Loading AI tools
salah satu jenis olahan pasta Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Mi instan atau mi dadak[1] adalah mi yang sudah dikukus, digoreng, dan dikeringkan terlebih dahulu,[2] agar kemudian dapat langsung disajikan dengan menambahkan air panas dan bumbu-bumbu yang sudah ada di dalam bungkusnya. Adonan mi instan umumnya terdiri dari campuran tepung terigu, air, minyak goreng, dan garam.
Mi instan modern diciptakan oleh Momofuku Ando pada 1958, yang kemudian mendirikan perusahaan Nissin dan memproduksi produk mi instan pertama di dunia bernama Chikin Ramen. Peristiwa penting lainnya terjadi pada 1971 ketika Nissin memperkenalkan mi dalam gelas bermerek Cup Noodles, mi instan dalam wadah tahan air yang bisa langsung digunakan untuk memasak mi tersebut.
Setelah Perang Dunia II, terjadi krisis pangan di Jepang.[3] Pada saat itu Jepang mendapatkan bantuan pangan berupa tepung terigu dari Amerika Serikat, yang banyak diolah menjadi roti.[4] Momofuku Ando, seorang pengusaha kelahiran Taiwan di Jepang, mencoba mencari cara menggunakan tepung terigu untuk menciptakan makanan yang diminati, tahan lama, dan murah.[5] Setelah melalui metode coba-coba, akhirnya Ando penciptakan proses mengkukus, menggoreng, dan mengeringkan mi gandum.[3][6] Pada tahun 1958 Ando mulai memasarkan produk ini dengan nama Chikin Ramen lewat perusahaannya, Nissin.[6]
Pada tahun 1971, Nissin memperkenalkan produk Cup Noodles, mi instan yang dijual bersama mangkok tahan panas sehingga semakin praktis dikonsumsi.[5][6] Produk ini mendapatkan inspirasi dari perjalanan Ando ke Amerika Serikat tahun 1966, ketika melihat eksekutif perusahaan supermarket Amerika menggunakan cangkir kopi untuk mencoba mi instan, karena tidak tersedianya mangkok.[5] Inovasi ini membuat mi instan menyebar cepat di Amerika dan Eropa.[7]
Popularitas mi instan menanjak dengan cepat ke seluruh dunia. Pada 1997, penjualannya mencapai 42 miliar bungkus. Pada 2000, penjualannya sampai 48 miliar bungkus.[8] Pada 2020, menurut World Instant Noodles Association, konsumsi mi instan global menyentuh angka 116 miliar.[8]
Terdapat tiga bahan utama dalam pembuatan mi instan, yaitu terigu, air dan garam. Terigu yang digunakan memiliki minimal 8,5-12,5% kandungan protein demi mencegah putusnya adonan ketika proses pengeringan, ditambah mengurangi kandungan lemak dalam proses penggorengan. Air diserap hingga mencapai 30-38% berat adonan, dimana kadar airnya diatur agar tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah. Garam digunakan untuk memperkuat kelenturan dan memperkuat struktur gluten dalam mi. Beberapa jenis garam seperti natrium karbonat dapat ditambahkan untuk menambah warna kuning pada mi.[9] Sebagai bahan pengganti garam dapat digunakan air abu (campuran alkali dari natrium karbonat dan potasium karbonat).[10] Bahan penting lainnya adalah minyak untuk mengeringkan adonan mi dalam proses penggorengan. Beberapa bahan lain yang dapat ditambahkan untuk meningkatkan kualitas mi instan adalah hidrokoloid (gom) dan pati kentang.[11][12]
