Remove ads
Produser Terkenal Jepang Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Eiji Tsuburaya (Jepang: 円谷 英二 , Hepburn: Tsuburaya Eiji, 7 Juli 1901[b] – 25 Januari 1970) adalah seorang sutradara efek khusus, pembuat film, dan penemu dari Jepang. Sebagai ko-kreator dari waralaba Godzilla dan Ultraman, ia dianggap sebagai salah satu tokoh paling penting dan berpengaruh dalam sejarah perfilman. Dikenal sebagai "Bapak Tokusatsu",[6][d] ia memelopori industri efek khusus Jepang, memperkenalkan beberapa perkembangan teknologi dalam produksi film. Dalam rentang karir selama lima dekade, Tsuburaya mengerjakan sekitar 250 film—termasuk film panjang terkenal secara global yang disutradarai oleh Ishirō Honda, Hiroshi Inagaki, dan Akira Kurosawa— dan meraih enam penghargaan Japan Technical Awards.
Eiji Tsuburaya | |||||
---|---|---|---|---|---|
Nama asal | 円谷 英二 | ||||
Lahir | Eiichi Tsumuraya[a] 7 Juli 1901[b] Sukagawa, Fukushima, Kekaisaran Jepang | ||||
Meninggal | 25 Januari 1970 68) Itō, Shizuoka, Jepang | (umur||||
Makam | Catholic Fuchū Cemetery | ||||
Almamater | Sekolah Teknik Elektro Tokyo Kanda | ||||
Pekerjaan |
| ||||
Tahun aktif | 1919–1969 | ||||
Karya | Daftar lengkap | ||||
Gelar | Presiden Tsuburaya Productions[8] | ||||
Suami/istri | Masano Araki (m. 1930) | ||||
Anak | 4,[c] termasuk Hajime, Noboru dan Akira | ||||
Kerabat | Aōdō Denzen (leluhur) Hiroshi Tsuburaya (cucu) | ||||
Penghargaan | 6 Penghargaan Teknis Jepang 3 Penghargaan Asosiasi Sinematografer Jepang | ||||
Karier militer | |||||
Pengabdian | Kekaisaran Jepang | ||||
Dinas/cabang | Angkatan Darat Kekaisaran Jepang | ||||
Lama dinas | 1921–1923[10] | ||||
Nama Jepang | |||||
Kanji | 円谷 英二 | ||||
Kana | つぶらや えいじ | ||||
| |||||
Situs web | Situs web resmi | ||||
Tanda tangan | |||||
Setelah masa singkatnya sebagai penemu, Tsuburaya dipekerjakan oleh perintis sinema Jepang Yoshirō Edamasa pada tahun 1919 dan memulai karirnya dengan bekerja sebagai asisten sinematografer dalam A Tune of Pity karya Edamasa. Setelah itu, ia bekerja sebagai asisten sinematografer dalam beberapa film, termasuk A Page of Madness (1926) karya Teinosuke Kinugasa. Pada usia 32 tahun, Tsuburaya menonton King Kong, yang sangat memengaruhinya untuk bekerja dalam efek khusus. Tsuburaya menyelesaikan derek pengambilan besi pertamanya pada Oktober 1934, dan adaptasi derek masih digunakan di seluruh dunia hingga saat ini. Setelah memfilmkan karya debutnya sebagai sutradara di atas kapal penjelajah Asama di Samudra Pasifik, ia mengerjakan Princess Kaguya (1935), salah satu film besar pertama di Jepang yang menggabungkan efek khusus. Film pertamanya yang sangat sukses dalam efek, The Daughter of the Samurai (1937), benar-benar menampilkan proyeksi latar skala penuh pertama.
Pada tahun 1937, Tsuburaya dipekerjakan oleh Toho dan mendirikan departemen efek perusahaan tersebut. Tsuburaya mengarahkan efek untuk The War at Sea from Hawaii to Malaya pada tahun 1942, yang menjadi film Jepang terlaris dalam sejarah setelah dirilis. Efeknya yang rumit diyakini berada di balik kesuksesan besar film tersebut, dan ia memenangkan penghargaan untuk karyanya dari Asosiasi Sinematografer Film Jepang. Akan tetapi, pada tahun 1948, Tsuburaya dibersihkan dari Toho oleh Panglima Tertinggi Sekutu karena keterlibatannya dalam film propaganda selama Perang Dunia II. Oleh karena itu, ia mendirikan Laboratorium Teknologi Khusus Tsuburaya dengan putra sulungnya Hajime dan bekerja tanpa kredit di studio besar Jepang di luar Toho, menciptakan efek untuk film seperti The Invisible Man Appears (1949) dari Daiei, yang secara luas dianggap sebagai film fiksi ilmiah Jepang pertama.
Pada tahun 1950, Tsuburaya kembali ke Toho bersama kru efeknya dari Laboratorium Teknologi Khusus Tsuburaya. Pada usia 53 tahun, ia mendapatkan pengakuan internasional dan memenangkan Penghargaan Teknis Jepang untuk Keahlian Khusus pertamanya karena mengarahkan efek dalam film kaiju berjudul Godzilla (1954) karya Ishirō Honda. Ia menjabat sebagai sutradara efek untuk rangkaian film tokusatsu yang sukses secara finansial di Toho, termasuk, Rodan (1956), The Mysterians (1957), The Three Treasures (1959), Mothra, The Last War (1961), dan King Kong vs. Godzilla (1962). Pada April 1963, Tsuburaya mendirikan Tsuburaya Special Effects Productions; perusahaannya yang akan memproduksi acara televisi Ultra Q, Ultraman (1966), Ultraseven (1967–1968), dan Mighty Jack (1968). Ultra Q dan Ultraman sangat sukses pada siarannya tahun 1966, dengan Ultra Q menjadikannya nama terkenal di Jepang dan mendapatkan lebih banyak perhatian dari media yang menjulukinya sebagai "Dewa Tokusatsu". Selama ia menghabiskan tahun-tahun terakhirnya dalam mengerjakan beberapa film Toho dan mengoperasikan perusahaannya, kesehatan Tsuburaya mulai menurun, dan ia meninggal pada Januari 1970.
Eiji Tsuburaya lahir bernama Eiichi Tsumuraya (圓谷 英一 , Tsumuraya Eiichi)[a] pada 7 Juli 1901,[b] di rumah pedagang bernama Ōtsukaya di Sukagawa, Iwase, Prefektur Fukushima, tempat keluarganya menjalankan bisnis beras malt.[5][10][16][17] Ia adalah putra pertama dari Isamu Shiraishi dan Sei Tsumuraya, dengan keluarga besar.[17] Ketika Tsuburaya berusia tiga tahun, ibunya Sei meninggal akibat sakit pada usia 19 tahun, tidak lama setelah melahirkan putra keduanya. Berduka atas kematian Sei, Shiraishi menceraikannya secara anumerta dan meninggalkan keluarga, meninggalkan Tsuburaya dalam perawatan neneknya, Natsu.[17] Melalui Natsu, Tsuburaya terhubung dengan pelukis zaman Edo bernama Aōdō Denzen, yang membawa pencetakan tembaga dan lukisan Barat ke Jepang, dan dari ialah Tsuburaya mewarisi ketangkasan manualnya.[5][10] Pamannya Ichirō, yang merupakan adik laki-laki Sei,[7] berusia lima tahun lebih tua darinya dan bertindak seperti kakak laki-laki baginya.[10] Oleh karena itu, Tsuburaya mulai menggunakan nama panggilan Eiji (ji yang berarti anak kedua) alih-alih Eiichi (ichi yang berarti anak pertama).[18]
Pada 1908, ia mulai bersekolah di SD Dai'ichi Jinjo Koto di Sukagawa, dan sadar bahwa ia memiliki bakat menggambar.[3] Selama masa kanak-kanak, Tsuburaya tertarik dengan terbang karena keberhasilan penerbang Jepang baru-baru itu; kemudian mulai membangun pesawat model sebagai hobi, minat yang akan ia kejar sepanjang hidup.[3][10][17]
Pada tahun 1913, Tsuburaya menonton film pertamanya, yang menampilkan rekaman letusan gunung berapi di Sakurajima; selama prosesnya, ia lebih tertarik dengan proyektor daripada film itu sendiri.[3][10] Pada tahun 1958, Tsuburaya berkata dalam Kinema Junpo bahwa karena ia sangat tertarik dengan proyektor, ia membeli "penampil film mainan" dan membuat strip filmnya sendiri dengan "memotong kertas gulung secara hati-hati, lalu membuat lubang sproket, dan menggambar figur tongkat [di atas kertas], bingkai demi bingkai."[3][e] Karena keahliannya di usia muda, ia menjadi selebriti provinsi dan diwawancarai oleh Fukushima Minyu Shimbun .[10]
Pada tahun 1915, ketika berusia 14 tahun, ia lulus dari sekolah menengah pertama, dan memohon kepada keluarga untuk mengizinkannya mendaftar di Sekolah Penerbangan Nippon di Haneda. Setelah sekolah ditutup karena kematian mendadak pendirinya, Seitaro Tamai, pada tahun 1917, Tsuburaya beralih ke Sekolah Teknik Elektro Tokyo Kanda (sekarang Universitas Tokyo Denki). Saat bersekolah, ia mulai bekerja sebagai penemu di perusahaan mainan Utsumi, dan merancang penemuan termasuk telepon bertenaga baterai pertama yang mampu melakukan panggilan, kotak foto berkecepatan otomatis, "seluncur otomatis", dan telepon mainan. Kedua penemuan terakhir membuatnya memperoleh biaya paten sebesar ¥500.[2][10]
Selama pesta hanami yang diadakan di rumah teh pada musim semi tahun 1919, Tsuburaya bertemu dengan Yoshirō Edamasa, pelopor perfilman Jepang. Edamasa bertanya kepada Tsuburaya bahwa apakah ia tertarik dengan film atau fotografi; setelah ia menjelaskan kepada Edamasa bahwa ia tertarik dengan film, Tsuburaya menerima tawaran sutradara untuk menjadi karyawan di perusahaannya, Natural Color Motion Pictures Company (dijuluki Tenkatsu).[10][16][19] Oleh karena itu, Tsuburaya mulai bekerja di industri film pada usia 18 tahun, sebagai asisten kamera Edamasa, dan berkontribusi pada film seperti A Tune of Pity (1919) dan Tombs of the Island (1920);[19] kabarnya, ia juga menjadi penulis skenario selama periode ini.[20][21][22] Meskipun Tenkatsu menjadi bagian dari Perusahaan Kokatsu dan Edamasa meninggalkan pekerjaannya pada Maret 1920, Tsuburaya tetap bekerja di studio tersebut sampai ia diperintahkan untuk melayani Tentara Kekaisaran Jepang antara tahun 1921[10] dan Desember 1922.[19]
Setelah keluar dari ketentaraan pada tahun 1923, Tsuburaya pindah kembali ke rumah keluarganya di Sukagawa. Namun, ia tiba-tiba pergi hanya beberapa bulan kemudian, untuk mengejar karir yang lebih mapan di dalam industri pembuatan film.[23] Di pagi hari keberangkatannya dari rumah, ia meninggalkan catatan: "Saya tidak akan pulang sampai saya berhasil dalam bisnis film, bahkan jika saya mati berusaha."[23] Tahun berikutnya, ia bekerja sebagai sinematografer di film The Hunchback of Enmei'in Temple.[24] Tsuburaya bergabung ke dalam Shochiku pada tahun 1925[22] dan mendapatkan terobosan sebagai juru kamera dan asisten sutradara dalam A Page of Madness karya Teinosuke Kinugasa (dirilis tahun berikutnya).[9] Pada tahun 1927, ia melakukan pengambilan untuk film jidaigeki karya Minoru Inuzuka yaitu Children's Swordplay dan Melee, keduanya dibintangi oleh Kazuo Hasegawa dan Tsuyako Okajima,[25][26] serta karya Toko Yamazaki yaitu The Bat Copybook, Mad Blade Under the Moon, dan Record of the Tragic Swords of the Tenpo Era.[27] Karena kesuksesan finansial dari film-film ini, Tsuburaya mulai dianggap sebagai salah satu sinematografer terkemuka Kyoto.[28]
Pada tahun 1928, saat mengerjakan sebelas film di Shochiku, Tsuburaya mulai membuat dan memanfaatkan teknik pengoperasian kamera baru, termasuk pengerjaan kamera pajanan ganda dan gerak lambat. Pada tahun berikutnya, Tsuburaya membuat versi yang lebih kecil dari ambilan derek buatan D. W. Griffith setinggi 140 kaki: setelah membuatnya tanpa menggunakan cetak biru atau manual, derek kayu memungkinkan Tsuburaya untuk meningkatkan pergerakan kamera dan menggunakannya di dalam dan luar studio.[28] Pembuatan itu terbukti sukses, meskipun tidak menjamin keamanan total: suatu hari, saat Tsuburaya dan seorang asisten sedang mempersiapkan derek untuk merekam sebuah adegan, kerangka itu runtuh, dan membuatnya jatuh ke tanah studio. Saksi kejadian, bernama Masano Araki, adalah salah satu orang pertama yang lari membantunya: ia mengunjungi Tsuburaya setiap hari saat dirawat di rumah sakit, dan pasangan itu menjalin hubungan tidak lama kemudian. Pada 27 Februari 1930, Tsuburaya menikahi Araki yang lebih muda satu dekade.[9] Anak pertama mereka, Hajime, lahir pada 23 April 1931.[29]
Pada Mei 1932, Tsuburaya, Akira Mimura, Hiroshi Sakai, Kohei Sugiyama, Masao Tamai, dan Tadayuki Yokota mendirikan Asosiasi Kameramen Jepang, kemudian bergabung dengan perusahaan lain menjadi Perkumpulan Sinematografer Nippon (kini dikenal sebagai Asosiasi Sinematografer Jepang ).[30] Tidak lama kemudian, asosiasi itu mulai mengadakan upacara penghargaan. Pada bulan November di tahun yang sama, Tsuburaya keluar dari Shochiku dan bergabung dengan Nikkatsu Futosou Studios. Sekitar waktu yang sama, ia mulai menggunakan nama profesional "Eiji Tsuburaya".[2][30]
