Loading AI tools
periode politik di Indonesia Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Era reformasi atau era pasca-Soeharto di Indonesia dimulai pada tahun 1998, tepatnya saat Kejatuhan Soeharto Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan oleh wakil presiden saat itu, B.J. Habibie.
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Bagian dari seri mengenai |
---|
Garis waktu |
Portal Indonesia |
Masa reformasi dalam arti sempit meliputi periode 1998–2004, yaitu sampai dengan pemilihan umum Presiden Indonesia 2004 pertama; dalam arti luas, hal itu berlanjut hingga kini. Periode ini didirikan oleh lingkungan sosial politik yang lebih terbuka.
Isu-isu selama periode ini di antaranya dorongan untuk menerapkan demokrasi dan pemerintahan sipil yang lebih kuat, elemen militer yang mencoba untuk mempertahankan pengaruhnya, Islamisme yang tumbuh dalam politik dan masyarakat umum, serta tuntutan otonomi daerah yang lebih besar. Proses reformasi menghasilkan tingkat kebebasan berbicara yang lebih tinggi, berbeda dengan penyensoran yang meluas saat Orde Baru. Akibatnya, debat politik menjadi lebih terbuka di media massa dan ekspresi seni makin meningkat. Peristiwa-peristiwa yang telah membentuk Indonesia dalam periode ini di antaranya serangkaian peristiwa terorisme (termasuk bom Bali 2002) serta gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia 2004.
Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan besarnya ketidakpuasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai gerakan mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.
Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang menyebabkan empat mahasiswa tertembak mati dan kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas hampir di seluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya pada 21 Mei 1998.[1]
Setelah pengunduran diri Soeharto, Wakil Presiden B.J. Habibie dilantik sebagai presiden dan melakukan berbagai reformasi politik. Pada Februari 1999, pemerintahan Habibie mengesahkan Undang-Undang Partai Politik[2] yang mencabut pembatasan jumlah partai politik (parpol). Sebelumnya, pada masa Soeharto, hanya tiga parpol yang diperbolehkan. Parpol juga tidak diwajibkan berideologi Pancasila. Hal ini mengakibatkan partai politik bermunculan dan 48 di antaranya akan bersaing dalam pemilihan legislatif 1999.
Pada Mei 1999, pemerintahan Habibie mengesahkan Undang-Undang Otonomi Daerah[3] yang merupakan langkah pertama dalam desentralisasi pemerintahan Indonesia dan memungkinkan provinsi-provinsi untuk lebih berperan dalam mengatur daerahnya. Pers lebih dibebaskan pada pemerintahan Habibie, meskipun Kementerian Penerangan tetap dipertahankan. Tahanan politik seperti Sri Bintang Pamungkas, Muchtar Pakpahan, dan Xanana Gusmão juga dibebaskan atas perintah Habibie.
Pada era Habibie juga dilangsungkan pemilihan umum legislatif 1999, yang merupakan pemilihan bebas pertama sejak pemilu legislatif 1955. Pemilu ini diawasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang independen, bukan komisi pemilihan yang diisi menteri-menteri pemerintah seperti yang terjadi pada masa Orde Baru.
Habibie juga menyerukan referendum untuk menentukan masa depan Timor Timur. Tindakan ini mengejutkan banyak orang dan membuat marah beberapa orang. Pada tanggal 30 Agustus, penduduk Timor Timur memilih untuk merdeka. Lepasnya provinsi ini merugikan popularitas dan aliansi politik Habibie.
