuan pembelian di kekaisaran.[14] Sementara garam sebaik emas di utara, garam lebih baik lagi di selatan. Orang dari selatan berdagang garam untuk makanan mereka, tetapi garam sangat langka.[25] Wilayah utara pada sisi lain tidak kekurangan garam. Setiap tahun, pedagang memasuki Mali melalui Oualata dengan unta membawa garam untuk dijual di Niani. Menurut sejarawan, pada periode ini, unta pengangkut garam dapat dihargai sebesar 10 dinar di sebelah utara dan 20 sampai 40 di sebelah selatan.[14]
Tembaga juga merupakan komoditas berharga di kekaisaran Mali. Perunggu, yang diperdagangkan dalam batang, ditambang dari Takedda di utara dan diperdagangkan di selatan untuk emas. Sumber kontemporer mengklaim 60 batang perunggu telah diperdagangkan untuk 100 dinar.[14]
Jumlah dan frekuensi penaklukan pada akhir abad ke-13 dan selama abad ke-14 menandai mansa Kolonkan diwarisi dan atau mengembangkan militer. Dengan tidak adanya mansa khusus yang pernah dihargai dengan pengaturan mesin perang Manding, militer tidak dapat berkembang sampai bagian-bagian legendaris yang dinyatakan oleh rakyatnya tanpa pendapatan mantap dan pemerintahan stabil. Dengan strategis, kekaisaran Mali mengalami hal itu dari tahun 1275 sampai mansa Kolonkan pertama tahun 1300.
Kekaisaran Mali memiliki angkatan bersenjata profesional untuk menjaga perbatasannya. Seluruh negara dimobilisasikan dengan tiap suku diharuskan menyediakan kuota umur prajurit laki-laki.[14] Sejarawan kontemporer kini selama puncak dan mundurnya kekaisaran Mali mencatat angkatan bersenjata Mali memiliki jumlah 100.000 dengan 10.000 dari jumlah tersebut dijadikan kavaleri.[14] Dengan bantuan suku di sungai, angkatan bersenjata ini dapat didistribusikan di seluruh kerajaan dalam peringatan pendek.[26]
Pasukan terbagi menjadi angkatan bersenjata utara dan selatan. Angkatan bersenjata utara, di bawah komando farin (komandan utara) berpatroli di kota perbatasan Soura.[14] Angkatan bersenjata selatan, di bawah komando Sankar (sebutan untuk penguasa di dekat sungai Sankarani),[14] dikomandokan dari kota Zouma. Farin-Soura dan Sankar-Zouma keduanya ditunjuk oleh mansa dan dipertanggung-jawabkan hanya kepadanya
Seorang infantri, yang bersenjata (panah, tombak, dan lain-lain), disebut sofa.[10] Sofa diatur kedalam satuan suku di bawah kepemimpinan perwira yang disebut kelé-kun-tigui atau "kepala suku perang".
Kelé-kun-tigui dapat berada di pos yang sama atau berbeda dari kun-tigui (kepala suku). Kun-Tigui menguasai penuh seluruh suku dan bertanggung jawab untuk mengisi kuota pasukan yang harus dimasukan sukunya untuk pertahanan Mali. Tanggung jawab ini merupakan tugas menunjuk atau menjadi kelé-kun-tigui suku. Meskipun mereka berkuasa terhadap pasukan infantri suku mereka sendiri, kelé-kun-tigui lebih sering bertempur dengan kuda.
Dibawah kelé-kun-tigui adalah dua perwira. Perwira paling junior adalah kelé-kulu-kun-tigui yang mengkomando pasukan infantri terkecil yang disebut kelé-kulu yang berarti "tumpukan perang" yang didalamnya terdapat sepuluh sampai dua puluh orang. Pasukan sepuluh kelé-kulus (100 sampai 200 infantri" disebut kelé-bolo berarti "senjata perang". Perwira yang bertugas terhadap pasukan ini disebut kelé-bolo-kun-tigui.[27]
Pasukan kavaleri disebut Mandekalu yang melayani sama setara jika elemen tentara tidak lebih penting. Seperti sekarang, kuda mahal dan hanya bangsawan yang membawa kuda kedalam pertempuran. Pasukan kavaleri Mandinka terdiri dari 50 pasukan berkuda yang disebut seré yang dikomandokan oleh kelé-kun-tigui. Kélé-Kun-Tigui, seperti namanya, adalah pasukan profesional dan memiliki peringkat tertinggi atas lapangan dari Farin atau Sankar.
