Remove ads
Perpecahan abad ke-16 dalam Kekristenan Barat Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Reformasi Protestan atau Reformasi Gereja (juga disebut Reformasi Eropa[1]) adalah sebuah gerakan besar dalam Kekristenan Barat di Eropa pada abad ke-16 yang menimbulkan tantangan agama dan politik terhadap Gereja Katolik Roma dan khususnya terhadap otoritas kepausan, yang timbul dari apa yang dianggap sebagai kesalahan, penyalahgunaan, dan ketidaksesuaian dalam Gereja Katolik. Reformasi adalah awal dari Protestanisme, dan perpecahan Gereja Barat menjadi Protestan dan Gereja Katolik Roma. Reformasi juga dianggap sebagai salah satu peristiwa yang menandai akhir dari Abad Pertengahan dan permulaan dari periode modern awal di Eropa.[2] Gerakan ini umumnya dianggap telah dimulai dengan publikasi 95 Tesis oleh Luther pada 1517, dan berlangsung sampai berakhirnya Perang Tiga Puluh Tahun melalui Perdamaian Westfalen pada 1648.
Bagian dari seri |
Reformasi Protestan |
---|
Protestanisme |
Bagian dari seri |
Protestanisme |
---|
|
Portal Kristen |
Meskipun sebelum Luther telah ada upaya-upaya awal yang signifikan untuk melakukan reformasi Gereja Katolik – seperti yang dilakukan oleh Jan Hus, Peter Waldo (Pierre Vaudès), dan John Wycliffe – Martin Luther secara luas dianggap telah memulai Reformasi Protestan dengan 95 Tesis. Luther mengawali dengan mengkritik penjualan indulgensi, bersikeras bahwa Sri Paus tidak memiliki otoritas atas purgatorium dan bahwa ajaran Katolik mengenai jasa orang-orang kudus tidak memiliki landasan di dalam Alkitab. Bagaimanapun, posisi Protestan kelak memadukan perubahan-perubahan doktrin seperti ketergantungan sepenuhnya pada Alkitab sebagai satu sumber keyakinan yang benar (sola scriptura) serta keyakinan bahwa iman dalam Yesus, dan bukan perbuatan-perbuatan baik, adalah satu-satunya jalan untuk memperoleh pengampunan Allah atas dosa (sola fide). Motivasi utama di balik perubahan-perubahan tersebut bersifat teologis, kendati banyak faktor lain yang berperan, termasuk bangkitnya nasionalisme, Skisma Barat yang mengikis kepercayaan pada Kepausan, dugaan korupsi Kuria Roma, dampak dari humanisme, dan pembelajaran baru Renaisans yang mempertanyakan banyak pemikiran dalam tradisi.
Gerakan awal di Eropa beragam rupa, dan impuls-impuls reformasi lainnya timbul secara tersendiri di luar kepemimpinan Luther. Ulrich Zwingli, contohnya, memulai reformasi di Swiss pada saat yang hampir bersamaan dengan Luther, namun independen dari pengaruh Luther. John Calvin, seorang reformator generasi kedua yang melakukan reformasi di kota Jenewa, memiliki teologi yang sangat berpengaruh pada tradisi reformasi Swiss. Para pengikut Luther dikenal sebagai Lutheran, sedangkan pengikut Zwingli dan Calvin dikenal sebagai Calvinis atau Reformed. Gereja-gereja Lutheran kebanyakan didirikan di Jerman dan Skandinavia, sedangkan gereja-gereja Reformed didirikan di Swiss, Hungaria, Prancis, Belanda, dan Skotlandia. Gerakan baru ini memberikan pengaruh definitif pada Gereja Inggris setelah tahun 1547 di bawah pemerintahan Edward VI and Elizabeth I, kendati Gereja Inggris telah berdiri sendiri di bawah pemerintahan Henry VIII pada tahun 1530-an awal.
Terdapat juga gerakan-gerakan reformasi di seluruh Eropa daratan yang dikenal sebagai Reformasi Radikal, yang menimbulkan gerakan-gerakan Anabaptis, Moravia, dan Pietistik lainnya. Selain membentuk komunitas-komunitas di luar otorisasi negara, para Reformis Radikal sering kali menerapkan perubahan doktrin yang lebih ekstrem, misalnya penolakan terhadap prinsip-prinsip hasil Konsili Nicea dan Konsili Kalsedon yang berlangsung pada Abad Kuno Akhir.
Gereja Katolik menanggapi dengan suatu gerakan yang disebut Kontra-Reformasi, diprakarsai oleh Konsili Trente. Banyak upaya dalam menghadapi Protestanisme dilakukan oleh kalangan Yesuit, suatu tarekat baru kala itu yang terorganisasi dengan baik. Secara umum, Eropa Utara, dengan pengecualian sebagian besar wilayah Irlandia, berada di bawah pengaruh Protestanisme. Eropa Selatan tetap Katolik, sedangkan Eropa Tengah merupakan lokasi konflik yang sengit, imbas dari serangkaian perang agama di Eropa yang berpuncak pada Perang Tiga Puluh Tahun, sehingga mengakibatkan daerah ini hancur.
Eropa mengalami periode bencana yang mengerikan pada awal Abad Pertengahan Akhir. Pada paruh pertama abad ke-14, hujan yang sangat lebat serta kekeringan dan musim dingin yang parah menyebabkan gagal panen dan kelaparan di wilayah yang luas. Pada pertengahan abad tersebut, sebuah pandemi dahsyat yang dikenal sebagai Wabah Hitam (Black Death) melanda Eropa, menewaskan sekitar sepertiga dari seluruh populasi. Menganggap wabah tersebut sebagai tanda murka Tuhan, orang-orang yang ketakutan berdoa kepada orang-orang kudus untuk memohon syafaat,[catatan 1] dan ratusan orang berkeliaran dari satu kota ke kota lain dalam kelompok-kelompok yang menunjukkan pertobatan dengan mencambuk diri mereka sendiri–maka mereka disebut sebagai kaum flagela. Di banyak bagian Eropa, ribuan orang Yahudi menjadi korban pogrom anti-semitik, karena desas-desus irasional yang menuduh mereka menyebarkan pandemi dengan cara meracuni sumur. Meskipun sempat mereda, wabah ini kembali lagi dari waktu ke waktu.[4] Baru pada akhir abad ke-15, pemulihan demografis yang lambat dimulai. Sekitar tahun 1500, populasi Eropa sekitar 60-85 juta orang—tidak lebih dari 75 persen dari jumlah maksimum demografis pada pertengahan abad ke-14.[5]
Ketakutan akan kematian yang tidak terduga tercermin dalam motif artistik yang populer, seperti alegori danse macabre ("tarian kematian"), dan ukiran pemakaman yang umum memento mori ("ingatlah bahwa Anda akan mati"). Ketakutan tersebut juga berkontribusi pada semakin populernya Misa untuk orang mati.[6] Hal ini mengindikasikan adanya kepercayaan yang meluas akan adanya tempat peralihan antara Neraka dan Surga yang dikenal dengan nama Api Penyucian atau Purgatorium, karena doa-doa bagi mereka yang telah dikutuk ke Neraka atau telah masuk ke Surga tidak akan ada gunanya. Keberadaan Api Penyucian dinyatakan sebagai dogma Katolik di Konsili Firenze pada tahun 1439.[7] Kisah-kisah hantu menyebar luas karena kebanyakan orang percaya bahwa jiwa-jiwa orang berdosa yang tidak didoakan oleh siapa pun ditakdirkan untuk mengembara selamanya. Ketakutan akan praktik sihir yang jahat juga berkembang dan perburuan penyihir semakin meningkat sejak tahun 1430-an.[8]
Menjelang akhir abad ke-15, sebuah pandemi baru mulai menyebar di Eropa. Ini adalah sifilis, sebuah infeksi menular seksual yang merusak penampilan korbannya dengan borok dan koreng, dan juga bisa membuat mereka gila sebelum meninggal. Bersamaan dengan invasi Prancis ke Italia, penyakit fatal baru ini melatarbelakangi kesuksesan pengkhotbah berkarisma Girolamo Savonarola (meninggal 1498) di Firenze. Khotbah-khotbahnya tentang Hari-hari Akhir Umat Manusia menjadi sangat populer, dan seruannya untuk pembaruan moral menyebabkan revolusi yang mengakhiri kekuasaan Medici di kota itu. Paus Aleksander VI (memerintah 1492-1503) melarangnya berkhotbah, namun ia mengabaikan larangan tersebut, dan karenanya ia diekskomunikasi. Ketika bencana terus berlanjut di kota itu, Savonarola kehilangan dukungan masyarakat. Ia ditangkap dan dieksekusi, namun renungannya terus dibaca di berbagai penjuru Eropa.[9]
Kekristenan Barat menunjukkan sebuah kesatuan yang luar biasa pada awal abad ke-14. Hal ini terutama merupakan hasil dari Reformasi Gregorian pada abad ke-11 yang menetapkan supremasi kepausan—otoritas kepausan yang tak terbantahkan—atas Gereja Katolik, dan menjamin pemisahan secara hukum antara para klerus dari kaum awam.[10] Selibasi klerus diperkuat melalui larangan pernikahan klerus, dan para klerus dikecualikan dari yurisdiksi pengadilan sekuler. Sebaliknya, pengadilan gerejawi memiliki yurisdiksi eksklusif atas urusan pernikahan kaum awam dan sengketa wasiat.[11]
Kaum klerus terdiri dari dua kelompok besar, klerus regular dan klerus sekular. Klerus regular hidup di bawah peraturan biara, seperti Peraturan Santo Benediktus, dalam kerangka ordo religius;[12] klerus sekular bertanggung jawab atas pelayanan pastoral di antara umat awam. Gereja adalah sebuah organisasi yang bersifat hierarkis. Paus dipilih oleh para klerus tingkat tinggi, para kardinal, dan dibantu oleh staf profesional Kuria Roma. Sebagian besar ordo religius, seperti Sistersien, Fransiskan, Dominikan, dan Ksatria Teutonik, merupakan organisasi internasional yang terpusat. Para klerus sekuler disusun dalam unit-unit teritorial yang dikenal sebagai keuskupan, yang masing-masing dipimpin oleh seorang uskup atau uskup agung.[catatan 2] Setiap keuskupan dibagi menjadi beberapa paroki yang dikepalai oleh para pastor paroki. Mereka memberikan sebagian besar sakramen kepada komunitas umat beriman setempat.[14] Ini adalah ritus-ritus sakral yang dianggap penting untuk menyalurkan anugerah ilahi kepada umat manusia. Konsili Firenze menetapkan jumlah mereka menjadi tujuh, yang menyatakan baptisan, penguatan, pernikahan, pengurapan orang sakit, tobat, Ekaristi, dan pentahbisan imam sebagai sakramen-sakramen Gereja Katolik.[15] Perempuan tidak dapat ditahbiskan sebagai imam, namun dalam keadaan-keadaan khusus, mereka dapat memberikan baptisan atau mendengar pengakuan dosa. Mereka juga dapat hidup sebagai biarawati di konven setelah mengambil tiga sumpah biara yaitu kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan.[16]
Umat beriman diharapkan membayar sepersepuluh dari pendapatan mereka kepada Gereja, tetapi dalam praktiknya hanya pengumpulan persepuluhan dari hasil agraria yang diberlakukan karena penilaian pendapatan lainnya tidak mungkin dilakukan.[17] Pluralisme—praktik memegang beberapa jabatan Gereja, atau benefice (tunjangan)—bukanlah hal yang tidak wajar. Hal ini tidak terhindarkan mengarah pada non-residensi, karena klerus yang sama tidak dapat memenuhi kewajibannya di berbagai jabatan. Klerus yang tidak menetap di wilayahnya mempekerjakan imam lain untuk melaksanakan tugas-tugas spiritual mereka, tetapi para wakil sering kali berpendidikan rendah dan, karena digaji rendah, mereka sangat ingin menarik biaya tambahan dari jemaat mereka.[18] Para bangsawan umumnya mendukung karier gereja kerabat mereka karena seorang uskup, kepala biara, kepala biarawati, atau prelat lainnya mungkin memiliki kekayaan yang luar biasa.[19] Beberapa pemimpin gerejawi juga merupakan pangeran sekuler, seperti pangeran-uskup di Jerman dan Grand Master Ksatria Teutonik di Ordensstaat mereka di wilayah Baltik. Prelat lain yang memegang jabatan tinggi dalam administrasi negara mungkin merupakan kekuatan di balik takhta di beberapa negara. Contohnya adalah kardinal Spanyol Francisco Jiménez de Cisneros (meninggal 1517) dan uskup agung Jerman Matthäus Lang (meninggal 1540).[20]