Pada 1933, Tsuburaya melihat film Amerika berjudul King Kong, dan menginspirasinya untuk mengerjakan film yang menampilkan efek khusus. Pada 1962, Tsuburaya mengatakan kepada Mainichi Shimbun bahwa ia berusaha meyakinkan Nikkatsu untuk "mengimpor pengetahuan teknis ini, tetapi mereka tidak terlalu tertarik, pada saat itu, karena saya hanya dilihat sebagai juru kamera yang mengerjakan drama sejarah Kazuo Hasegawa." Ia berhasil mendapatkan cetakan 35mm King Kong dan mulai mempelajari efek khusus film bingkai demi bingkai, tanpa memanfaatkan dokumen yang menjelaskan bagaimana hal itu diproduksi: ia kemudian menulis analisis efek film untuk majalah Photo Times pada Oktober 1933.[31] Pada tahun yang sama, Masano melahirkan anak kedua, putri bernama Miyako.[9] Namun, anak itu meninggal karena sebab yang tidak diketahui pada 1935.[9]
Pada Desember 1933, Nikkatsu memberikan izin kepada Tsuburaya untuk menggunakan dan mempelajari teknologi proyeksi layar baru untuk film-film jidaigeki perusahaan tersebut. Namun, meskipun studio tersebut setuju dengan keputusannya untuk memproyeksikan film-film ini ke dalam penggunaan lokasi menggunakan pelat lokasi, tidak semua perkembangan teknologinya disetujui. Saat ia sedang syuting adegan terakhir untuk Asataro Menuruni Gunung Akagi pada Februari 1934, Tsuburaya berselisih dengan CEO Nikkatsu, yang tidak mengetahui apa yang dibuat Tsuburaya dan berasumsi bahwa ia membuang-buang uang perusahaan. Setelah pertengkaran tersebut, Tsuburaya mengundurkan diri dari pekerjaannya di Nikkatsu.[32]
Tak lama setelah meninggalkan Nikkatsu, ia menerima tawaran dari pengusaha Kyoto Yoshio Osawa untuk bekerja di perusahaannya, J.O. Talkie, dan riset pencetakan optis dan proyeksi layar.[33] Pada Oktober 1934, Tsuburaya dan rekan-rekannya menyelesaikan model derek pengambilan besi pertama dan menggunakannya untuk membuat The Chorus of a Million karya Atsuo Tomioka.[17] Berbeda dengan prototipe sebelumnya, derek dipasang pada truk yang beroperasi di atas rel, yang membuatnya mampu mengubah posisi kamera dalam hitungan detik. Pada bulan Desember tahun itu, Osawa mengganti nama studio tersebut menjadi J.O. Studios dan menunjuk Tsuburaya sebagai sinematografer utamanya.[34]
Dari Februari hingga Agustus 1935, ia melakukan perjalanan ke Hawaii, Filipina, Australia, dan Selandia Baru dengan kapal penjelajah Asama untuk membuat karya debut sutradaranya, Three Thousand Miles Across the Equator, film dokumenter propaganda berdurasi panjang.[10][34] Selama ekspedisi, putra keduanya, Noboru, lahir pada 10 Mei 1935.[34]
Sekembalinya dari pelayaran, Tsuburaya mulai mengerjakan Princess Kaguya, sebuah adaptasi dari kisah sastra Jepang abad ke-10 berjudul The Tale of the Bamboo Cutter. Ia tidak hanya berperan sebagai sinematografer film tersebut, tetapi juga bertanggung jawab atas efek khusus untuk pertama kalinya. Untuk film tersebut, ia bekerja dengan animator Kenzō Masaoka untuk membuat miniatur, boneka, sebuah komposit dalam kemunculan Kaguya dari potongan tanaman bambu, dan rangkaian ketika sebuah kapal menghadapi badai.[10][16][35] Meskipun cetakan asli film tersebut dianggap telah hilang, versi singkatnya, diputar di Inggris pada tahun 1936, ditemukan oleh seorang peneliti di British Film Institute pada Mei 2015: versi ini dirilis di Jepang pada 4 September dan 5 tahun 2021, sebagai bagian dari acara perayaan ulang tahun Tsuburaya ke-120.[13][36][37]
Pada bulan Maret tahun berikutnya, debut penyutradaraan Tsuburaya, pementasan drama berjudul Folk Song Collection: Oichi of Torioi Village, dirilis: merupakan film petualangan tentang romansa terkutuk dan menampilkan nada politik.[38] Folk Song Collection: Oichi of Torioi Village adalah film kedua yang dibintangi oleh penyanyi geisha populer Ichimaru, yang juga menampilkan aktor Kenji Susukida.[16] Segera setelah menyelesaikannya, Tsuburaya mulai mengerjakan The Daughter of the Samurai karya Arnold Fanck (rilis 1937). The Daughter of the Samurai adalah produksi bersama Jerman-Jepang pertama, dan dianggap sebagai kesuksesan besar pertama Tsuburaya sebagai sutradara efek khusus, karena menampilkan proyeksi latar skala penuh pertama.[16][17][38] Staf Jerman diduga terkesan dengan karya miniaturnya yang rumit dalam proyek tersebut.[4]
Pada September 1936, Ichizō Kobayashi menggabungkan studio film P.C.L. Studios dan P.C.L. Film Company dengan J.O. Studios untuk membuat perusahaan produksi film dan teater Toho. Produser film Iwao Mori diangkat sebagai manajer produksi di Toho: menyadari pentingnya efek khusus selama tur di Hollywood, pada tahun 1937 Mori mempekerjakan Tsuburaya di studio perusahaan di Tokyo, mendirikan departemen efek khusus pada 27 November 1937, dan memperlakukannya sebagai manajer bagian tersebut.[39] Tidak lama kemudian, Tsuburaya menerima anggaran penelitian dan mulai mempelajari printer optik untuk membuat perangkat versi pertama di Jepang, yang dirancangnya.[40] Di antara penugasan film pertama Tsuburaya di Toho adalah The Abe Clan, film jidaigeki yang disutradarai oleh Hisatora Kumagai, dan musikal propaganda yang belum dirilis The Song of Major Nango (1938). Film yang terakhir itu disutradarai dan direkam oleh Tsuburaya, dan ia menyelesaikannya pada 6 September tahun itu.[41]
Pada tahun 1939, ia diperintahkan untuk bergabung dengan Akademi Penerbangan Kumagaya dari Korps Angkatan Darat Kekaisaran, dengan ia dipercaya untuk membuat film pelatihan penerbangan. Setelah membuat atasannya terkesan dengan foto udaranya, Tsuburaya diberi lebih banyak tugas dan sertifikat master selama hampir tiga tahun di akademi.[42] Pada November 1939, saat Tsuburaya masih bersekolah di sekolah penerbangan dan menjalankan tugas di Toho, da diangkat menjadi kepala Departemen Seni Khusus Toho. Sebulan setelah itu, ia ditugaskan untuk membuat film ilmiah untuk bagian pendidikan Toho yang baru saja dibentuk. Di bawah tuntutan pemerintahan, Toho diberi mandat untuk mempertahankan pembuatan film propaganda. Oleh karena itu, pada Mei 1940, Tsuburaya mulai menyutradarai film dokumenter The Imperial Way of Japan untuk cabang Toho Education Films, Toho National Policy Film Association. Ia diberi kredit pertamanya untuk efek khusus untuk karyanya dalam Navy Bomber Squadron karya Sotoji Kimura, yang menampilkan adegan pengeboman dengan pesawat mini.[4][33][43] Navy Bomber Squadron diyakini hilang selama lebih dari enam puluh tahun, sampai salinan film yang belum selesai ditemukan dan diputar pada tahun 2006.[44]
Pada September 1940, The Burning Sky karya Yutaka Abe, dirilis di bioskop-bioskop Jepang. Tsuburaya bertanggung jawab atas efek untuk film tersebut dan menerima penghargaan pertamanya dari Asosiasi Sinematografer Film Jepang.[39][45] Pekerjaan berikutnya, Son Goku, dirilis pada 6 November 1940.[33][39][46] Selama wawancara untuk American Cinematographer edisi Agustus 1960, ia membongkar proses kreatif di balik Son Gokū, mengatakan bahwa: "Saya dipanggil untuk membuat dan memotret monster mirip monyet yang seharusnya terbang di udara", menambahkan: "Saya mengatur pekerjaan dengan cukup sukses dan tugas ini mengatur pola untuk pekerjaan saya di masa depan."[20]
Pada 7 Desember 1941, Layanan Udara Angkatan Laut Kekaisaran Jepang tiba-tiba menyerang pangkalan angkatan laut AS di Pearl Harbor: akibatnya, Pemerintah Kekaisaran Jepang menugaskan Toho untuk membuat film propaganda yang akan mempengaruhi bangsa untuk percaya bahwa mereka akan memenangkan Perang Pasifik. Film yang dihasilkan, epik perang karya Kajirō Yamamoto The War at Sea from Hawaii to Malaya (1942), menjadi film Jepang terlaris dalam sejarah setelah dirilis pada Desember 1942 dan memenangkan Penghargaan Film Terbaik dari Kinema Junpo. Tsuburaya mengarahkan efeknya, yang ia buat dengan bantuan foto-foto serangan Pearl Harbor yang disediakan angkatan laut: dalam prosesnya, ia juga bekerja dengan kolaborasi Godzilla kelak yaitu Akira Watanabe dan Teizō Toshimitsu untuk pertama kali dalam karirnya. Karyanya dalam film tersebut dianggap sebagai salah satu alasan utama di balik kesuksesan besarnya dan memberinya Penghargaan Riset Teknis dari Asosiasi Sinematografer Film Jepang.[16][44][47][48] Film tersebut menggambarkan serangan itu dengan sangat realistis sehingga cuplikan dari film tersebut kemudian ditampilkan dalam film dokumenter tentang serangan Pearl Harbor.[49]
Sekitar waktu yang sama dengan produksi The War at Sea from Hawaii to Malaya, departemen efek Toho sedang memfilmkan film boneka pertunjukan pertama Jepang, Ramayana.[50] Skenario film—terinspirasi oleh epik Sanskerta dengan nama yang sama—ditulis oleh pencipta Moonlight Mask kelak yaitu Kōhan Kawauchi pada tahun 1941,[51] di bawah pengawasan Tsuburaya.[50]
Keempat produksi utama Tsuburaya berikutnya adalah film perang: The Opium Wars karya Masahiro Makino, Watchtower Suicide Squad karya Tadashi Imai, Decisive Battle in the Skies karya Kunio Watanabe dan tindak lanjut untuk The War at Sea from Hawaii to Malaya karya Kajirō Yamamoto, General Kato's Falcon Fighters (produksi tahun 1943).[48][52] Untuk The Opium Wars, Tsuburaya dan timnya membuat rangkaian miniatur pertempuran angkatan laut dan sintesis animasi di lanskap perkotaan.[53] Selama produksi General Kato's Falcon Fighters (rilis tahun 1944), Tsuburaya mengadakan pertemuan pertamanya dengan calon kolaborator dan pembuat film Ishirō Honda.[48][54] Setelah menonton The War at Sea from Hawaii to Malaya, Honda menjadi tertarik pada efek khusus dan percaya karya Tsuburaya dalam General Kato's Falcon Fighters memiliki cakupan yang lebih rendah, tetapi seni dan teknologi bubuk mesiu telah meningkat. Selain itu, Tsuburaya mengungkapkan ketidakpuasannya dengan ukuran panggung pengambilan gambar, bahan seni, metode pertunjukan, dan sebagainya.[54]
Sesaat sebelum Toho mendistribusikan Jenderal Kato's Falcon Fighters di bioskop, putra ketiga dan anak terakhir Masano dan Tsuburaya, Akira, lahir pada 12 Februari 1944.[55] Akira adalah putra pertama dari pasangan itu yang dibaptis, karena Masano telah diubah menjadi Katolik oleh adik perempuannya. Masano bersikeras memperkenalkan anak-anaknya ke iman Katolik dan akhirnya mempertobatkan suaminya.[56]
Pada tahun 1944, Tsuburaya bertemu dengan produser Godzilla kelak Tomoyuki Tanaka selama produksi film perang yang disutradarai oleh Mikio Naruse Until the Day of Victory, yang merupakan debut Tanaka sebagai seorang produsen film.[57] Tanaka menyatakan bahwa ia tidak menjalin hubungan serius dengan Tsuburaya selama produksi film tersebut.[57] Tahun berikutnya, sutradara efek khusus berkolaborasi dengan Tanaka untuk kedua kalinya dalam Three People of the North karya Kiyoshi Saeki.[58]
Pada 10 Maret 1945, Tsuburaya dan keluarganya mencari perlindungan selama dua jam di tempat perlindungan bom kediaman mereka selama serangan udara Tokyo. Selama serangan sepanjang dua jam, ia menceritakan dongeng kepada anak-anaknya untuk membuat mereka diam.[49] Belakangan tahun itu, Tsuburaya membuat efek dalam Five Men from Tokyo karya Torajirō Saitō, dengan ia dikreditkan sebagai "Eiichi Tsuburaya".[59] Five Men from Tokyo adalah film komedi tentang lima pria yang berjuang mencari nafkah setelah kembali ke Tokyo dan tetap menganggur akibat serangan udara Tokyo pada 10 Maret 1945, di akhir Perang Dunia II.[60]
