Loading AI tools
sistem monarki di Malaysia Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Monarki Malaysia merujuk kepada sistem monarki konstitusional yang diterapkan di Malaysia. Sistem politik Malaysia berdasar kepada Sistem Parlementer Westminster dengan adaptasi budaya dari federasi.
Sembilan negara bagian Malaysia dikepalai oleh penguasa tradisional Melayu, yang kesemuanya disebut negeri-negeri Melayu. Konstitusi negara bagian membatasi kelayakan takhta hanya untuk keturunan bangsawan Melayu Muslim. Tujuh di antaranya berdasarkan primogenitur agnatik, yaitu Kedah, Kelantan, Johor, Perlis, Pahang, Selangor, dan Terengganu. Di Perak, takhta digilir antara tiga cabang keluarga kerajaan dan berdasarkan senioritas agnatik. Sementara itu, Negeri Sembilan menerapkan monarki elektif, penguasanya dipilih dari anggota laki-laki keluarga kerajaan melalui kepala daerah turun temurun (Undang). Semua penguasa, kecuali di Perlis dan Negeri Sembilan, menggunakan gelar Sultan. Penguasa Perlis menggunakan gelar Raja, sementara penguasa Negeri Sembilan dikenal dengan Yang di-Pertuan Besar.
Setiap lima tahun atau kekosongan jabatan terjadi, para penguasa akan bertemu dalam Majelis Raja-Raja untuk memilih Yang di-Pertuan Agong (kepala negara Malaysia) di antara mereka.[1] Karena Yang di-Pertuan Agong dipilih oleh Majelis Raja-Raja, secara keseluruhan, Malaysia merupakan sebuah monarki elektif.
Kesembilan penguasa monarki merupakan kepala negara bagian masing-masing, serta menjadi kepala agama Islam di negara bagiannya.[2] Sama seperti penguasa monarki konstitusional di seluruh dunia, penguasa monarki tidak secara langsung terlibat dalam pemerintahan negara bagiannya. Setiap dari mereka terikat dengan konvensi untuk mengambil keputusan atas saran dari kepala pemerintahan negara bagiannya yang dikenal dengan sebutan Menteri Besar. Meskipun begitu, para penguasa memiliki kewenangan membuat kebijakan menunjuk Menteri Besar yang menguasai mayoritas di Dewan Undangan Negeri, serta hak untuk menolak pembubaran parlemen jika diminta Menteri Besar.[butuh rujukan] Kekuasaan para penguasa monarki sendiri telah dikurangi dari waktu ke waktu, meskipun terdapat perselisihan pendapat mengenai batasan kekuasaan mereka.
Yang di-Pertuan Agong adalah kepala negara persekutuan (federal). Peran simbolisnya adalah menjadi Pemimpin Tertinggi Angkatan Tentara Malaysia serta melaksanakan fungsi diplomasi seperti menerima diplomat negara lain dan mewakili Malaysia dalam kunjungan kenegaraan. Yang di-Pertuan Agong juga menjadi kepala agama Islam di negara bagiannya, empat negara bagian tanpa penguasa (Pulau Pinang, Melaka, Sabah, dan Sarawak), serta di wilayah federal. Saat menjadi Yang di-Pertuan Agong, penguasa monarki harus menunjuk seorang wali penguasa untuk menjalankan tugas sebagai kepala negara bagian, kecuali perannya sebagai kepala agama Islam. Sama seperti perannya di negara bagian, Yang di-Pertuan Agong memberi kebijakan atas saran Perdana Menteri. Yang di-Pertuan Agong juga memiliki kewenangan untuk menunjuk Perdana Menteri yang menguasai mayoritas di Dewan Rakyat (majelis Rendah di Parlemen),[3] melantik jemaah menteri (kabinet),[4] serta menolak pembubaran parlemen.[5] Yang di-Pertuan Agong juga melantik Yang di-Pertua Negeri, gubernur seremonial bagi empat negara bagian tanpa penguasa, atas saran Perdana Menteri dan Menteri Besar negara bagian yang dimaksud.
Keunikan dari monarki konstitusional di Malaysia adalah adanya Majelis Raja-Raja, majelis yang beranggotakan sembilan penguasa monarki dan empat gubernur negara bagian. Majelis ini bersidang sedikitnya tiga kali setahun untuk mendiskusikan isu di negara bagian dan kebijakan nasional. Peran yang paling penting dari Majelis Raja-Raja adalah memilih Yang di-Pertuan Agong lima tahun sekali atau setiap terjadi kekosongan jabatan. Hanya sembilan penguasa monarki saja yang dapat mengikuti pemilihan Yang di-Pertuan Agong yang juga berkaitan dengan hak istimewa para penguasa dan ketaatan beragama. Peran lain dari Majelis Raja-Raja di pemerintahan federal adalah menyetujui amandemen peraturan-peraturan tertentu dari konstitusi federal, meliputi yang berkaitan dengan hak para penguasa monarki, hak istimewa Bumiputera, status bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, serta kedudukan agama Islam sebagai agama resmi negara.
