Loading AI tools
Sebuah tipe kapal layar besar Jawa Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Djong (juga disebut jong, jung atau junk) adalah jenis kapal layar kuno yang berasal dari Jawa, dan digunakan secara umum oleh pelaut Jawa dan Sunda; dan pada abad-abad setelahnya, juga oleh pelaut Pegu (suku Mon) dan Melayu. Namanya dari dulu hingga sekarang dieja sebagai "jong" dalam bahasa asalnya,[1][2] ejaan "djong" sebenarnya adalah romanisasi kolonial Belanda.[3] Djong digunakan terutama sebagai kapal penumpang dan kapal kargo, dapat mencapai Samudra Atlantik pada zaman kuno. Bobot muatan rata-rata adalah 40 sampai 2000 ton mati,[catatan 1] dengan bobot mati rata-rata sebesar 1200–1400 ton pada zaman Majapahit. Kerajaan Jawa seperti Majapahit, Kesultanan Demak, dan Kesultanan Kalinyamat menggunakan kapal jenis ini digunakan sebagai kapal perang, tetapi masih dominan sebagai kapal angkut.[4][5][6] Kesultanan Mataram biasanya menggunakan jong sebagai kapal dagang bukan kapal perang.[7]
Untuk armada perang mereka, orang Melayu lebih suka menggunakan kapal-kapal panjang dengan sarat air dangkal, berdayung, yang mirip dengan galai; contohnya lancaran, penjajap, dan kelulus.[catatan 2] Hal ini sangat berbeda dengan orang Jawa yang lebih menyukai kapal-kapal bundar dengan sarat air yang dalam dan dapat mencapai jarak jauh seperti jong dan malangbang. Alasan perbedaan ini adalah karena orang Melayu mengoperasikan kapal mereka di perairan sungai, zona selat terlindung, dan lingkungan kepulauan, sedangkan orang Jawa sering aktif di laut lepas dan berombak tinggi. Setelah pertemuan dengan orang Iberia, baik armada perang orang Jawa maupun Melayu mulai lebih banyak menggunakan ghurab dan ghali.[5][10]
Terdapat pandangan berbeda tentang apakah asal namanya itu dari dialek Cina, atau dari kata bahasa Jawa. Kata jong, jung atau junk dapat berasal dari kata Cina chuán (船, berarti perahu atau kapal).[11][12][13] Namun, Paul Pelliot dan Waruno Mahdi menolak asal Cina untuk nama itu.[14][15] Yang lebih mendekati adalah "jong" (ditransliterasikan sebagai joṅ) dalam bahasa Jawa Kuno yang artinya kapal.[16] Catatan pertama jong dalam bahasa Jawa Kuno berasal dari sebuah prasasti di Bali yang berasal dari abad ke-11 M.[17] Kata ini masuk bahasa Melayu dan bahasa Cina pada abad ke-15, ketika daftar catatan kata-kata Cina mengidentifikasikannya sebagai kata Melayu untuk kapal,[18] dengan demikian secara praktis menolak asal kata Cina untuk nama itu.[19] Undang-Undang Laut Melaka, peraturan maritim yang disusun oleh pemilik kapal Jawa di Melaka pada akhir abad ke-15,[20] sering menggunakan kata jong untuk menyebut kapal pengangkut barang.[18] Tulisan-tulisan Eropa dari tahun 1345 hingga 1609 menggunakan berbagai istilah terkait, termasuk jonque (Prancis), ioncque, ionct, giunchi, zonchi (Italia), iuncque, joanga, juanga (Spanyol), junco (Portugis), dan ionco, djonk, jonk (Belanda).[21][22][18]
Asal kata "junk" dalam bahasa Inggris, dapat ditelusuri ke kata Portugis "junco", yang diterjemahkan dari kata Arab j-n-k (جنك). Kata ini berasal dari fakta bahwa aksara Arab tidak dapat mewakili digraf "ng".[15] Kata itu dulunya digunakan untuk menunjukkan baik kapal Jawa / Melayu (jong) dan kapal Cina (chuán), meskipun keduanya merupakan kapal yang sangat berbeda. Setelah hilangnya jong pada abad ke-17, makna kata "junk" (dan kata-kata serupa lainnya dalam bahasa Eropa), yang sampai saat itu digunakan sebagai transkripsi kata "jong" dalam bahasa Jawa dan Melayu, berubah artinya menjadi hanya merujuk kapal Cina saja.[15][23]
Teknologi perkapalan Cina mempunyai sejarah yang lama sejak Dinasti Han (220 SM–200 M), tetapi pada saat ini masih berupa kapal-kapal pengarung sungai, bukan pengarung samudra.[24] Untuk mengarungi samudra, orang Cina pada waktu itu justru lebih suka menumpang kapal-kapal negeri K'un-lun, yang merujuk pada Indonesia,[25][26] atau lebih spesifiknya Jawa atau Sumatra.[27][26] Orang-orang Nusantara biasanya menyebut kapal Cina yang besar sebagai "wangkang", sedangkan yang kecil sebagai "top".[28] Ada juga sebutan dalam bahasa Melayu "cunea", "cunia", dan "cunya" yang berasal dari dialek Amoy Cina 船仔 (tsûn-á), yang merujuk pada kapal Cina sepanjang 10–20 m.[29][30]
Kata "djong" sendiri adalah penulisan Belanda untuk jong, karena huruf j ditulis sebagai "dj",[3] sedangkan pada penulisan di Indonesia digunakan kata jong.[5]
Kepulauan Nusantara dikenal untuk produksi jung-jung besar. Tatkala pelaut Portugis mencapai perairan Asia Tenggara pada awal tahun 1500-an mereka menemukan kawasan ini didominasi kapal-kapal Jung Jawa. Kapal dagang milik orang Jawa ini menguasai jalur rempah rempah yang sangat vital, antara Maluku, Jawa, dan Malaka. Kota pelabuhan Malaka pada waktu itu praktis menjadi kota orang Jawa. Di sana banyak saudagar dan nakhoda kapal Jawa yang menetap, dan sekaligus mengendalikan perdagangan internasional. Banyak tukang-tukang kayu Jawa yang terampil membangun galangan kapal di kota pelabuhan terbesar di Asia Tenggara itu.[18] Bukti kepiawaian orang Jawa dalam bidang perkapalan juga ditemukan pada relief Candi Borobudur yang memvisualkan perahu bercadik—belakangan disebut sebagai "Kapal Borobudur".[26]
Untuk melintasi samudra, orang-orang Austronesia menciptakan layar lug yang seimbang (atau yang biasa disebut layar tanja), mungkin dikembangkan dari versi tiang tetap dari layar cakar kepiting.[31] Sistem layar jung yang biasa digunakan di kapal Tiongkok sepertinya dikembangkan dari layar tanja.[32]
Selama era Majapahit, hampir semua komoditas dari Asia ditemukan di Jawa.[5] Ini dikarenakan perdagangan laut ekstensif yang dilakukan oleh kerajaan Majapahit yang menggunakan berbagai jenis kapal, terutamanya jong, untuk berdagang ke tempat-tempat yang jauh.[5] Ma Huan (penerjemah Cheng Ho) yang mengunjungi Jawa pada 1413, menyatakan bahwa pelabuhan di Jawa memperdagangkan barang dan menawarkan layanan yang lebih banyak dan lebih lengkap daripada pelabuhan lain di Asia Tenggara.[5] Juga pada era Majapahit penjelajahan orang-orang Nusantara mencapai prestasi terbesarnya. Ludovico di Varthema (1470–1517), dalam bukunya Itinerario de Ludouico de Varthema Bolognese menyatakan bahwa orang Jawa selatan berlayar ke "negeri jauh di selatan" hingga mereka tiba di sebuah pulau di mana siang harinya hanya berlangsung selama empat jam dan "lebih dingin daripada di bagian dunia mana pun". Penelitian modern telah menentukan bahwa tempat tersebut terletak setidaknya 900 mil laut (1666 km) selatan dari titik paling selatan Tasmania.[33]
