Remove ads
partai politik di Indonesia Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), adalah sebuah partai politik di Indonesia berideologi moderat, artinya partai Muslim tetapi tidak Islamis.[2] Partai ini didirikan oleh Presiden Indonesia ke-4 Abdurrahman Wahid di Jakarta pada 23 Juli 1998 (29 Rabi'ul Awal 1419 Hijriah) yang mendapat dukungan kuat dari kiai-kiai Nahdlatul Ulama, seperti Munasir Ali, Ilyas Ruhiat, Mustofa Bisri dan Muchith Muzadi.[6]
Partai Kebangkitan Bangsa | |
---|---|
Singkatan | PKB |
Ketua umum | Muhaimin Iskandar |
Sekretaris Jenderal | Hasanuddin Wahid |
Ketua Fraksi di DPR | Jazilul Fawaid |
Dibentuk | 23 Juli 1998 |
Kantor pusat | Jalan Raden Saleh No. 9, Senen, Jakarta Pusat 10430 |
Sayap pemuda | Garda Bangsa |
Sayap wanita | Perempuan Bangsa |
Keanggotaan | 386.021 (2023) |
Ideologi | Pancasila[1] Demokrasi Islam[2] Nasionalisme[2] Konservatisme bangsa Liberalisme[3] Pluralisme |
Posisi politik | Tengah[4] |
Afiliasi internasional | Sentris Demokrat Internasional Uni Demokrat Internasional Dewan Liberal dan Demokrat Asia[5] Persatuan Demokrat Asia Pasifik |
Kursi di DPR | 68 / 580 |
Kursi di DPRD I | 220 / 2.372 |
Kursi di DPRD II | 1.833 / 17.510 |
Situs web | |
pkb | |
Pembentukan Partai Kebangkitan Bangsa berawal pada pertemuan para kiai Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur yang diasuh oleh Kiai Haji Abdullah Faqih. Dalam pertemuan pada Mei 1998 membicarakan mengenai situasi terakhir negeri dan perlu adanya perubahan besar untuk menyelamatkan bangsa dari kehancuran. Mereka mengembangkan pernyataan resmi, yang dikirim oleh Kyai Muchid Muzadi dari Jember dan Gus Yusuf Muhammad untuk disampaikan kepada Presiden Soeharto. Namun sebelum mereka sempat menyampaikan pernyataan tersebut, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998.
Tidak lama setelah rezim Orde Baru lengser, digelar istighosah akbar Jawa Timur yang mengumpulkan para kiai Nahdlatul Ulama dikantor Pengurus Wilayah NU (PWNU) Jawa Timur dan meminta K.H Muhammad Cholil Bisri dari Rembang, Jawa Tengah untuk menggagas pendirian partai untuk wadah aspirasi politik NU. Awalnya, Cholil menolak langkah tersebut karena Cholil masih ingin fokus di pesantren. Namun, Bisri akhirnya mengalah dan menerima peran kepemimpinan dalam partai yang akan dibentuk tersebut.
Seminggu kemudian, pada 6 Juni, Cholil Bisri bertemu dengan para kyai guna membicarakan pembentukan partai baru tersebut. Undangan telah disampaikan melalui telepon dan lebih dari 200 kyai menghadiri pertemuan yang digelar di rumah Cholil Bisri di Leteh, Rembang, Jawa Tengah. Rapat ini menghasilkan pembentukan “Panitia Tetap” yang beranggotakan 11 orang, dengan Bisri sebagai ketua dan Gus Yus sebagai sekretaris. Secara bergantian, panitia ini bekerja secara maraton, menyiapkan platform dan komponen partai, termasuk logo yang akan menjadi lambang partai. Logo tersebut dibuat oleh KH A. Mustofa Bisri.
