Loading AI tools
Meriam era Majapahit Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Cetbang (awalnya disebut sebagai bedil, juga dikenal sebagai warastra atau meriam coak) merupakan senjata jenis meriam yang diproduksi dan digunakan pada masa kerajaan Majapahit (1293–1527 M) dan kerajaan-kerajaan di Nusantara setelahnya. Ada 2 jenis utama dari cetbang: Cetbang bergaya timur yang bentuknya mirip meriam Cina dan diisi dari depan, dan cetbang bergaya barat yang berbentuk mirip meriam Turki dan Portugis, diisi dari belakang.[1]
Kata "cetbang" tidak ditemukan dalam bahasa Jawa kuno, ia kemungkinan berasal dari kata Cina chongtong (銃筒), yang juga mempengaruhi kata Korea 총통 (chongtong).[1] Istilah "meriam coak" berasal dari bahasa Betawi yang berarti meriam terbuka/terkuak, merujuk pada bagian belakangnya.[2] Ia juga bisa secara sederhana disebut sebagai coak.[3]
Cetbang dalam bahasa Jawa kuno disebut sebagai bedil.[1][4][5] Ia juga disebut sebagai warastra, yang bersinonim dengan bedil.[6] Warastra adalah kata Jawa kuno, ia berarti panah sakti, panah ampuh, panah dahsyat, atau panah unggul.[7]
Ada 2 jenis utama cetbang:
Pendahulunya dibawa oleh pasukan Mongol-Cina ke Jawa, sehingga bentuknya mirip meriam dan meriam tangan Cina. Cetbang bergaya timur kebanyakan dibuat dari bahan perunggu dan merupakan meriam isian depan. Ia menembakkan proyektil berupa panah, namun peluru bulat dan proyektil co-viative[catatan 1] juga dapat digunakan. Panah ini dapat berujung pejal tanpa peledak, maupun disertai bahan peledak dan pembakar di belakang ujungnya. Di bagian dekat belakang, terdapat kamar atau bilik bakar, yang merujuk kepada bagian yang menggelembung dekat belakang meriam, dimana mesiu ditempatkan. Cetbang ini dipasang pada dudukan tetap, ataupun sebagai meriam tangan yang diletakkan di ujung galah. Ada bagian mirip tabung di bagian belakang meriam. Pada cetbang jenis meriam tangan, tabung ini digunakan sebagai tempat untuk menancapkan galah.[1] Cetbang pelontar panah pastilah berguna dalam pertempuran laut terutama sebagai senjata yang digunakan untuk melawan kapal (dipasang di bawah perisai meriam haluan atau apilan), dan juga dalam pengepungan (siege), karena kemampuan proyektilnya untuk diisi peledak dan bahan pembakar.[1]
Cetbang bergaya barat berasal dari meriam prangi Turki yang datang ke Nusantara setelah tahun 1460. Sama seperti prangi, cetbang ini merupakan meriam putar isian belakang yang terbuat dari perunggu maupun besi, menembakan peluru tunggal berbentuk bulat maupun peluru sebar (peluru kecil berjumlah banyak). Untuk mencapai kecepatan penembakan yang tinggi, dapat digunakan 5 kamar pengisian peluru secara bergantian.[1]
Untuk cetbang jenis meriam putar isian belakang, yang terkecil mungkin memiliki panjang sekitar 60 cm, dan yang terbesar sekitar 2,2 m. Kaliber mereka berkisar antara 22 mm sampai 70 mm.[1] Mereka adalah meriam yang ringan dan mudah dipindahkan, sebagian besar dari mereka dapat dibawa dan ditembak oleh satu orang,[8] namun ia tidak ditembakkan dari bahu seperti bazooka karena daya tolak balik yang terlalu tinggi dapat mematahkan tulang manusia.[1] Meriam ini dipasang di garpu putar (disebut cagak), bagian bawahnya dipasang ke lubang atau soket di kota mara kapal atau tembok benteng.[9] Sebuah "kemudi" atau lebih tepatnya popor dari kayu dimasukkan ke lubang bagian belakang meriam dengan rotan, untuk memungkinkannya diarahkan dan dibidik.[8]
