Loading AI tools
aktivis gerakan perempuan, Doktor filsafat Universitas Indonesia, dan pendiri Yayasan Jurnal Perempuan Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Dr. Dra. Gadis Arivia Effendi, MA (lahir 8 September 1964 ) adalah seorang aktivis gerakan perempuan, Doktor filsafat Universitas Indonesia, dan pendiri Yayasan Jurnal Perempuan.
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Gadis Arivia mulai dikenal sejak peristiwa penangkapannya saat berdemonstrasi bersama puluhan ibu lainnya yang tergabung dalam Suara Ibu Peduli, menyuarakan isu kelangkaan susu bayi di bundaran Hotel Indonesia Jakarta, Februari 1998. Saat itu Gadis bersama dua ibu lainnya Wilasih Noviana dan Karlina Leksono ditangkap polisi.
Ketertarikan Gadis soal studi feminisme sudah sejak masa kuliah filsafat. Saat itu, di Indonesia, feminisme masih menjadi teori atau wacana yang dianggap baru.
Salah satu pemikir feminisme yang dikaguminya adalah Barbara Smith. Barbara dalam bukunya All the Women are White, All the Blacks are Men, But Some of Us are Brave, yang bersumber dari pidatonya pada 1979 menyebut feminisme adalah teori dan praktik politik yang berjuang untuk membebaskan (pembebasan total) semua perempuan. Di dalam negeri, dia mengagumi seorang dosennya Toeti Herati Nurhadi yang banyak meminjamkan buku-buku feminisme kepada Gadis.
Saat ini, selain menekuni pekerjaannya sebagai pengajar tetap studi feminisme dan filsafat kontemporer di Universitas Indonesia, Gadis mengabdikan diri sebagai Direktur Yayasan Jurnal Perempuan (YJP). Gadis juga sering menulis wacana-wacana feminisme di berbagai media, jurnal, dan buletin di dalam maupun di luar negeri.
Pada tahun 2006, Gadis kerap menulis dan menjadi pembicara seputar kontroversi Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi.
Pada masa kecil sampai beranjak dewasa, Gadis telah melanglang buana dari satu negara ke negara lain, mengikuti ayahnya Arif Effendi, berdarah Melayu Deli, yang bekerja di British Council, sebuah lembaga kebudayaan kerajaan Inggris. Sementara, bakat aktivis diwarisi dari ibunya Atikah, berdarah campuran Aceh dan Minang, kelahiran Pematang Siantar, yang semasa mudanya aktif sebagai aktivis 'Aisyiyah, organisasi perempuan Muhammadiyah. Salah satu kakak lelaki Gadis, yaitu Arizal Effendi, berkarier sebagai diplomat dan pernah menjadi Duta Besar RI di PBB dan di Perancis.[1]
Gadis, anak ketujuh dari sembilan bersaudara (empat perempuan dan lima laki-laki) lahir di New Delhi tempat ayahnya bertugas. Namun, ketika itu, ayahnya Arif Effendi sedang bertugas ke Ethiopia. Nama Arivia berasal dari nama ayahnya Arif (Ari) dipadu nama neneknya Lathifah (Via).
Saat bayi Gadis baru berumur dua minggu, keluarga besar ini pindah ke Ethiopia, mengikuti kepindahan tugas Sang Ayah. Dua tahun keluarga ini tinggal di Ethiopia. Kemudian pulang ke Indonesia. Setelah tiga tahun menetap di Indonesia, keluarga ini pindah mengikuti Sang Ayah yang ditugaskan ke Budapest, Hungaria, selama empat tahun. Di sini Gadis masuk sekolah dasar di British Embassy School di Budapest.
Kemudian keluarga ini mengikuti Sang Ayah kembali lagi ke Indonesia. Tinggal di daerah Tebet, Jakarta. Gadis pun masuk ke sekolah menengah pertama di Tebet, namun, hanya sampai kelas satu. Saat itu, Gadis mengalami kesulitan mengikuti mata pelajaran yang menggunakan bahasa Indonesia. Dia lebih fasih berbahasa Inggris.
