Loading AI tools
arus filosofis dan sastra Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Eksistensialisme adalah tradisi pemikiran filsafat yang terutama diasosiasikan dengan beberapa filsuf Eropa abad ke-19 dan ke-20 yang sepaham (meskipun banyak perbedaan doktrinal yang mendalam[1][2][3]) bahwa pemikiran filsafat bermula dengan subjek manusia—bukan hanya subjek manusia yang berpikir, tetapi juga individu manusia yang melakukan, yang merasa, dan yang hidup.[4] Nilai utama pemikiran eksistensialis biasanya dianggap sebagai kebebasan, tetapi sebenarnya nilai tertingginya adalah autentisitas (keaslian).[5] Dalam pemahaman seorang eksistensialis, seorang individu bermula pada apa yang disebut sebagai "sikap eksistensial", yaitu semacam perasaan disorientasi, bingung, atau ketakutan di hadapan sebuah dunia yang tampaknya tidak berarti atau absurd.[6] Ada pula beberapa filsuf eksistensialis yang menganggap bahwa konten filsafat sistematis atau akademis tradisional terlalu abstrak atau jauh dari pengalaman konkret manusia.[7][8]
Dalam konteks definisi yang lebih sederhana, eksistensialisme adalah salah satu aliran filsafat yang menunjukkan interpretasi atas eksistensi keberadaan manusia dalam wujud konkret dan problematikanya.[9]
Soren Kierkegaard secara umum dianggap sebagai filsuf eksistensialis pertama,[1][10][11] meskipun ia tidak menggunakan istilah eksistensialisme. Ia berargumen bahwa setiap individu—bukan masyarakat atau agama—bertanggung jawab memberikan makna bagi hidup dan kehidupan, dan menghidupi makna tersebut secara jujur dan bergairah (secara "autentik").[12][13] Eksistensialisme menjadi populer setelah Perang Dunia II dan amat memengaruhi bidang-bidang di luar filsafat, termasuk teologi, drama, seni, sastra, dan psikologi.[14]
Istilah "eksistensialisme" (bahasa Prancis: L'existentialisme) dibuat oleh seorang filsuf Katolik Prancis, Gabriel Marcel, di pertengahan dekade 1940-an.[15][16][17] Pada mulanya, ketika Marcel mengaplikasikan istilah ini kepada Jean-Paul Sartre di sebuah kolokium pada tahun 1945, Sartre menolak.[18] Sartre kemudian berubah pikiran dan pada 29 Oktober 1945 mengadopsi label eksistensialis di muka umum, dalam sebuah kuliah umum yang disampaikan kepada Club Maintenant di Paris. Kuliah umum ini kemudian diterbitkan sebagai sebuah buku pendek yang amat memopulerkan pemikiran eksistensialis berjudul L'existentialisme est un humanisme (Eksistensialisme Adalah Sebentuk Humanisme).[19] Marcel sendiri tak lama kemudian menolak istilah ini dan lebih menyukai istilah Neo-Sokratik, untuk menghormati esai Kierkegaard berjudul "Mengenai Konsep Ironi dengan Referensi Terus-Menerus kepada Sokrates" (bahasa Denmark: Om Begrebet Ironi med stadigt Hensyn til Socrates).
Ada ilmuwan yang berpendapat bahwa istilah ini harusnya hanya digunakan pada pergerakan kebudayaan di Eropa pada tahun 1940-an dan 1950-an dan dihubungkan dengan karya filsuf Jean-Paul Sartre, Simone de Beauvoir, Maurice Merleau-Ponty, dan Albert Camus.[1] Ilmuwan lain memanjangkan istilah ini hingga Kierkegaard, dan ada pula yang memanjangkannya hingga Sokrates.[20] Namun, istilah ini sering digunakan untuk merujuk pada pandangan filsafat Jean-Paul Sartre.[1]
Label eksistensialisme dan eksistensialis sering dipandang sebagai kemudahan sejarah saja karena kedua istilah itu pertama kali digunakan kepada beberapa filsuf setelah mereka telah lama meninggal. Meskipun eksistensialisme secara umum ditengarai dimulai oleh Kierkegaard, tetapi filsuf eksistensialis besar pertama yang menggunakan istilah tersebut untuk memperkenalkan diri adalah Jean-Paul Sartre. Sartre mengedepankan ide bahwa "yang dimiliki semua filsuf eksistensialis adalah doktrin fundamental bahwa eksistensi mendahului esensi", sebagaimana dijelaskan oleh Frederick Copleston.[21] Menurut filsuf Steven Crowell, mendefinisikan eksistensialisme memang sedikit sulit, dan ia mengatakan bahwa sebaiknya istilah ini dipahami sebagai pendekatan umum yang dapat digunakan untuk menolak filsafat sistematis tertentu, daripada menggunakannya untuk merujuk pada suatu filsafat sistematis.[1]
Terdapat klaim bahwa Kierkegaard mengadopsi istilah "eksistensialisme" (atau setidaknya istilah "eksistensial" sebagai penggambaran filsafatnya) dari penyair dan kritikus sastra Norwegia, Johan Sebastian Cammermeyer Welhaven.[22] Klaim ini bermula dari dua sumber. Seorang filsuf Norwegia, Erik Lundestad, mengingat filsuf Denmark, Fredrik Christian Sibbern. Sibbern konon pernah terlibat dalam dua percakapan pada tahun 1841, yang pertama dengan Welhaven dan yang kedua dengan Kierkegaard. Dalam percakapan ini, Welhaven diperkirakan menciptakan "sebuah kata yang menurutnya mampu merujuk pada semacam cara berpikir, yang bersikap intim dan positif terhadap kehidupan, suatu hubungan kepada kehidupan yang dikatakannya sebagai eksistensial."[23] Sibbern kemudian membawakan istilah ini kepada Kierkegaard.
Klaim kedua datang dari sejarawan Norwegia, Rune Slagstad, yang mengklaim bahwa Kierkegaard sendiri mengatakan bahwa istilah "eksistensial" dipinjam dari sang penyair. Ia amat percaya bahwa Kierkegaard sendiri yang mengatakan bahwa "kaum Hegelian tidak mempelajari filsafat secara eksistensial; istilah ini saya pinjam dari Welhaven, yang dengannya waktu itu saya berbicara tentang filsafat."[24]
Sartre mengklaim bahwa salah satu konsep sentral eksistensialisme adalah bahwa eksistensi mendahului esensi, yang berarti bahwa pertimbangan terpenting bagi seorang individual adalah bahwa mereka adalah individual — entitas yang bersikap dan bertanggung jawab secara independen dan sadar ("eksistensi") — dan bukan label, peran, stereotipe, definisi, atau kategori lainnya yang digunakan atau dipergunakan kepada individual tersebut ("esensi"). Kehidupan aktual seorang individu kemudian dapat disatukan dan dijadikan "esensi nyata" mereka, dan bukan esensi yang diatribusikan orang lain kepada mereka. Dengan demikian, manusia, melalui kesadarannya sendiri, menciptakan nilai-nilainya sendiri, dan menentukan arti bagi kehidupannya sendiri.[25] Meskipun yang jelas-jelas pertama kali menggunakan frasa ini adalah Sartre, namun pemikiran yang sama dapat pula ditemukan pada filsuf eksistensialis lain seperti Heidegger dan Kierkegaard:
Bentuk pemikir yang subyektif, bentuk komunikasinya, adalah gaya-nya. Bentuknya harus banyak sekali, sebanyak perlawanan-perlawanan yang dipegangnya. Eins, zwei, drei yang sistematis adalah bentuk abstrak yang pasti akan sulit diaplikasikan menjadi sesuatu yang konkret. Seorang pemikir subyektif harus se-konkret bentuknya yang dialektis. Akan tetapi, karena ia sendiri bukan seorang penyair, bukan seorang pemikir etika, bukan seorang dialektis, bentuknya juga bukan itu semua secara langsung. Bentuknya pertama-tama dan terakhir harus berhubungan dengan eksistensinya, dan dengan demikian ia harus memiliki sifat puitis, etis, dialektis, dan religius. Karakter, latar belakang, dan hal-hal lain yang subordinat itu, yang masuk ke dalam karakter utama produksi estetis yang seimbang, hanyalah semacam bidang; seorang pemikir subyektif hanya memiliki satu latar belakang yaitu eksistensi dan eksistensi tidak ada hubungannya dengan lokalitas dan hal-hal semacam itu. Latar belakang bukanlah surga imajinasi, tempat puisi mendapatkan bentuknya; juga bukan Inggris, tempat ketepatan sejarah tidak dipermasalahkan orang. Latar belakang adalah diri dalam yang eksis sebagai manusia; konkresi adalah hubungan antara satu kategori eksistensi dengan yang lainnya. Ketepatan dan aktualitas sejarah berada dalam satu bidang. Søren Kierkegaard (Concluding Postscript, Hong pp. 357–58)
Ada orang-orang yang menganggap bahwa perintah untuk mendefinisikan diri sendiri berarti seseorang dapat menjadi apa pun. Akan tetapi, seorang filsuf eksistensialis akan mengatakan bahwa keinginan seperti itu menghasilkan eksistensi yang tidak otentik, yang disebut Sartre sebagai mauvaise foi (bahasa Indonesia: kepercayaan buruk). Frasa tersebut berarti bahwa manusia (1) didefinisikan oleh tindakan mereka dan (2) bertanggung jawab atas tindakan mereka. Misalnya, seseorang yang bertindak buruk terhadap orang lain didefinisikan sebagai orang buruk, sebagaimana ditunjukkan aksi yang dilakukannya itu. Lebih lagi, orang itu kemudian juga bertanggung jawab atas identitas baru (orang buruk) yang dihasilkan dari aktivitas tersebut. Hal ini berlawanan dengan sikap mempersalahkan genetika atau sifat alami manusia.