Meskipun Toho tidak terpengaruh oleh pengeboman Tokyo, karena perusahaan tersebut berlokasi di Seijo, jumlah produksi film berkurang karena Pendudukan Jepang.[49] Oleh karena itu, perusahaan tersebut hanya memproduksi 18 film pada tahun 1946, dengan Tsuburaya mengerjakan delapan film di antaranya.[40][61] Pada tahun yang sama, Tsuburaya menjadi kepala departemen produksi efek khusus di Toho dan mendirikan unit sinematografi, komposisi, seni, dan pengembangannya.[61] Sejak ia dan unit efeknya di perusahaan tersebut memiliki sedikit film untuk dikerjakan, mereka juga mulai menguji lukisan matte dan pencetakan optik.[49]
Toho berada di ambang pembubaran karena tiga perselisihan utama tenaga kerja yang terjadi di studio selama akhir tahun 1940-an.[62] Menurut Akira Tsuburaya, ayahnya harus menyelinap di sekitar polisi Jepang dan tank AS yang dikerahkan selama pemogokan dan perselisihan ini untuk dapat bekerja.[63] Untuk mengusir polisi, para pemogok tenaga kerja mendirikan barikade, menggunakan kipas besar, yang dibuat oleh departemen efek khusus perusahaan, dilengkapi dengan mesin tempur Zero yang digunakan Tsuburaya selama perang. Peristiwa ini mengarah pada pembuatan Shintoho;[59][62][63] Tsuburaya membuatkan efek untuk film pertama studio tersebut, A Thousand and One Nights with Toho (1947).[64]
Pada akhir Maret 1948, Tsuburaya dibersihkan dari Toho oleh Panglima Tertinggi Sekutu karena keterlibatannya dalam film propaganda selama Perang Dunia II.[65][66] Pejabat pendudukan AS dilaporkan mengusirnya dengan asumsi ia memiliki akses ke dokumen rahasia saat membuat miniatur komprehensif yang ditampilkan dalam The War at Sea from Hawaii to Malaya, yang membuat mereka menyimpulkan secara tidak akurat bahwa ia adalah mata-mata.[4][17][63][67][68] Akibatnya, Toho membubarkan divisi efek khususnya[69] dan Tsuburaya, bersama putranya Hajime, mendirikan perusahaan efek khusus mandiri Laboratorium Teknologi Khusus Tsuburaya ,[16][40][68][70] sebuah badan hukum tidak resmi.[59] Sejak saat itu, ia bekerja di studio film besar di luar Toho tanpa kredit layar.[63][66]
Pada tahun 1949, lima produksi utama Daiei Film yang menampilkan efek yang disutradarai oleh Tsuburaya dirilis ke bioskop-bioskop Jepang: The White Haired Fiend karya Bin Kato pembuat film horor Jepang, Flowers of Raccoon Palace karya Keigo Kimura, The Rainbow Man karya Kiyohiko Ushihara, The Ghost Train karya Akira Nobuchi, dan The Invisible Man Appears karya Nobuo Adachi.[71][72] Film yang terakhir ini adalah film fiksi ilmiah Jepang pertama yang sukses, serta adaptasi pertama novel The Invisible Man karya H. G. Wells di negara tersebut. Dibuat dengan mempelajari adaptasi film tahun 1933 dengan nama yang sama dari novel Wells,[71][73] Daiei memiliki maksud supaya film ini menjadi pemulihan pasca-perang skala penuh Tsuburaya, menampilkan efek khusus yang kualitasnya lebih unggul daripada efek yang ada dalam serial film The Invisible Man dari Universal Pictures.[4] Tsuburaya, bagaimanapun, kecewa dengan kekurangan kompetensinya dalam proyek tersebut dan melepaskan ambisinya untuk menjadi karyawan Daiei setelah The Invisible Man Appears selesai.[61][71][73][f]
Pada tahun 1950, Tsuburaya memindahkan beberapa peralatan dan karyawan di Laboratorium Teknologi Khusus Tsuburaya ke kantor pusat Toho; perusahaan independennya hanya berukuran enam tikar tatami di dalam Toho Studios.[70][75] Pada tahun yang sama, ia terus mengarahkan efek khusus untuk film dari perusahaan lain, termasuk film anti perang dari Toyoko Eiga berjudul Listen to the Voices of the Sea.[76] Sambil perlahan membangun kembali Departemen Seni Khusus perusahaan tersebut, ia memfilmkan semua kartu judul, pracuplik, dan logo film Toho dari tahun 1950 hingga 1954.[40][77] Kabarnya produksi pertama yang menampilkan kontribusi besar oleh Tsuburaya sekembalinya ke Toho adalah film tahun 1950 yang disutradarai oleh Hiroshi Inagaki dan berdasarkan pada kehidupan pendekar pedang Jepang Sasaki Kojirō.[16][40][67] Selama periode ini, Tsuburaya juga mengerjakan film Toho seperti film anti-perang karya Senkichi Taniguchi berjudul Escape at Dawn (1950),[70] mengarahkan efek untuk Beyond Love and Hate karya Taniguchi,[78] mementaskan kapal miniatur untuk menggambarkan pertempuran dalam Pirate Ship karya Hiroshi Inagaki,[75][79] dan mengarahkan efek untuk The Lady of Musashino karya Kenji Mizoguchi.[72]
Pada Februari 1952, pengasingan Tsuburaya dari jabatan publik secara resmi dicabut.[17][68][80] Pada bulan yang sama, film panjang kedua Ishirō Honda, The Skin of the South, dirilis di bioskop Jepang. Tsuburaya mengarahkan efek film untuk adegan angin topan dan tanah longsor, yang merupakan pengalaman pertamanya bertindak sebagai sutradara efek pada film oleh sutradara Godzilla kelak.[66][75] Tsuburaya berkolaborasi dengan Honda dan produser Tomoyuki Tanaka dalam The Man Who Came to Port pada akhir tahun itu: hal ini menandai pertama kalinya ketiga orang tersebut, yang dianggap sebagai pencipta Godzilla, berkolaborasi satu sama lain.[81]
Selama Perang Dunia II, Toho mulai meneliti film 3D dan menyelesaikan proses film 3D yang dikenal sebagai "Tovision". Meskipun proyek tersebut ditinggalkan, namun kemudian dihidupkan kembali ketika film 3D Bwana Devil (1952) menjadi hit box office di Amerika Serikat. Oleh karena itu, perusahaan memproduksi film 3D pertamanya, The Sunday That Jumped Out (1953) karya Takeo Murata ko-penulis Godzilla kelak. Film ini menampilkan sinematografi oleh Tsuburaya, yang merekam film pendek tersebut dengan menggunakan kamera saling kunci.[75][82] Setelah menyelesaikan The Sunday That Jumped Out, Murata mendiskusikan pembuatan film kaiju tentang paus raksasa yang menyerang Tokyo, yang dibuat oleh Tsuburaya tahun sebelumnya. Oleh karena itu, Tsuburaya menyerahkan kembali konsep produksi ini kepada produser Iwao Mori. Meskipun proyek ini tidak pernah terwujud, unsur-unsurnya dimasukkan dalam draf awal Godzilla tahun berikutnya.[82]
Proyek Tsuburaya selanjutnya, epik perang Eagle of the Pacific (1953), adalah kemitraan penting pertamanya dengan Ishirō Honda.[83][84] Karena film tersebut menampilkan banyak rangkaian efek dari The War at Sea from Hawaii to Malaya, Tsuburaya hanya menggunakan sedikit kru untuk merekam efek barunya.[85] Setelah dirilis, film tersebut dilaporkan menjadi produksi pasca-perang pertama Toho yang mendapatkan keuntungan kotor ¥100 juta (US$278,000).[86] Tahun berikutnya, ia dan Honda berkolaborasi dalam film perang lainnya, Farewell Rabaul, dirilis di bioskop Jepang pada Februari 1954, untuk memoderasi kesuksesan box office.[87][88] Efeknya untuk tugas ini lebih maju daripada efek yang digunakan untuk Eagle of the Pacific, karena menampilkan lebih banyak pendekatan dan sintesis teknologinya.[87][89][90] Karena kesuksesan Eagle of the Pacific dan Farewell Rabaul, Tomoyuki Tanaka yakin Tsuburaya harus membuat lebih banyak film tokusatsu dengan Honda.[67][91] Film Tsuburaya berikutnya menjadi hit global pertama Jepang dan membuatnya mendapat perhatian internasional.[92]
Setelah gagal melakukan negosiasi ulang dengan pemerintah Indonesia untuk produksi In the Shadow of Glory, produser Tomoyuki Tanaka mulai mempertimbangkan untuk membuat film monster raksasa (atau kaiju), terinspirasi oleh The Beast from 20,000 Fathoms (1953) karya Eugène Lourié dan insiden Daigo Fukuryū Maru. Ia percaya bahwa hal itu memiliki potensi yang cukup besar, karena kesuksesan finansial dari film monster sebelumnya dan dampak dari pembuatan berita ketakutan nuklir. Hasilnya, ia menulis garis besar untuk proyek itu dan mengajukannya kepada Iwao Mori. Menyusul persetujuan Tsuburaya untuk membuat efeknya, Mori menyetujui produksi itu, yang akhirnya berjudul Godzilla, pada pertengahan April 1954; pembuat film Ishiro Honda segera mengambil alih tugas penyutradaraan.[93] Selama praproduksi, Tsuburaya mempertimbangkan untuk menggunakan gerak henti dalam menggambarkan monster dalam judul tersebut, tetapi seperti yang dinyatakan oleh anggota kru efek khusus Fumio Nakadai, perlu menggunakan "metode kostum" karena ia "pada akhirnya menyimpulkan bahwa hal itu tidak akan berhasil". Teknik ini sekarang dikenal sebagai "suitmation".[94]
Departemen efek khusus Tsuburaya memfilmkan Godzilla dalam 71 hari dari Agustus hingga akhir Oktober 1954, dengan anggaran sebesar ¥27 juta.[95][96] Ia dan krunya bekerja tanpa henti, secara teratur mulai pukul 09.00, bersiap pada pukul 17.00, dan menyelesaikan syuting pada pukul 4 atau 5 pagi keesokan harinya.[97] Tidak lama setelah Tsuburaya menyelesaikan proses syutingnya,[96] film yang sudah selesai diperlihatkan kepada Tsuburaya, Tanaka, dan Honda pada 23 Oktober 1954, sementara film tersebut diperlihatkan kepada staf dan pemerannya pada 25 Oktober. Setelah dirilis secara nasional pada 3 November, efek Tsuburaya mendapat pujian kritis dan film tersebut menjadi hit box office.[92][98][99] Akibatnya, Godzilla membuat Toho menjadi perusahaan efek paling sukses di dunia, ketika Tsuburaya memperoleh Penghargaan Teknis Jepang pertamanya atas usahanya.[100]
Segera setelah menyelesaikan Godzilla pada bulan Oktober, Tsuburaya mulai mengerjakan film fiksi ilmiah produksi Toho lainnya, The Invisible Avenger, yang dirilis ke bioskop Jepang pada Desember 1954, dengan judul Invisible Man. Produksi tokusatsu ini disutradarai oleh Motoyoshi Oda dan menampilkan efek khusus dan fotografi oleh Tsuburaya.[100] Untuk film tersebut, ia mewarisi dan memperluas teknologi yang digunakan dalam film pertamanya untuk menampilkan karakter yang tidak terlihat, The Invisible Man Appears (1949).[71][101] Tsuburaya menginstruksikan krunya untuk menggambarkan tembus pandang karakter dalam judul tersebut dengan berbagai cara di sepanjang film, termasuk sintesis optik, dan menyarankan agar karakter tersebut menyamarkan kekuatan tembus pandangnya dengan berdandan seperti badut.[102]
Karena kesuksesan besar box-office dari Godzilla, Toho mengumpulkan sebagian besar kru di belakang film itu dengan cepat untuk membuat sekuel film dengan anggaran yang lebih kecil, berjudul Godzilla Raids Again: Tsuburaya secara resmi diberi gelar sutradara efek khusus untuk pertama kalinya, yang sebelumnya selalu dikreditkan dengan "teknik khusus". Syuting dalam waktu kurang dari tiga bulan, film ini dirilis pada April 1955.[103] Sebulan kemudian, Tsuburaya mulai mengarahkan efek dari Half Human,[104] kolaborasi film kaiju keduanya dengan sutradara Ishiro Honda.[105] Di antara upayanya dalam film ini, sutradara efek terutama membuat animasi gerak henti, miniatur layar belakang, dan rangkaian longsor salju miniatur.[104]
Pada April 1956, Godzilla menjadi film Jepang pertama yang didistribusikan secara luas di seluruh Amerika Serikat dan kemudian dirilis di seluruh dunia, membuat Tsuburaya mendapatkan pengakuan internasional.[92] Namun, untuk perilisannya di Amerika, film tersebut diberi judul ulang sebagai Godzilla, King of the Monsters!, disunting ulang besar-besaran, dan diintegrasikan dengan potongan baru yang menampilkan aktor Kanada Raymond Burr.[106]