Air, garam dan terigu dicampurkan menjadi suatu adonan. Setelah siap, adonan dibentuk menjadi berbentuk pipih oleh bantuan roller secara berulang-ulang untuk menciptakan elastisitasnya. Roller bertugas membuat ketebalan mi yang diinginkan. Adonan pipih lalu dipotong dan mengalir ke jalur sabuk berjalan (conveyor) yang ditekan oleh logam yang berat, sehingga bentuknya menjadi keriting. Mi lalu direbus selama 1-5 menit untuk meningkatkan teksturnya.[13][14] Setelah perebusan, mi dikeringkan dengan menggorengnya atau dengan bantuan udara (air dried). Proses pengeringan ini membentuk pori-pori pada mi yang membuatnya cepat untuk dimasak.[15] Sementara itu, ketahanan mi instan dipengaruhi oleh kelembabannya yang rendah serta kandungan garam (natrium) yang tinggi.[16]
Mi lalu didinginkan dan siap dikemas, dengan biasanya berada dalam dua bentuk: mi dalam kemasan gelas (mi cup) atau mi dalam kemasan plastik. Dalam sebuah mi instan terdapat blok mi, bumbu dan bahan-bahan pelengkap (seperti sayuran, daging, protein kering, bawang goreng, dll), dimana bumbu/rasa yang dipasarkan dapat bermacam-macam. Di beberapa negara, rasa yang umum biasanya merupakan rasa kaldu daging (ayam, ikan, udang, seafood, sapi, babi, dll) dan pedas, sedangkan di Indonesia dapat ditemukan rasa masakan tradisional seperti soto, mi goreng hingga sate. Konsumen yang membeli mi instan dapat menyiapkannya dalam waktu singkat, sekitar 1-5 menit saja dengan dicampur/direbus bersama air panas.
Seiring perkembangan zaman, mi instan juga dikembangkan dengan menambahkan/menggunakan bahan lain. Seperti misalnya upaya mengembangkan mi berbahan tepung sorgum atau mocaf (tepung singkong termodifikasi) demi mengurangi impor gandum.[17] Produk sejenis seperti pasta spageti instan, misoa instan, kwetiau instan (ketiganya juga dari terigu) hingga bihun instan juga sudah beredar luas di masyarakat.[18] Pengembangan lain adalah dengan membuat apa yang disebut "mi sehat", biasanya dengan menambahkan bahan-bahan dari sayuran dalam blok mi dan mengurangi penggunaan perisa buatan.[19] Modifikasi lainnya seperti bentuk mi (lebih panjang di Jepang dan lebih pendek di AS), hingga keberadaan bubuk cabai/saus sambal yang kebanyakan hanya bisa ditemukan pada mi yang diproduksi di Indonesia.[20]
Kehadiran mi instan sendiri bermula ketika Jepang sebagai negara asal produk tersebut, mengekspor produknya di Indonesia beberapa tahun setelah produk itu diciptakan yang kemudian dikenal dengan nama "super mie". Belakangan, seiring munculnya UU Penanaman Modal Asing No. 1/1967, sebuah perusahaan dari Negeri Sakura, Sankyo Shokuhin KK, berkeinginan untuk membangun pabrik di Indonesia. Pabrik mi instan itu kemudian diresmikan pada 16 Juli 1969, di bawah PT Lima Satu Sankyo Industri Pangan. Produknya kemudian dikenal dengan nama Supermi, yang merupakan produk mi instan lokal pertama di negeri ini.[21][22]
Mulai tahun 1972, masuk juga Indomie sebagai pesaing yang dirintis Djajadi Djaja dan kawan-kawan, dan 10 tahun kemudian, masuklah penguasa industri mi instan saat ini, Salim Group dengan merek Sarimi.[21] (Beberapa merek mi instan awal lainnya yang sempat memasuki pasaran seperti Chicken Mie produksi Khong Guan Group,[23] dan Intermi buatan PT Pandu Djaya Abadi,[24][25] namun keduanya kalah populer). Dalam perkembangannya, Indomie menjadi merek yang dominan, sehingga saking terkenalnya, orang Indonesia sering menyebut mi instan dengan sebutan "Indomie", kendati yang dikonsumsi tidak bermerek Indomie. Baik Indomie, Supermi dan Sarimi sejak 1980-an telah mendominasi penjualan mi instan di Indonesia; ketiga merek tersebut, yang kini diproduksi oleh Indofood CBP Sukses Makmur, pada tahun 1992 mencapai 90% pangsa pasar,[26] 88% pada 2002,[27] dan pada 2014 mencapai 72%. Menggiurkannya industri mi instan telah membuat banyak pengusaha berusaha terjun dalam bisnis ini dengan menawarkan berbagai rasa dan promosi, meskipun faktanya Indofood sebagai pemain dominan tetap sulit untuk disaingi. Mi instan pun telah berkembang dari hanya memiliki tiga merek dan rasa yang terbatas, menjadi banyak merek dengan aneka pilihan rasa.