Remove ads
Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Park Chung-hee (Korea: 박정희, 30 September 1917 – 26 Oktober 1979 ) adalah mantan jenderal Angkatan Darat Republik Korea dan diktator Republik Korea pada periode 1961-1979. Ia dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia pada periode tambahan kepresidenannya.
Nama Korea | |
Hangul | 박정희 |
---|---|
Hanja | 朴正熙 |
Alih Aksara | Bak Jeonghui |
McCune–Reischauer | Pak Chŏnghŭi |
Nama pena | |
Hangul | 중수 |
Hanja | 中樹 |
Sebagai presiden, Park memulai serangkaian reformasi ekonomi yang akhirnya mengarah pada pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi yang pesat, sebuah fenomena yang sekarang dikenal sebagai Keajaiban di Sungai Han. Era ini juga menyaksikan terbentuknya chaebol: perusahaan keluarga yang didukung oleh negara mirip dengan zaibatsu Jepang. Contoh chaebol yang signifikan termasuk Hyundai, LG, dan Samsung.
Park Chung Hee pernah lolos dari beberapa percobaan pembunuhan. Salah satunya pada tanggal 15 Agustus 1974, seorang agen Korea Utara Mun Se-gwang mencoba menembak Park saat berpidato. Park lolos dari percobaan pembunuhan tersebut, namun istrinya Yuk Yeong-su tewas. Park tetap meneruskan pidatonya tanpa memperdulikan kondisi istrinya yang kritis. Ia akhirnya terbunuh pada 26 Oktober 1979 oleh Kim Jae-kyu, direktur KCIA dan teman lamanya.
Park Chung Hee kini dianggap sebagai salah satu pemimpin paling penting dalam sejarah Korea, meskipun warisannya sebagai diktator militer terus menimbulkan kontroversi. Jajak pendapat Gallup Korea pada bulan Oktober 2021 menunjukkan Park, Kim Dae-jung (lawan lama Park yang coba dia eksekusi), dan Roh Moo-hyun sebagai presiden dengan peringkat paling tinggi dalam sejarah Korea Selatan dalam hal meninggalkan warisan positif, terutama di kalangan konservatif Korea Selatan dan orang lanjut usia.[1] Putri sulung Park, Park Geun-hye, kemudian menjabat sebagai presiden Korea Selatan ke-11 dari tahun 2013 hingga ia didakwa dan dihukum atas berbagai tuduhan korupsi pada tahun 2017.
Park lahir sekitar pukul 11:00 pada tanggal 14 November 1917, di Sangmo-dong, kota Gumi, Keishōhoku-dō (Gyeongsang Utara), Chōsen dari ayah Park Sŏng-bin dan ibu Paek Nam-ŭi. Dia adalah anak bungsu dari delapan bersaudara. Dia berasal dari klan Park Goryeong.[2]
Park dilahirkan dalam keluarga yang sangat miskin dan selalu kekurangan makanan.[3][4] Menurut Park, ayahnya sebenarnya berasal dari kelas atas (yangban) dan ditetapkan untuk mewarisi kepemilikan keluarga yang moderat, namun hak waris ayahnya dicabut dan diasingkan dari klan setelah dia berpartisipasi dalam Revolusi Petani Donghak tahun 1894–1895.[5] Pada tahun 1916, Park yang sudah tua pindah ke desa istrinya di Sangmo-dong, di mana ia diberi sebidang tanah kecil. Menurut wawancara selanjutnya, dia tidak menggarap lahan bersama istrinya, dan malah minum alkohol dan berkeliaran. Menurut cendekiawan Chong-Sik Lee, ia berspekulasi bahwa Park Sŏng-bin tidak ingin terlihat bekerja karena hal itu menandakan penerimaan atas status yangban-nya yang hilang.[6]
Berbeda dengan ayah Park, ibu Park dilihat oleh teman-temannya sebagai orang yang rajin dan fokus. Dia mengelola rumah tangga dan pertanian. Dia berusia sekitar 43 tahun pada saat Park lahir. Karena usianya yang lanjut dan situasi ekonomi yang buruk, ia mencoba menggugurkan kehamilannya dengan berbagai teknik, termasuk dengan meminum semangkuk kecap dan melemparkan dirinya dari tempat tinggi. Namun, ketika Park Chung Hee akhirnya lahir, dia dilaporkan sangat menyayangi anaknya tersebut.[7][8]
Ketika Park berusia dua tahun, dia merangkak dari lantai yang ditinggikan dan mendarat di lubang api yang membara. Dia dengan cepat diselamatkan dari lubang, tetapi lengannya mengalami luka bakar parah. Selama sisa hidupnya, ia dikabarkan sengaja mengenakan kemeja berlengan panjang untuk menyembunyikan bekas lukanya.[4]
Seorang penulis biografi Park, Cho Gab-je, mewawancarai banyak orang yang mengenal Park, dan mendapat kesan bahwa masa kecil Park cukup bahagia. Menurut Cho, Park mempunyai banyak teman dekat, orang tuanya rukun, dan keluarganya penuh kasih sayang terhadapnya.