Pada 1999, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden Indonesia. Kabinet pertama, yang diberi nama Kabinet Persatuan Nasional, adalah kabinet koalisi yang mewakili beberapa partai politik: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan (PK). Perwakilan nonpartisan dan militer (TNI) juga ditempatkan dalam kabinet. Salah satu reformasi administrasi negara yang dilakukan Gus Dur adalah penghapusan Kementerian Penerangan, senjata utama Orde Baru untuk mengendalikan media, dan pembubaran Kementerian Kesejahteraan, yang telah menjadi korup pada masa Orde Baru.[4]
Gus Dur bermaksud memberikan referendum kepada Provinsi Aceh—yang saat itu memberontak—untuk menentukan model otonomi mereka alih-alih opsi untuk memerdekakan diri seperti di Timor Timur.[5] Gus Dur juga ingin mengambil sikap yang lebih lunak terhadap Aceh dengan menurunkan lebih sedikit personel militer di sana. Pada bulan Maret 1999, pemerintahan Gus Dur mulai membuka negosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pada bulan Mei, pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan GAM yang berlaku hingga awal 2001, saat kedua belah pihak melanggar perjanjian tersebut.[6]
Pada 30 Desember 1999, Gus Dur mengunjungi Jayapura, ibu kota Provinsi Papua (saat itu disebut "Irian Jaya"). Gus Dur berhasil meyakinkan para pemimpin Papua Barat bahwa dirinya merupakan pemicu perubahan dan bahkan mendorong penggunaan nama Papua.[7]
Pada Maret 2000, Gus Dur menyarankan agar Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) 1966 tentang pelarangan Marxisme–Leninisme dicabut.[8] Pada bulan September, Gus Dur mengumumkan darurat militer di Maluku. Pada bulan yang sama, penduduk Papua Barat mengibarkan bendera Bintang Kejora. Gus Dur menanggapi dengan mengizinkan pengibaran tersebut asalkan bendera Bintang Kejora ditempatkan lebih rendah dari bendera Indonesia.[9] Tanggapan ini dikritik keras oleh Megawati dan Akbar Tanjung. Pada 24 Desember 2000, serangkaian pengeboman dilakukan terhadap gereja-gereja di Jakarta dan delapan kota di seluruh Indonesia.
Ketika naik ke kursi kepresidenan, salah satu tujuan Gus Dur adalah mereformasi TNI dan menghilangkan peran sosiopolitik mereka yang dominan. Dalam usaha ini, Wahid bersekutu dengan Agus Wirahadikusumah, yang ia jadikan Panglima Kostrad pada bulan Maret 2000. Pada bulan Juli, Agus mulai mengungkap skandal yang melibatkan Dharma Putra, yayasan yang berafiliasi dengan Kostrad. Melalui Megawati, anggota TNI mulai menekan Gus Dur untuk mencopot Agus. Gus Dur mengalah pada tekanan ini tetapi kemudian berencana untuk mengangkat Agus sebagai Kepala Staf Angkatan Darat yang ditanggapi oleh para pemimpin TNI dengan mengancam akan pensiun dan Gus Dur sekali lagi mengalah pada tekanan tersebut.[10]
Hubungan Gus Dur dengan TNI semakin memburuk ketika di bulan yang sama terungkap bahwa milisi Laskar Jihad telah tiba di Maluku dan dipersenjatai dengan senjata militer, meskipun Gus Dur telah memerintahkan TNI untuk memblokir masuknya mereka ke wilayah tersebut. Milisi telah merencanakan sejak awal tahun untuk pergi ke Maluku dalam rangka melibatkan diri dalam konflik sekretarian di sana.[11]
Pada tahun 2000, Gus Dur terlibat dalam dua skandal yang mencoreng masa kepresidenannya. Pada Mei, Badan Urusan Logistik (Bulog) melaporkan hilangnya dana sebesar US$4 juta. Uang tersebut digelapkan oleh tukang pijat Gus Dur sendiri, yang menyatakan bahwa Gus Dur mengirimnya ke Bulog untuk mengambil uang tersebut.[12] Meski uangnya telah dikembalikan, musuh-musuh politik Gus Dur mengambil kesempatan ini dengan menuduhnya terlibat dalam skandal yang disebut sebagai Bulog gate ini. Di saat yang sama, Gus Dur juga dituduh menyimpan sumbangan US$2 juta dari Sultan Brunei yang diberikan sebagai bantuan untuk Aceh. Skandal ini dikenal sebagai Brunei gate.
Pada akhir 2000, banyak elit politik yang kecewa dengan Gus Dur; yang paling menonjol adalah Amien Rais yang menyayangkan telah mendukung Gus Dur sebagai presiden pada tahun sebelumnya. Amien berusaha menggalang oposisi dengan mendorong Megawati dan Akbar Tanjung untuk menunjukkan kekuatan politik mereka. Megawati secara mengejutkan membela Gus Dur sementara Akbar memilih untuk menunggu pemilu legislatif 2004. Pada akhir November, 151 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menandatangani petisi yang menuntut pemakzulan Gus Dur.[13]
Pada bulan Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Imlek menjadi hari libur opsional.[14] Ia menindaklanjutinya pada bulan Februari dengan mencabut larangan tentang perayaan Imlek secara terbuka. Pada bulan Februari, Gus Dur mengunjungi negara-negara di Afrika Utara serta Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji.[15] Gus Dur melakukan kunjungan luar negeri terakhirnya pada Juni 2001 ketika ia mengunjungi Australia.
