Remove ads
Penyanyi dan penulis lagu asal Indonesia Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
H. Chrismansyah Rahadi lahir dengan nama Christian Rahadi (16 September 1949 – 30 Maret 2007 ) yang lebih dikenal dengan nama panggung Chrisye, merupakan seorang penyanyi dan pencipta lagu asal Indonesia.
Penyuntingan Artikel oleh pengguna baru atau anonim untuk saat ini tidak diizinkan. Lihat kebijakan pelindungan dan log pelindungan untuk informasi selengkapnya. Jika Anda tidak dapat menyunting Artikel ini dan Anda ingin melakukannya, Anda dapat memohon permintaan penyuntingan, diskusikan perubahan yang ingin dilakukan di halaman pembicaraan, memohon untuk melepaskan pelindungan, masuk, atau buatlah sebuah akun. |
Chrisye | |
---|---|
Lahir | Christian Rahadi 16 September 1949 Jakarta, Republik Indonesia Serikat |
Meninggal | 30 Maret 2007 57) Jakarta, Indonesia | (umur
Makam | TPU Jeruk Purut, Jakarta |
Kebangsaan | Indonesia |
Nama lain |
|
Almamater | Universitas Trisakti |
Pekerjaan | |
Tahun aktif | 1966–2007 |
Suami/istri | Damayanti Noor (m. 1982) |
Anak | 4 |
Orang tua |
|
Karier musik | |
Genre |
|
Instrumen | |
Label | |
Artis terkait | |
Tanda tangan | |
Ia dilahirkan di Jakarta dari keluarga Tionghoa-Indonesia, Chrisye menjadi tertarik dengan musik saat masih muda. Waktu masih belajar di SMA, Chrisye bermain gitar bas dalam sebuah band yang ia bentuk bersama kakaknya, Joris. Pada akhir dasawarsa 1960-an dia menjadi anggota band Sabda Nada (yang kemudian hari berganti nama menjadi Gipsy). Pada tahun 1973, setelah mengambil cuti beberapa lama, dia mengikuti band tersebut ke New York untuk main musik. Setelah kembali ke Indonesia untuk waktu singkat, dia kembali ke New York dengan band lain, yaitu The Pro's. Sekembali ke Indonesia, pada tahun 1975 dia bekerja sama dengan Gipsy dan Guruh Soekarnoputra untuk merekam album indie Guruh Gipsy.
Setelah keberhasilan Guruh Gipsy, pada tahun 1977 Chrisye menghasilkan 2 karya terbaiknya, yaitu "Lilin-Lilin Kecil" tulisan James F. Sundah serta album jalur suara Badai Pasti Berlalu. Sukses kedua karya ini membuat Chrisye direkrut oleh Musica Studios, yang dengan perusahaan rekaman itu dia merilis album solo perdananya, Sabda Alam, pada tahun 1978. Selama kariernya yang lebih dari 25 tahun dia menghasilkan 20 album solo lain, serta main dalam 1 film: Seindah Rembulan (1981).
Chrisye meninggal di rumahnya di Jakarta pada hari Jumat tanggal 30 Maret 2007 setelah bertahun-tahun mengidap kanker paru-paru. Dia meninggalkan seorang istri, Gusti Firoza Damayanti Noor, dan empat anak.[1]
Dikenal untuk vokalnya yang halus dan gaya panggung yang kaku, Chrisye dianggap salah satu penyanyi Indonesia legendaris. Lima album yang termasuk karyanya dimuat dalam daftar 150 Album Indonesia Terbaik oleh majalah musik Rolling Stone Indonesia. Lima lagunya (dan satu lagi yang dia mendukung) dimuat dalam daftar lagu terbaik oleh majalah yang sama pada tahun 2009. Beberapa albumnya disertifikasi perak atau lebih tinggi. Dia menerima 2 lifetime achievement award, 1 pada tahun 1993 dari BASF Awards dan 1 lagi pada tahun 2007 dari stasiun televisi SCTV. Pada tahun 2011, Rolling Stone Indonesia mencatat Chrisye sebagai musisi Indonesia terbaik nomor 3 sepanjang masa.