Orang Austronesia menggunakan sistem navigasi yang mantap: Orientasi di laut dilakukan menggunakan berbagai tanda alam yang berbeda-beda, dan dengan memakai suatu teknik perbintangan sangat khas yang dinamakan star path navigation. Pada dasarnya, para navigator menentukan haluan kapal ke pulau-pulau yang dikenali dengan menggunakan posisi terbitnya dan terbenamnya bintang-bintang tertentu di atas cakrawala.[34] Pada zaman Majapahit, kompas dan magnet telah digunakan, selain itu kartografi (ilmu pemetaan) telah berkembang. Pada tahun 1293 Raden Wijaya memberikan sebuah peta dan catatan sensus penduduk pada pasukan Mongol dinasti Yuan, menunjukkan bahwa pembuatan peta telah menjadi bagian formal dari urusan pemerintahan di Jawa.[35] Penggunaan peta yang penuh garis-garis memanjang dan melintang, garis rhumb, dan garis rute langsung yang dilalui kapal dicatat oleh orang Eropa, sampai-sampai orang Portugis menilai peta Jawa merupakan peta terbaik pada awal tahun 1500-an.[5][33][36][37]
Ketika Afonso de Albuquerque menaklukkan Malaka (1511), orang Portugis mendapatkan sebuah peta dari seorang mualim Jawa, yang juga menampilkan bagian dari benua Amerika. Mengenai peta itu, Albuquerque berkata:[38][39]
... peta besar seorang mualim Jawa, yang berisi Tanjung Harapan, Portugal dan tanah Brazil, Laut Merah dan Laut Persia, Kepulauan Cengkih, navigasi orang Cina dan Gore, dengan garis rhumb dan rute langsung yang bisa ditempuh oleh kapal, dan dataran gigir (hinterland), dan bagaimana kerajaan berbatasan satu sama lain. Bagiku, Tuan, ini adalah hal terbaik yang pernah saya lihat, dan Yang Mulia akan sangat senang melihatnya memiliki nama-nama dalam tulisan Jawa, tetapi saya punya seorang Jawa yang bisa membaca dan menulis, saya mengirimkan karya ini kepada Yang Mulia, yang ditelusuri Francisco Rodrigues dari yang lain, di mana Yang Mulia dapat benar-benar melihat di mana orang Cina dan Gore (Jepang) datang, dan tentu saja kapal Anda harus pergi ke Kepulauan Cengkih, dan di mana tambang emas ada, dan pulau Jawa dan Banda, asal pala dan fuli pala, dan tanah raja Siam, dan juga akhir dari navigasi orang Cina, arah yang dilaluinya, dan bagaimana mereka tidak bernavigasi lebih jauh.
— Surat Albuquerque untuk raja Manuel I dari Portugal, 1 April 1512.
Sebuah catatan Portugis menggambarkan bagaimana orang Jawa sudah memiliki keterampilan pelayaran tingkat lanjut dan pernah berkomunikasi dengan Madagaskar pada tahun 1645:[40][41][18][42]
Orang Jawa adalah orang-orang yang sangat berpengalaman dalam seni navigasi, sampai mereka dianggap sebagai perintis seni paling kuno ini, walaupun banyak yang menunjukkan bahwa orang Cina lebih berhak atas penghargaan ini, dan menegaskan bahwa seni ini diteruskan dari mereka kepada orang Jawa. Tetapi yang pasti adalah orang Jawa dulunya berlayar ke Tanjung Harapan dan mengadakan hubungan dengan pulau São Lourenço (San Laurenzo — Madagaskar), dimana sekarang banyak dijumpai penduduk asli berkulit cokelat di pulau itu yang mirip orang Jawa yang mengatakan bahwa mereka adalah keturunan orang Jawa.
— Diogo do Couto, Decada Quarta da Asia
Penelitian pada tahun 2016 menunjukkan bahwa orang Malagasi memiliki hubungan genetik dengan berbagai kelompok etnis Nusantara, terutama dari Kalimantan bagian selatan.[43] Bagian-bagian dari bahasa Malagasi bersumber dari bahasa Ma'anyan dengan kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, dengan semua modifikasi linguistik lokal melalui bahasa Jawa atau Melayu.[44] Orang Ma'anyan dan Dayak bukanlah seorang pelaut dan merupakan penggarap sawah kering sedangkan sebagian orang Malagasi adalah petani sawah basah, sehingga kemungkinan besar mereka dibawa oleh orang Jawa dan Melayu dalam armada dagangnya, sebagai buruh atau budak.[45] Kegiatan perdagangan dan perbudakan Jawa di Afrika menyebabkan pengaruh yang kuat pada pembuatan perahu di Madagaskar dan pantai Afrika Timur. Hal ini ditunjukkan dengan adanya cadik dan oculi (hiasan mata) pada perahu-perahu Afrika.[46][25][26]
Duarte Barbosa melaporkan bahwa kapal-kapal dari Jawa, disebut junco, yang memiliki empat tiang, sangat berbeda dari kapal Portugis. Terbuat dari kayu yang sangat tebal, dan ketika kapal menjadi tua, mereka memperbaikinya dengan papan baru dan dengan cara ini mereka memiliki tiga hingga empat papan penutup, ditumpuk berlapis. Tali dan layar dibuat dari anyaman rotan.[15][47] Kapal jung Jawa dibuat menggunakan kayu jati sedangkan pada saat awal abad ke-16, jung Cina masih menggunakan kayu lunak sebagai bahan utamanya.[36] Lambung kapal Jawa dibentuk dengan menggabungkan papan ke lunas dan kemudian ke satu sama lain dengan pasak dan paku kayu, tanpa menggunakan baut atau paku besi. Rangka akan dibangun belakangan (konstruksi "kulit terlebih dahulu"). Papannya dilubangi oleh bor tangan dan dimasukkan dengan pasak, yang tetap berada di dalam papan-papan itu, tidak terlihat dari luar.[48][49][50] Kapal itu juga sama-sama lancip pada kedua ujungnya, dan membawa dua kemudi yang mirip dayung dan menggunakan layar tanja, tetapi ia juga dapat menggunakan layar jung,[51] jenis layar yang berasal dari Indonesia.[52] Di atas tiang ada top atau gávea (semacam tempat observasi), yang digunakan untuk pengamatan dan pertempuran.[53][54][55][56] Mereka sangat berbeda dari kapal Cina, yang lambungnya disambung oleh paku besi dan papannya disambung ke rangka dan ke sekat yang membagi ruang kargo. Kapal Cina memiliki kemudi tunggal di buritan, dan (kecuali di Fujian dan Guangdong) mereka memiliki bagian bawah yang rata tanpa lunas.[18]