Sebagaimana dikatakan Sartre dalam kuliahnya, Eksistensialisme Adalah Sebentuk Humanisme: "... manusia pada awalnya eksis, menyadari keberadaannya sendiri, bangun di dunia, lalu setelah itu mendefinisikan dirinya sendiri." Aspek yang lebih positif dan terapeutis dari hal ini juga diimplikasikan sebagai berikut: seseorang dapat memilih untuk bertindak dengan cara lain, dapat memilih untuk menjadi orang baik daripada menjadi orang jahat.[26]
Definisi eksistensialisme Sartre berdasar pada magnum opus Heidegger berjudul Being and Time (bahasa Indonesia: KeAdaan dan Waktu). Dalam sejumlah surat, Heidegger mengimplikasikan bahwa Sartre salah memahami filsafatnya demi memajukan subjektivitasnya sendiri, dan bahwa Heidegger tidak bermaksud bahwa aksi-aksi lebih didahului daripada keAdaan asalkan aksi tersebut tidak pertama-tama dipikirkan terlebih dahulu. Cara hidup seperti ini disebut Heidegger sebagai "keseharian biasa saja" (bahasa Inggris: average everydayness).
Konsep absurdisme mengandung ide bahwa tidak ada makna di dunia ini selain yang kita buat sendiri. Termasuk di dalam ketiadaan makna ini adalah amoralitas atau "ketidakadilan" dunia. Konseptualisasi ini dapat dipandang dalam kaitannya dengan perspektif Yahudi-Kristen-Islami, yang mengatakan bahwa tujuan hidup adalah untuk mematuhi perintah Tuhan.[27] Hidup absurd berarti menolak hidup yang menemukan atau mengejar makna tertentu bagi kehadiran manusia karena tidak ada pula yang dapat ditemukan. Menurut Albert Camus, alam semesta atau manusia tidak absurd dengan sendirinya, namun menjadi absurd ketika keduanya saling diposisikan satu sama lain, ketika kehidupan menjadi absurd karena manusia dan dunia yang dihidupinya tidak saling kompatibel.[27] Pandangan ini adalah salah satu dari dua interpretasi absurd yang ada dalam pandangan eksistensialis. Pandangan kedua, yang pertama kali dijelaskan oleh Kierkegaard, mengatakan bahwa absurditas terbatas pada aksi dan pilihan manusia. Aksi dan pilihan tersebut dipandang absurd karena muncul dari kebebasan manusia dan bukan berasal dari fondasi diri yang berada di luar diri mereka sendiri.[28]
Konsep absurd dalam eksistensialisme berlawanan dengan klaim bahwa "hal-hal buruk tidak akan terjadi pada orang baik"; kepada alam semesta, secara metaforis, tidak ada orang baik atau orang buruk; apa yang terjadi, terjadilah, dan sesuatu yang buruk dapat terjadi bagi orang "buruk" maupun orang "baik".[29] Absurditas alam semesta menyebabkan apa pun dapat terjadi kepada siapa pun, kapan pun, dan suatu kejadian tragis dapat mengantarkan manusia kepada konfrontasi langsung pada Absurditas. Konsep Absurd dapat banyak dijumpai dalam sejarah sastra. Banyak karya sastra Søren Kierkegaard, Samuel Beckett, Franz Kafka, Fyodor Dostoyevsky, Eugène Ionesco, Miguel de Unamuno, Luigi Pirandello,[30][31][32][33] Jean-Paul Sartre, Joseph Heller dan Albert Camus yang mengandung penggambaran mengenai absurditas dunia.
Dalam hubungannya dengan ketiadaan makna alam semesta inilah Albert Camus mengedepankan pikirannya bahwa "hanya ada satu masalah filsafat yang serius, yaitu bunuh diri", dalam Mitos Sisifus. "Pengobatan" terhadap konsekuensi buruk dari pemikiran ini ada banyak, dari "adegan" Kierkegaard yang ada hubungannya dengan agama, hingga anggapan Camus bahwa kita harus terus berjuang di muka absurditas. Namun, para filsuf eksistensialis memang amat ingin membantu manusia menghindari kehidupan yang di dalamnya selalu ada bahaya kehilangan semua hal yang bermakna. Bahaya ini dapat mengantarkan seseorang kepada quietisme, yang secara inheren berlawanan dengan filsafat eksistensialis.[34] Dikatakan bahwa kemungkinan bunuh diri membuat semua manusia menjadi eksistensialis. Pahlawan absurditas yang sesungguhnya hidup tanpa makna dan menghadapi bunuh diri tanpa bunuh diri.[35]
Faktisitas adalah sebuah konsep yang didefinisikan oleh Sartre dalam Being and Nothingness sebagai keberadaan-dalam-dirinya-sendiri (bahasa Inggris: being-in-itself), yang membedakan modalitas manusia antara berada dan tidak berada. Ini dapat dipahami dengan mudah apabila faktisitas dipandang dalam hubungannya dengan dimensi temporal masa lalu kita: masa lalu seseorang adalah keberadaan seseorang karena masa lalu tersebut turut menjadikan seseorang. Namun, kita tidak dapat mengatakan bahwa seseorang hanyalah masa lalunya saja karena dengan demikian berarti kita mengabaikan sebagian besar kenyataan (yakni, masa kini dan masa depan); di sisi lain, kalau kita mengatakan bahwa masa lalu seseorang sudah tidak lagi berlaku kini, itu sama saja tidak merujuk pada diri orang tersebut di masa kini. Penyangkalan masa lalu seseorang menghasilkan gaya hidup yang tidak otentik. Hal yang sama berlaku pada jenis-jenis faktisitas yang lain (misalnya, seorang manusia memiliki tubuh manusia yang tidak dapat berlari lebih cepat daripada kecepatan suara — identitas, nilai, dll.)[36]
Faktisitas adalah pembatasan dan nilai penentu kebebasan. Pembatasan karena sebagian besar faktisitas manusia adalah hal-hal yang tidak dapat diubah (tempat lahir, dll.), tetapi juga nilai penentu kebebasan karena pandangan-pandangan seseorang kemungkinan besar akan bergantung pada faktisitas tersebut. Namun, meskipun faktisitas seseorang sudah "terukir di batu" (misalnya sudah berada di masa lalu), faktisitas tetap tidak dapat mendefinisikan seseorang; seseorang tetap dapat menilai faktisitasnya, dan nilai-nilai yang dibawakan faktisitas itu, dengan bebas. Sebagai contoh: bayangkanlah dua manusia, manusia pertama tidak memiliki ingatan akan masa lalunya, dan manusia kedua mengingat masa lalunya. Mereka pernah melakukan banyak kejahatan, tetapi manusia pertama yang tidak tahu apa-apa karena lupa, hidup dengan normal; manusia kedua, yang merasa terjebak dengan masa lalunya, melanjutkan hidup penuh kriminalitas dan menyalahkan masa lalunya yang telah "menjebaknya" dalam kehidupan seperti itu. Tidak ada hal yang esensial tentang perilaku kriminalnya, tetapi ia memberikan makna pada masa lalu tersebut.