[27][28] Tidak hanya sejumlah industri besar, bisnis mi instan juga melibatkan pemain-pemain lain, seperti rumah makan dalam skala kecil seperti warung Indomie (warmindo) maupun besar (seperti Warunk Upnormal).[29]
Mi instan merupakan salah satu makanan terfavorit warga Indonesia. Bisa dipastikan hampir setiap orang Indonesia telah mencicipi mi instan atau mempunyai persediaan mi instan di rumah. Bahkan tidak jarang orang membawa mi instan saat ke luar negeri sebagai persediaan "makanan lokal" jika makanan di luar negeri tidak sesuai selera. Sebagai bukti dari kepopuleran itu, Indonesia merupakan salah satu pembeli mi instan terbesar - urutan kedua (14 miliar bungkus/tahun atau 64 bungkus per konsumen/tahun), setelah Tiongkok dengan 44,4 miliar bungkus. Angka ini telah jauh bertumbuh dari 886 juta bungkus pada 1985 dan 5,2 miliar bungkus pada 1994.[30] Pada 2013, penjualan mi instan nasional telah mencapai Rp 22,6 triliun, diperebutkan oleh beberapa pemain dengan persaingan yang cukup sengit.[28] Korea Selatan adalah konsumen mi instan terbanyak per kapita, dengan rata-rata 69 bungkus per tahun, diikuti oleh Indonesia dengan 55 bungkus, dan Jepang dengan 42 bungkus pada 2005.[31]
Negara | 2014 | 2015 | 2016 | 2017 | 2018 | 2019 | 2020 |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Tiongkok | 44.40 | 40.43 | 38.52 | 38.97 | 40.25 | 41.45 | 46.35 |
Indonesia | 13.43 | 13.20 | 13.01 | 12.62 | 12.54 | 12.52 | 12.64 |
India | 5.34 | 3.26 | 4.27 | 5.42 | 6.06 | 6.73 | 6.73 |
Jepang | 5.50 | 5.54 | 5.66 | 5.66 | 5.78 | 5.63 | 5.97 |
Vietnam | 5.00 | 4.80 | 4.92 | 5.06 | 5.20 | 5.43 | 7.03 |
Amerika Serikat | 4.28 | 4.08 | 4.10 | 4.13 | 4.40 | 4.63 | 5.05 |
Filipina | 3.32 | 3.48 | 3.41 | 3.75 | 3.98 | 3.85 | 4.47 |
Korea Selatan | 3.59 | 3.65 | 3.83 | 3.74 | 3.82 | 3.90 | 4.13 |
Thailand | 3.07 | 3.07 | 3.36 | 3.39 | 3.46 | 3.57 | 3.71 |
Brasil | 2.37 | 2.37 | 2.35 | 2.23 | 2.37 | 2.45 | 2.72 |
Rusia | 1.94 | 1.84 | 1.57 | 1.78 | 1.85 | 1.91 | 2.00 |
Nigeria | 1.52 | 1.54 | 1.65 | 1.76 | 1.82 | 1.92 | 2.46 |
Nepal | 1.11 | 1.19 | 1.34 | 1.48 | 1.57 | 1.64 | 1.54 |
Malaysia | 1.34 | 1.37 | 1.39 | 1.31 | 1.37 | 1.45 | 1.57 |
Meksiko | 0.90 | 0.85 | 0.89 | 0.96 | 1.18 | 1.17 | 1.16 |
Dalam miliaran kemasan/bungkus. Sumber: World Instant Noodles Association[32] |
Popularitas mi instan di Indonesia bisa dikatakan merupakan sesuatu yang "baru". Hingga era 1960-an, produk olahan dari gandum masih memiliki konsumen yang terbatas, yaitu hanya dinikmati kelas menengah ke atas yang sudah terbaratkan. Bisa dikatakan peletak dasar dari ketergantungan Indonesia akan produk olahan gandum, termasuk mi instan, adalah Soeharto dan rezim Orde Baru-nya. Ketergantungan tersebut mencerminkan beberapa aspek penting pemerintahan Orde Baru: maraknya budaya percukongan, relasinya yang kuat dengan negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat,[33][34] dan kegagalannya mendorong diversifikasi pangan.
