Top Qs
Timeline
Obrolan
Perspektif

Albert Camus

filsuf, penulis, dan jurnalis Prancis (1913-1960) Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas

Albert Camus
Remove ads

Albert Camus (/kæˈm/[1] ka-MOO; Prancis: [albɛʁ kamy] ; 7 November 1913 – 4 Januari 1960) adalah seorang filsuf, novelis, penulis, dramawan, jurnalis, federalis dunia,[2] dan aktivis politik Prancis. Ia merupakan penerima Penghargaan Nobel Sastra 1957 pada usia 44 tahun, menjadikannya penerima termuda kedua dalam sejarah. Karya-karyanya meliputi Orang Asing, Sampar, Mitos Sisifus, Kejatuhan, dan Pemberontak.

Fakta Singkat Lahir, Meninggal ...

Camus lahir di Aljazair Prancis dari orang tua pied-noir. Ia menghabiskan masa kecilnya di lingkungan miskin dan kemudian belajar filsafat di Universitas Aljir. Ia sedang berada di Paris ketika Jerman menginvasi Prancis selama Perang Dunia II pada tahun 1940. Camus mencoba melarikan diri, tetapi akhirnya bergabung dengan Resistansi Prancis, tempat ia menjabat sebagai pemimpin redaksi di Combat, sebuah surat kabar terlarang. Setelah perang usai, ia menjadi sosok selebritas dan memberikan banyak kuliah di seluruh dunia. Ia menikah dua kali tetapi memiliki banyak hubungan di luar nikah. Camus aktif secara politik; ia adalah bagian dari kelompok kiri yang menentang Josef Stalin dan Uni Soviet karena totalitarisme mereka. Camus adalah seorang moralis dan condong pada anarko-sindikalisme. Ia tergabung dalam banyak organisasi yang mengupayakan integrasi Eropa. Selama Perang Aljazair (1954–1962), ia mempertahankan sikap netral dengan menganjurkan Aljazair yang multikultural dan pluralistik, sebuah posisi yang ditolak oleh sebagian besar pihak.

Secara filosofis, pandangan Camus berkontribusi pada bangkitnya aliran filsafat yang dikenal sebagai absurdisme. Beberapa pihak menganggap karya Camus menunjukkan dirinya sebagai seorang eksistensialis, meskipun ia sendiri menolak istilah tersebut dengan tegas sepanjang hidupnya.

Remove ads

Biografi

Ringkasan
Perspektif

Kehidupan awal dan pendidikan

Thumb
Kartu pos abad ke-20 yang menampilkan Universitas Aljir

Albert Camus lahir pada 7 November 1913 di lingkungan kelas pekerja di Mondovi (sekarang Dréan), di Aljazair Prancis. Ibunya, Catherine Hélène Camus (nama gadis Sintès), adalah orang Prancis keturunan Spanyol Balearik. Ia tuli dan buta huruf.[3] Ia tidak pernah mengenal ayahnya, Lucien Camus, seorang pekerja pertanian Prancis miskin yang tewas dalam pertempuran saat bertugas di resimen Zouave pada Oktober 1914, selama Perang Dunia I. Camus, ibunya, dan kerabat lainnya hidup serba kekurangan materi selama masa kanak-kanaknya di daerah Belcourt di Aljir. Camus adalah generasi kedua penduduk Prancis di Aljazair, yang merupakan wilayah Prancis dari tahun 1830 hingga 1962. Kakek dari pihak ayahnya, bersama banyak orang lain dari generasinya, telah pindah ke Aljazair demi kehidupan yang lebih baik pada dekade-dekade awal abad ke-19. Oleh karena itu, ia disebut sebagai pied-noir, sebuah istilah slang untuk orang-orang keturunan Prancis dan Eropa lainnya yang lahir di Aljazair. Identitas dan latar belakang kemiskinannya memiliki pengaruh besar pada kehidupannya di kemudian hari.[4] Walaupun demikian, Camus adalah warga negara Prancis dan menikmati lebih banyak hak daripada orang Aljazair Arab dan Berber di bawah sistem indigénat.[5] Selama masa kanak-kanaknya, ia mulai menyukai sepak bola dan renang.[6]

Di bawah pengaruh gurunya, Louis Germain, Camus mendapatkan beasiswa pada tahun 1924 untuk melanjutkan studinya di sebuah lyceum (sekolah menengah) bergengsi di dekat Aljir.[7] Germain segera menyadari kecerdasan Camus yang cemerlang dan keinginannya untuk belajar. Di sekolah menengah, ia memberi Camus pelajaran tambahan gratis untuk mempersiapkannya menghadapi kompetisi beasiswa tahun 1924, meskipun faktanya nenek Camus berencana agar ia menjadi pekerja kasar sehingga bisa segera berkontribusi untuk menafkahi keluarga. Camus menaruh rasa terima kasih dan kasih sayang yang besar terhadap Louis Germain sepanjang hidupnya, dan ia mendedikasikan pidato penerimaan Hadiah Nobelnya untuk Germain. Setelah menerima kabar penganugerahan hadiah tersebut, ia menulis:

