Mandi besar atau mandi wajib (bahasa Arab: الغسل, translit. al-ghusl) adalah mandi atau menuangkan air ke seluruh badan dengan tata cara tertentu untuk menghilangkan hadats besar. Hal itu adalah pengertian dalam syariat Islam. Arti al-gusl secara etimologi adalah menuangkan air pada sesuatu.
Informasi lebih lanjut Fikih, Syahadat ...
Tutup
Seluruh imam mazhab menyepakati bahwa hukum mandi wajib adalah wajib setelah laki-laki dan perempuan bersetubuh hingga kedua kelaminnya saling bersentuhan. Kewajiban ini berlaku meskipun air mani tidak keluar. Sedangkan menurut Abu Dawud, mandi wajib hanya diwajibkan ketika air mani keluar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh beberapa Sahabat Nabi.
Wanita muslimah juga harus menyucikan diri dengan melakukan mandi wajib apabila dia telah selesai dari masa haid.[2]
Penerapan hukum mandi wajib menurut Mazhab Syafi'i, Mazhab Maliki dan Mazhab Hambali adalah sama untuk alat kelamin manusia maupun alat kelamin hewan. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa kewajiban mandi wajib gugur ketika menyetubuhi binatang kecuali air mani keluar.
Mazhab Syafi'i mewajibkan mandi wajib meskipun air mani keluar tanpa adanya kenikmatan. Mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa mandi wajib tetap wajib meskipun tidak ada kenikmatan saat air mani keluar. Ketika seseorang selesai mandi wajib dan keluar air mani saat kencing, maka mandi wajib tidak lagi diwajibkan menurut Mazhab Hanafi dan Mazhab Hambali. Namun, mandi wajib diwajikan jika air mani keluar sebelum kencing. Pada kondisi ini, Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa mandi wajib hukumnya mutlak untuk dikerjakan. Sedangkan Mazhab Maliki berpendapat bahwa pada kondisi demikian, tidak diwajibkan sama sekali untuk mandi wajib.
Sebagai pembeda mandi biasa dengan mandi wajib perbedaannya terletak pada niatnya.[3]
Untuk melakukan mandi janabah, maka ada beberapa hal yang harus dikerjakan karena merupakan rukun (pokok), di antaranya adalah:
- Mengguyur air keseluruh badan;[4][5]
- Mengguyur kepala tiga kali, kemudian guyur bagian tubuh yang lain.[6][7]
Dengan seseorang memenuhi rukun mandi di atas, maka mandinya dianggap sudah sah, dengan disertai niat untuk mandi wajib (al ghuslu). Jika seseorang mandi di pancuran (shower) dan air mengenai seluruh tubuhnya, maka mandinya sudah dianggap sah.
Kemudian untuk berkumur-kumur (madhmadhoh), memasukkan air dalam hidung (istinsyaq) dan menggosok-gosok badan (ad dalk) adalah perkara yang disunnahkan menurut mayoritas ulama.[8]
Berikut adalah tata cara mandi yang disunnahkan, ketika seorang Muslim melakukannya, maka akan membuat mandi wajib tadi lebih sempurna. Yang menjadi dalil dari bahasan ini adalah dua dalil yaitu hadits dari ‘Aisyah dan hadits dari Maimunah.