Setelah ayahnya meninggal pada Juli 1977, Gadis pun ikut kakaknya nomor dua, Arrizal Effendi, yang bertugas sebagai diplomat di Washington. Gadis melanjutkan sekolah menengah di McLean High School, Virginia, Amerika. Saat sekolah di Virginia, Gadis banyak membaca buku-buku para filsuf Prancis seperti Albert Camus, Simone de Beauvoir, dan Jean Paul Sartre.
Setelah lulus sekolah menengah di Virginia, Gadis pulang ke Indonesia. Di Jakarta, dia melanjutkan studi di Program Diploma III Sastra Prancis Universitas Indonesia. Saat kuliah Sastra Prancis, awal 1980-an, Gadis sering mengunjungi perpustakaan di Centre Culturel Français atau Pusat Kebudayaan Prancis, Jalan Salemba Raya Jakarta. Di situ dia banyak membaca buku tokoh-tokoh filsafat Prancis. Setelah program diploma Sastra Prancis selesai, Gadis pun melanjutkan studi filsafat di Universitas Indonesia.
Pada 1990-an, Gadis merasa tertarik pada pemikiran baru tentang pascamodernisme. Ketika itu, Asikin Arif, dosen filsafat Universitas Indonesia, pulang dari Jerman membawa pemikiran pascamodernisme. Sebuah gerakan yang bermula dari kritik seni, arsitektur dan filsafat, kemudian berkembang jadi skeptisisme yang sistematis terhadap teori-teori lama tentang modernisasi dan industrialisasi. Gerakan ini, antara lain dimotori Jacques Derrida dari Prancis, yang dikenal dengan teori dekonstruksi dalam filsafat Barat.
Gadis tertarik atas pemikiran itu dan ikut aktif membentuk kelompok diskusi Lingkaran Studi Filsafat. Sampai kemudian, Gadis dapat bertemu Jacques Derrida, sekaligus untuk melanjutkan studi filsafat di perguruan tinggi ilmu sosial, École des hautes études en sciences sociales, tempat Derrida mengajar. Selama dua tahun (1992 -1994), dia mengikuti kuliah Jacques Derrida dan aktif membaca dan berdiskusi dengan para mahasiswa.
Sepulang dari Prancis, Gadis mengajar studi feminisme dan filsafat kontemporer di Universitas Indonesia. Saat itu, mahasiswanya mengalami kesulitan lantaran bahan-bahan bacaan berbahasa Indonesia sulit ditemukan. Gadis pun membuat buletin. Dicetak sekitar 200 eksemplar dan langsung habis.
Pada 1996, Gadis bersama Toeti Heraty Noerhadi dan Asikin Arif mendirikan lembaga yang dinamai Yayasan Jurnal Perempuan. Inisiatif untuk menerbitkan sebuah jurnal feminisme bernama Jurnal Perempuan ini lebih ditujukan dalam rangka melengkapi bahan perkuliahan paradigma feminisme di fakultas Sastra Universitas Indonesia. Dalam perkembangannya ternyata jurnal tersebut cukup banyak diminati baik yang membeli di toko koperasi mahasiswa UI maupun di toko buku.[2]
Gadis menikah dengan Richard Pollard, laki-laki berkebangsaan Amerika. Pollard bekerja di Bank Dunia. Kala itu, setiap akhir pekan, Pollard menjenguknya ke Prancis. Gadis mengagumi Polard karena berdedikasi dan memulai karier jadi guru di Nepal, Pakistan dan Afrika.
Gadis mempunyai dua orang anak bernama Anisa dan Benjamin.
Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006. Penghargaan ini diberikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Gus Dur dan Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di Indonesia.
Gus Dur dan Gadis dipilih oleh dewan juri yang terdiri dari budayawan Butet Kertaradjasa, pemimpin redaksi The Jakarta Post Endy Bayuni, dan Ketua Komisi Nasional Perempuan Chandra Kirana. Mereka berhasil menyisihkan 23 kandidat lain.
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.