Penggambaran historis juga menunjukan adanya bowsprit (tiang cucur) dan layar cucur, dan juga adanya stempost (linggi haluan) dan sternpost (linggi buritan).[57] Memanjang dari bagian depan sampai belakang terdapat struktur seperti rumah, dimana orang-orang terlindung dari panasnya matahari, hujan, dan embun. Di buritan terdapat sebuah kabin untuk nakhoda kapal.[3][57] Kabin ini berbentuk bujur sangkar dan menonjol ("menggantung") di atas buritan bawahnya yang tajam (linggi belakang), menggantung keluar di atas air seperti sebuah kakus petani.[7][58] Haluannya juga memiliki platform persegi yang menganjur di atas linggi depan, untuk tiang cucur dan perisai meriam yang menghadap ke depan (disebut apilan atau ampilan pada bahasa Melayu).[28][58] Sebuah jong dapat membawa hingga 100 berço (artileri yang diisi dari belakang—kemungkinan merujuk pada meriam cetbang lokal).[59][60] Seperti kapal Asia Tenggara lainnya, jong dikemudikan menggunakan 2 kemudi samping. Menurut bapa Nicolau Perreira, jong mempunyai 3 kemudi, satu di setiap sisi dan satu di tengah. Ini mungkin mengacu pada jong hibrida, dengan kemudi tengah seperti yang ada di kapal Cina (kemudi tengah menggantung) atau kemudi tengah Barat (kemudi pintle dan gudgeon). Kemungkinan lainnya ini adalah dayung panjang untuk membantu manuver di pelabuhan.[48][61] Sebuah jong memiliki rasio lebar terhadap panjang sebesar 1:3 sampai 1:4,[5] yang membuatnya masuk ke kategori "kapal bundar" (round ship).[6]
Barbosa juga melaporkan berbagai barang yang dibawa oleh kapal-kapal ini, yang meliputi beras, daging sapi, domba, babi, dan rusa, baik dikeringkan dan maupun diasinkan, juga banyak ayam, bawang putih, dan bawang. Senjata yang diperdagangkan termasuk tombak, belati, dan pedang, semuanya dengan logam berornamen dan baja yang sangat bagus. Juga dibawa dengan mereka kemukus dan pewarna kuning yang disebut cazumba (kasumba) dan emas yang diproduksi di Jawa. Barbosa menyebutkan tempat dan rute yang dikunjungi kapal-kapal ini, yang meliputi Maluku, Timor, Banda, Sumatra, Melaka, Cina, Tenasserim, Pegu, Benggala, Pulicat, Koromandel, Malabar, Cambay (Khambat), dan Aden. Dari catatan penulis lain, dapat diketahui bahwa ada juga yang pergi ke Maladewa, Calicut (Kozhikode), Oman, Aden, dan Laut Merah. Para penumpang membawa istri dan anak-anak mereka, bahkan sampai-sampai beberapa dari mereka tidak pernah meninggalkan kapal untuk pergi ke pantai, juga tidak memiliki tempat tinggal lain, karena mereka dilahirkan dan mati di kapal.[23][47] Dari catatan historis, diketahui bahwa kapal yang terbuat dari kayu jati dapat bertahan hingga 200 tahun.[62]
Ukuran dan konstruksi jung Jawa membutuhkan keahlian dan material yang belum tentu terdapat di banyak tempat, oleh karena itu jung Jawa raksasa hanya di produksi di 2 tempat di sekitar Jawa. Tempat itu adalah di pantai utara Jawa, di sekitar Cirebon dan Rembang–Demak (di selat Muria yang memisahkan gunung Muria dengan pulau Jawa), dan juga di pesisir selatan Kalimantan, terutama di Banjarmasin dan pulau-pulau sekitarnya; dibuat oleh orang Jawa.[57] Tempat ini sama-sama memiliki hutan jati, tetapi galangan kapal di Kalimantan tetap mendatangkan kayu jati dari Jawa, sedangkan Kalimantan sendiri menjadi pemasok kayu ulin.[3] Orang-orang Mon di Pegu (sekarang Bago) juga memproduksi jong dengan menggunakan kayu jati Burma.[20]
Meskipun pada abad ke-16 orang Melayu di Malaka memiliki jong, jong-jong itu tidak dibangun oleh orang Melayu atau oleh Kesultanan Malaka. Malaka hanya memproduksi kapal kecil, bukan kapal besar. Industri pembuatan kapal besar tidak ada di Malaka — industri mereka tidak mampu memproduksi kapal laut dalam; hanya perahu kecil, ringan, dan dapat berlayar cepat. Orang-orang Malaka membeli kapal besar (jong) dari daerah lain di Asia Tenggara, yakni dari Jawa dan Pegu, mereka tidak memproduksinya.[63][64][65][66]
Pada milenium pertama Masehi, dicatat kapal kolandiaphonta dalam Geography karya Claudius Ptolemaeus (sekitar tahun 150 M). Ia disebut oleh Cina sebagai K'un-lun po. Ciri-ciri kapal ini adalah berukuran besar (panjang lebih dari 50–60 m), memiliki papan berlapis, tidak bercadik, dipasang dengan banyak tiang dan layar, layar berupa layar tanja, dan memiliki teknik pengikat papan berupa ikatan dengan serat tumbuh-tumbuhan.[19][27][48][25][67]
Faxian (Fa Hsien) dalam perjalanan pulangnya ke Cina dari India (413–414) menaiki sebuah kapal yang berisi 200 penumpang dan pelaut dari K'un-lun yang menarik kapal yang lebih kecil. Topan menghantam dan memaksa sebagian penumpang untuk pindah ke kapal yang lebih kecil, akan tetapi awak kapal kecil takut kapalnya akan kelebihan muatan, dan melepas tali pengikat untuk berpisah dari kapal besar. Untungnya kapal besar tidak tenggelam dan menjadikan penumpangnya terdampar di Ye-po-ti (Yawadwipa—Jawa). Setelah 5 bulan, awak dan penumpangnya menaiki kapal lain yang sebanding dalam ukurannya untuk berlayar ke Cina.[68][69]
Perkapalan laut Cina tidak ada sampai akhir dinasti Song (kapal mereka hanya sebatas kapal sungai), kapal yang digunakan orang Cina untuk mengarungi samudra pada masa sebelum ini berasal dari negeri K'un-lun (Nusantara) dan India.[70] Kapal jung Cina selatan didasarkan pada kapal Nusantara berlapis papan banyak dan berlunas. Kapal jung Cina selatan menunjukkan ciri-ciri kapal Austronesia: Lambung berbentuk V dan berujung ganda (baik haluan dan buritan sama-sama lancip) dengan lunas, dan menggunakan kayu asal daerah tropis. Ini berbeda dengan kapal jung Cina bagian utara, yang dikembangkan dari perahu-perahu sungai berlambung datar.[24] Kapal-kapal Cina utara memiliki dasar lambung yang rata, tidak memiliki lunas, tanpa rangka (hanya sekat kedap air), buritan dan haluan berbentuk kotak/persegi, dibuat dari kayu pinus atau cemara, dan papannya diikat dengan paku besi atau penjepit.[19]
Pada 1178, petugas bea cukai Guangzhou Zhou Qufei, menulis dalam Lingwai Daida tentang kapal-kapal negeri selatan:
