Loading AI tools
Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Sudwikatmono (28 Desember 1934 – 8 Januari 2011 ) adalah pengusaha Indonesia. Sudwikatmono merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan M Ng. Rawi Prawirodihardjo dan Sugiem yang merupakan paman dan bibi dari Presiden Soeharto.[1]
Sudwikatmono | |
---|---|
Informasi pribadi | |
Lahir | Wuryantoro, Wonogiri, Hindia Belanda | 28 Desember 1934
Meninggal | 8 Januari 2011 76) Rumah Sakit Mount Elizabeth, Jalan Orchard, Wilayah Tengah, Singapura | (umur
Kebangsaan | Indonesia |
Suami/istri | Sri Sulastri |
Anak | Martina Sudwikatmono Miana Sudwikatmono Tri Hanurita Sudwikatmono Agus Lasmono Sudwikatmono |
Orang tua | Rawi Prawirodihardjo dan Sugiem |
Sunting kotak info • L • B |
Semasa hidupnya, Ia merupakan Komisaris Utama di beberapa perusahaan, seperti PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk., PT Indofood Sukses Makmur Tbk., PT Bogasari Flour Mills, dan PT Indika Entertainment.[2] Ia menikah dengan Sulastri, dan dikaruniai anak bernama Martina, Miana, Tri Hanurita, dan Agus Lasmono. Sudwikatmono meninggal di Singapura setelah menjalani perawatan selama tiga bulan di Rumah Sakit Mount Elizabeth.[3]
Pria yang akrab dipanggil Pak Dwi ini memiliki hubungan erat dengan Presiden Soeharto sebagai seorang sepupu. Sepupu itu terjadi karena ayah Soeharto, Kertosudiro memiliki saudara wanita yang menikahi ayah Dwi, Rawi Prawirodiharjo. Setelah Kertosudiro bercerai, Soeharto kemudian dititipkan pada istri ayah Dwi, Sugiem - bibinya sendiri - dan mereka ditempatkan dalam rumah yang sama.
Sejak kecil, Dwi sudah hidup bersama calon orang nomor 1 di Indonesia itu, bahkan sampai mengira Soeharto adalah saudaranya sendiri karena orangtuanya berkata bahwa Soeharto adalah anaknya. Namun, Dwi tidak terlalu dekat dengan Soeharto karena kepribadian Soeharto yang cenderung pendiam dan kaku serta perbedaan usia mereka yang cukup jauh. Tumbuh besar, Dwi hampir saja masuk ke Universitas Gadjah Mada Yogyakarta untuk belajar ekonomi, tetapi ia tidak memiliki dana memadai.
Pada tahun 1958 Dwi pindah ke Jakarta hanya dengan modal Rp 50. Setiba di Jakarta Dwi mendapat pekerjaan di salah satu kantor ALRI. Lalu, Dwi pada 1960 pindah ke PN Jaya Bhakti yang bergerak di bidang perdagangan dan ekspor-impor, dan Dwi ditempatkan dalam posisi yang menangani bisnis tersebut. Di tengah pergolakan politik pada 1960-an, Soeharto yang pada saat itu menjadi Pangkostrad berusaha memberitahu berbagai informasi kepada Dwi agar ia bisa berhati-hati.
