Loading AI tools
Pemimpin Gereja Katolik Roma Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Paus (dari bahasa Belanda: paus; bahasa Latin: papa dari bahasa Yunani: πάππας pappas,[1] "ayah")[2] sejatinya adalah Uskup Roma, yang menjadi pemimpin Gereja Katolik di seluruh dunia. Menurut Gereja Katolik, keutamaan Uskup Roma tersebut terutama berasal dari peranannya sebagai "penerus Santo Petrus", yang disebut sebagai "Uskup Roma pertama". Petrus sendiri mendapatkan keutamaannya dari Yesus sendiri, yaitu saat Ia memberikan kunci Kerajaan Surga dan kuasa untuk "mengikat dan melepaskan", serta menamainya "batu karang" dan di atasnya Gereja akan didirikan (Matius 16:18–19). Paus saat ini adalah Paus Fransiskus, yang terpilih pada tanggal 13 Maret 2013.[3]
Uskup Roma Pontifex maximus Paus | |
---|---|
Keuskupan | |
Katolik | |
Petahana: Fransiskus sejak 13 Maret 2013 | |
Gelar | Yang Mulia |
Lokasi | |
Provinsi Gerejawi Roma | |
Kediaman |
|
Kantor pusat | Istana Apostolik, Vatikan |
Informasi | |
Penjabat pertama | Simon Petrus |
Denominasi | Gereja Katolik Roma |
Pembentukan | Abad ke-1 |
Keuskupan | Roma |
Katedral | Basilika Agung Santo Yohanes Lateran |
Kepemimpinan kini | |
Bentuk | Takhta Suci |
Situs web | |
The Holy Father |
Bagian dari seri tentang |
Gereja Katolik |
---|
Ikhtisar |
Portal Katolik |
Dalam kapasitasnya sebagai pemimpin spiritual, jabatan dan pemerintahan Paus disebut "kepausan" atau "pontifikat", sementara yurisdiksi takhta episkopal Paus disebut "Takhta Suci" atau "Takhta Apostolik".[4][5] Lalu dalam kapasitasnya sebagai pemimpin sekuler, Paus merupakan kepala negara dari Negara Kota Vatikan, sebuah negara berdaulat yang seluruh wilayahnya terkurung di dalam Kota Roma, Italia.[6]
Berdasarkan Tradisi Suci, takhta apostolik Roma didirikan oleh Rasul Petrus dan Paulus. Takhta kepausan merupakan salah satu lembaga yang paling bertahan lama di dunia dan telah menjadi suatu bagian penting dalam sejarah dunia.[7] Para paus pada zaman kuno membantu dalam hal penyebaran Kekristenan dan penyelesaian berbagai perselisihan doktrinal.[8] Pada Abad Pertengahan, mereka memainkan suatu peranan dalam kepentingan sekuler di Eropa Barat, biasanya bertindak sebagai penengah atau arbiter di antara para penguasa monarki Kristen.[9][10][11] Pada zaman modern, selain menyebarkan iman dan doktrin Kristen, Paus terlibat dalam oikumenisme dan dialog antaragama, karya sosial, serta pembelaan terhadap hak asasi manusia.[12][13]
Paus dianggap sebagai salah satu orang yang paling berpengaruh di dunia karena pengaruh budaya dan diplomatik yang dimilikinya.[14][15][16] Pada beberapa periode tertentu, para paus, yang awalnya tidak memiliki kekuasaan sekuler, mengumpulkan suatu kekuasaan besar yang mampu menandingi kekuasaan para penguasa sekuler. Namun dalam beberapa abad terakhir, para paus secara bertahap dipaksa untuk melepaskan kekusaaan temporal kepausan, dan saat ini jabatan pontifikat utamanya lebih berfokus pada persoalan keagamaan.[8] Oleh karena demikian, kekuasaan Paus sebagai pemimpin spiritual semakin tegas dinyatakan beberapa abad terakhir ini, yang berpuncak pada tahun 1870, dengan dikeluarkannya pernyataan dogma infalibilitas Paus untuk kesempatan-kesempatan yang sangat jarang ketika Paus berbicara secara ex cathedra (secara harfiah berarti "dari takhta") saat mengeluarkan suatu definisi formal terkait iman atau moral.[8]
Kata paus berasal dari kata Yunani πάππας yang berarti "ayah" atau "bapa". Pada abad-abad awal Kekristenan, gelar ini diterapkan—terutama di timur—untuk semua uskup[17] dan klerus senior lainnya; kemudian menjadi direservasi di barat untuk menyebut Uskup Roma, suatu reservasi yang baru dinyatakan resmi pada abad ke-11.[18][19][20][21][22] Catatan paling awal seputar penggunaan gelar ini adalah berkenaan dengan Patriark Aleksandria pada saat itu, yakni Paus Heraclas dari Aleksandria (232–248).[23] Catatan penggunaan yang paling awal atas gelar "paus" (pope) dalam bahasa Inggris yaitu pertengahan abad ke-10, ketika digunakan untuk mengacu kepada Paus Vitalianus dalam sebuah terjemahan Inggris Lama Historia ecclesiastica gentis Anglorum karya Beda.[24]