Namun, jika seseorang tidak memedulikan faktisitas saat memproyeksikan diri sendiri di masa depan, itu sama saja menolak diri sendiri dan sama saja tidak otentik. Awal mula proyeksi seseorang masih perlu tetap berdasar pada faktisitas, meskipun tentunya tidak dalam mode menjadi faktisitas tersebut secara esensial. Sebagai contoh, pertimbangkanlah seseorang yang berfokus pada proyek-proyek yang mungkin terjadi di masa depan tanpa memerhatikan faktisitas yang sedang berjalan:[36] seseorang yang terus-menerus berpikir tentang masa depan yang berhubungan dengan kekayaan (mis. mobil yang lebih baik, rumah yang lebih besar, kualitas hidup yang lebih baik, dll.), tanpa mengingat faktisitas "saat ini tidak mampu melakukan hal itu." Dalam contoh ini, apabila mempertimbangkan faktisitas dan transendensi, mode keberadaan yang otentik adalah mencari proyek masa depan yang mungkin meningkatkan kemampuan finansial diri sendiri pada saat ini (mis. bekerja lebih keras atau menabung) agar dapat mencapai faktisitas masa depan seperti peningkatan gaji, yang kemudian dapat berakhir pada pembelian mobil baru.
Aspek faktisitas lain adalah bahwa faktisitas mengantarkan pada kegelisahan, baik ketika kebebasan "menciptakan" kegelisahan ketika dibatasi faktisitas, dan juga ketika tidak ada kemungkinan "menyalahkan" faktisitas untuk sesuatu yang seharusnya dipertanggungjawabkan seseorang.
Aspek kebebasan eksistensial lain adalah bahwa seseorang dapat mengubah nilai-nilai yang dipegangnya. Dengan demikian, seseorang bertanggung jawab pada nilai-nilai yang dipegangnya, terlepas dari nilai-nilai yang dipegang masyarakat. Fokus kebebasan dalam eksistensialisme terkait dengan batasan tanggung jawab yang dipegang seseorang sebagai hasil dari kebebasannya: antara kebebasan dan tanggung jawab terdapat hubungan yang saling bergantung satu sama lain. Klarifikasi mengenai kebebasan juga mengklarifikasi tanggung jawab seseorang.[37][38]
Banyak penulis eksistensialis yang mementingkan tema eksistensi otentik. Konsep utamanya adalah seseorang harus "menciptakan diri sendiri" dan hidup sesuai dengan diri ini. Dalam bertindak, seseorang harus bertindak sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai "aksi seseorang" atau "gen seseorang" atau esensi lainnya. Aksi otentik adalah aksi yang turut dengan kebebasan seseorang. Nilai penentu kebebasan adalah faktisitas, termasuk faktisitas diri sendiri, namun faktisitas tetap tidak dapat menentukan pilihan transenden seseorang. Peran faktisitas dalam hubungannya dengan otentisitas adalah membiarkan nilai-nilai seseorang "bermain" saat membuat pilihan (dan tidak "memilih" secara acak). Dengan demikian, seseorang bertanggung jawab atas kelakuannya sendiri dan tidak membuat pilihan ini atau itu tanpa menyadari bahwa pilihan-pilihan tersebut dapat memiliki konsekuensinya masing-masing.[39]
Berlawanan dengan ini adalah hidup yang tidak otentik (inotentik). Orang yang hidup secara tidak otentik berarti menyangkal hidup yang sesuai dengan kebebasannya sendiri. Ada banyak bentuknya, misalnya dengan mengatakan bahwa pilihan yang ada memang tiada maknanya atau acak, dengan meyakinkan diri sendiri bahwa ada bentuk determinisme yang benar, hingga semacam "mimikri", ketika seseorang bertindak seolah-olah "ia harus".
"Keharusan" seseorang dalam bertindak ditentukan oleh bayangan yang dimiliki orang itu terkait dengan aksi yang ia anggap harus dilakukannya (misalnya berperan sebagai manajer bank, pemain sirkus, pekerja seks, dll.) Dalam Keberadaan dan Ketiadaan (bahasa Inggris: Being and Nothingness), Sartre menggambarkan contoh seorang "penunggu kafe" yang sedang berada dalam mauvaise foi: ia hanya menjalankan peran sebagai seorang penunggu kafe, meskipun permainan peran tersebut amat meyakinkan.[40] Biasanya, bayangan ini berhubungan dengan norma sosial tertentu, akan tetapi ini tidak berarti bahwa semua perilaku yang bersesuaian dengan norma sosial itu tidak otentik. Kepentingan utamanya adalah sikap seseorang terhadap kebebasan dan tanggung jawab seseorang, serta sejauh apa seseorang berlaku dengan sadar akan kebebasannya sendiri.
Liyan (bahasa Indonesia: lain) adalah konsep yang biasanya dimasukkan ke dalam fenomenologi dan konsep intersubjektivitas yang dimilikinya. Akan tetapi, konsep ini juga banyak digunakan dalam tulisan-tulisan eksistensialis, dan kesimpulan-kesimpulan yang ada di dalam penggunaannya oleh kaum eksistensialis sedikit berbeda dengan kesimpulan fenomenologi. Pengalaman Liyan adalah pengalaman subjek bebas lainnya yang berada dalam dunia yang sama dengan seseorang. Dalam bentuknya yang paling mendasar, pengalaman ke-Liyan-an ini adalah yang mendirikan intersubjektivitas dan objektivitas. Ketika seseorang mengalami orang lain, dan orang Liyan ini mengalami dunia (dunia yang sama dengan yang dialami orang pertama, hanya saja dari sudut pandang yang berbeda); dunia itu sendiri menjadi objektif, atau dengan kata lain, terdapat sesuatu yang "ada" yang sama bagi kedua belah pihak. Seseorang mengalami orang lain yang mengalami hal yang sama. Pengalaman pandangan Liyan inilah yang disebut Pandangan (bahasa Inggris: the Gaze, the Look).[41]
Meskipun pengalaman ini dalam makna fenomenologis dasarnya mendirikan dunia sebagai suatu hal yang objektif, serta diri sendiri sebagai sebuah subjektivitas yang eksis secara objektif (seseorang mengalami dirinya sendiri sebagaimana dilihat dalam Pandangan Sang Liyan dengan cara yang sama yang dialami Sang Liyan sebagai sebuah subjektivitas), dalam eksistensialisme, Pandangan juga bertindak sebagai sebentuk pembatasan kebebasan. Ini karena Pandangan cenderung mengobjektifikasi apa yang dilihatnya. Misalnya, ketika seseorang mengalami dirinya sendiri dalam Pandangan, seseorang tidak mengalami dirinya sebagai ketiadaan, melainkan sebagai sesuatu. Contoh yang diberikan Sartre adalah seseorang yang mengintip melalui lubang kunci; pada awalnya, lelaki yang mengintip ruangan itu sepenuhnya fokus pada situasi yang ada dalam ruangan itu dan ia berada dalam kondisi pre-refleksif dan mengarahkan kesadarannya pada apa yang terjadi di dalam ruangan. Tiba-tiba, ia mendengar suara yang mengindikasikan bahwa ada orang di belakangnya, dan kemudian ia menyadari bahwa ia sedang diPandang oleh sang Liyan. Ia kemudian merasa malu karena ia akan menilai dirinya sendiri sebagaimana ia akan menilai seseorang yang mengintip melalui lubang kunci. Pandangan ini kemudian turut mendirikan faktisitas seseorang.
Karakteristik lain Pandangan adalah tidak ada Liyan yang benar-benar harus berada di sana. Bisa saja suara yang muncul di belakangnya itu disebabkan angin yang berderai menyebabkan rumahnya sedikit bergoyang. Pandangan bukanlah semacam pengalaman telepatis yang mistis mengenai cara Liyan memandang. Pandangan hanyalah persepsi seseorang tentang cara orang lain akan mempersepsi dirinya.