Namun ketika saya mendengar kabar tersebut, pikiran pertama saya, setelah ibu saya, tertuju pada Anda. Tanpa Anda, tanpa uluran tangan penuh kasih sayang yang Anda berikan kepada anak kecil miskin seperti saya dulu, tanpa pengajaran dan teladan Anda, semua ini tidak akan pernah terjadi.[8]

Dalam sebuah surat tertanggal 30 April 1959, Germain membalas perasaan hangat tersebut dengan penuh kasih sayang kepada mantan muridnya itu, dengan memanggilnya "Camus kecilku".[9][10]

Camus bermain sebagai penjaga gawang untuk tim junior Racing Universitaire d'Alger dari tahun 1928 hingga 1930.[11] Rasa semangat tim, persaudaraan, dan tujuan bersama sangat menarik baginya.[12] Dalam laporan pertandingan, ia sering dipuji karena bermain dengan penuh semangat dan keberanian. Namun, segala ambisi sepak bolanya lenyap ketika ia terjangkit tuberkulosis.[11] Camus kemudian menarik kesejajaran antara sepak bola, eksistensi manusia, moralitas, dan identitas pribadi. Baginya, moralitas sepak bola yang sederhana bertentangan dengan moralitas rumit yang dipaksakan oleh otoritas seperti negara dan gereja.[11]

Pada tahun 1930, saat berusia 17 tahun, Camus didiagnosis menderita tuberkulosis.[6] Karena penyakit ini menular, ia pindah dari rumahnya dan tinggal bersama pamannya Gustave Acault, seorang tukang daging, yang memberikan pengaruh pada Camus muda. Pada masa itulah ia beralih ke filsafat, dengan bimbingan guru filsafatnya, Jean Grenier. Ia terkesan oleh para filsuf Yunani kuno dan Friedrich Nietzsche.[6] Selama waktu itu, ia hanya bisa belajar paruh waktu. Untuk mendapatkan uang, ia bekerja serabutan, termasuk sebagai guru les privat, juru tulis suku cadang mobil, dan asisten di Institut Meteorologi.[13]

Pada tahun 1933, Camus mendaftar di Universitas Aljir dan menyelesaikan licence de philosophie-nya (S1) pada tahun 1936 setelah mempresentasikan tesisnya tentang Plotinus.[14] Camus mengembangkan minat pada filsuf Kristen awal, tetapi Nietzsche dan Arthur Schopenhauer telah membuka jalan menuju pesimisme dan ateisme. Camus juga mempelajari novelis-filsuf seperti Stendhal, Herman Melville, Fyodor Dostoyevsky, dan Franz Kafka.[15] Pada tahun yang sama ia bertemu Simone Hié, yang saat itu merupakan pasangan teman Camus, yang kemudian menjadi istri pertamanya.[13]

Tahun-tahun pembentukan

Pada tahun 1934, Camus menjalin hubungan dengan Simone Hié.[16] Simone memiliki kecanduan terhadap morfin, obat yang ia gunakan untuk meredakan nyeri haidnya. Pamannya, Gustave, tidak merestui hubungan tersebut, tetapi Camus menikahi Hié untuk membantunya melawan kecanduan itu. Ia kemudian mengetahui bahwa Hié juga menjalin hubungan dengan dokternya pada saat yang sama, dan pasangan itu pun bercerai.[13]

Camus bergabung dengan Partai Komunis Prancis (PCF) pada awal tahun 1935. Ia melihatnya sebagai cara untuk "memerangi ketimpangan antara orang Eropa dan 'pribumi' di Aljazair", meskipun ia bukan seorang Marxis. Ia menjelaskan: "Kita mungkin melihat komunisme sebagai batu loncatan dan asketisme yang mempersiapkan landasan bagi kegiatan-kegiatan yang lebih spiritual." Camus meninggalkan PCF setahun kemudian.[17] Pada tahun 1936, Partai Komunis Aljazair (PCA) yang berhaluan kemerdekaan didirikan, dan Camus bergabung setelah mentornya, Grenier, menyarankan hal tersebut. Peran utama Camus di dalam PCA adalah mengorganisasi Théâtre du Travail ('Teater Pekerja'). Camus juga dekat dengan Parti du Peuple Algérien (Partai Rakyat Aljazair [PPA]), yang merupakan partai nasionalis/antikolonial moderat. Seiring memuncaknya ketegangan pada periode antarperang, PCA yang Stalinis dan PPA memutus hubungan. Camus dikeluarkan dari PCA karena menolak mengikuti garis partai. Rentetan peristiwa ini menajamkan keyakinannya akan martabat manusia. Ketidakpercayaan Camus terhadap birokrasi yang lebih mengutamakan efisiensi daripada keadilan semakin tumbuh. Ia melanjutkan keterlibatannya dalam teater dan mengganti nama kelompoknya menjadi Théâtre de l'Equipe ('Teater Tim'). Beberapa naskahnya menjadi dasar bagi novel-novelnya di kemudian hari.[18]