Gereja Katolik mengajarkan bahwa jabatan pastoral tersebut, yakni tugas penggembalaan Gereja, yang dahulu dilakukan oleh para rasul sebagai satu kelompok atau "kolegium" dengan Santo Petrus sebagai kepala mereka, sekarang dipegang oleh para penerus mereka, yaitu para uskup, dengan uskup Roma (paus) sebagai kepala mereka.[25]
Menurut Gereja Katolik, Yesus secara pribadi mengangkat Petrus sebagai pemimpin Gereja dan dalam konstitusi dogmatis Lumen gentium yang dikeluarkannya disebutkan suatu perbedaan yang jelas antara para rasul dan para uskup; di dalamnya dinyatakan bahwa para uskup adalah penerus para rasul dengan paus sebagai penerus Petrus, dalam hal ini ia adalah kepala para uskup sebagaimana Petrus adalah kepala para rasul.[26] Beberapa sejarawan berpendapat bahwa gagasan mengenai Petrus adalah uskup pertama Roma dan mendirikan takhta episkopal di sana hanya dapat ditelusuri kembali hingga abad ke-3.[27] Tulisan-tulisan dari Ireneus, salah seorang Bapa Gereja, yang menulis pada sekitar tahun 180 M mencerminkan suatu keyakinan bahwa Petrus "mendirikan dan mengorganisir" Gereja di Roma.[28] Ireneus dipandang bukan sebagai orang pertama yang menuliskan kehadiran Petrus dalam Gereja Roma awal mula. Klemens dari Roma menuliskan sebuah surat kepada jemaat di Korintus, ca 96,[29] mengenai penganiayaan umat Kristen di Roma sebagai "perjuangan pada zaman kita" dan menyajikan kepada jemaat Korintus para pahlawannya, "pertama-tama, para pilar yang paling benar dan terbesar", "para rasul yang baik" Petrus dan Paulus.[30] Ignatius dari Antiokhia menulis tidak lama setelah Klemens dan dalam suratnya dari kota Smirna kepada jemaat Roma ia mengatakan bahwa ia tidak memberikan perintah-perintah kepada mereka sebagaimana yang Petrus dan Paulus lakukan.[31] Karena hal ini dan bukti lainnya, banyak akademisi sepakat bahwa Petrus menjadi martir di Roma dalam pemerintahan Nero, kendati beberapa akademisi berpendapat bahwa ia mungkin menjadi martir di Palestina.[32][33][34]
Kalangan Protestan berpendapat bahwa Perjanjian Baru tidak memberikan bukti kalau Yesus mendirikan kepausan ataupun menetapkan Petrus sebagai uskup pertama Roma.[35] Kalangan lain, dengan menggunakan kata-kata Petrus sendiri, berpendapat bahwa Yesus memaksudkan diri-Nya sendiri sebagai fondasi Gereja dan bukan Petrus.[36][37] Kalangan lainnya lagi berpendapat bahwa Gereja tidak hanya dibangun di atas dasar iman dan Yesus, tetapi juga di atas para murid—meski bukan Petrus semata-mata—sebagai akar dan fondasi Gereja sesuai dengan ajaran Paulus dalam Surat Roma dan Efesus.[38][39]
Masing-masing komunitas Kristen pada abad pertama memiliki sekelompok presbyter-bishops (uskup jamak) yang berfungsi sebagai para pemimpin gereja setempat mereka. Secara bertahap, episkopal terbentuk di daerah-daerah metropolitan.[40] Antiokhia mungkin telah mengembangkan struktur demikian sebelum Roma.[40] Di Roma, terdapat banyak orang yang mengaku sebagai uskup yang sah meskipun sekali lagi Ireneus menekankan keabsahan satu rangkaian uskup dari masa St. Petrus hingga Paus Viktor I yang hidup pada zaman yang sama dengannya, dan Ireneus membuat daftar tersebut.[41] Beberapa penulis mengklaim bahwa timbulnya seorang uskup tunggal di Roma mungkin tidak terjadi sampai pertengahan abad ke-2. Dalam pandangan mereka, Linus, Kletus, dan Klemens mungkin merupakan presbyter-bishops yang terkemuka tetapi belum tentu uskup tunggal.[27]
Dokumen-dokumen dari abad ke-1 dan awal abad ke-2 menunjukkan bahwa Takhta Suci memiliki semacam superioritas dan arti penting dalam Gereja secara keseluruhan, walaupun detail tentang makna hal ini sangat tidak jelas pada periode tersebut.[42]