Chrisye dilahirkan dengan nama Christian Rahadi di Jakarta pada hari Jumat tanggal 16 September 1949 di keluarga Laurens Rahadi (Lauw Tek Kang), seorang wirausaha keturunan Betawi-Tionghoa, dan Hanna Rahadi (Khoe Hian Eng), seorang ibu rumah tangga keturunan Sunda-Tionghoa.[2] Dia anak ke-2 dari 3 anak laki-laki yang dipunyai pasangan tersebut;[1][3] saudaranya bernama Joris dan Vicky. Setelah masa kecilnya dihabiskan di Jalan Talang, dekat Menteng, Jakarta Pusat, pada tahun 1954 keluarga itu berpindah ke Jalan Pegangsaan (di Menteng).[2]
Saat sekolah di SD GIKI, Chrisye berteman dengan anak-anak keluarga Nasution, yang menjadi tetangganya. Ia paling akrab dengan Bamid Gauri yang sering bermain bersama bulu tangkis dan layang-layang.[4] Pada waktu itu dia juga mulai mendengarkan piringan hitam milik ayahnya; dia bernyanyi mengiringi lagu-lagu Bing Crosby, Frank Sinatra, Nat King Cole, dan Dean Martin.[2][5] Setelah lulus SD, Chrisye bersekolah di SMPK III Diponegoro.[4]
Saat Chrisye duduk di bangku SMA PSKD Menteng, Beatlemania tiba di Indonesia. Ini membuat Chrisye lebih tertarik dengan dunia musik.[6] Menganggapi keinginan Chrisye untuk bermain musik, ayahnya membeli sebuah gitar. Chrisye memilih gitar bas, sebab dia beranggapan bahwa gitar tersebutlah yang paling mudah dipelajari. Chrisye dan Joris belajar bermain musik dengan mengikuti lagu-lagu di radio dan piringan hitam ayah mereka. Akibatnya, mereka tidak dapat membaca nota musik.[7][8] Mereka lama-kelamaan mulai main musik di acara sekolah, dengan Chrisye sebagai vokalisnya.[7] Waktu di SMA, Chrisye diam-diam mulai merokok. Suatu saat, dia ditangkap kepala sekolah dan disuruh merokok 8 batang secara bersamaan di depan siswa-siswi lain. Di kemudian hari, Chrisye adalah perokok berat.[7]
Pada pertengahan dasawarsa 1960-an, keluarga Nasution membentuk sebuah band; Chrisye dan Joris menonton mereka bermain musik oleh Uriah Heep dan Blood, Sweat & Tears.[9] Pada tahun 1968 Chrisye mendaftar di Universitas Kristen Indonesia (UKI) untuk menjadi insinyur seperti yang dihendaki ayahnya. Akan tetapi, Gauri mengundangnya untuk menjadi anggota band Nasution, Sabda Nada, untuk menggantikan pemain bas mereka yang sedang sakit, Eddi Odek.[8][10] Karena puas dengan kemampuannya, Nasution bersaudara meminta Chrisye menjadi anggota tetap. Sabda Nada bermain secara teratur di Mini Disko di Jalan Juanda serta untuk pesta ulang tahun dan pernikahan.[10] Ketika Chrisye diberi kesempatan untuk bernyanyi saat mereka menyanyikan lagu versi daur ulang, dia berusaha untuk menggunakan suara yang mirip penyanyi aslinya.[11]
Pada tahun 1969 Sabda Nada mengganti nama mereka menjadi Gipsy supaya terdengar lebih macho dan seperti band Barat.[1][8] Jadwal untuk band itu, yang tidak mempunyai manajer, sangat padat karena bermain secara teratur di Taman Ismail Marzuki.[1][12] Akibatnya, Chrisye mengundurkan diri dari UKI; pada tahun 1970 dia masuk ke Akademi Pariwisata Trisakti karena mengganggap jadwalnya lebih fleksibel.[12]
Dua tahun kemudian, Chrisye ditawarkan kesempatan untuk main di New York. Biarpun dia senang sekali, Chrisye takut untuk menceritakan hal tersebut kepada ayahnya, yang dia merasa tidak akan menyetujui. Akhirnya dia jatuh sakit selama beberapa bulan, sementara Sabda Nada pergi ke New York.[13] Setelah Chrisye membahas kekhawatirannya dengan ibunya dan Joris, ayahnya pun menyetujui agar dia bisa mengundurkan diri dari kuliah dan pergi ke New York. Setelah kesehatannya sudah membaik, pada tengah tahun 1973 dia pergi bersama Pontjo untuk bertemu dengan Gipsy di Amerika Serikat;[14] pada tahun yang sama dia mengundurkan diri dari Trisakti.[8]
Selama di New York, Gipsy memanggung di Ramayana Restaurant,[1] yang milik perusahaan minyak Pertamina. Band itu, yang ditempatkan di suatu apartmen di Fifth Avenue, berada di New York untuk hampir satu tahun. Mereka menyanyikan lagu-lagu Indonesia serta versi daur ulang dari lagu Procol Harum, King Crimson, Emerson, Lake & Palmer, Genesis dan Blood, Sweat & Tears. Biarpun Chrisye merasa frustrasi karena tidak dapat mengekspresikan diri dengan musik orisinal, dia tetap bekerja.[15]
Setelah kembali ke Indonesia pada akhir tahun 1973, Gauri memperkenalkan Chrisye dengan penulis lagu Guruh Soekarnoputra, anak dari mantan presiden Soekarno. Sementara Nasution bersaudara bekerja sama dengan Guruh untuk menyiapkan proyek mereka, Chrisye mulai menciptakan lagu sendiri; karena menciptakan lagu sendiri dia bisa menyadari bahwa dia kesulitan dengan lirik yang mengandung konsonan keras, dan bisa menghindari bunyi tersebut.[16] Tahun berikutnya dia kembali ke New York dengan band lain, The Pro's. Pada pertengahan tahun 1975, dengan beberapa minggu tersisa di kontrak kerjanya, orang tuanya menelepon Chrisye dari Jakarta dan memberi tahu kalau saudaranya Vicky meninggal akibat infeksi lambung. Karena tidak dapat kembali langsung ke Jakarta, pikirannya jadi kacau. Saat kembali ke Indonesia, Chrisye tak berhenti-henti menangis dalam pesawat dan menjadi depresi.[17]