Dalam pertemuan dengan rektor-rektor universitas pada 27 Januari 2001, Gus Dur berkomentar tentang kemungkinan Indonesia menjadi anarki dan menyatakan bahwa ia terpaksa membubarkan DPR jika hal itu terjadi.[16] Meskipun isi pertemuan ini tidak untuk konsumsi publik, tetapi cukup banyak kehebohan yang timbul. Pada 1 Februari, DPR mengajukan memorandum terhadap Gus Dur dalam Sidang Istimewa MPR, yang melegalkan pemakzulan dan pencopotan presiden. Dari hasil pemungutan suara, sangat banyak anggota DPR yang mendukung memorandum, sementara anggota PKB hanya bisa keluar dari ruang rapat sebagai bentuk protes. Memorandum tersebut menimbulkan protes luas di kalangan anggota Nahdlatul Ulama (NU). Di Jawa Timur, anggota NU menyerang kantor Golkar. Di Jakarta, pihak oposisi mulai menuduh bahwa Gus Dur telah mendorong demonstrasi. Gus Dur menyangkalnya dan bertemu dengan para pengunjuk rasa di kota Pasuruan dan mendorong mereka untuk berhenti berdemonstrasi.[17] Meski demikian, pengunjuk rasa NU terus menunjukkan dukungan mereka kepada Gus Dur dan pada bulan April mengumumkan bahwa mereka siap membela dan mati untuk presiden.
Pada bulan Maret, Gus Dur mencoba untuk melawan oposisi yang dimulai dari anggota kabinetnya sendiri. Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra dicopot karena secara publik menuntut pengunduran diri presiden, sementara Menteri Kehutanan Nur Mahmudi Ismail juga dicopot karena dicurigai menyalurkan dana departemennya kepada oposisi Gus Dur. Menyikapi hal itu, Megawati mulai menjauhkan diri dan tidak hadir dalam pelantikan menteri pengganti. Pada 30 April, DPR mengeluarkan memorandum kedua dan esok harinya menyerukan Sidang Istimewa MPR digelar pada 1 Agustus 1998.
Pada bulan Juli, Gus Dur memerintahkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Menteri Koordinator Politik dan Keamanan untuk mengumumkan keadaan darurat. SBY menolak dan Gus Dur mencopotnya dari jabatannya. Pada 20 Juli, Amien Rais mengumumkan Sidang Istimewa MPR akan dimajukan menjadi 23 Juli. TNI, yang memiliki hubungan buruk dengan Gus Dur selama masa jabatannya sebagai presiden, menempatkan 40.000 pasukan di Jakarta dan menempatkan tank yang mengarah ke Istana Presiden untuk unjuk kekuatan.[18] Untuk mencegah Sidang Istimewa MPR berlangsung, Gus Dur kemudian mengeluarkan maklumat pembubaran MPR pada tanggal 23 Juli meski tidak memiliki kewenangan untuk itu. Bertentangan dengan keputusan Gus Dur, MPR melanjutkan Sidang Istimewa dan kemudian dengan suara bulat memilih untuk memakzulkan Gus Dur dan menangkat Megawati sebagai presiden. Gus Dur terus bersikeras bahwa ia adalah presiden dan tinggal selama beberapa hari di Istana Kepresidenan tetapi kemudian meninggalkan istana pada 25 Juli untuk segera terbang ke Amerika Serikat untuk merawat kesehatannya.
Pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, putri pendiri Indonesia sekaligus presiden pertama Sukarno, proses reformasi demokrasi yang dimulai pada periode Habibie dan Gus Dur terus berlanjut, meskipun berjalan lambat dan tidak menentu. Megawati mengumumkan susunan Kabinet Gotong Royong pada 10 Agustus 2001 untuk membantunya mengatur negara. Selama kabinet ini bertugas, Megawati tidak pernah melakukan perombakan kabinet dan hanya mengangkat beberapa pelaksana tugas karena beberapa menteri mengundurkan diri sehubungan dengan pencalonan mereka pada Pilpres 2004.