Cetbang dipasang sebagai meriam tetap, meriam putar, atau dipasang pada pedati meriam. Cetbang ukuran kecil dapat dengan mudah dipasang di kapal kecil yang disebut penjajap (Portugis: pangajaua atau pangajava) dan juga lancaran. Meriam ini dipergunakan sebagai senjata anti personil, bukan anti kapal. Pada zaman ini, bahkan sampai abad ke-17, prajurit laut Nusantara bertempur di panggung di kapal yang biasa disebut balai (lihat gambar kapal di bawah). Ditembakan pada kumpulan prajurit dengan peluru scattershot (peluru sebar atau peluru gotri, dapat berupa grapeshot, case shot, atau paku dan batu), cetbang sangat efektif untuk pertempuran jenis ini.[6][10]
Teknologi senjata bubuk mesiu diperkirakan masuk ke Majapahit pada saat invasi tentara Kubilai Khan dari Tiongkok di bawah pimpinan Ike Mese yang bekerjasama dengan Raden Wijaya saat menggulingkan Jayakatwang pada tahun 1293. Saat itu, tentara Mongol menggunakan senjata yang disebut 炮 (Pào) ketika menyerang pasukan Daha.[11][12][13] Senjata ini ditafsirkan berbeda oleh peneliti, ia mungkin merupakan manjanik yang melempar bom petir, senjata api, meriam, atau roket. Tidak menutup kemungkinan bahwa senjata bubuk mesiu yang dibawa pasukan Mongol-Cina berjumlah lebih dari 1 jenis.[1]
Stamford Raffles menulis dalam bukunya The History of Java bahwa pada tahun 1247 saka (1325 M), meriam telah banyak digunakan di Jawa terutama oleh Majapahit. Tercatat bahwa kerajaan-kerajaan kecil di Jawa yang meminta perlindungan pada Majapahit harus menyerahkan meriam mereka kepada Majapahit.[14][15] Majapahit di bawah Mahapatih (perdana menteri) Gajah Mada (bertugas tahun 1331–1359) memanfaatkan teknologi senjata bubuk mesiu yang diperoleh dari dinasti Yuan untuk digunakan dalam armada laut.[16]
Kerajaan tetangga Majapahit, Sunda, dicatat menggunakan bedil selama pertempuran Bubat tahun 1357. Kidung Sunda pupuh 2 bait 87–95 menyebutkan bahwa orang Sunda memiliki juru-modya ning bedil besar ing Bahitra (pembidik / operator meriam besar pada kapal-kapal) di sungai dekat alun-alun Bubat. Pasukan Majapahit yang berada di dekat sungai itu tidak beruntung: Mayat-mayat mereka hampir tidak bisa disebut mayat, mereka cacat, tercabik-cabik dengan cara yang paling mengerikan, lengan dan kepala terlempar. Bola meriam dikatakan dilepaskan seperti hujan, yang memaksa pasukan Majapahit mundur di bagian pertama pertempuran.[17]
Ma Huan (penerjemah Cheng Ho) mengunjungi Jawa pada 1413 dan membuat catatan tentang adat setempat. Bukunya, Yingyai Shenlan, menjelaskan bahwa meriam ditembakan dalam upacara pernikahan Jawa ketika sang suami mengawal istri barunya ke rumah perkawinan bersamaan dengan suara gong, drum, dan petasan.[6] Haiguo Guangji (海国广记) dan Shuyu zhouzi lu (殊域周咨錄) mencatat bahwa Jawa sangat luas dan padat penduduknya, serta tentara berbaju zirah dan meriam tangan (火銃—huǒ chòng) milik mereka mendominasi lautan timur.[18][19][20]
