Loading AI tools
perkataan dan perbuatan dari Muhammad Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Hadis atau Hadits[lower-alpha 2] (bahasa Arab: حديث, translit. ḥadīth) atau Atsar (bahasa Arab: أثر, ʾAṯar, terj. har. 'sisa' atau 'akibat' atau 'memengaruhi')[4] adalah suatu bentuk tradisi lisan Islam yang berisi kata-kata, tindakan, dan persetujuan diam-diam dari nabi Islam Muhammad. Setiap hadis dikaitkan dengan rantai perawi (silsilah orang yang dilaporkan mendengar dan mengulangi hadis tersebut, yang darinya sumber hadis tersebut rupanya dapat ditelusuri). Kompilasi hadis dikumpulkan oleh para cendekiawan Islam pada abad-abad setelah kematian Muhammad. Hadits dihormati secara luas dalam pemikiran Muslim arus utama dan merupakan inti dari Hukum Islam.
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Artikel ini menggunakan kata-kata yang berlebihan dan hiperbolis tanpa memberikan informasi yang jelas. |
Bagian dari seri |
Hadis |
---|
Portal Islam • Kategori |
Ḥadīts adalah kata Arab untuk hal-hal seperti laporan atau laporan (suatu peristiwa).[3][5][6] Bagi banyak orang, kewibawaan hadis merupakan sumber bimbingan agama dan moral yang dikenal sebagai Sunnah, yang menempati urutan kedua setelah Al-Qur'an[7] (yang diyakini umat Islam sebagai firman Tuhan yang diwahyukan kepada Muhammad). Meskipun jumlah ayat yang berkaitan dengan hukum dalam Al-Qur'an relatif sedikit, hadis dianggap oleh banyak orang memberikan arahan dalam segala hal mulai dari rincian kewajiban agama (seperti Ghusl atau Wudu[8] untuk salat), pada bentuk salam yang benar[9] dan pentingnya kebajikan terhadap budak.[10] Jadi bagi banyak orang, "sebagian besar" peraturan syariah berasal dari hadis, bukan Al-Qur'an.[11][Catatan 1] Di kalangan ulama Islam Sunni istilah hadis tidak hanya mencakup kata-kata, nasehat, amalan, dan lain-lain dari Muhammad, namun juga sahabatnya.[13][14] Dalam Islam Syiah, hadits adalah perwujudan sunnah, perkataan dan tindakan Muhammad dan keluarganya, Ahlulbait (Dua Belas Imam dan putri Muhammad, Fatimah az-Zahra).[15]
Berbeda dengan Al-Qur'an, tidak semua umat Islam percaya bahwa kisah-kisah hadis (atau setidaknya tidak semua kisah hadis) adalah wahyu ilahi. Kumpulan hadis yang berbeda akan membedakan berbagai cabang agama Islam.[16] Beberapa Muslim percaya bahwa bimbingan Islam harus didasarkan hanya pada Al-Qur'an, sehingga menolak otoritas hadis; beberapa orang lebih lanjut mengklaim bahwa sebagian besar hadis adalah rekayasa (pseudepigrapha) yang dibuat pada abad ke-8 dan ke-9 M, dan secara keliru dikaitkan dengan Muhammad.[17][18] Secara historis, beberapa sekte Khawarij juga menolak hadis, sementara Mu'tazilah menolak hadis sebagai dasar hukum Islam, sekaligus menerima Sunnah dan Ijma.[19][20]
Karena beberapa hadis mengandung pernyataan-pernyataan yang meragukan dan bahkan bertentangan, maka pembuktian hadis menjadi bidang studi utama dalam Islam.[21] Dalam bentuk klasiknya, sebuah hadis terdiri dari dua bagian—rantai perawi yang menyampaikan laporan (isnad), dan teks utama laporan (matn).[22][23][24][25][26] Hadits individu diklasifikasikan oleh ulama dan ahli hukum Muslim ke dalam kategori seperti sahih ("otentik"), hasan ("baik"), atau da'if ("lemah").[27] Namun, kelompok yang berbeda dan ulama yang berbeda mungkin mengklasifikasikan sebuah hadis secara berbeda. Secara historis, beberapa hadis yang dianggap tidak dapat diandalkan masih digunakan oleh para ahli hukum Sunni untuk bidang hukum non-inti.[28]
Para sarjana Barat umumnya skeptis terhadap nilai hadits dalam memahami sejarah Muhammad yang sebenarnya, bahkan hadis yang dianggap sahih oleh para sarjana Muslim, karena pencatatan pertama mereka berabad-abad setelah kehidupan Muhammad dan tidak dapat diverifikasinya rantai hadis yang diklaim penyebarannya, dan meluasnya penciptaan hadis-hadis palsu. Para sarjana Barat malah melihat hadis lebih berharga untuk mencatat perkembangan teologi Islam di kemudian hari.[29]
Hadis secara harfiah berarti "berbicara", "perkataan" atau "percakapan". Dalam terminologi Islam istilah hadis berarti melaporkan, mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad.