Kapal yang berlayar di laut selatan (laut Cina Selatan) dan selatannya lagi (samudra Hindia) seperti rumah raksasa. Ketika layarnya mengembang mereka seperti awan besar di langit. Kemudi mereka panjangnya mencapai puluhan kaki. Sebuah kapal dapat membawa beberapa ratus orang, dan bekal beras untuk setahun. Babi diberi makan di dalamnya dan wine[catatan 3] difermentasikan saat berlayar. Tidak ada laporan dari orang yang masih hidup atau sudah meninggal, bahwa mereka tidak akan kembali ke daratan saat mereka sudah berlayar ke lautan yang biru. Saat fajar, ketika gong berdentum di kapal, hewan-hewan dapat minum, kru dan penumpang sama-sama melupakan segala bahaya. Bagi siapapun yang naik semuanya tersembunyi dan hilang dalam angkasa, gunung-gunung, daratan-daratan, dan negeri-negeri asing. Pemilik kapal dapat berkata "Untuk mencapai negeri-negeri tersebut, dengan angin yang menguntungkan, dalam beberapa hari, kita pasti melihat gunung-gunung, dan kapal ini harus disetir ke arahnya". Tapi jika angin melambat, dan tidak cukup kuat untuk dapat melihat gunung dalam waktu yang ditentukan; pada kasus itu baringan mungkin harus diubah. Dan kapalnya bisa berjalan jauh melewati daratan dan kehilangan posisinya. Angin kuat mungkin muncul, kapalnya dapat terbawa kesana dan kemari, mungkin dapat bertemu dengan beting atau terdorong ke atas batu-batu tersembunyi, maka itu mungkin dapat merusak sampai ke atap rumah di atas deknya. Sebuah kapal besar dengan kargo berat tidak perlu takut akan lautan yang berombak, tetapi di air dangkal ia justru bersedih.[71]
Kata "jong" sendiri pertama kali tercatat dalam bahasa Jawa Kuno dari sebuah prasasti Bali dari abad ke-11 Masehi. Disebutkan dalam Prasasti Sembiran A IV (1065 M) bahwa para saudagar datang ke Manasa di Bali menggunakan jong dan bahitra. Catatan pertama jong dalam sastra berasal dari Kakawin Bhomantaka, tertanggal akhir abad ke-12 Masehi.[72][17]
Pada 1322 pendeta Odorik dari Pordenone melaporkan bahwa dalam perjalanannya dari India ke Cina ia menumpangi kapal dari tipe zuncum membawa sekitar 700 orang, baik pelaut maupun pedagang.[73][74]
Kidung Panji Wijayakrama-Rangga Lawe (disusun seawal tahun 1334 M)[75] menyebut jong bertingkat sembilan (jong sasangawangunan) pada saat peperangan dengan Mongol (1293 M). Ia tampak seperti gunung berapi karena dekorasi awan petirnya yang berkedip-kedip dan berkilauan, layarnya dicat warna merah. Ia membawa 1000 orang dengan perlengkapan gandiwa (busur), bedil, tameng, towok (lembing), kantar (perisai panjang), dan baju rantai.[76]
Kerajaan Majapahit menggunakan jong secara besar-besaran sebagai kekuatan lautnya. Tidak diketahui berapa tepatnya jumlah total jong yang digunakan oleh Majapahit, tetapi jumlah terbesar jong yang dikerahkan dalam sebuah ekspedisi adalah sekitar 400 jong yang disertai dengan malangbang dan kelulus yang tak terhitung banyaknya, yakni ketika Majapahit menyerang Pasai.[77] Ekspedisi militer terbesar kedua, invasi Singapura pada tahun 1398, Majapahit mengerahkan 300 jong dengan tidak kurang dari 200.000 orang (lebih dari 600 orang di setiap jong).[78][79][80] Menurut Pramoedya Ananta Toer, kapal Majapahit yang besar dapat membawa 800–1000 orang dan panjangnya mencapai 50 depa (sekitar 80–100 m).[81] Perhitungan modern berkesimpulan bahwa jong yang umum digunakan oleh Majapahit rata-ratanya dapat membawa 600–700 orang, berbobot mati 1200–1400 ton dan bobot benaman 3333–3889 ton, dengan panjang keseluruhan sekitar 76,18–79,81 m dan panjang dek 69,26–72,55 m. Yang terbesar, membawa 1000 orang, berbobot mati 2000 ton dan bobot benaman 5556 ton, dengan panjang keseluruhan sekitar 88,56 m dan panjang dek 80,51 m.[4] Sebuah jong Bali yang digunakan oleh Bujangga Manik untuk melakukan perjalanan dari Bali ke Blambangan memiliki lebar 8 depa (12,8–16 m) dan panjang 25 depa (40–50 m).[82][83] Di antara jong terkecil yang tercatat, yang digunakan oleh Chen Yanxiang untuk mengunjungi Korea, panjangnya 33 meter dengan perkiraan kapasitas 220 ton bobot mati, dengan awak 121 orang.[84]
Sebelum tragedi Bubat tahun 1357, raja Sunda dan keluarganya datang di Majapahit setelah berlayar di laut Jawa dalam armada dengan 200 kapal besar dan 2000 kapal yang lebih kecil.[85] Kapal yang dinaiki keluarga kerajaan adalah sebuah jong hibrida Cina-Asia tenggara bertingkat sembilan (Bahasa Jawa kuno: Jong sasanga wangunan ring Tatarnagari tiniru). Kapal hibrida ini mencampurkan teknik Cina dalam pembuatannya, yaitu menggunakan paku besi selain menggunakan pasak kayu dan juga pembuatan sekat kedap air (watertight bulkhead), dan penambahan kemudi sentral.[48][86] Ada singgungan di Nagarakretagama bahwa kapal dan perahu Majapahit dicat warna merah dan hitam.[87][88]
Buku karangan Wang Dayuan tahun 1349, Daoyi Zhilüe Guangzheng Xia ("Deskripsi Orang Barbar dari Kepulauan") menjelaskan "perahu kuda" di sebuah tempat bernama Gan-mai-li di Asia Tenggara. Kapal-kapal ini lebih besar dari kapal dagang biasa, dengan sisi lambungnya dibangun dari beberapa papan. Kapal-kapal ini tidak menggunakan paku besi atau mortir untuk menggabungkan mereka, sebaliknya mereka menggunakan serat kelapa. Mereka memiliki dua atau tiga dek, dengan "rumah" di atas dek teratas. Di bagian bawah mereka membawa kemenyan yang sudah ditekan, di atas itu mereka membawa beberapa ratus kuda. Wang menyebutkan secara khusus kapal-kapal ini karena lada, yang juga diangkut oleh mereka, dibawa ke tempat-tempat yang jauh dengan jumlah besar. Kapal dagang biasa biasanya hanya membawa kurang dari 1/10 dari kargo mereka.[89][90]
Biasanya, kapal utama menarik kapal "tender" (kapal yang lebih kecil) dibelakangnya untuk pendaratan. Data dari catatan Marco Polo memungkinkan untuk menghitung ukuran kapal-kapal ini, yang terbesar mungkin memiliki bobot burden 500–800 ton, hampir sama dengan kapal-kapal Tiongkok yang digunakan untuk berdagang pada abad ke-19. Kapal kecil itu sendiri mungkin bisa membawa sekitar 70 ton.[91] Marco Polo juga mencatat bahwa mereka mungkin memiliki 2 atau 3 dari kapal tender ini, dan mungkin memiliki sekitar 10 perahu kecil untuk membantu kapal utama, seperti untuk meletakkan jangkar, menangkap ikan, dan membawa perbekalan naik. Saat berlayar, perahu kecil digantung di sisi kapal.[92]