Sofa umumnya dipersenjatai dengan perisai besar yang dibuat dari kayu atau kulit binatang dan tombak yang disebut tamba. Pemanah membentuk bagian besar sofa. Tiga pemanah mendukung satu penombak merupakan rasio di Kaabu dan Gambia pada pertengahan abad ke-16. Pemanah Mandinka, yang dilengkapi dengan dua tabung panah dan perisai, menggunakan panah berujung besi yang berduri dan biasanya beracun. Mereka juga menggunakan panah berapi untuk peperangan. Sementara tombak dan panah merupakan dukungan utama sofa, pedang dan tombak manufaktur lokal dan asing merupakan persenjataan pilihan Mandekalu. Senjata umum prajurit Mandekalu lainnya adalah lembing beracun yang digunakan dalam pertempuran. Pasukan berkuda kekaisaran Mali juga menggunakan baju baja untuk pertahanan dan perisai yang mirip dengan perisai sofa.
Ko Mamadi dimahkotai sebagai Mansa Gao dan berkuasa atas kekaisaran yang berhasil tanpa adanya krisis. Anaknya, Mansa Mohammed ibn Gao, naik tahta lima tahun kemudian dan meneruskan stabilitas Kolonkan.[14]
Penguasa Kolonkan terakhir, Bata Manding Bory, dimahkotai sebagai Mansa Abubakari II pada tahun 1310.[14] Ia meneruskan gaya kekuasaan non-militan yang mengkarakterisasikan Gao dan Mohammed ibn Gao, tetapi tertarik dengan laut di sebelah barat kekaisaran. Menurut catatan yang diberi oleh Mansa Musa I, yang selama era kekuasaan Abubakari II menjadi kankoro-sigui mansa, Mali mengirim dua ekspedisi ke samudra Atlantik. Mansa Abubakari II meninggalkan Musa sebagai wali raja kekaisaran, menunjukan stabilitas yang mengagumkan selama periode ini di Mali, dan berangkat dengan ekspedisi kedua yang memerintahkan 4.000 pirogue dilengkapi dengan dayung dan layar tahun 1311.[28] Baik kaisar ataupun kapal tidak pernah kembali ke Mali. Sejarawan dan ilmuwan modern ragu-ragu mengenai keberhasilan pelayaran, tetapi catatan mengenai hal tersebut ada di catatan tertulis Afrika Utara dan catatan lisan djeli Mali.
Abdikasi Abubakari II tahun 1312, satu-satunya yang tercatat dalam sejarah, menandai dimulainya garis silsilah baru yang berasal dari Faga Laye.[14] Faga Laye adalah putra dari Abubakari I. Tidak seperti ayahnya, Faga Laye tidak pernah mengambil tahta Mali. Namun, garis ini akan menghasilkan tujuh mansa yang berkuasa selama puncak kekuasaan Mali dan menuju awal dari kemundurannya.
Kekaisaran Mali mencapai luasnya yang terbesar di bawah mansa Laye. Selama periode ini, Mali terdiri dari hampir seluruh wilayah antara Gurun Sahara dan hutan pantai. Kekaisaran ini terbentang dari Samudera Atlantik sampai Niamey modern di Niger. Pada tahun 1350, kekaisaran ini memiliki luas kira-kira 439.400 kilometer persegi. Kekaisaran ini juga mencapai populasi terbesarnya selama periode Laye dengan menguasai 400 kota,[29] dan desa dari berbagai region dan etnis. Ulama pada era itu mengklaim perlu tidak kurang dari satu tahun untuk melintasi kekaisaran dari barat ke timur. Selama periode ini, hanya kekaisaran Mongolia yang wilayahnya lebih besar.