Setelah beberapa waktu tidak bermain musik, Chrisye dihubungi oleh Nasution bersaudara dan diundang untuk bergabung dengan Gipsy dan Guruh untuk sebuah proyek baru; Guruh juga menawarkan beberapa lagu untuk Chrisye menjadi vokalis utama, dengan lirik ditulis khususnya untuk dia. Setelah mengatasi rasa depresinya, Chrisye mengikuti latihan di rumah Guruh di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Mereka main sampai larut malam dan mencampurkan rock ala Barat dengan gamelan Bali.[1][18] Perekaman terjadi pada pertengahan tahun 1975, dengan hanya empat lagu terselesaikan dalam beberapa bulan pertama. Pada tahun 1977 album Guruh Gipsy diluncurkan dan diterima baik oleh para kritikus; ada sebanyak 5.000 keping yang diproduksi.[1][19] Berhasilnya Guruh Gipsy meyakinkan Chrisye bahwa dia dapat menjadi penyanyi tunggal.[20]
Pada akhir tahun 1976 Chrisye dihampiri oleh Yockie Suryoprayogo, seorang pencipta lagu, dan Imran Amir, pemimpin Radio Prambors; mereka meminta agar Chrisye menjadi vokalis untuk Lomba Cipta Lagu Remaja Prambors. Namun, Chrisye menolak. Beberapa hari kemudian Sys NS, yang pada saat itu bekerja di Prambors, mendekati Chrisye waktu penyanyi itu sedang berbincang dengan Guruh dan Eros Djarot. Sys menekankan bahwa Chrisye diperlukan untuk lagu "Lilin-Lilin Kecil" karya James F. Sundah. Setelah dia mendengar lirik lagu tersebut, Chrisye setuju.[21] Lagu ini direkam di studio Irama Mas di Pluit, Jakarta Utara[22] dan dimuat dalam sebuah album dengan pemenang lomba lain; awalnya, "Lilin-Lilin Kecil" dimuat di urutan ke-9, tetapi akhirnya dipindahkan ke urutan pertama supaya lebih laris. Setelah itu, lagu ini menjadi terkenal;[21][23] album LCLR 1977 menjadi album paling laris tahun itu.[24]
Setelah sukses "Lilin-Lilin Kecil", di pertengahan tahun 1977 Pramaqua Records mendekati Chrisye dan menawarkan sebuah album, yaitu Jurang Pemisah. Bekerja sama dengan Yockie, Ian Antono, dan Teddy Sujaya, Chrisye merekam tujuh lagu untuk album tersebut; Yockie merekam dua lagu lain.[25] Biarpun Chrisye senang dengan hasilnya dan mempunyai harapan tinggi untuk Jurang Pemisah, Pramaqua memutuskan bahwa itu tidak bisa laris dan tidak hendak mempromosikannya sehingga album Chrisye berikutnya, Badai Pasti Berlalu, menjadi besar. Setelah itu, Chrisye berusaha untuk membeli semua stok album Jurang Pemisah dan menghentikan rilisnya, namun tidak berhasil. Album ini tidak laris di pasaran sebab banyak orang beranggapan kalau ini album lanjutan dari Badai Pasti Berlalu.[26] Walaupun rekaman ini sampai pada stasiun radio di seluruh Indonesia, menurut Chrisye penjualannya "hangat-hangat tahi ayam".[25][26]
Pada tahun yang sama, Chrisye dan beberapa artis, termasuk Eros dan Yockie, merekam musik untuk film Badai Pasti Berlalu dalam waktu dua bulan.[27] Setelah musik film tersebut mendapatkan Piala Citra pada Festival Film Indonesia 1978, Irama Mas mendekati mereka untuk membuat album jalur suara untuk biaya tetap.[27] Dengan Chrisye dan Berlian Hutauruk sebagai vokalis, sebuah album jalur suara direkam di Pluit dalam kurung waktu 21 hari.[27][28] Album yang dihasilkan dirilis dengan judul yang sama dengan film, dengan gambar bintang film Christine Hakim di sampul.[28] Album ini memuat lagu ciptaan Chrisye yang pertama, "Merepih Alam".[23] Hasil penjualan di awal kurang lancar, tetapi setelah singel-singelnya mulai diputar album Badai Pasti Berlalu menjadi laris.[29]
Suara Chrisye yang tenor serta kerjanya di Badai Pasti Berlalu memicu Amin Widjaja dari Musica Studios untuk memintanya menjadi artis Musica; Amin sebenarnya sudah lama mengamati Chrisye, sejak dirilisnya Guruh Gipsy. Chrisye setuju, asalkan dia diberikan kebebasan artistik; Amin terpaksa menyetujui syarat tersebut.[29] Chrisye langsung mengerjakan album perdananya dengan Musica pada bulan Mei 1978, yaitu Sabda Alam (Nature's Order). Dia memilih beberapa lagu karya artis lain dan menulis beberapa lain sendiri, termasuk lagu "Sabda Alam".[26][30] Dia merekam album itu setelah menguncikan diri dalam studio dengan sound engineer dan penata musik; biarpun Amin hendak melihat kemajuan mereka, Chrisye tidak mengizinkannya masuk.[30] Album yang dihasilkan, yang diilhami oleh Badai Pasti Berlalu dan menggunakan teknik double-recording yang dipelopori The Beatles, dirilis pada bulan Agustus.[30][31] Setelah beberapa lama promosi dengan TVRI dan stasiun radio, album ini laris; akhirnya lebih dari 400,000 keping terjual.[32][33]