Kapitel-kapitel katedral dan biara-biara berfungsi untuk menyediakan kebutuhan keturunan kaum bangsawan, yang hidup sesuai dengan kedudukan mereka; para klerus yang lebih rendah beradaptasi dengan "gaya hidup lingkungan mereka" di pedesaan, misalnya dengan pergundikan atau dengan mengelola sebuah penginapan.[21] Ciri khas kesalehan akhir abad pertengahan adalah donasi, misa untuk arwah, ziarah, prosesi, dan perolehan indulgensi, yang dimaksudkan untuk mempersingkat waktu di api penyucian. Semua layanan ini dapat dibeli dari gereja dengan menggunakan uang – sebuah "fiskalisasi" agama.[22] Hal ini memicu kritik: di satu sisi klerus proletar, yang hidup lebih buruk daripada yang baik dalam melayani misa arwah, dan di sisi lain gaya hidup klerus tingkat atas (uskup, kanon), yang menumpuk tunjangan tetapi mendelegasikan tugas-tugas yang terkait dengan mereka tanpa banyak perhatian pada pelayanan pastoral di masing-masing paroki.[23] Hans-Jürgen Goertz menggunakan istilah "antiklerikalisme" sebagai model penjelasan untuk fase awal Reformasi karena kritik yang meluas terhadap kondisi klerus.[24]
Kepausan adalah "kekuatan internasional besar pertama di Eropa" (Chris Wickham) meskipun otoritasnya didasarkan pada sistem komunikasi dan birokrasi yang terorganisasi dengan baik, bukan pada angkatan bersenjata.[25] Menganggap diri mereka sebagai penerus Rasul Petrus (meninggal ca. 66), para paus mengklaim kuasa untuk mengikat dan melepaskan yang konon diberikan Kristus kepada Petrus, dan menawarkan indulgensi—pengampunan dosa baik di dunia maupun di api penyucian—kepada para pendosa. Untuk memperkuat dasar konsepsional dari praktik ini, para teolog skolastik menguraikan konsep perbendaharaan jasa yang tidak pernah habis yang tersedia bagi kepausan untuk dibagikan kepada umat beriman.[26] Para paus dapat memberikan dispensasi kepada lembaga-lembaga atau individu-individu, membebaskan mereka dari ketentuan-ketentuan tertentu dalam hukum kanonik.[catatan 3][18]
Proklamasi bulla kepausan Unam sanctam pada tahun 1302 menandai "puncak ambisi gerejawi kepausan abad pertengahan" (Alister McGrath).[27] Dalam bulla tersebut, Paus Bonifasius VIII (memerintah 1294-1303) menyatakan bahwa hanya mereka yang taat kepada kepausan yang dapat memperoleh keselamatan.[28] Setahun kemudian, pasukan Prancis menangkap Paus di Anagni, dan pada tahun 1309, takhta kepausan dipindahkan dari Roma yang kacau ke Avignon.[29] Selama periode Kepausan Avignon, para paus mengambil alih kendali atas pengangkatan semua rohaniwan Katolik senior. Hal ini meningkatkan pendapatan kepausan karena para uskup, kepala biara, dan klerus tingkat tinggi lainnya yang baru membayar biaya untuk surat pengangkatan mereka dan menyerahkan kepada kepausan sepertiga dari pendapatan yang mereka peroleh pada tahun pertama dalam jabatan baru mereka.[30] Praktik jual-beli jabatan ini dikenal sebagai praktik simoni.[31]
Gagasan bahwa Roma adalah pusat agama Katolik yang sah tidak pernah pudar, dan Paus Gregorius XI (memerintah 1370-1378) mengembalikan takhtanya ke Roma pada tahun 1377.[32] Konflik antara penerusnya Urbanus VII (memerintah 1378-1389) dan Dewan Kardinal berkembang menjadi Skisma Barat ketika para penentangnya menyatakan bahwa pemilihannya tidak sah dan menyatakan Klemens VII dari Prancis (memerintah 1378-1394) sebagai paus. Klemens kembali ke Avignon, membangun lini paus saingan.[33] Di setiap negara, para pemimpin gereja harus memihak salah satu dari dua paus. Mereka umumnya menerima keputusan penguasa setempat, yang melemahkan karakter supranasional Gereja Katolik.[34] Untuk mengakhiri skisma ini, para kardinal dari kedua belah pihak berkumpul di Pisa pada tahun 1409. Mereka memilih seorang paus baru, namun keputusan mereka hanya memperburuk masalah karena kedua paus rival menolak untuk mengundurkan diri. Persiapan yang lebih matang membuka jalan bagi Konsili Konstanz di bawah naungan raja Jerman Sigismund dari Luxemburg (memerintah 1410-1437). Di Konstanz, salah satu dari tiga paus mengundurkan diri, dua rivalnya digulingkan, dan legitimasi paus yang baru terpilih, Martinus V (memerintah 1417-1431), diakui di seluruh Eropa Katolik.[35]
Konsili Konstanz menantang supremasi kepausan dengan menyatakan bahwa para paus harus tunduk pada konsili-konsili ekumenis. Meskipun gagasan yang dikenal sebagai konsiliarisme ini dikutuk oleh Paus Pius II (memerintah 1458-1467) dalam sebuah bulla kepausan, para pemimpin gerejawi dan sekuler sering mengutipnya saat mereka berkonflik dengan kepausan.[36][37] Charles VII dari Prancis (memerintah 1422-1461) bahkan sampai memberlakukan prinsip-prinsip dasarnya dalam Sanksi Pragmatis Bourges pada tahun 1438.[38] Di Jerman, sebuah dokumen anti kepausan yang dikenal sebagai Keluhan Bangsa Jerman beredar sekitar tahun 1450, yang menuntut pemutusan hubungan antara gereja lokal dan Tahta Suci.[39] Hubungan antara kepausan dan para penguasa Katolik yang paling kuat diatur melalui perjanjian khusus yang dikenal sebagai konkordat. Perjanjian-perjanjian ini membatasi otoritas kepausan atas gereja-gereja nasional demi kepentingan para penguasa lokal.[catatan 4][41][42]
Sebagai pangeran dari Negara Gereja di Italia, para paus sangat terlibat dalam perebutan kekuasaan di semenanjung tersebut. Dalam hal ini, para paus Renaisans tidak berbeda dengan para penguasa sekuler. Paus Aleksander VI mengangkat kerabatnya, di antaranya anak-anak haramnya sendiri untuk menduduki jabatan-jabatan tinggi. Paus Yulius II (berkuasa 1503-1513) mengangkat senjata untuk memulihkan wilayah kepausan yang hilang selama masa pemerintahan para pendahulunya.[43] Para paus juga merupakan patron seni dan arsitektur yang dermawan, dan Julius II memerintahkan pembongkaran Basilika Santo Petrus dari abad ke-4 untuk persiapan pembangunan basilika Renaisans yang baru pada tahun 1509.[44]
Bahasa Latin adalah bahasa ibadah umum di sebagian besar keuskupan di Eropa Katolik[catatan 5] meskipun hanya sedikit orang awam yang dapat memahaminya. Ekaristi, elemen utama dari ibadah Kristen, juga dirayakan dalam bahasa Latin. Umat Kristen Barat percaya bahwa roti dan anggur sakramental Ekaristi berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus selama liturgi Misa. Kepercayaan yang dikenal sebagai transubstansiasi ini ditetapkan sebagai dogma Katolik pada Konsili Lateran IV pada tahun 1215, bersamaan dengan prinsip bahwa hanya para imam yang ditahbiskan secara sah yang dapat merayakan Ekaristi. Untuk alasan yang tidak diketahui, umat awam hanya menerima roti sakramen selama prosesi dari abad ke-13.[46] Para imam ditahbiskan oleh para uskup sesuai dengan prinsip suksesi apostolik—sebuah klaim atas penerusan yang tak terputus dari kuasa konsekrasi mereka dari para rasul Kristus melalui beberapa generasi para uskup.[13] Umat awam juga dapat mengungkapkan pengabdian mereka melalui kegiatan-kegiatan di luar gereja, seperti berpartisipasi dalam perkumpulan-perkumpulan amal yang dikenal sebagai konfreria, membacakan doa Rosario yang populer.[47] Berdasarkan perumpamaan Kristus tentang Penghakiman Terakhir, Gereja Katolik mengajarkan bahwa melakukan perbuatan baik, seperti memberi makan orang yang lapar dan mengunjungi orang sakit, adalah prasyarat keselamatan.[48] Umat beriman juga berziarah ke tempat-tempat suci para kudus,[47] tetapi pertumbuhan jumlah orang-orang kudus dan komersialisasi yang meluas dari kultus-kultus mereka merusak reputasi mereka pada akhir abad pertengahan.[49] Bangunan gereja dihiasi dengan lukisan, patung, dan jendela kaca patri. Meskipun seni Romanesque dan Gotik menekankan perbedaan yang jelas antara yang supranatural dan manusia, sejak abad ke-14, para seniman Renaisans mulai menggambarkan Tuhan dan orang-orang kudus dengan cara yang lebih manusiawi.[50]
Sumber-sumber otoritas keagamaan termasuk Alkitab dan tafsiran-tafsiran yang berotoritas, tradisi apostolik, keputusan-keputusan dari konsili-konsili ekumenis, teologi skolastik, dan otoritas kepausan. Hal-hal mengenai iman yang belum dinyatakan sebagai dogma dapat didiskusikan secara bebas. Umat Katolik menganggap Vulgata sebagai terjemahan Alkitab dalam bahasa Latin yang otentik. Untuk menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi di dalam Alkitab, para penafsir menerapkan beberapa metode penafsiran. Sebagai contoh, mereka membaca Hukum Musa dalam pengertian simbolis atau mistis karena upacara dan hukum-hukum Yahudi tidak relevan bagi orang Kristen. Tradisi apostolik memverifikasi praktik-praktik keagamaan yang tidak dapat ditelusuri kembali ke dalam Alkitab, seperti baptisan bayi, serta pelaksanaan ibadah pada hari Minggu dan bukan pada hari Sabtu. Keputusan-keputusan teologis dari konsili-konsili ekumenis tersebut mengikat bagi semua umat Katolik. Elemen-elemen penting dari iman Kristen dirangkum dalam Pengakuan Iman Nicea yang teks dasarnya telah diadopsi pada Konsili Nicea I pada tahun 325. Teks barat dari Pengakuan Iman ini berisi tambahan yang tidak disetujui oleh orang-orang Kristen Timur yang turut menyebabkan adanya perpisahan antara Katolik dan Ortodoks Timur. Para teolog skolastik memulai studi sistematis dan kategorisasi logis terhadap tulisan-tulisan yang tidak terstruktur dari para teolog terdahulu pada abad ke-12. Di antara para skolastik terkemuka, Thomas Aquinas (meninggal 1274) berpendapat bahwa rasio tidak akan pernah bertentangan dengan iman, dan William dari Ockham (meninggal 1349) menyimpulkan bahwa logika manusia tidak dapat membuktikan keberadaan Allah. Perdebatan yang sah di antara para skolastik bukanlah hal yang tidak biasa. Sebagai contoh, Aquinas menolak konsep populer tentang Perawan Maria yang dikandung tanpa noda, sedangkan Duns Scotus (meninggal 1308) mendukungnya.[51] Pihak berwenang Gereja mengakui bahwa seseorang dapat menerima wahyu langsung dari Tuhan dalam keadaan yang luar biasa, tetapi menegaskan bahwa wahyu yang sejati tidak akan menantang prinsip-prinsip agama tradisional. Salah satu yang terkenal adalah biarawati Dominikan, Katarina dari Siena (meninggal tahun 1380), yang wahyu-wahyunya meyakinkan Paus Gregorius XI untuk mengembalikan takhtanya dari Avignon ke Roma.[52]
Setelah Arianisme—sebuah doktrin Kristologis yang dikutuk sebagai bidat dalam konsili-konsili umum abad ke-4—menghilang pada akhir abad ke-7, tidak ada perselisihan besar yang mengancam kesatuan teologis Gereja Barat. Konflik antara para peminat agama dan perwakilan dari Gereja resmi dapat mengarah pada perkembangan kelompok-kelompok non-konformis, tetapi kebanyakan dari mereka bubar setelah pendirinya meninggal dunia.[catatan 6] Kaum Waldens merupakan pengecualian yang penting. Mereka telah mendirikan organisasi gerejawi mereka sendiri pada saat pendiri mereka, Peter Waldo (meninggal ca 1205), meninggal dunia. Mereka menolak monopoli pelayanan publik oleh para pendeta dan mengizinkan semua anggota komunitas mereka yang terlatih, baik pria maupun wanita, untuk berkhotbah. Mereka menganggap baptisan, pernikahan dan perjamuan kudus sebagai sakramen-sakramen, dan menentang pemberian indulgensi. Berbeda dengan kaum Kathar yang lebih radikal di Occitania, kaum Waldensian selamat dari perang salib terhadap bidat dan investigasi yang dilakukan oleh para komisaris yang ditunjuk secara khusus yang dikenal sebagai inkuisitor, tetapi mereka harus mencari perlindungan di pegunungan Piedmonte dan tempat-tempat terpencil lainnya.[54]