Di tujuh negara bagian Malaysia, garis suksesi secara umum ditentukan berdasarkan primogenitur agnatik. Tidak ada penguasa wanita, serta keturunan dari garis perempuan tidak termasuk dalam suksesi.
Di Negeri Sembilan, Yang di-Pertuan Besar dipilih oleh Dewan Undang Empat, walaupun suksesi masih berada di dalam keluarga kerajaan.[6] Pada tahun 1967, setelah wafatnya Tuanku Munawir, anaknya, Tuanku Muhriz tidak dipilih menjadi Yang di-Pertuan Besar selanjutnya karena umurnya yang masih muda. Para Undang memilih pamannya, Tuanku Ja'afar, untuk menjadi Yang di-Pertuan Besar selanjutnya. Pada tahun 2008, Tuanku Ja'afar wafat, para Undang melewatkan putra Ja'afar dan memilih Tuanku Muhriz menjadi Yang di-Pertuan Besar selanjutnya.[7]
Di Perak, takhta digilir dari tiga cabang keluarga kerajaan. Sistem ini berasal dari abad ke-19 semasa Sultan Perak ke-18 berkuasa, ketika ia memutuskan agar takhta berputar di antara tiga putranya serta keturunannya. Terdapat enam posisi dalam garis suksesi, ditunjuk oleh Sultan yang berkuasa dengan saran Dewan Kerajaan. Menurut tradisi, putra sulung Sultan yang berkuasa akan ditempatkan di posisi terakhir garis suksesi. Ketika kekosongan terjadi di garis suksesi, orang dengan tingkat di bawahnya akan naik, dan cabang keluarga pemegang jabatan tersebut sebelumnya akan dilewati. Meskipun begitu, urutan suksesi tersebut dapat diubah oleh Sultan dan Dewan Kerajaannya. Sebagai contoh, pada tahun 1987, Sultan Azlan Shah menunjuk putra sulungnya, Sultan Nazrin Shah untuk menjadi Raja Muda (urutan pertama menuju takhta), melewati kandidat dari dua cabang keluarga kerajaan. Penunjukan ini dilakukan dengan alasan mangkatnya Raja Muda sebelumnya, serta penolakan Raja di-Hilir saat itu, Raja Ahmad Hisham untuk mengambil takhta karena kesehatannya.
Yang di-Pertuan Agong dipilih oleh dan dari sembilan penguasa (kecuali anak di bawah umur) setiap lima tahun atau jabatan tersebut lowong (karena kemangkatan, pengunduran diri, atau penurunan takhta dari mayoritas suara para penguasa). Yang di-Pertuan Agong tidak dapat dipilih kembali hingga negara bagian lainnya mendapat gilirannya masing-masing. Ketika jabatan tersebut dibentuk pada tahun 1957, urutan kesenioran para penguasa didasarkan pada seberapa lama mereka berkuasa dari kenaikan takhtanya di negara bagian. Setelah siklus giliran pertama selesai di tahun 1994, urutan giliran yang pertama menjadi urutan giliran untuk siklus kedua.
Negara bagian | Penguasa | Suksesi | Petahana | Lahir | Umur | Berkuasa sejak | Pewaris takhta |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Malaysia | Yang di-Pertuan Agong | monarki elektif | Sultan Ibrahim | 22 November 1958 | 65 tahun, 351 hari | 31 Januari 2024 | Tidak ada; dipilih oleh Majelis Raja-Raja |
Johor | Sultan | primogenitur agnatik | Sultan Ibrahim | 22 November 1958 | 65 tahun, 351 hari | 23 Januari 2010 | Tunku Ismail Idris Abdul Majid Abu Bakar Iskandar, Tunku Mahkota (putra sulung) |
Kedah | Sultan | primogenitur agnatik | Sultan Sallehuddin | 30 April 1942 | 82 tahun, 191 hari | 11 September 2017 | Tunku Sarafuddin Badlishah, Raja Muda (putra sulung) |
Kelantan | Sultan | primogenitur agnatik | Sultan Muhammad V | 6 Oktober 1969 | 55 tahun, 32 hari | 13 September 2010 | Tengku Muhammad Fakhry Petra, Tengku Mahkota (adik laki-laki) |
Negeri Sembilan | Yang di-Pertuan Besar | monarki elektif | Tuanku Muhriz | 14 Januari 1948 | 76 tahun, 298 hari | 29 Desember 2008 | Tidak ada; dipilih oleh Undang Empat |
Pahang | Sultan | primogenitur agnatik | Al-Sultan Haji Sir Abdullah Ri'ayatuddin Mustaffar Billah Shah | 30 Juli 1959 | 65 tahun, 100 hari | 15 Januari 2019 | Tengku Hassanal Ibrahim Alam Shah, Tengku Mahkota (putra sulung) |