Naiknya Orde Baru pada pertengahan 1960-an menjadi pertanda perubahan politik luar negeri Indonesia dari pro negara-negara Blok Timur menjadi pro-Barat. Amerika Serikat, sebagai penggerak utama Blok Barat, merasa perlu mendukung pemerintahan Soeharto di tengah upayanya mengatasi krisis ekonomi peninggalan Orde Lama.[34] Meskipun pejabat-pejabat Orde Baru (seperti Adam Malik) awalnya meminta bantuan beras, AS berhasil merayu pemerintah saat itu untuk menerima bantuan gandum dan mempromosikan penggunaannya di tengah masyarakat.[35] Pada tahun 1968 gandum dan terigu bantuan AS pertama didatangkan sebesar 390.000 ton.[36] Bantuan ini dikoordinasikan dalam kerangka Public Law 480[37] (Food for Peace).[35] Kondisi produksi beras nasional yang belum membaik hingga 1980-an, ditambah upaya pengurangan impor beras, membuat pemerintah semakin mendorong konsumsi produk olahan gandum di masyarakat. Bantuan pun diberikan seperti dalam subsidi terigu (sehingga harganya lebih murah dibanding di luar negeri sekalipun), adanya berbagai fasilitas ke penggiling, dan kredit-kredit khusus. AS juga memberikan fasilitas seperti bantuan dan kredit lunak ke Indonesia untuk mengimpor terigunya.[38][36]
Kualitas tepung yang seringkali kurang baik ketika didatangkan memicu adanya usulan untuk membangun penggilingan gandum di Indonesia. Yang menjadi orang pilihan Soeharto untuk melaksanakan tugas tersebut adalah cukong utamanya, Liem Sioe Liong (Sudono Salim) dalam wadah Bogasari Flour Mills. Lebih istimewanya lagi, Liem mendapatkan hak sebagai penggiling gandum utama di Indonesia selama bertahun-tahun secara monopolistik. Sebagai "hadiah", 26% keuntungan Bogasari diberikan kepada dua yayasan Soeharto dan 10% sahamnya dikuasai sepupunya, Sudwikatmono.[34][35] Cerita tidak berhenti sampai di situ. Upaya pemerintah untuk mendorong penggunaan olahan terigu, lagi-lagi melibatkan Liem. Pada mulanya sebelum dikenal dengan Indofood-nya, pemerintah Orde Baru meminta Salim memproduksi mi untuk keperluan ransum tentara dan pegawai negeri, yang belakangan dipasarkan ke publik dengan merek Sarimi. Dengan bantuan kekuatan monopoli terigunya, Salim berhasil menguasai dua merek lain, Indomie dan Supermi pada pertengahan 1980-an sehingga menjadi pemain dominan.[39] Maka pada akhirnya, dengan kekuatan finansial Grup Salim dan dukungan rezim yang berkuasa, mi instan tumbuh sebagai pengganti berbagai makanan pokok, termasuk beras.[35] Pada saat yang sama dengan merajalelanya mi instan, keuntungan besar didapat oleh Soeharto dan kroninya, Liem.[40][34] Pasca jatuhnya Orde Baru pun, Indofood (Salim) sebagai pemain lama tetaplah tidak tergoyahkan mengingat struktur pasar yang oligopolistik.[36]