"Kegelisahan eksistensial", kadang juga disebut ketakutan eksistensial, adalah sebuah istilah yang umum digunakan para pemikir eksistensialis. Kegelisahan ini biasanya didefinisikan sebagai suatu perasaan negatif yang muncul dari pengalaman kebebasan dan tanggung jawab manusia. Contoh arketipal kegelisahan adalah pengalaman yang biasanya dimiliki seseorang ketika berdiri di atas sebuah tebing; orang itu tidak hanya takut ia akan jatuh, tetapi juga takut akan menjatuhkan diri sendiri. Dalam pengalaman ini, ketika seseorang merasa "tidak ada yang membatasi saya", seseorang merasa bahwa tidak ada apa pun yang menentukan dirinya untuk terjun atau diam berdiri, dan di saat itulah ia merasakan bahwa dirinya bebas.
Dalam eksistensialisme, keputusasaan secara umum didefinisikan sebagai putusnya asa.[42] Secara spesifik, keputusasaan adalah putusnya asa sebagai reaksi hilangnya sebuah atau banyak sifat yang mendefinisikan kedirian atau identitas seseorang. Apabila seseorang ingin menjadi sesuatu, misalnya menjadi sopir bus atau warga negara yang baik, dan orang itu menyadari bahwa identitasnya rusak karena suatu hal, ia biasanya akan mengalami situasi putus asa. Misalnya, seorang penyanyi yang tidak lagi mampu menyanyi akan merasa putus asa apabila tidak ada hal lain yang bisa dilakukannya. Tidak ada lagi suatu hal yang menjadi identitasnya. Ia tidak mampu menjadi apa yang mendefinisikan dirinya.
Yang membedakan konsepsi keputusasaan eksistensialis dengan definisi yang dipegang umum adalah keputusasaan eksistensialis adalah kondisi yang dialami seseorang bahkan ketika mereka tidak sedang dalam keputusasaan yang mendalam. Apabila identitas seseorang bergantung pada sifat-sifat yang dapat runtuh, mereka berada dalam keputusasaan yang terus-menerus. Lebih lanjut, karena menurut Sartre tidak ada esensi manusia yang dapat ditemukan dalam realitas konvensional yang dapat menciptakan identitas seseorang, keputusasaan adalah kondisi universal bagi manusia. Sebagaimana didefinisikan Kierkegaard di dalam Either/Or: "Biarkan setiap orang belajar apa yang mampu dipelajarinya; kita semua dapat mempelajari bahwa kesedihan seseorang tidak pernah berada dalam ketiadaan kendali akan kondisi eksternalnya; hal ini hanya akan membuatnya benar-benar tidak bahagia."[43] Dalam Works of Love, ia mengatakan:
Ketika sifat duniawi kehidupan dunia yang tidak penting ini berhenti saat dihadapkan dengan kebanggaan terhadap diri sendiri, udara tiba-tiba menjadi beracun, waktu tiba-tiba berhenti, setiap tujuan menjadi hilang, terdapat semacam kebutuhan untuk angin yang menyegarkan dan menghidupkan, membersihkan udara, dan menghilangkan uap-uap beracun, yang menyelamatkan kita dari keduniawian. ... Mengharapkan semua hal dengan penuh cinta adalah lawan dari mengharapkan ketiadaan dengan penuh rasa putus asa. Cinta mengharapkan semua hal, namun tidak pernah dipermalukan. Harapan adalah merelasikan diri sendiri dengan kemungkinan kebaikan. Ketakutan adalah merelasikan diri sendiri dengan kemungkinan kejahatan. Dengan keputusan untuk memilih harapan, seseorang menentukan jauh lebih banyak daripada yang tampak pada awalnya, karena harapan adalah sebuah pilihan untuk selamanya. hlm. 246–50
Kaum eksistensialis menolak definisi manusia sebagai makhluk yang rasional. Dengan demikian, mereka menolak positivisme dan rasionalisme. Eksistensialisme menyatakan bahwa manusia sebenarnya membuat keputusan berdasarkan arti subyektif dan bukan rasionalitas murni. Penolakan akal budi sebagai sumber makna adalah suatu konsep yang terus diulang dalam pemikiran eksistensialis, seperti fokus pada perasaan gelisah dan ketakutan yang kita rasakan di hadapan kebebasan radikal kita sendiri dan kesadaran kita akan kematian. Kierkegaard mengedepankan rasionalitas sebagai cara kita berinteraksi dengan dunia objektif (yakni sains dan ilmu alam), akan tetapi ketika berhadapan dengan masalah eksistensial, tidak cukup hanya akal budi saja yang harus digunakan: "Akal budi manusia ada batasnya."[44]
Sebagaimana Kierkegaard, Sartre juga bermasalah dengan rasionalitas, menyebutnya sebagai sebentuk mauvaise foi, sebuah usaha diri untuk menciptakan struktur dalam dunia yang penuh fenomena — Liyan — yang irasional dan acak. Menurut Sartre, rasionalitas dan bentuk-bentuk mauvaise foi lainnya menyulitkan manusia mencari makna di dalam kebebasan. Menurut Sartre, orang-orang mengungkung diri mereka sendiri di balik kenyataan sehari-hari untuk mencoba menghilangkan rasa gelisah dan takut. Hal ini menyebabkan mereka melepaskan kebebasan diri mereka dan masuk ke dalam sebentuk penjara Pandangan Sang Liyan.
Pembacaan eksistensialis atas Alkitab harus didasarkan pada kemampuan sang pembaca untuk menyadari bahwa ia adalah suatu subjek yang memperlakukan kata-kata tersebut sebagai semacam memori atas berbagai kejadian yang terjadi di masa lampau. Hal ini dikontraskan dengan pembacaan Alkitab sebagai suatu koleksi "kebenaran" yang berada di luar dan tidak berhubungan dengan sang pembaca namun mengadakan semacam rasa kenyataan atau iman. Sang pembaca tidak diwajibkan untuk mengikuti perintah-perintah tersebut seakan-akan ada agen eksternal yang memaksakan keturutan, tetapi membaca seolah sedang berada di dalam kisah-kisah Alkitab itu dan kisah-kisah itu membantu mereka dari dalam. Kierkegaard bertanya: "Siapa yang tugasnya lebih sulit: sang pengajar yang mengajarkan hal-hal tentang betapa jauhnya meteor dari kehidupan nyata, atau seorang murid yang harus menggunakan ilmu tersebut?"[45]
Meskipun nihilisme dan eksistensialisme adalah dua filsafat yang berbeda, tetapi sering orang menyamakannya dengan keliru. Kekeliruan ini terutama disebabkan karena Friedrich Nietzsche adalah filsuf yang penting di kedua bidang tersebut. Selain itu, kaum eksistensialis juga sering menekankan bahwa hidup ini tidak ada maknanya. Para filsuf eksistensialis sering menekankan pentingnya kegelisahan, sebagai tanda ketiadaan dasar objektif aksi, dan hal ini sering direduksi sebagai nihilisme moral atau eksistensial. Tema yang sering berulang dalam karya-karya filsafat eksistensialis adalah pertemuan yang terus-menerus dengan absurditas, sebagaimana dilihat dalam Mitos Sisifos Albert Camus.[46] Jarang sekali filsuf eksistensialis yang menolak moralitas atau makna yang dibuat seseorang. Kata-kata penutup Jean-Paul Sartre dalam Being and Nothingness adalah "Semua pertanyaan ini, yang mengantarkan kita pada refleksi yang murni dan bukan refleksi yang dangkal, hanya dapat menemukan jawabannya dalam bidang etis. Di masa depan, kita akan bekerja keras untuk menemukan jawabannya."[40]
Søren Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche adalah dua filsuf pertama yang dianggap penting bagi gerakan eksistensialis, meskipun tidak ada dari keduanya yang menggunakan istilah "eksistensialisme" dan tidak jelas apakah mereka akan mendukung eksistensialisme abad ke-20. Mereka berfokus pada pengalaman manusia subjektif daripada kebenaran objektif matematika dan ilmu alam, yang menurut mereka terlalu terlepas atau terlalu observasional dan tidak mampu menangkap kebenaran eksistensi manusia. Seperti Pascal, mereka tertarik menyelidiki perjuangan diam manusia melawan ketiadaan makna hidup dan alam semesta, dan pelarian mereka dengan hiburan untuk menjauhi kebosanan. Tidak seperti Pascal, Kierkegaard dan Nietzsche juga mempertimbangkan peran pilihan bebas, terutama yang berhubungan dengan nilai-nilai dan kepercayaan fundamental, dan bagaimana pilihan-pilihan tersebut dapat mengubah sifat dan identitas si pemilih.[47] Konsep ksatria iman Kierkegaard dan Übermensch Nietzsche mewakili orang-orang yang menunjukkan kebebasan, yang mendefinisikan sendiri eksistensi mereka. Individu ideal Nietzsche menciptakan nilai-nilai dan aturan-aturannya sendiri. Berlawanan dengan ini, Kierkegaard, yang tidak menyukai abstraksi Hegel dan bersikap terbuka terhadap agama Kristen, mengatakan (di balik sebuah pseudonim) bahwa kebenaran objektif agama (Kristen) tidak mungkin dipastikan dan memiliki banyak paradoks logika. Akan tetapi, ia terus mengimplikasikan bahwa lompatan iman adalah sebuah cara yang bisa digunakan seorang individu untuk mencapai tingkatan eksistensi yang mentransendensi dan berisi nilai kehidupan yang estetis dan etis. Kierkegaard dan Nietzsche juga membuka jalan bagi gerakan intelektual lainnya, termasuk pascamodernisme, dan berbagai aliran psikoterapi. Pada akhirnya, Kierkegaard tetap percaya bahwa individual harus hidup sesuai dengan pemikirannya sendiri.