Tahun berikutnya, Chrisye merekam Percik Pesona bersama Yockie. Album ini, yang dibuat setelah kematian Amin, termasuk beberapa lagu yang ditulis oleh sahabat Chrisye, Junaidi Salat, serta Yockie dan Guruh. Judul album ini dipilih bersama. Album ini dirilis pada bulan Agustus 1979, gagal dalam mata kritikus dan pasar.[31][34] Chrisye, setelah diskusi dengan beberapa artis, beranggapan bahwa gagalnya album ini disebabkan miripnya dengan Badai Pasti Berlalu. Akibatnya, setelah beberapa waktu berkontemplasi, dia mulai mencari jenis musik baru.[34] Pada tahun yang sama, dia menjadi anggota juri LCLR Prambors, yang diadakan pada tanggal 5 Mei.[35]
Setelah memutuskan bahwa lagu pop yang romantis, dengan pengaruh easy listening, yang paling cocok untuk dirinya, Chrisye mulai merintis album berikutnya, Puspa Indah. Semua lagu kecuali satu ditulis oleh Guruh Sukarnoputra; album ini juga memuat lagu berbahasa Inggris "To My Friends on Legian Beach". Dua lagu dari album ini, "Galih dan Ratna" dan "Gita Cinta", digunakan dalam film tahun 1979 Gita Cinta dari SMA, beserta sekuelnya Puspa Indah Taman Hati. Dalam film Puspa Indah Taman Hati, Chrisye mendapatkan kameo sebagai penyanyi. Dengan popularitas film tersebut, album Puspa Indah pun menjadi laris; lagu "Galih dan Ratna" dan "Gita Cinta", yang dijadikan singel, juga diterima dengan hangat.[36]
Pada tahun 1981 Chrisye mendapatkan peran dalam film Indonesia Seindah Rembulan.[1] Biarun awalnya enggan, dia dibujuk Sys NS sehingga akhirnya setuju. Namun, di kemudian hari dia menyesalkan keputusan ini karena beranggapan bahwa produksinya kurang profesional dan sering bertantangan dengan sutradara Syamsul Fuad. Pada tahun yang sama dia menghasilkan Pantulan Cinta, sebuah kolaborasi dengan Yockie. Setelah album ini gagal di pasaran, Chrisye memutuskan untuk mengambil cuti panjang.[37]
Biarpun disuka para groupie, Chrisye sampai awal tahun 1980-an jarang berpacaran.[38] Akan tetapi pada awal tahun 1981, dia mulai mendekati sekretaris Guruh Soekarnoputra, yaitu Gusti Firoza Damayanti Noor (Yanti).[39][40] Yanti, yang mempunyai keturunan Banjar dan Minang, juga seorang penyanyi dan berasal dari keluarga musisi; dia sering membahas musik dengan Chrisye saat Chrisye menunggu Guruh, dan mereka juga bertemu saat Chrisye mengunjungi kakaknya, Raidy, yang merupakan salah satu temannya.[8][41] Saat Yanti pindah ke Bali untuk bekerja di hotel bintang lima selama beberapa minggu, Chrisye mengikutinya dan menyatakan bahwa dia siap menikahinya ketika Yanti kembali ke Jakarta; biarpun itu bukan lamaran resmi, Yanti menerima.[39] Pada tahun 1982 Chrisye masuk Islam, sebab Islam tidak mengizinkan pernikahan antara wanita Muslim dengan pria non-Muslim; Pada hari Minggu tanggal 12 Desember 1982, Chrisye dan Yanti menikah di suatu acara bergaya adat Padang.[42]
Terdorong oleh keadaan finansialnya yang kurang baik, awal tahun 1983 Chrisye mulai menggarap album baru bersama Eros dan Yockie.[40][43] Aciu Widjaja, yang menjadi pemimpin Musica yang baru, mengusulkan bahwa mereka memerlukan gaya musik yang baru; dengan demikian,Chrisye, Djarot, dan Yockie mencampurkan art rock dengan pop romantis, serta menarik ilham dari The Police. Album yang dihasilkan, Resesi, dirilis pada tahun 1983. Album ini laris di pasar, dengan 350.000 keping terjual dan akhirnya disertifikasi perak; singelnya sendiri, "Lenny", "Hening", dan "Malam Pertama", banyak diputar di radio.[43]
Setelah Resesi, Chrisye bekerja sama dengan Eros dan Yockie pada album Metropolitan tahun 1983. Album tersebut, yang dipengaruhi aliran new wave dan banyak membahas isu yang dihadapi para pemuda dan pemudi, diterima dengan baik oleh pasar sehingga diberi sertifikasi perak; singel "Selamat Jalan Kekasih" menjadi paling dominen. Pada tahun yang sama, Chrisye dan Yanti mendapatkan anak pertama mereka, Rizkia Nurannissa Chrismansyah. Pada tahun berikutnya, Chrisye, Eros, dan Yockie bekerja sama lagi pada album Nona, yang memuat berbagai kritik sosial; album tersebut menghasilkan empat singel dan disertifikasi platinum. Biarpun Nona diterima baik oleh pasar, Chrisye mengambil keputusan untuk mencari suara baru dan memutuskan hubungan kerja dengan Eros dan Yockie di pertengahan tahun 1984.[22][44]
Tak lama kemudian, Chrisye mendekati Addie MS, seorang musisi muda, dan minta bantuannya untuk album berikutnya. Addie, biarpun merasa bahwa dia kurang bergengsi dibanding Eros dan Yockie, setuju; Addie lalu menyarankan agar mereka menggunakan melodi yang mirip dengan "Lilin-Lilin Kecil" dan Badai Pasti Berlalu. Album yang dihasilkan, Sendiri, memuat lagu yang ditulis oleh Guruh dan Junaidi Salat serta alat musik seperti harpa, obo, English horn, dan beberapa alat musik dawai. Album ini, yang melahirkan tiga singel,[45] laris dan mendapatkan penghargaan BASF Award untuk Chrisye.[46]