Niccolò da Conti dalam perjalanannya di Asia tahun 1419–1444, mendeskripsikan kapal yang jauh lebih besar dari kapal Eropa, yang mampu mencapai berat 2.000 ton,[catatan 4] dengan lima layar dan tiang. Bagian bawah dibangun dengan tiga lapis papan, untuk menahan kekuatan badai. Tetapi beberapa dari kapal tersebut dibangun dengan kompartemen, sehingga jika satu bagian hancur, bagian lainnya tetap utuh untuk menyelesaikan pelayaran.[93]
Fra Mauro dalam petanya menjelaskan bahwa sebuah jong berhasil mengitari Tanjung Harapan dan berlayar jauh ke samudra Atlantik, pada tahun 1420:
Sekitar tahun 1420 M sebuah kapal, yang disebut zoncho India, pada saat melewati samudra Hindia menuju "Pulau Pria dan Wanita", dialihkan melewati "Tanjung Diab" (Ditunjukan sebagai Tanjung Harapan di peta), melewati "Kepulauan hijau" ("isole uerde", Pulau Cabo Verde), ke "Lautan kegelapan" (samudra Atlantik) ke arah barat dan barat daya. Tidak ada apa pun kecuali udara dan air yang terlihat selama 40 hari dan menurut perhitungan mereka, mereka berlayar sejauh 2.000 mil sampai keberuntungan meninggalkan mereka. Ketika cuaca mereda mereka kembali ke "Tanjung Diab" dalam 70 hari dan mendekati pantai untuk memenuhi perbekalan mereka, para pelaut melihat telur burung yang disebut roc, yang telurnya sebesar amphora.
— Tulisan di peta Fra Mauro, 10-A13[94]
Pedagang Firenze, Giovanni da Empoli (1483–1517), salah satu agen Italia pertama yang bergabung dengan armada Portugis ke India pada 1503–1504,[95] mengatakan bahwa di tanah Jawa, jung tidak berbeda kekuatannya dibanding benteng, karena ia memiliki tiga dan empat lapis papan, satu di atas yang lain, yang tidak dapat dirusak dengan artileri. Mereka berlayar bersama dengan wanita, anak-anak, dan keluarga mereka, dan semua orang mendapat kamarnya sendiri.[96]
Saat melewati Pacem (Samudera Pasai), armada Portugis bertemu dengan dua buah jung, salah satu berasal dari Koromandel, yang segera ditangkap, dan yang lainnya dari Jawa yang beratnya sekitar 600 ton, dekat Polvoreira (kemungkinan Pulau Berhala, 160 mil dari Malaka, diantara Belawan, Medan dan Lumut, Perak). Jung itu membawa 300 orang "Moor" (Muslim) Jawa di atas kapal. Orang Portugis mengirim perahu-perahu kecil untuk mendekatinya, memerintahkannya untuk berhenti tetapi ia segera melepaskan tembakan ke armada, awaknya melemparkan tombak, panah, batu, pot bubuk mesiu, dan bahan yang mudah terbakar. Afonso de Albuquerque mendekatinya dengan seluruh armadanya. Armada Portugis mulai menembaki jung, tetapi peluru meriam mereka memantul pada lambung jung, kemudian jung itu berlayar menjauh. Kapal-kapal Portugis kemudian menembaki tiang-tiang jung yang menyebabkan mereka jatuh. Menjelang fajar, Flor de la Mar (kerakah Portugis tertinggi) berhasil mengejar dan menabrak jung tersebut, sambil menembakkan artileri yang menewaskan 40 awak jung. Jung itu begitu tinggi sehingga benteng belakang Flor de la Mar hampir tidak bisa mencapai jembatannya,[catatan 5] dan orang Portugis tidak berani menaikinya. Tembakan bombard mereka tidak merusaknya karena ia memiliki 4 lapis papan, sedangkan meriam terbesar Portugis hanya bisa menembus tidak lebih dari 2 lapis. Ketika orang Portugis mencoba untuk melemparkan kait dan menyerang dalam pertempuran jarak dekat, awak jung membakar jung mereka,[catatan 6] memaksa Portugis untuk mundur. Selama pelarian, awak jung berusaha memadamkan api dengan susah payah.[catatan 7] Setelah pertempuran selama dua hari dua malam, Albuquerque memutuskan untuk mematahkan kedua kemudi di sisi kapal, menyebabkan kapal itu menyerah. Begitu naik, Portugis menemukan pangeran Geinal (atau Zeinal), putra raja Pasai yang digulingkan oleh kerabatnya. Albuquerque berharap dia dapat dijadikan vasal untuk berdagang. Mereka juga sangat mengagumi jung dan awaknya dan menjulukinya O Bravo (Si Pemberani). Para awak Portugis memohon kepada Fernão Pires untuk membujuk Albuquerque supaya awak jung tersebut diampuni dan dipandang sebagai bawahan dari Portugal yang sama sekali tidak menyadari siapa yang sebenarnya mereka lawan. Albuquerque akhirnya menyetujui ini.[53][100][101][catatan 8]
Pada akhir 1512 sampai Januari 1513 Pati Unus dari Kesultanan Demak mencoba mengejutkan Malaka Portugis, membawa sekitar 100 kapal dengan 5.000 tentara Jawa dari Jepara dan Palembang. Sekitar 30 dari mereka adalah jung besar seberat 350–600 ton (pengecualian untuk kapal utama Pati Unus), sisanya adalah kapal jenis lancaran, penjajap, dan kelulus. Ekspedisi itu mungkin melibatkan sampai 12.000 orang. Kapal-kapal itu membawa banyak artileri yang dibuat di Jawa.[catatan 9][28] Meskipun dikalahkan, Pati Unus berlayar pulang dan mendamparkan jung perang berlapis bajanya sebagai monumen perjuangan melawan orang-orang yang disebutnya paling berani di dunia. Ini memenangkannya beberapa tahun kemudian dalam tahta Demak.[102][103] Dalam sebuah surat kepada Afonso de Albuquerque, dari Cannanore, 22 Februari 1513, Fernão Pires de Andrade, kapten armada yang menghalau Pati Unus, mengatakan:[36]
Jung milik Pati Unus adalah yang terbesar yang dilihat oleh orang-orang dari daerah ini. Ia membawa seribu orang tentara di kapal, dan Yang Mulia dapat mempercayaiku ... bahwa itu adalah hal yang sangat luar biasa untuk dilihat, karena Anunciada di dekatnya tidak terlihat seperti sebuah kapal sama sekali. Kami menyerangnya dengan bombard, tetapi bahkan tembakan yang terbesar tidak menembusnya di bawah garis air, dan (tembakan) esfera (meriam besar Portugis)[catatan 10] yang saya miliki di kapal saya berhasil masuk tetapi tidak tembus; kapal itu memiliki tiga lapisan logam, yang semuanya lebih dari satu cruzado tebalnya.[catatan 11] Dan kapal itu benar-benar sangat mengerikan bahkan tidak ada orang yang pernah melihat sejenisnya. Butuh waktu tiga tahun untuk membangunnya, Yang Mulia mungkin pernah mendengar cerita di Malaka tentang Pati Unus, yang membuat armada ini untuk menjadi raja Malaka.