Pada tahun 1967, Dwi dipertemukan oleh Soeharto dengan seorang pengusaha rekannya, Liem Sioe Liong (Sudono Salim). Soeharto menyatakan ia ingin Dwi membantu bisnis teman lamanya itu karena pada saat itu Liem belum menjadi WNI. Liem sebenarnya sudah dihubungkan dengan seorang saudara Pak Harto lain bernama Ibnu Widojo, tetapi Liem merasa keduanya tidak cocok sehingga menghentikan kerjasama mereka. Dalam itulah, Dwi mengawali karirnya di dunia bisnis. Petualangannya di dunia bisnis pertama kali adalah, selain diminta bekerjasama dengan Liem dengan gaji Rp 1 juta/bulan, Dwi juga diberi 10% saham PT Hanurata yang dimiliki oleh sejumlah yayasan di bawah Soeharto. Dwi dimaksudkan sebagai penghubung Liem (dan kemudian kelompok bisnisnya) dengan pemerintah, dan juga kemudian ia berperan sebagai pengatur konflik di bisnis Liem. Bersama Ibrahim Risjad dan Djuhar Sutanto, terciptalah kongsi keempatnya yang diberi nama Gang of Four pada 1968. Bisnis pertama mereka adalah CV Waringin Kentjana, dimana Dwi mendapat 5% saham di sini. CV (kemudian menjadi PT) Waringin kemudian mendirikan beberapa usaha, seperti Bogasari dan Indocement.[4] Dwi kemudian menjadi eksekutif di sejumlah perusahaan PT Waringin (selanjutnya menjadi Salim Group), hingga akhir 1990-an.
Seiring waktu, pada 1970-an Dwi juga merintis bisnisnya sendiri. Dwi sendiri awalnya banyak didekati karena koneksinya dengan presiden (pada saat itu, anak-anak Soeharto masih belum matang untuk berbisnis). Misalnya, pada tahun 1982 Ia diberi kontrak di Sumatera Utara untuk membangun pabrik petrokimia. Selain itu, pada dekade 1970-an Dwi juga sempat mendirikan perusahaan dengan nama PT. Wijaya Kusuma di Kalimantan yang bergerak dalam pengolahan kayu.[5] Namun, bisnis Dwi yang utama ada pada dua grup: Subentra dan Dwi Golden Graha.
Subentra pertama kali didirikan pada 1981 dengan Benny Suherman Putra, diambil dari nama keduanya (Sudwikatmono-Benny Suherman Putra) yang belakangan lebih dikenal sebagai pendiri jaringan bioskop Cineplex 21 Group. Bisnis Subentra sendiri beranak-pinak dengan cepat di berbagai bidang seperti kimia dengan Asahimas Subentra Chemical (dengan Rodamas) dan PT Subentra Multi Petrokimia Indonesia,[6][7] keuangan dengan Bank Subentra, PT Altamitra Subentra, PT Armada Subentra, PT Multindo Finance, PT Pakersa Sejati dan PT Arkasa Pacific Leasing (kemudian menjadi Subentra Finance) dan di properti membangun Blok M Plaza secara patungan dengan Pakuwon Jati.[8]
Namun, bisnis Subentra yang terutama adalah dalam bidang perfilman. Sebenarnya, yang memulai bisnis film adalah Benny dengan impor film Mandarinnya (umumnya film Hong Kong) dibawah PT Suptan Film. Kemudian, kongsi ini diperluas dengan Subentra memiliki 5 perusahaan pengimpor film di daerah: PT Ciptamas Subentra Film, PT Dwi Subentra, PT Jabar Subentra dan PT Kharisma Subentra. Perlahan-lahan, Subentra bisa menguasai bisnis film karena setelah sebelumnya mendominasi impor film Mandarin, kemudian anak usaha Subentra lain, PT Subentra Nusantara justru menguasai peredaran film India,[9] dan pada 1991 Subentra juga mendapat hak eksklusif impor film Barat (dari AS). Ditambah dengan adanya Asosiasi Importir Film yang banyak dikendalikan oleh Subentra, akibatnya hampir seluruh impor film dikendalikan oleh Subentra sehingga banyak bioskop independen tutup.[10]
Pada 21 Agustus 1987, dibawah PT. Subentra Nusantara, Subentra meluncurkan bioskop modern bernama Cinema 21, yang sering dipanggil Cineplex (dibaca sinepleks). Angka 21 diambil dari angka keramat bagi masyarakat Jawa (ada juga yang mengatakan diambil dari nomor jalan MH Thamrin di lokasi Studio 21 pertama dibangun, tetapi ada juga yang mengatakan merupakan akronim dari Su-Dwi-kat-Mono),[11] dan perusahaan ini kemudian menjadi salah satu pengelola bioskop terbesar Indonesia (bahkan sampai sekarang).[10] Di daerah-daerah lain, perusahaan-perusahaan anak Subentra lainnya, seperti PT Batam Subentra, PT Sanggar Subentra, PT Pasundan Subentra, dan PT Nusantara Indah Subentra-lah yang mengelola bisnis dengan brand 21.[12] Bisnis film ini diperkuat misalnya dengan pendirian PT Subentra Studio Film yang memproses film[13] dan perusahaan importir lain bernama PT Camila Internusa Film, PT Satrya Perkasa Esthetika Film dan PT Nusantara Sejahtera Raya. Praktis, dengan perusahaan dari hulu ke hilir yang banyak tersebut, perusahaan perfilman Subentra (kemudian dikenal dengan nama 21 Group) berhasil memonopoli perfilman di Indonesia secara vertikal.[14][15] Oleh karena itu, Sudwikatmono kemudian dikenal sebagai "raja sinepleks" nasional.