Menurut istilah ulama ahli hadis,[siapa?] hadis yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya (bahasa Arab: تقرير, translit. taqrīr), sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi (bahasa Arab: بعثة) dan terkadang juga sebelumnya, sehingga arti hadis di sini semakna dengan sunnah.
Kata hadis yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan Sunnah, maka pada saat ini bisa berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad ﷺ yang dijadikan ketetapan ataupun hukum.[26] Kata hadis itu sendiri adalah bukan kata infinitif,[30] maka kata tersebut adalah kata benda.[31]
Secara struktur hadis terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi).
Sanad ialah rantai penutur/rawi (periwayat) hadis. Rawi adalah masing-masing orang yang menyampaikan hadis tersebut (dalam contoh di atas: Bukhari, Musaddad, Yahya, Syu'bah, Qatadah dan Anas). Awal sanad ialah orang yang mencatat hadis tersebut dalam bukunya (kitab hadis); orang ini disebut mudawwin atau mukharrij. Sanad merupakan rangkaian seluruh penutur itu mulai dari mudawwin hingga mencapai Rasulullah. Sanad memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad hadis bersangkutan adalah
Sebuah hadis dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/rawi yang bervariasi dalam lapisan sanadnya; lapisan dalam sanad disebut dengan thabaqah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thabaqah sanad akan menentukan derajat hadis tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadis.
Jadi yang perlu dicermati dalam memahami hadis terkait dengan sanadnya ialah:
Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam. Hal ini diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadis-hadis nabawi.
Dalam buku terjemahan bahasa indonesia sering dijumpai singkatan HR yang merupakan kepanjangan dari Hadis Riwayat. Sehingga HR. Bukhari bermakna hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
Matan ialah redaksi dari hadis, dari contoh sebelumnya maka matan hadis bersangkutan ialah:
Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadis ialah:
Hadis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni bermulanya ujung sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (rawi) serta tingkat keaslian hadis (dapat diterima atau tidaknya hadis bersangkutan).
Berdasarkan klasifikasi ini hadis dibagi menjadi 3 golongan yakni ’Marfu (terangkat), mauquf (terhenti) dan maqthu’(terputus):
Keaslian hadis yang terbagi atas golongan ini sangat bergantung pada beberapa faktor lain seperti keadaan rantai sanad maupun penuturnya. Namun klasifikasi ini tetap sangat penting mengingat klasifikasi ini membedakan ucapan dan tindakan Rasulullah ﷺ dari ucapan para sahabat maupun tabi'in di mana hal ini sangat membantu dalam area perkembangan dalam fikih (Suhaib Hasan, Science of Hadis).
Berdasarkan klasifikasi ini hadis terbagi menjadi beberapa golongan yakni Musnad, Mursal, Munqathi’, Mu’allaq, Mu’dlal dan Mudallas. Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari penutur di atasnya.
Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadis tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadis dibagi atas hadis mutawatir dan hadis ahad.
Kategorisasi tingkat keaslian hadis adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadis tersebut. Tingkatan hadis pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih, hasan, dla'if dan maudhu'.
Adapun beberapa jenis hadis lainnya yang tidak disebutkan dari klasifikasi di atas antara lain:
Sejarah perkembangan hadis merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadis dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi. Dengan memerhatikan masa yang telah dilalui hadis sejak masa timbulnya/lahirnya di zaman Nabi ﷺ. meneliti dan membina hadis, serta segala hal yang memengaruhi hadis tersebut. Para ulama Muhaditsin membagi sejarah hadis dalam beberapa periode. Adapun para ulama penulis sejarah hadis berbeda-beda dalam membagi periode sejarah hadis. Ada yang membagi dalam tiga periode, lima periode, dan tujuh periode.[29]
M. Hasbi Asy-Shidieqy membagi perkembangan hadis menjadi tujuh periode, sejak periode Nabi ﷺ hingga sekarang, yaitu sebagai berikut.