Peningkatan dramatis besar kekaisaran meminta giliran dari organisasi Manden Kurufa tiga negara bagian dengan dua belas tanah jajahan. Model ini ialah sisa oleh waktu haji Mansa Munsa ke Mesir. Menurut al'Umari, yang mewawanarai seorang Berber yang telah hidup di Niani selama 35 tahun, terdapat empat belas provinsi (kerajaan jajahan). Pada catatan al-'Umari, ia hanya mencatat tiga belas provinsi berikut.[30]
Penguasa pertama dari Laye adalah Kankan Musa, juga disebut sebagai Kango Musa. Setelah setahun lewat tanpa kabar mengenai Abubakari II, ia dimahkotai sebagai Mansa Foamed Musa. Mansa Musa adalah salah satu orang Muslim pertama yang sungguh-sungguh taat untuk menuntun Kekaisaran Mali. Ia mencoba untuk membuat agama Islam sebagai kepercayaan kaum ningrat,[13] tetapi tetap membiarkan tradisi kerajaan yang tidak memaksa populasinya. Ia juga melaksanakan perayaan Id pada akhir Ramadan. Ia dapat membaca dan menulis aksara Arab dan tertarik pada kota Timbuktu, yang digabung olehnya dengan damai tahun 1324. Melalui salah satu wanita kerajaan istananya, Munsa mengubah Sankore dari madrasah tidak resmi menjadi universitas Islam. Penelitian Islam tumbuh subur sesudah itu. Pada tahun yang sama, jendral Mandinka yang diketahui sebagai Sagmandir mengakhiri pemberontakan di Gao.[13]
Pencapaian pemahkotaan Mansa Musa adalah peziarahan terkenalnya ke Mekkah, yang dimulai pada tahun 1324 dan ia kembali pada tahun 1326. Catatan mengenai berapa banyak orang dan berapa banyak emas yang ia gunakan bervariasi. Semuanya setuju bahwa grup penjaga mansa terdiri dari pasukan yang sangat besar (mansa menyimpan pasukan penjaga sebanyak 500 orang),[32] dan ia memberikan sangat banyak sedekah dan membawa sangat banyak barang yang dihargai emas di Mesir dan timur dekat yang menurun harganya selama dua belas tahun.[33] Ketika ia melewati Kairo, sejarawan al-Maqurizi mencatat "anggota orang yang menemani mansa membeli budak wanita Turki dan Ethiopia, garmen dan wanita penyanyi, sehingga harga emas dinar turun enam dirham."
Musa sangat pemurah sehingga ia kehabisan uang dan terpaksa melelang agar dapat kembali ke rumah. Haji Musa, dan terutama emasnya, menarik perhatian dunia Islam dan Kekristenan, oleh sebab itu, Nama Mali dan Timbuktu muncul pada peta dunia abad ke-14.
Ketika sedang melakukan haji, ia bertemu penyair dan arsitek Al-Andalus, Es-Saheli. Mansa Musa membawa arsitek ini kembali ke Mali untuk mempercantik beberapa bagian kota. Masjid dibangun di Gao dan Timbuktu bersama dengan istana yang mengagumkan yang juga dibangun di Timbuktu. Pada saat kematiannya tahun 1337, Mali telah menguasai Taghazza, wilayah produsen garam di utara, yang makin memperkuat keuangannya.
Mansa Musa diteruskan oleh anaknya, Maghan I.[13] Mansa Maghan I menghabiskan uang dengan tidak berguna dan merupakan kaisar lesu pertama sejak Khalifa. Kekaisaran Mali yang dibangun oleh pendahulunya terlalu kuat untuk pemerintahan tak becusnya dan diberikan secara utuh kepada saudara kandung Musa, Souleyman tahun 1341.