Pekerjaan besar Tsuburaya berikutnya, The Legend of the White Serpent, sebuah adaptasi film Hong Kong-Jepang dari novel karya Fusao Hayashi berdasarkan Legenda Siluman Ular Putih dari Tiongkok, adalah produksi tokusatsu pertama Toho yang difilmkan seluruhnya dalam technicolor (melalui Eastmancolor).[107][108][109][110] Dalam persiapan untuk film, yang diproduksi dengan anggaran rekor saat itu yaitu ¥210 juta,[109] Tsuburaya dan unitnya menghabiskan satu bulan pelatihan dengan teknologi proses warna sebelum memotret efeknya.[111] Setelah mengerjakan The Legend of the White Serpent, Tsuburaya membuat logo Toho yang terkenal, dan unitnya membuat kredit pembuka untuk sebagian besar film perusahaan. Di sela-sela mengerjakan film Toho berskala besar, ia juga menciptakan efek untuk musikal Toho The Snapping Turtle, serial Nippon TV Ninja Arts of Sanada Castle dan beberapa produksi teater untuk Tokyo Takarazuka Theater.[112]
Tugas Toho selanjutnya untuk Tsuburaya adalah Rodan, film kaiju pertama yang diproduksi dalam warna.[70][113] Sekitar 60% dari anggaran Rodan sebesar ¥200 juta dihabiskan untuk efek Tsuburaya, yang meliputi animasi optik, lukisan matte, dan set miniatur yang sangat rumit dan dibuat untuk dihancurkan atau diterbangkan oleh monster dalam judul tersebut (diperankan oleh aktor setelan asli Godzilla Haruo Nakajima).[104][114] Rodan membutuhkan sejumlah besar set model dalam berbagai ukuran, termasuk 1/10, 1/20, 1/25, dan 1/30, untuk dikembangkan dan dirakit oleh divisi Tsuburaya.[104] Film tersebut tayang perdana di bioskop-bioskop Jepang pada bulan Desember 1956, dan setelah dirilis di Amerika Serikat pada tahun berikutnya, meraih pendapatan box office lebih banyak daripada film fiksi ilmiah sebelumnya.[115]
Throne of Blood, sebuah adaptasi Macbeth karya William Shakespeare dari pembuat film terkenal Akira Kurosawa, adalah rilisan film kedua Tsuburaya pada tahun 1957.[116] Kurosawa memotong beberapa adegan oleh Tsuburaya karena ketidaksenangannya dengan jumlah rekaman yang dibuat untuk Throne of Blood.[117] Ia selanjutnya menjabat sebagai sutradara efek khusus untuk The Mysterians, sebuah epik fiksi ilmiah yang disutradarai oleh Ishirō Honda. Film berwarna CinemaScope pertama yang pernah disutradarai oleh duo ini, The Mysterians sering disebut sebagai "film fiksi ilmiah definitif".[118][119] Tsuburaya memenangkan Penghargaan Teknis Jepang lainnya untuk efek layar lebarnya dalam The Mysterians.[16][120][121]
Sub-genre baru Toho lahir dengan film pertama Tsuburaya tahun 1958, The H-Man,[121] yang merupakan entri pertama "Seri Manusia Berubah".[122][123] Selanjutnya ia mengarahkan efek untuk Varan the Unbelievable karya Honda, film tentang monster raksasa yang terbangun di pegunungan Tōhoku dan muncul di Teluk Tokyo. Awalnya direncanakan sebagai film yang dibuat untuk televisi, diproduksi bersama antara Toho dan perusahaan Amerika AB-PT Pictures, namun produksinya terganggu oleh berbagai kesulitan: AB-PT runtuh selama produksi, menyebabkan Toho untuk mengubah status film menjadi teater panjang.[124][125] Film terakhir Tsuburaya yang dirilis tahun 1958 adalah film The Hidden Fortress karya Kurosawa.[126]
Tsuburaya memulai tahun 1959 dengan mengerjakan efek khusus untuk Mighty Atom, serial televisi tokusatsu berdasarkan serial manga Astro Boy karya Osamu Tezuka. Meskipun ia dan perusahaannya tidak dikreditkan dalam acara itu sendiri ketika ditayangkan dari 7 Maret 1959 hingga 28 Mei 1960, ia mengawasi fotografi miniatur yang dilakukan oleh stafnya di Laboratorium Teknologi Khusus Tsuburaya.[127] Sekitar waktu yang sama, Tsuburaya juga mengarahkan efek khusus untuk rangkaian badai yang ditampilkan dalam Inao: Story of an Iron Arm karya Honda, dengan ia juga membuat miniatur untuk perahu dayung karakter utama.[128] Selanjutnya, ia mengerjakan Monkey Sun, ditulis bersama dan disutradarai oleh Kajirō Yamamoto sebagai buat ulang pemain bintang dari filmnya tahun 1940 Son Gokū, entri sebelumnya dalam kurikulum sutradara efek. Terinspirasi dari mengamati pasta kedelai dalam kaldu sup miso istrinya, Tsuburaya menciptakan pemandangan dengan awan badai, serta asap dan abu yang meletus dari tiga gunung berapi. Efeknya untuk Monkey Sun dijelaskan oleh penulis biografi August Ragone sebagai "lucu dan nyata".[129]
Setelah beroperasi dalam produksi Tokyo Takarazuka Theater The Story of Bali, ia menyutradarai efek untuk Submarine I-57 Will Not Surrender dari Shūe Matsubayashi, film perang pertamanya dalam enam tahun.[129] Untuk memfilmkan adegan kapal selam dalam film itu, model medan dasar laut dibangun di kolam miniatur Toho pertama (dijuluki "Kolam Kecil" setelah panggung yang lebih besar selesai). Ia juga memfilmkan efeknya untuk versi teknik warna dari film itu, tetapi diubah menjadi hitam-putih untuk versi final.[129][130][131][132] Pada Agustus 1959, Tsuburaya, bersama putranya Hajime dan Noboru, merekam dua boneka naga di laboratorium Tsuburaya di rumah mereka di Setagaya, Tokyo untuk perusahaan film yang berbasis di Hong Kong.[133]
Produksi signifikan Tsuburaya berikutnya, epik religius beranggaran besar karya sutradara Hiroshi Inagaki The Three Treasures, dibuat sebagai film keseribu perayaan Toho.[14][134][135][136][137] Berdasarkan legenda yang ditampilkan dalam Kojiki dan Nihon Shoki, dibintangi Toshiro Mifune sebagai Yamato Takeru dan kami Susanoo. Sutradara efek dan krunya merekam beberapa rangkaian kunci yang termasuk dalam film, seperti pertarungan antara karakter Mifune, Susanoo dan naga berkepala delapan Yamata no Orochi dan letusan Gunung Fuji.[138][139] Dalam The Three Treasures, Tsuburaya menggunakan "Proses Serba Guna Toho" untuk pertama kalinya, sebuah adaptasi dari proses pencetakan optik Toho yang ia kembangkan dengan anggaran ¥62 juta untuk film berwarna layar lebar dan terungkap pada bulan Mei tahun yang sama.[138][139][140] Film ini menghasilkan lebih dari ¥340 juta, dengan anggaran awal ¥250 juta, mendapat peringkat sebagai film berpenghasilan kotor tertinggi Toho tahun ini dan film berpenghasilan kotor tertinggi kedua secara keseluruhan.[141][142][143] Ia memenangkan Penghargaan Teknis Jepang untuk Keahlian Khusus dan dianugerahi Penghargaan Prestasi Khusus di Hari Film.[16] Sementara ia senang dengan kesuksesan The Three Treasures, Tsuburaya menjadi kecewa setelah melihat gambar kepala prop Yamata no Orochi yang dipegang dengan kabel piano di sebuah artikel surat kabar tentang efek khususnya. Oleh karena itu, ia menolak wawancara dengan surat kabar tersebut karena ia yakin foto itu "menghancurkan impian anak-anak".[144]
Ketika Perlombaan Antariksa meletus antara AS dan Uni Soviet pada akhir 1950-an, Tsuburaya menasihati Toho untuk membuat film tentang ekspedisi bulan.[145] Oleh karena itu, film berikutnya, Battle in Outer Space, adalah epik fiksi ilmiah tentang sekelompok astronot yang bertempur melawan makhluk luar angkasa di permukaan bulan.[g] Tsuburaya dilaporkan memberi penghormatan kepada produser Destination Moon (1950) yaitu George Pal untuk rangkaian pendaratan di bulan dalam film tersebut; ia kemudian bertemu Pal di Los Angeles pada tahun 1962.[139] Sejak film-film yang menampilkan kontribusinya mendapatkan popularitas global dan pujian untuk sinema Jepang,[139][147] Hearst memfilmkan Tsuburaya mengarahkan efek untuk Battle in Outer Space,[148] dan ia kemudian menerima Special Award of Merit pada upacara Hari Film yang keempat sebelum dirilis.[139]
Sebuah film fiksi ilmiah berskala lebih kecil, berjudul The Secret of the Telegian, yang merupakan angsuran kedua Toho dalam Seri Manusia Berubah,[149] menandai penugasan pertama Tsuburaya pada tahun 1960.[139] Ia kemudian mengambil proyek yang jauh lebih besar, Storm Over the Pacific, film perang berwarna pertama.[150][151] Departemennya membuat miniatur yang sangat besar untuk film tersebut, dengan miniatur sepanjang 13 meter yang difilmkan oleh Tsuburaya di Pesisir Miura.[152] Storm Over the Pacific juga merupakan film pertama Toho yang membutuhkan penggunaan "Kolam Besar",[153] yang telah selesai pada Februari 1960.[154] Kolam tersebut nantinya akan digunakan dalam produksi setiap film Godzilla, sebelum dihancurkan pada akhir proses pembuatan film untuk Godzilla: Final Wars (2004).[155] Storm Over the Pacific memperoleh pujian kritis saat dirilis, dengan banyak rangkaian efek Tsuburaya kemudian ditampilkan dalam Midway (1976), sebuah film karya Jack Smight yang juga tentang Perang Pasifik.[153] Sepanjang sisa tahun 1960, Tsuburaya mengerjakan produksi terkenal lainnya, seperti film ketiga dalam Seri Manusia Berubah, The Human Vapor; ia juga mengawasi pembuatan miniatur yang sangat mendetail dari Kastil Osaka dan mengarahkan adegan kehancurannya untuk film jidaigeki karya Hiroshi Inagaki yaitu The Story of Osaka Castle,[156] dan kemudian menyutradarai rangkaian tsunami dalam adaptasi film dari novel Pearl S. Buck tahun 1948 The Big Wave.[157][158] Buck, yang menjabat sebagai produser dalam The Big Wave, menyatakan dalam bukunya A Bridge for Passing bahwa studio Tsuburaya adalah "studio efek khusus terbaik di negeri ini dan, saya diberitahu, di dunia."[158]
Pada tahun 1961, Tsuburaya menyutradarai efek untuk Mothra, film kaiju lain yang dibuat bekerja sama dengan Ishirō Honda. Diduga terinspirasi oleh mimpinya sendiri, Tsuburaya menciptakan raksasa eponim, kaiju mirip ngengat, yang kemudian menjadi salah satu ikon sinema fantasi Jepang, bersama Godzilla dan Rodan, dan muncul dalam banyak film sesudahnya.[159] Meskipun anggaran keseluruhan untuk Mothra memungkinkan departemen efek membuat set miniatur berskala terbesar yang pernah dibuat untuk produksi Toho,[160][161] Tsuburaya tidak senang dengan beberapa adegan yang diambil untuk film tersebut, termasuk beberapa potongan gabungan dari Shobijin. [162][163] Meskipun demikian, ia memutuskan untuk mempertahankan adegan ini setelah menyunting Mothra di pasca-produksi.[163] Film ini dirilis pada 30 Juli 1961, menjadi hit box office besar, dan seperti yang dinyatakan oleh penulis biografi August Ragone, sebuah "klasik instan" bersama film kaiju Honda dan Tsuburaya sebelumnya Godzilla dan Rodan.[164]
Setelah mengarahkan adegan mimpi layar biru dengan aktor Toshiro Mifune untuk film Hiroshi Inagaki yaitu The Youth and His Amulet (1961),[165][166][167][168] Tsuburaya beralih untuk mengarahkan efek dalam film epik tokusatsu ¥300 juta karya Shūe Matsubayashi yaitu The Last War,[169] yang muncul sebagai hit besar pada rilis Oktober 1961, dengan efek Tsuburaya menerima pujian kritis.[170] Sutradara sendiri kemudian mencantumkan The Last War sebagai salah satu "mahakarya" miliknya.[171] Produser Tomoyuki Tanaka, yakin dari kesuksesan box office Mothra dan The Last War,[172] memberi Honda dan Tsuburaya anggaran terbesar mereka dan 300 hari untuk syuting Gorath, epik fiksi ilmiah mereka berikutnya.[173][174] Meskipun Gorath dianggap menampilkan beberapa karya terbaik Tsuburaya sebagai sutradara efek khusus,[172] hal itu merupakan sebuah kegagalan box office ketika dirilis pada Maret 1962.[175] Pada 15 Mei, sutradara muncul di program NK Educational TV Japanese Standards; pada bulan Juli, ia selesai mengarahkan efek untuk The Great Story of Shim Cheong , sebuah film produksi Korea Selatan yang tidak pernah dirilis di Jepang.[176]
"Perusahaan film saya mengangkat naskah yang sangat menarik dengan menggabungkan King Kong dan Godzilla, jadi saya tidak dapat menahan diri untuk mengerjakan produksi ini, alih-alih film fantasi baru saya. Naskah ini sangat istimewa bagi saya; menyentuh nada emosional yang dalam, karena melihat balik King Kong pada tahun 1933 yang memicu minat saya pada dunia efek visual khusus."