Pada tahun 1938, Camus mulai bekerja untuk surat kabar kiri Alger républicain (didirikan oleh Pascal Pia), karena ia memiliki perasaan antifasis yang kuat, dan kebangkitan rezim fasis di Eropa membuatnya cemas. Pada saat itu, Camus juga telah mengembangkan perasaan yang kuat dalam menentang kolonialisme otoriter setelah ia menyaksikan perlakuan keras otoritas Prancis terhadap orang Arab dan Berber. Alger républicain dilarang terbit pada tahun 1940 dan Camus terbang ke Paris untuk mengambil pekerjaan baru di Paris-Soir sebagai editor tata letak. Di Paris, ia hampir menyelesaikan "siklus pertama" karya-karyanya yang membahas tentang absurditas dan ketiadaan makna: novel L'Étranger (Orang Asing), esai filosofis Le Mythe de Sisyphe (Mitos Sisifus), dan naskah drama Caligula. Setiap siklus terdiri dari sebuah novel, sebuah esai, dan sebuah naskah drama.[19]

Perang Dunia II, Resistansi, dan Combat

Segera setelah Camus pindah ke Paris, pecahnya Perang Dunia II mulai memengaruhi Prancis. Camus mendaftar secara sukarela untuk bergabung dengan tentara, namun tidak diterima karena ia pernah menderita tuberkulosis. Saat pasukan Jerman bergerak menuju Paris, Camus melarikan diri. Ia diberhentikan dari Paris-Soir dan akhirnya sampai di Lyon; di sana ia menikahi seorang pianis dan matematikawan, Francine Faure, pada 3 Desember 1940.[20] Camus dan Faure pindah kembali ke Aljazair (Oran), tempat ia mengajar di sekolah dasar.[21] Karena penyakit tuberkulosisnya, ia pindah ke Pegunungan Alpen Prancis atas saran medis. Di sana ia mulai menulis siklus kedua karya-karyanya, kali ini bertema tentang pemberontakan – sebuah novel, La Peste (Sampar), dan sebuah naskah drama, Le Malentendu (Kesalahpahaman). Pada tahun 1943, ia telah dikenal berkat karyanya sebelumnya. Ia kembali ke Paris, tempat ia bertemu dan berteman dengan Jean-Paul Sartre. Ia juga menjadi bagian dari lingkaran intelektual yang mencakup Simone de Beauvoir dan André Breton. Di antara mereka terdapat aktris María Casares, yang kemudian menjalin hubungan asmara dengan Camus.[22]

Camus mengambil peran aktif dalam gerakan perlawanan bawah tanah melawan Jerman selama Pendudukan Prancis. Setibanya di Paris, ia mulai bekerja sebagai jurnalis dan editor surat kabar terlarang Combat. Camus menggunakan nama samaran untuk artikel-artikelnya di Combat dan menggunakan kartu identitas palsu agar tidak tertangkap. Ia terus menulis untuk surat kabar tersebut setelah pembebasan Prancis,[23] serta menyusun editorial hampir setiap hari dengan nama aslinya.[24] Selama periode itu ia menyusun empat Lettres à un Ami Allemand ('Surat kepada Seorang Teman Jerman'), yang menjelaskan mengapa perlawanan itu diperlukan.[25]

Pasca-Perang Dunia II

Setelah perang usai, Camus tinggal di Paris bersama Faure, yang melahirkan anak kembar, Catherine dan Jean, pada tahun 1945.[26] Kini Camus menjadi penulis ternama yang dikenal karena perannya dalam gerakan Resistansi. Ia memberikan kuliah di berbagai universitas di Amerika Serikat dan Amerika Latin dalam dua perjalanan terpisah. Ia juga mengunjungi Aljazair sekali lagi, hanya untuk pergi dengan rasa kecewa akibat kebijakan kolonial yang terus menindas, yang telah ia peringatkan berkali-kali. Selama periode ini ia menyelesaikan siklus kedua karyanya dengan buku L'Homme révolté (Pemberontak). Camus menyerang komunisme totaliter sambil menganjurkan sosialisme libertarian dan anarko-sindikalisme.[27] Buku tersebut membuat marah banyak rekan dan orang sezamannya di Prancis karena penolakannya terhadap komunisme, yang menyebabkan perpecahan akhir antara Camus dan Sartre. Hubungannya dengan kelompok Kiri Marxis semakin memburuk selama Perang Aljazair.[28]

Camus adalah pendukung kuat integrasi Eropa dalam berbagai organisasi marginal yang mengupayakan tujuan tersebut.[29] Pada tahun 1944, ia mendirikan Comité français pour la féderation européenne ('Komite Prancis untuk Federasi Eropa' [CFFE]), dan menyatakan bahwa Eropa "hanya dapat berkembang di sepanjang jalur kemajuan ekonomi, demokrasi, dan perdamaian jika negara-bangsa menjadi sebuah federasi."[29] Pada tahun 1947–48, ia mendirikan Groupes de Liaison Internationale (GLI), sebuah gerakan serikat pekerja dalam konteks sindikalisme revolusioner (syndicalisme révolutionnaire).[30] Tujuan utamanya adalah untuk mengekspresikan sisi positif dari surealisme dan eksistensialisme, dengan menolak negativitas dan nihilisme dari André Breton. Camus juga menyuarakan penentangannya terhadap invasi Soviet ke Hungaria dan kecenderungan totaliter rezim Franco di Spanyol.[29]