Perak | Sultan | senioritas agnatik | Sultan Dr Nazrin Muizzudin Shah | 27 November 1956 | 67 tahun, 346 hari | 29 Mei 2014 | Raja Haji Sir Jaffar Sharifuddin Muazzam Shah II, Raja Muda (paman tertua) |
Perlis | Raja | primogenitur agnatik | Tuanku Syed Sirajuddin | 17 Mei 1943 | 81 tahun, 174 hari | 17 April 2000 | Tuanku Syed Faizuddin, Raja Muda (putra sulung) |
Selangor | Sultan | primogenitur agnatik | Sultan Sharafuddin Idris Shah | 24 Desember 1945 | 78 tahun, 319 hari | 21 November 2001 | Tengku Amir Shah, Raja Muda (putra sulung) |
Terengganu | Sultan | primogenitur agnatik | Sultan Mizan Zainal Abidin | 22 Januari 1962 | 62 tahun, 290 hari | 15 Mei 1998 | Tengku Muhammad Ismail, Yang di-Pertuan Muda (putra sulung) |
Gelar istri penguasa monarki umumnya tidak tetap dan tidak secara otomatis menjadi gelar kehormatan. Seorang istri penguasa kemungkinan akan mendapatkan gelar hanya jika diberikan kepadanya, baik dari titah penguasa maupun selama upacara penobatan.[8] Pasangan penguasa dari negara bagian berbeda memiliki gelar yang berbeda pula, beberapa bahkan tidak menerima satu pun.[9] Gelar istri dari penguasa negara bagian juga mungkin diubah tergantung keputusan penguasa monarki. Sebagai contoh, istri Sultan Ismail Nasiruddin Shah dari Terengganu dikenal dengan Tengku Ampuan Besar,[10] sementara istri Sultan Mizan Zainal Abidin (cucunya) dikenal dengan Sultanah (sebelumnya Permaisuri).[11]
Gelar pasangan dari penguasa umumnya mengambil bentuk Cik Puan, Raja Perempuan, Sultanah, Tengku Ampuan, Raja Permaisuri, Tengku Permaisuri, atau Permaisuri.[12]
Negara bagian | Penguasa | Pasangan | Gelar | Masa jabatan |
---|---|---|---|---|
Malaysia | Yang di-Pertuan Agong | Raja Zarith Sofiah | Raja Permaisuri Agong | 31 Januari 2024–sekarang |
Johor | Sultan | Raja Zarith Sofiah | Permaisuri | 23 Maret 2015–sekarang |
Kedah | Sultan | Sultanah Maliha | Sultanah | 12 September 2017–sekarang |
Kelantan | Sultan | Sultanah Nur Diana Petra | Sultanah | 2 Agustus 2022–sekarang |
Negeri Sembilan | Yang di-Pertuan Besar | Tuanku Aishah Rohani | Tuanku Ampuan Besar | 29 Desember 2008–sekarang |
Pahang | Sultan | Tunku Azizah Aminah Maimunah Iskandariah (juga Raja Permaisuri Agong saat ini) | Tengku Ampuan | 22 Januari 2019–sekarang |
Perak | Sultan | Tuanku Zara Salim | Raja Permaisuri | 20 Juni 2014–sekarang |
Perlis | Raja | Tengku Fauziah | Raja Perempuan | 14 Juli 2000–sekarang |
Selangor | Sultan | Tengku Permaisuri Norashikin | Tengku Permaisuri | 8 September 2016–sekarang[13] |
Terengganu | Sultan | Permaisuri Nur Zahirah | Permaisuri | 19 Juli 1998–5 Juni 2006 |
Sultanah Nur Zahirah | Sultanah | 5 Juni 2006–sekarang |
Ibu kota kerajaan (bahasa Melayu: Bandar diraja) adalah kota tempat tinggal penguasa monarki berada. Hampir di semua negara bagian dengan penguasa monarki memiliki ibu kota kerajaan yang berbeda dari ibu kota administratifnya, kecuali Terengganu.
Negara bagian | Ibu kota kerajaan | Ibu kota administratif | Gelar penguasa |
---|---|---|---|
Malaysia | Kuala Lumpur | Kuala Lumpur | Yang di-Pertuan Agong |
Johor | Muar (Bandar Maharani) | Johor Bahru | Sultan |
Kedah | Alor Setar (Anak Bukit) | Alor Setar | Sultan |
Kelantan | Kubang Kerian | Kota Bharu | Sultan |
Negeri Sembilan | Seri Menanti | Seremban | Yang di-Pertuan Besar |
Pahang | Pekan | Kuantan | Sultan |
Perak | Kuala Kangsar | Ipoh | Sultan |
Perlis | Arau | Kangar | Raja |
Selangor | Klang | Shah Alam | Sultan |
Terengganu | Kuala Terengganu | Kuala Terengganu | Sultan |
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.