Mansa Souleyman mengambil pengukuran curam untuk mengembalikan bentuk finansial Mali kdan mengembangkan reputasi untuk kepelitan.[13] Namun, ia membuktikan menjadi pemimpin kuat dan baik meskipun terdapat beberapa tantangan. Selama kekuasaannya, serangan Fula di Takrur dimulai. Terdapat konspirasi istana untuk menurunkannya untuk digantikan oleh Qasa (istilah Manding yang berarti Ratu) dan beberapa komandan pasukan.[13] Jendral Mansa Souleyman berhasil menghadapi penyerangan militer ini, dan istri senior dibalik rencana ini dipenjarakan.
Sang mansa juga berhasil melaksanakan sebuah ibadah haji, melanjutkan korepondensi dengan Maroko dan Mesir dan membangun sebuah panggung dari tanah di Kangaba yang disebut Camanbolon, tempat ia beraudiensi menerima para gubernur provinsi dan menaruh Kitab-kitab Suci yang ia bawa kembali dari Hejaz.
Satu-satunya kemunduran utama kekuasaannya adalah hilangnya provinsi Dyolof Mali ke tangan Senegal. Populasi Wolof di wilayah itu disatukan ke negara mereka sendiri yang disebut sebagai Kekaisaran Jolof tahun 1350-an. Ketika Ibn Battuta tiba di Mali pada Juli 1352, ia menemukan peradaban yang berkembang besar. Mansa Souleyman meninggal pada tahun 1360 dan diteruskan oleh putranya, Camba.
Setelah kekuasaan belaka selama sembilan bulan, Mansa Camba diturunkan oleh salah satu dari tiga putra Maghan I. Konkodougou Kamissa, dinamai dari provinsi yang pernah diperintahnya,[14] dimahkotai sebagai Mansa Mari Djata II tahun 1360. Ia berkuasa dengan menindas dan hampir membangkrutkan Mali dengan pengeluarannya yang berlimpah. Ia dapat berhubungan dengan Moroko, mengirim jerapah ke Raja Abu Hassan dari Maghreb. Mansa Mari Djata II sakit pada tahun 1372,[13] dan kekuasaan berpindah ke tangan menterinya sampai kematiannya tahun 1374.
Era kehancuran Mari Djata II meninggalkan kekaisaran dalam keadaan finansial yang buruk, tetapi kekaisaran ini diserahkan kepada saudara kandung kaisar yang sudah meninggal. Mansa Fadima Musa atau Mansa Musa II, memulai proses pengembalian kewalahan saudara kandungnya.[13] Ia tidak melakukannya; namun, pengadaan kekuasaan mansa sebelumnya karena pengaruh kankoro-siguinya.
Kankoro-Sigui Mari Djata, yang tidak berhubungan dengan klan Keita, menjalankan kekaisaran di bawah kaidah Musa II. Ia memadamkan pemberontakan Taureg di Takedda dan berkampanye di Gao. Sementara ia berhasil di Tahkedda, ia tidak pernah menang di Gao. Pemukiman Songhai dengan efektif mengguncang kekuasaan Mali tahun 1375. Pada saat kematian Mansa Musa II tahun 1387, Mali secara finansial mampu membayar hutang dan memegang semua penaklukan Gao dan Dyolof sebelumnya. Empat puluh tahun setelah kekuasaan Mansa Musa I, kekaisaran Mali masih menguasai 1.1 juta meter wilayah di sepanjang Afrika Barat.[34]
Anak terakhir Maghan I, Tenin Maghan (juga disebut sebagai Kita Tenin Maghan untuk provinsi yang pernah ia perintah) dimahkotai sebagai Mansa Maghan II tahun 1387.[14] Sedikit yang diketahui tentangnya kecuali bahwa ia berkuasa selama dua tahun. Ia diturunkahn tahun 1389 yang menandai berakhirnya era mansa Faga Laye.