— Eiji Tsuburaya (1962)[172]
Setelah syuting Gorath, Tsuburaya mulai merencanakan untuk mengerjakan proyek lain, seperti versi baru dari Princess Kaguya. Namun, ia menundanya segera setelah ia diberi kesempatan untuk mengarahkan efek khusus untuk film persilangan karya Honda yaitu King Kong vs. Godzilla.[177] Draf awal skrip dikirim kembali dengan catatan dari Toho yang meminta agar kejenakaan monster dibuat "selucu mungkin";[178] Tsuburaya menggunakan pendekatan ini, berusaha untuk memikat anak-anak secara emosional dan memperluas pemirsa genre ini.[179] Banyak adegan pertempuran antara dua monster yang sengaja diisi dengan detail lucu, tetapi pendekatan tersebut tidak disukai oleh sebagian besar kru efek, yang "tidak dapat percaya" mengenai beberapa hal yang diminta Tsuburaya untuk mereka lakukan, seperti Kong dan Godzilla melakukan tendangan voli bolak-balik batu raksasa.[180] Untuk penggambaran mereka, Tsuburaya memberi Haruo Nakajima (memerankan Godzilla) dan Shoichi Hirose (memerankan King Kong) kebebasan untuk membuat koreografi gerakan mereka sendiri.[181] Tsuburaya mengarahkan rangkaian pada set miniatur luar ruangan di Pesisir Miura, yang menggambarkan serangan gurita raksasa di desa Pulau Faro.[182][183][184][185] Selama rilis teater aslinya pada Agustus 1962, King Kong vs. Godzilla menjadi film Jepang berpenghasilan tertinggi kedua dalam sejarah dan ditonton oleh 11,2 juta orang, membuatnya dianggap sebagai film yang paling banyak ditonton dalam serial Godzilla.[186]
Rilisan film terakhir Tsuburaya pada tahun 1962 adalah film epik jidaigeki karya Inagaki yaitu Chūshingura: Hana no Maki, Yuki no Maki, dengan ia dan departemennya membuat panggung perspektif paksa dan berbagai optik efek. Diproduksi oleh Toho—seperti King Kong vs. Godzilla—untuk merayakan ulang tahun ke-30 mereka, Chūshingura adalah film berpenghasilan kotor tertinggi keempat dari perusahaan tersebut pada tahun itu, dan film berpenghasilan kotor tertinggi kesepuluh dari perusahaan tersebut secara keseluruhan.[187]
Film pertama rilisan tahun 1963 yang menampilkan kontribusi Tsuburaya adalah film perang lain karya Shūe Matsubayashi, Attack Squadron!, didistribusikan pada bulan Januari tahun itu.[188] Meskipun bukan film epik, tidak seperti film perang Toho sebelumnya, Attack Squadron! masih menampilkan beberapa miniatur pesawat Jepang dan Amerika, yang dibuat oleh kru Tsuburaya, dengan beberapa model dikendalikan melalui kontrol radio. Satu-satunya miniatur kapal perang baru yang dibuat untuk film ini adalah Yamato, sebuah model bermotor besar yang dibuat dengan skala 1/15 dan berukuran 17,5 meter (atau 57,5 kaki).[189]
Setelah mengunjungi Hollywood untuk mempelajari karya efek khusus dari studio besar Amerika,[190] Tsuburaya mendirikan perusahaan mandirinya sendiri, Tsuburaya Special Effects Productions (kemudian disebut secara sederhana sebagai Tsuburaya Productions), pada 12 April 1963.[191][192] Awalnya ditangani sepenuhnya oleh keluarganya: Tsuburaya dulunya dilaporkan sebagai direktur jenderal dan presiden; istrinya Masano berada di dewan direksi; putra keduanya Noboru diangkat sebagai akuntan. Hajime, putra sulung Tsuburaya, juga segera bergabung dengan perusahaan tersebut, meninggalkan pekerjaannya sebagai sutradara peraih penghargaan di Tokyo Broadcasting System.[8] Sekitar bulan Agustus di tahun yang sama, asisten fotografi Kiyoshi Suzuki dipekerjakan bersama Koichi Takano , mantan juru kamera berita untuk Kyodo Television.[193] Takano terlibat langsung dalam produksi tokusatsu skala penuh pertama Tsuburaya Productions, Alone Across the Pacific (1963),[194][195] yang membutuhkan dua puluh lima rangkaian efek.[8] Sepanjang sisa tahun ini, Tsuburaya bekerja untuk perusahaan barunya dan Toho, dengan ia masih memimpin departemen efek, meskipun telah mengakhiri kesepakatan eksklusifnya dengan perusahaan tersebut.[196]
Film kedua rilisan tahun 1963 yang menampilkan kontribusinya adalah film musikal Hong Kong karya Li Han-hsiang The Love Eterne. Sutradara efek ditugaskan untuk mementaskan adegan ketika gempa bumi membelah makam karakter Liang Shanbo (diperankan oleh Ivy Ling Po) menjadi dua dan protagonis (diperankan oleh Betty Loh Ti) naik ke surga.[197] Sinematografer Tadashi Nishimoto pergi ke Jepang untuk memfilmkan efek Tsuburaya di studio kedua milik Shintoho.[198]
Produksi Tsuburaya berikutnya, yang dijelaskan oleh August Ragone sebagai "petualangan Perang Dunia I yang ringan",[8] berjudul The Siege of Fort Bismarck . Untuk kemitraan pertamanya dengan sutradara Kengo Furusawa,[199] divisi Tsuburaya mengembangkan beberapa model baru untuk film tersebut, termasuk miniatur skala besar, replikasi skala penuh dari kendaraan penerbangan awal abad ke-20, dan set model luar ruangan yang sangat besar dari Benteng Bismarck.[8][200] Menurut Ragone, Tsuburaya menikmati pengerjaan film ini, meskipun bertujuan untuk membuat penampilan penghormatannya sendiri kepada perintis penerbangan Jepang.[8]
Tidak lama setelah menyelesaikan The Siege of Fort Bismarck pada April 1963, ia memulai pekerjaan pra-produksi untuk Matango, film lain yang dibuat bekerja sama dengan Ishirō Honda,[8] yang merupakan entri terakhir dalam Seri Manusia Berubah.[201][202] Berbeda dengan mayoritas film bertema monster Toho sebelumnya, para aktor mampu melakukan interaksi fisik dengan aktor setelan yang memerankan monster di panggung suara.[203] Sadao Iizuka mengatakan bahwa Tsuburaya "memfokuskan" Toho dalam membeli "Pencetak Optis Seri 1900" untuk memfasilitasi produksi efek khusus, sambil mencatat bahwa teknologi sintesis optik menjadi populer setelah rilis film tersebut.[204] Kegagalan box office pada perilisannya di Jepang,[205] Matango tidak termasuk dalam daftar film terlaris tahun itu oleh Kinema Junpo,[206] dan telah dianggap sebagai salah satu film Honda dan Tsuburaya yang paling tidak dikenal sejak saat itu, dianggap sebagai "film yang hampir tidak dikenal", kecuali untuk "penggemar sinema kultus Asia, penggemar sastra aneh, dan konsumen program televisi larut malam yang tidak bisa tidur".[207]
Tsuburaya segera beralih ke film miniatur dan memproduksi animasi optik (melalui Pencetak Optis 1900 yang baru dibelinya) untuk The Lost World of Sinbad.[208] Film ini, disutradarai oleh Senkichi Taniguchi dari skenario oleh penulis Mothra dan King Kong vs. Godzilla yaitu Shinichi Sekizawa, termasuk rangkaian pengejaran koreografi terkenal antara penyihir dan penyihir, dibuat melalui animasi dan fotografi bayang, dengan Tsuburaya mendapat Penghargaan Teknis Jepang untuk Keahlian Khusus lainnya.[208][209]
Tsuburaya segera mulai mengerjakan film fiksi ilmiah tokusatsu arahan Honda lainnya, Atragon (1963). Berdasarkan novel karya Shunrō Oshikawa yaitu The Undersea Warship[210][211][212][213] dan dipadukan dengan novel karya Shigeru Komatsuzaki yaitu Undersea Empire,[208] film ini berkisah tentang sekelompok mantan kolega, teman, dan keluarga yang harus meyakinkan kapten kapal perang Gotengo, Hachiro Jinguji (diperankan oleh Jun Tazaki), untuk menggunakan kapal perangnya dalam menyelamatkan dunia dari penyerangan peradaban bawah laut kuno Mu, yang menggunakan teknologi canggih dan naga laut penjaga mereka, Manda, dalam upaya untuk mengambil alih dunia permukaan. Karena Toho bertujuan untuk mendistribusikan film tersebut di bioskop-bioskop Jepang pada 22 Desember tahun itu,[208] Tsuburaya diberi waktu kira-kira dua bulan untuk syuting rangkaian efek dalam Atragon.[211][214] Akibatnya, untuk mencapai tujuan perusahaan, ia memisahkan tim efek spesialnya menjadi dua unit, memastikan bahwa hal itu akan memungkinkannya untuk menyelesaikan tugas secepat mungkin. Meskipun dengan cepat dikonversi dan dikembangkan, film tersebut dianggap sebagai "salah satu pilar perfilman Jepang" dan masih sering dirujuk di media.[215]
Saat mengerjakan Atragon, Tsuburaya juga menyelesaikan efek model untuk film jidaigeki yang diarahkan oleh Hiroshi Inagaki, Whirlwind (1964).[216][217] Selama periode waktu ini, kurang tidur dan stres terkait beban kerja berdampak buruk pada kesehatan Tsuburaya, sedemikian rupa sehingga ia sering ditemukan tidur di kursinya selama pengaturan adegan untuk pengambilan efeknya.[216]
Seri ketiga dalam serial film Godzilla, Mothra vs. Godzilla (1964), adalah proyek Tsuburaya berikutnya.[216] Sering dianggap sebagai film kaiju terbaik yang menampilkan karya-karyanya,[216] diproduksi untuk merayakan ulang tahun kesepuluh film kaiju Toho dan menggambarkan pertempuran antara Godzilla dan karakter bernama sama dengan judul film tahun 1961 yaitu Mothra.[218][219] Tsuburaya menggunakan 1900 optical printer miliknya untuk menghilangkan kerusakan pada foto komposit untuk gambar dan menciptakan napas atom Godzilla;[220] ia juga pergi ke lokasi untuk mengambil beberapa pelat komposit Kastil Nagoya untuk adegan ketika Godzilla dihancurkan bangunan.[221] Karena aktor Godzilla Haruo Nakajima tidak dapat menghancurkan model kastil seluruhnya, seperti yang direncanakan semula, Tsuburaya pertama kali mencoba menyelamatkan ambilan dengan membuat Godzilla tampak marah oleh pertahanan kastil yang kuat, sebelum akhirnya memilih untuk merekam ulang adegan dengan model yang lebih rapuh.[220] Ia juga pergi ke lokasi untuk syuting segmen yang menampilkan angkatan laut Amerika Serikat yang sedang melepaskan misil pada Godzilla: adegan ini termasuk dalam versi film untuk pasar AS, sedangkan hal itu ditiadakan dari versi asli Jepang. Hal ini adalah salah satu kejadian langka ketika rangkaian yang menampilkan Godzilla diambil di luar Toho Studios.[222][223]
Pada musim semi tahun 1964, Tsuburaya menerima kunjungan dari kolaborator Ishirō Honda di Pulau Hawaii dari Kauai.[224] Sutradara efek tersebut sedang syuting rangkaian kecelakaan pertarungan udara dan pesawat untuk None but the Brave karya Frank Sinatra (rilis 1965),[224][225] satu-satunya film penyutradaraan penyanyi dan aktor terkenal. Sebagai produksi bersama besar Jepang-Amerika pertama, film epik anti-perang bercerita tentang pasukan tentara Amerika, terdampar di tengah Samudera Pasifik selama Perang Dunia II, yang terpaksa berkolaborasi dengan unit oposisi Jepang yang juga terdampar di pulau yang sama.[226][227][228] Selama kunjungan Honda, Tsuburaya mengatakan kepadanya bahwa ia sedang mengerjakan serial televisi pertamanya untuk Tsuburaya Productions, yang saat itu berjudul Unbalance, tetapi kesulitan menemukan aktor utama untuk serial tersebut. Honda meyakinkan Kenji Sahara (yang membintangi film None but the Brave dan beberapa film kaiju Honda-Tsuburaya) untuk berperan sebagai pemimpin tim dalam acara yang dimaksud, yang nantinya menjadi Ultra Q (1966).[224] None but the Brave kemudian dirilis di Jepang oleh Toho pada 15 Januari 1965, dan didistribusikan oleh Warner Bros. di AS pada bulan berikutnya.[229]
Pada bulan Januari 1964, saat berada di New York, Tsuburaya memesan pencetak optis 1200 dari Oxberry, model yang pada saat itu hanya dimiliki oleh satu studio lain di seluruh dunia: Disney.[230] Meskipun harus mengeluarkan biaya ¥40 juta rekor saat itu, Tsuburaya ingin membeli pencetak baru untuk Tsuburaya Productions karena alat ini adalah salah satu alat pascaproduksi yang paling mudah diadaptasi: selain itu, ia telah menggunakan iterasi perangkat Oxberry sebelumnya pada film seperti Matango.[230] Ia terus mengoperasikan teknologi ini pada Ultra Q, serial televisi pertama Tsuburaya Productions, yang merupakan kombinasi dari dua proyeknya yang sebelumnya dibuang, dengan judul tentatif Unbalance dan WoO.[231] Fotografi utama dalam Ultra Q dimulai pada 27 September 1964, dengan pengambilan episode "Mammoth Flower".[232] Ditayangkan di Tokyo Broadcasting System dari 2 Januari hingga 3 Juli 1966, serial ini mengikuti petualangan trio yang menyelidiki fenomena aneh, mulai dari ancaman supernatural hingga kaiju, di abad ke-20. Setelah disiarkan, sekitar 30% rumah tangga Jepang yang memiliki televisi menonton acara tersebut,[224][233] menjadikan Tsuburaya sebagai nama terkenal dan membuatnya mendapat lebih banyak perhatian dari media, yang menjulukinya sebagai "Dewa Tokusatsu".[12]