Aspek penting lain yang dapat dimaknai dari maraknya konsumsi mi instan adalah kegagalan pemerintah Orde Baru mendorong diversifikasi pangan. Banyak yang menilai, berbeda dengan Orde Lama yang berusaha mengembangkan berbagai alternatif makanan pokok, pemerintah Soeharto cenderung mentitikberatkan penyeragaman pangan, dengan hanya mendorong beras sebagai bahan pokok utama dan produk olahan gandum sebagai substitusinya. Gandum dianggap sebagai "penyelamat" cepat jika pemerintah gagal mengatasi krisis pangan yang ada, yang dalam hal ini adalah memacu produksi beras. Padahal sebenarnya Indonesia memiliki keanekaragaman pangan yang kaya, dengan adanya hasil bumi seperti sagu, umbi-umbian dan biji-bijian yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat alternatif.[41][42][43]
Keberadaan mi instan sebagai bahan pangan utama masyarakat sebenarnya sungguh ironis. Tidak seperti bangsa-bangsa Asia Timur, Indonesia tidak memiliki tradisi yang kuat dalam konsumsi mi. Lebih parahnya lagi, gandum sebagai bahan dasar mi tidak mampu dibudidayakan secara masif di Indonesia.[40] Akibatnya, Indonesia muncul sebagai salah satu negara pengimpor gandum terbesar di dunia. Dari hanya 450.000 ton pada 1970, memasuki 1990-an impor gandum menjadi 3 juta ton, dan di tahun 2016 naik pesat menjadi 8,5 juta ton.[36] Di tahun 2021 angkanya sudah mencapai 11,2 juta ton (senilai US$ 2,9 miliar atau Rp 42 triliun).[44][45] Hal ini terjadi seiring konsumsi mi instan Indonesia yang semakin meningkat (berada dalam posisi kedua dunia),[44] dan tercatat sebagai salah satu pengekspor mi instan terbesar.[40] Pada saat yang sama dengan tren naiknya impor gandum sejak 2010-an, angka produksi beras sebagai makanan pokok utama mengalami stagnasi.[45] Diperkirakan, jika tren ini terus berlanjut, di tahun 2050 50% kebutuhan pokok Indonesia akan berasal dari gandum dan olahannya.[42]
Ketergantungan impor gandum (dan konsumsi mi instan) tidaklah berdampak positif. Seperti misalnya ketika Perang Rusia-Ukraina mencuat sejak awal 2022, kebutuhan gandum Indonesia yang salah satunya disuplai dari kedua negara, mendapat ancaman yang dapat mendorong kenaikan harga mi di dalam negeri.[33][44] Sayangnya, upaya untuk mengatasi masalah ini, seperti rencana substitusi gandum dengan produk pangan lain (sorgum, mocaf, dll), atau upaya mengembangkan gandum yang bisa ditanam di Indonesia,[46] sejauh ini cenderung hanya menjadi wacana. Selain itu, harga mi instan yang lebih murah daripada nasi,[35] juga membuat beberapa kelompok masyarakat bawah, seperti petani dan buruh, dirugikan mengingat harga beras yang bisa ditekan dengan harga mi.[40] Mi instan juga bukanlah produk pangan yang ideal untuk menciptakan masyarakat yang sehat mengingat nutrisinya yang rendah.[37]
Pada saat yang bersamaan, tidak bisa dipungkiri mi instan telah menjadi produk pangan tidak terpisahkan pada masyarakat Indonesia. Mi instan telah memicu berbagai usaha, entah kecil atau besar, dimana ribuan orang menggantungkan hidupnya baik dari memproduksi, memasarkan, hingga menyajikan olahannya. Selain itu, mi instan telah dianggap banyak kalangan sebagai simbol nasional, seperti contohnya merek Indomie. Ketika orang-orang asing dan public figure menyebutkan bahwa Indomie adalah kesukaannya, banyak orang-orang Indonesia yang ikut bangga karenanya.[37] Ekspor mi instan, selain mendatangkan devisa (US$ 271,3 juta pada 2020),[47] juga seringkali dimanfaatkan sebagai langkah gastrodiplomasi, seperti lewat promosi Indomie di berbagai negara.[48][49]