Penulis sastra pertama yang penting bagi eksistensialisme adalah penulis Rusia bernama Fyodor Dostoyevsky.[48] Catatan dari Bawah Tanah karya Dostoyevsky menggambarkan seorang lelaki yang gagal berhubungan dengan masyarakat dan tidak senang dengan identitas yang ia ciptakan untuk dirinya sendiri. Jean-Paul Sartre, dalam bukunya Eksistensialisme Adalah Sebentuk Humanisme, mengutip Karamazov Bersaudara karya Dostoyevsky sebagai salah satu contoh krisis eksistensial. Sartre mengatribusikan klaim Ivan Karamazov: "Apabila Tuhan tidak ada, maka semua hal menjadi diperbolehkan"[49] kepada Dostoyevsky, meskipun sebenarnya kutipan ini tidak muncul di dalam novel.[50] Namun, ada sentimen yang mirip ketika Alyosha menemui Dimitri di dalam penjara. Dimitri menyebutkan percakapannya dengan Rakitin, ketika ia berkata "Lalu, jika Tuhan tidak ada, maka manusia adalah raja bumi, raja alam semesta", yang membenarkan inferensi Sartre mengenai ide tersebut ada di dalam novel.[51] Novel Dostoyevsky lain berhadapan dengan isu yang dihadapi filsafat eksistensialis sementara memberikan jalur cerita yang berbeda dengan eksistensialisme sekuler: misalnya, dalam Kejahatan dan Hukuman, sang protagonis, Raskolnikov, menghadapi sebuah krisis eksistensial dan bergerak ke arah posisi Kristen Ortodoks yang lebih dekat dengan yang diadvokasikan oleh Dostoyevsky.[52]
Di dekade-dekade awal abad ke-20, beberapa filsuf dan penulis mengeksplorasi ide-ide eksistensialis. Filsuf Spanyol, Miguel de Unamuno y Jugo, dalam bukunya (terbit 1913) berjudul The Tragic Sense of Life in Men and Nations, menekankan hidup "tulang dan daging" yang diperlawankan dengan hidup rasionalisme abstrak. Unamuno menolak filsafat sistematik, dan lebih menyukai perjuangan kepercayaan sang individu. Dalam karyanya ada semacam rasa tragis dan absurd perjuangan ini, yang disimbolisasi dengan ketertarikannya dalam karakter fiksi Cervantes, Don Quixote. Novelis, penyair, dramatis dan dosen filsafat di Universitas Salamanca ini menulis pula cerita pendek tentang kisah krisis iman seorang pendeta, San Manuel Bueno, Mártir, yang masuk dalam antologi-antologi fiksi eksistensialis. Penulis Spanyol lainnya, Ortega y Gasset, menulis pada tahun 1914, menekankan bahwa eksistensi manusia harus selalu dipahami sebagai manusia individual yang digabungkan dengan situasi konkret kehidupannya: "Yo soy yo y mi circunstancia" (bahasa Indonesia: "Aku adalah diri dan situasiku"). Sartre juga memercayai bahwa eksistensi manusia bukanlah perihal abstrak, tetapi selalu berada dalam sebuah situasi ("en situation").
Meskipun Martin Buber menulis karya filsafat besarnya dalam bahasa Jerman, dan belajar dan mengajar di Universitas Berlin dan Frankfurt, ia berbeda dari arus utama filsafat Jerman. Ia lahir ke keluarga Yahudi di Wina pada tahun 1878, dan merupakan seorang ilmuwan budaya Yahudi dan sering terlibat dalam pergerakan Zionisme dan Hasidisme. Pada tahun 1938, ia pindah permanen ke Yerusalem. Karya filsafatnya yang paling dikenal adalah I and Thou, yang diterbitkan pada tahun 1922. Bagi Buber, fakta fundamental eksistensi manusia adalah "manusia dengan manusia", dialog yang terjadi di "ruang antara" ("das Zwischenmenschliche").Fakta fundamental ini jarang diperhatikan oleh rasionalisme ilmiah dan pemikiran filsafat abstrak.[53]
Dua pemikir Rusia, Lev Shestov dan Nikolai Berdyaev, menjadi terkenal sebagai pemikir eksistensialis ketika mereka sedang diusir ke Paris pasca-Revolusi. Shestov lahir kepada keluarga Yahudi Ukraina di Kiev, dan pada 1905 menyerang rasionalisme dan sistematisasi filsafat dalam buku aforismanya, Semuanya Mungkin.
Berdyaev, juga dari Kiev namun berlatar belakang Gereja Ortodoks Timur, membuat perbedaan radikal antara dunia jiwa dan dunia objek sehari-hari. Kebebasan manusia, bagi Berdyaev, berakar pada dunia jiwa, dunia yang merdeka dari konsep ilmiah tentang sebab-akibat. Apabila seorang manusia independen tetap hidup dalam dunia objektif, ia terpisah dari kebebasan spiritual otentik. "Manusia" tidak dapat diinterpretasi secara naturalistik, melainkan sebagai makhluk yang diciptakan dalam imaji Tuhan, tempat aksi-aksi bebas dan kreatif bermula.[54] Ia mengeluarkan karya besar dalam tema tersebut, Takdir Manusia, pada tahun 1931.
Gabriel Marcel, jauh sebelum menggunakan istilah "eksistensialisme", sudah mengenalkan tema-tema eksistensialisme penting kepada audiens Prancis, dalam esai awalnya, "Existence and Objectivity" (1925) dan dalam Jurnal Metafisika-nya (1927).[55] Marcel yang merupakan seorang dramaturg dan filsuf menemukan titik awal filsafatnya dalam kondisi alienasi metafisik, yaitu seorang individu manusia yang mencari harmoni dalam hidup yang sementara. Harmoni, bagi Marcel, dapat dicapai melalui "refleksi sekunder", sebuah pendekatan "dialogis" dan bukan "dialektis" pada dunia, dengan keberadaan "kekaguman dan ketakjuban" dan terbuka pada "keberadaan" orang lain dan Tuhan, dan bukan menanggapi pihak luar itu hanya sebagai "informasi". Bagi Marcel, keberadaan tersebut lebih berimplikasi daripada sekadar hadir di suatu tempat (sebagaimana suatu hal mungkin bisa ada di kehadiran hal yang lain). Keberadaan baginya berkonotasi keberadaan yang "luar biasa" dan keinginan untuk mengorbankan diri sendiri untuk orang lain.[56]
Marcel memperlawankan "refleksi sekunder" dengan "refleksi primer" yang abstrak, saintifik dan teknis, yang ia asosiasikan dengan aktivitas ego Kartesian yang abstrak. Bagi Marcel, filsafat adalah aktivitas konkret yang dilakukan oleh inkarnasi manusia yang mampu mengindera dan merasa di dalam sebuah dunia yang konkret.[55][57] Meskipun Jean-Paul Sartre mengadopsi istilah "eksistensialisme" untuk filsafatnya sendiri pada tahun 1940-an, pemikiran Marcel sering digambarkan "berlawanan hampir sepenuhnya" dengan penggunaan Sartre.[55] Tidak seperti Sartre, Marcel adalah seorang Kristen dan pindah ke agama Katolik pada tahun 1929.
