Remove ads
From Wikipedia, the free encyclopedia
Nagari ([na.ga.ri]) adalah pembahagian wilayah administratif di Sumatera Barat; ia panggilan khusus yang sepadan nama "desa" atau "kelurahan" sesudah kecamatan (digunakan provinsi-provinsi lain) yang digunakan dalam sistem pentadbiran Indonesia.
Nagari dalam konteks negara Indonesia moden kini dilihat sebagaii kesatuan masyarakat dan undang-undang yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Nagari merupakan kumpulan Dari beberapa Jorong /Korong yang memiliki tujuan dan prinsip yang sama. Nagari dipimpin oleh seorang yang namanya Wali Nagari. Wali Nagari ini dipilih melalui musyawarah Dan mufakat Dari berbagai kumpulan Jorong Dan at melalui pilihan raya atau "pilihan umum".
Kata "nagari" berasal dari Bahasa Sanskrit nagarī (नगरी) berakar daripada istilah nagarom yang berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Bentuk lain dari kata ini antara lain nagara, negara, negeri, nagori, nogori, nogoro.
Nagari dipimpin oleh seorang wali nagari, dan dalam menjalankan pemerintahannya, dahulunya wali nagari dibantu oleh beberapa orang wali jorong, tetapi sekarang dibantu oleh sekretaris nagari (setnag) dan beberapa pegawai negeri sipil (PNS) yang jumlahnya bergantung dengan kebutuhan pemerintahan nagari tersebut. Wali nagari dipilih oleh anak nagari (penduduk nagari) secara demokratik dengan pemilihan langsung untuk masa jabatan 6 tahun dan kemudian dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Biasanya yang dipilih menjadi wali nagari adalah orang yang dianggap paling menguasai tentang semua aspek kehidupan dalam budaya Minangkabau, sehingga wali nagari tersebut mampu menjawab semua persoalan yang dihadapi anak nagari.
Nagari secara administratif pemerintahan berada di bawah kecamatan yang merupakan bagian dari perangkat daerah kabupaten. Sedangkan nagari bukan merupakan bagian dari perangkat daerah jika berada dalam struktur pemerintahan kota. Berbeda dengan kelurahan, nagari memiliki hak mengatur wilayahnya yang lebih luas. Nagari merupakan bentuk dari republik mini.
Dalam sebuah nagari dibentuk Kerapatan Adat Nagari (KAN), yakni lembaga yang beranggotakan tungku tigo sajarangan. Tungku tigo sajarangan merupakan perwakilan anak nagari yang terdiri dari alim ulama, cerdik pandai (kaum intelektual) dan niniak mamak (pemimpin suku-suku dalam nagari). Keputusan penting yang akan diambil selalu dimusyawarahkan antara wali nagari dan tungku tigo sajarangan di balai adat atau balairung sari nagari. Untuk legislasi, dibentuklah Badan Musyawarah Nagari (BMN) nama lain dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Unsur dalam BMN memuat unsur pada KAN dan dilengkapi dengan unsur pemuda, wanita dan perwakilan tiap suku. BMN berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan nagari, yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat dengan masa jabatan selama 6 tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Jumlah anggota BMN ditetapkan dengan jumlah ganjil, paling sedikit 5 orang dan paling banyak 11 orang, dengan memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, dan kemampuan keuangan nagari, serta ditetapkan dengan keputusan Bupati/Wali kota.
Dengan diterapkannya kembali model pemerintahan nagari di provinsi Sumatra Barat, maka hal ini berdampak terhadap wewenang atas penguasaan kembali tanah ulayat nagari maupun juga terhadap tanah-tanah adat baik yang dimiliki secara individual maupun telah dikuasai negara sebelumnya[1].
Sementara itu di sejumlah kabupaten, nagari memiliki kekuasaan yang cukup besar. Misalnya di Kabupaten Solok, nagari memiliki 111 kewenangan dari pemerintah kabupaten, termasuk di antaranya pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB) dan surat izin tempat usaha (SITU).
Sistem kanagarian telah ada sebelum tibanya kuasa-kuasa Barat ke kepulauan Melayu apatah lagi pembentukan negara-negara moden Malaysia dan Indonesia. Kerajaan Pagaruyung pada dasarnya merupakan gabungan atau konfederasi nagari-nagari yang berada di Minangkabau. Kemungkinan besar sistem nagari juga sudah ada sebelum Adityawarman mendirikan kerajaan tersebut.
Terdapat dua aliran besar dalam sistem pemerintahan nagari di Minangkabau yakni Koto Piliang dan Bodi Caniago (juga dikenali di Malaysia sebagai "Adat Perpatih"); dua-duanya mempunyai kemiripan dengan pemerintahan negara-negara kota yang wujud pada masa Yunani Purba.[2] Selain dipengaruhi oleh tradisi adat, struktur masyarakat Minangkabau juga diwarnai oleh pengaruh agama Islam, dan pada suatu masa pernah muncul konflik akibat pertentangan kedua pengaruh ini, yang kemudian dapat diselesaikan dengan menyerasikan kedua pengaruh tersebut dalam konsep Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah[3].
Nagari merupakan unit pemukiman yang paling sempurna yang diakui oleh adat di mana ada lingkungan kawasan beserta sempadan yang khusus selain mempunyai struktur politik dan badan perundangan tersendiri, selain itu beberapa kelengkapan yang mesti dipenuhi oleh suatu pemungkiman untuk menjadi nagari diantaranya adanya balai adat, masjid serta ditunjang oleh kawasan persawahan.[4].
Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto dan kemudian berkembang menjadi Nagari, yang dipimpin secara bersama oleh para penghulu atau datuk setempat. Dan biasanya disetiap nagari yang dibentuk itu minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut[5].
Laporan sediaan Hubert Joseph Jean Lambert de Stuers[6], seorang pegawai tentera Belanda, menyimpulkan bahawa pada daerah pedalaman Minangkabau tidak pernah ada suatu kekuasaan pemerintahan terpusat dibawah seorang raja. Berdasarkan laporan tersebut, kemudian Belanda menerapkan model sistem penguasa-penguasa di tingkat distrik, yang kemudian dikenal dengan adanya jabatan kepala laras atau tuanku laras, di mana daerah kelarasan ini dirancang sepadan dengan pengelompokan nagari yang telah ada sebelumnya. Dan selanjutnya satuan pemerintahan lebih rendah tetap dipegang oleh penghulu-penghulu sebelumnya tanpa mengalami perubahan sampai pada tahun 1914.
Pada tahun 1914 dikeluarkan suatu ordonantie nagari yang membataskan anggota kerapatan nagari hanya pada penghulu yang diakui pemerintah Hindia Belanda. Hal ini dilakukan atas tanggapan mendapatkan sistem pemerintahan yang tertib dan teratur. Penghulu-penghulu yang dulunya memimpin nagari secara bersama-sama sekarang diharuskan untuk memilih salah satu di antara mereka sebagai kepala nagari atau wali nagari sehingga posisi penghulu suku sudah kehilangan fungsi tradisionalnya. Namun sejalan dengan waktu, jabatan kepala laras dan kepala nagari ini, yang sebelumnya asing akhirnya dapat diterima dan menjadi tradisi adat, di mana jabatan ini juga akhirnya turut diwariskan kepada kemenakan dari pemegang jabatan sebelumnya[7]. Namun sekarang jabatan tuanku laras sudah dihapus sedangkan wali nagari tidak boleh diwariskan kepada kemenakan yang memegang jabatan sebelumnya tetapi tetap harus dipilih secara demokratik.
Setelah proklamasi kemerdekaan, sistem pemerintahan nagari ini diubah agar lebih sesuai dengan keadaan waktu itu. Pada tahun 1946 diadakan pemilihan langsung di seluruh Sumatra Barat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Nagari dan wali nagari. Calon-calon yang dipilih tak terbatas pada penghulu saja. Partai politik pun boleh mengajukan calon. Pada kenyataannya banyak anggota Dewan Perwakilan Nagari dan wali nagari terpilih yang merupakan anggota partai. Parti Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) menjadi partai yang mendominasi. Dalam masa perang kemerdekaan dibentuk juga organisasi pertahanan tingkat nagari, yaitu Badan Pengawal Negeri dan Kota (BNPK). Badan ini didirikan atas inisiatif Chatib Sulaiman.
Namun setelah keluarnya Perda No. 50 tahun 1950 tentang pembentukan wilayah otonom, maka sejak itu pemerintahan nagari hampir tidak berperan lagi. Dan kemudian ditambah sewaktu Kabinet Mohammad Natsir tahun 1951 membekukan Dewan Perwakilan Rakyat di Provinsi Sumatra Tengah yang juga mencakup wilayah Sumatra Barat, Riau, Kepulauan Riau, dan Jambi sekarang. Maka dengan demikian dewan perwakilan tingkat nagari pun statusnya menjadi tidak jelas juga. Kemudian pasca Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, hampir keseluruhan aparat nagari diganti oleh pemerintah pusat yang sekaligus mengubah pemerintahan nagari[8].
Tahun 1974 Gubernur Harun Zain memutuskan untuk mengangkat kepala nagari sebagai pelaksana pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat Nagari sebagai lembaga legislatif terendah. Namun keputusan ini hanya berumur pendek. Dengan diberlakukannya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa, sistem nagari dihilangkan dan jorong digantikan statusnya menjadi desa. Kedudukan wali nagari dihapus dan administrasi pemerintahan dijalankan oleh para kepala desa.
Meskipun demikian nagari masih dipertahankan sebagai lembaga tradisional. Peraturan daerah No. 13 tahun 1983 mengatur tentang pendirian Kerapatan Adat Nagari (KAN) di tiap-tiap nagari yang lama. Namun KAN sendiri tidak memiliki kekuasaan formal.
Perubahan peta politik nasional yang terjadi, membangkitkan kembali semangat masyarakat Sumatra Barat untuk kembali menjalankan sistem pemerintahan nagari. Dengan berlakunya otonomi daerah pada tahun 2001, istilah pemerintahan nagari kembali digunakan untuk menganti istilah pemerintahan desa yang digunakan sebelumnya dalam sistem pemerintahan kabupaten, sedangkan nagari yang berada dalam sistem pemerintahan kota masih seperti sebelumnya yaitu bukan sebagai bagian dari pemerintah daerah.
Dan pada tahun 2004, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan UU No 22 Tahun 1999 dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, kemudian Presiden Indonesia dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat secara bersama, disahkanlah Undang undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah untuk mengantikan undang undang UU No 22 Tahun 1999. Dan dari undang-undang baru ini diharapkan munculnya pemerintahan daerah yang dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Sebagai tindak lanjut dari undang-undang tersebut, maka Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 dikeluarkan di mana i:
Pemerintah tetap menghormati sistem nilai yang berlaku pada masyarakat setempat namun tetap harus mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.