Park adalah orang kedua di keluarganya, setelah kakak laki-lakinya Park Sang Hee, yang bersekolah di sekolah dasar.[9] Ia pertama kali mendaftar pada tanggal 1 April 1927, ketika ia berusia sembilan tahun, dan akhirnya lulus pada tanggal 25 Maret 1932. Sekolahnya, Sekolah Dasar Gumi, berjarak 6 kilometer (3,7 mil)[10] dari rumahnya, dan melalui jalan yang berbahaya. Lee berteori bahwa perjalanan harian yang berat dan kurangnya makanan berdampak buruk pada tubuh Park. Park secara konsisten termasuk di antara siswa terpendek di setiap sekolah yang ia hadiri, dan sering digambarkan sebagai orang yang sakit-sakitan dalam catatan sekolahnya. Di kelas enam, tingginya 135,8 cm (4 kaki 5+1⁄2 inci) dan berat 30 kg. Terlepas dari hambatan fisiknya, dia adalah siswa yang rajin dan memiliki nilai bagus. Park diangkat menjadi ketua kelas selama beberapa tahun; Teman-teman sekelasnya belakangan mengenang bahwa ia bisa bersikap sombong dalam menegakkan disiplin, bahkan menampar beberapa dari mereka.[11]
Pada hari Minggu, Park bersekolah di seodang (sekolah tradisional), di mana ia menerima pendidikan klasik Tiongkok. Pada saat yang sama, Park sering hadir ke Gereja Presbiterian Sangmo di Gumi. Keluarganya sering menggodanya karena mereka tidak pernah datang ke gereja. Park pun akhirnya berhenti ke gereja saat ia lulus sekolah dasar. Beberapa dekade kemudian, dia menyumbangkan uang untuk memperbaiki gereja yang rusak akibat Perang Korea.[12]
Orang-orang yang mengenal Park saat kecil menggambarkannya sebagai orang yang kompetitif dan gigih. Teman-teman sekelasnya kemudian mengingat bahwa setelah dia kalah dalam sebuah lomba atau permainan, seperti panco atau ssireum (gulat Korea), dia akan mengejek lawannya dan menuntut pertandingan ulang sampai dia menang.