Di Jerman, psikolog dan filsuf Karl Jaspers — yang kemudian menyebut eksistensialisme sebagai semacam "hantu" yang diciptakan oleh publik[58] — menyebut pemikirannya, yang amat terpengaruh oleh Kierkegaard dan Nietzsche, sebagai Existenzphilosophie. Bagi Jaspers, "Existenz-filosofi adalah semacam cara berpikir yang dapat digunakan manusia untuk menjadi dirinya sendiri ... Cara berpikir ini tidak menyadari objek, namun mengelusidasi dan mengaktualkan keberadaan sang pemikir.[59]
Jaspers, yang merupakan dosen di Universitas Heidelberg, mengenal Martin Heidegger, yang memegang posisi dosen di Marburg sebelum mengambil posisi Husserl di Freiburg pada tahun 1928. Mereka banyak melakukan diskusi filsafat, tetapi kemudian menjauh karena Heidegger mendukung Nazisme. Mereka sama-sama mengagumi Kierkegaard,[60] dan pada tahun 1930-an, Heidegger banyak memberikan kuliah tentang Nietzsche. Sejauh mana Heidegger dapat disebut seorang eksistensialis memang dapat diperdebatkan. Dalam Being and Time, ia memberikan suatu metode untuk mengakari dan menganalisis eksistensi manusia (Dasein) dengan metode kategori eksistensial, dan hal ini membuatnya dikenal penting dalam gerakan eksistensialis.
Setelah Perang Dunia II, eksistensialisme menjadi pergerakan filsafat dan budaya yang penting dan terkenal, terutama setelah tenarnya dua penulis Prancis, Jean-Paul Sartre dan Albert Camus, yang menulis novel dan naskah drama yang habis terjual serta jurnalisme dan teks teoretis yang banyak dibaca orang.[61] Pada tahun-tahun ini, reputasi buku Heidegger, Being and Time, di luar Jerman, pun meningkat.
Sartre membahas tema eksistensialis dalam novelnya, Nausea yang dirilis tahun 1938, dan beberapa cerita pendek dalam koleksinya yang dirilis tahun 1939 berjudul The Wall. Ia juga menerbitkan tulisannya mengenai eksistensialisme, Being and Nothingness, pada tahun 1943, namun baru dua tahun kemudian, setelah pembebasan Paris dari tentara okupasi Jerman, namanya menjadi terkenal secara internasional sebagai pemimpin gerakan eksistensialisme, bersama tiga orang teman dekatnya, yaitu Camus, Simone de Beauvoir, dan Maurice Merleau-Ponty, dkk.[62] Dalam waktu yang sangat singkat, terutama Camus dan Sartre menjadi intelektual publik garda depan dalam Prancis pascaperang, dan pada tahun 1945 mereka "terkenal di semua kalangan".[63] Camus merupakan seorang editor koran kiri yang paling terkenal, Combat; Sartre meluncurkan jurnal pemikiran kirinya, Les Temps Modernes, dan dua minggu kemudian membuka kuliah umum tentang eksistensialisme dan humanisme sekuler di sebuah pertemuan yang ramai di Club Maintenant. Beauvoir menulis bahwa "tidak satu minggu pun lewat tanpa koran-koran membahas kami".[64] Eksistensialisme menjadi "ulasan hangat media pertama di era pascaperang."[65]
Di akhir tahun 1947, karya fiksi dan drama Camus yang lebih awal telah dicetak ulang, naskah barunya Caligula telah dimainkan, dan novelnya The Plague (bahasa Indonesia: Sampar) diterbitkan; kedua novel pertama dalam trilogi The Roads to Freedom juga diterbitkan, begitu pula novel de Beauvoir, The Blood of Others. Karya-karya oleh Camus dan Sartre mulai muncul dalam edisi luar negeri. Para filsuf eksistensialis Prancis ini mulai terkenal.[62]
Sartre berangkat ke Jerman pada tahun 1930 untuk mempelajari fenomenologi Edmund Husserl dan Martin Heidegger.[66] Bukunya besarnya, Being and Nothingness, pun berisi komentar kritis tentang karya-karya Husserl dan Heidegger. Pemikiran Heidegger juga kemudian dikenal dalam lingkaran filsafat Prancis karena digunakan Alexandre Kojève untuk menjelaskan Hegel dalam satu seri perkuliahan di Paris pada tahun 1930.[67] Kuliah-kuliah tersebut sangat berpengaruh; audiensnya bukan hanya Sartre dan Merleau-Ponty, turut pula hadir adalah Raymond Queneau, Georges Bataille, Louis Althusser, André Breton, dan Jacques Lacan.[68] Beberapa tulisan pilihan dari Being and Time Heidegger diterbitkan di Prancis pada tahun 1938, dan esai-esainya mulai muncul dalam jurnal filsafat Prancis.
Heidegger membaca karya Sartre dan pada awalnya amat takjub. Ia mengatakan: "Untuk pertama kalinya, saya menemukan seorang pemikir independen yang dari fondasinya sudah mengalami daerah pemikiran saya. Karya Anda menunjukkan pemahaman yang sangat cepat atas filsafat saya, dan saya belum pernah melihat hal ini sebelumnya."[69] Akan tetapi, kemudian, dalam sebuah jawaban kepada pertanyaan yang diajukan oleh murid Prancisnya, Jean Baufret,[70] Heidegger menjauhkan diri dari posisi dan eksistensialisme Sartre secara umum dalam Surat Mengenai Humanisme yang ia tulis.[71] Reputasi Heidegger terus meningkat di Prancis pada tahun 1950-an dan 1960-an. Pada tahun 1960-an, Sartre mencoba menggabungkan eksistensialisme dan Marxisme dalam karyanya, Kritik untuk Akal Budi Dialektis. Tema yang terus berulang dalam tulisan-tulisannya adalah tentang kebebasan dan pertanggungjawaban.
Camus adalah teman Sartre sampai mereka berpisah. Ia juga menulis beberapa karya bertema eksistensial, termasuk The Rebel, Musim Panas di Algeria, Mitos Sisifos, dan Orang Asing. Buku yang terakhir ini adalah novel eksistensialis yang sering dijadikan contoh.[72] Camus, seperti banyak penulis lainnya, menolak label eksistensialis; ia menganggap tema karyanya adalah manusia menghadapi absurditas.
Simone de Beauvoir, seorang eksistensialis penting yang menghabiskan hidupnya sebagai pasangan Sartre, menulis tentang etika feminis dan eksistensialis dalam karyanya, The Second Sex dan The Ethics of Ambiguity. Meskipun sering tidak dipandang karena hubungannya dengan Sartre,[73] de Beauvoir mengintegrasikan eksistensialisme dengan cara berpikir lain seperti feminisme. Pada waktu itu, hal ini masih tidak sering didengar orang, dan ia pun banyak dikucilkan dari penulis lain seperti Camus.[52]
Paul Tillich adalah seorang teolog eksistensialis pengikut Kierkegaard dan Karl Barth yang penting. Ia mengaplikasikan konsep eksistensialis pada teologi Kristen dan mulai memperkenalkan teologi eksistensial kepada khalayak umum. Karya besarnya, Keberanian Menjadi, mengikuti analisis Kierkegaard mengenai kegelisahan dan absurditas kehidupan. Ia mengedepankan tesis bahwa manusia modern harus mencapai kedirian, meskipun hidup itu absurd, melalui Tuhan. Rudolf Bultmann menggunakan filsafat eksistensi Kierkegaard dan Heidegger untuk mendemitologisasi Kristenitas, dengan cara menginterpretasi konsep mitis Kristen menjadi konsep-konsep eksistensialis.