— Fernão Pires de Andrade[106]
Fernão Lopes de Castanheda mencatat bahwa jung Pati Unus dibangun dengan 7 papan, yang disebut lapis dalam bahasa Jawa dan Melayu, diantara tiap papan diberi lapisan yang terdiri dari campuran aspal, kapur, dan minyak.[28][107] Pati Unus menggunakannya sebagai benteng terapung untuk memblokir area di sekitar Malaka.[86]
Orang Portugis mencatat bahwa kapal besar dan susah dikendalikan itu menjadi kelemahan. Orang Portugis berhasil menghalau serangan itu dengan kapal yang lebih kecil dan lincah, menggunakan taktik melompat naik (boarding) dan membakar jung.[28] Dengan begitu, armada Portugis bisa menghalau jung Jawa dari perairan Malaka. Takjub akan kepiawaian orang Jawa dalam membuat kapal seperti ini, Albuquerque mempekerjakan 60 tukang kayu dan arsitek kapal Jawa dari galangan kapal Malaka dan mengirimnya ke India, dengan harapan bahwa para pengrajin ini dapat memperbaiki kapal-kapal Portugis di India. Akan tetapi mereka tidak pernah sampai di India, mereka memberontak dan membawa kapal Portugis yang mereka tumpangi ke Pasai, dimana mereka disambut dengan luar biasa.[108] Orang Portugis menggunakan jung dalam jumlah besar untuk perdagangan mereka di Asia. Setidaknya 1 jong dibawa ke Portugal, untuk digunakan sebagai kapal penjaga pantai di Sacavem dibawah perintah raja John III,[109][catatan 12] dan sebagai kapal perang di Armada Selat Gibraltar, Esquadra do Estreito.[110]
Tomé Pires pada 1515 diberitahukan bahwa penguasa Kanton (sekarang Guangzhou) membuat hukum yang mewajibkan kapal asing berlabuh di sebuah pulau di tepi pantai. Dia bilang orang Cina membuat hukum tentang pelarangan masuknya kapal ke Kanton ini karena mereka takut akan orang Jawa dan Melayu, karena mereka yakin satu buah kapal jong milik Jawa atau Melayu bisa mengalahkan 20 kapal jung Cina. Cina mempunyai lebih dari 1000 jung, tetapi satu kapal jong berukuran 400 ton dapat mengusir penduduk Kanton, dan pengusiran ini akan membawa kerugian besar bagi Cina. Orang Cina takut jika kota itu dirampas dari mereka, karena Kanton adalah salah satu kota terkaya di Cina.[36]
Pada 1574, ratu Kalinyamat dari Jepara menyerang Melaka Portugis dengan 300 kapal, yang meliputi 80 jong dengan berat burthen sampai dengan 400 ton dan 220 kelulus di bawah komando Kyai Demang, tetapi dengan sedikit artileri dan senjata api. Saat perbekalan menipis dan udara menjadi tercemar oleh penyakit,[23][111] Tristão Vaz da Veiga memutuskan untuk mempersenjatai armada kecil sebuah galai dan empat galai kecil dan sekitar 100 tentara dan menuju ke Sungai Malaios, di tengah malam. Sesampai di sana, armada Portugis memasuki sungai tanpa terdeteksi oleh kru Jawa, dan menggunakan bom api yang dilemparkan dengan tangan membakar sekitar 30 jung dan perahu lainnya, menyerang armada Jawa secara mengejutkan, dan menangkap banyak persediaan ditengah-tengah orang Jawa yang sedang panik. Setelah pengepungan 3 bulan, pasukan Jawa mundur.[112]
Menceritakan pengalamannya saat 10 tahun di Hindia Timur (1601–1611), François Pyrard dari Raval (hidup sekitar tahun 1578–1623) menyebutkan tentang sebuah bangkai kapal jung Sunda di Guradu, atol Malé selatan, Maladewa. Kapal itu membawa semua jenis rempah-rempah dan barang dagangan lainnya dari Cina dan Sunda. Di kapal ada sekitar 500 pria, wanita, dan anak-anak, dan hanya 100 yang selamat saat ia tenggelam. Raja Maladewa menegaskan bahwa itu adalah kapal terkaya yang dapat dibayangkan. Pyrard berpikir bahwa itu adalah kapal terbesar yang pernah dilihatnya, dengan tiang yang lebih tinggi dan lebih tebal daripada kerakah Portugis, dan "top" (tempat observasi di atas tiang) yang jauh lebih besar daripada yang ada di kerakah Portugis. Orang tua dari ratu Sunda adalah pemilik jung itu, keduanya meninggal saat kapal itu tenggelam. Sang ratu, yang waktu itu masih seorang anak kecil, selamat dari kejadian itu. Pyrard percaya bahwa di Indonesia, dibangun kapal yang lebih besar dan dengan bahan yang lebih baik daripada di Portugal atau tempat lain di dunia.[54][55][56]
Orang Belanda pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 mendapati bahwa jong-jong Jawa yang berlayar di Asia tenggara berukuran lebih kecil dari abad-abad sebelumnya.[23] Willem Lodewycksz mencatat bahwa jung Banten berkapasitas tidak lebih dari 20 last (40 ton).[3][113] Laporan Willem Lodewycksz atas salah satu perahu jong yang ia lihat di Banten tahun 1596 berbunyi:
(Di buritan duduk) dua orang yang mengemudi: Karena (kapal itu) memiliki dua kemudi, satu buah pada setiap sisi, dan sebuah galah di tengah yang diikat ke kapal dengan tali di bawah buritan (…). (Jong-jong ini) ialah kapal mereka yang mereka gunakan untuk mengarungi lautan lepas ke Maluku, Banda, Borneo, Sumatra dan Malaka. Mereka memiliki tiang cucur di bagian depan, dan di dekatnya ada tiang depan, (dan ada pula) tiang utama dan tiang buritan, dan dari haluan sampai buritan ada sebuah bangunan atas serupa rumah, di mana mereka duduk terlindung dari panasnya matahari, hujan, dan embun. Di buritan terdapat sebuah ruangan yang hanya untuk nakhoda jong itu, mereka tidak memiliki layar persegi kecuali untuk layar cucur, di bagian bawah lambung dibagi menjadi ruang-ruang kecil di mana mereka menyimpan muatan. Mereka masuk melalui bukaan di kedua sisi kapal dan di sinilah letak perapian/cerobong asap mereka.[3][61][113][114]
Jong pertama yang ditemui Belanda di Banten hanya berukuran 16 last (32 ton). Jong dari Banten kebanyakan dibuat di Banjarmasin, Kalimantan.[3] Tapi yang pasti Lodewycksz tidak pernah melihat monster laut dari Jawa Tengah, seperti yang berasal dari Semarang dan Jepara.[18] Pada bulan Desember 1664, Wouter Schouten menjelaskan jong besar di Jawa:
Mereka membangun kapal-kapal besar yang biasa disebut joncken (jong), yang oleh orang Jawa lebih banyak digunakan untuk perdagangan daripada untuk peperangan, ada juga yang begitu besar sehingga bisa membawa 200–300 last (400–600 ton). Ia dilengkapi dengan tiang cucur, tiang topan, tiang agung, dan tiang baksi; tetapi mereka tidak memiliki tiang atas, tidak ada mars (top)[catatan 13] atau layar atas seperti layar kami, tetapi layar bawah persegi besar yang terbuat dari jerami atau kulit kelapa. Dek atas jong-jong ini tetap sangat tinggi ketika kargo ditempatkan di ruang penyimpanan lambung. Penumpang kapal dibagi kepada beberapa bilik dan kamar kecil; buritannya menggantung seperti kakus petani, secara ajaib mencuat sangat jauh di atas air; Anda juga dapat menemukan kabin untuk kapten di sana atau nakhoda laut yang bertanggung jawab atas penanganan bisnis. Karena orang Cina dan orang Jawa melakukan perjalanan dengan kapal jong dan jenis kapal lainnya selama beberapa minggu atau bulan, mereka biasanya membawa serta istri dan anak-anak mereka. Ini berarti mereka merasakan ketidaknyamanan kehidupan seorang pelaut sejak usia muda.[116]
Kapal jung Jawa berbeda dengan jung Cina dari kemudinya. Jung Cina memiliki 1 buah kemudi di tengah sedangkan jung Jawa memiliki 2 di bagian samping. Jung Jawa dapat dipasang dengan layar jung (ada tulang/sekat bambunya) atau dengan layar tanja (layar segi empat yang miring, mirip layar kapal Borobudur). Haluan dan buritan jung Jawa berbentuk meruncing atau lancip, sedangkan jung Cina tumpul atau datar. Bagian bawah jung Cina berbentuk U tanpa lunas (keel), sehingga kurang cocok mengarungi samudra, sedangkan jung Jawa memiliki lunas dan berbentuk mirip V, yang lebih stabil untuk mengarungi samudra. Kapal jung Cina disambungkan dengan paku besi atau sambungan logam lainnya, sedangkan jung Jawa menggunakan paku kayu atau pasak.[49][50][117]
Jung Cina dipengaruhi oleh tradisi pembuatan kapal Nusantara. Orang Cina tidak membuat kapal yang layak laut sampai sekitar abad ke-8 dan 9 Masehi. Tidak diketahui kapan orang Cina mulai mengadopsi teknik pembuatan kapal Asia Tenggara (Austronesia). Mereka mungkin telah dimulai sejak abad ke-8, tetapi perkembangannya bertahap dan kapal jung Cina pengarung laut tidak muncul secara tiba-tiba.[48][118][119] Kapal jung Cina selatan menunjukkan ciri-ciri kapal Austronesia: Lambung berbentuk V dan berujung ganda (baik haluan dan buritan sama-sama lancip) dengan lunas, dan menggunakan kayu asal daerah tropis. Ini berbeda dengan kapal jung Cina bagian utara, yang dikembangkan dari perahu-perahu sungai berlambung datar.[24]
Setelah invasi Mongol ke Jawa (tahun 1293), teknik perkapalan Cina masuk dan diserap pembuat kapal Jawa.[120][18] Muncullah jenis jung baru, yang disebut jong hibrida Cina-Asia tenggara, mereka mencampurkan teknik Cina dalam pembuatannya, yaitu menggunakan paku besi selain menggunakan pasak kayu dan juga pembuatan sekat kedap air (watertight bulkhead), dan penambahan kemudi sentral.[48][86]
Ada perdebatan tentang ukuran kapal jong Jawa. Pierre-Yves Manguin berpendapat bahwa tonase jung Jawa setidaknya adalah 1000 ton.[19] Irawan Djoko Nugroho memperkirakan ukuran jung Jawa besarnya 4–5 kali kapal Flor de la Mar, kapal terbesar Portugis tahun 1511. Beliau berpendapat ukuran Flor de la Mar adalah sepanjang 69 m–78,3 m. Ini berarti ukuran jung Jawa adalah 313,2–391,5 m. Untuk ukuran ini, beliau sebenarnya tidak menggunakan panjang Flor de la Mar, tetapi menggunakan panjang kapal Swedia, Vasa (1628) dan kapal Jerman, Adler von Lübeck (1566). Kedua kapal ini memiliki tonase yang jauh lebih besar dari Flor de la Mar.[5]
Muhammad Averoes mengukur dimensi jong Jawa dengan menentukan berat benamannya (displacement) terlebih dahulu. Berat benamannya diketahui dari berat mati kapal, yang didapat dari perbandingan dengan kapasitas penumpangnya. Untuk po memiliki rasio penumpang dengan berat mati sebesar 1:1, sedangkan untuk jong 1:2. Hasil perhitungannya mencakup ukuran jong dari masa yang berbeda, yang ditampilkan di bawah. LWL adalah panjang garis air, LOD adalah panjang dek, dan LOA adalah panjang keseluruhan.[4]
Penumpang | Berat (mati/burden/displacement) | LWL | LOD | LOA | Lebar (di garis air) | Kedalaman |
---|---|---|---|---|---|---|
200 | 200/333/556 ton | 27,35 m | 35,9 m | 39,49 m | 11,65 m | 3,49 m |
600 | 600/1000/1667 ton | 42,08 m | 55,22 m | 60,74 m | 16,81 m | 4,71 m |
700 | 700/1167/1944 ton | 44,37 m | 58,23 m | 64,06 m | 17,45 m | 5,02 m |
1000 | 1000/1667/2778 ton | 49,88 m | 65,46 m | 72 m | 18,76 m | 5,94 m |
Kapal dengan 200 penumpang adalah yang dinaiki Fa-Hsien, 600–700 orang adalah rata-rata penumpang K'un-lun po, dan 1000 orang adalah kapasitas po terbesar.
Penumpang | Berat (mati/burden/displacement) | LWL | LOD | LOA | Lebar (di garis air) | Kedalaman |
---|---|---|---|---|---|---|
50 | 100/167/278 ton | 20,08 m | 26,36 m | 28,99 m | 8,7 m | 3,18 m |
600 | 1200/2000/3333 ton | 52,77 m | 69,26 m | 76,18 m | 19,28 m | 6,55 m |
700 | 1400/2333/3889 ton | 55,28 m | 72,55 m | 79,81 m | 19,64 m | 7,16 m |
1000 | 2000/3333/5556 ton | 61,35 m | 80,51 m | 88,56 m | 20,13 m | 9 m |
Jong terkecil Majapahit diasumsikan memiliki kapasitas 50 orang, jong dengan 600–700 orang adalah jong umum Majapahit seperti yang digunakan pada serangan ke Singapura, dan yang terbesar mampu menampung 1000 orang.