Dari tahun 1389, Mali akan memperoleh mansa yang asal usulnya gelap. Periode ini merupakan periode yang paling sedikit diketahui dalam sejarah kerajaan Mali. Apa yang tampak adalah bahwa tidak ada garis silsilah mantap yang memerintah kekaisaran. Karakteristik lain era ini adalah hilangnya wilayah utara dan timur dengan bangkitnya kekaisaran Songhai dan fokus terhadap ekonomi Mali dari rute perdagangan trans-sahara sampai perdagangan sepanjang pantai yang berkembang.
Mansa Sandaki, keturunan Kankoro-Sigui Mari Djata, menurunkan Maghan II dan menjadi orang pertama tanpa hubungan dengan dinasti Keita yang secara resmi berkuasa di Mali.[13] Ia hanya akan berkuasa setahun sebelum keturunan Mansa Gao menurunkannya.[35] Mahmud, yang mungkin cucu atau anak cucu dari Mansa Gao, dimahkotai sebagai Mansa Maghan III tahun 1390. Selama kekuasaannya, kaisar Mossi, Bonga dari Yatenga menyerang Mali dan menghancurkan Macina.[13] Kaisar Bonga tidak terlihat menguasai wilayah itu, dan tetap berada di kekaisaran Mali sampai kematian Maghan III tahun 1400.
Pada awal tahun 1400-an, Mali masih cukup kuat untuk menaklukkan dan menetapi wilayah baru. Salah satunya adalah Dioma, wilayah di sebelah selatan Niani yang dihuni oleh Peuhl Wassoulounké.[14] Dua saudara kandung bangsawan dari Niani dari garis silsilah yang tidak diketahui, pergi ke Dioma dengan pasukan dan memukul mundur Peuhl Wassoulounké. Sérébandjougou, yang tertua di antara dua saudara itu, dimahkotai sebagai Mansa Foamed atau Mansa Musa III. Pada pemerintahan awalnya terlihat banyak kekalahan Mali. Pada tahun 1430, suku Tuareg dapat menguasai Timbuktu.[36] Tiga tahun kemudian, Oualata juga jatuh ke tangan mereka.[13]
Dengan kematian Musa III, saudara kandungnya, Gbèré, menjadi kaisar pada pertengahan abad ke-15.[14] Gbèré dimahkotai sebagai Mansa Ouali II dan berkuasa selama periode perhubungan Mali dengan Portugal. Pada tahun 1450-an, Portugal mulai melancarkan serangan di sepanjang pantai Gambia.[37] Gambia masih dapat dikuasai Mali, dan ekspedisi penyerangan tersebut menemui takdir bencana sebelum Diego Gomez Portugal memulai hubungan resmi dengan Mali melalui subyek Wolof sisanya.[38] Cadomasto, pengelana Venesia, mencatat bahwa Kekaisaran Mali adalah entitas terkuat pada tahun 1454.[39]
Meskipun mereka kuat di barat, Mali kalah dalam pertempuran di utara dan timur laut. Kekaisaran Songhai yang baru menguasai Mema,[13] salah satu jajahan terlama Mali. Kekaisaran ini lalu menguasai Timbuktu dari Taureg tahun 1468 di bawah Sunni Ali Ber.[13]
Tidak diketahui kapan pastinya Mamadou menjadi Mansa Mahmud II atau yang ia turunkan dari, tetapi ia diketahui menguasai tahta pada tahun 1470-an. Kaisar lainnya, Mansa Mahan III, kadang-kadang disebut sebagai Mansa Mahmud I, tetapi nama takhta biasanya tidak menandai hubungan darah. Kekuasaan Mansa Mahmud II memiliki karakteristik dengan lebih banyak hilangnya jajahan Mali dan meningkatnya hubungan antara Mali dan pengelana Portugal di sepanjang pantai. Pada tahun 1477, kaisar Yatenga Nasséré melakukan serangan Mossi lainnya ke Macina dan menguasainya dan provinsi lama BaGhana (Wagadou).[40] Pada tahun 1481, serangan Peuhl terhadap provinsi Tekrur Mali dimulai.