Skisma Barat yang menggemparkan ini memperkuat keinginan umum untuk terjadinya reformatio Gereja. Teolog Oxford, John Wycliffe (meninggal 1384)[catatan 7] mengkritik dengan tajam praktik-praktik tradisional, seperti ziarah dan doa-doa kepada orang-orang kudus. Ia menganggap Gereja sebagai komunitas eksklusif umat beriman yang dipilih oleh Allah untuk keselamatan, dengan menyatakan bahwa mereka berutang rasa hormat hanya kepada para imam yang menunjukkan kepemimpinan moral. Wycliffe menolak supremasi kepausan, dan menjelang akhir hidupnya juga menyerang doktrin transubstansiasi. Ia memprakarsai terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Inggris yang diselesaikan oleh para pengikutnya. Dikenal sebagai kaum Lollardy, para pengikut Wycliffe mengambil posisi yang lebih radikal, menuntut agar Gereja melepaskan sumbangan dan meninggalkan selibasi klerus. Mereka menghadapi penganiayaan serius setelah Parlemen Inggris mengeluarkan undang-undang melawan bidat yang memerintahkan eksekusi mereka dengan cara dibakar. Meskipun demikian, komunitas Lollard bertahan di Anglia Timur, Kent, lembah Sungai Thames dan Midlands.[56][57][58]
Teologi Wycliffe, khususnya ajarannya tentang para imam yang berdosa memiliki dampak yang nyata pada akademisi Praha, Jan Hus (meninggal 1415). Seorang pengkhotbah yang populer di Kapel Betlehem, ia berkhotbah menentang kekayaan dan kekuasaan duniawi kaum klerus. Setelah menerbitkan risalahnya Tentang Gereja (De ecclesia), ia dipanggil ke Konstanz untuk mempertahankan pandangannya di hadapan konsili ekumenis. Meskipun Sigismund dari Luksemburg telah memberinya jaminan keamanan, Hus dijatuhi hukuman mati atas tuduhan bidat dan dibakar di tiang pancang pada tanggal 6 Juli 1415. Eksekusinya menyebabkan gerakan nasional di Bohemia meskipun para pengikutnya terbagi menjadi sayap moderat dan radikal. Kaum Husite moderat, terutama para bangsawan dan akademisi Ceko, dikenal sebagai Utraquist karena mereka menawarkan anggur sakramental kepada umat awam selama Misa, dengan menyatakan bahwa perjamuan kudus diberikan secara sub utraque specie ("dalam kedua jenis"). Kaum radikal, terutama para anggota serikat pekerja dan petani, mendirikan sebuah kota baru, Tábor, di mana mereka menyatukan harta benda mereka. Selanjutnya dikenal sebagai Taborit, kaum radikal mengambil alih kepemimpinan gerakan Husite selama perang salib yang diproklamasikan kepausan terhadap Bohemia, tetapi semangat misionaris milenarian mereka mencegah mereka untuk mengkonsolidasikan posisi mereka.[59][60]
Dari tahun 1435, seorang Utraquist Jan Rokycana (meninggal 1471) memegang jabatan Uskup Agung Praha, dan dari tahun 1458, seorang Utraquist George dari Poděbrady (meninggal 1471) memerintah sebagai raja. Meskipun tidak satu pun dari mereka diakui oleh kepausan, kekuasaan mereka mengkonsolidasikan posisi dominan kaum Utraquist di Bohemia.[61] Pada saat itu, hampir secara keseluruhan hanya komunitas-komunitas yang berbahasa Jerman dan beberapa kota kerajaan yang bebas tetap setia kepada kepausan. Kaum Husite moderat dibedakan dari kaum Katolik terutama dalam hal administrasi perjamuan dalam kedua jenisnya dan penggunaan bahasa sehari-hari Ceko dalam liturgi. Kaum Husite yang lebih radikal mendirikan gereja mereka sendiri yang dikenal sebagai Persatuan Saudara-saudara Bohemia di bawah bimbingan rohani penulis Petr Chelčický (meninggal tahun 1460). Mereka menolak doktrin transubstansiasi dan gagasan tentang kelas imam yang terpisah, serta mengutuk segala bentuk kekerasan dan pengambilan sumpah. Karena tidak ada uskup agung baru yang terpilih setelah kematian Rokycana, para imam Utraquist dikirim ke kota Katolik Venesia yang toleran untuk ditahbiskan. Tidak adanya hierarki di gereja lokal memperkuat kontrol aristokrasi dan para pemimpin kota atas para pendeta Bohemia.[62]
Para sejarawan biasanya menyebut Wycliffe dan Hus sebagai "Pendahulu Reformasi". Penekanan kedua reformator ini pada studi Alkitab sebagai satu-satunya sumber teologi sering disebut sebagai contoh awal dari ide sola scriptura ("hanya oleh Kitab Suci") yang menjadi salah satu prinsip dasar Reformasi. Pada kenyataannya, para teolog skolastik terkemuka telah yakin bahwa Alkitab telah merangkum semua pengetahuan yang diperlukan untuk keselamatan sebelum gerakan-gerakan disiden pada akhir abad pertengahan dimulai.[catatan 8][63] Para teolog yang terkait dengan Ordo Agustinian seperti Gregorius dari Rimini (meninggal 1358) memberikan penekanan khusus pada studi Alkitab dan jarang sekali mengutip sumber-sumber iman yang lain.[64]
Abad Pertengahan Akhir menyaksikan perkembangan gerakan intelektual baru yang dikenal sebagai Humanisme. Slogan kaum Humanis, ad fontes! ("kembali ke sumbernya!") menunjukkan antusiasme mereka terhadap teks-teks klasik dan kritik tekstual.[65] Bangkitnya Kesultanan Utsmaniyah menyebabkan imigrasi besar-besaran para cendekiawan Bizantium ke Eropa Barat, dan banyak di antara mereka yang membawa manuskrip Yunani yang berisi karya-karya kuno yang sebelumnya tidak diketahui oleh para sarjana Barat. Termasuk di antaranya adalah karya-karya filosofis dari filsuf Yunani, Plato (meninggal 347/348 SM) dan kumpulan risalah tentang berbagai topik yang dikenal dengan nama Corpus Hermeticum. Penemuan kembali Plato dan gagasannya tentang realitas ultimat yang berada di luar realitas yang terlihat menimbulkan tantangan serius bagi skolastisisme abad pertengahan dan definisi-definisinya yang ketat. Beberapa risalah dalam Corpus Hermeticum membahas ide-ide Gnostik yang berusaha menyelaraskan Platonisme dengan agama Kristen. Kritik tekstual mempertanyakan kredibilitas beberapa teks fundamental doktrin Katolik. Sarjana Humanis Nicolas dari Cusa (meninggal 1464), Lorenzo Valla (meninggal 1457), dan Reginald Pecock (meninggal 1461) membuktikan bahwa salah satu dokumen dasar otoritas kepausan, Donasi Konstantinus yang konon berasal dari abad ke-4, sebenarnya merupakan pemalsuan pada abad pertengahan. Juan Luis Vives (meninggal 1540) tidak menyembunyikan penghinaannya terhadap koleksi hagiografi populer yang dikenal sebagai Legenda Emas, dengan menggambarkannya sebagai sebuah buku yang "ditulis oleh orang-orang yang memiliki mulut besi dan hati timah."[66]
Diselesaikan oleh Jerome (meninggal 420) pada awal abad ke-5, Vulgata memuat versi Septuaginta dari Perjanjian Lama yang mencakup kitab-kitab yang tidak memiliki teks paralel dalam bahasa Ibrani. Karena salinan-salinan yang berbeda dari Vulgata mungkin mengandung frasa yang sedikit berbeda, para ahli menggunakan naskah-naskah Ibrani, Yunani, dan Siria untuk mengembalikan kata-kata yang otentik. Sebuah versi poliglot dari Alkitab yang lengkap diterbitkan di bawah naungan Kardinal Jiménez di Spanyol pada tahun 1517.[67] Studi sistematis terhadap Alkitab mengungkapkan bahwa Jerome terkadang salah menafsirkan sumber-sumber penerjemahannya.[catatan 9][68] Valla adalah sarjana pertama yang menunjukkan bahwa terjemahan Jerome yang salah menjadi dasar dari beberapa ide yang dikembangkan oleh teolog terkenal seperti Aquinas.[69] Humanis Belanda yang terpelajar, Erasmus (meninggal tahun 1536), menyelesaikan sebuah edisi kritis dari Perjanjian Baru, dan terjemahan bahasa Latin barunya menantang dasar kitab suci untuk beberapa dogma dan praktik-praktik Katolik. Terjemahannya mengancam konsep perbendaharaan jasa orang kudus dengan memilih kata sifat gratiosa ("murah hati") dan bukannya gratia plena ("penuh rahmat") untuk menyebut Perawan Maria dalam teks Latin Salam Maria. Erasmus juga menyerang penafsiran alegoris dari teks-teks Alkitab. Sebagai contoh, ia menolak bahwa referensi tentang ketaatan Yesus kepada orang tuanya dalam Injil Lukas dapat ditafsirkan bahwa Yesus masih berhutang ketaatan kepada ibunya, sehingga secara tidak langsung menantang kepercayaan akan perantaraan Perawan Maria.[70]
Gerakan-gerakan religius baru mendorong keterlibatan kaum awam yang lebih dalam dalam praktik-praktik keagamaan. Saudara-Saudara Hidup Bersama menghalangi para anggotanya untuk menerima pentahbisan imam dan sering kali menempatkan rumah mereka dan rumah suster-suster mereka di bawah perlindungan pemerintah kota.[71] Mereka terkait erat dengan devotio moderna, sebuah metode spiritualitas Katolik yang baru dengan penekanan khusus pada pendidikan kaum awam.[catatan 10][73] Seorang pemimpin gerakan ini, Wessel Gansfort (meninggal tahun 1489) dari Belanda, menyerang penyalahgunaan indulgensi[74] dan menyatakan bahwa seorang profesor studi Alkitab dapat lebih memahami Kitab Suci dibandingkan dengan para klerus yang tidak terlatih.[75] Dengan menyebarnya pembuatan kertas dari kain dan mesin cetak dengan jenis huruf lepas di Eropa sejak abad ke-15, buku-buku dapat dibeli dengan harga yang terjangkau sehingga meningkatkan kemampuan membaca kaum awam.[catatan 11] Permintaan akan sastra keagamaan menjadi sangat tinggi.[77] Seorang penemu asal Jerman, Johannes Gutenberg (meninggal tahun 1468), pertama kali menerbitkan Vulgata versi dua jilid pada awal tahun 1450-an; kemudian diterbitkan ulang beberapa kali, menjadikan teks Alkitab dalam bahasa Latin sebagai buku yang paling banyak diterbitkan pada abad tersebut.[78] Alkitab juga diterjemahkan ke dalam bahasa sehari-hari: Terjemahan Alkitab dalam bahasa Jerman Tinggi dan Rendah, Italia, Belanda, Spanyol, Ceko, dan Katalan diterbitkan antara tahun 1466 dan 1492; di Prancis, versi ringkas Alkitab dalam bahasa Prancis mendapatkan popularitas pada tahun 1470-an.[79] Dengan mempelajari Alkitab mereka, orang awam dapat sampai pada kesimpulan bahwa mempertahankan organisasi Gereja tidak diperlukan untuk keselamatan mereka. Pada tahun 1515, beberapa di antara mereka mulai menentang khotbah-khotbah pendeta mereka dengan menyatakan bahwa "Dalam buku saya ini berbeda dari apa yang dikatakan oleh pendeta."[80]