Munculnya ikon oposisi terhadap rezim Suharto ke kursi kepresidenan pada awalnya disambut secara luas, tetapi segera terlihat bahwa kepresidenannya ditandai dengan ketidaktegasan, kurangnya arah ideologis yang jelas, dan "dikenal pasif dalam urusan kebijakan penting".[19][20][21] Sisi baik dari lambatnya kemajuan reformasi dan menghindari konfrontasi adalah bahwa Megawati menstabilkan proses demokratisasi secara keseluruhan dan hubungan antara legislatif, eksekutif, dan militer.[19]
Meskipun pada tahun 2004 ekonomi telah stabil dan cukup pulih dari krisis 1997, angka pengangguran dan kemiskinan tetap tinggi. Konstitusi Indonesia kemudian diamendemen agar presiden dipilih langsung oleh rakyat, dan Megawati mencalonkan diri untuk masa jabatan kedua. Ia secara konsisten tertinggal dalam berbagai jajak pendapat. Sebagian penyebabnya adalah pemilih Muslim yang cenderung memilih kandidat laki-laki dan kinerja Megawati dipandang biasa-biasa saja selama menjabat sebagai presiden. Meski tampil lebih baik dari perkiraan pada putaran pertama pemilu presiden 2004, tetapi di putaran kedua ia dikalahkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan pada masa pemerintahan Megawati.
Pemilu Presiden Indonesia 2004 merupakan pemilu pertama yang memilih pasangan presiden dan wakil presiden secara langsung. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla memenangi pemilu setelah melewati dua putaran pemilihan. Pada 21 Oktober 2004, SBY mengumumkan susunan Kabinet Indonesia Bersatu.
Dua bulan setelah SBY menjabat, gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia 2004 melanda Aceh dan negara-negara lain di sepanjang garis pantai Samudra Hindia. Tiga bulan kemudian, gempa susulan memicu tsunami di Pulau Nias. Pada tahun 2006, Gunung Merapi meletus dan disusul gempa bumi di Yogyakarta.
Indonesia juga mengalami wabah flu burung dan semburan lumpur Sidoarjo. Pada tahun 2007, banjir besar melanda Jakarta. SBY mengizinkan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso membuka pintu air Manggarai dengan risiko membanjiri Istana Kepresidenan.[22]
Pada 1 Oktober 2005, bom bunuh diri terjadi di pulau Bali. Kelompok Islam militan Jemaah Islamiyah diduga berada di balik serangan tersebut, meskipun penyelidikan polisi masih dilakukan. Kelompok tersebut juga bertanggung jawab atas bom Bali 2002. SBY mengutuk serangan itu serta berjanji untuk "memburu para pelakunya dan membawa mereka ke pengadilan".[23]
Pada tahun 2005, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,6%[24] yang kemudian menurun menjadi 5,5% pada tahun 2006.[25] Inflasi mencapai 17,11% pada tahun 2005, tetapi menurun menjadi 6,6% pada tahun 2006.[26]
SBY juga mengalokasikan lebih banyak dana untuk mengurangi kemiskinan. Pada tahun 2004, 18 triliun rupiah dalam APBN dialokasikan untuk mengentaskan kemiskinan, yang meningkat menjadi 23 triliun pada tahun 2005 dan 51 triliun pada tahun 2006.[27] Pada bulan Maret dan Oktober 2005, SBY membuat keputusan untuk memotong subsidi bahan bakar yang menyebabkan kenaikan harga bahan bakar.[28] Masyarakat miskin diberi kompensasi dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT), tetapi pemotongan subsidi kemudian menurunkan popularitas SBY. Pada Mei 2008, kenaikan harga minyak turut mendorong keputusan SBY untuk sekali lagi memotong subsidi BBM, yang menjadi penyebab protes masyarakat pada Mei dan Juni 2008.
Pada pemilu presiden 2009, SBY terpilih untuk masa jabatan kedua bersama Boediono, mantan Gubernur Bank Indonesia. Mereka mengalahkan dua kandidat: Megawati Soekarnoputri–Prabowo Subianto dan wakil presiden saat itu, Jusuf Kalla–Wiranto. Pasangan SBY–Boediono memenangkan pemilu dengan lebih dari 60% suara nasional pada putaran pertama. Mereka lalu mengumumkan susunan Kabinet Indonesia Bersatu II pada 21 Oktober 2009.
Pada Oktober 2010, Gunung Merapi meletus, menewaskan 353 orang.[29] Sementara itu, gempa bumi dan tsunami juga melanda Kepulauan Mentawai.[30]
Pada pemilu presiden 2014, Joko Widodo (Jokowi) bersama dengan Jusuf Kalla (yang kembali dicalonkan sebagai wakil presiden) mengalahkan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Jokowi adalah presiden pertama tanpa latar belakang politik atau militer yang tinggi.[31] Dalam kampanye pemilu 2014, Jokowi berjanji akan meningkatkan pertumbuhan PDB hingga 7% dan mengakhiri kebijakan bagi-bagi kursi (memberikan jabatan pemerintahan pada koalisi politiknya), meski janji tersebut belum terpenuhi. Pada masa pemerintahannya, rupiah mencapai rekor terendah dalam 20 tahun terakhir.[32][33]
Pernyataan kontroversial yang diucapkan oleh mantan wakil gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan Muslim saat pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Sejumlah protes dilancarkan sebagai tanggapan atas ucapan Ahok oleh berbagai kelompok Islam pada November dan Desember 2016 di Jakarta.[34][35][36] Belakangan, pemerintahan Jokowi melarang organisasi Hizbut Tahrir Indonesia.