Karena dekatnya hubungan maritim Nusantara dengan wilayah India barat, setelah tahun 1460 jenis senjata bubuk mesiu baru masuk ke Nusantara melalui perantara orang Arab. Senjata ini sepertinya adalah meriam dan bedil tradisi Turki Usmani, misalnya prangi, yang merupakan meriam putar isian belakang.[1]
Menurut catatan Portugis yang datang ke Melaka pada abad ke-16, telah terdapat perkampungan besar dari pedagang Jawa yang diketuai oleh seorang kepala kampung. Orang-orang Jawa di Melaka juga membuat meriam sendiri secara swadaya, dimana meriam pada saat itu sama bergunanya dengan layar pada kapal dagang.[21] Duarte Barbosa mencatat berlimpahnya senjata berbasis bubuk mesiu di Jawa sekitar tahun 1514. Orang Jawa dianggap sebagai ahli pembuat senjata api dan penembak artileri yang baik. Senjata yang ditemukan di sana diantaranya meriam 1 pon (cetbang atau rentaka), senapan lontak panjang, spingarde (arquebus), schioppi (meriam tangan), api Yunani, gun (bedil besar atau meriam), dan senjata api atau kembang api lainnya.[22][23][24] Ketika Melaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 M, meriam putar yang diisi dari belakang (cetbang) dan meriam putar isian depan (lela dan rentaka) ditemukan dan dirampas oleh Portugis.[25] Pada tahun 1513, armada Jawa yang dipimpin oleh Pati Unus, berlayar untuk menyerang Melaka Portugis "dengan banyak artileri yang dibuat di Jawa, karena orang Jawa terampil dalam perpandaian besi dan pengecoran, dan dalam semua pekerjaan dengan besi, melebihi apa yang mereka miliki di India".[10][26]
De Barros dan Faria e Sousa menyebutkan bahwa saat jatuhnya kesultanan Melaka (1511), Albuquerque merebut 3.000 dari 8.000 artileri. Di antaranya, 2.000 terbuat dari kuningan dan sisanya dari besi, dalam gaya meriam berço Portugis. Semua artileri memiliki pedati meriam yang tepat yang tidak dapat disaingi bahkan oleh Portugal.[24][26][27] Afonso de Albuquerque menganggap pembuat senjata api dan meriam di Melaka berada di level yang sama dengan Jerman. Namun, dia tidak menyebutkan etnis apa yang membuat senjata api dan meriam Melaka.[27][28][29] Duarte Barbosa menyatakan bahwa pembuat arquebus di Melaka adalah orang Jawa.[30] Orang Jawa juga membuat meriam secara mandiri di Melaka.[21] Anthony Reid berpendapat bahwa orang Jawa menangani banyak pekerjaan produktif di Melaka sebelum tahun 1511 dan di Pattani pada abad ke-17.[30]
Wan Mohd Dasuki Wan Hasbullah menjelaskan beberapa fakta akan keadaan persenjataan bubuk mesiu di Melaka dan negara Melayu lainnya sebelum kedatangan bangsa Portugis:[31]
Meriam yang ditemukan di Melaka berasal dari berbagai jenis: esmeril (meriam putar 1/4 sampai 1/2 pon,[32] mungkin merujuk pada cetbang atau lantaka), falconet (meriam putar cor perunggu yang lebih besar dari esmeril, 1 sampai 2 pon,[32] mungkin merujuk pada lela), saker berukuran sedang (meriam panjang atau culverin diantara 6–10 pon),[33][34] dan bombard (meriam yang pendek, gemuk, dan berat).[25] Orang Melayu juga memiliki 1 buah meriam besar yang cantik, dikirim oleh raja Kalikut.[25][26]