Camus memiliki banyak hubungan asmara, khususnya hubungan yang tidak tetap dan akhirnya diketahui publik dengan aktris kelahiran Spanyol María Casares, yang dengannya ia memiliki korespondensi yang luas.[31] Faure tidak menanggapi perselingkuhan ini dengan enteng. Ia mengalami gangguan mental dan membutuhkan rawat inap pada awal tahun 1950-an. Camus, yang merasa bersalah, menarik diri dari kehidupan publik dan mengalami sedikit depresi selama beberapa waktu.[32]

Pada tahun 1957, Camus menerima kabar bahwa ia akan dianugerahi Penghargaan Nobel Sastra. Hal ini mengejutkannya; ia mengira André Malraux yang akan memenangkan penghargaan tersebut. Pada usia 44 tahun, ia adalah penerima penghargaan termuda kedua, setelah Rudyard Kipling, yang berusia 41 tahun. Setelah ini ia mulai mengerjakan otobiografinya, Le Premier Homme (Orang Pertama), sebagai upaya untuk meneliti "pembelajaran moral". Ia juga kembali berpaling ke dunia teater.[33] Dibiayai oleh uang yang diterimanya dari Hadiah Nobel, ia mengadaptasi dan menyutradarai novel Dostoyevsky, Iblis, untuk panggung teater. Drama tersebut dibuka pada bulan Januari 1959 di Teater Antoine di Paris dan meraih sukses di kalangan kritikus.[34]

Selama tahun-tahun ini, ia menerbitkan karya-karya filsuf Simone Weil secara anumerta, dalam seri "Espoir" ('Harapan') yang ia dirikan untuk Éditions Gallimard. Weil memiliki pengaruh besar pada filosofinya,[35][36] karena ia memandang tulisan-tulisan Weil sebagai "penawar" bagi nihilisme.[37][38] Camus menggambarkannya sebagai "satu-satunya semangat besar di zaman kita".[39]

Thumb

 

Kematian

Thumb
Batu nisan Albert Camus
Thumb
Plakat perunggu pada monumen Camus di kota Villeblevin, Prancis. Tulisannya berbunyi: "Dari Dewan Umum Departemen Yonne, sebagai penghormatan kepada penulis Albert Camus yang jenazahnya disemayamkan di balai kota Villeblevin pada malam 4 hingga 5 Januari 1960"
Thumb
Monumen Camus yang dibangun di Villeblevin, tempat ia meninggal dalam kecelakaan mobil pada 4 Januari 1960

Camus meninggal dunia pada 4 Januari 1960 pada usia 46 tahun dalam sebuah kecelakaan mobil di dekat Sens, di Le Grand Fossard di kota kecil Villeblevin. Ia telah menghabiskan liburan Tahun Baru 1960 di rumahnya di Lourmarin, Vaucluse, bersama keluarganya dan penerbitnya, Michel Gallimard dari Éditions Gallimard, beserta istri Gallimard, Janine, dan putrinya, Anne. Istri dan anak-anak Camus kembali ke Paris menggunakan kereta api pada 2 Januari, namun Camus memutuskan untuk kembali dengan mobil mewah Facel Vega FV2 milik Gallimard. Mobil tersebut menabrak pohon plane di jalan lurus yang panjang di Route nationale 5 (sekarang RN 6 atau D606). Camus, yang duduk di kursi penumpang, tewas seketika, sementara Gallimard meninggal lima hari kemudian. Janine dan Anne Gallimard tidak terluka.[40]

144 halaman naskah tulisan tangan berjudul Le Premier Homme ('Orang Pertama') ditemukan di antara puing-puing kecelakaan. Camus sebelumnya memperkirakan bahwa novel yang belum selesai ini, yang didasarkan pada masa kecilnya di Aljazair, akan menjadi karya terbaiknya.[26] Camus dimakamkan di pemakaman Lourmarin, Vaucluse, Prancis, tempat ia pernah tinggal.[41] Jean-Paul Sartre membacakan sebuah eulogi yang memberikan penghormatan kepada "humanisme keras kepala" Camus yang heroik.[42] William Faulkner menulis obituarinya dengan mengatakan, "Ketika pintu tertutup baginya, ia telah menuliskan di sisi ini apa yang diharapkan untuk dilakukan oleh setiap seniman, yang juga memikul satu pengetahuan dan kebencian yang sama akan kematian di sepanjang hidupnya: Saya pernah ada di sini."[43]

Remove ads

Karier Sastra

Ringkasan
Perspektif
Thumb
Camus memahkotai Lucia di Stockholm pada 13 Desember 1957, tiga hari setelah menerima Penghargaan Nobel Sastra

Publikasi pertama Camus adalah naskah drama berjudul Révolte dans les Asturies (Pemberontakan di Asturias), yang ditulis bersama tiga temannya pada Mei 1936. Subjeknya adalah pemberontakan tahun 1934 oleh para penambang Spanyol yang ditindas secara brutal oleh pemerintah Spanyol, yang mengakibatkan 1.500 hingga 2.000 kematian. Pada Mei 1937, ia menulis buku pertamanya, L'Envers et l'Endroit (Sisi Luar dan Sisi Dalam, juga diterjemahkan sebagai Betwixt and Between). Keduanya diterbitkan oleh rumah penerbitan kecil milik Edmond Charlot.[44]   Camus membagi karyanya menjadi tiga siklus. Setiap siklus terdiri dari sebuah novel, sebuah esai, dan sebuah drama. Yang pertama adalah siklus absurd yang terdiri dari L'Étranger, Le Mythe de Sysiphe, dan Caligula. Yang kedua adalah siklus pemberontakan yang meliputi La Peste (Sampar), L'Homme révolté (Pemberontak), dan Les Justes (Orang-Orang Benar). Yang ketiga, siklus cinta, terdiri dari Nemesis. Setiap siklus merupakan pengkajian suatu tema dengan menggunakan mitos pagan dan menyertakan motif-motif alkitabiah.[45]