Perlunya reformasi Gereja in capite et membris ("di kepala dan di anggota tubuh") sering didiskusikan dalam konsili-konsili ekumenis sejak akhir abad ke-13. Dengan munculnya gerakan konsiliarisme pada awal abad ke-15, gagasan ini berubah menjadi sebuah tuntutan untuk mengganti otoritas kepausan dengan sebuah kontrol kolektif atas Gereja Katolik. Namun, sebagian besar pemangku kepentingan—paus, uskup, dan raja—lebih memilih status quo karena mereka tidak ingin kehilangan hak-hak istimewa dan pendapatan mereka.[81] Sistem dispensasi kepausan menjadi penghalang utama bagi penerapan langkah-langkah reformis karena Takhta Suci secara teratur memberikan kekebalan bagi mereka yang tidak ingin melaksanakannya.[18] Gerakan pembaharuan di kalangan klerus biasa memiliki beberapa keberhasilan yang signifikan dengan menyebarnya apa yang disebut "jemaat-jemaat dengan ketaatan yang ketat". Ini adalah komunitas-komunitas biara yang kembali kepada interpretasi ketat dari aturan biara ordo mereka.[catatan 12] Para uskup reformis mencoba mendisiplinkan para rohaniwan mereka melalui kunjungan kanonik secara teratur ke paroki-paroki lokal dan dengan mengeluarkan nasihat kepada para rohaniwan yang tidak taat.[catatan 13] Upaya-upaya ini pada umumnya gagal karena mereka tidak dapat mengatasi perlawanan dari lembaga-lembaga otonom seperti kapitel-kapitel katedral. Mereka juga tidak dapat menggunakan otoritas yang nyata terhadap para klerus non-residen yang telah menerima bantuan dari Tahta Suci. Setelah kegagalan konsili, sebagian besar klerus reformis menahan diri untuk tidak menuntut perubahan struktural; sebaliknya, mereka mengkritik kegagalan moral para klerus yang sebagian besar mengulangi frasa yang dipinjam dari karya-karya para reformis abad ke-12 dan ke-13.[catatan 14][85]
Menjelang Reformasi, Konsili Lateran V adalah kesempatan terakhir ketika upaya untuk memkperkenalkan reformasi yang luas dari atas dapat tercapai. Konsili ini diadakan oleh Paus Julius II pada tahun 1512 sebagai tanggapan atas upaya raja Prancis Louis XI (memerintah 1498-1515) untuk menghidupkan kembali konsiliarisme dengan dukungan sekelompok kardinal. Para uskup yang berkumpul membahas risalah yang kompleks tentang perlunya reformasi, tetapi mereka gagal memperkenalkan perubahan mendasar. Konsili ini tidak membuat keputusan-keputusan penting dan dibubarkan pada tahun 1517.[86]
Paus Leo X (memerintah 1513-1521) memutuskan untuk menyelesaikan pembangunan Basilika Santo Petrus yang baru di Roma. Karena penjualan sertifikat indulgensi kepausan telah menjadi metode penggalangan dana yang mapan, ia melalui bulla kepausan Sacrosanctis mengumumkan indulgensi baru dan menghentikan penjualan indulgensi sebelumnya pada tahun 1515. Atas saran dari bankir Jakob Fugger (meninggal 1525), ia menunjuk uskup pluralis Jerman, Albrecht dari Brandenburg[catatan 15] (meninggal 1545) untuk mengawasi kampanye penjualan tersebut di Jerman. Biarawan Dominikan Johann Tetzel (meninggal 1519), seorang tokoh terkemuka dalam kampanye tersebut, menerapkan metode pemasaran yang luar biasa agresif. Salah satu slogannya yang terkenal menyatakan bahwa "Begitu koin masuk ke dalam kotak berdenting, sebuah jiwa dari api penyucian ke surga keluar."[catatan 16][88][89] Kampanye yang vulgar ini mengejutkan sebagian besar umat yang berpikiran serius. Friedrich yang Bijak, Elektor Sachsen (memerintah 1486-1525), melarang kampanye tersebut karena Albrecht adalah saingannya, dan penangguhan indulgensi lainnya membuatnya kehilangan sebagian besar pendapatan yang telah ia habiskan untuk kolekssi relikui di Wittenberg.[catatan 17][74]
Martin Luther (meninggal 1546), seorang profesor teologi di Universitas Wittenberg yang baru saja didirikan di Sachsen, termasuk di antara mereka yang marah dengan kampanye Tetzel.[89][91] Terlahir dari keluarga kelas menengah, Luther memasuki biara Agustinian di Erfurt setelah badai petir yang dahsyat mengingatkannya akan risiko kematian mendadak dan penghukuman kekal. Meskipun ia mengikuti interpretasi ketat dari aturan-aturan kaum Agustinian, kegelisahannya akan keberdosaannya tidak kunjung reda.[92] Sepanjang hidupnya, ia menderita sakit kepala, sakit telinga, pingsan, dan masalah pencernaan. Dalam retrospeksi, ia menyatakan bahwa gejala-gejala ini—yang ia gambarkan sebagai "pencobaan"—membuktikan bahwa Iblis sedang memeranginya.[93] Ia memulai ceramahnya mengenai teks-teks Alkitab di Universitas Wittenberg pada tahun 1513.[92] Studi-studinya terhadap karya-karya teolog Romawi Akhir, Agustinus dari Hippo (meninggal 430), khususnya Tentang Roh dan Surat (De spiritu et littera) meyakinkannya bahwa mereka yang dipilih Allah sebagai umat pilihan-Nya menerima karunia iman yang terlepas dari perbuatan-perbuatan dosa mereka.[94] Ia dengan tajam mengecam gagasan skolastik tentang pembenaran di hadapan Allah melalui usaha manusia dalam Disputatio contra scholasticam theologiae, yang diterbitkan pada bulan September 1517.[95] Ia menyatakan bahwa "kita tidak dibenarkan dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang benar; tetapi saat kita sudah dibenarkan, kita melakukan perbuatan-perbuatan yang benar."[96]
Orang-orang Kristen harus didorong untuk sungguh-sungguh mencari jalan untuk mengikuti Kristus, Kepala mereka, melalui hukuman, kematian, neraka. Dan biarlah mereka lebih yakin untuk masuk surga melalui banyak penderitaan daripada melalui jaminan damai sejahtera yang palsu.
Martin Luther, 95 Tesis[97]
Pada tanggal 31 Oktober 1517, Luther menulis surat kepada Albrecht dari Brandenburg, yang menyatakan bahwa para klerus yang mengkhotbahkan indulgensi Santo Petrus telah menipu umat. Ia telah menyelesaikan sebuah makalah diskusi, yang dikenal sebagai 95 Tesis, dan juga mengirimkannya kepada uskup agung.[catatan 18] Bahwa Luther memakukan tesis-tesisnya di pintu gereja kastil di Wittenberg diklaim oleh Philipp Melanchthon hanya setelah kematian Luther; maka, secara historis hal ini diragukan.[99][100] Dalam dokumen ini, ia menyerang konsep Purgatorium, dan mempertanyakan efisiensi indulgensi untuk orang mati. Di sisi lain, ia menyatakan "Jika ... indulgensi dikhotbahkan sesuai dengan semangat dan niat paus, semua ... keraguan akan dengan mudah diselesaikan".[101] Rekan-rekannya sesama akademisi menerima makalah diskusi tersebut secara pribadi. Edisi cetak pertamanya diterbitkan kemungkinan besar tanpa persetujuannya di Leipzig, Magdeburg, Nuremberg, dan Basel pada bulan November.[96] Uskup Agung Albrecht memerintahkan para teolog di Universitas Mainz untuk memeriksa tesis-tesis Luther, dan meneruskannya kepada Kuria Roma untuk dihakimi. Tetzel, serta teolog Konrad Wimpina (meninggal 1531) dan Johann Eck (meninggal 1543), adalah orang pertama yang mengkritik Luther di depan umum, dengan mengaitkan beberapa tesisnya dengan Hussitisme.[102] Terlibat secara mendalam dalam politik Italia, Paus Leo X (memerintah 1513-1521) tetap tidak tertarik dengan kasus Luther. Dia menggambarkannya sebagai "pertengkaran di antara para biarawan" yang mengacu pada perseteruan terkenal antara kaum Agustinian dan Dominikan.[89][103]
Seperti yang ditulis oleh sejarawan Lyndal Roper, "Reformasi berlangsung melalui serangkaian perdebatan dan argumen."[104] Pada awalnya, pandangan-pandangan Luther menyebar melalui perdebatan di dalam Ordo Agustinian. Rekan-rekannya sesama biarawan cenderung bersimpati kepadanya terutama setelah sikap memusuhi dari kaum Dominikan menjadi jelas. Luther memaparkan pandangannya di depan umum pada pertemuan jemaat Agustinus di Heidelberg pada tanggal 26 April 1518.[105] Di sini ia menjelaskan "teologi Salib" tentang Allah yang penuh kasih yang telah menjadi lemah dan bodoh untuk menyelamatkan manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, yang kontras dengan "teologi kemuliaan" skolastik yang merayakan pengetahuan dan tindakan manusia.[103] Dengan pidatonya yang tegas dan penuh semangat, Luther meyakinkan banyak orang yang hadir dalam pertemuan tersebut yang berkontribusi pada penerimaan yang baik atas gagasan-gagasannya di barat daya Jerman. Sejarawan Thomas Kaufmann mencatat bahwa para mahasiswa merupakan "agen-agen bergerak yang efektif dalam penyebaran ide-ide Reformasi."[106]
Paus Leo menunjuk ahli hukum Girolamo Ghinucci (meninggal 1541) dan teolog Dominikan Sylvester Mazzolini (meninggal 1527) untuk memeriksa ajaran Luther.[107] Mazzolini mempublikasikan sebuah tanggapan terhadap tesis-tesis Luther yang berjudul Dialog Melawan Tesis-tesis Arogan dari Martin Luther Mengenai Kekuasaan Paus. Dia berpendapat bahwa Luther telah mempertanyakan otoritas kepausan dengan menyerang indulgensi. Pendekatan Mazzolini pada awalnya membuat Luther takut, tetapi ia segera menyadari bahwa hanya reformasi fundamental yang dapat mengakhiri penjualan indulgensi yang ia anggap sebagai sebuah penyalahgunaan.[108] Paus Leo tidak mengekskomunikasi Luther karena ia tidak ingin mengasingkan pelindung Luther, Friedrich yang Bijak. Sebaliknya, ia menunjuk Jenderal Dominikan Kardinal Thomas Cajetan (meninggal 1534) untuk meyakinkan Luther agar menarik kembali beberapa tesisnya, tetapi Luther menolak dengan keras kepala selama pertemuan mereka di Augsburg pada bulan Oktober 1518.[96] Sejarawan Berndt Hamm berpendapat bahwa interogasi Luther oleh Cajetan merupakan "titik historis di mana pertentangan antara Reformasi dan Katolik pertama kali muncul", karena Cajetan takut bahwa orang-orang percaya yang berpikir bahwa mereka telah ditakdirkan untuk diselamatkan tidak akan lagi menaati para pendeta.[109][110]
Luther pertama kali menyatakan simpatinya terhadap Jan Hus dalam sebuah disputasi di Leipzig pada bulan Juni 1519.[111] Di sini ia juga menyatakan bahwa konsili-konsili ekumenis dan kepausan dapat melakukan kesalahan dalam perkara iman.[112] Teologinya dengan cepat berkembang pada periode berikutnya. Dalam risalahnya yang berjudul Tentang Pembuangan Babilonia Gereja (De captivitate Babylonica ecclesiae), ia menyimpulkan bahwa hanya baptisan dan perjamuan kudus yang dapat dianggap sebagai sakramen karena ritus-ritus sakral Katolik lainnya tidak memiliki dasar Alkitabiah. Ia menyatakan bahwa para imam tidak dapat dipandang sebagai peran khusus, tetapi hanya sebagai pelayan masyarakat, sehingga mereka disebut sebagai 'minister' yang berasal dari kata Latin yang berarti pelayan. Manifesto Jermannya, Kepada Bangsawan Kristen Bangsa Jerman (An den christlichen Adel deutscher Nation), mengaitkan kepausan dengan Antikristus, dan menggambarkan Gereja resmi sebagai "rumah bordil terburuk dari antara semua rumah bordil" yang mengacu pada sejumlah besar uang tunai yang mengalir dari Jerman ke Kuria Romawi dalam bentuk bayaran.[113][114] Luther juga menolak dasar-dasar Alkitab untuk selibasi klerus, dan pernyataannya dirasakan sebagai hal yang memerdekakan bagi banyak imam yang merasa bersalah karena melanggar sumpah kesucian mereka.[115] Studinya Tentang Kebebasan Seorang Kristen (De Libertate Christiana) menggabungkan pemikirannya mengenai kebebasan internal orang percaya dengan kewajiban mereka untuk peduli terhadap sesama mereka, meskipun ia menolak ajaran tradisional mengenai perbuatan baik.[116] Karya ini merupakan contoh karakteristik dari antusiasme Luther terhadap paradoks.[catatan 19][117]