Maurice Merleau-Ponty, seorang fenomenologis eksistensial, sempat menjadi teman Sartre. Karya Merleau-Ponty yang berjudul Fenomenologi Persepsi (1945) sempat dianggap sebagai pernyataan besar eksistensialisme Prancis.[74] Konon, karya Merleau-Ponty berjudul Humanisme dan Teror amat memengaruhi Sartre. Namun, mereka kemudian berdebat hangat, yang memisahkan eksistensialis menjadi berbagai kubu. de Beauvoir, misalnya, mengambil posisi bersetuju dengan Sartre.[52]
Colin Wilson, seorang penulis Inggris, menerbitkan karyanya berjudul The Outsider pada tahun 1956. Pada awalnya, karya ini diterima dengan hangat. Dalam buku ini dan beberapa karya lain (yakni misalnya Pengenalan Eksistensialisme Baru), ia mencoba menghidupkan kembali apa yang dianggapnya sebagai filsafat pesimis dan membawanya ke audiens yang lebih besar. Akan tetapi, ia tidak dilatih secara akademis dan karyanya diserang para filsuf profesional karena dianggap tidak serius dan tidak mencapai standard kritis.[75]
Film antiperang Stanley Kubrick tahun 1957, Paths of Glory, "menggambarkan, dan bahkan menerangi, eksistensialisme" dengan cara menginvestigasi "absurditas kondisi manusia yang memang ada" dan "kengerian perang".[76] Film ini bercerita tentang regimen tentara Prancis fiktif di Perang Dunia I yang diperintahkan menyerang sebuah fortifikasi Jerman yang tidak dapat ditembus. Ketika serangan ini gagal, tiga tentara dipilih secara acak, dimasukkan dalam pengadilan militer bodong, dan dieksekusi oleh regu penembak. Film ini melihat etika eksistensialis, misalnya permasalahan apakah objektivitas itu mungkin dan juga "masalah otentisitas".[76] Film Orson Welles tahun 1962, The Trial, yang didasarkan pada buku Franz Kafka berjudul sama (Der Process), menggunakan tema eksistensialis dan absurdis dalam menggambarkan seorang lelaki (Joseph K.) yang ditangkap untuk suatu kejahatan yang tidak pernah dikatakan kepada si tokoh itu sendiri maupun kepada pembaca.
Neon Genesis Evangelion adalah seri animasi fiksi ilmiah asal Jepang yang diciptakan oleh studio anime Gainax, disutradarai dan ditulis oleh Hideaki Anno. Tema-tema eksistensialis dibahas secara mendalam di dalam anime ini, terutama individualitas, kesadaran, kebebasan, pilihan, dan tanggung jawab. Terutama yang digunakan adalah karya-karya Jean-Paul Sartre dan Soren Kierkegaard. Judul Episode 16, The Sickness Unto Death, And..." (Templat:Lang-jp), mereferensikan buku Kierkegaard, The Sickness Unto Death. Beberapa film kontemporer yang bertema eksistensial lainnya adalah: Melancholia, Fight Club, I Heart Huckabees, Waking Life, The Matrix, Ordinary People, dan Life in a Day.[77] Film-film abad ke-20 seperti The Seventh Sea, Ikiru, Taxi Driver, Toy Story, The Great Silence, Ghost in the Shell, Harold and Maude, High Noon, Easy Rider, One Flew Over the Cuckoo's Nest, A Clockwork Orange, Groundhog Day, Apocalypse Now, Badlands, dan Blade Runner, juga menyerempet tema eksistensialis.[78]
Beberapa sutradara yang terkenal karena film eksistensialis adalah Ingmar Bergman, François Truffaut, Jean-Luc Godard, Michelangelo Antonioni, Akira Kurosawa, Terrence Malick, Stanley Kubrick, Andrei Tarkovsky, Hideaki Anno, Wes Anderson, Gaspar Noé, Woody Allen, dan Christopher Nolan.[79] Synecdoche, New York karya Charlie Kaufman berfokus pada keinginan sang protagonis untuk mencari makna eksistensial.[80] Dalam Red Beard karya Akira Kurosawa, pengalaman sang protagonis sebagai intern di sebuah klinik kesehatan desa di Jepang membuatnya mengalami krisis eksistensial dan mempertanyakan alasannya hidup. Sebagai hasilnya, ia mengalami pemahaman yang lebih mendalam mengenai kemanusiaan.
Perspektif eksistensial juga muncul dalam sastra modern dalam tahapan yang berbeda-beda, terutama sejak tahun 1920-an. Karya Louis-Ferdinand Céline, Voyage au bout de la nuit (bahasa Indonesia: Perjalanan Menuju Akhir Malam, 1932), yang disukai oleh Sartre dan de Beauvoir, berisi banyak tema yang kemudian akan muncul dalam sastra eksistensial yang muncul setelahnya. Karya ini dianggap sebagai novel proto-eksistensial. Novel 1938 Jean-Paul Sartre, berjudul Nausea,[81] penuh dengan ide-ide eksistensial dan merupakan buku yang dianggap mudah diakses untuk memahami posisi filosofis Sartre.[82] Antara tahun 1900 dan 1960, penulis lain seperti Albert Camus, Franz Kafka, Rainer Maria Rilke, T.S. Eliot, Herman Hesse, Luigi Pirandello[30][31][33][83][84][85] Ralph Ellison,[86][87][88][89] dan Jack Kerouac, menulis sastra atau puisi yang berisi elemen-elemen pemikiran eksistensial atau proto-eksistensial. Pengaruh filsafat ini bahkan mencapai karya sastra pop tepat di awal abad ke-21, misalnya dalam ketiadaan kendali manusia atas takdir yang dibahas dalam karya H.P. Lovecraft.[90] Sejak akhir tahun 1960-an, ada banyak aktivitas kebudayaan dalam sastra yang mengandung elemen pascamodernis dan eksistensial. Misalnya, buku Do Androids Dream of Electric Sheep? (bahasa Indonesia: Apakah Android Bermimpi tentang Domba Elektrik?, 1968, dan kini dicetak ulang sebagai Blade Runner), yang diterbitkan oleh Philip K. Dick; Slaughterhouse-Five oleh Kurt Vonnegut; novel Fight Club oleh Chuck Palahniuk dan Formless Meanderings oleh Bharath Srinivasan,[91] semuanya menghilangkan garis antara realitas dan penampakan, sambil menghidangkan tema-tema eksistensial.
Jean-Paul Sartre menulis Tiada Jalan Keluar (bahasa Prancis: 'Huis Clos'; bahasa Inggris: No Exit) pada tahun 1944, sebuah naskah teater eksistensialis yang menjadi sumber kutipan populer: "Neraka adalah orang lain." (bahasa Prancis: "L'enfer, c'est les autres."). Naskah ini dimulai dengan seorang Valet yang mengantarkan seseorang ke dalam ruangan yang segera disadari para audiens adalah neraka. Tidak lama kemudian, dua orang perempuan lain pun turut masuk. Setelah mereka masuk, Valet pergi dan pintu itu pun ditutup dan dikunci. Mereka bertiga menunggu disiksa, tetapi tidak ada penyiksa yang datang. Mereka kemudian menyadari bahwa mereka berada di tempat itu untuk menyiksa satu sama lain, yang kemudian dilakukan dengan mencari-cari dosa, keinginan, dan memori tidak menyenangkan satu sama lain.
Tema eksistensialis juga ditampilkan dalam Teater Absurd, misalnya Waiting for Godot karya Samuel Beckett. Dalam karya tersebut, dua orang lelaki mengobrolkan hal yang lain sambil mereka mencari seseorang (atau sesuatu) bernama Godot yang tidak pernah datang. Mereka mengklaim bahwa Godot adalah seorang kenalan, tetapi sebenarnya mereka tidak begitu mengenal Godot dan mengakui bahwa mereka tidak akan mengenali Godot apabila ia datang. Samuel Beckett, yang pernah ditanya siapa Godot, menjawab: "Kalau saya tahu, saya akan mengatakannya di dalam naskah." Untuk menghilangkan kebosanan, kedua lelaki itu makan, tidur, mengobrol, berdebat, menyanyi, bermain, berolahraga, bertukar topi, dan memikirkan bunuh diri — apa pun "agar diam yang menyiksa itu tidak datang mendekat."[92] Naskah ini "mengedepankan beberapa bentuk dan situasi arketipal, yang semuanya menyampaikan komedi dan pathos."[93] Naskah drama ini juga menggambarkan sikap terhadap pengalaman manusia di alam semesta: kesedihan, penindasan, pertemanan, harapan, korupsi, dan kebingungan pengalaman manusia yang hanya bisa direkonsiliasi dalam pikiran dan dalam seni sang absurdis. Naskah ini juga bertanya tentang kematian, makna kehidupan, serta tempat Tuhan dalam pengalaman manusia.