Buku-buku dalam siklus pertama diterbitkan antara tahun 1942 dan 1944, namun temanya telah dikonsep lebih awal, setidaknya sejak tahun 1936.[46] Melalui siklus ini, Camus bertujuan mengajukan pertanyaan tentang kondisi manusia, membahas dunia sebagai tempat yang absurd, dan memperingatkan umat manusia akan konsekuensi dari totalitarianisme.[47]

Camus mulai mengerjakan siklus kedua saat ia berada di Aljazair, pada bulan-bulan terakhir tahun 1942, tepat ketika pasukan Jerman mencapai Afrika Utara.[48] Dalam siklus kedua, Camus menggunakan Prometheus, yang digambarkan sebagai seorang humanis revolusioner, untuk menyoroti nuansa antara revolusi dan pemberontakan. Ia menganalisis berbagai aspek pemberontakan, metafisikanya, dan hubungannya dengan politik, lalu mengkajinya di bawah lensa modernitas, historisitas, dan ketiadaan Tuhan.[49]

Setelah menerima Hadiah Nobel, Camus mengumpulkan, mengklarifikasi, dan menerbitkan pandangannya yang condong pasifis dalam Actuelles III: Chronique algérienne 1939–1958 (Kronik Aljazair). Ia kemudian memutuskan untuk menjauhkan diri dari Perang Aljazair karena merasa beban mentalnya terlalu berat. Ia beralih ke teater dan siklus ketiga yang berkisah tentang cinta dan dewi Nemesis, dewi Pembalasan Yunani dan Romawi.[33]

Dua karya Camus diterbitkan secara anumerta. Yang pertama berjudul La mort heureuse (Kematian Bahagia) (1971) adalah novel yang ditulis antara tahun 1936 dan 1938. Novel ini menampilkan karakter bernama Patrice Mersault, yang sebanding dengan Meursault dalam Orang Asing. Terdapat perdebatan akademis mengenai hubungan antara kedua buku tersebut. Yang kedua adalah novel yang belum selesai, Le Premier homme (Orang Pertama, diterbitkan tahun 1994), yang sedang ditulis Camus sebelum ia meninggal. Ini adalah karya otobiografi tentang masa kecilnya di Aljazair dan penerbitannya pada tahun 1994 memicu peninjauan kembali secara luas terhadap kolonialisme Camus yang dituduh tanpa penyesalan.[50]

Informasi lebih lanjut Tahun, Mitos Pagan ...
Remove ads

Pandangan politik

Ringkasan
Perspektif

Camus adalah seorang moralis; ia menyatakan bahwa moralitas harus membimbing politik. Meskipun ia tidak menyangkal bahwa moral berubah seiring waktu, ia menolak pandangan Marxis klasik bahwa hubungan material sejarah mendefinisikan moralitas.[52]

Camus juga sangat kritis terhadap Marxisme–Leninisme, yang ia anggap totaliter, terutama dalam kasus Uni Soviet. Camus menegur mereka yang bersimpati pada model Soviet dan "keputusan mereka untuk menyebut perbudakan total sebagai kebebasan".[53] Sebagai pendukung sosialisme libertarian, ia menyatakan bahwa Uni Soviet tidaklah sosialis dan Amerika Serikat tidaklah liberal.[54] Kritiknya terhadap Uni Soviet menyebabkannya berselisih dengan orang lain di kubu politik kiri, terutama dengan temannya yang hubungannya pasang-surut, Jean-Paul Sartre.[52]

Aktif dalam Resistansi Prancis terhadap pendudukan Nazi di Prancis selama Perang Dunia II, Camus menulis untuk dan menyunting jurnal Resistansi Combat. Mengenai kolaborasi Prancis dengan pendudukan Jerman, ia menulis: "Sekarang satu-satunya nilai moral adalah keberanian, yang berguna di sini untuk menilai para boneka dan pembual yang berpura-pura berbicara atas nama rakyat."[55] Setelah pembebasan Prancis, Camus berkomentar: "Negara ini tidak membutuhkan seorang Talleyrand, melainkan seorang Saint-Just."[56] Realitas pengadilan pascaperang segera mengubah pikirannya: Camus secara terbuka membalikkan pendapatnya dan menjadi penentang hukuman mati seumur hidup.[56]