Kasus Luther dibuka kembali di Roma. Cajetan, Eck dan para pejabat kepausan lainnya menyusun sebuah bulla kepausan yang mengutuk Luther dan 41 tesisnya. Diterbitkan pada tanggal 15 Juni 1520, bulla yang berjudul Exsurge Domine memberikan masa tenggang selama 60 hari kepada Luther untuk menarik kembali pernyataan-pernyataannya sebelum ekskomunikasi diberlakukan.[118] Bulla tersebut menyebabkan amarah yang meluas di Jerman dan di banyak tempat salinannya dihancurkan. Nunsius kepausan Girolamo Aleandro (meninggal tahun 1542) memerintahkan pembakaran buku-buku Luther di Louvain dan Liège. Menanggapi hal ini, Luther dan para pengikutnya membakar salinan Exsurge Domine bersama dengan karya-karya para teolog skolastik, dan salinan Corpus Juris Canonici—dokumen dasar hukum gerejawi abad pertengahan—di tepi sungai Elbe di Wittenberg pada tanggal 10 Desember. Para mahasiswa merayakan pembakaran bulla kepausan dengan sebuah parade di mana mereka juga membakar tiara kepausan. Luther memanfaatkan radikalisme mereka tetapi juga berusaha untuk menjaga jarak yang aman dari mereka: selebaran yang dicetak tentang peristiwa tersebut menekankan bahwa tidak ada profesor yang menghadiri parade para mahasiswa. Bulla kepausan mengenai ekskomunikasi Luther yang disebut Decet Romanum Pontificem diterbitkan pada tanggal 3 Januari 1521.[119][120]
Kaisar Romawi Suci yang baru terpilih, Karl V (memerintah 1519-1556), ingin mencabut perlindungan hukum Luther di Dewan Worms, tetapi ia tidak dapat membuat keputusan sendirian.[121] Kekaisaran Romawi Suci merupakan sebuah konfederasi yang longgar dari kerajaan-kerajaan, keuskupan-keuskupan, kota-kota kekaisaran merdeka, serta negara-negara sekuler dan gerejawi lainnya.[122] Dipilih oleh tujuh pangeran, Kaisar Romawi Suci adalah penguasa nominal konfederasi, tetapi otoritas yang sebenarnya berada di tangan Dewan Kekaisaran di mana wilayah-wilayah kekaisaran berkumpul.[123] Friedrich yang Bijak mengajukan veto terhadap usulan kaisar mengenai pelarangan kekaisaran terhadap Luther, dan Luther dipanggil ke Worms untuk membela kasusnya di Dewan pada bulan April 1521. Di sini ia diperingatkan untuk menarik kembali tulisannya, namun ia menolak dengan menyatakan bahwa hanya argumen dari Alkitab yang dapat meyakinkannya bahwa tulisannya mengandung kesalahan. Untuk menyelamatkan nyawa Luther dan juga untuk menyembunyikan keterlibatannya, Frederick yang Bijaksana mengatur penculikan Luther pada tanggal 4 Mei. Luther dibawa ke istana milik Friedrich di Wartburg.[121] Selama penahanannya, Luther menyelesaikan penerjemahan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jerman Hulu. Sejarawan Diarmaid MacCulloch menggambarkan terjemahan Luther sebagai "pencapaian luar biasa yang telah membentuk bahasa Jerman sejak saat itu", dan menambahkan bahwa "bakat Luther adalah menangkap emosi dengan frasa-frasa yang tiba-tiba dan mendesak". Luther juga menggubah lagu-lagu himne religius yang pertama kali diterbitkan dalam bentuk kumpulan pada tahun 1524.[124]
Roper berpendapat bahwa "alasan terpenting mengapa Luther tidak mengalami nasib yang sama dengan Hus adalah teknologi: media cetak yang baru". Luther menerbitkan pandangan-pandangannya dalam serangkaian risalah pendek namun tajam yang mendapatkan popularitas yang tak terduga: ia bertanggung jawab atas sekitar seperlima dari seluruh karya yang dicetak di Jerman pada sepertiga pertama abad ke-16.[catatan 20][126] Berbeda dengan kebanyakan negara Eropa, percetakan di Jerman tidak terkonsentrasi di beberapa pusat kota, melainkan tersebar di banyak tempat sehingga tidak dapat dikontrol oleh pemerintah pusat.[127]Analisis statistik menunjukkan korelasi positif yang signifikan antara keberadaan percetakan di suatu kota di Jerman dengan penerimaan Reformasi.[catatan 21][129] Kota-kota dengan pasar percetakan yang kompetitif bahkan lebih mungkin untuk menerima teologi baru.[130]
Luther bekerja sama dengan seniman Lucas Cranach Tua (meninggal 1553) yang memiliki kepekaan tinggi dalam memvisualisasikan pesan Luther dan para pengikutnya. Cranach menghasilkan potret ideal Luther yang menjadi contoh bagi gambar-gambar populer selanjutnya yang dicetak di sampul buku dan diletakkan di atas medali yang dibuat untuk dijual.[131] Cukilan-cukilan kayu Cranach bersama dengan penjelasan para pengkhotbah keliling membantu orang-orang yang sebagian besar buta huruf untuk memahami ajaran Luther.[132] Pamflet-pamflet tersebut dibawa dari satu tempat ke tempat lain, umumnya oleh para pengembara seperti para pedagang keliling.[133] Salinan cetak dari 95 Tesis telah sampai ke Spanyol, Prancis, dan Italia pada tahun 1519.[134]
Kaum awam mulai mendiskusikan dan mempertanyakan berbagai aspek agama resmi baik secara pribadi maupun di depan umum di seluruh Jerman.[135] Pada awalnya, kota-kota di Jerman yang otonom menjadi pusat utama gerakan reformasi.[136] Reformasi menyebar melalui kegiatan para pengkhotbah yang antusias seperti Johannes Oecolampadius (meninggal 1531) dan Konrad Kürsner (meninggal 1556) di Basel, Sebastian Hofmeister (meninggal 1533) di Schaffhausen, serta Matthäus Zell (meninggal 1548) dan Martin Bucer (meninggal 1551) di Strasbourg.[137] Disebut "Injili" (Evangelisch) karena keteguhan mereka untuk mengajar sesuai dengan Injil, atau Evangelion,[138] para pengkhotbah reformasi dengan cepat meyakinkan sejumlah orang awam bahwa banyak praktik-praktik mapan dari Gereja tradisional tidak memiliki preseden di dalam Alkitab. Mereka membaca cuplikan dari terjemahan Perjanjian Baru Luther, menawarkan perjamuan kudus kepada kaum awam dalam kedua jenis,[139] dan menentang monopoli Gereja resmi, yang beresonansi dengan anti-klerikalisme yang populer.[140] Bukanlah hal yang aneh jika para pendukung mereka menyerang para pendeta, biarawan, dan gedung-gedung gerejawi.[141] Di beberapa kota seperti Strassbourg dan Ulm, para magistrat kota secara aktif mendukung para reformator, sementara di kota-kota Liga Hansa, kelas menengah yang makmur tetapi secara politis hampir tidak berdaya memaksakan perubahan dalam kehidupan gereja.[142] Kota-kota yang terletak lebih dekat dengan pusat-pusat ideologi terpenting Reformasi—Wittenberg dan Basel—lebih mungkin menerima gagasan-gagasannya dibandingkan kota-kota lain. Hal ini mengindikasikan pentingnya jaringan mahasiswa,[143] atau menunjukkan bahwa kedekatan dengan tetangga yang telah menolak agama Katolik meningkatkan kemungkinan untuk juga meninggalkan sistem gerejawi tradisional.[144] Daerah-daerah yang miskin tetapi memiliki potensi ekonomi yang besar lebih cenderung mengikuti teologi Luther.[145]
"Tuan-tuan yang terhormat, jika kita harus mengeluarkan begitu banyak uang setiap tahun untuk senapan, jalanan, jembatan, bendungan, dan hal-hal serupa yang tak terhitung jumlahnya demi mengamankan kedamaian dan kemakmuran sesaat dari sebuah kota, mengapa kita tidak mengeluarkan lebih banyak lagi untuk para pemuda yang terabaikan - setidaknya cukup untuk melibatkan satu atau dua orang yang kompeten untuk mengajar di sekolah-sekolah?"
Martin Luther, Kepada Para Anggota Dewan di Semua Kota di Jerman Agar Mereka Mendirikan dan Memelihara Sekolah-Sekolah Kristen (1524)[146]
Sosiolog Steven Pfaff menggarisbawahi bahwa "reformasi gerejawi dan liturgi bukanlah sekadar persoalan agama ... karena jenis reformasi yang dituntut oleh kaum Injili tidak dapat diakomodasikan dalam lembaga-lembaga yang sudah ada, adat istiadat yang berlaku, atau hukum yang sudah ditetapkan." Para reformator mengusir para penentang utama mereka, membubarkan biara-biara, mendapatkan kendali dari magistrat kota untuk mengangkat para pendeta, dan mendirikan lembaga-lembaga pemerintahan yang baru.[147] Meskipun Luther mengecam para pengemis, ia menyatakan bahwa umat beriman "harus memberikan kasih dan dukungan kepada Kristus bagi mereka yang membutuhkan". Dewan kota Injili biasanya melarang pengemis tetapi membentuk peti bersama untuk pengentasan kemiskinan dengan mengambil alih harta benda lembaga gerejawi yang dibubarkan. Dana tersebut digunakan untuk pinjaman berbunga rendah dan hadiah kepada orang miskin untuk memulai bisnis baru, dan juga untuk dukungan harian bagi anak yatim piatu, orang tua dan orang sakit. Berbeda dengan pepatah populer Jerman pada akhir abad pertengahan yang mengatakan bahwa "orang yang terpelajar itu bodoh", Luther yakin bahwa hanya orang yang terpelajar yang dapat secara efektif melayani Tuhan dan masyarakat. Di bawah naungannya, sekolah-sekolah umum dan perpustakaan dibuka di banyak kota yang menawarkan pendidikan kepada lebih banyak anak daripada sekolah-sekolah biara dan katedral tradisional.[148]
Perlawanan terhadap khotbah-khotbah Injili cukup signifikan di beberapa wilayah Kekaisaran Romawi Suci, seperti Flanders, Rheinland, Bayern, dan Austria.[149] Di sana pemujaan terhadap orang-orang kudus setempat sangat kuat, dan analisis statistik mengindikasikan bahwa kota-kota di mana tempat pemujaan orang-orang kudus setempat menjadi pusat kultus komunal yang kuat, lebih kecil kemungkinannya untuk menerima Reformasi.[catatan 22][151] Demikian juga, kota-kota yang memiliki keuskupan atau biara-biara lebih mungkin untuk menolak penyebaran gerakan Injili.[152][153] Sebagian besar perwakilan dari generasi yang lebih tua dari para sarjana Humanis tidak pernah menerima ide-ide Reformasi. Beberapa di antara mereka berpendapat bahwa perdebatan akademis mengenai teologi tidak dapat membuat orang Kristen menjadi lebih baik. Yang lainnya, seperti Konrad Peutinger (meninggal 1547), khawatir bahwa orang awam tidak akan mematuhi otoritas agama jika mereka mengetahui adanya pertengkaran para teolog. Erasmus menganggap gagasan dan paradoks Luther sebagai spekulasi, dan menyatakan bahwa "antusiasme Luther yang tidak terkendali membawanya melampaui apa yang benar". Jacob van Hoogstraaten (meninggal 1527) menolak teologi keselamatan Luther dengan membandingkannya "seakan-akan Kristus mengambil pengantin perempuan yang paling kotor dan tidak peduli dengan kebersihannya".[154]
Karya-karya Luther dibakar di sebagian besar negara Eropa setelah ekskomunikasinya.[155] Kaisar Karl V bertekad untuk membela kepentingan Gereja Katolik. Otoritasnya sangat terbatas di luar wilayah kekuasaan Habsburg,[156] tetapi ia bertanggung jawab atas eksekusi para martir Injili pertama, yaitu biarawan Augustinian Jan van Essen dan Hendrik Vos yang dibakar di tiang pancang di Brussel (di Belanda Habsburg) pada tanggal 1 Juli 1523.[157][158] Ekspansi Kesultanan Utsmaniyah ke Eropa Tengah semakin meningkat, menghalangi upaya Karl untuk memerangi para pendukung Reformasi: Utsman merebut Beograd pada tahun 1521, memberikan kekalahan telak bagi tentara Hungaria pada tahun 1526, dan mengepung Wina untuk pertama kalinya pada tahun 1529.[159][160]