Pengurus Tetap dan perwakilan NU mengadakan konferensi besar di Bandung, pada tanggal 4 Juli 1998, yang dihadiri oleh 27 perwakilan daerah. Dalam pembahasan nama organisasi tersebut, berbagai nama yang diusulkan adalah “Partai Kebangkitan Bangsa”, “Partai Kebangkitan Nahdlatul Ummah” dan “Partai Ummat”. Nama yang dipilih sebagai nama resmi partai adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Deklarasi partai berjumlah 72 orang yang mewakili usia organisasi NU, terdiri dari Tim Panitia Tetap (11), Tim Pendamping Lajnah (14), Tim NU (5), Tim Pendamping NU (7), dan dua orang Wakil. dari masing-masing 27 wilayah (27 x 2). Ke-72 pendiri menandatangani Platform Partai dan komponen-komponennya. Namun setelahnya, PBNU memutuskan hanya lima orang yang bisa menjadi pengusung partai tersebut. Kelimanya adalah Munasir Ali, Ilyas Ruhiat, Muchid Muzadi, KH A. Mustofa Bisri, dan Abddurahman Wahid yang merupakan Ketua Umum PBNU. 72 nama asli deklarasi partai itu dihapus PBNU.
Usai pembentukan partai, deklarasi pun dilaksanakan di Jakarta pada 29 Rabiul Awal 1419 H atau 23 Juli 1998.[7] Setelah pendeklarasian tersebut, PKB bersiap dalam menghadapi Pemilihan Umum 1999 dengan sistem yang tidak berbeda jauh dari Pemilu pertama tahun 1955 dan 1971.
PKB berpartisipasi dalam Pemilu 1999 dan berhasil memenangkan 12,61% suara nasional atau sebanyak 51 kursi. PKB berhasil mengalahkan suara PPP, partai islam yang dominan dalam sejarah Orde Baru dan menempati posisi ketiga setelah PDI-P dan Golkar.[8] PKB berhasil membangun kembali kepercayaan diri dari kalangan Nahdliyin dalam bidang politik yang sudah lama terpengaruh sejak era Orde Baru. Keberhasilan yang telah dipersiapkan selama satu tahun tidak terlepas dari peran para ulama NU yang memberi dukungan penuh terhadap partai. Namun dibandingkan dengan jumlah kursi di DPR, PKB masih belum melampaui PPP karena PKB hanya mendapatkan 51 kursi dibandingkan 57 kursi yang diraih PPP.[8]
Menjelang pemilihan presiden 1999, PKB dibawah pimpinan Gus Dur sempat mempertimbangkan untuk membentuk koalisi politik dengan Megawati Soekarnoputri dari PDI-P dan Amien Rais dari PAN, juga sebuah partai baru yang muncul menjelang Pemilu 1999, untuk melawan Presiden Habibie dan Golkar. Pada bulan Mei, Alwi Shihab mengadakan konferensi pers di rumahnya di mana Megawati, Wahid dan Amien akan mengumumkan bahwa mereka akan bekerja sama. Di menit-menit terakhir, Megawati memilih untuk tidak hadir, karena dia memutuskan tidak bisa mempercayai Amien.[9]
Untuk persiapan Sidang Umum MPR 1999, PKB membentuk koalisi longgar dengan PDI-P. Koalisi longgar tersebut diuji pada saat memilih Ketua DPR. PDI-P mendukung Ketua Umum PKB Matori Abdul Djalil untuk merebut posisi tersebut, namun Matori Abdul Djalil dikalahkan oleh Akbar Tanjung yang didukung oleh Golkar dan Poros Tengah yang dibentuk oleh Amien Rais.[10] Di saat yang bersamaan, PKB ikut bergabung dalam Poros Tengah yang terdiri dari PKB, PAN, Partai Keadilan, PPP dan PBB.[11] Setelah MPR menolak pidato pertanggungjawaban Habibie, Golkar memutuskan untuk mendukung Gus Dur. Pada 7 Oktober 1999, Amien dan Poros Tengah secara resmi menyatakan Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden.[12] Pemilihan presiden yang dilaksanakan pada tanggal 20 Oktober 1999 berpihak pada Megawati dan Gus Dur dengan hasil Gus Dur terpilih sebagai presiden dengan perolehan 373 suara, sementara Megawati hanya mendapatkan 313 suara.[13] Namun, karena mengetahui kerusuhan yang dilakukan oleh pendukung Megawati karena kekalahannya, Gus Dur menyadari bahwa Megawati harus menjadi wakil presiden dan PDI-P harus diakui sebagai partai pemenang pemilu. Maka, Gus Dur memerintah PKB untuk mendukung Megawati sebagai calon Wakil Presiden, Megawati kemudian mengalahkan Hamzah Haz dan berhasil menjadi wakil presiden perempuan pertama di Indonesia.