- Mencuci tangan terlebih dahulu sebanyak tiga kali sebelum tangan tersebut dimasukkan dalam bejana atau sebelum mandi;[9][10][11]
- Membersihkan kemaluan dan kotoran yang ada dengan tangan kiri;[11]
- Mencuci tangan setelah membersihkan kemaluan dengan menggosokkan ke tanah atau dengan menggunakan sabun;[11][12]
- Berwudhu dengan wudhu yang sempurna seperti ketika hendak salat;[9][10][11][13]
- Mengguyur air pada kepala sebanyak tiga kali hingga sampai ke pangkal rambut;[9][10][11]
- Memulai mencuci kepala bagian kanan, lalu kepala bagian kiri;[14]
- Menyela-nyela rambut;[9][10]
- Mengguyur air pada seluruh badan dimulai dari sisi yang kanan setelah itu yang kiri.[9][10][11][15]
1. Jika mandi besar disebabkan junub Mimpi basah, keluar mani, sanggama maka niat mandi besarnya adalah
BISMILLAHI RAHMANI RAHIM NAWAITUL GHUSLA LIRAF’IL HADATSIL AKBAR MINAL JANABATI FARDLON LILLAHI TA’ALA
Artinya Dengan menyebut nama Allah Aku niat mandi untuk menghilangkan hadats besar dari jinabah, fardlu karena Allah Ta’ala[16]
2. Jika mandi besarnya disebabkan karena haid maka niat mandi besarnya adalah
BISMILLAHI RAHMANI RAHIM NAWAITUL GHUSLA LIRAF’IL HADATSIL AKBAR MINAL HAIDI FARDLON LILLAHI TA’ALA
Artinya Dengan menyebut nama Allah Aku niat mandi untuk menghilangkan hadats besar dari haidl, fardlu karena Allah Ta’ala
3 Jika mandi besarnya disebabab karena nifas, maka niyat mandi besarnya adalah
BISMILLAHI RAHMANI RAHIM NAWAITU GHUSLA LIRAF’IL HADATSIL AKBAR MINAN NIFASI FARDLON LILLAHI TA’ALA
Artinya Dengan menyebut nama Allah Aku niat mandi untuk menghilangkan hadats besar dari nifas, fardlu karena Allah Ta’ala
Pelaksanaan mandi besar disunnahkan diawali dengan membaca bacaan basmalah. Sebelum mandi besar dilakukan, tubuh terlebih dahulu dibersihkan dari najis dan semua kotoran yang menempel pada bagian badan. Mandi besar dilakukan setelag melakukan wudu dan doa setelah wudu. Mandi besar disunnahkan dilakukan dengan menghadap ke arah kiblat. Bagian tubuh yang disiram lebih dahulu ialah bagian kanan kemudian baru bagian kiri. Setiap siraman air pada satu bagian tubuh dilakukan sebanyak 3 kali.[16]
Catatan kaki
Hadits dari ‘Umar bin Al Khattab', Nabi Muhammad SAW bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.” (Hadits riwayat Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907).
‘Aisyah menceritakan tata cara mandi nabi ﷺ,
ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جَسَدِهِ كُلِّهِ
“Kemudian dia mengguyur air pada seluruh badannya.” (Hadits riwayat An Nasa-i no. 247. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Penguatan makna dalam hadits ini menunjukkan bahwa ketika mandi dia mengguyur air ke seluruh tubuh.” Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 1/361, Darul Ma’rifah, 1379.
Dari Jubair bin Muth’im berkata, “Kami saling memperbincangkan tentang mandi janabah di sisi nabi ﷺ, lalu dia bersabda,
أَمَّا أَنَا فَآخُذُ مِلْءَ كَفِّى ثَلاَثاً فَأَصُبُّ عَلَى رَأْسِى ثُمَّ أُفِيضُهُ بَعْدُ عَلَى سَائِرِ جَسَدِى
“Saya mengambil dua telapak tangan, tiga kali lalu saya siramkan pada kepalaku, kemudian saya tuangkan setelahnya pada semua tubuhku.” (Hadits riwayat Ahmad 4/81. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari Muslim).
Diriwayatkan oleh Ummu Salamah. Ia mengatakan,
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِى فَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ قَالَ « لاَ إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِى عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِينَ ».
“Saya berkata, wahai rasulullah, saya seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku, apakah saya harus membuka kepangku ketika mandi junub?” Dia bersabda, “Jangan (kamu buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah yang lainnya dengan air, maka kamu telah suci.” (Hadits riwayat Muslim no. 330).
Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/173-174 dan 1/177-178, Al Maktabah At Taufiqiyah.
Dari ‘Aisyah, isteri nabi ﷺ, bahwa jika nabi mandi junub, dia memulainya dengan mencuci kedua telapak tangannya. Kemudian dia berwudhu sebagaimana wudhu untuk salat. Lalu dia memasukkan jari-jarinya ke dalam air, lalu menggosokkannya ke kulit kepalanya, kemudian menyiramkan air ke atas kepalanya dengan cidukan kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, kemudian dia mengalirkan air ke seluruh kulitnya.” (Hadits riwayat Bukhari no. 248 dan Muslim no. 316).