Pada akhir tahun 1984 Chrisye mendekati pencipta lagu muda lain, Adjie Soetama, yang dia mengajak bekerja sama untuk menyiapkan album berikutnya. Sebab beat ringan dan melodi ceria sedang populer, mereka menggunakan gaya yang ringan. Perekaman album baru ini, Aku Cinta Dia, mulai pada tahun 1985; selain Adjie, ada sumbangan lagu dari Guruh dan Dadang S. Manaf.[47] Lagu "Aku Cinta Dia" dipilih sebagai judul album setelah Aciu mendengar mereka bermain bersama dan memutuskan bahwa lagu itu layak dijagokan.[48] Oleh karena album ini memerlukan emosi yang lebih banyak, Chrisye – yang terkenal kaku – kesulitan dengan proses promosi, biarpun istrinya menyiapkan kostum warna-warni dan Alex Hasyim menjadi koreografer.[49] Setelah dirilis pada tahun 1986, Aku Cinta Dia terjualan ratusan ribu keping pada minggu pertama dan akhirnya diberi sertifikasi emas. Di tahun yang sama, Chrisye dan Adjie menghasilkan Hip Hip Hura, dan suatu kolaborasi lain, Nona Lisa, yang dirilis pada tahun 1987; kedua album tersebut mempunyai beat dan irama yang mirip Aku Cinta Dia dan terjual laris, biarpun tidak selari kolaborasi pertama.[50] Pada 2 Maret 1986 Chrisye dan Yanti mempunyai anak perempuan, Risty Nurraisa.[51]
Biarpun tiga album itu laris di pasar, Chrisye dan keluarganya masih dalam keadaan finansial yang sulit, sehingga dua kali mereka harus menjual mobil mereka. Ini membuat Chrisye mempertimbangkan berhenti dari dunia musik, biarpun akhirnya memutuskan untuk lanjut.[52] Pada tahun 1988 merekam Jumpa Pertama, dan pada tahun berikutnya dia merilis Pergilah Kasih. Di kemudian hari dia mengenang bahwa kedua album itu mempunyai "sentuhan rasa yang indah."[53] Lagu yang digunakan untuk judul, "Pergilah Kasih", ditulis oleh Tito Sumarsono dan digunakan untuk video klip Chrisye pertama;[53] video klip perdana ini menjadi klip Indonesia pertama yang ditayangkan di MTV Asia Tenggara.[54]
Pada tanggal 27 Februari 1989, Chrisye dan Yanti mendapatkan anak kembar, Randa Pramasha Chrismansyah dan Rayinda Prashatya Chrismansyah. Pada tahun 1992 Chrisye merekam versi daur ulang dari lagu Koes Plus bertajuk "Cintamu T'lah Berlalu", dengan penataan musik oleh Younky; video klip untuk lagu tersebut juga disiarkan di MTV Asia Tenggara dan menjadi video klip Indonesia pertama untuk masuk MTV Amerika.[8][11][55][56] Pada tahun berikutnya, Chrisye bekerja sama dengan Younky lagi untuk merekam Sendiri Lagi, sebuah proyek yang makan empat bulan untuk perancangan dan empat bulan untuk perekaman;[54][56] video klip ini pun beredar di MTV Asia Tenggara.[11]
Biarpun Sendiri Lagi cukup laris, pada awal dasawarsa 1990-an Chrisye mulai merasa tekanan dari industri musik yang semakin mengutamakan penampilan dan meningkatnya jumlah artis muda.[54] Dia mulai mempertimbangkan meninggalkan dunia musik, sebab "merasa sudah sampai garis finish".[57] Biarpun Yanti menyatakan bahwa banyak musisi tetap laku sampai umur 60-an, Chrisye memperhatikan bahwa para artis senior sudah mulai dikesampingkan oleh pendatang baru.[57] Dalam keadaan depresi ini, Chrisye didekati oleh Jay Subiyakto dan Gauri Nasution, yang menawarkannya sebuah konser tunggal di Plenary Hall Jakarta Convention Center, yang pada saat itu belum pernah mengadakan konser tunggal untuk artis Indonesia. Karena tidak yakin bahwa penggemarnya cukup banyak untuk mengisi hal tersebut, Chrisye mula-mula menolak.[57]
Setelah Chrisye diperkenalkan dengan Erwin Gutawa, yang diangkat untuk mempersiapkan konser, dan beberapa minggu ditekankan oleh Gauri,[58] akhirnya Jay Subiyakto berhasil membujuk Chrisye dengan mengatakan bahwa itu mungkin kesempatan terakhir untuk menyelamatkan kariernya. Karena kekurangan uang, mereka mendekati RCTI untuk meminta sponsor. Akan tetapi, mereka ditolak dan bahkan diejek dengan saran agar mengadakan konser di Monumen Nasional. Karena tidak bersedia menelantarkan rencana mereka itu, Chrisye, Subiyakto, dan Gutawa mengumpulkan sekelompok artis dan mulai pelatihan. Menjelang hari ulang tahun RCTI yang ke-5, mereka rela menyetujui konser tersebut sebagai bagian dari perayaan mereka. Ribuan tiket yang tersedia terjual habis dalam 1 minggu.[59]
Konser Sendiri diadakan pada tanggal 19 Agustus 1994. Chrisye membawakan sejumlah lagu hits serta menyanyikan beberapa duet, termasuk "Malam Pertama" dengan Ruth Sahanaya, di depan orkes penuh yang dipimpin oleh Gutawa.[60] Di kemudian hari, Chrisye mengenang bahwa konser itu, yang diberi julukan Sendiri untuk menunjukkan bahwa konser "100% Indonesia" bisa berhasil, diadakan, para penonton – baik anak-anak maupun dewasa – sudah hafal lirik lagunya, baik yang lama maupun yang baru; menurut Chrisye, hal tersebut membuat dia berasa sangat kecil.[61] Penuh semangat akibat sukses konser itu,[62] Chrisye mengadakan konser lain di Kota Surabaya, Kota Surakarta, dan Kota Bandung, dengan menggunakan konvoi yang terdiri dari 24 truk dan bis untuk transportasi dan mengangkut alat-alat yang dibutuhkan. Tiket konser ini pun terjual habis.[63]