Raja Inggris Henry VIII (memerintah 1509-1547) adalah raja pertama yang mengecam teologi Luther secara terbuka. Terinspirasi oleh Uskup Rochester yang sangat anti-Lutheran, John Fisher (meninggal tahun 1535), Henry menunjuk sebuah tim teolog untuk menyusun sebuah risalah sebagai tanggapan atas serangan Luther terhadap dogma Katolik. Diterbitkan dengan nama Henry, Pembelaan atas Tujuh Sakramen mempertahankan daftar sakramen tradisional. Paus menganugerahi Henry dengan gelar Pembela Iman (Fidei defensor) dan menawarkan indulgensi kepada semua orang yang membaca risalah tersebut.[155][161] Di Prancis, para teolog di Sorbonne menyatakan Luther sebagai musuh Katolik yang "memuntahkan doktrin wabah penyakit". Guillaume Briçonnet (meninggal 1534), uskup Meaux, mengecam Luther tetapi mempekerjakan para pendeta yang berpikiran reformasi seperti Jacques Lefèvre d'Étaples (meninggal 1536) dan Guillaume Farel (meninggal 1565) untuk memperbaharui kehidupan religius di keuskupannya. Raja Prancis Francis I (memerintah 1515-1547) tidak menganiaya para teolog reformasi, namun banyak dari mereka yang dipaksa mengasingkan diri setelah Francis ditangkap dalam Pertempuran Pavia pada tahun 1525.[162]
Inkuisisi Spanyol secara efektif mencegah penyebaran literatur Injili di negara itu, dan menekan gerakan spiritual Alumbrados ("Illuminis") yang memberikan penekanan khusus pada iman pribadi. Terjemahan-terjemahan Italia dari karya-karya Luther didistribusikan di bawah tanah, terkadang menggunakan nama Erasmus. Dikenal sebagai Spirituali, beberapa sarjana dan klerus Italia seperti bangsawan Venesia Kardinal Gasparo Contarini (meninggal 1542) dan seorang kanon Agustinian Petrus Martir Vermigli (meninggal 1562) mengemukakan gagasan-gagasan yang mirip dengan teologi keselamatan Luther, namun mereka tidak memutuskan hubungan dengan Gereja resmi.[163][164] Korespondensi antara Luther dan perwakilan dari Persaudaraan Bohemia mengungkapkan bahwa teologi mereka tidak cocok meskipun pemimpin Persaudaraan Bohemia, Lukas dari Praha (meninggal pada tahun 1528), menekankan kesamaan pandangan mereka tentang pembenaran. Raja Louis dari Bohemia dan Hungaria (memerintah 1516-1526) memerintahkan penganiayaan terhadap para pengkhotbah Injili di wilayah kekuasaannya. Sebaliknya, istrinya, Maria dari Austria (meninggal 1558) bersimpati kepada para reformator, tetapi ia dilarang mempekerjakan pendeta Injili Paulus Speratus (meninggal 1551) sebagai pendeta istananya.[165]
Selama Luther berada di Wartburg, rekan-rekan kerjanya mengambil alih kepemimpinan di Wittenberg. Philipp Melanchthon (meninggal 1560) mengkonsolidasikan pemikiran Luther ke dalam sebuah karya teologis yang runtut berjudul Loci communes ("Tempat-tempat Umum") yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1521. Andreas Karlstadt (meninggal 1541) lebih radikal. Pada Hari Natal 1521, ia memimpin perjamuan kudus dengan mengenakan pakaian biasa dan bukannya jubah imam; keesokan harinya ia mengumumkan pertunangannya dengan seorang gadis bangsawan berusia lima belas tahun, Anna von Mochau. Pernikahan mereka kemudian menjadi preseden bagi para imam lain yang sering menikah dengan persetujuan jemaat di paroki mereka. Karlstadt menyatakan bahwa semua gambar religius adalah contoh dari "tipu daya setan", yang menyebabkan penghancuran massal gambar dan patung di gereja-gereja setempat. Para antusias agama berbondong-bondong datang ke Wittenberg dari daerah-daerah sekitarnya. Di antara mereka, yang disebut sebagai nabi-nabi Zwickau, yang telah dipengaruhi oleh pengkhotbah radikal Thomas Müntzer (meninggal tahun 1525), mengklaim bahwa mereka menerima wahyu dari Allah.[166][167] Mereka menolak konsep transubstansiasi dan menyatakan bahwa baptisan bayi tidak memiliki dasar-dasar yang Alkitabiah. Luther memandang baptisan bayi sebagai tanda dari menjadi bagian dalam Gereja Kristen, dan bersikeras dengan gagasan transubstansiasi,[catatan 23] dan membela seni religius sebagai bukti keindahan Ciptaan. Untuk mengakhiri anarki, Friedrich yang Bijak melepaskan Luther pada bulan Maret. Luther menyebut para nabi Zwickau sebagai Schwärmer ("fanatik"), dan berhasil menyingkirkan mereka dari Wittenberg. Ia menikahi mantan biarawati Katharina von Bora (meninggal tahun 1552).[169]
Meskipun Luther mengecam penggunaan kekerasan, beberapa pengikutnya siap mengangkat senjata. Franz von Sickingen (meninggal 1523), seorang ksatria kekaisaran dari Rheinland, membentuk aliansi dengan rekan-rekannya untuk melawan Richard von Greiffenklau zu Vollrads, Uskup Agung-Elektor Trier (memerintah tahun 1511-1531), dengan menyatakan bahwa mereka ingin memimpin rakyat dari uskup agung "kepada hukum ringan yang injili, dan kebebasan Kristiani". Mereka menyerang keuskupan agung tetapi gagal dalam pengepungan Trier. Sickingen terluka parah selama pengepungan kastilnya sendiri oleh pasukan Greiffenklau dan sekutunya.[170]
Segera setelah Luther kembali ke Wittenberg, Karlstadt melepaskan jabatan akademisnya dan pindah ke Orlamünde. Dengan dukungan umat paroki setempat, ia memberhentikan baptisan bayi dan menolak transubstansiasi. Meskipun Karlstadt mengecam semua tindakan kekerasan, Luther mengaitkannya dengan Müntzer yang para pendukungnya telah menghancurkan sebuah kapel di Allstedt. Luther melakukan perjalanan mengunjungi banyak paroki di sepanjang sungai Saale untuk mencegah mereka memperkenalkan reformasi yang radikal, tetapi kaum radikal menyambutnya dengan caci maki dan lemparan batu di banyak tempat. Luther ingin mendapatkan pemecatan Karlstadt di Orlamünde, namun jemaat menolaknya, mengacu pada kata-kata Luther tentang hak jemaat untuk secara bebas memilih pendeta mereka. Karlstadt menyebut Luther sebagai "penyeleweng dari Kitab Suci", dan merangkum pandangannya tentang perjamuan kudus dalam serangkaian publikasi yang menggambarkannya sebagai sebuah tindakan simbolis. Ia diusir dari Sachsen pada bulan September 1524, tetapi ia terus mempertahankan teologinya dalam risalah-risalahnya.[171]
Karena kekurangan penghuni dan penurunan pendapatan, para tuan tanah mulai membatasi hak-hak petani yang tinggal di perkebunan mereka yang menyebabkan pemberontakan petani di banyak tempat di Eropa Tengah sejak pertengahan abad ke-15. Kaum tani menuntut pembatalan tugas-tugas baru dan pemulihan aturan lama yang memungkinkan mereka mengakses sungai, hutan, dan sumber daya alam lainnya secara bebas. Wilayah-wilayah gerejawi sangat rentan: Keuskupan Agung Salzburg menghadapi pemberontakan pada tahun 1462, 1478, dan 1504, Biara Ochsenhausen antara tahun 1496 dan 1502, dan Biara Berchtesgaden pada tahun 1506. Pemberontakan sering kali berakhir dengan kompromi, seperti perjanjian antara petani dan Biara Ochsenhausen pada tahun 1502 yang diperantarai oleh Liga Swabia yang berpengaruh.[172]
Meskipun Perang Petani Jerman pada tahun 1524-1525 dimulai sebagai protes pajak dan anti-korupsi seperti yang tercermin dalam Dua Belas Artikel, pemimpinnya, Thomas Müntzer, memberikan ciri khas reformasi yang radikal. Perang ini melanda wilayah Bayern, Thuringia, dan Swabia. Di antara para pejuang adalah Kompeni Hitam dari Florian Geier, seorang ksatria dari Giebelstadt yang telah bergabung dengan para petani dalam kemarahan umum terhadap hierarki Katolik.[173] Menanggapi laporan-laporan tentang kehancuran dan kekerasan, Luther mengecam pemberontakan tersebut dalam tulisan-tulisan seperti Melawan Gerombolan Petani yang Pembunuh dan Pencuri; Zwingli dan Melanchthon juga tidak menyetujui pemberontakan tersebut.[174][175] Sekitar 100.000 petani terbunuh hingga akhir perang.[176]
Reformasi Protestan merupakan keberhasilan bagi literasi dan mesin cetak yang baru.[178][catatan 24][152][180] Terjemahan Alkitab oleh Luther ke dalam bahasa Jerman Hulu (Perjanjian Baru diterbitkan pada tahun 1522; Perjanjian Lama diterbitkan dalam beberapa bagian dan selesai pada tahun 1534) juga menentukan bagi bahasa Jerman dan evolusinya dari bahasa Jerman Hulu Baru Awal ke bahasa Jerman Standar Modern.[177] Terjemahan Alkitab oleh Luther mendorong perkembangan bentuk-bentuk bahasa non-lokal dan membuat semua penuturnya mengenal bentuk-bentuk bahasa Jerman dari luar daerah mereka.[181] Penerbitan Alkitab Luther merupakan momen yang menentukan dalam penyebaran literasi di Jerman modern awal,[177] dan juga mendorong percetakan dan distribusi buku-buku dan pamflet keagamaan. Sejak tahun 1517 dan seterusnya, pamflet-pamflet keagamaan membanjiri Jerman dan sebagian besar wilayah Eropa.[182][catatan 25]
Hingga tahun 1530, lebih dari 10.000 publikasi telah diketahui, dengan total sepuluh juta eksemplar. Dengan demikian, Reformasi adalah sebuah revolusi media. Luther memperkuat serangannya terhadap Roma dengan menggambarkan gereja yang "baik" melawan gereja yang "buruk". Dari sana, menjadi jelas bahwa media cetak dapat digunakan untuk propaganda dalam Reformasi untuk agenda-agenda tertentu, meskipun istilah propaganda berasal dari Congregatio de Propaganda Fide (Kongregasi Penyebaran Iman) dari Kontra-Reformasi. Para penulis Reformasi menggunakan gaya, klise, dan stereotip yang sudah ada, yang kemudian mereka adaptasi sesuai dengan kebutuhan.[182] Yang paling efektif adalah tulisan-tulisan dalam bahasa Jerman, termasuk terjemahan Alkitab oleh Luther, Katekismus Kecil untuk para orang tua yang mengajar anak-anak mereka, dan Katekismus Besar untuk para pendeta.
Dengan menggunakan bahasa vernakular di Jerman, mereka mengekspresikan Pengakuan Iman Rasuli dalam bahasa Tritunggal yang lebih sederhana dan lebih personal. Ilustrasi-ilustrasi dalam Alkitab bahasa Jerman dan dalam banyak risalah mempopulerkan ide-ide Luther. Lucas Cranach Tua (1472-1553), seorang pelukis besar yang didukung oleh para elektor di Wittenberg, adalah seorang teman dekat Luther, dan ia menggambarkan teologi Luther untuk khalayak ramai. Ia mendramatisasi pandangan Luther tentang hubungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sambil tetap memperhatikan perbedaan Luther yang cermat tentang penggunaan citra visual yang tepat dan tidak tepat.[184]
Bersamaan dengan peristiwa di Jerman, sebuah gerakan dimulai di Konfederasi Swiss di bawah kepemimpinan pendeta humanis Ulrich Zwingli (meninggal tahun 1531). Zwingli menyatakan bahwa ia "mulai mengkhotbahkan Injil Kristus pada tahun 1516, jauh sebelum ada orang di wilayah kami yang pernah mendengar tentang Luther". Sama seperti Luther, Zwingli menolak otoritas kepausan dan konsili-konsili ekumenis, dan menganggap Alkitab sebagai satu-satunya sumber teologi. Meskipun kedua gerakan ini sepakat dalam banyak isu teologis, beberapa perbedaan yang tidak terselesaikan membuat mereka tetap terpisah. Kebencian yang berkelanjutan antara negara-negara Jerman dan Konfederasi Swiss menimbulkan perdebatan sengit mengenai seberapa besar pengaruh Lutheranisme terhadap ide-ide Zwingli. Meskipun Zwinglianisme memiliki kemiripan yang luar biasa dengan Lutheranisme, para sejarawan tidak dapat membuktikan bahwa Zwingli memiliki kontak dengan publikasi-publikasi Luther sebelum tahun 1520, dan Zwingli sendiri bersikukuh bahwa ia tidak membacanya.