Pada awal mula tampaknya penggunaan istilah "episcopos" dan "presbyter" dapat saling dipertukarkan.[43] Konsensus di antara para akademisi yaitu, pada pergantian abad ke-1 dan ke-2, jemaat-jemaat setempat dipimpin oleh para uskup dan para presbiter dengan jabatan yang saling tumpang tindih atau tidak dapat dibedakan.[44] Beberapa kalangan mengatakan bahwa kemungkinan "tidak ada satu pun uskup 'monarkis' tunggal di Roma sebelum pertengahan abad ke-2...dan mungkin belakangan."[45] Para akademisi dan sejarawan lainnya tidak setuju, mereka mengutip catatan-catatan sejarah dari St. Ignatius dari Antiokhia (wafat tahun 107) dan St. Ireneus yang mencatat suksesi linier Uskup Roma (para paus) sampai pada masa mereka sendiri. Mereka juga mengutip arti penting Uskup Roma di dalam berbagai konsili ekumenis, termasuk semua yang paling awal.[46]
Pada era Kristen awal, Roma dan beberapa kota lain memiliki klaim atas kepemimpinan Gereja di seluruh dunia. Yakobus yang Adil, dikenal sebagai "Saudara Tuhan", berperan sebagai kepala gereja Yerusalem yang hingga kini masih dihormati sebagai "Gereja Ibu" dalam tradisi Ortodoks. Aleksandria pernah menjadi suatu pusat pembelajaran Yahudi dan menjadi salah satu pusat pembelajaran Kristen. Roma memiliki jemaat yang besar pada awal periode apostolik yang dibahas Rasul Paulus dalam Surat kepada Jemaat di Roma yang ditulisnya, dan menurut tradisi Paulus menjadi martir di sana.[butuh rujukan]
Selama abad pertama Gereja (ca 30–130), ibu kota Romawi tersebut menjadi diakui sebagai suatu pusat Kekristenan yang luar biasa penting. Klemens I, pada akhir abad ke-1, menulis sebuah surat kepada Gereja di Korintus Kuno untuk campur tangan dalam suatu perselisihan besar, dan ia meminta maaf karena tidak bertindak lebih awal.[47] Namun hanya ada beberapa referensi lain dari masa tersebut terkait pengakuan atas keutamaan otoritatif Takhta Roma di luar Roma. Dalam Dokumen Ravenna tanggal 13 Oktober 2007, para teolog yang dipilih oleh Gereja Katolik Roma dan Gereja Ortodoks Timur menyatakan: "41. Kedua belah pihak setuju...bahwa Roma, sebagai Gereja yang 'menjalankan kepemimpinan dalam kasih', sesuai dengan ungkapan dari St. Ignatius dari Antiokhia,[48] menduduki tempat pertama dalam taxis, dan bahwa uskup Roma karenanya adalah protos di antara para patriark. Bagaimanapun kedua belah pihak tidak bersepakat mengenai interpretasi bukti sejarah dari era ini terkait hak prerogatif Uskup Roma sebagai protos, suatu hal yang sudah dipahami dengan cara-cara berbeda pada milenium pertama."[butuh rujukan]
Pada akhir abad ke-2 M, terdapat lebih banyak perwujudan otoritas Roma atas gereja lainnya. Pada tahun 189, penegasan terhadap keutamaan Gereja Roma dapat diindikasikan dalam Melawan Ajaran Sesat (3:3:2) karya Ireneus: "Dengan [Gereja Roma], karena asal usul superioritasnya, semua gereja harus sependapat...dan di dalam dirinya umat beriman di mana-mana telah memelihara tradisi apostolik." Pada tahun 195 M, Paus Viktor I mengekskomunikasi para penganut Kuartodesimanisme karena merayakan Paskah pada tanggal 14 Nisan, tanggal Paskah Yahudi, suatu tradisi yang diwariskan oleh Yohanes Penginjil (lih. kontroversi Paskah). Tindakan ini dipandang sebagai salah satu praktik pelaksanaan otoritas Roma atas gereja lainnya. Perayaan Paskah pada hari Minggu, sebagaimana ditegaskan oleh paus tersebut, adalah sistem yang telah berlaku (lih. computus).[butuh rujukan]
Maklumat Milano (323) memberikan kebebasan beragama bagi masyarakat di Kekaisaran Roma, memulai masa damai Gereja. Pada tahun 325, Konsili Nikea I mengutuk Arianisme dan pada kanon keenam konsili tersebut mengakui peran khusus takhta Roma, Aleksandria dan Antiokia. Pada tahun 380, kekristenan Nikea diumumkan sebagai agama resmi Kekaisaran Roma dan "Kristen Katolik" memiliki makna pengikut aliran ini. Ketika gereja-gereja timur dikuasai oleh otoritas sipil sehingga Patriark Konstantinopel memiliki kekuasaan kuat di Timur, Uskup Roma di Barat berhasil mengkonsolidasikan pengaruh dan kekuatan yang dimiliki. Setelah kejatuhan Kekaisaran Roma Barat, kaum barbar memeluk Katolik; Clovis I, raja kaum Frank, merupakan pemegang kekuasaan barbar pertama yang memeluk Katolik, bukan Arianisme, sehingga bersekutu dengan Paus. Suku lainnya, seperti Visigoth, meninggalkan Arianisme dan memeluk Katolik.