PKB dalam sejarah politik Indonesia merupakan partai yang paling dinamis dalam hal sukses penguasaan dan kepemimpinan partai. Saat dibawah kepemimpinan Matori Abdul Djalil selaku ketua umum pertama PKB, PKB solid hingga mampu mendudukan Gus Dur selaku deklarator PKB menjadi Presiden RI keempat. Gus Dur membentuk Kabinet Persatuan Nasional yang dianggotai oleh kader PKB. Diantara lain adalah tokoh seperti AS Hikam, Khofifah Indar Parawansa, Mahfud MD dan Muhammad Tolchah Hasan.
Namun pada 2001, Gus Dur dimakzulkan.[14] Sebelum Sidang Khusus MPR, anggota PKB setuju untuk tidak hadir sebagai lambang solidaritas. Namun, Matori Abdul Djalil, ketua PKB, bersikeras hadir karena ia adalah Wakil Ketua MPR. Dengan posisinya sebagai Ketua Dewan Syuro, Gus Dur menjatuhkan posisi Matori sebagai Ketua PKB pada tanggal 15 Agustus 2001 dan melarangnya ikut serta dalam aktivitas partai sebelum akhirnya mencabut keanggotaan Matori pada bulan November.[15] Pada tanggal 14 Januari 2002, Matori mengadakan Munas Khusus yang dihadiri oleh pendukungnya di PKB. Munas tersebut memilihnya kembali sebagai ketua PKB. Gus Dur membalasnya dengan mengadakan Munasnya sendiri pada tanggal 17 Januari, sehari setelah Munas Matori selesai[16] Musyawarah Nasional memilih kembali Gus Dur sebagai Ketua Dewan Penasihat dan Alwi Shihab sebagai Ketua PKB. PKB Gus Dur lebih dikenal sebagai PKB Kuningan sementara PKB Matori dikenal sebagai PKB Batutulis.[17] Matori Abdul Djalil menjadi satu satunya anggota PKB yang menjadi menteri di pemerintahan Megawati di Kabinet Gotong Royong.
Ketegangan kedua kubu PKB makin memanas setelah jalur musyawarah gagal mempertemukan kedua kubu. Bahkan adanya campur tangan oleh NU tidak membuahkan hasil. Pada tahun 2002, NU menyatakan menyerah untuk menyelesaikan konflik kedua kubu tersebut[18] dan kedua kubu kemudian menempuh jalur hukum untuk menentukan siapa yang paling berhak menjadi pimpinan PKB. NU juga mewanti-wanti kepada Megawati Soekarnoputri untuk tidak ikut campur tangan dalam konflik internal PKB.[8] Konflik internal tersebut berlangsung selama 2 tahun dan pada 2003, Makhamah Agung memenangkan gugatan Gus Dur.[17][19] Matori Abdul Djalil yang kalah gugatan MA memutuskan untuk mendirikan partai baru, yakni Partai Kejayaan Demokrasi (PEKADE).[20]
Pada April 2004, PKB berpartisipasi dalam Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Indonesia 2004, memperoleh 10.6% suara. Untuk Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2004, di mana rakyat akan memilih secara langsung, PKB memilih Gus Dur sebagai calon presiden. Namun, Gus Dur gagal melewati pemeriksaan medis sehingga Komisi Pemilihan Umum menolak memasukkannya sebagai calon. Gus Dur lalu mendukung Salahuddin Wahid yang merupakan pasangan dari Wiranto. Pada 5 Juli 2004, Wiranto dan Salahuddin Wahid kalah dalam pilpres. Untuk pemilihan kedua antara pasangan Yudhoyono-Kalla dengan Megawati-Muzadi, PKB sempat dilirik dukungan oleh kedua pihak peserta pemilihan presiden.[21] Menurut Wakil Ketua PKB Mahfud MD, PKB memiliki peluang yang sama. Ketiga opsi itu adalah mendukung Mega-Hasyim, mendukung SBY-Kalla, dan bersikap netral. Secara pribadi, Mahfud MD memilih bersikap netral. Namun, sejumlah DPW PKB sudah menyatakan dukungan kepada SBY-Kalla. Namun, ada juga DPW yang menyatakan dukungan Mega-Hasyim.[21] Namun pada 1 September 2004, Gus Dur dan PKB menyatakan sikap untuk tidak mendukung kedua pihak koalisi dan memperbolehkan kader PKB untuk memilih sesuai hati nurani masing-masing.[22]