Zwingli menyelesaikan studinya di Wina dan Basel pada tahun 1506 dengan gelar Magister artium dan ditahbiskan menjadi imam pada tahun yang sama. Sebuah pengalaman yang sangat penting adalah pertemuan pribadi dengan Erasmus dari Rotterdam pada tahun 1515. Pertemuan itu mendorong Zwingli untuk membaca Perjanjian Baru dan khususnya surat-surat Paulus dalam bahasa Yunani asli. Sebagai seorang kandidat kanonik yang tertarik pada humanisme, Zwingli diangkat sebagai pendeta di Grossmünster di Zürich pada akhir tahun 1518.[185] Ia menduduki jabatan tersebut pada Hari Tahun Baru 1519 dan memperkenalkan inovasi untuk berkhotbah secara berkelanjutan sesuai dengan urutan kitab-kitab dalam Alkitab (lectio continua) dan bukan berdasarkan perikop dalam leksionari.[186]
Selama masa Prapaskah 1522, beberapa orang awam yang dekat dengan Zwingli berulang kali melanggar perintah puasa gereja dengan memakan sosis, yang berujung pada konflik dengan uskup Konstanz. Kejadian ini dikenal sebagai "Peristiwa Sosis". Zwingli menulis pamflet Reformasi pertamanya, Tentang Pilihan dan Kebebasan Makan (Vom Erkiesen und Freiheit der Speisen), di mana ia menolak aturan-aturan makan yang ditetapkan gereja sebagai sesuatu yang tidak Alkitabiah. Perbandingan dengan tulisan Luther, Tentang Kebebasan Seorang Kristen (Von der Freiheit eines Christenmenschen), sangatlah jelas: Luther sangat peduli dengan kebebasan batin dari setiap individu manusia, yang merelativisasi nilai puasa dan peraturan gereja lainnya. Penerima pesan Zwingli bukanlah individu, melainkan jemaat, dan oleh karena itu, aturan-aturan puasa menimbulkan pertanyaan baginya, apakah aturan-aturan tersebut merupakan perintah Tuhan atau ketetapan manusia.[187] Ia juga menikah secara diam-diam dan, bersama dengan sepuluh pendeta lainnya, mendekati uskup Konstanz untuk mengizinkan pernikahan klerus meskipun mereka tahu bahwa uskup tidak punya pilihan selain menolak permohonan mereka.[188]
Untuk menyelesaikan masalah ini, dewan kota mengadakan sebuah disputasi, di mana Zwingli telah menulis 67 artikel sebagai dasar. Pengumuman tersebut membuat orang mengharapkan adanya semacam pembahasan dari kedua belah pihak. Namun, dalam pidato pembukaannya, Walikota Markus Röist menegaskan bahwa kebenaran ajaran Zwingli akan menjadi topik utama. Keempat utusan Uskup Konstanz, yang terkejut dengan hal ini, memutuskan untuk tetap diam sebagai bentuk protes; tetapi mereka tidak bertahan. Jika tidak ada yang menentang Zwingli, dia pasti benar, adalah komentar dari para penonton. Vikaris Jenderal Johann Faber kemudian angkat, tetapi kini ia mempermasalahkan aturan yang ditetapkan oleh dewan: Ia harus mengambil semua argumennya dari Alkitab. Dia sama sekali tidak dapat menangani hal ini. Zwingli berhasil meraih kemenangan yang jelas di depan penonton banyak.[189] Disputasi Zürich Pertama adalah sebuah forum baru yang ditiru secara luas untuk menyelesaikan konflik agama. Bahwa doktrin Zwingli terbukti benar dengan kemenangannya dalam sengketa tersebut, menurut Thomas Kauffman, "mengukuhkan ketenarannya sebagai perwakilan otoritatif dari reformasi kota pertama yang berhasil."[190]
Dorongan reformasi lebih lanjut datang dari masyarakat: penolakan terhadap persepuluhan, penghapusan gambar-gambar religius dari gereja, kritik terhadap misa. Dewan kota melihat bahwa mereka memiliki otoritas untuk memutuskan masalah ini dan mengadakan Disputasi Zürich Kedua pada tahun 1523. Menurut Heinrich Bullinger, sekitar 900 orang datang, termasuk banyak sarjana.[191] Pada tahun 1524, semua gambar disingkirkan dari gereja-gereja, dan puasa serta selibasi klerus dihapuskan. Dua tahun kemudian, sebuah kebaktian komuni berbahasa Jerman menggantikan liturgi Misa dalam bahasa Latin.[192] Kerja sama yang erat antara para rohaniwan reformasi dan para magistrat kota menghasilkan pembentukan dua institusi baru yang kemudian diadopsi di kota-kota lain. Pengadilan Perkawinan dan Moral adalah pengadilan hukum yang terdiri dari dua orang awam dan dua orang pendeta yang memiliki yurisdiksi dalam urusan pernikahan tetapi juga bertindak sebagai polisi moral. Prophezei (Carolinum) adalah sekolah teologi umum di mana para sarjana, pendeta, dan orang awam mendengarkan ceramah dari Alkitab. Di sini, Zwingli bersama beberapa sarjana menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Jerman (Alkitab Zürich).[193][194]
Pangeran Philipp dari Hessen melihat potensi untuk menciptakan aliansi antara Zwingli dan Luther, karena melihat adanya kekuatan dalam persatuan Protestan. Sebuah pertemuan diadakan di kastilnya pada tahun 1529, yang sekarang dikenal sebagai Konferensi Marburg, yang menjadi terkenal karena kegagalannya. Kedua orang ini tidak dapat mencapai persetujuan karena perbedaan pendapat mereka mengenai satu doktrin kunci. Meskipun Luther mengkhotbahkan konsubstansiasi dalam perjamuan kudus daripada transubstansiasi, ia percaya akan kehadiran Kristus yang nyata di dalam roti perjamuan. Zwingli, yang terinspirasi oleh teolog Belanda Cornelius Hoen, percaya bahwa roti perjamuan kudus hanyalah sebuah representasi dan peringatan—Kristus tidak hadir.[195] Luther menjadi sangat marah sehingga ia mengukir di meja rapat dengan kapur Hoc Est Corpus Meum—sebuah kutipan Alkitab dari Perjamuan Terakhir yang berarti "Inilah tubuh-Ku". Zwingli menanggapi hal ini dengan mengatakan bahwa est dalam konteks tersebut merupakan padanan dari kata significat (menandakan).[196]
Zwingli sendiri tidak berpikir bahwa dewan kota dapat memutuskan perdebatan teologis, tetapi ia memperkenalkan langkah-langkah reformasi dengan persetujuan dewan kota karena ia ingin menjaga ketertiban umum. Pendekatan yang berhati-hati ini membuat marah para reformator yang lebih radikal seperti Conrad Grebel (meninggal tahun 1526). Sebagai putra seorang bangsawan Zürich, ia menikahi seorang gadis kelahiran kelas bawah yang membuatnya berselisih dengan keluarganya. Ia dan para pengikutnya yakin bahwa Gereja harus dibebaskan dari negara. Mereka meringkas teologi mereka dalam sebuah surat kepada Müntzer pada tanggal 5 September 1524. Mereka menolak baptisan bayi, dan mengidentifikasi Gereja sebagai sebuah komunitas eksklusif yang terdiri dari mereka yang menjalani kehidupan yang benar.[197]
Ide-ide reformasi dan kebaktian Protestan pertama kali menyebar di kota-kota, terutama dibawa oleh masyarakat lokal dan beberapa bangsawan.[198] Reformasi tidak menerima dukungan negara secara terbuka hingga tahun 1525, meskipun hanya karena perlindungan dari Elektor Friedrich yang Bijak (yang konon mendapatkan mimpi yang aneh[199] pada malam sebelum tanggal 31 Oktober 1517), Luther selamat setelah dinyatakan sebagai buronan, bersembunyi di Kastil Wartburg dan kemudian kembali ke Wittenberg.
Dalam Dewan Speyer pada tahun 1526 (Speyer I), Maklumat Worms direvisi secara parsial dengan menyerahkan pelaksanaannya kepada wilayah-wilayah kekaisaran. Berdasarkan hal ini, setiap pangeran dapat menjalankannya sesuai dengan agama yang dianutnya dan mempertanggungjawabkannya di hadapan kaisar dan Tuhan. Para pangeran menafsirkan hal ini sebagai izin untuk memperkenalkan Reformasi dalam bentuk yang dilembagakan, sebagai reformasi pangeran.[200] "Ketentuan ini ... untuk sementara waktu mengikat pluralisme gerejawi yang baru saja terjadi di Jerman dengan partikularisme wilayah-wilayah kekaisaran."[201]
Negara pertama yang secara resmi mengadopsi pengakuan iman Protestan adalah Kadipaten Prusia (1525).[202] Albert, Adipati Prusia secara resmi menyatakan iman "Injili" sebagai agama negara. Umat Katolik memberi label "Lutheran" kepada kaum Injili untuk mendiskreditkan mereka berdasarkan praktik menamai sebuah bidat dengan nama pendirinya. Namun, Gereja Lutheran secara tradisional melihat dirinya sebagai "batang utama dari Pohon Kristen historis" yang didirikan oleh Kristus dan para Rasul, yang menyatakan bahwa selama Reformasi, Gereja Roma telah murtad.[203][204]
Di dalam kekaisaran, Kepangeranan Anhalt-Köthen, Kepangeranan Ansbach, Kepangeranan Bayreuth, dan Kota Kekaisaran Nürnberg mengikuti.[205] Wilayah-wilayah yang cukup besar berikutnya adalah Landgrafschaft Hessen (1526; di Sinode Homberg)[206] dan Elektorat Sachsen (1527), Elektorat Pfalz (1530-an), dan Kadipaten Württemberg (1534). Di Sachsen, perubahan-perubahan diperkenalkan oleh Johann yang Teguh yang mengarah pada pengorganisasian sistem gereja Protestan.[207]
Pada Dewan Speyer pada bulan Februari-April 1529 (Speyer II), posisi kaisar, yang diperkuat oleh keberhasilan kebijakan luar negeri, terlihat jelas. Saudaranya, Ferdinand dari Austria, yang mewakilinya di dewan itu, ingin memulihkan kesatuan gerejawi dan politik kekaisaran dan mengambil sikap anti-reformasi yang tegas. Reformasi yang dilakukan sementara itu di beberapa wilayah, yang tidak dapat dibatalkan dengan mudah, akan tetap berlaku untuk sementara waktu, tetapi semua langkah reformasi lebih lanjut dilarang. Hal ini memengaruhi langkah-langkah yang penting bagi konsolidasi internal entitas gerejawi Protestan yang baru. Kelompok minoritas, enam pangeran[208] dan empat belas kota kekaisaran merdeka[209], mengajukan protes lisan dan tertulis pada tanggal 19-20 April dengan perpaduan antara argumentasi hukum dan berdasarkan hati nurani mereka yang terikat dalam iman. Protestanisme dinamai berdasarkan apa yang disebut Protestasi di Speyer ini. Protestasi ini menunjukkan bagaimana pembentukan identitas konfesional supra-regional berkembang.[210][211]
Lahir pada tahun 1509 di Noyon, Prancis, John Calvin adalah generasi yang lebih muda dari Luther (lahir 1483) dan Zwingli (lahir 1484). Dia belajar hukum di Orléans dan Bourges atas permintaan ayahnya, seorang pengacara gereja.[212] Calvin memiliki ketertarikan pada humanisme, termasuk mempelajari Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani. Setelah kematian ayahnya pada tahun 1531, Calvin tidak mengejar karier di bidang hukum tetapi pindah ke Paris, di mana ia belajar bahasa Yunani dan (mungkin) Ibrani, dan aktif di kalangan humanis.[213] Konflik antara reformator humanis dan tokoh-tokoh konservatif membuat Calvin harus bersembunyi pada tahun 1533 dan awalnya menemukan tempat yang aman di Angoulême di Kerajaan Navarra.[214] Di sini ia dapat menggunakan perpustakaan untuk mempelajari para Bapa Gereja; persiapan awal untuk karya utamanya, Institutio, ditulis. Penganiayaan terhadap kaum Protestan sebagai akibat dari Peristiwa Placards membuat Angoulême tidak lagi aman. Calvin melarikan diri ke Basel, di mana ia mungkin tiba pada awal 1535 dan awalnya tinggal di bawah tanah. Pelaksanaan eksekusi di Prancis mendorong Calvin untuk secara terbuka berpihak pada para korban pada bulan Agustus 1535. Ia menulis surat kepada raja Prancis untuk membela kaum Protestan Prancis dari tuduhan-tuduhan.[215] Pada bulan Maret 1536, edisi pertama Institutio Christianae Religionis, sebuah karya dogmatis Protestan yang ringkas, diterbitkan di Basel. Karya ini membuat penulisnya menjadi dikenal luas. Dengan demikian, Calvin didekati oleh Guillaume Farel ketika ia melewati Jenewa. Farel meyakinkan Calvin untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan Reformasi di Jenewa. Pada akhir tahun 1536, Calvin menerima jabatan sebagai lektor dari Dewan Kota Jenewa. Berpendidikan sebagai ahli hukum, sejak saat itu ia memberikan kuliah-kuliah alkitabiah dan kemudian memimpin kebaktian gereja.[216] Farel dan Calvin gagal di Jenewa dalam tuntutan mereka untuk diizinkan mengecualikan anggota gereja dari Perjamuan Kudus sebagai tindakan disipliner (ekskomunikasi). Pada tanggal 23 April 1538, mereka diusir dari kota tersebut.