Setelah kejatuhan Roma, paus menjadi sumber otoritas dan kesinambungan. Gregorius Agung (540–604) memberlakukan referomasi ketat. Berasal dari keluarga senator, Gregorius bekerja dengan keputusan yang bijak dan disiplin seperti pada masa Romawi kuno. Secara teologis, karya Gregorius menunjukkan perubahan cara pandang klasik menuju pertengahan yang ditandai dengan keajaiban dramatis, relikui, setan, malaikat, hantu dan akhir dunia.
Penerus Gregorius pada umumnya didominasi oleh Eksarkh Ravenna, wakil kaisar Byzantium di Italia. Penghinaan, lemahnya kekaisaran dalam menghadapi perluasan muslim dan ketidakmampuan kaisar dalam melindungi Negara Gereja dari kaum Langobardi membuat Paus Stefanus II berpaling dari Kaisar Konstantin V kepada kaum Frank. Pippin Pendek menaklukan kaum Langobardi dan memberikan tanah Italia kepada kepausan. Ketika Leo III memahkotakan Karolus Agung, preseden bahwa seseorang tidak akan menjadi kaisar tanpa pemahkotaan oleh paus dimulai.
Sejak abad ke-7, kaum monarki di Eropa terbiasa untuk membangun gereja dan menempatkan imam-imam di tanah mereka yang menyebabkan meningkatnya korupsi dari kaum tertahbis. Praktik lumrah ini terjadi akibat umumnya wali gereja dan penguasa sekuler berperan dalam kehidupan publik. Untuk melawan praktik korupsi yang meluas di gereja ketika tahun 900 – 1050, berbagai tempat, salah satunya Biara Cluni yang pengaruhnya tersebar luas, mendorong terjadinya pembaruan gereja. Paus Gregorius VII menetapkan berbagai peraturan, yang dikenal sebagai Reformasi Gregorius, untuk melawan tindakan-tindakan simoni dan penyalahgunaan kekuasaan sipil dan mendorong disiplin gereja termasuk selibat. Konflik antara paus dan penguasa-penguasa sekuler seperti Kaisar Kekaisaran Romawi Suci Henry IV dan Henry I dari Inggris, yang dikenal sebagai Kontroversi Pentahbisan, yang diselesaikan pada tahun 1122 oleh Konkordrat Worms dengan dekret paus bahwa para tertahbis ditabhiskan oleh pemimpin gereja dan dilantik oleh para penguasa sekuler. Tidak lama kemudiaan, Paus Alexander III memulai serangkaian pembaruan yang berakhir pada penetapan dari Hukum Kanonik.
Sejak awal abad ke-7, kekalifahan telah menguasai Mediterania Selatan dan mengancam kekristenan. Pada tahun 1095, kaisar Byzantine, Alexios I Komnenos, meminta bantuan militer kepada paus Urban II dalam menghadapi invasi Muslim. Urban, pada Konsili Klermon, memulai Perang Salib I untuk membantu Byzantine mendapatkan kembali wilayah Kekristenan kuno, termasuk Yerusalem.
Tahun 867–1049 merupakan titik terendah jabatan pontifikat. Pemerintahan pontifikat dikontrol oleh berbagai fraksi politik. Para paus ditahan, dibunuh dan diturunkan dengan paksa. Beberapa keluarga mendominasi jabatan Paus selama 50 tahun. Bahkan, paus Yohanes XII mengadakan pesta pora di Lateran. Kaisar Otto I dari Jerman berhasil menuduh paus Yohanes XII ke pengadilan gerejawi yang menurunkannya dari takhta dan memilih paus Leo VIII seorang awam, walaupun usaha ini gagal. Konfik antara paus dan kaisar Kekaisaran Romawi Suci berlanjut serta tindakan simoni berlanjut dan semakin terbuka.