Ada kekhawatiran akan menurunnya kebebasan berekspresi selama periode ini, terbukti dengan penangkapan, penahanan, dan pemenjaraan banyak orang karena aktivitas media sosial mereka yang diartikan sebagai "penghinaan" kepada presiden.[37]
Beberapa bencana seperti gempa bumi (di Palu, Lombok, dan Banten) dan kabut asap akibat deforestasi di Kalimantan dan Sumatra terjadi selama periode pemerintahan Jokowi. Pengeboman terkait ISIS juga terjadi di Jakarta dan Surabaya.
Pada Maret 2018, Badan Pusat Statistik melaporkan angka kemiskinan di Indonesia sebesar 9,82 persen, turun dari Maret 2017 yang sebesar 10,64 persen. Ini adalah pertama kali tingkat kemiskinan di Indonesia turun hingga di bawah dua digit. Sebelumnya, angka kemiskinan selalu di atas 10 persen, bahkan mencapai 23,4 persen pada 1999 pascakrisis 1997–1998.[38]
Pada 17 April 2019, Indonesia mengadakan pemilihan umum serentak. Untuk pertama kalinya, pemilihan dilakukan terhadap presiden dan wakil presiden, serta anggota DPR, DPD, dan DPRD secara bersamaan.[39] Pemilu ini digambarkan sebagai "salah satu pemungutan suara satu hari paling rumit dalam sejarah global".[40] Jokowi dan calon wakil presiden Ma'ruf Amin mengalahkan Prabowo dan pasangannya, Sandiaga Uno.[41] Pemilu ini diikuti oleh protes dan kerusuhan di bulan Mei yang mengakibatkan setidaknya delapan pengunjuk rasa tewas.[42] Pada 16 Agustus 2019, empat puluh tiga pelajar Papua di Surabaya, Jawa Timur ditangkap oleh polisi setelah adanya laporan bahwa bendera Indonesia dirusak di luar gedung tempat mereka tinggal,[43] yang menyebabkan protes di Papua dan bagian lain Indonesia.[44] Serangkaian demonstrasi massa yang dipimpin oleh mahasiswa terjadi di kota-kota besar Indonesia pada September 2019 untuk memprotes undang-undang baru yang mengurangi kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta beberapa RUU lainnya.[45] Protes tersebut kemudian berkembang menjadi gerakan mahasiswa terbesar di Indonesia sejak demonstrasi tahun 1998 yang menjatuhkan rezim Suharto.[46]
Penyakit koronavirus 2019 (COVID-19), yang berlangsung di seluruh dunia, pertama kali dikonfirmasi menyebar ke Indonesia pada 2 Maret 2020.[47] Hingga 5 November 2020, virus ini telah mengakibatkan lebih dari 14.000 kematian di Indonesia.[48] Pada akhir 2020, pandemi menyebabkan perekonomian jatuh ke dalam resesi untuk pertama kalinya dalam 22 tahun.[49] Pada Oktober 2020, sejumlah protes meluas di seluruh Indonesia setelah DPR mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja yang kontroversial.[50]
Meski tidak mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga, Jokowi secara eksplisit menyatakan kepada media bahwa ia tidak akan menjadi aktor netral,[51] dan akan "ikut campur" dalam Pemilihan Presiden 2024. Ia juga melakukan pertemuan dengan pimpinan partai politik dalam kapasitasnya sebagai presiden.[52][53][54] Pada bulan September 2023, dalam rapat umum, Jokowi menyatakan bahwa ia memiliki informasi intelijen yang dikumpulkan oleh badan-badan pemerintah (menyebutkan BIN dan BAIS) pada cara kerja internal partai politik.[55][56] Pada Oktober 2023, Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (kakak ipar Jokowi) mengeluarkan putusan yang memberi celah pada persyaratan usia minimal calon presiden dan wakil presiden, sehingga membolehkan putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka mencalonkan diri sebagai cawapres Prabowo pada tahun 2024. Usman kemudian ditegur oleh majelis hakim atas keputusan tersebut dan diminta mundur sebagai Ketua Mahkamah Agung.[57]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.