Perdagangan yang berkembang di provinsi barat Mali dengan Portugal menyaksikan pertukaran utusan antara kedua negara. Mansa Mahmud II menerima utusan Portugis, Pedro d’Evora al Gonzalo tahun 1484.[14] Mansa kehilangan kekuasaan atas Jalo selama periode ini.[41] Sementara itu, Songhai menguasai tambang garam Taghazza tahun 1493. Pada tahun yang sama, Mahmud II mengirim utusan lainnya ke Portugis dan mengusulkan persekutuan melawan Peuhl. Portugis memilih untuk tidak ikut campur dalam konflik dan membicarakan kesimpulan pada 1495 tanpa persekutuan.[41]
Tak mungkin jika Mahmud II berkuasa lebih lama daripada dekada pertama abad ke-16; namun, tidak terdapat nama penguasa selama waktu ini. Jika Mahmud II masih berada pada tahta sekitar tahun 1495 dan 1530-an, ia dapat memegang kehormatan meragukan karena kehilangan banyak jajahan selama periode imperial Mali. Pasukan Songhai di bawah komando Askia Muhammad menaklukan jendral Mali, Fati Quali tahun 1502 dan menguasai provinsi Diafunu.[13] Pada tahun 1514, dinasti Denanke didirikan di Tekrour. Tidak lama sebelum kerajaan baru Fulo Raya berperang terhadap provinsi sisa Mali. Untuk menambah luka, kekaisaran Songhai menguasai tambang tembaga di Takedda.
Mansa terakhir yang berkuasa dari Niani adalah Mansa Mahmud III, yang juga disebut sebagai Mansa Mamadou II. Seperti banyak penguasa pada periode ini, tidak jelas kapan ia mulai berkuasa. Satu-satunya tanggal yang menunjukan kekuasaannya adalah tibanya utusan Portugal tahun 1534, dan dirusaknya Niani tahun 1545. Hal ini tidak mengesampingkan naiknya ke takhta pada akhir 1520-an atau lebih awal lagi.
Pada tahun 1534, Mahmud III menerima utusan Portugis lainnya ke istana Mali dengan nama Peros Fernandes.[42] Utusan dari pelabuhan Elmina di Portugis ini tiba sebagai respon atas perkembangan perdagangan di sepanjang pantai dan permintaan mendesak Mali untuk bantuan militer melawan Songhai.[43] Namun, tidak ada bantuan datang dan Mali harus melihat jajahannya jatuh satu persatu.
Kekuasaan Mansa Mahmud III juga melihat pos militer dan provinsi Kaabu merdeka pada tahun 1537.[41] Kekaisaran Kaabu muncul seambisi Mali pada awal tahunnya dan menguasali provinsi Cassa dan Bati Mali.[44]
Momen paling menegaskan pada kekuasaan Mahmud III adalah konflik terakhir antara Mali dan Songhai tahun 1545. Pasukan Songhai di bawah saudara kandung Askia Ishaq, Daoud, menguasai Niani dan menduduki istana.[45] Mansa Mahmud III terpaksa melarikan diri dari Niani menuju pegunungan. Dalam waktu seminggu, ia berkumpul kembali dengan pasukannya dan melancarkan serangan balasan yang berhasil dan mengeluarkan Songhai dari Manden.[46] Kekaisaran Songhai tetap menyimpan ambisi Mali dalam cek, tetapi tidak pernah berhasil menguasai penuh Mali.
Setelah membebaskan ibu kota, Mahmud III meninggalkannya untuk rumah baru di utara.[46] Namun, masalah-masalah Mali tetap tidak berakhir. Pada tahun 1559, kerajaan Fouta Tooro berhasil berebut Takrur.[41] Kekalahan ini mengurangi Mali ke Manden dengan kekuasaannya hanya sejauh Kita di barat, Kangaba di utara, sungai Niger di timur dan Kouroussa di selatan.