Camus memiliki simpati anarkis, yang menguat pada tahun 1950-an, ketika ia mulai percaya bahwa model Soviet telah bangkrut secara moral.[57] Camus secara tegas menentang segala jenis eksploitasi, otoritas, atau kepemilikan, serta Negara dan sentralisasi.[58] Namun, ia menentang revolusi, dengan memisahkan pemberontak dari revolusioner dan meyakini bahwa kepercayaan pada "kebenaran mutlak", yang paling sering mengambil rupa sejarah atau nalar, menginspirasi kaum revolusioner dan berujung pada hasil yang tragis.[59] Ia percaya bahwa pemberontakan dipicu oleh kemarahan kita atas kurangnya makna transenden di dunia, sementara pemberontakan politik adalah respons kita terhadap serangan terhadap martabat dan otonomi individu.[59] Camus menentang kekerasan politik, dan hanya menoleransinya dalam kasus-kasus yang langka dan didefinisikan secara sangat sempit, serta teror revolusioner, yang ia tuduh mengorbankan nyawa orang tak berdosa di altar sejarah.[60]

David Sherman menganggap Camus sebagai seorang anarko-sindikalisme.[61] Graeme Nicholson menganggap Camus sebagai seorang anarkis eksistensialis.[62]

Anarkis André Prudhommeaux pertama kali memperkenalkannya pada pertemuan Cercle des Étudiants Anarchistes ('Lingkaran Mahasiswa Anarkis') pada tahun 1948 sebagai simpatisan yang akrab dengan pemikiran anarkis. Camus menulis untuk publikasi anarkis seperti Le Libertaire ('Sang Libertarian'), La Révolution prolétarienne ('Revolusi Proletar'), dan Solidaridad Obrera ('Solidaritas Pekerja'), organ dari Confederación Nacional del Trabajo (CNT, 'Konfederasi Buruh Nasional') yang beraliran anarko-sindikalis.[63]

Camus mempertahankan sikap netral selama Revolusi Aljazair (1954–1962). Meskipun ia menentang kekerasan Front Pembebasan Nasional (FLN), ia mengakui ketidakadilan dan kebrutalan yang dipaksakan oleh Prancis yang kolonialis. Ia mendukung Partai Sosialis Terpadu (PSU) milik Pierre Mendès France dan pendekatannya terhadap krisis tersebut; Mendès France menganjurkan rekonsiliasi. Camus juga mendukung seorang militan Aljazair yang sepemikiran, Aziz Kessous. Camus melakukan perjalanan ke Aljazair untuk merundingkan gencatan senjata antara kedua pihak yang bertikai, namun disambut dengan ketidakpercayaan oleh semua pihak.[64] Dalam satu insiden yang sering dikutip secara keliru, Camus menghadapi seorang pengkritik dari Aljazair saat pidato penerimaan Hadiah Nobel 1957 di Stockholm, dengan menolak penyetaraan yang salah antara keadilan dengan terorisme revolusioner: "Orang-orang sekarang menanam bom di trem-trem Aljir. Ibu saya mungkin berada di salah satu trem tersebut. Jika itu adalah keadilan, maka saya lebih memilih ibu saya."[65][66] Para kritikus melabeli tanggapan tersebut sebagai reaksioner dan hasil dari sikap kolonialis.[67]

Camus mengkritik tajam proliferasi senjata nuklir dan pengeboman Hiroshima dan Nagasaki.[68] Pada tahun 1950-an, Camus mencurahkan upayanya untuk hak asasi manusia. Pada tahun 1952, ia mengundurkan diri dari pekerjaannya untuk UNESCO ketika PBB menerima Spanyol, di bawah kepemimpinan caudillo Jenderal Francisco Franco, sebagai anggota.[32] Camus mempertahankan pasifismenya dan menentang hukuman mati di mana pun di dunia. Ia menulis esai menentang hukuman mati yang berkolaborasi dengan Arthur Koestler, penulis, intelektual, dan pendiri Liga Menentang Hukuman Mati, berjudul Réflexions sur la peine capitale ('Refleksi tentang Hukuman Mati'), yang diterbitkan oleh Calmann-Lévy pada tahun 1957.[69]

Bersama dengan Albert Einstein, Camus adalah salah satu sponsor Konvensi Rakyat Dunia (PWC), yang juga dikenal sebagai Majelis Konstituante Rakyat Dunia (PWCA), yang berlangsung antara tahun 1950 dan 1951 di Palais Electoral di Jenewa, Swiss.[70][71]

Remove ads

Peran di Aljazair

Ringkasan
Perspektif
Thumb
Organisasi administratif Aljazair Prancis antara 1905 dan 1955

Lahir di Aljazair dari orang tua Prancis, Camus akrab dengan rasisme institusional Prancis terhadap orang Arab dan Berber, namun ia bukan bagian dari elit kaya. Ia hidup dalam kondisi sangat miskin saat kecil, tetapi merupakan warga negara Prancis dan karena itu berhak atas hak-hak warga negara; sementara anggota mayoritas Arab dan Berber di negara itu tidak memilikinya.[72]

Camus adalah pendukung vokal "Budaya Mediterania baru". Ini adalah visinya untuk merangkul multi-etnisitas rakyat Aljazair, yang bertentangan dengan "Latinité", sebuah ideologi pro-fasis dan antisemit yang populer di kalangan pieds-noirs lainnya – orang Prancis atau Eropa yang lahir di Aljazair. Bagi Camus, visi ini merangkum humanisme Helenis yang bertahan di kalangan rakyat biasa di sekitar Laut Mediterania.[73] Pidatonya tahun 1938 tentang "Budaya Mediterania Baru" mewakili pernyataan pandangannya yang paling sistematis saat itu. Camus juga mendukung Proposal Blum–Viollette untuk memberikan kewarganegaraan Prancis penuh kepada orang Aljazair dalam sebuah manifesto dengan argumen yang membela proposal asimilatif ini atas dasar kesetaraan radikal.[74] Pada tahun 1939, Camus menulis serangkaian artikel tajam untuk Alger républicain tentang kondisi kehidupan yang mengerikan dari penduduk dataran tinggi Kabylie. Ia mendesak adanya reformasi ekonomi, pendidikan, dan politik sebagai hal yang mendesak.[75]