Setelah sukses tur Sendiri, Chrisye mulai mempertimbangkan membuat sebuah album yang termasuk lagunya yang paling populer, dengan pemasteran ulang oleh Gutawa memaster. Gutawa setuju untuk membuat sebuah album akustik, dengan syarat bahwa usulan Chrisye, dengan syarat bahwa mereka harus menggunakan sebuah orkes dari Australia. Aciu pun menyetujui hal tersebut, biarpun biayanya diperkirakan mencapai Rp600 juta. Setelah perekaman dasar di Jakarta, Chrisye, Gutawa, dan sound engineer Dany Lisapali menghabiskan waktu dua minggu di Studio 301 di Sydney untuk menyelesaikan album itu. Philip Hartl Chamber Orchestra memainkan musik yang diperlukan; mixing dan mastering juga dilakukan di Sydney.[33][64] AkustiChrisye dirilis pada tahun 1996 dan cukup berhasil di pasaran.[65]
Setelah AkustiChrisye, Gutawa menyarankan agar Chrisye mencoba gaya yang baru, dengan lagu yang lebih berat. Mereka lalu mulai bekerja sama untuk merekam Kala Cinta Menggoda, yang juga menggunakan orkes Australia. Akan tetapi, Chrisye ternyata kesulitan merekam salah satu lagunya, "Ketika Tangan dan Kaki Berkata", yang diberi lirik yang berdasarkan ayat 65 Surah Ya Sin oleh penyair Taufiq Ismail; setiap kali hendak menyanyikan lagu itu, Chrisye mendadak menangis. Akhirnya, satu hari sebelum berangkat ke Australia, dia dapat menyelesaikan lagu tersebut dengan dukungan Yanti.[66] Pada tanggal 11 Oktober, Chrisye menyanyikan lagu "Indonesia Perkasa" pada acara pembukaan Pesta Olahraga Asia Tenggara 1997 di Jakarta; lagu tersebut ditulis khusus untuk acara itu.[67] Bulan berikutnya, Chrisye meluncurkan Kala Cinta Menggoda.[68] Video klip untuk lagu "Kala Cinta Menggoda", yang disutradarai Dimas Djayadiningrat, memenangkan MTV Video Music Award for South-East Asia pada tanggal 10 September 1998; Chrisye pergi ke Los Angeles untuk menerima penghargaan tersebut di Universal Amphitheatre.[8]
Pada tahun 1999, Chrisye mulai mendaur ulang album Badai Pasti Berlalu atas permintaan Musica, biarpun dia merasa bahwa album asli sudah cukup; untuk album ini pula dia bergabung dengan Gutawa.[69] Album baru itu, yang tetap diberi judul Badai Pasti Berlalu, memakan biaya sebanyak Rp800 juta untuk produksi dan promosi; biaya besar tersebut sebagian disebabkan perlunya mencari orkes Australia lain, Victorian Philharmonic Orchestra.[70][71] Setelah diluncurkan, album ini pun laris, dengan menjual 350.000 keping dalam beberapa bulan.[71][72] Sebagai promosi untuk album ini, Chrisye mengadakan satu lagi konser di Plenary Hall di Jakarta Convention Centre, yang diberi nama konser Badai; setelah ini, Chrisye mendapatkan banyak tawaran untuk memanggung di berbagai tempat di seluruh Indonesia.[73] Menurut sebuah wawancara dengan Kompas, pada saat ini Chrisye mulai merasa telah menemukan jalan buntu, sebab dia sudah mencicipi semua jenis musik yang ada.[74] Namun, dia tetap lanjut dengan kegiatan bernyanyi, termasuk menyanyikan lagu "Indonesia Perkasa" pada acara pembukaan Pekan Olahraga Nasional 2000 pada tanggal 19 Juni 2000 di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.[67]
Pada tahun 2001 Chrisye merilis album Konser Tur 2001, yang berisi dua lagu baru dan beberapa yang lama. Video klip untuk salah satu lagu, "Setia", menjadi kontroversial karena adanya adegan dengan wanita berpakaian ketat.[75] Tak lama kemudian, Chrisye memutuskan untuk mendaur ulang lagu-lagu yang dianggap paling penting sejak kemerdekaan Indonesia, dari dasawarsa 1940-an yang diwakili "Kr. Pasar Gambir & Stambul Anak Jampang" karya Ismail Marzuki hingga akhir dasawarsa 1990-an yang diwakili lagu "Kangen" karya Ahmad Dhani; album ini juga termasuk satu lagu yang ditulis khusus untuk album ini oleh Pongky dari Jikustik[73] serta dua duet dengan Sophia Latjuba. Album yang dihasilkan, Dekade, dirilis pada tahun 2002; hingga Oktober 2003 lebih dari 350.000 terjual.[76] Pada 15 Desember 2002, Chrisye pikut serta dalam konser Bali for the World – Voices of Stars di Kartika Beach Plaza untuk mengumpulkan uang untuk membantu korban Bom Bali 2002; artis lain termasuk Melly Goeslaw, Gigi, Slank, dan Superman Is Dead.[77] Pada 12 Juli 2004, Chrisye mengadakan konser ketiga, dengan judul Dekade, di Plenary Hall. Konser ini, yang termasuk lagu-lagu dari album Dekade, termasuk duet dengan Sophia Latjuba dan beberapa penyanyi asli, seperti Fariz RM dengan "Sakura" dan A. Rafiq dengan "Pengalaman Pertama"; orkes Gutawa sekali lagi mengiringi konser.[78]