Periode ini disebut 'Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin' (masa turunnya wahyu) dan pembentukan masyarakat Islam). Pada periode inilah, hadis Iahir berupa sabda (aqteal), af'al, dan taqrir Nabi yang berfungsi menerangkan Al-Quran untuk menegakkan syariat Islam dan membentuk masyarakat Islam. Para sahabat menerima hadis secara langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara langsung misalnya saat Nabi ﷺ. memberi ceramah, pengajian, khotbah, atau penjelasan terhadap pertanyaan para sahabat. Adapun penerimaan secara tidak langsung adalah mendengar dari sahabat yang lain atau dari utusan-utusan, baik dari utusan yang dikirim oleh Nabi ke daerah-daerah atau utusan daerah yang datang kepada Nabi. Pada masa Nabi ﷺ, kepandaian baca tulis di kalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan baca tulis di kalangan sahabat masih kurang, Nabi menekankan untuk menghapal, memahami, memelihara, mematerikan, dan memantapkan hadis dalam amalan sehari-hari, serta mentabligkannya kepada orang lain.[29]
Tidak ditulisnya hadis secara resmi pada masa Nabi bukan berarti tidak ada sahabat yang menulis hadis. Dalam sejaah pcnulisan hadis terdapat nama-nama sahabat yang menulis hadis, di antaranya:
Di samping itu, ketika Nabi ﷺ menyelenggarakan dakwah dan pembinaan umat, beliau sering mengirimkan surat-surat seruan pemberitahuan, antara lain kepada para pejabat di daerah dan surat tentang seruan dakwah Islamiah kepada para raja dan kabilah, baik di timur, utara, dan barat. Surat-surat tersebut merupakan koleksi hadis juga. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa pada masa Nabi ﷺ telah dilakukan penulisan hadis di kalangan sahabat.
Periode ini disebut 'Ashr-At-Tatsabbut wa Al-lqlal min AlRizvaya/ı (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi ﷺ wafat pada tahun 1 1 H. Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Quran dan hadis (As-Sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat. Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma, periwayatan hadis tersebar secara terbatas. Penulisan hadis pun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan, pada masa itu, Umar melarang para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadis, dan sebaliknya, Umar menekankan agar para sahabat mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan Al-Quran.[29]
Dalam praktiknya, ada dua sahabat yang meriwayatkan hadis, yakni:
Periode ini disebut 'Ashr Intisyar al-Riwayah ila Al-Amshar (masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadis). Pada masa ini, daerah Islam sudah meluas, yakni ke negeri Syatn, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spanyol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke daerahdaerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu hadis.
Para sahabat kecil dan tabiin yang ingin mengetahui hadis-hadis Nabi ﷺ diharuskan berangkat ke seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah untuk menanyakan hadis kepada sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar di wilayah tersebut. Dengan demikian, pada masa ini, di samping tersebarnya periwayatan hadis ke pelosokpelosok daerah Jazirah Arab, perlawatan untuk mencari hadis pun menjadi ramai.[29]
Karena meningkatnya periwayatan hadis, muncullah bendaharawan dan lembaga-lembaga (Centrum Perkembangan) hadis di berbagai daerah di seluruh negeri. Di antara bendaharawan hadis yang banyak menerima, menghapal, dan mengembangkan atau meriwayatkan hadis adalah:
Adapun lembaga-lembaga hadis yang menjadi pusat bagi usaha penggalian, pendidikan, dan pengembangan hadis terdapat di:[29]