Setelah mengarahkan efek pada film kaiju karya Honda yaitu Dogora (rilis Agustus 1964),[234][235] Tsuburaya memperbarui kolaborasi mereka untuk film kaiju, Ghidorah, the Three-Headed Monster, menjadikan tahun 1964 sebagai satu-satunya tahun ketika dua film Godzilla pernah dirilis di tahun yang sama (yang pertama adalah Mothra vs. Godzilla).[236] Diciptakan sebagai salah satu penampilan dalam merayakan sepuluh tahun film kaiju Toho, [237] Ghidorah menampilkan kaiju naga yang dirancang sebagai penghormatan kepada Yamata no Orochi, King Ghidorah, yang menentang Godzilla, Rodan, dan Mothra dalam film tersebut.[238] Eksekutif Tsuburaya dan Toho memutuskan untuk antropomorfisasi monster untuk film tersebut, meskipun Honda merasa "tidak nyaman" dengan keputusan tersebut dan enggan menggunakan The Peanuts (yang sebelumnya berperan sebagai peri-peri Mothra di film senama) sebagai interpreter untuk kaiju di adegan puncak.[236] Selama pengambilan bentrokan antara Godzilla dan Rodan di tangki air besar Toho Studios, salah satu batasnya terekspos di film: Tsuburaya menyembunyikan kesalahan ini dengan melapiskan pepohonan di area tersebut.[239] Dirilis pada 20 Desember 1964,[240] Ghidorah menjadi hit box office besar-besaran, berpenghasilan kotor ¥375 juta, relatif lebih banyak daripada King Kong vs. Godzilla, pemegang rekor seri sebelumnya.[241] King Ghidorah kemudian menjadi pemain reguler antagonis dari waralaba Godzilla.[242]
Tsuburaya memulai tahun 1965 dengan mengarahkan efek untuk film perang karya Seiji Maruyama yaitu Retreat from Kiska.[243][244] Tsuburaya menghabiskan dua bulan untuk syuting adegan ketika armada mengitari Pulau Kiska dalam kabut tebal di panggung dalam ruangan, karena kabut tidak dapat dikendalikan oleh angin selama pengambilan gambar terbuka.[243][244] Rangkaian ketika armada menyelinap melalui bebatuan diwujudkan dengan meletakkan rel di dasar kolam efek khusus dan menjalankan miniatur kapal perang di atasnya.[243][244] Miniaturnya tidak boleh terlalu besar untuk pemotretan dalam-set, dan aliran air dipompa untuk menyesuaikan proporsi dari gelombang dan jaluran ombak. Sebuah kolam luar ruangan besar digunakan dalam adegan masuk dan keluar pelabuhan tanpa kabut.[243][244] Untuk karyanya dalam Kiska, Tsuburaya memenangkan Penghargaan Teknis Jepang untuk Keahlian Khusus dalam Penghargaan Teknis Jepang ke-19.[209]
Produksi berikutnya, Frankenstein vs. Baragon (1965), menggambarkan monster Frankenstein melawan kaiju bawah tanah baru, bernama Baragon di Jepang.[245] Tsuburaya dilaporkan sangat antusias mengerjakan film tersebut karena monster utamanya akan menjadi lebih kecil dari biasanya, memungkinkan timnya untuk membuat set model yang lebih besar daripada set yang digunakan dalam film Godzilla: ditambah, seorang aktor dalam riasan—Kōji Furuhata—akan terlibat untuk memerankan Frankenstein, daripada menyerahkan peran tersebut kepada pemeran pengganti dengan setelan monster.[246] Meskipun menampilkan set model di antara model terbesar dan terinci untuk kolaborasi Honda-Tsuburaya, beberapa kritikus mempertanyakan beberapa ide Tsuburaya, termasuk boneka yang digunakan untuk menggambarkan seekor kuda, alih-alih kuda yang sebenarnya, untuk rangkaian ketika Baragon menguasai sebuah lahan pertanian. Menurut Koichi Takano, Tsuburaya mengatakan bahwa ia menggunakan boneka itu karena "lebih menyenangkan".[245] Tsuburaya juga membuat adegan yang menggambarkan bom atom jatuh di atas Hiroshima, yang penulis biografi Honda Steve Ryfle dan Ed Godziszewski sebut sebagai "tampilan asap dan api yang impresionistik".[247]
Setelah pasca produksi film tersebut diselesaikan untuk perilisannya di Jepang, diadakan dua hari setelah peringatan dua puluh tahun pengeboman atom Hiroshima (8 Agustus 1965),[248] Produser bersama Amerika Henry G. Saperstein meminta Toho untuk memfilmkan akhir yang baru untuk versi AS: Tsuburaya dan Honda, karenanya, mengumpulkan kembali para pemain dan kru untuk syuting akhir yang baru, meskipun akhirnya tidak digunakan dalam iterasi film Amerika dan Jepang.[249] Namun, ending alternatif kemudian diputar dalam konvensi penggemar pada tahun 1982, sebelum ditampilkan sebagai adegan bonus dalam video rumahan.[249]
Setelah Frankenstein vs. Baragon, Tsuburaya dengan cepat beralih ke film berikutnya, The Crazy Adventure karya Kengo Furusawa,[250] diproduksi untuk merayakan ulang tahun kesepuluh grup komedi Crazy Cats.[251][252] Terinspirasi oleh film mata-mata populer saat itu,[253] Departemen Tsuburaya banyak menggunakan "wire action" di lokasi luar ruangan, sementara aktor utama Hitoshi Ueki melakukan sebagian besar rangkaian aksi film tanpa pemeran pengganti.[251][254][h] Tsuburaya juga mengarahkan rangkaian efek miniatur untuk film tersebut.[255] Dirilis di Jepang pada 31 Oktober 1965,[251] The Crazy Adventure adalah hit box office lainnya untuk Tsuburaya, memperoleh pendapatan lebih dari Ghidorah, the Three-Headed Monster.[252]
Setelah itu, Tsuburaya mengerjakan Invasion of Astro-Monster (1965) karya Honda,[256][257] film keenam dalam waralaba Godzilla dan zaman Shōwa, serta kolaborasi kedua antara Toho dan UPA.[258][259][260] Sekuel langsung dari Ghidorah, the Three-Headed Monster,[261] film ini bercerita tentang dua astronot mendarat di sebuah planet yang ditempati oleh ras alien, dikenal sebagai "Xiliens", karena mereka meminta bantuan umat manusia dengan Godzilla dan Rodan dalam mengalahkan "penyusup" King Ghidorah. Setelah membawa para astronot, ilmuwan Sakurai, Godzilla, dan Rodan ke planet mereka, para alien berusaha mengeksploitasi Ghidorah, Godzilla, dan Rodan untuk menaklukkan Bumi dengan mengendalikan pikiran mereka. Film Godzilla terakhir yang menampilkan kontribusi dari seluruh unit efek Tsuburaya,[262] Invasion of Astro-Monster terutama menampilkan tarian kemenangan Godzilla yang terkenal, berasal dari tarian shie! ditampilkan dalam serial manga komedi karya Fujio Akatsuka yaitu Osomatsu-kun (1962–1969), sensasi budaya populer pada saat produksi film. [262] Tarian tersebut dimasukkan ke dalam film setelah seorang karyawan Toho menyarankannya kepada Tsuburaya,[263][260] yang sudah mendukung antropomorfisasi karakter monster dengan karakteristik lucu.[264] Untuk karyanya dalam Invasion of Astro-Monster, sang sutradara memperoleh Penghargaan Teknis Jepang untuk Keahlian Khusus pada tahun berikutnya.[209]
Di puncak popularitas Ultra Q, TBS menayangkan The Father of Ultra Q, sebuah episode dari serial dokumenter mereka Modern Leaders, pada 2 Juni 1966. Sepanjang episode tersebut, Tsuburaya difilmkan di tempat kerja dan di tempat lain, bahkan diwawancarai oleh orang-orang yang mengenakan kostum monster Ultra Q: dalam hal ini, ia menyebutkan untuk pertama kalinya bahwa ia sedang mengerjakan acara baru untuk mengikuti Ultra Q, yang kemudian menjadi Ultraman.[265]
Tsuburaya mulai mengerjakan seri tokusatsu baru pada musim gugur tahun sebelumnya: eksekutif TBS ingin menghasilkan seri yang berkembang seperti Ultra Q dan menginginkan program penuh warna yang akan "mengambil jalur monster ke tingkat berikutnya".[265] Tsuburaya dan penulis Tetsuo Kinjō memutuskan untuk mengambil konsep dasar dari Ultra Q tentang warga sipil dan ilmuwan yang menawar monster: mereka datang dengan gagasan mengenai sebuah grup, yang untuk sementara diberi nama "Badan Investigasi Ilmiah" (SIA), dibentuk untuk menangani kaiju dan fenomena supernatural sebagai fokus acara baru. Keduanya juga setuju untuk menambahkan konsepsi yang tidak terpakai dari Ultra Q dan WoO.[266][267][268] Tsuburaya telah menghabiskan banyak uang studio dalam membangun modelnya untuk film Godzilla, jadi TBS bertujuan untuk memonetisasi miniatur ini dan mencari tugas yang dapat menggunakan kembali set dan setelan dari waralaba Godzilla.[267]
Selama mendesain, Tsuburaya menemukan versi asli dari desain karakter utama seakan "terlalu alien dan menyeramkan", dan meminta desainer produksi Tohl Narita untuk terus menyusun desain tambahan karena skenario ditulis secara bersamaan.[269] Narita memilih untuk mengakarkan desain Ultraman dalam konsep Yunani cosmos (keteraturan dan harmoni), berbeda dengan desain sebelumnya desain untuk Ultra Q, yang terinspirasi dari konsep khaos.[269] Tsuburaya memberikan masukan untuk desain Narita, dengan beberapa terinspirasi oleh seni Miyamoto Musashi.[269] Kulit perak Ultraman melambangkan baja dari roket antarbintang, sedangkan garis merah melambangkan permukaan Mars.[269] Seperti yang dinyatakan oleh penulis biografi August Ragone, Ultraman menjadi "buatan paling populer dan abadi" Tsuburaya[267]
Sesi syuting Ultraman dimulai pada Maret 1966, dan kru dibagi menjadi tiga kelompok terpisah untuk laga hidup dan efek khusus. Tsuburaya Productions dan TBS awalnya berencana untuk mulai menayangkan serial tersebut pada 17 Juli 1966, tetapi TBS memilih untuk merilisnya seminggu sebelumnya.[270] Tsuburaya mengawasi produksi setiap episode serial ini dan menjabat sebagai sutradara efek khusus de facto untuk episode 18 dan 19.[271]
Setelah beberapa pertemuan antara kedua perusahaan dan sponsor, diputuskan bahwa episode perintis, awalnya direncanakan sebagai Ultraman Eve Festival, akan memperkenalkan karakter dari judul acara tersebut. Episode perintis ditayangkan pada 10 Juli—salah satu tanggal yang disebut sebagai hari ulang tahun Tsuburaya[5]— pada tahun yang sama, dengan judul The Birth of Ultraman: An Ultraman Premiere Celebration.[272] Ultraman menjadi hit yang lebih besar dari pendahulunya, mendapatkan 40% penayangan.[224][233] Dengan monster sekarang tersedia untuk ditonton di rumah setiap minggu, anak-anak lebih sedikit meminta orang tua untuk membawa mereka ke teater: akibatnya, kemenangan Tsuburaya Productions di televisi mengalihkan pendapatan box-office dari film kaiju Toho.[224]
Pada tahun 1966, Tsuburaya juga bekerja sekali lagi dengan Honda untuk film kaiju The War of the Gargantuas, yang diproduksi bekerja sama dengan Henry G. Saperstein, bercerita tentang ilmuwan yang menyelidiki penampakan dua humanoid berbulu raksasa yang akhirnya saling bertarung di Tokyo. Awalnya disusun sebagai sekuel dari Frankenstein vs. Baragon, film ini melewati beberapa judul tentatif selama pembuatan skrip,[273] dan film final dirujuk oleh penulis sejarah film Stuart Galbraith IV sebagai "kuasi–sekuel" dari pendahulunya.[274] Film ini tayang perdana di Jepang pada Juli 1966.[275]
Setelah serial Tsuburaya Booska the Friendly Beast mulai ditayangkan di televisi pada November 1966,[276] ia menerima kredit terakhirnya sebagai "sutradara efek khusus" pada film Godzilla untuk Ebirah, Horror of the Deep.[277] Namun, muridnya Sadamasa Arikawa sebenarnya berperan sebagai sutradara efek khusus de facto untuk film ini, dengan kredit Tsuburaya hanya bersifat seremonial.[278] Tahun berikutnya, Tsuburaya mengarahkan efek untuk King Kong Escapes, produksi bersama Jepang-Amerika yang dibuat untuk merayakan hari jadi Toho yang ketiga puluh lima.[279] Sebagai penghormatan kepada adegan pertempuran dinosaurus dari King Kong (1933), sutradara memperkenalkan Gorosaurus, kaiju dinosaurus yang melawan Kong di Pulau Mondo dalam film tersebut.[279][280] Rilisan tahun 1967 berikut yang menampilkan kontribusi Tsuburaya adalah Ultraseven, entri ketiga dalam seri Ultra, yang dipengaruhi oleh serial TV Britania Thunderbirds.[281] Serial ini menerima rating 33,7% setelah mulai ditayangkan pada 7 Oktober 1967.[282] Pada tahun 1967, ia juga ditunjuk sebagai "pengawas efek khusus" dan menyerahkan posisi direktur efek khusus untuk serial film Godzilla kepada Arikawa, dimulai dengan Son of Godzilla.[283]
