![cover image](https://wikiwandv2-19431.kxcdn.com/_next/image?url=https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/5/5b/042_Brahma_Sahampati_requests_the_Buddha_to_Teach_despite_his_Reluctance_%25289270761017%2529.jpg/640px-042_Brahma_Sahampati_requests_the_Buddha_to_Teach_despite_his_Reluctance_%25289270761017%2529.jpg&w=640&q=50)
Ketuhanan dalam Buddhisme
konsep ketuhanan dalam agama Buddha / From Wikipedia, the free encyclopedia
Ketuhanan dalam Buddhisme tidak berdasarkan kepada suatu sosok Yang Maha Kuasa sebagai pencipta dan pengatur alam semesta (Pāli: issara; Sanskerta: īśvara).[1] Buddhisme menyatakan bahwa alam semesta diatur oleh Hukum Alam (Niyāma), yakni Utu Niyāma, Bija Niyāma, Kamma Niyāma, Citta Niyāma, dan Dhamma Niyāma yang berjalan tanpa sosok pengatur tertinggi. Sang Buddha sendiri tidak pernah menyebut diri-Nya sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa. Buddha merupakan guru agung umat Buddha sebagai penemu Dhamma, bukan pencipta Dhamma.[2]
![](http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/5/5b/042_Brahma_Sahampati_requests_the_Buddha_to_Teach_despite_his_Reluctance_%289270761017%29.jpg/640px-042_Brahma_Sahampati_requests_the_Buddha_to_Teach_despite_his_Reluctance_%289270761017%29.jpg)
Umat Buddha menerima keberadaan makhluk hidup di alam yang lebih tinggi, yang dikenal sebagai dewa dan brahma. Akan tetapi, tidak seperti Hinduisme, mereka tidak dianggap sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa dan tidak Maha Sempurna. Sebagai akibatnya, konsep-konsep agama Buddha yang berkaitan dengannya juga berbeda dengan konsep-konsep dari agama lain. Buddhisme tidak menekankan pada keterlibatan sosok pencipta dunia dalam pemahamannya mengenai iman, berdoa, terbentuknya alam semesta, munculnya manusia, kiamat, hingga keselamatan atau kebebasan.[3]
Untuk memenuhi sila pertama Pancasila Indonesia, maka Nibbāna sebagai keadaan dan tujuan tertinggi dapat diinterpretasikan sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa. Nibbāna sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa dalam bahasa Pali, sebagaimana dijelaskan dalam Tatiyanibbāna Sutta, Udāna 8.3, adalah "ajātaṁ abhūtaṁ akataṁ asaṅkhataṁ" dengan makna:
- Yang Tidak Dilahirkan (ajāta)
- Yang Tidak Menjelma (abhūta)
- Yang Tidak Tercipta (akata)
- Yang Tidak Terkondisi (asaṅkhata)
Buddha juga mengajarkan pengembangan sifat-sifat ketuhanan luhur yang disebut brahmavihāra, yaitu cinta kasih (mettā), belas kasihan atau welas asih (karuṇā), kegembiraan simpatik atau turut-berbahagia (mudita), dan keseimbangan batin (upekkhā).[4] Alih-alih fokus pada suatu sosok Tuhan, ibadah umat Buddha lebih fokus pada keyakinan kepada Tiratana, perenungan Empat Kebenaran Mulia, dan penerapan Jalan Mulia Berunsur Delapan untuk mencapai Nibbāna.[5]
Konsep Ketuhanan |
---|
Menurut agama |
Lain-lain |
Jenis kelamin |