Perlu dicatat bahwa, meskipun memiliki banyak artileri dan senjata api, senjata kesultanan Melaka umumnya dan sebagian besarnya dibeli dari orang Jawa dan Gujarat, di mana orang Jawa dan Gujarat bertugas sebagai operator senjata. Pada awal abad ke-16, sebelum kedatangan Portugis, orang Melayu kekurangan senjata bubuk mesiu. Sejarah Melayu menyebutkan bahwa pada tahun 1509 mereka tidak mengerti "mengapa peluru membunuh", menunjukkan ketidakbiasaan mereka menggunakan senjata api dalam pertempuran, jika tidak dalam upacara.[29] Sebagaimana dicatat Sejarah Melayu:
Setelah datang ke Melaka, maka bertemu, ditembaknya dengan meriam. Maka segala orang Melaka pun hairan, terkejut mendengar bunyi meriam itu. Katanya, "Bunyi apa ini, seperti guruh ini?". Maka meriam itu pun datanglah mengenai orang Melaka, ada yang putus lehernya, ada yang putus tangannya, ada yang panggal pahanya. Maka bertambahlah hairannya orang Melaka melihat fi'il bedil itu. Katanya: "Apa namanya senjata yang bulat itu maka dengan tajamnya maka ia membunuh?" [35]
Buku Lendas da India karya Gaspar Correia dan Asia Portuguesa karya Manuel de Faria y Sousa mengkonfirmasi catatan Sejarah Melayu. Mereka mencatat kisah serupa, walaupun tidak se-spektakuler yang digambarkan dalam Sejarah Melayu.[36][37] Hikayat Hang Tuah menceritakan ekspedisi Melaka ke benua Rum (Kekaisaran Ottoman) untuk membeli bedil dan meriam-meriam besar setelah pertemuan pertama mereka dengan Portugis pada 1509 M, menunjukkan kekurangan mereka akan senjata api dan senjata mesiu.[38][catatan 2] Ekspedisi Melaka ke negara Rum (Turki Utsmani) untuk membeli meriam sebenarnya tidak pernah terjadi, ia hanya disebutkan dalam sastra fiktif Hikayat Hang Tuah, yang sebenarnya didasarkan pada pengiriman serangkaian kedutaan Aceh ke Kesultanan Utsmaniyah pada abad ke-16.[39]
Saat Portugis datang ke wilayah Nusantara, mereka menyebutnya sebagai berço (dibaca: berso), istlah yang juga digunakan untuk menyebut meriam putar isian belakang (breech-loading swivel gun) buatan manapun, sedangkan orang Spanyol menyebutnya sebagai Verso.[10]
Ketika Belanda merebut benteng Somba Opu orang Makassar (1669), mereka merebut 33 meriam perunggu besar dan kecil, 11 meriam besi cor, 145 base (meriam putar isian belakang) dan 83 tabung pengisiannya, 60 senapan lontak, 23 senapan sundut, 127 laras senapan lontak, dan 8483 peluru.[34]
Meriam putar isian belakang perunggu yang disebut ba'dili,[40][41] dibawa oleh pelaut Makassar dalam pelayaran mencari teripang ke Australia. Matthew Flinders mencatat penggunaan meriam kecil di atas perahu Makassar di Northern Territory pada tahun 1803.[42] Vosmaer (1839) menulis bahwa para nelayan Makassar kadang-kadang membawa meriam kecil mereka ke darat untuk membentengi kubu pertahanan yang mereka bangun di dekat kampung pengolahan mereka untuk mempertahankan diri melawan orang Aborigin yang bermusuhan.[43] Dyer (sekitar tahun 1930) mencatat penggunaan meriam oleh orang Makassar, khususnya meriam isian belakang dari bahan perunggu dengan kaliber 2 inci (50,8 mm).[44][3]
Amerika bertempur melawan suku Moro yang dilengkapi dengan meriam putar isian belakang di Filipina pada tahun 1904.[8] Meriam-meriam ini biasanya disebut sebagai lantaka atau lantaka isian belakang.[45]
Saat ini beberapa meriam cetbang tersimpan di:
Berbagai meriam cetbang juga ada di:
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.