Beberapa pemain-pemain dalam industri mi instan di Indonesia, seperti:
Selain mi instan lokal seperti di atas, juga beredar di pasaran produk mi impor yang harganya umumnya lebih mahal, seperti Nongshim dan Samyang. Dalam perkembangannya, tidak hanya produk mi instan, di pasaran juga berkembang bihun instan, yang dipelopori oleh Indomie pada akhir 1980-an.[73] Kini, terdapat beberapa produsen bihun instan, seperti FKS Food (Bihunku), Kuala Pangan (Super Bihun), dan Sungai Budi Sari (Rose Brand). Ada juga misoa instan yang baru-baru ini muncul di pasaran walaupun masih terbatas. Adapun pemain lama yang sudah tidak memproduksi mi instan lagi, seperti:
Dibandingkan produk pangan lain, mi instan umumnya memiliki harga yang ekonomis, sehingga dapat dinikmati di segala waktu. Rasanya yang banyak digemari dan mudahnya didapatkan produk ini membuat masyarakat sulit lepas dari mi instan. Sebagai salah satu contoh dalam budaya populer adalah keterkaitan mi instan sebagai "makanan anak kost".[91] Tidak hanya itu, kepraktisan dalam penyajiannya, penerimaan yang luas dari segala kalangan dan mudahnya pendistribusian membuat mi instan menjadi andalan warga Indonesia saat terjadi tragedi bencana alam untuk mengatasi masalah keterbatasan dan kelangkaan bahan pangan di lokasi dengan segera.[92]
Akan tetapi, mi instan juga memiliki beberapa kekurangan. Seperti produk ini sering dianggap makanan kurang sehat, atau bahkan junk food.[93] Hal ini karena mi instan hanya tinggi di karbohidrat, lemak dan garam, namun rendah dalam protein, serat pangan ditambah vitamin dan mineral.[94][95][96] Akibat dari banyaknya kandungan bahan tersebut, mi instan dapat dianggap sebagai salah satu penyebab kegemukan dan masalah kardiometabolik, seperti menurut sebuah penelitian di Korea Selatan.[97] Untuk menepis klaim kurang sehat tersebut, beberapa produsen biasanya menambahkan bahan-bahan tertentu. Misalnya, Indomie disebut memiliki kandungan gizi seperti protein, niasin, asam folat, mineral zat besi, natrium, dan berbagai vitamin seperti vitamin A, B1, B6, dan B12.
Di satu sisi, posisi mi instan sebagai makanan industri (processed food) juga seringkali membuat produk ini dipenuhi rumor miring yang tidak jelas kebenarannya. Isu tersebut seperti klaim bahwa mi instan bisa menyebabkan usus buntu, usus "lengket",[98] atau mengandung "lapisan lilin" dalam air rebusannya.[99] Beberapa kabar angin yang beredar juga menekankan bahaya pengawet (seperti TBHQ), penyedap monosodium glutamat, hingga hoax tentang "lemak babi" dalam mi instan. Rumor-rumor tersebut seringkali sampai membuat lembaga pemerintah (seperti BPOM) turun tangan untuk mengklarifikasi keamanan makanan ini.[92]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.