Pada tahun 1945, menyusul pembantaian Sétif dan Guelma setelah orang Arab memberontak terhadap perlakuan buruk Prancis, Camus adalah satu dari sedikit jurnalis dari Prancis daratan yang mengunjungi koloni tersebut. Ia menulis serangkaian artikel yang melaporkan kondisi di sana dan menganjurkan reformasi Prancis serta konsesi terhadap tuntutan rakyat Aljazair.[76]

Ketika Perang Aljazair dimulai pada tahun 1954, Camus dihadapkan pada dilema moral. Ia mengidentifikasi diri dengan kaum pieds-noirs seperti orang tuanya sendiri dan membela tindakan pemerintah Prancis terhadap pemberontakan tersebut. Ia berargumen bahwa pemberontakan Aljazair merupakan bagian integral dari "imperialisme Arab" baru yang dipimpin oleh Mesir dan serangan "anti-Barat" yang didalangi oleh Rusia untuk "mengepung Eropa" dan "mengisolasi Amerika Serikat".[77] Meskipun mendukung otonomi Aljazair yang lebih besar atau bahkan federasi, meski bukan kemerdekaan skala penuh, ia percaya bahwa kaum pieds-noirs dan orang Arab dapat hidup berdampingan. Selama perang, ia menganjurkan gencatan senjata sipil yang akan menyelamatkan warga sipil. Hal ini ditolak oleh kedua belah pihak, yang menganggapnya bodoh. Di balik layar, ia mulai bekerja untuk warga Aljazair yang dipenjara yang menghadapi hukuman mati.[78] Posisinya menuai banyak kritik dari kelompok kiri dan kemudian kritikus sastra pascakolonial, seperti Edward Said, yang menentang imperialisme Eropa dan menuduh bahwa novel dan cerita pendek Camus dipenuhi dengan penggambaran kolonial – atau penghapusan secara sadar – terhadap populasi Arab Aljazair.[79] Di mata mereka, Camus bukan lagi pembela kaum tertindas.[80] Camus pernah berkata bahwa masalah di Aljazair "memengaruhinya seperti orang lain merasakan sakit di paru-paru mereka".[81]

Pemberontakan

Camus merumuskan gagasan untuk memberontak melawan segala jenis penindasan, ketidakadilan, atau apa pun yang tidak menghormati kondisi manusia. Namun, ia cukup berhati-hati untuk menetapkan batasan-batasan pada pemberontakan tersebut.[82] Pemberontak menjelaskan pemikirannya mengenai masalah ini secara rinci. Di sana, ia membangun gagasannya di atas konsep absurditas yang dijelaskan dalam Mitos Sisifus, namun melangkah lebih jauh. Dalam pendahuluannya, tempat ia mengkaji metafisika pemberontakan, ia menyimpulkan dengan kalimat "Aku memberontak, maka kita ada" yang menyiratkan pengakuan akan kondisi manusia yang sama.[83] Camus juga melukiskan perbedaan antara revolusi dan pemberontakan serta mencatat bahwa sejarah telah menunjukkan bahwa revolusi kaum pemberontak dapat dengan mudah berakhir sebagai rezim yang menindas; oleh karena itu, ia mementingkan moral yang menyertai revolusi.[84] Camus mengajukan pertanyaan krusial: Mungkinkah manusia bertindak dengan cara yang etis dan bermakna di alam semesta yang bisu? Menurutnya, jawabannya adalah ya, karena pengalaman dan kesadaran akan Absurditas menciptakan nilai-nilai moral dan juga menetapkan batasan bagi tindakan kita.[85] Camus memisahkan bentuk pemberontakan modern menjadi dua mode. Pertama, ada pemberontakan metafisik, yaitu "gerakan ketika manusia memprotes kondisinya dan memprotes seluruh ciptaan". Mode lainnya, pemberontakan historis, adalah upaya untuk mewujudkan semangat abstrak pemberontakan metafisik dan mengubah dunia. Dalam upaya ini, pemberontak harus menyeimbangkan antara kejahatan dunia dan kejahatan intrinsik yang dibawa oleh setiap pemberontakan, serta tidak menyebabkan penderitaan yang tak dapat dibenarkan.[86]

Remove ads

Warisan

Thumb
Jalan Albert Camus di La Coruña, Galicia, (Spanyol).