Pada periode ketiga ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali radhiyallahu ‘anhu. Pada masa ini, umat Islam mulai terpecah-pecah menjadi beberapa golongan: Pertama, golongan 'Ali Ibn Abi Thalib, yang kemudian dinamakan golongan Syi'ah. Kedua, golongan khawarij, yang menentang 'Ali, dan golongan Mu'awiyah, dan ketiga, golongan jumhur (golongan pemerintah pada masa itu). Terpecahnya umat Islam tersebut, memacu orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mendatangkan keterangan-keterangan yang berasal dari Rasulullah ﷺ untuk mendukung golongan mereka. Oleh sebab itulah, mereka membuat hadis palsu dan menyebarkannya kepada masyarakat.[29]
Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah tva Al- Tadwin (masa penulisan dan pembukuan). Maksudnya, penulisan dan pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah. Adapun kalau secara perseorangan, sebelum abad Il H hadis sudah banyak ditulis, baik pada masa tabiin, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi ﷺ. Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad ke-2 H, yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Azis tahun 101 H. Sebagai khalifah, Umar Ibn Aziz sadar bahwa para perawi yang menghimpun hadis dalam hapalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak membukukan dan mengumpulkan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, ada kemungkinan hadis-hadis tersebut akan lenyap dari permukaan burni bersamaan dengan kepergian para penghapalnya ke alam barzakh.[29]
Untuk mewujudkan maksud tersebut, pada tahun 100 H, Khalifah meminta kepada Gubernur Madinah, Abu Bakr Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazmin (120 H) yang menjadi guru Ma'mar Al-Laits, AlAuza'i, Malik, Ibnu Ishaq, dan Ibnu Abi Dzi'bin untuk membukukan hadis Rasul yang terdapat pada penghapal wanita yang terkenal, yaitu Amrah binti Abdir Rahman Ibn Sa'ad Ibn Zurarah Ibn 'Ades, seorang ahli fiqh, murid 'Aisyah r.a. (20 H/642 M - 98 H/716 M atau 106 H/ 724 M), dan hadis-hadis yang ada pada Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Ash-Shiddieq (107 H/725 M), seorang pemuka tabiin dan salah seorang fuqaha Madinah yang tujuh.[29]
Di samping itu, Umar mengirimkan surat-surat kepada gubernur yang ada di bawah kekuasaannya untuk membukukan hadis yang ada pada ulama yang tinggal di wilayah mereka masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan hadis atas kemauan Khalifah adalah Abu Bakr Muhammad Ibn Muslim ibn Ubaidillah Ibn Syihab AzZuhri, seorang tabiin yang ahli dalam urusan fiqh dan hadis. 16 Beliau adalah guru Malik, Al-Auza'i, Ma'mar, Al-Laits, Ibnu Ishaq, dan Ibnu Abi Dzi'bin. Mereka inilah ulama yang mula-mula membukukan hadis atas anjuran Khalifah.[29]
Kitab hadis yang ditulis oleh Ibnu Hazm, yang merupakan kitab hadis pertama yang ditulis atas perintah kepala negara, tidak sampai kepada kita, dan kitab itu tidak membukukan seluruh hadis yang ada di Madinah. Pembukuan seluruh hadis yang ada di Madinah dilakukan oleh Imam Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab Az-Zuhri, yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama hadis pada masanya. Setelah itu, para ulama besar berlomba-lomba membukukan hadis atas anjuran Abu 'Abbas As-Saffah dan anak-anaknya dari khalifah-khalifah 'Abbasiyah. Akan tetapi, tak dapat diketahui lagi siapakah ulama yang mula-mula membukukan hadis sesudah AzZuhri karena ulama-ulama yang datang sesudah Az-Zuhri seluruhnya hidup pada satu zaman.[29]
Sekalipun demikian, yang dapat ditegaskan sejarah sebagai pengumpul hadis adalah:[29]
Semua ulama yang membukukan hadis ini terdiri dari ahli-ahli pada abad kedua Hijriah.