Chrisye lalu mulai mengerjakan studio album terakhirnya, Senyawa. Bekerja sama dengan berbagai artis Indonesia lain, termasuk Project Pop, Ungu, dan Peterpan, dia juga menjadi produser album ini, menggantikan Gutawa. Lagu "Bur-Kat", bersama Project Pop, merupakan usaha pertamanya untuk bernyanyi rap.[79] Album ini, yang diluncurkan pada bulan November 2004, disambut dengan baik oleh pasar.[80][81] Namun, Sony Music Entertainment Indonesia menolak bahwa ada nama artis mereka di sampul. Oleh karena itu, Senyawa ditarik kembali, lalu dirilis ulang tanpa nama-nama itu.[82]
Pada bulan Juli 2005, Chrisye dibawa ke Rumah Sakit Pondok Indah karena sesak napas. Setelah 13 hari dirawat, dia dipindahkan ke Rumah Sakit Mount Elizabeth di Singapura dan di sana dia dinyatakan mengidap kanker paru-paru.[83] Biarpun khawatir bahwa dia akan kehilangan rambut panjangnya yang dia anggap sebagai bagian dari citranya,[84] Chrisye tetap menjalani kemoterapi sebanyak 6 kali, dengan perawatan pertama pada tanggal 2 Agustus 2005.[83]
Kesehatan Chrisye membaik pada tahun 2006[85] dan dia merasa cukup kuat untuk mengikuti wawancara panjang dengan Alberthiene Endah pada bulan Mei dan November 2006 saat Alberthiene menulis biografinya, Chrisye: Sebuah Memoar Musikal.[86] Dia juga menghasilkan dua album kompilasi, Chrisye by Request dan Chrisye Duets namun dia merasa kurang sehat untuk menghasilkan lagu baru.[87] Pada awal Februari 2007 kondisi fisiknya kembali memburuk.[85]
Pada 30 Maret 2007, Chrisye meninggal pada pukul 4.08 WIB di rumahnya di Cipete, Kota Administrasi Jakarta Selatan. Dia dikebumikan di TPU Jeruk Purut hari itu juga.[88] Ratusan orang menghadiri pemakamannya itu, termasuk Erwin Gutawa, Titiek Puspa, Ahmad Albar, Sophia Latjuba, dan Ikang Fawzi.[89] Pemakaman ini dinodai aksi beberapa pencopet, salah satunya ditangkap tapi lalu dibebaskan.[90]
Seratus hari setelah meninggalnya Chrisye, Musica mengeluarkan dua album kompilasi. Album ini, dengan judul Chrisye in Memoriam – Greatest Hits dan Chrisye in Memoriam – Everlasting Hits, termasuk empat belas lagu per keping dari sepanjang kariernya bersama Musica.[91] Pada tanggal 1 Agustus 2008, singel Chrisye terakhir, "Lirih", yang ditulis oleh Aryono Huboyo Djati, diluncurkan. Lagu tersebut mula-mula dirahasiakan, dan tanggal perekamannya tidak diketahui.[92] Menurut Djati, lagu itu direkam sebagai hiburan. Sebuah video klip yang disutradarai Vicky Sianipar dan termasuk[perinci lagi] Ariel Peterpan, Giring Ganesha dari Nidji, dan istri Chrisye, Yanti, lalu dirilis.[93]
Menurut Yockie, salah satu alasan mengapa Chrisye terpilih untuk merekam "Lilin-Lilin Kecil" ialah karena suaranya yang khas, dengan timbre yang lembut, yang cocok dengan keyboard yang digunakan di lagu tersebut; namun, Yockie merasa bahwa suara Chrisye kehilangan dinamikanya apabila dicampur dengan musik yang lembut, sehingga dia memasukkan nada rock ke album Jurang Pemisah.[22] Erwin Gutawa membandingkan suara Chrisye dengan sehelai kertas kosong, yang dapat diterapkan untuk apa saja.[22]
Seorang penulis untuk majalah Gatra menyebut gaya manggung Chrisye "kaku", dengan gerakan yang sangat sedikit.[94] Chrisye memilih kostumnya sendiri dan terkadang-kadang mencoba desain dan warna baru. Dalam musik video dia lebih suka menggunakan satu jenis baju saja; dia sampai menyatakan kepada Kompas bahwa dia hanya hendak ganti baju kalau jatuh ke selokan.[8]
Chrisye sudah disebut penyanyi "legendaris" oleh beberapa jurnalis.[95][96] Pada tahun 2007, majalah Rolling Stone Indonesia memilih Badai Pasti Berlalu sebagai album Indonesia terbaik sepanjang masa. Tiga album solo Chrisye juga masuk ke daftar tersebut: Sabda Alam di urutan 51, Puspa Indah di urutan 57, dan Resesi di urutan 82. Guruh Gipsy masuk di urutan kedua.[97] Ini kemudian diikuti oleh pemilihan lima lagunya ("Lilin-Lilin Kecil" di urutan 13, "Kidung" di urutan 26, "Merpati Putih" di urutan 43, "Anak Jalanan" di urutan 72, dan "Merepih Alam" di urutan 90) sebagai beberapa lagu Indonesia terbaik sepanjang masa; lagu Guruh Gipsy "Indonesia Maharddhika" masuk di urutan 59.[23] Pada tahun 2011 mereka menyebut Chrisye sebagai penyanyi Indonesia terbaik ketiga. Eros Djarot menyebut bahwa Chrisye mempunyai suara yang luar biasa, tetapi sering malu-malu dan malas membahas isu sosial.[98]
Menurut data dari Asosiasi Industri Rekaman Indonesia, Badai Pasti Berlalu tahun 1977 adlah album Indonesia paling laris urutan kedua, dengan sembilan juta keping terjual antara tahun 1977 dan 1993.[72] Pada tahun 1990 video musik untuk "Pergilah Kasih" menjadi klip Indonesia pertama yang diputar di MTV Hong Kong; klip untuk "Sendiri Lagi" terpilih sebagai klip Indonesia terbaik sepanjang masa pada acara Video Musik Indonesia.[1]