Pada tahun 1049, paus Leo IX terpilih dan menghadapi masalah-masalah kepausan dan gereja. Paus Leo IX mengunjungi berbagai kota di Eropa untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dialami oleh gereja. Hal ini memulihkan prestise kepausan di Eropa Utara.
Gereja Timur dan Barat resmi berpisah pada tahun 1054. Perpecahan ini lebih disebabkan oleh pengaruh politik dibandingkan perbedaan kepercayaan. Paus telah membuat marah kaisar (Byzantium) dengan beraliansi dengan raja Frank, memahkotai rival kaisar Roma (memahkotai kaisar Kekaisaran Romawi Suci), mengambil Eksarkh Ravenna dan memasuki Italia Yunani (Italia Selatan).
Pada abad pertengahan, paus berebut kekuasaan dengan para raja.
Pada tahun 1309 sampai 1377, paus bertempat tinggal di Avignon (sekarang di Prancis) bukan di Roma. Kepausan Avignon tercatat akan kerakusannya dan korupsi. Selama masa ini, paus secara efektif merupakan sekutu dari Prancis dan meng-'asing'-kan musuh Prancis, seperti Inggris.
Paus pada awalnya dipahami memiliki kekuatan untuk menarik 'harta' dari para santo dan Kristus, sehingga paus dapat memberikan indulgensia, mengurangi waktu seseorang dalam Purgatorium. Konsep denda atau sumbangan yang diiringi dengan penyesalan, pengakuan dan doa menimbulkan asumsi umum bahwa indulgensia didasarkan pada kontribusi materi secara sekilas. Paus mengecam kesalahpahaman dan penyalahgunaan namun terlalu tertekan oleh pemasukkan untuk mengendalikan indulgensia.
Para paus berebut kekuasaan dengan para kardinal, yang mencoba menetapkan otoritas konsili atas paus. Teori konsiliar menyatakan bahwa otoritas tertinggi berada pada konsili ekuminis/umum bukan paus. Dasar teori ini muncul pada awal abad ke-13 dan memuncak pada abad ke-15. Kegagalan teori konsiliar untuk mendapatkan pengakuan luas setelah abad ke-15 merupakan faktor pendorong terjadinya Reformasi Protestan.
Antipaus telah mengugat otoritas Paus, terutama pada masa skisma Barat (1378–1417). Pada skisma ini, pontifikat telah kembali ke Roma dari Avignon, namun seorang Antipaus tetap menjabat di Avignon, seolah-olah untuk menentang pemerintahan pontifikat yang ada.
Gereja timur terus melemah seiring melemahnya kekuatan Byzantine yang ikut melemahkan klaim kesetaraan Konstantinopel terhadap Roma. Kaisar Byzantine telah dua kali memaksa reunifikasi gereja-gereja timur dengan Paus. Klaim superioritas Paus merupakan masalah utama dalam reunifikasi yang menyebabkan kegagalan dalam berbagai kesempatan reunifikasi. Pada abad ke-15, Turki merebut Konstantinopel, sehingga mengakhiri usaha reunifikasi dari gereja-gereja timur dengan Paus selama beberapa abad.
Pada umumnya, reformator protestan mengkritik Paus sebagai institusi yang korup dan mengkarakterkan paus sebagai seorang anti-kristus. Paus kemudian membentuk Reformasi Katolik (1560–1648) sebagai jawaban atas Reformasi Protestan dan menetapkan reformasi internal. Konsili Trento, dimulai oleh Paus Paulus III, memuat doktrin dan reformasi yang menjaga keutamaan paus atas faksi-faksi gereja yang berusaha untuk membentuk konsiliasi dengan protestan dan penolak otoritas paus. Secara umum, keutamaan Petrus, yang menjadi dasar keutamaan Paus, merupakan doktrin yang kontroversial yang tetap memisahkan gereja-gereja Barat dan Timur serta Protestan.
Paus secara perlahan menyerahkan kekuatan temporalnya dan berfokus kepada isu spiritual. Pada 1870, Konsili Vatikan I memproklamasikan dogma infallibilitas paus untuk kesempatan yang sangat jarang paus secara ex cathedra ketika mengumumkan definisi luhur dari kepercayaan dan moral. Pada akhir tahun yang sama, Victor Emmanuel II berhasil merebut Roma dari pemerintahan Paus dan berhasil menyatukan Italia. Pada 1929, Perjanjian Lateran antara Italia dan Takhta Suci mendirikan negara Vatikan yang menjamin kemerdekaan Paus dari kekuasaan sekuler. Pada 1950, paus menetapkan "Maria diangkat ke Surga" sebagai dogma yang diumumkan secara ex cathedra sejak infabilitas Paus diumumkan.