Kitab Az-Zuhri dan Ibnu Juraij itu tidak diketahui rimbanya sekarang. Adapun kitab yang paling tua yang ada di tangan umat Islam dewasa ini adalah Al-Muwaththa' susunan Imam Malik. Kitab ini disusun atas permintaan Khalifah Al-Mansur ketika ia menunaikan ibadah haji pada tahun 144 H (141 H). Kemudian, Ibnu Ishaq menyusun kitab Al-Maghazi wa As-Siyar (Hadis-hadis mengenai sirah Rasul ﷺ ). Kitab Al-Maghazi ini adalah dasar pokok bagi kitab-kitab sirah Nabi. Para ulama abad kedua membukukan hadis tanpa menyaringnya, yakni mereka tidak hanya membukukan hadis-hadis saja, tetapi fatwafatwa sahabat pun dimasukkan ke dalam bukunya. Oleh karena itu, dalam kitab-kitab itu terdapat hadis-hadis marfu', hadis-hadis mauquf, dan hadis-hadis pnaqthu'. Kitab hadis seperti itu dan mudah kita dapatkan qdalah Al-Muwaththa, susunan Imam Malik.[29]
Kitab-kitab hadis yang telah dibukukan dan dikumpulkan dalam abad kedua ini, jumlahnya cukup banyak. Akan tetapi, yang masyhur di kalangan ahli hadis adalah:
Keadaan seperti ini menyebabkan sebagian ulama mempelajari keadaan rawi-rawi hadis dan dalam masa ini telah banyak rawi-rawi yang lemah. Pada periode ini muncul tokoh-tokoh Jarh wa Ta'dil, di antaranya adalah Syu'bah Ibn Al-Hajjaj (160 H), Ma'mar, Hisyam Ad-Dastaway (154 H), Al-Auza'i (156 H), Sufyan Ats-Tsauri (161 H), dan masih banyak tokoh lainnya. Tokoh-tokoh yang masyhur pada abad kedua hijriah adalah Malik, Yahya ibn Sa'id Al-Qaththan, Waki Ibn AI-Jarrah, Sufyan AtsTsauri, Ibnu Uyainah, Syu'bah Ibnu Hajjaj, Abdul Ar-Rahman ibn Mahdi, Al-Auza'i, Al-Laits, Abu Hanifah, dan Asy-Syafi'i.[29]
Hadis qudsi ialah hadis yang berisi perkataan Rasulullah ﷺ mengenai firman Allah yang diwahyukan secara langsung. Makna hadis ini berasal dari Allah, akan tetapi—berbeda dengan Alquran--, kata-katanya adalah kata-kata Rasulullah. Hadis qudsi ini, sebagian, kemudian disampaikan kepada sahabat-sahabat Rasul yang tertentu. Karenanya, tingkat kesahihan hadis qudsi ini serupa dengan hadis yang lain-lain, dan diukur dengan cara yang serupa pula di atas.[32]
Ada dua bentuk periwayatan hadis qudsi. Periwayatan yang pertama; Nabi Muhammad SAW bersabda, "Seperti yang diriwayatkannya dari Allah Azza wa Jalla.". Contohnya: Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahih-nya dari Abu Dzar Radliyallahu Anhu dari Nabi seperti yang diriwayatkan dari Allah, bahwasanya Allah berfirman,[33]
"Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan perbuatan zhalim pada diri-Ku dan Aku haramkan pula untuk kalian, maka janganlah saling menganiaya d iantara kalian."[33]
Kemudian periwayatan yang kedua; Nabi Muhammad SAW bersabda, "Allah berfirman...". Contohnya diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,[33]
"Allah Ta'ala berfirman, 'Aku selalu dalam persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku bersamanya bila dia mengingat-Ku. Maka jika dia mengingat-Ku niscaya Aku akan mengingatnya'".[33]
Ada tiga hal yang membedakan antara Al-Qur'an dengan Hadis Qudsi, yaitu:[33]
Sementara itu perbedaan antara Hadis Qudsi dengan Hadis Nabawi ialah, Hadis Nabawi disandarkan langsung kepada Nabi Muhammad SAW dan disampaikan secara lisan oleh beliau. Sedangkan Hadis Qudsi disandarkan kepada Allah SWT kemudian Nabi Muhammad SAW menyampaikan dan meriwayatkannya dari Allah, oleh karena itu dikaitkan dengan sebutan qudsi.[34]
Secara kuantitas, Hadis Qudsi jumlahnya lebih sedikit. Buku-buku yang membahas tentang Hadis Qudsi antara lain; Al-Ittifahat As-Sunniyyah Bil Ahadits Al-Qudsiyyah, karya Abdur Rauf Al-Munawi (1031 H). Buku tersebut berisi 272 Hadis Qudsi.[33]
Ahli-ahli hadis yang mengumpulkan, mendaftar, menyeleksi dan menuliskan hadis-hadis dalam suatu kitab hadis dikenal sebagai mudawwin atau mukharrij.
Syi'ah hanya memercayai hadis yang diriwayatkan oleh keturunan Muhammad ﷺ, melalui Fatimah az-Zahra, atau oleh pemeluk Islam awal yang memihak Ali bin Abi Thalib. Syi'ah tidak menggunakan hadis yang berasal dari atau diriwayatkan oleh orang-orang yang diklaim memusuhi Ali, seperti Aisyah, yang melawan Ali pada Perang Jamal. Beberapa sekte Syi'ah sebagian besar menggunakan:
Kebanyakan hadis-hadis tersebut meriwayatkan perkataan Ja'far ash-Shadiq dengan pentahrifan sanad. Kitab-kitab hadis Syiah tidak beredar secara umum di Indonesia.