Penumpang | Berat (mati/burden/displacement) | LWL | LOD | LOA | Lebar (di garis air) | Kedalaman |
---|---|---|---|---|---|---|
42,5~43 | 85/142/236 ton | 18,62 m | 24,43 m | 26,87 m | 8,08 m | 3,14 m |
200 | 400/667/1111 ton | 36,25 m | 47,57 m | 52,33 m | 14,94 m | 4,1 m |
250 | 500/833/1389 ton | 39,41 m | 51,72 m | 56,89 m | 15,99 m | 4,41 m |
350 | 700/1167/1944 ton | 44,37 m | 58,23 m | 64,06 m | 17,45 m | 5,02 m |
Jong dengan berat mati 85 ton adalah yang terkecil di abad ini, 400–500 ton adalah rata-rata berat jong pada abad ini, dan 700 ton adalah yang terbesar.
Penumpang | Berat (mati/burden/displacement) | LWL | LOD | LOA | Lebar (di garis air) | Kedalaman |
---|---|---|---|---|---|---|
20 | 40/67/111 ton | 13,01 m | 17,07 m | 18,78 m | 5,69 m | 3 m |
50 | 100/167/278 ton | 20,08 m | 26,36 m | 28,99 m | 8,7 m | 3,18 m |
150 | 300/500/833 ton | 32,37 m | 42,48 m | 46,73 m | 13,56 m | 3,8 m |
200 | 400/667/1111 ton | 36,25 m | 47,57 m | 52,33 m | 14,94 m | 4,1 m |
Jong terkecil pada abad ini memiliki berat mati 40 ton, 100 ton adalah rata-rata berat jong pada abad ini, dan jong seberat 300 dan 400 ton adalah jong besar yang dilaporkan di Semarang dan Jepara.
Penumpang | Berat (mati/burden/displacement) | LWL | LOD | LOA | Lebar (di garis air) | Kedalaman | Keterangan |
---|---|---|---|---|---|---|---|
150 | 300/500/833 ton | 32,37 m | 42,48 m | 46,73 m | 13,56 m | 3,8 m | Jung yang dicatat Marco Polo |
240 | 480/800/1333 ton | 38,82 m | 50,94 m | 56,04 m | 15,8 m | 4,35 m | Jung yang dicatat Marco Polo |
300 | 600/1000/1667 ton | 42,08 m | 55,22 m | 60,74 m | 16,81 m | 4,71 m | Jong O Bravo yang ditemui dekat Polvoreira |
390 | 780/1300/2167 ton | 46,03 m | 60,4 m | 66,44 m | 17,88 m | 5,27 m | Jung yang dicatat Niccolò da Conti |
500 | 1000/1667/2778 ton | 49,88 | 65,45 m | 72 | 18,76 | 5,94 m | Jung Sunda yang dicatat Pyrard |
Kapal harta Cina dikatakan memiliki panjang 137 meter dan lebar 55 m. Akan tetapi, ukuran ini bersumber dari sebuah novel fantasi, menjadikannya tidak cocok sebagai sumber sejarah. Penelitian modern menunjukkan bahwa kapal terbesar Zheng He adalah sekitar 70 m (230 kaki) panjangnya.[121] Berikut adalah hasil pengukuran sarjana tentang kapal Cheng Ho.[122][123][124][125][126]
Penumpang | Berat (mati/burden/displacement) | Panjang | Lebar | Kedalaman | Keterangan |
---|---|---|---|---|---|
200–300 | Tidak diketahui/500/800 ton | 52,62 m | 11,32 m | 4,6 m | Kapal harta sebesar 2000 liao. |
500–600 | Tidak diketahui/1860/3100 ton | 70,75 m | 15,24 m | 6,16 m | Kapal harta sebesar 5000 liao. |
Anthony Reid berpendapat bahwa kegagalan jong dalam pertempuran melawan kapal Barat yang lebih kecil dan lincah kemungkinan meyakinkan pembuat kapal Jawa bahwa jong yang besar tetapi kurang lincah menghadapi risiko terlalu besar sesudah orang Portugis memperkenalkan pertempuran laut cara Eropa, sehingga kapal-kapal yang mereka bangun setelahnya lebih kecil dan laju.[127] Sejak pertengahan abad ke-16 kekuatan-kekuatan maritim di Nusantara mulai menggunakan tipe-tipe kapal tempur gesit baru yang dapat dilengkapi dengan meriam berukuran lebih besar: Dalam berbagai serangan atas Malaka yang dilancarkan pada Melaka Portugis setelah kekalahan Pati Unus, mereka tidak lagi menggunakan jong, tetapi menggunakan lancaran, ghurab, dan ghali.[23][10] Jong-jong yang berlayar di Nusantara setelah tahun 1600-an daya muatnya hanya sebesar 20–300 ton, dengan kemungkinan rata-rata sebesar 100 ton,[23] tetapi masih ada beberapa dari mereka yang dapat membawa 200 hingga 300 last muatan (sekitar 360–400 sampai 540–600 ton metrik)[catatan 14] pada awal tahun 1700-an.[15]
Hilangnya tradisi maritim Jawa adalah akibat kebijakan kerajaan Jawa sendiri setelah kekalahan mereka terhadap Portugis dalam penyerbuan Malaka, yang kemudian lebih memusatkan pada kekuatan angkatan darat. Serta, sikap represif Amangkurat I dari Mataram terhadap kota kota pesisir utara Jawa. Amangkurat I pada 1655 memerintahkan agar pelabuhan ditutup dan kapal-kapal dihancurkan agar mencegah kota-kota pesisir menjadi kuat dan memberontak. Ini menghancurkan ekonomi Jawa dan kekuatan maritimnya yang dibangun sejak zaman Medang sampai Majapahit, dan mengubah Mataram menjadi negara agraris.[128][18]
Kantor Maskapai Perdagangan Hindia Belanda (VOC) yaitu Batavia Daghregister melaporkan pada 1677 bahwa orang-orang Mataram di Jawa Tengah dan Jawa Timur kekurangan kapal sendiri bahkan untuk penggunaan yang diperlukan, dan bersikap sangat tidak peduli tentang laut.[129] Setelah tahun 1700-an, peran jong telah digantikan oleh jenis kapal dari Eropa, yaitu bark dan brigantine, yang dibuat di galangan kapal lokal di Rembang dan Juwana (yang merupakan tempat pembuatan jong),[34] kapal-kapal jenis ini bisa mencapai 400–600 ton muatannya, dengan rata-rata sebesar 92 last (165.6–184 ton metrik).[130] Orang Belanda juga menyadari kemahiran orang Jawa dalam pembuatan kapal, pada abad ke-18 galangan-galangan kapal di Amsterdam mempekerjakan orang Jawa sebagai mandor.[131] Pada 1856, John Crawfurd mencatat bahwa aktivitas pembuatan kapal Jawa masih ada pada pesisir utara Jawa, dengan galangan kapal yang diawasi oleh orang Eropa, namun semua pekerjanya orang Jawa. Kapal-kapal yang dibuat pada abad ke-19 memiliki tonase maksimum 50 ton dan utamanya digunakan untuk pengangkutan di sungai.[86]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.