Gereja Katolik mengajarkan bahwa dalam komunitas Kristen, para uskup sebagai satu himpunan telah menggantikan himpunan para rasul (suksesi apostolik) dan Uskup Roma telah menggantikan Santo Petrus.[49]
Beberapa teks Kitab Suci yang diajukan untuk mendukung posisi khusus Petrus dalam kaitannya dengan Gereja misalnya:
"Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga." (Matius 16:18-19)
"Simon, Simon, lihat, Iblis telah menuntut untuk menampi kamu seperti gandum, tetapi Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu." (Lukas 22:31-34)
"Gembalakanlah domba-domba-Ku." (Yohanes 21:17)
Kunci-kunci simbolis dalam lambang kepausan merujuk kepada frasa "kunci Kerajaan Surga" yang tertulis dalam teks pertama di atas. Beberapa penulis Protestan berpendapat bahwa "batu karang" yang dibicarakan oleh Yesus dalam teks ini adalah Yesus sendiri atau iman yang diungkapkan oleh Petrus.[50][51][52][53][54][55] Gagasan ini dilemahkan oleh penggunaan kata "Kefas" dalam Alkitab, yang merupakan bentuk maskulin dari "batu" dalam bahasa Aram untuk mendeskripsikan Petrus.[56][57][58] Encyclopædia Britannica menuliskan bahwa, "konsensus sebagian besar akademisi saat ini adalah bahwa pemahaman yang paling jelas dan tradisional seharusnya ditafsirkan, yaitu, kalau batu mengacu kepada pribadi Petrus."[59]
Pada mulanya, para paus dipilih oleh imam-imam senior di dalam dan dekat kota Roma. Pada 1059, pemilih dibatasi hanya oleh kardinal dari Gereja Katolik dan suara individu dari semua kardinal-elektor disamakan pada 1179. Pemilih sekarang dibatasi kepada kardinal yang belum mencapai usia 80 tahun pada hari sebelum kematian atau pengunduran diri paus. Karena seorang paus adalah Uskup Roma, calon paus haruslah orang yang dapat ditabiskan menjadi uskup, yakni para laki-laki Katolik yang telah dibaptis. Paus terakhir terpilih yang tidak status uskup saat itu adalah Paus Gregorius XVI pada tahun 1831, bahkan bukan tertabis adalah Paus Leo X pada tahun 1513, sedangkan paus bukan Kardinal terakhir yang terpilih adalah Paus Urban VI pada tahun 1378. Jika seseorang yang terpilih bukan merupakan seorang Uskup, dirinya haruslah ditabhiskan sebagai seorang Uskup sebelum pemilihannya diumumkan.
Konsili Lyon Kedua pada 7 Mei 1274 dilakukan untuk mengatur pemilihan paus. Konsili tersebut memutuskan bahwa kardinal-elektor haruslah berkumpul dalam waktu 10 hari setelah kematian paus dan tetap terisolir sampai dengan terpilihnya paus yang terpilih yang diputuskan akibat sede vacante selama tiga tahun akibat kematian Paus Clement IV pada 1268. Pada pertengahan abad XVI, proses pemilihan telah berubah menjadi bentuk kini yang mengizinkan variasi waktu antara kematian paus dan berkumpulnya pada kardinal-elektor.
Secara tradisi, pemilihan dilakukan secara aklamasi, seleksi komite atau pemungutan suara. Aklamasi merupakan prosedur yang paling sederhana, hanya disampaikan dengan suara dan digunakan terakhir pada 1621. Paus Yohanes Paulus II menghapuskan pemilihan melalui aklamasi dan seleksi komite dan sehingga pemilihan dilakukan dengan pemungutan suara melalui surat suara oleh Kolegium Kardinal.
Pemilihan paus hampir selalu dilakukan di Kapel Sistina di dalam pertemuan tertutup yang disebut konklaf (disebut demikian akibat kardinal-elektor secara teori dikunci, cum clave, yakni dengan kunci, sampai mereka memilih paus baru). Tiga kardinal dipilih dengan undian untuk mengumpulkan suara dari kardinal-elektor yang tidak hadir (karena sakit), tiga kardinal dipilih dengan undian untuk menghitung jumlah suara dan tiga kardinal dipilih dengan undian untuk meninjau perhitungan suara. Surat suara dibagikan dan setiap kardinal-elektor menulis nama pilihanya di kertas tersebut dan berjanji dengan suara keras bahwa dirinya memilih untuk "seseorang di bawah Tuhan yang saya pikir akan terpilih" sebelum melipat dan menaruh surat suaranya di atas lempengan di atas kaliks besar yang ditempatkan di altar. Kemudian nampan itu digunakan untuk menaruh surat suara ke dalam kaliks sehingga mempersulit pemilih memasukkan beberapa surat suara. Sebelum dibacakan, surat suara dihitung dalam posisi terlipat. Jika jumlah surat suara tidak sama dengan jumlah pemilih, semua surat suara dibakar dalam keadaan tertutup dan pemilihan ulang dilakukan. Selanjutnya surat suara dibacakan dengan keras oleh kardinal yang memimpin pemilihan dan membolong surat suara dengan jarum dan benang yang membuat semua surat suara terikat untuk menjaga akurasi dan kejujuran. Pemungutan suara dilakukan sampai dengan terpilihnya seseorang dengan dua-per-tiga suara.