Tidak terdapat tanggal kapan Mansa Mahmud III berakhir menguasai Mali, dengan pada tahun 1560 benar-benar hanya inti bagi Manden Kurufa. Dari 1559 sampai 1645, mansa Manden berkuasa dari Kangaba selama kemunduran akhirnya. Mansa penting selanjutnya, Mahmud IV, tidak muncul dalam catatan apapun sampai akhir abad ke-16. Namun, ia terlihat memiliki perbedaan dalam menjadi penguasa terakhir Manden. Pengikutnya disalahkan untuk perceraian Manden Kurufa ke utara, tengah dan selatan.
Mansa Mahmud IV (juga disebut sebagai Mansa Mamadou III, Mali Mansa Mamadou dan Niani Mansa Mamadou) adalah kaisar terakhir Manden menurut Tarikh es-Sudan. Dinyatakan bahwa ia melancarkan serangan terhadap kota Djenné tahun 1599 dengan harapan sekutu Fulani mengambil keuntungan dalam kekalahan Songhai.[47] Fusilier Moroko, didistribusikan dari Timbuktu, bertemu mereka dalam pertempuran membongkar Mali dengan teknologi sama (senjata api) yang menghancurkan Songhai. Meskipun kehilangan banyak, pasukan mansa tidak terhalangi dan hampir memajukan hari.[47] Namun, pasukan didala Djenné ikut serta dan memaksa Mansa Mahmud IV dan pasukannya mundur ke Kangaba.[43]
Kekelahan mansa mendapatkan perhatian Moroko dan dapat menyelamatkannya dari takdir Songhai. Mandinka sendirilah yang mengakibatkan kehancuran kekaisarannya. Sekitar tahun 1610, Mahmud IV tewas. Tradisi menyatakan bahwa ia memiliki tiga anak yang bertempur terhadap sisa Manden. Tidak ada satu orangpun yang menguasai Manden setelah kematian Mahmuud IV, mengakibatkan berakhirnya kekaisaran Mali selamanya.[48]
Inti tua kekaisaran terbagi menjadi tiga kekuasaannya. Kangaba, ibu kota de facto Manden sejak era kaisar terakhir, menjadi ibu kota bagian utara. Wilayah Joma, diperintah oleh Siguiri, menguasai wilayah tengah, yang meliputi Niani. Hamana atau Amana, sebelah barat daya Joma, menjadi bagian selatan dengan ibu kotanya di Kouroussa di Guinea modern.[48] Tiap penguasa menggunakan gelar mansa, tetapi kekuasaan mereka hanya sebatas wilayah mereka sendiri. Meskipun perpecahan ini terjadi, Manden Kurufa selamat pada abad ke-17. Ketiga negara saling berperang sebanyak jika tidak dilakukan lebih dari mereka melawan orang asing, tetapi saingan menghentikannya dengan invasi. Tren ini akan berlanjut sampai era kolonial melawan musuh Tukulor dari barat.[49]
Pada tahun 1630, Bamana dari Djenné mendeklarasikan invasi perang suci mereka terhadap semua kekuatan Muslim di Mali modern.[50] Mereka menyerang Pasha Moroko di Timbukti dan mansa Manden. Pada tahun 1645, Bamana menyerang Manden dan menguasai baik tepi Niger sampai Niani.[50] Kampanye ini mengeluarkan Manden dan menghancurkan harapan ketika mansa berkooperasi untuk membebaskan tanah mereka. Kekuasaan Mandinka yang diampuni dari kampanye ini adalah Kangaba.
Mama Maghan, mansa Kangaba, berkampanye melawan Bamana tahun 1667 dan menyerang Segou.[50] Segou, dilindungi oleh Biton Kouloubali, berhasil bertahan Mama Maghan terpaksa mundur ke Kangaba. Baik sebagai serangan balasan atau pergerakan penyerangan yang telah direncanakan sebelumnya terhadap sisa Mali, Bamana menghancurkan Niani tahun 1670.[50]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.