Pada tahun banyak artis Indonesia, termasuk Vina Panduwinata, Ahmad Albar, D'Cinnamons, dan Sherina Munaf, membawa 20 lagu Chrisye dalam konser "Chrisye: A Night to Remember" di hotel Ritz Carlton, Jakarta.[99] Konser tersebut juga termasuk testimoni dari anak dan istrinya.[99] Tiket untuk konser tribut tersebut terjual habis.[100]
Alberthiene Endah sudah menulis dua biografi Chrisye. Yang pertama, Chrisye: Sebuah Memoar Musikal, diterbitkan pada tahun 2007 dan membahas masa kecil, karier, dan perjuangan melawan kankernya. Yang kedua, The Last Words of Chrisye, dirilis pada tahun 2010 dan membahas masa silam Chrisye.[95]
Chrisye menerima banyak penghargaan selama kariernya. Pada tahun 1979 dia terpilih sebagai Penyanyi Pria I Kesayangan Angket Siaran ABRI.[11] Album Sabda Alam dan Aku Cinta Dia diberi sertifikasi emas, dan Hip Hip Hura, Resesi, Metropolitan, dan Sendiri disertifikasi perak.[1]
Chrisye menerima tiga BASF Awards, yang diadakan pembuat kaset BASF sampai pertengahan tahun 1990-an, untuk album paling laris; yang pertama diterima pada tahun 1985 untuk Sendiri, lalu yang kedua pada tahun 1988 untuk Jumpa Pertama dan yang terakhir pada tahun 1989 untuk Pergilah Kasih.[55] Dia juga menerima BASF Lifetime Achievement Award pada tahun 1994 untuk sumbangannya ke dunia musik Indonesia; pada tahun yang sama dia menerima penghargaan sebagai Penyanyi Rekaman Terbaik.[101] Pada tahun 1997 dia menerima penghargaan Anugerah Musik Indonesia (AMI) untuk Penyanyi Pop Pria Terbaik.[74] Tahun berikutnya, album Kala Cinta Menggoda menang sembilan AMI, termasuk Album Termaik; Chrisye sendiri menerima penghargaan sebagai Penyanyi Pop Pria Terbaik, Penyanyi Rekaman Terbaik, dan Perancang Grafis Terbaik (bersama dengan Gauri).[102] Pada tahun 2007, setelah dia sudah meninggal, dia menerima penghargaan SCTV Lifetime Achievement Award pertama, yang diterima oleh putrinya Risty.[103]
Aciu Widjaja, yang sekarang menjadi President-Director Air Asia Indonesia, menyatakan bahwa Chrisye adalah sosok yang sederhana; dia menjelaskan bahwa, pada suatu saat dia, Chrisye, dan beberapa orang lain pergi ke luar negeri, hanyalah Chrisye yang tidak mau belanja pakaian mewah atau mencari restoran kelas dunia; dia justru makan di food court dan beli baju yang nyaman.[104] Dalam biografinya, Chrisye mencatat bahwa dia sering makan di warung tenda sampai setelah menikah dan sering bingung ketika orang meremehkan hal tersebut.[105] Guruh mengenang bahwa Chrisye dapat tidur di mana saja saat mereka merancang album, bahkan di bawah piano.[104]
Setelah dia menikah dengan Yanti, istrinya itu berhenti karier bernyanyi supaya bisa menjadi ibu rumah tangga. Setelah pasangan itu beranak, kadang-kadang Chrisye tidak dapat menghabiskan waktunya bersama mereka karena terlalu sibuk memanggung atau merekam album; namun, dia berusaha untuk mencuri waktu, bahkan menjemput anak-anak dari sekolah. Pada sebuah wawancara pada tahun 1992, Chrisye menyatakan bahwa anak-anaknya tidak ingin menjadi artis seperti orang tua mereka sebab mereka sudah merasakan tekanan karier itu.[8]
Selama kariernya, Chrisye merilis 33 album. Ini termasuk satu dengan Gipsy, 21 album studio, 2 album jalur suara dan sembilan album kompilasi.[88] Semua album solonya setelah Sabda Alam terjual lebih dari 100.000 keping.[56] Dalam sebuah wawancara dengan Kompas pada tahun 1992, Chrisye menyatakan bahwa dia jatuh sakit setiap kali merekam album, sebagai akibat tekanan untuk mempromosikan album-album tersebut.[56]
Chrisye juga merilis banyak singel,[88] dengan beberapa singel di antaranya dijadikan lagu tema sinetron. "Pengalaman Pertama" digunakan untuk Ganteng-Ganteng Kok Monyet, "Cintaku" dari album Badai Pasti Berlalu yang sudah di-remaster digunakan untuk Gadis Penakluk, dan "Seperti Yang Kau Minta" digunakan untuk Disaksikan Bulan.[106]
Tepat pada hari ulang tahun Chrisye tanggal 16 September 2021, pihak label rekaman Musica Studios merilis album versi Bahasa Inggris secara virtual melalui platform distribusi digital. Isi album tersebut terdiri dari 9 lagu kompilasi pilihan populer yang dibuat ulang liriknya dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, serta lagu-lagu tersebut telah melalui tahapan remaster. Lagu populer tersebut di antaranya terdapat lagu Puppy Love (Anak Sekolah), I Love Her (Aku Cinta Dia) serta Goodbye My Love (Selamat Tinggal Sayang).
Album Solo
Bersama Yockie Suryo Prayogo
Bersama Eros Djarot
Bersama Guruh Soekarnoputra dan Yockie Suryo Prayogo
Bersama Eros Djarot dan Yockie Suryo Prayogo
Album lainnya
Tahun | Judul | Peran |
---|---|---|
1980 | Puspa Indah Taman Hati | Peran kameo |
Seindah Rembulan | Diri sendiri | |
Untukmu Indonesiaku | Diri sendiri | |
Tahun | Penghargaan | Kategori | Hasil |
---|---|---|---|
2005 | Anugerah Musik Indonesia | Lifetime Achievement Award | Penerima |
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.