Calvin pergi ke Strasbourg dan menjadi gembala sidang komunitas pengungsi Prancis. Ia menerima gelar profesor teologi di Sekolah Tinggi Strasbourg dan secara teologis dipengaruhi oleh Martin Bucer, seorang reformator dari Strasbourg, selama masa ini.[217]Pada tahun 1539 ia melakukan perjalanan dengan delegasi Strasbourg ke Konvensi Frankfurt untuk bertemu dengan Melanchthon. Dewan Kota Jenewa mengundang Calvin untuk kembali, dan Calvin hanya bersedia dengan syarat adanya jaminan untuk dapat menjalankan tata gereja, katekismus, disiplin gereja. Perhatian Calvin yang besar terhadap disiplin gereja bukanlah tuntutan untuk hidup asketis: "Allah, dalam kemurahan hati-Nya sebagai Bapa, juga telah memberikan sumber-sumber kenikmatan kepada manusia; menolaknya berarti mengabaikan kehendak Sang Pencipta. ... Namun, hanya dengan moderasi dan itu berarti: dengan cara yang teratur. Apa yang mereka tinggalkan adalah ekses dan pelanggaran."[218] Sejak kembali ke Jenewa pada bulan September 1541, Calvin memiliki pengaruh yang kuat terhadap penduduk setempat. Sebagai orang Prancis dalam pengasingan, ia bukan anggota dewan kota dan tidak diberikan kewarganegaraan hingga menjelang kematiannya.[219] Namun, berkat pendidikan hukumnya, ia menjadi penasihat pemerintah kota. Dia membentuk komunitas pastoral (Compagnie des pasteurs) menjadi komunitas solidaritas yang mendukung setiap keprihatinannya.[220] Dalam konsistori, para pendeta merupakan separuh dari anggota, separuh lainnya adalah penatua yang dipilih oleh pemerintah kota. Daftar pelanggaran yang dapat menyebabkan laporan ke konsistori sangatlah banyak: praktik keagamaan Katolik, konflik keluarga dan perkawinan, perjudian dan dansa, pelanggaran ekonomi, dll. Jika teguran itu tidak berhasil, mereka akan dikeluarkan dari persekutuan dan dengan demikian juga dari kehidupan sosial kota. Tidak ada otoritas banding terhadap hal ini. Perlawanan terhadap Calvin dan Compagnie des pasteurs mulai terbentuk, terutama di antara para bangsawan Jenewa. Namun, pihak oposisi tidak pernah berhasil melakukan tindakan yang efektif. Masuknya kaum Huguenot yang mengalami penganiayaan mengubah struktur populasi. Melalui naturalisasi, yang dikaitkan dengan hak aktif untuk memilih, fraksi dewan yang mendukung Calvin mendapatkan pemilih yang setia pada tahun 1555.
Pada tahun 1559, ia mendirikan Akademi Jenewa (Académie de Genève) untuk melatih para pengkhotbah yang kelak akan memberikan pengajaran agama kepada masyarakat.[221] Para misionaris ini menyebarkan Calvinisme secara luas, dan membentuk kaum Huguenot Prancis pada masa hidup Calvin dan menyebar ke Skotlandia di bawah kepemimpinan John Knox pada tahun 1560.
Patrick Hamilton mempelajari teologi di Universitas St Andrews pada tahun 1523 dan tertarik dengan tulisan-tulisan Luther. Pada tahun 1527 ia pergi ke Wittenberg dan kemudian ke Marburg, di mana ia menulis sebuah karya mengenai doktrin pembenaran Reformasi (Loci communes). Sekembalinya di Skotlandia, ia dituduh bidat oleh Uskup Agung St Andrews dan dibakar sebagai bidat pada tanggal 29 Februari 1528.[222] Raja James V memerangi semua upaya kaum Protestan, terutama setelah Reformasi Inggris 1531. John Knox, yang menjadi pendeta bagi para pemberontak di kastil uskup St Andrews, ditangkap bersama mereka pada tahun 1547 dan dipenjara di kapal galai. Setelah dibebaskan, ia datang ke Inggris pada tahun 1549 dan menjadi pendeta di Berwick-upon-Tweed, kemudian di Newcastle-upon-Tyne, dan akhirnya menjadi pendeta istana. Ia menolak jabatan-jabatan gerejawi yang lebih tinggi. Knox berkarier di Gereja Inggris adalah karena ia merupakan seorang pendeta yang ditahbiskan, meskipun hal ini tidak penting baginya secara pribadi.[223]
Mary I (Inggris) berusaha untuk menjadikan Katolik sebagai agama negara di Inggris setelah ia naik takhta pada tahun 1553. Knox, seperti banyak orang lainnya, melarikan diri ke benua Eropa (Pengasingan Marian) dan sempat menjadi pendeta di jemaat pengungsi Inggris di Frankfurt am Main. Konflik dalam jemaat ini mengakibatkan Knox diusir. Ia datang ke Jenewa pada tahun 1555. Knox menyebutnya sebagai "sekolah Kristus yang paling sempurna di bumi sejak zaman para rasul."[224] Ia menjadi pendeta di jemaat pengungsi Inggris di Jenewa dan secara teologis dipengaruhi oleh Calvin. Ia kembali ke Skotlandia pada bulan Mei 1559 dan terlibat dalam menggulingkan wali penguasa Mary dari Guise dari kekuasaan dengan bantuan pasukan Inggris. Ia terpilih sebagai vikaris Katedral St Giles di Edinburgh. Selama masa pemerintahan Mary Stuart yang tidak stabil, Knox merupakan salah satu penentang keras Ratu dan memperjuangkan pembangunan infrastruktur Protestan di Skotlandia. Dengan Pengakuan Iman Skotlandia tahun 1560, Parlemen Skotlandia memperkenalkan Reformasi. Pengakuan iman ini memiliki ciri khas teologis Knox. Ian Hazlett menggambarkan teks ini sebagai campuran yang tidak biasa antara aktivisme injili dan apologetika dogmatis.[225] Pengakuan Iman Skotlandia menyatakan bahwa perlawanan terhadap penguasa yang tidak adil (Tyrannidem opprimere) adalah pekerjaan yang baik yang diperintahkan oleh Allah.[226] Pada bulan Juli 1567, saat pewaris takhta James VI yang masih di bawah umur dinobatkan, John Knox menyampaikan khotbah.
Reformasi Radikal merujuk pada sekelompok gerakan reformasi heterogen yang berkembang di luar Reformasi Protestan Lutheran dan Calvinis. Roland Bainton memperkenalkan istilah "sayap kiri Reformasi" (left wing of the Reformation) pada tahun 1941 untuk kelompok-kelompok seperti gerakan Anabaptis dan kaum Spiritualis karena mereka bersedia untuk memisahkan diri dari tradisi secara lebih radikal. Karena konotasi politik yang dapat menimbulkan kesalahpahaman, George Huntston Williams mengusulkan istilah Reformasi Radikal untuk kelompok-kelompok ini, yang kemudian diterima secara luas di dunia berbahasa Inggris.[227]
Terdapat tiga aliran utama Anabaptis yang dapat dibedakan di antara kelompok-kelompok reformasi radikal: kaum Anabaptis yang damai, kaum revolusioner yang radikal, dan kaum spiritualis.[228] Hanya Anabaptisme yang damai yang benar-benar bertahan dari berbagai penindasan yang dilakukan oleh berbagai institusi selama abad ke-16.[229]
Anabaptisme yang damai bermula pada tanggal 21 Januari 1525, ketika Conrad Grebel mengumpulkan sekelompok orang percaya yang menentang baptisan bayi di rumah Felix Manz di Zollikon, Swiss, dan melakukan baptisan orang percaya yang pertama.[230] Kemudian berkembang di Tyrol dengan kaum Hutterit. Meskipun terdapat keragaman yang signifikan di antara para reformator radikal awal, beberapa "pola yang berulang" muncul di antara banyak kelompok Anabaptis. Banyak dari pola-pola ini diabadikan dalam Pengakuan Iman Schleitheim (1527) yang diterbitkan pada tahun 1527 oleh Persaudaraan Swiss, sekelompok Anabaptis termasuk Michael Sattler di Schleitheim. Pola-pola ini mencakup baptisan orang percaya (atau dewasa), pandangan memorial mengenai Perjamuan Kudus, kepercayaan bahwa Kitab Suci adalah otoritas terakhir dalam hal iman dan praktik, penekanan pada Perjanjian Baru dan Khotbah di Bukit, penafsiran Kitab Suci dalam komunitas, pemisahan dari dunia dan teologi dua kerajaan, pasifisme dan non-resistansi, kepemilikan komunal dan berbagi secara ekonomi, kepercayaan akan kebebasan kehendak, tidak bersumpah, "sikap tunduk" (Gelassenheit) kepada komunitas seseorang dan kepada Tuhan, larangan (yaitu, eksomunikasi), keselamatan melalui divinisasi (Vergöttung) dan kehidupan yang etis, dan pemuridan (Nachfolge Christi).[231][232][233]
Kaum revolusioner yang radikal diwakilkan oleh Melchior Hoffman dan kaum Anabaptis di Münster.[228] Kaum Anabaptis Münster dicirikan oleh semangat milenialisme yang antusias dan disertai dengan kekerasan. Hal ini diperparah oleh penganiayaan yang mereka alami. Setelah partai Anabaptis yang reformis memperoleh mayoritas politik di dewan kota Münster pada tahun 1534, kota ini sebagian besar dikepung oleh pasukan di bawah kepemimpinan Uskup Franz von Waldeck. Setelah itu, kaum Anabaptis Münster menjadi semakin radikal, yang berpuncak pada pendirian "Kerajaan Münster" dan akhirnya merebut kota itu pada musim panas 1535. Para pemimpin mereka melihat diri mereka sendiri sebagai instrumen penentu dan pembuka jalan bagi Kerajaan Allah yang akan datang.
Kelompok ketiga dalam "sayap kiri Reformasi" dibentuk oleh para spiritualis. Spiritualis injili, seperti Sebastian Franck dan Caspar Schwenckfeld, mementingkan iman yang terinternalisasi dengan kuat.[228] Tujuan mereka bukanlah terutama untuk mendirikan sebuah Gereja yang kelihatan. Mereka juga tidak terlalu mementingkan tanda-tanda atau sakramen-sakramen eksternal seperti perjamuan kudus dan baptisan. Sedangkan, kaum spiritualis revolusioner, seperti Thomas Müntzer yang oleh Luther disebut sebagai "fanatik", melakukan pergolakan revolusioner terhadap kondisi politik dan sosial.[228] Di sinilah akar Perang Petani Jerman (1524-1526), yang juga merupakan awal mula berdirinya Dewan Abadi (Ewiger Rat) di Thuringia untuk menegakkan tuntutan politik dan sosial para petani.
Kelompok lain dari reformasi radikal adalah para antitrinitarian, yang mana Michael Servetus dapat disebut sebagai perwakilannya. Di sini, juga terdapat beberapa tumpang tindih dengan gerakan Anabaptis, seperti dalam kasus Adam Pastor dan Persaudaraan Polandia di Polandia-Lituania. Di Transilvania, Gereja Unitarian, yang muncul dari Reformasi, masih ada hingga saat ini.
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.