Sementara itu, PT Dwi Golden Graha didirikan pada September 1984 dan memiliki struktur bisnis, kepemilikan dan manajemen yang berbeda dengan Subentra Grup [16]. Diperkirakan pada 1994 Dwi Golden, yang merupakan patungan Dwi dengan Bambang Sutrisno memiliki 40 perusahaan.[17] Bisnis Dwi di sini terutama adalah supermarket dan ritel dengan nama Golden Truly yang cukup populer pada dekade 1980-1990an, bank bernama Bank Surya (sejak 1987), PT Golden Dragon yang berperan dalam manufaktur sabun dan beberapa perusahaan lainnya seperti dalam bidang properti.[18][19] Selain itu, Dwi juga memiliki banyak usaha lain yang tidak tergabung dalam dua induk, misalnya tambang batu bara di Bengkulu,[20] saham di SCTV (penyiaran), Tri Polyta Indonesia (petrokimia), Tasik Madu Group (perkapalan), Djajanti (kehutanan), Grup Astenia (kimia), dan masih banyak lagi. Dwi juga memegang banyak posisi penting di berbagai perusahaan dan memiliki saham mayoritas maupun minoritas di perusahaan-perusahaan lain.[4][21][22]
Pasca krisis ekonomi 1997-1998, berbagai kerajaan bisnis Sudwikatmono itu goyang diterjang hutang yang besar. Bank Surya dan Subentra miliknya ditutup pada 1998, dan pada 1999 Dwi terjerat hutang ke BPPN senilai Rp 1,84 T.[23][24] Dalam krisis itu, Dwi juga terlibat persengketaan dengan partnernya, seperti dengan Henry Pribadi dan Bambang Sutrisno. Khusus Bambang, bahkan Dwi menyatakan bahwa ialah yang merusak kerjasama bisnis mereka, terutama Bank Surya (sialnya, justru Bambang kabur ke Singapura dan kini tak tentu rimbanya).[25][26] Dwi pun juga mendapat masalah karena ia mulai disingkirkan atau mengundurkan diri dari banyak posisi. Untuk mengatasi permasalahan utang, Dwi kemudian menyerahkan banyak asetnya ke BPPN, dan melakukan restrukturisasi dengan menutup banyak usahanya yang tidak menguntungkan, atau juga menjual sahamnya kepada pihak lain. Ini termasuk bisnis utamanya di bidang perfilman dan bioskop yang dilepas pada bekas partnernya di Subentra, Benny Suherman pada 1999.[11] Pada 2004, BPPN menyatakan bahwa Dwi sudah berhasil melunasi hutangnya.[27] Sejak krisis itu, Dwi tidak pernah terlalu terlihat lagi mengelola bisnis secara langsung, atau memiliki kerajaan bisnis seperti dulu. Bisa dikatakan, kemudian anak-anaknyalah yang mengelola bisnisnya dan membangun bisnisnya masing-masing, yaitu:
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.