Pada tahun 1967, kru penulis Tsuburaya Productions mengambil elemen dari skenario Shinichi Sekizawa, The Flying Battleship, dan memasukkan konsep dari sana ke dalam serial TV, Mighty Jack, yang konsepnya serupa dengan James Bond dan Voyage to the Bottom of the Sea.[284] Bercerita tentang tim agen rahasia yang dibentuk oleh orang kaya industrialis untuk menentang tindakan organisasi militer, disebut sebagai "Q", Mighty Jack ditujukan untuk pemirsa yang lebih dewasa, berbeda dengan seri Ultra dan Booska the Friendly Beast.[285] Karena tekanan dari Fuji TV, serial ini menurun dengan cepat setelah rilis episode pertamanya pada 6 April 1968, sebagai konsekuensi dari kualitasnya yang buruk: banyak skenario difilmkan tanpa revisi, pekerjaan efek sering kekurangan waktu, dan syuting ulang sering kali tidak dapat dilakukan.[286] Fuji TV menganggap serial ini sebagai kegagalan komersial, karena rating pemirsanya sebesar 8,3%, dan membatalkannya setelah Tsuburaya Productions selesai memproduksi hanya 13 dari 26 episode yang dijadwalkan.[287][288] Sekuel dari serial tersebut, berjudul Fight! Mighty Jack, kemudian mulai mengudara pada Juli 1968.[289][290]
Dengan meningkatnya anggaran, berkurangnya kru yang kembali, dan penonton teater dibuat tertarik oleh televisi, produser Tomoyuki Tanaka memilih untuk mengakhiri serial Godzilla, tetapi menawarkan sebuah film terakhir untuk staf aslinya.[290] Epik kaiju konsekuensial Honda, Destroy All Monsters (1968), menampilkan efek yang disutradarai oleh Sadamasa Arikawa, yang konon diawasi oleh Tsuburaya.[291] Rilisan berikutnya pada tahun itu adalah epik perang Seiji Maruyama lainnya, Admiral Yamamoto, yang dibintangi oleh Toshiro Mifune sebagai Marsekal Laksamana Angkatan Laut Kekaisaran Jepang bernama Isoroku Yamamoto (yang sebelumnya menjadi topik dalam Eagle of the Pacific karya Honda dan Tsuburaya).[292] Destroy All Monsters adalah film domestik berpenghasilan kotor tertinggi kedua belas pada tahun 1968, mencatatkan pendapatan sekitar ¥170 juta, sedangkan Admiral Yamamoto adalah film berpendapatan kotor tertinggi kedua, sekitar ¥400 juta.[293] Pada 15 September 1968, seminggu setelah episode terakhir Ultraseven disiarkan[294] dan lebih dari sebulan setelah Admiral Yamamoto didistribusikan ke bioskop Jepang oleh Toho,[295] proyek berikutnya sutradara untuk Tsuburaya Productions, Operation: Mystery , mulai ditayangkan di TBS, dengan ia menjabat sebagai pengawas acara.[296]
Latitude Zero, dirilis oleh Toho pada Juli 1969, adalah film kolaborasi Jepang-Amerika yang diproduksi oleh Toho dan Don Sharp Productions.[294][297] Produksi tersebut dilaporkan memiliki anggaran sebesar ¥360 juta[298][299] (setara dengan sekitar US$1 juta),[300] tetapi departemen Tsuburaya kesulitan membuat makhluk realistis untuk film tersebut setelah produser Amerika keluar dari proyek.[294][301] Sebagai perbandingan, retrospektif penulis memuji karya model Tsuburaya, terutama kapal selamnya,[294][302] yang menurut Ryfle dan Godziszewski mirip mesin Thunderbirds dalam acara Gerry Anderson dengan nama yang sama.[302] Seperti pekerjaan Honda dan Tsuburaya sebelumnya,[293] Latitude Zero hanya meraup pendapatan sebesar ¥170 juta (US$472,000), membuatnya gagal di box office.[302]
Tsuburaya dengan cepat beralih ke proyek berikutnya, Battle of the Japan Sea, dianggap sebagai film ketiga dalam "Seri 8.15 Toho" (setelah Japan's Longest Day dan Admiral Yamamoto).[301][303] Tsuburaya diberikan anggaran terbesarnya untuk film epik perang yang disutradarai oleh Seiji Maruyama tentang Perang Rusia-Jepang.[304] Dengan demikian, 60 seniman anggota departemennya diperkirakan membuat 107 miniatur kapal untuk film tersebut dan membangun replika kapal perang Angkatan Laut Kekaisaran Jepang Mikasa setinggi 13 meter, berbeda dengan kapal 3 meter lainnya.[305] Dirilis pada Agustus 1969, Battle of the Japan Sea adalah film terlaris kedua di Jepang pada tahun 1969,[301] menghasilkan ¥360 juta[306] dibandingkan dengan anggarannya sebesar ¥350 juta.[307] Dianggap sebagai salah satu mahakarya Tsuburaya,[304] Battle of the Japan Sea adalah produksi terakhir yang secara resmi diikutinya sebagai sutradara efek khusus.[305][308] Pada bulan yang sama, serial berikutnya dari Tsuburaya Productions, Horror Theater Unbalance (ditayangkan tahun 1973), memasuki proses produksi: Tsuburaya dikreditkan sebagai pengawasnya.[309]
Tsuburaya dan beberapa anggota kru efek Toho menghabiskan sebagian besar tahun 1969 dengan bekerja sama untuk membuat Birth of the Japanese Islands, sebuah pameran audiovisual yang menyimulasikan gempa bumi dan gunung berapi, yang kemudian menjadi bagian dari Paviliun Mitsubishi di Expo '70 di Suita, Prefektur Osaka. Komitmennya terhadap proyek mencegahnya terlibat dalam produksi All Monsters Attack (1969), dan sutradara Honda menangani efek khusus alih-alih dirinya untuk pertama kali.[310] Meskipun demikian, sutradara menyatakan bahwa Tsuburaya "secara pribadi terlibat dalam penyuntingan", menambahkan: "Film ini mungkin dibuat secara umum [oleh orang lain], tetapi ia pasti memeriksanya dan menginstruksikan staf untuk mempersingkat adegan tertentu, dan seterusnya."[311]
Mengabaikan saran dokter baru-baru itu untuk mengurangi beban kerja karena kesehatan yang menurun,[190] Tsuburaya mulai menunjukkan gejala angina pektoris tidak stabil, dan ia pingsan saat mengunjungi pusaran air Naruto selama sesi syuting untuk presentasi film Expo '70.[312] Ia kemudian dibawa ke Rumah Sakit Mishuku di Meguro untuk melanjutkan pemulihannya, tetapi menolak untuk tetap di sana, karena ia berharap untuk menyelesaikan Birth of the Japanese Islands sesuai jadwal: sebaliknya, ia menerima tawaran untuk pemulihan dan menerima perawatan medis di Vila Ukiyama di Semenanjung Izu di Itō, Shizuoka,[313] tempat ia diperintahkan untuk membatalkan tugas apa pun.[314] Prihatin dengan masa depan Tsuburaya, putranya Hajime berhenti dari pekerjaannya di TBS dan secara resmi mengambil alih posisi ayahnya sebagai presiden Tsuburaya Productions pada 30 November 1969.[315]
Pada Desember 1969, Tsuburaya menyelesaikan pembuatan film proyek Expo '70 dan pindah ke Vila Ukiyama bersama istrinya Masano, tempat ia terus menulis otobiografinya dan membuat garis besar film Japan Airplane Guy dan Princess Kaguya.[6][314][316] Sambil terus menulis draf Japan Airplane Guy harian, ia menyatakan keinginannya untuk mengerjakan lebih banyak proyek di masa depan dan kembali ke Tokyo pada 26 Januari 1970.[314] Namun, pada 25 Januari 1970, pukul 22.15, Masano terbangun dan menemukan bahwa Tsuburaya telah meninggal saat tidur bersamanya di vila di Itō, Shizuoka: ia berusia 68 tahun.[314] Sumber berbahasa Jepang menyebutkan penyebab kematiannya sebagai angina terkait dengan serangan asma.[68][316][317]
Pada 27 Januari, tradisi berkabung diadakan di rumah keluarga Tsuburaya.[314] Pemakamannya diadakan di Gereja Katolik Seijō pada 29 Januari, dengan putra sulungnya Hajime menjabat sebagai ketua pelayat.[318] Keesokan harinya, ia secara anumerta dianugerahi Penghargaan Ketua Kehormatan oleh Asosiasi Sinematografer Jepang dan Order of the Sacred Treasure oleh Kaisar Hirohito.[15][314] Sebuah kebaktian Katolik diadakan di Toho Studios pada 2 Februari, dengan produser The Last War yaitu Sanezumi Fujimoto menyediakan kebaktian.[316] Lima ratus teman dan kolega menghadiri layanan tersebut, termasuk aktor Kazuo Hasegawa, sutradara The War at Sea from Hawaii to Malaya yaitu Kajirō Yamamoto, Sutradara The Three Treasures yaitu Hiroshi Inagaki, dan sutradara A Thousand and One Nights with Toho yaitu Kon Ichikawa.[314] Ia kemudian dimakamkan di Pemakaman Katolik di Fuchū, Tokyo, Jepang.[319]
Karier Tsuburaya dalam produksi film berkembang dari film skala kecil jidaigeki[9] menjadi epik perang dan fiksi ilmiah yang sukses secara finansial.[320] Selama tugasnya sebagai sinematografer di awal abad ke-20, Tsuburaya meneliti sinema internasional dengan cermat untuk menggabungkan beberapa teknik dan meningkatkan gaya inovatifnya;[6] beberapa dari film tersebut antara lain: The Lost World (1925), Metropolis (1927), dan King Kong (1933). Tsuburaya berkomentar bahwa King Kong sangat memengaruhinya untuk bekerja dalam efek khusus.[9] Ia memutuskan untuk membuat rangkaian efek khusus dalam film dengan menggunakan efek miniatur dan teknologi sintesis yang melibatkan strip film berlapis.[6] Tsuburaya terus-menerus mengonversikan teknik efek khusus baru dan mengujinya dalam basis harian dan menjadi pendiri dan kepala efek khusus Jepang (dikenal sebagai Tokusatsu), membuatnya dijuluki "Bapak Tokusatsu".[6] Penulis biografi Agustus Ragone menulis bahwa rekamannya, yang selalu difilmkan secara langsung di panggung suara, dibandingkan dengan teknik modern seperti pencitraan hasil komputer, bisa jadi "menggelikan atau mematikan, menawan atau menakutkan, tetapi tidak peduli seberapa ajaib atau fantastisnya, efek visualnya tampak hidup dan bernafas dengan kehidupannya sendiri."[321]
Untuk Godzilla (1954), Tsuburaya memutuskan untuk membuat teknik akting setelan baru, yang kemudian dikenal sebagai "suitmation", karena film tersebut beranggaran kecil dan jadwal yang ketat menahannya untuk memerankan Godzilla melalui gerak henti (à la King Kong).[94] Sejarawan film Steve Ryfle menulis bahwa, meskipun suitmation tidak serumit teknik gerak henti oleh pionir efek Willis H. O'Brien (pencipta efek dalam King Kong) dan Ray Harryhausen (pencipta efek dalam The Beast from 20,000 Fathoms), hal itu membuat sutradara efek khusus untuk mendapat pendekatan yang lebih efektif dalam menggambarkan rangkaian kehancuran yang membuat Godzilla terkenal.[94]
Pekerjaan Tsuburaya dalam film sering menggambarkan holokaus nuklir, perang dunia, invasi monster, dan konflik antargalaksi.[321] Meskipun filmnya menampilkan tema apokaliptik dan destruktif massa tersebut, ia menentang memasukkan tema kekerasan grafis—terutama pendarahan dan pembantaian—dalam film kaiju miliknya, percaya bahwa hal itu tidak pantas untuk penonton yang lebih muda.[190] Namun, eksekutif Toho (seperti Iwao Mori) mendesak Tsuburaya untuk menampilkan gore dalam film kaiju miliknya selama akhir 1960-an, karena meningkatnya popularitas acara televisi yang menargetkan remaja dengan menampilkan peningkatan konten kekerasan, bahkan acara Tsuburaya sendiri seperti Ultraman dan Ultraseven menggambarkan pahlawan yang memenggal kepala, menebas, memotong, atau melukai musuh monster mereka.[322] Menurut anak didiknya Teruyoshi Nakano, Tsuburaya mengatakan kepada eksekutif Toho: "Film ini untuk anak-anak. Hal ini tidak masuk akal. Mengapa Anda senang menunjukkan darah kepada mereka?"[322] Alih-alih memiliki tema kekerasan dalam filmnya, Tsuburaya terus menggunakan komedi ringan dan humanisme dalam karya tokusatsu miliknya. Seperti yang ditulis oleh Ryfle, tersirat bahwa hal ini karena ia masih seorang "anak di hati" dan memiliki "titik lemah di hatinya untuk anak-anak" selama akhir hidupnya.[190] Pada tahun 1962, Tsuburaya menjelaskan: "Hati dan pikiran saya sama seperti ketika saya masih kecil. Kemudian saya suka bermain dengan mainan dan membaca cerita sihir. Saya masih melakukannya. Harapan saya hanya untuk membuat hidup lebih bahagia dan indah bagi mereka yang akan pergi dan menonton film fantasi saya."[190][321] Belas kasihnya kepada anak-anak membantunya dalam membentuk warisannya; terutama, film Godzilla yang diproduksi setelah kematiannya, menampilkan efek dari Nakano, yang menampilkan kekerasan grafis dalam jumlah besar.[190]
Menurut penulis biografi Ishirō Honda yaitu Steve Ryfle dan Ed Godziszewski, sulit untuk bekerja sama dengan Tsuburaya, terutama untuk sutradara.[323] Tsuburaya menolak menyerahkan kendali atas sektornya kepada sutradara arus utama: ia menolak untuk mengizinkan sutradara menatap ke dalam jendela bidik jika mereka menilai elemen seperti set atau posisi kamera dan menentang ketika rekamannya disunting ulang.[323] Selama produksi Godzilla (1954), bagaimanapun, Tsuburaya membentuk ikatan dengan Honda, yang memiliki kepribadian yang sama sekali berbeda, dianggap tenang dan sopan, jarang mengekspresikan emosinya terhadap orang lain.[323] Ryfle dan Godziszewski menyatakan bahwa keduanya jarang berinteraksi di luar Toho Studios dan bukan rekan pribadi, namun berbagi "hubungan tsu-ka".[323][i] Asisten direktur Honda yaitu Kōji Kajita mengatakan bahwa "Direktur lain seperti Hiroshi Inagaki, Jun Fukuda, dan Shūe Matsubayashi juga bekerja dengan Tuan Tsuburaya, tetapi mereka semua adalah tipe 'aku-pertama' dan mereka benar-benar tidak bekerja sama dengan baik. Sutradara cenderung menganggap mereka nomor satu, dan tim efek harus mengikuti di belakang. Tuan Tsuburaya tidak menghargai itu. Honda-san dan Tuan Tsuburaya bergaul dengan sangat baik karena mereka berdua adalah pria yang sangat dewasa."[323]