Berdasarkan siapa yang meriwayatkan, terdapat beberapa istilah yang dijumpai pada ilmu hadis antara lain:
Hadis sebagai kitab berisi berita tentang sabda, perbuatan dan sikap Nabi Muhammad sebagai Rasul. Berita tersebut didapat dari para sahabat pada saat bergaul dengan Nabi. Berita itu selanjutnya disampaikan kepada sahabat lain yang tidak mengetahui berita itu, atau disampaikan kepada murid-muridnya dan diteruskan kepada murid-murid berikutnya lagi hingga sampai kepada pembuku hadis. Itulah pembentukan hadis.
Masa pembentukan hadis tiada lain masa kerasulan Nabi Muhammad itu sendiri, ialah lebih kurang 23 tahun. Pada masa ini hadis belum ditulis, dan hanya berada dalam benak atau hafalan para sahabat saja. perode ini disebut al wahyu wa at takwin. Pada saat ini Nabi Muhammad sempat melarang penulisan hadis agar tidak tercampur dengan periwayatan Al Qur'an, tetapi setelah beberapa waktu, Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassallam membolehkan penulisan hadis dari beberapa orang sahabat yang mulia, seperti Abdullah bin Mas'ud, Abu Bakar, Umar, Abu Hurairah, Zaid bin Tsabit, dllnya. Periode ini dimulai sejak Muhammad diangkat sebagai nabi dan rasul hingga wafatnya (610M-632 M)
Masa ini adalah masa pada sahabat besar dan tabi'in, dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 11 H atau 632 M. Pada masa ini hadis belum ditulis ataupun dibukukan, kecuali yang dilakukan oleh beberapa sahabat seperti Abu Hurairah, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Abdullah bin Mas'ud, dllnya. Seiring dengan perkembangan dakwah, mulailah bermunculan persoalan baru umat Islam yang mendorong para sahabat saling bertukar hadis dan menggali dari sumber-sumber utamanya.
Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi'in yang mulai menolak menerima hadis baru, seiring terjadinya tragedi perebutan kedudukan kekhalifahan yang bergeser ke bidang syari'at dan 'aqidah dengan munculnya hadis palsu. Para sahabat dan tabi'in ini sangat mengenal betul pihak-pihak yang melibatkan diri dan yang terlibat dalam permusuhan tersebut, sehingga jika ada hadis baru yang belum pernah dimiliki sebelumnya diteliti secermat-cermatnya siapa-siapa yang menjadi sumber dan pembawa hadis itu. Maka pada masa pemerintahan Khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz sekaligus sebagai salah seorang tabi'in memerintahkan penghimpunan hadis. Masa ini terjadi pada abad 2 H, dan hadis yang terhimpun belum dipisahkan mana yang merupakan hadis marfu' dan mana yang mauquf dan mana yang maqthu'.
Abad 3 H merupakan masa pendiwanan (pembukuan) dan penyusunan hadis. Guna menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami hadis sebagai prilaku Nabi Muhammad, maka para ulama mulai mengelompokkan hadis dan memisahkan kumpulan hadis yang termasuk marfu' (yang berisi perilaku Nabi Muhammad), mana yang mauquf (berisi prilaku sahabat) dan mana yang maqthu' (berisi prilaku tabi'in). Usaha pembukuan hadis pada masa ini selain telah dikelompokkan (sebagaimana dimaksud di atas) juga dilakukan penelitian Sanad dan Rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud tash-hih (koreksi/verifikasi) atas hadis yang ada maupun yang dihafal. Selanjutnya pada abad 4 H, usaha pembukuan hadis terus dilanjutkan hingga dinyatakannya bahwa pada masa ini telah selesai melakukan pembinaan maghligai hadis. Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab hadis seperti menghimpun yang terserakan atau menghimpun untuk memudahkan mempelajarinya dengan sumber utamanya kitab-kitab hadis abad ke-4 Hijriyah.
Berdasarkan masa penghimpunan hadis
Beberapa kitab yang terkenal:
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.