Peraturan yang mengatur mengenai papal interregnum yaitu sede vacante dipromulgasikan oleh Paus Yohanes Paulus II pada dokumen Universi Dominici Gregis pada tahun 1996. Selama periode sede vacante, Kolegium Kardinal secara bersama-sama bertanggung jawab atas pengaturan Gereja dan Vatikan dibawah panduan dari Karmelengo Gereja Katolik. Namun, hukum kanonik melarang para kardinal untuk menetapkan inovasi baru di pengaturan Gereja selama masa sede vacante. Setiap keputusan yang memerlukan persetujuan oleh paus haruslah menunggu terpilihnya dan menjabatnya paus baru.
Pada abad-abad terakhir, ketika paus diputuskan telah meninggal, sebuah tradisi yang dilakukan oleh kardinal-chamberlain adalah memastikan kematian paus dengan cara mengetuk kepala paus tiga kali dengan palu perak dan memanggil namanya setiap palu diketukan. Tradisi tersebut tidak dilakukan pada kematian Paus Yohanes Paulus I dan Paus Yohanes Paulus II. Kemudian kardinal bendahara mengambil cincin nelayan paus dan memotongnya menjadi dua di depan para kardinal. Kemudian cap kepausan dirusak agar tidak dapat digunakan kembali dan kediaman resmi Paus disegel.
Jasad paus kemudian dibaringkan untuk masa penghormatan terakhir sebelum disemayamkan pada crypt (kubur) dari gereja utama atau katedral. Semua paus pada abad ke-20 dan 21 disemayamkan di Basilika Santo Petrus. Masa perkabungan selama sembilan hari (novendialis) kemudian mengikuti.
Paus terakhir yang mengundurkan diri adalah Paus Benediktus XVI pada tahun 2013. Kitab Hukum Kanonik (KHK) Tahun 1983 menyatakan bahwa pengunduran diri Paus dapat saja terjadi.
"Apabila Paus mengundurkan diri dari jabatannya, untuk sahnya dituntut agar pengunduran diri itu terjadi dengan bebas dan dinyatakan semestinya, tetapi tidak dituntut bahwa harus diterima oleh siapapun." (KHK 1983, Kanon 332 § 2)
Gelar resmi Paus, sesuai dengan yang tercantum pada Annuario Pontificio, adalah: Uskup Roma, Wakil Yesus Kristus, Pengganti Pangeran Para Rasul, Imam Agung Gereja Katolik, Primat Itali, Uskup Agung dan Metropolit Provinsi Roma, Kepala Negara Vatikan, Hamba dari hamba Allah. Gelar yang terkenal, Paus, tidak muncul dalam gelar resmi, tetapi pada umumnya muncul pada judul dokumen gereja dan muncul dalam tanda tangan dalam bentuk singkatan. Jadi, Paus Paulus VI menandatangani dokumen dengan "Paulus PP. VI" dengan PP. merupakan singkatan dari "Papa" ("Paus").
"Wakil Yesus Kristus" (Vicarius Iesu Christi) merupakan salah satu gelar pada Annuario Pontifico yang umumnya digunakan dalam bentuk singkat "Wakil Kristus" (Vicarius Christi). Walaupun menggunakan kata "wakil", gelar paus ini menunjukkan "keutamaan kepala Gereja di bumi yang membawa keutamaan misi Kristus dan kekuasaan yang diturunkan dari paus" yang ditunjukkan oleh dasar-dasar takhta Petrus.
Catatan pertama penerapan gelar ini tertulis pada sebuah sinode pada tahun 495 dengan merujuk pada Paus Gelasius I. Namun, pada masa tersebut sampai dengan abad ke-9, para uskup menyebut dirinya sebagai wakil Kristus. Pada abad ke-5 dan ke-6, gelar ini dapat merujuk kepada raja dan hakim, terutama kaisar Byzantine. Pada masa abad ke-3, gelar ini oleh Tertullian digunakan untuk menyebut Roh Kudus. Gelar spesifik untuk paus digunakan pada abad ke-13 sesuai reformasi dari Paus Innocentius III yang dapat dilihat pada suratnya kepada Leo I, raja Armenia.