PKB mengawali pemerintahan SBY sebagai bagian dari oposisi. Pada Agustus 2005, Gus Dur menjadi salah satu pemimpin koalisi politik yang bernama Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu bersama berbagai tokoh nasional seperti Megawati, Try Sutrisno, Wiranto dan Akbar Tanjung. Koalisi ini kerap mengkritik kebijakan SBY. Namun, PKB kembali mengalami gejolak internal. Konflik kepengurusan tersebut terjadi setelah Pemilu 2004, yakni munculnya PKB versi Muhaimin Iskandar hasil Muktamar Semarang yang didukung Gus Dur dan PKB versi Choirul Anam hasil Muktamar Surabaya tahun 2005. PKB pimpinan Choirul Anam kemudian berubah menjadi Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) setelah secara hukum negara mengakui PKB versi Muhaimin. Setelah konflik ini, dinamika PKB relatif mereda sampai 2008.[23] Sebagai konsekuensi konflik tersebut, Gus Dur memecat Alwi Shihab dan Saifullah Yusuf dari kepengurusan PKB.[17]
Konflik internal kembali terjadi pada tahun 2008 dengan isu dualisme kepengurusan kembali muncul. Kali ini, ada kepengurusan PKB versi Muhaimin Iskandar hasil Muktamar Ancol dan PKB versi Ali Masykur Musa hasil Muktamar Parung, Bogor, yang didukung Gus Dur.[23] Sebelumnya, memang beredar kabar bahwa alasan pemecatan Cak Imin karena Cak Imin terlalu dekat dengan Istana.[17] Gus Dur juga sempat menuding Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai inisiator konflik PKB.[24] Namun kali ini, Gus Dur kalah karena pemerintahan SBY mengakui PKB versi Muktamar Ancol.[25] Perpecahan ini mengakibatkan putri Gus Dur, Yenny Wahid, untuk keluar dari PKB dan membentuk partai baru, yakni Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB).[26]
Perpecahan internal yang berlangsung dalam partai memberi imbasan terhadap perolehan suara PKB dalam pemilu 2009. Berbagai analis prediksi bahwa suara PKB akan merosot tajam akibat konflik diantara Gus Dur dan Muhaimin Iskandar yang mengakibatkan basis pemilih dari NU meninggalkan partai pilihannya untuk partai lain, terutama dengan perkembangan pesat PKNU yang mengancam dominasi PKB di kalangan pemilih nahdliyin.[27][28] Dalam pemilu 2009, PKB hanya berhasil meraup 4,95% suara nasional dan meraih 27 kursi di DPR.[29] Hasil perolehan pemilu 2009 menjadi hasil terburuk yang pernah dicapai oleh PKB selama sejarah elektoralnya.
Sejak kekalahan PKB dalam pemilu legislatif, PKB berusaha memperbaiki jati partai untuk pemilu berikutnya. Hal ini dimulai dalam pilpres 2009, dimana PKB dibawah pimpinan Muhaimin Iskandar memantapkan dukungan pencalonan kembali Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden.[30] Meskipun PKB sempat menyodorkan nama Cak Imin sebagai calon wakil presiden mendampingi SBY, PKB menolak melakukan upaya maneuver untuk berhendak demikian dan mendukung penuh pasangan SBY-Boediono.[31][32] Koalisi SBY yang juga terdiri dari PAN, PKS, dan PPP memenangkan pilpres 2009 dengan hasil sebesar 60,8% suara nasional atau 73.874.562 suara. Cak Imin dan kader PKB lainnya, Helmy Faishal Zaini diangkat sebagai menteri di Kabinet Indonesia Bersatu II.