Antigone karya Jean Anouilh juga berargumen tentang ide-ide eksistensialis.[94] Karya ini adalah sebuah tragedi yang terinspirasi dengan mitologi Yunani, dan naskah dengan judul yang sama (Antigone karya Sophokles) yang muncul di abad ke-5 SM. Dalam bahasa Inggris, naskah ini dibedakan dari naskah lama dengan penyebutan Prancisnya, "Ante-GŌN". Naskah ini pertama kali ditampilkan di Paris pada 6 Februari 1944, ketika Prancis waktu itu berada di bawah okupasi Jerman Nazi. Di bawah penyensoran Nazi, naskah ini sengaja dibuat ambigu mengenai perlawanannya terhadap otoritas (yang direpresentasikan oleh Antigone) dan penerimaan otoritas (yang direpresentasikan oleh Kreon). Ada orang-orang yang mencari persamaan antara Resistensi Prancis dan okupasi Nazi. Antigone menolak kehidupan, mengatakan kehidupan memang tidak ada maknanya, namun juga tidak memilih kematian yang mulia. Klimaks naskah ini adalah sebuah dialog mengenai sifat kekuasaan, takdir, dan pilihan, dan ketika Antigone mengatakan bahwa ia "... jijik terhadap ... janji kebahagiaan yang menderu-deru." Ia mengatakan bahwa ia lebih baik mati daripada hidup secara payah.
Kritikus Martin Esslin, dalam bukunya "Teater Absurd", menunjukkan bahwa banyak dramaturg kontemporer seperti Samuel Beckett, Eugène Ionesco, Jean Genet, dan Arthur Adamov, memasukkan kepercayaan eksistensialis bahwa kita adalah makhluk-makhluk absurd yang hidup di sebuah semesta yang kosong dan tidak bermakna ke dalam karya-karyanya. Esslin menunjukkan bahwa banyak dramaturg itu mendemonstrasikan kekuatan filsafat lebih baik daripada karya-karya Sartre dan Camus. Meskipun banyak dramaturg tersebut, yang kemudian dilabel "Absurdis" (di dalam buku Esslin), menolak label eksistensialisme dan sering sangat antifilsafat (misalnya, Ionesco sering mengklaim bahwa ia lebih dekat dengan patafisika atau surrealisme daripada dengan eksistensialisme), berdasarkan pandangan Esslin, para dramaturg ini sering berhubungan dengan eksistensialisme.[95]
Salah satu efek besar eksistensialisme sebagai sebuah filsafat adalah psikologi dan psikoanalisis eksistensialis, yang pertama kali mengkristal dalam karya Otto Rank, rekan Sigmund Freud selama 20 tahun. Ludwig Binswanger, tanpa menyadari keberadaan Otto Rank, juga amat terpengaruh oleh Freud, Edmund Husserl, Heidegger, dan Sartre. Figur lain yang penting adalah Viktor Frankl, yang sempat bertemu Freud dan belajar dengan Jung di masa mudanya.[96] Logoterapi-nya dapat dipertimbangkan sebagai sebentuk terapi eksistensialis. Para pemikir eksistensialis juga memengaruhi psikologi sosial, mikro-sosiologi antipositivis, interaksionisme simbolis, dan pascastrukturalisme, melalui karya-karya Georg Simmell[97] dan Michel Foucault. Foucault sering membaca tulisan Kierkegaard meskipun ia tidak pernah mengutipnya, dan kepentingan Kierkegaard bagi pemikirannya memang besar dan dirahasiakan.[98]
Kegelisahan begitu penting dalam eksistensialisme, hingga menjadi topik yang populer dalam psikoterapi. Para terapis suka memberikan filsafat eksistensialis sebagai penjelasan kegelisahan. Klaimnya adalah bahwa kegelisahan muncul dalam kebebasan absolut seorang individu untuk memilih serta pertanggungjawaban absolut seorang individu untuk pilihannya tersebut. Para psikoterapi yang menggunakan pendekatan eksistensialis percaya bahwa seorang pasien dapat menggunakan kegelisahannya secara konstruktif. Alih-alih menekan kegelisahan, para pasien disarankan untuk menggunakan kegelisahan tersebut sebagai dasar perubahan. Apabila seseorang menyadari bahwa kegelisahan itu tidak mungkin dihindari, maka ia dapat mencapai potensial penuhnya. Psikologi humanistik juga memiliki impetus besar dari psikologi eksistensialis dan banyak bersepaham. Teori manajemen teror, yang didasarkan pada tulisan Ernest Becker dan Otto Rank, adalah sebuah bidang berkembang di dalam studi akademik psikologi. Teori ini mencoba menginvestigasi apa yang disebut para ilmuwan sebagai "reaksi emosional implisit" yang muncul pada orang-orang yang dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka suatu hari akan mati.
Gerd B. Achenbach juga menghidupkan kembali tradisi Sokratik dengan metodenya sendiri, konseling filosofis.
Walter Kaufmann mengkritik "metode yang amat tidak jelas, dan kebencian berbahaya akan penggunaan akal budi, yang begitu tampak dalam eksistensialisme."[99]
Para filsuf positivis logis, seperti Rudolf Carnap dan A. J. Ayer, menyatakan bahwa kaum eksistensialis sering bingung mengenai verba to be dalam analisis mereka mengenai being.[100] Khususnya, mereka berkata bahwa verba is bersifat transitif dan sudah terpatri terlebih dahulu pada predikat (misalnya, an apple "is red") — tanpa predikat, kata itu tidak ada artinya, dan para eksistensialis sering menyalahgunakan istilah itu. Colin Wilson mengatakan, dalam bukunya The Angry Years, bahwa eksistensialisme banyak menciptakan kebingungannya sendiri: "kita bisa lihat, pertanyaan mengenai kebebasan kehendak ini dihidupkan kembali oleh filsafat pascaromantis, yang karena kesukaannya menginvestigasi kemalasan dan kebosanan, kita bisa melihat bagaimana eksistensialisme menggali kuburannya sendiri, dan bagaimana perkembangan filsafat sejak saat itu hanya berputar-putar di sekitar lubang yang sama."[101]
Banyak kritikus yang menilai bahwa filsafat Sartre bersifat kontradiktif. Khususnya, mereka menilai bahwa Sartre membuat argumen metafisik, meskipun ia sendiri mengklaim bahwa pandangan filsafatnya mengabaikan metafisika. Herbert Marcuse mengkritik Being and Nothingness, karya Sartre tahun 1943, karena di dalam karya itu Sartre memproyeksikan kegelisahan dan ketiadaan makna ke dalam sifat eksistensi itu sendiri: "Apabila Eksistensialisme adalah doktrin filsafat, doktrin ini tetap sebuah doktrin idealistik yang meng-hipostatisasi kondisi sejarah khusus kemanusiaan menjadi karakteristik ontologis dan metafisik. Eksistensialisme menjadi bagian ideologi yang diserangnya itu sendiri, dan radikalismenya itu hanyalah ilusi."[102]
Dalam "Surat Mengenai Kemanusiaan", Martin Heidegger mengkritik eksistensialisme Sartre:
Eksistensialisme menyebut bahwa eksistensi mendahului esensi. Dalam pernyataan ini, ia mengambil "existentia" dan "essentia" menurut makna metafisiknya itu sendiri, yang sejak zaman Plato, sudah mengatakan bahwa "essentia" mendahului "existentia". Sartre menukar posisi ini. Akan tetapi, penukaran pernyataan metafisis ini tetaplah merupakan sebuah pernyataan metafisis. Dengannya, Sartre tetap berada di dalam metafisis, dan tidak menyadari keberadaan Being.[103]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.