Wakil Kristus dapat saja merujuk kepada para uskup, tidak hanya para paus. Hal ini digunakan pada Konsili Vatikan II sehingga para uskup disebut vicar dan ambassador dari Kristus. Hal ini juga diulang pada ensiklik Ut unum sint oleh Paus Yohanes Paulus II. Namun, gelar wakil Kristus yang disematkan pada uskup berbeda dengan gelar wakil Kristus yang disematkan pada paus yakni gelar pada uskup berarti terhadap gereja lokal namun pada paus berarti gereja secara keseluruhan.
"Imam Agung / Imam Besar" merupakan salah satu gelar yang digunakan oleh paus. Gelar paus ini juga disebut sebagai pontiff yang berasal dari bahasa Latin disebut pontifex bermakna secara leterik sebagai "pembangun jembatan" (pons + facere) dan merupakan anggota dari kolegium utama imam pada masa Romawi kuno. Kata pontifex dimaknai dalam Bahasa Yunani dengan kata ἱεροδιδάσκαλος (ierodidáskalos), ἱερονόμος (ieronómos), ἱεροφύλαξ (ierofýlax), ἱεροφάντης (ierofánti̱s), dan ἀρχιερεύς (archieréf̱s). Kepala dari kolegium tersebut disebut Pontifex Maximus (Pontiff terbesar).
Dalam kekristenan, kata pontifex muncul pada terjemahan Vulgata dari Perjanjian Baru untuk menyatakan imam agung Yahudi (dalam bahasa Yunani, ἀρχιερεύς). Pada mulanya, gelar ini dipergunakan untuk para uskup Kristen, namun menyempit maknanya pada abad ke-11 untuk uskup Roma yang dikatakan "Pontiff Roma". Penggunaan kata yang lama tercermin dalam istilah "Pontifikal Roma", yaitu sebuah buku yang berisi ritus khusus uskup, dan "Pontifikal" (insignia dari uskup).
Annuario Pontificio menulis bahwa salah satu gelar dari paus adalah Summus Pontifex Ecclesiae Universalis yang dapat diterjemahkan menjadi "Uskup Tertinggi/Imam Agung dari Gereja Universal". Para paus juga dapat disebut Summus Pontifex yang berarti "Imam Agung yang Berdaulat".
Pontifex Maximus yang memiliki arti serupa dengan Summus Pontifex, adalah gelar yang umum ditemukan pada inskripsi di bangunan, lukisan, patung dan koin kepausan, yang umumnya disingkat menjadi "Pont. Max" atau "P.M." Jabatan Pontifex Maximus dipegang oleh Julius Caesar dan selanjutnya, Kaisar Roma, sampai Gratian (375–383) menghapusnya. Tertulian, ketika ia masih seorang Montanis, menggunakan kata ini untuk mengejek paus maupun uskup Kartago. Para paus menggunakan gelar ini secara tetap pada abad ke-15.
Walaupun deskripsi ini telah digunakan oleh berbagai pemimpin Gereja yang lain, seperti St. Agustinus dan St. Benediktus, gelar "hamba segala hamba Allah" pertama kali dipergunakan oleh Paus Gregorius Agung sebagai tanggapan untuk merendah atas Patriarkh Konstantinopel Yohanes IV yang menggunakan gelar Patriarkh Ekuminis. Gelar ini kemudian menyempit penggunaannnya kepada paus pada abad ke-12.
Dari 1863 sampai 2005, Annuario Pontifico mencantumkan gelar Patriark Barat. Gelar ini digunakan pertama kali oleh Paus Theodorus I pada tahun 642 dan dipergunakan secara kadang kala. Pada 22 Maret 2006, Vatikan mengeluarkan pernyataan menjelaskan penghapusan gelar ini dengan dasar mengungkapkan "realitas historis dan teologis" dan "menjadi berguna untuk dialog ekumenis". Gelar ini menunjukkan hubungan khusus dan yurisdiksi antara gereja Latin dan paus. Penghapusan gelar ini tidak menunjukkan perubahan hubungan antara Takhta Suci dan Gereja-Gereja Timur yang telah diumumkan oleh Konsili Vatikan II. Namun pada tahun 2024, Paus Fransiskus memutuskan untuk mengembalikan gelar “Patriark Barat,” yang sebelumnya telah dihapus oleh Paus Benediktus XVI pada tahun 2006. Keputusan ini diambil untuk menegaskan kembali pentingnya hubungan tersebut dalam konteks modern.
Gelar lainnya yang dipergunakan kepada paus adalah "Bapa Suci" dalam Bahasa Indonesia.
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.