Novel dan esai filosofis Camus masih berpengaruh hingga kini. Setelah kematiannya, minat terhadap Camus mengikuti kebangkitan – dan kemerosotan – Kiri Baru. Menyusul keruntuhan Uni Soviet, minat terhadap jalan alternatif menuju komunisme yang digagasnya muncul kembali.[87] Ia dikenang karena humanisme skeptisnya dan dukungannya terhadap toleransi politik, dialog, dan hak-hak sipil.[88]

Meskipun Camus telah dikaitkan dengan komunisme anti-Soviet, yang merentang hingga anarko-sindikalisme, beberapa kaum neoliberal mencoba mengaitkannya dengan kebijakan mereka; misalnya, Presiden Prancis Nicolas Sarkozy menyarankan agar jenazahnya dipindahkan ke Panthéon, sebuah gagasan yang dikritik oleh keluarga Camus yang masih hidup dan memicu kemarahan banyak pihak di kalangan Kiri.[89]

Remove ads

Penghormatan

Di Tipasa, Aljazair, di dalam reruntuhan Romawi yang menghadap ke laut dan Gunung Chenoua, sebuah prasasti didirikan pada tahun 1961 untuk menghormati Albert Camus dengan frasa dalam bahasa Prancis yang diambil dari karyanya Noces à Tipasa: "Di sini saya memahami apa yang disebut kemuliaan: hak untuk mencintai tanpa batas" (Prancis: Je comprends ici ce qu'on appelle gloire : le droit d'aimer sans mesure).[90]

Pos Prancis menerbitkan prangko dengan gambar dirinya pada 26 Juni 1967.[91]

Remove ads

Karya

Ringkasan
Perspektif

Karya-karya Albert Camus meliputi:[92]

Novel

  • Mati Bahagia (La Mort heureuse; ditulis 1936–38, diterbitkan 1971)
  • Orang Asing (L'Étranger, sering diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai The Outsider, meskipun makna alternatif dari l'étranger adalah 'orang asing'; 1942)
  • Sampar (La Peste, 1947)
  • Kejatuhan (La Chute, 1956)
  • Orang Pertama (Le premier homme; tidak selesai, diterbitkan 1994)

Cerita pendek

  • Pengasingan dan Kerajaan (L'exil et le royaume; koleksi, 1957), yang memuat cerita-cerita pendek berikut:
    • "Wanita yang Berzina" (La Femme adultère)
    • "Sang Renegade atau Jiwa yang Bingung" (Le Renégat ou un esprit confus)
    • "Orang-Orang Bisu" (Les Muets)
    • "Tamu" (L'Hôte)
    • "Jonas, atau Seniman yang Sedang Bekerja" (Jonas, ou l'artiste au travail)
    • "Batu yang Tumbuh" (La Pierre qui pousse)

Tesis akademik

  • Metafisika Kristen dan Neoplatonisme (Métaphysique chrétienne et néoplatonisme; 1935): tesis yang memungkinkan Camus mengajar di sekolah menengah di Prancis

Nonfiksi

  • Sisi Luar dan Sisi Dalam (L'envers et l'endroit, diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai Betwixt and Between atau The Wrong Side and the Right Side; koleksi, 1937)
  • Pernikahan (Noces, 1938)
  • Mitos Sisifus (Le Mythe de Sisyphe, 1942)
  • Pemberontak (L'Homme révolté, 1951)
  • Kronik Aljazair (Chroniques algériennes; 1958, terjemahan bahasa Inggris pertama diterbitkan 2013)
  • Resistansi, Pemberontakan, dan Kematian (koleksi, 1961) 
  • Buku Catatan 1935–1942 (Carnets, mai 1935 — fevrier 1942, 1962)
  • Buku Catatan 1942–1951 (Carnets II: janvier 1942-mars 1951, 1965)
  • Esai Liris dan Kritis (koleksi, 1968)
  • Jurnal Amerika (Journaux de voyage, 1978)
  • Buku Catatan 1951–1959 (2008). Diterbitkan sebagai Carnets Tome III: Mars 1951 – December 1959 (1989)
  • Korespondensi (1944–1959) Korespondensi Albert Camus dan María Casares, dengan kata pengantar oleh putrinya, Catherine (2017)

Drama

  • Caligula (ditulis 1938, dipentaskan 1945)
  • Kesalahpahaman (Le Malentendu, 1944)
  • Keadaan Darurat (L'État de Siège, 1948)
  • Bom Sang Teroris (Les Justes, 1949)
  • Rekuiem untuk Seorang Biarawati (Requiem pour une nonne, diadaptasi dari novel berjudul sama karya William Faulkner; 1956)
  • Orang-Orang yang Kerasukan (Les Possédés, diadaptasi dari novel karya Fyodor Dostoyevsky, Iblis; 1959)

Esai

  • Krisis Manusia (Kuliah di Universitas Columbia, 28 Maret 1946)
  • Bukan Korban Maupun Algojo (seri esai di Combat, 1946)
  • Mengapa Spanyol? (esai untuk drama teatrikal L'Etat de Siège, 1948)
  • Musim Panas (L'Été, 1954)[29]
  • Renungan tentang Guillotine (Réflexions sur la guillotine; esai panjang, 1957)[93]
  • Mencipta dengan Berbahaya (Esai tentang Realisme dan Penciptaan Artistik; kuliah di Universitas Uppsala di Swedia, 1957)[94]
Remove ads

Referensi

Bacaan lanjutan

Pranala luar

Loading related searches...

Wikiwand - on

Seamless Wikipedia browsing. On steroids.

Remove ads