Muhaimin Iskandar mulai melakukan beberapa upaya memperkuat kembali basis partai. Pada HUT PKB 2010, Cak Imin menegaskan PKB akan menjadi partai yang berdiri sendiri, bahkan menggalang partai lain.[33] Ia juga mengajak kader PKB yang sempat berselisih untuk bergabung kembali untuk membesarkan partai.[34] Cak Imin juga mengonsolidasi kembali kekuatan basis suara nahdliyin menjelang pemilu 2014.[35] Upaya ini membantu PKB kembali bangkit pada pemilu 2014 dengan meraup 11,29 juta suara (9,04%), dua kali lipat dari perolehan suaranya pada 2009.[36]
Dalam kontestasi Pilpres 2014, PKB bersama partai PDI-P, NasDem dan Hanura mendukung Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo sebagai calon presiden[37] dan Jusuf Kalla sebagai calon wakil presiden.[38]
Undang-Undang Partai Politik Tahun 2008 menyatakan bahwa partai politik diperbolehkan mencantumkan ciri-ciri tertentu yang mencerminkan aspirasi politiknya, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.[39] Meski berbasis Islam, PKB mengidentifikasi sebagai partai nasionalis religius. Oleh sebab itu, sejak awal pendirian, PKB selalu menyatakan sebagai partai terbuka dalam pengertian lintas agama, suku, ras, dan lintas golongan.[40] PKB kerap berbeda haluan dengan Nahdlatul Ulama karena meskipun mendukung peran Islam dalam pemerintahan, PKB tidak memiliki dukungan yang sama dengan organisasi lama terhadap republik Islam yang secara eksplisit.[41] Sebagai contoh, PKB mendukung acara Miss World 2013 yang diselenggarakan di Bali walaupun ditolak oleh NU dan ormas Islam konservatif lainnya.[42]
Sebagai partai yang didirikan oleh kyai Nahdlatul Ulama, PKB memiliki dukungan historis dengan kalangan nahdliyin. Partai ini adalah anak kandung dari NU, begitu narasi yang kuat dikumandangkan dari tokoh-tokoh nahdliyin.[23] Hasil pemilu memperkuat narasi tersebut karena basis pemilih PKB berada di wilayah-wilayah yang memiliki pengaruh kuat dari NU, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Hal ini tampak dari porsi sumbangan pemilih dari Jawa Timur dan Jawa Tengah yang lebih besar dibandingkan dengan provinsi lainnya.[23] Secara sosial ekonomi, mayoritas pemilih PKB yang berpendidikan tinggi meningkat enam kali lipat dibanding pemilu sebelumnya. Jumlah pemilih dari kalangan ibu rumah tangga dan aparat negara juga meningkat cukup signifikan. Di sisi lain, proporsi pemilih PKB yang berwirausaha cenderung berkurang.[8]
No. | Potret | Ketua Umum | Mulai Menjabat | Akhir Jabatan | Periode |
---|---|---|---|---|---|
Matori Abdul Djalil (1942-2007) |
|||||
Alwi Shihab (1946-) |
|||||
Muhaimin Iskandar (1966-) |
|||||
Pemilu | Jumlah kursi | Jumlah suara | Persentase | Hasil | Urutan | Ketua umum |
---|---|---|---|---|---|---|
1999 | 51 / 462 |
13.336.982 | 12,61% | Partai baru; Pro-pemerintah | 4 | Matori Abdul Djalil |
2004 | 52 / 550 |
11.989.564 | 10,57% | 1 kursi; Pro-pemerintah | 3 | Alwi Shihab |
2009 | 27 / 560 |
5.146.122 | 4,94% | 25 kursi; Pro-pemerintah | 7 | Muhaimin Iskandar |
2014 | 47 / 560 |
11.298.957 | 9,04% | 20 kursi; Pro-pemerintah | 5 | Muhaimin Iskandar |
2019 | 58 / 575 |
13.570.097 | 9,69% | 11 kursi; Pro-pemerintah | 5 | Muhaimin Iskandar |
2024 | 68 / 580 |
16.115.655 | 10,62% | 10 kursi; Pro-pemerintah | 5 | Muhaimin Iskandar |
Pada Pemilu 2024, PKB berhasil mendudukkan 220 kadernya menjadi anggota DPRD Provinsi di 37 provinsi. Selain itu, PKB berhasil mendudukkan kadernya sebagai Ketua DPRD Provinsi Jawa Timur.
Pemilu | Perolehan Kursi |
Jumlah Provinsi |
Provinsi Juara |
Keterangan |
---|---|---|---|---|
2014 | 145 | 32 | Jawa Timur | Tidak memiliki perwakilan di DPRD Provinsi Bali dan Sulawesi Utara. |
2019 | 180 | 32 | tidak ada | Tidak memiliki perwakilan di DPRD Provinsi Bali dan Kepulauan Bangka Belitung. |
2024 | 220 | 37 | Jawa Timur | Tidak memiliki perwakilan di DPRD Provinsi Bali. |
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.