Dalam hadits ‘Aisyah disebutkan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ غَسَلَ يَدَيْهِ ، وَتَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ اغْتَسَلَ ، ثُمَّ يُخَلِّلُ بِيَدِهِ شَعَرَهُ ، حَتَّى إِذَا ظَنَّ أَنْ قَدْ أَرْوَى بَشَرَتَهُ ، أَفَاضَ عَلَيْهِ الْمَاءَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ
“Jika rasulullah ﷺ mandi junub, dia mencuci tangannya dan berwudhu sebagaimana wudhu untuk salat. Kemudian dia mandi dengan menggosok-gosokkan tangannya ke rambut kepalanya hingga bila telah yakin merata mengenai dasar kulit kepalanya, dia mengguyurkan air ke atasnya tiga kali. Lalu dia membasuh badan lainnya.” (Hadits riwayat Bukhari no. 272).
Dari Ibnu ‘Abbas berkata bahwa Maimunah mengatakan, “Aku pernah menyediakan air mandi untuk rasulullah ﷺ. Lalu dia menuangkan air pada kedua tangannya dan mencuci keduanya dua kali-dua kali atau tiga kali. Lalu dengan tangan kanannya dia menuangkan air pada telapak tangan kirinya, kemudian dia mencuci kemaluannya. Setelah itu dia menggosokkan tangannya ke tanah. Kemudian dia berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung. Lalu dia membasuh muka dan kedua tangannya. Kemudian dia membasuh kepalanya tiga kali dan mengguyur seluruh badannya. Setelah itu dia bergeser dari posisi semula lalu mencuci kedua telapak kakinya (di tempat yang berbeda).” (Hadits riwayat Bukhari no. 265 dan Muslim no. 317).
An Nawawi mengatakan, “Disunnahkan bagi orang yang beristinja’ (membersihkan kotoran) dengan air, ketika selesai, hendaklah ia mencuci tangannya dengan debu atau semacam sabun, atau hendaklah ia menggosokkan tangannya ke tanah atau tembok untuk menghilangkan kotoran yang ada.” Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 3/231, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi, 1392.
Asy Syaukani mengatakan, “Adapun mendahulukan mencuci anggota wudhu ketika mandi itu tidaklah wajib. Cukup dengan seseorang mengguyur badan ke seluruh badan tanpa didahului dengan berwudhu, maka itu sudah disebut mandi (al ghuslu).” Ad Daroril Mudhiyah Syarh Ad Duroril Bahiyyah, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, hal. 61, Darul ‘Aqidah, terbitan tahun 1425 H.
‘Aisyah mengatakan,
كُنَّا إِذَا أَصَابَتْ إِحْدَانَا جَنَابَةٌ ، أَخَذَتْ بِيَدَيْهَا ثَلاَثًا فَوْقَ رَأْسِهَا ، ثُمَّ تَأْخُذُ بِيَدِهَا عَلَى شِقِّهَا الأَيْمَنِ ، وَبِيَدِهَا الأُخْرَى عَلَى شِقِّهَا الأَيْسَرِ
“Jika salah seorang dari kami mengalami junub, maka ia mengambil air dengan kedua tangannya dan disiramkan ke atas kepala, lalu mengambil air dengan tangannya dan disiramkan ke bagian tubuh sebelah kanan, lalu kembali mengambil air dengan tangannya yang lain dan menyiramkannya ke bagian tubuh sebelah kiri.” (Hadits riwayat Bukhari no. 277).
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِى تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِى شَأْنِهِ كُلِّهِ
“Nabi ﷺ biasa mendahulukan yang kanan ketika memakai sendal, ketika bersisir, ketika bersuci dan dalam setiap perkara (yang baik-baik).” (Hadits riwayat Bukhari no. 168 dan Muslim no. 268).
Daftar pustaka
- Ad-Dimasyqi, Muhammad bin 'Abdurrahman (2017). Fiqih Empat Mazhab. Bandung: Hasyimi. ISBN 978-602-97157-3-6.