Meski sering memberi arahan tanpa henti pada krunya, Tsuburaya dikagumi oleh rekan-rekannya, banyak di antaranya lebih muda darinya dan memanggilnya "paman", mentor, atau "Orang Tua".[190] Aktor setelan Godzilla yaitu Haruo Nakajima berkomentar bahwa meskipun Tsuburaya biasanya tersenyum dan memiliki kemunculan sifat yang menyegarkan, ia sering marah kepada staf.[325] Sinematografer efek khusus Tomioka Mototaka mengaku berada dalam posisi untuk dimarahi oleh Tsuburaya melawan sinematografer Sadamasa Arikawa; asisten fotografi Takao Tsurumi dan Mitsuru Chokai bersaksi bahwa Tsuburaya tidak langsung marah ketika individu muda di unitnya gagal, tetapi malah memarahi Arikawa dan kawan-kawan.[326]
Sebaliknya, Tsuburaya jarang dibuat marah oleh para aktor.[325] Dalam sebuah wawancara terkait biografi Tsuburaya yang ditulis oleh August Ragone, Nakajima mengatakan bahwa ia adalah "pria yang sangat pendiam di lokasi syuting. Sebagian besar arahan yang ia berikan kepada saya untuk pertunjukan adalah, 'Saya percaya Anda untuk melakukannya. Lakukan apa yang menurut Anda terbaik, saya akan menyerahkannya kepada Anda.' Dan begitulah ia untuk sebagian besar film yang kami kerjakan bersama setelah Godzilla." Ia menambahkan: "Setelah dawai putus pada setelan Rodan, menyebabkan saya terjatuh beberapa meter ke dalam set miniatur, ia menegur, 'Baguslah kalau kamu tidak mati; karena saya ingin kamu menyelesaikan filmnya."[327] Dalam sebuah wawancara tentang Nezura 1964 (2020), aktor setelan Ultraman yaitu Bin Furuya berkomentar bahwa Tsuburaya "biasanya orang baik yang normal" dan selalu mendorong para aktornya untuk "bertindak seolah-olah mereka berada dalam jenis film yang akan memberikan mimpi kepada anak-anak".[328]
Tsuburaya memiliki beberapa metode untuk syuting filmnya. Selama bertugas sebagai sinematografer, ia adalah orang pertama yang menggunakan ambilan derek dan cahaya utama sebelum Perang Dunia II.[329] Menurut operator kamera Mitsuo Miura, Tsuburaya juga memfilmkan "pemandangan malam semu" menggunakan pecahan botol bir sebagai filter, dan muridnya Sadamasa Arikawa menjadi fotografer pertama di Jepang yang memotret dengan filter warna.[330][331] Selama akhir hidupnya, Tsuburaya menjelaskan kepada sinematografer Tomioka bahwa ia selalu mengetahui berapa banyak ambilan yang dapat diambil dengan kamera putar, dan ia dapat memutarnya secara naluri.[332]
Honda mengatakan bahwa pendekatan Tsuburaya untuk memfilmkan efek khusus adalah "seperti eksperimen fisika, tidak berbeda dengan mencoba untuk membuat penemuan baru."[333] Insinyur pencahayaan Tsuburaya, Kaoru Saitō mengatakan bahwa kameranya bekerja dalam efek khusus hanya bergerak ke samping atau bergerak ke atas dan bawah dengan derek setelah posisi utama diputuskan, dan kameranya sendiri tidak mendekat ke depan. Saitō juga bersaksi bahwa ia meminta subjek mendekati kamera dan tidak pernah mengambil gambar dari sisi lain kamera.[334]
Ketika ia memikirkan ide untuk film baru, Tsuburaya dikenal karena gayanya yang pendiam namun bersemangat.[190] Nakano menyatakan: "Saya mendengar tentang episode ini ketika Tuan Tsuburaya pulang kerja suatu hari dan ia bertemu dengan wanita yang sepertinya tidak asing baginya. Jadi ia berkata, 'Halo, sudah lama sekali.' Apakah Anda tahu siapa wanita itu? Ia adalah istrinya! Tuan Tsuburaya begitu tenggelam dalam pikirannya sendiri, terkadang ia seperti kehilangan dirinya sendiri."[190]
Menurut Arikawa, Tsuburaya juga menyunting karya filmnya sendiri.[97] Asisten sutradara Tsuburaya, Masakatsu Asai, menyatakan ia mengingat situasi dan lokasi penyimpanan potongan yang diambilnya.[335] Penulis naskah Keiko Suzuki berkata Tsuburaya membayangkan rencana penyuntingannya sendiri, dan ia sering memfilmkan adegan tanpa naskah. Misalnya, adegan diatur menjadi "Pertempuran 1" dan "Pertempuran Udara 2".[336]
"Eiji adalah inspirasi sejati, dan salah satu inovator efek khusus, yang mungkin tidak akan pernah kita lihat lagi di bioskop."
— Gareth Edwards, sutradara Monsters (2010) dan Godzilla (2014)[327]
Terlepas dari kematiannya, nama dan karya Tsuburaya tetap terkemuka karena film dan acara televisi tokusatsu miliknya menghasilkan fandom global. Setahun setelah kematiannya, niat Tsuburaya untuk merevitalisasi Ultraman diwujudkan menjadi Return of Ultraman (1971-1972), yang meluncurkan serangkaian baru dari Seri "Ultra" sepanjang sisa dekade itu. Meski mengalami kesulitan setelah ayahnya meninggal, Hajime, Noboru, dan Akira terus menjalankan Tsuburaya Productions dan tidak pernah melepaskan warisannya, bahkan ketika Tsuburaya Productions hanya memiliki tiga karyawan sebelum video rumahan menghidupkan kembali seri Ultraman.[337] Pada tahun 1989, Noboru menyatakan bahwa Ultraman adalah "warisan terpenting" ayahnya meskipun Godzilla adalah karakter Tsuburaya paling populer di luar negeri.[338]
Penulis kontemporer sering menyatakan bahwa Tsuburaya adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah perfilman,[339][340] dengan penulis biografi August Ragone yang menyatakan bahwa kepentingan sinematik Tsuburaya setara dengan Akira Kurosawa.[321] Doug Bolton dari The Independent menulis bahwa bahkan "orang yang tidak terbiasa dengan fiksi ilmiah Jepang akan dengan mudah mengenali [sic] warisan karya Tsuburaya".[341] The Tokusatsu Network mengatakan bahwa Tsuburaya adalah "kemungkinan tokoh paling berpengaruh di industri film Jepang" dan menyatakan bahwa warisannya "hidup hingga hari ini melalui kreasinya dan memiliki dampak yang cukup besar berkat dirinya dibandingkan dengan Walt Disney."[342]
Karya Tsuburaya telah dikutip sebagai inspirasi bagi banyak orang di industri hiburan di seluruh dunia, termasuk Steven Spielberg,[321] George Lucas,[321] Martin Scorsese,[343] Brad Pitt,[344] Quentin Tarantino,[344] Stanley Kubrick,[345] John Carpenter,[346] Shinya Tsukamoto,[347] Hideaki Anno,[348][349] Will Smith,[350] Chris Kirkpatrick,[351] Guillermo del Toro,[352] Shinji Higuchi,[353] Shunji Iwai,[348] Kazuo Miyagawa,[354] dan pembuat Attack on Titan yaitu Hajime Isayama.[355] Selama awal tahun 1970-an, Lucas mengunjungi Toho ketika mencari perusahaan untuk menghasilkan efek khusus dalam Star Wars (1977) sejak Tsuburaya mendirikan perusahaan sebagai rumah untuk menghasilkan efek khusus.[356] Spielberg menyatakan bahwa Godzilla karya Tsuburaya adalah "yang paling ahli dari semua film dinosaurus, karena membuat Anda percaya bahwa hal itu benar-benar terjadi."[356] Karyanya juga dikutip sebagai inspirasi untuk video musik lagu Beastie Boys yaitu "Intergalactic", serial Power Rangers dan film Pacific Rim, di antara proyek lainnya.[357]
Tsuburaya bermaksud untuk mengerjakan Space Amoeba (1970) karya Honda, tetapi ia meninggal tidak lama setelah syuting dimulai. Sementara film itu diselesaikan untuk menghormati Tsuburaya dan merupakan proyek terakhirnya yang terlibat, eksekutif Toho menolak untuk memberinya dedikasi dalam kredit pembukaannya.[358][359]
Naskah untuk proyek berjudul Princess Kaguya ditulis oleh Tsuburaya sesaat sebelum ia meninggal di Izu.[6] Termotivasi oleh keinginan ayahnya untuk mengerjakan adaptasi lain dari kisah tersebut, Hajime Tsuburaya mencoba memproduksi Putri Kaguya menjadi sebuah film untuk peringatan 10 tahun Tsuburaya Productions. Dalam kata pengantar naskah Hiroyasu Yamaura untuk film tersebut, Tsuburaya mengatakan bahwa ia telah "bersusah payah untuk menggabungkan kekuatan dari berbagai cerita rakyat dan dongeng ke dalam sebuah karya yang akan dinikmati dengan jujur oleh anak-anak di seluruh dunia".[360] Terlepas dari usahanya yang tidak kenal lelah, ia meninggal pada pagi hari tanggal 9 Februari 1973, sebelum sutradara Yoshiyuki Kuroda dijadwalkan untuk memulai produksi malam itu. Dengan demikian, produksi proyek dibatalkan.[361] Pada tahun 1987, produser Tomoyuki Tanaka mengubah ambisi seumur hidup Eiji Tsuburaya menjadi film peran hidup berjudul Princess from the Moon, menampilkan efek yang diarahkan oleh anak didik Tsuburaya yaitu Teruyoshi Nakano.[37]
Pada 2001, dua perusahaan mainan mendistribusikan figur Tsuburaya untuk memperingati 100 tahun kelahirannya.[362] Untuk merayakan peringatan 114 tahun kelahirannya, seniman Google bernama Jennifer Hom dan rekan-rekannya membuat doodle animasi karyanya dalam efek khusus pada 7 Juli 2015.[363] Doodle itu memungkinkan pengguna untuk membuat adegan dari salah satu film dan acara televisi monster utama Tsuburaya.[341]
Pada 11 Januari 2019, setelah pembangunan selama lima tahun, Museum Eiji Tsuburaya dibuka di kampung halamannya di Sukagawa, sebuah penghargaan untuk kehidupan dan karyanya dalam film dan televisi.[364] Selama upacara pembukaan museum, Walikota Katsuya Hashimoto menyatakan bahwa museum tersebut adalah "pusat arsip yang akan menyebarkan efek khusus Jepang kepada dunia."[364] Belakangan pada tahun itu, pembuat film bernama Minoru Kawasaki mulai memfilmkan Monster Seafood Wars, sebuah film kaiju yang secara longgar didasarkan pada filmnya yang belum dibuat sebelum produksi Godzilla tentang gurita raksasa yang menyerang Tokyo.[365]
Dalam rangka memperingati 120 tahun sejak kelahirannya, Arsip Film Nasional Jepang mengadakan acara perayaan di Sukagawa bekerja sama dengan Tsuburaya Productions dari Agustus hingga November 2021. Pada September 2021, pemutaran perdana Princess Kaguya sejak rilis aslinya tahun 1935 diadakan di acara tersebut (Namun, dalam bentuk singkat karena cetakan aslinya diyakini masih hilang).[36]
Pada 10 Juli 2022, pemutaran film Shin Ultraman (2022) diadakan di Pusat Kebudayaan Kota di Sukagawa sebagai penghormatan kepada Tsuburaya dan serialnya Ultraman (1966-1967), yang menjadi dasar film tersebut. Pemutaran tersebut dihadiri oleh sekitar 950 orang, dengan sutradara Shin Ultraman bernama Shinji Higuchi dan bintang film Takumi Saitoh membahas warisan karya Tsuburaya setelah itu.[366]
Banyak aktor telah memainkan Tsuburaya dalam drama dan program televisi. Untuk perannya dalam drama televisi tahun 1989 berjudul The Men Who Made Ultraman , seorang aktor Toho tidak teridentifikasi yang telah membintangi banyak film box office perusahaan sejak sebelum Godzilla (1954) awalnya berperan sebagai Tsuburaya. Namun, aktor tersebut menolak tawaran tersebut, percaya bahwa ia tidak memiliki kemiripan dalam penampilan dengan Tsuburaya sehingga digantikan oleh aktor Kō Nishimura.[367] Pada tahun 1993, pembuat film Seijun Suzuki memerankan Tsuburaya dalam drama televisi I Loved Ultraseven .[368] Untuk The Pair of Ultraman , sebuah film dokumenter televisi tahun 2022 tentang dua penulis skenario di belakang Ultraman, ia diperankan oleh Toshiki Ayada .[369]
Dikarenakan ia menggarap sekitar 250 film selama kariernya dalam lima dekade,[339][341] berikut ini hanyalah produksi pilihan yang signifikan, dan daftar yang lebih lengkap, termasuk sebagian besar media yang menampilkan kontribusinya, tercakup dalam artikel terpisah.
Tahun | Penghargaan | Kategori | Karya yang dinominasikan | Hasil | Ref |
---|---|---|---|---|---|
1940 | Asosiasi Sinematografer Jepang | Penghargaan Teknologi Khusus | The Burning Sky | Menang | [16] |
1942 | Penghargaan Riset Teknis | The War at Sea from Hawaii to Malaya | |||
1954 | Penghargaan Teknis Jepang ke-8 | Keahlian khusus | Godzilla | [209] | |
1957 | Penghargaan Teknis Jepang ke-11 | The Mysterians | |||
1959 | Penghargaan Teknis Jepang ke-13 | The Three Treasures | |||
Hari Film ke-4 | Penghargaan Khusus Jasa | — | [16][139] | ||
1963 | Penghargaan Teknis Jepang ke-17 | Keahlian khusus | The Lost World of Sinbad | [209] | |
1965 | Penghargaan Teknis Jepang ke-19 | Retreat from Kiska | |||
1966 | Penghargaan Teknis Jepang ke-20 | Invasion of Astro-Monster | |||
1970 | — | Medali Kelas 4 dari Orde Khazanah Suci |
— | [314] | |
Asosiasi Sinematografer Jepang | Penghargaan Ketua Kehormatan | ||||
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.