Teman-teman Park mengingatnya sebagai seorang yang sangat gemar membaca sejarah, ia sering berbicara penuh semangat dan panjang lebar tentang pahlawan sejarahnya.[13] Ketika ia berusia sekitar 13 tahun, Park menjadi pengagum Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte. Lee menyatakan Park terkesan karena "perawakan Napoleon yang pendek tidak menghalanginya untuk menjadi hebat". Sekitar waktu ini, dia juga mengidolakan laksamana Korea terkenal Yi Sun-sin. Park membaca biografi tentang laksamana karya Yi Gwangsu yang sangat menyentuh hatinya. Menurut Lee, sebagian besar isi biografi itu meremehkan politisi dan bahkan orang Korea pada umumnya, karena Yi Sun-sin yang kompeten diperlakukan dengan buruk oleh mereka selama hidupnya. Lee berspekulasi bahwa hal ini kemudian mempengaruhi gaya kepemimpinan otoriter Park.[14]
Pada tahun 1932, Park diterima di Taegu Normal School, sebuah sekolah menengah yang melatih guru sekolah dasar. Penerimaan siswa sangat kompetitif, karena ini adalah sekolah ketiga di Korea dengan biaya sekolah gratis, dan posisi mengajar secara historis dipandang bergengsi di Korea. Park diterima dari 1.070 pelamar di kelas yang terdiri dari 10 siswa Jepang dan 90 siswa Korea, dan menduduki peringkat ke-50 pada saat penerimaan.[15]
Meski gengsi dan biaya sekolah gratis, ibunya sebenarnya berharap ia tidak diterima. Biaya hidup yang dikeluarkan untuk pendidikannya, serta hilangnya bantuan dalam bertani akan memberikan beban yang cukup besar bagi keluarga. Menurut Lee, keluarga Park akan mengalami kesulitan ekonomi terburuk yang pernah mereka alami. Sekitar waktu ini, Asia sedang mengalami dampak Depresi Besar tahun 1929 dan kebijakan kolonial Jepang mengamanatkan bahwa orang Korea mengirimkan sebagian besar hasil pertanian mereka ke Jepang.[16]
Sekolah Park di Taegu bersifat militeristik, terutama karena perwira militer Jepang terlibat dalam menjalankannya. Pada musim gugur, seluruh sekolah berpartisipasi dalam enshū (演習)—program pelatihan militer. Menurut Lee, Park menikmati dan unggul dalam aspek-aspek pelatihan tersebut. Dia mempelajari kendo dan menjadi pemain terompet. Antusiasmenya menarik perhatian Letnan Kolonel Arikawa Keiichi (有川圭一, 1891–1945) dari Tentara Kwantung, yang menjalankan program pelatihan militer dan menyukai Park.[18]
Park menjadi tertarik, ia kemudian berhenti mengajar dan bergabung dengan militer. Namun bagi orang-orang sezamannya, peluangnya tampak kecil; masuk ke Akademi Militer Jepang sangat kompetitif bagi orang Korea ditambah nilai-nilai Park sendiri anjlok. Pada tahun 1935, dia berada di peringkat 73 dari 73 siswa di kelasnya, dan semakin sering bolos sekolah setiap tahunnya.[19] Guru Park mengaitkan hal ini dengan situasi ekonominya yang buruk. Lee berspekulasi bahwa ketidakhadiran tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan orang tuanya mengumpulkan cukup uang untuk biaya sekolah sebelum awal tahun ajaran, yang menyebabkan dia melewatkan beberapa minggu pertama setiap semester. Selain itu, kakak laki-laki Park, Sang Hee, kehilangan pekerjaannya (dan dua anaknya karena penyakit) pada tahun 1935, membuatnya tidak dapat membantu anggota keluarga lainnya.[20]
Sebaliknya, banyak teman sekelas Park berasal dari keluarga yang mampu secara finansial. Beberapa dari mereka mengenang bahwa Park merasa terhina dengan situasinya. Ketika mereka mengumpulkan uang untuk membeli makanan ringan, Park akan pamit dan merajuk sendirian. Salah satu teman sekelasnya ingat saat melihat Park menangis pada suatu malam. Dia dipulangkan untuk mengumpulkan uang untuk biaya hidupnya, meskipun dia tahu bahwa keluarganya tidak akan memilikinya. Lee berspekulasi bahwa Park menjadi lebih pragmatis dan penuh perhitungan selama masa ini, karena sifat-sifat tersebut diperlukan tidak hanya untuk tetap bersekolah, tetapi juga untuk menghindari kelaparan.[21]
Pada tahun 1934, Park diam-diam mulai berkencan dengan Yi Chŏng-ok, yang bersekolah di sekolah perempuan di kota yang sama. Ayah Park ingin melihat Park menikah sesegera mungkin, dan, karena tidak mengetahui tentang hubungan putranya, menjodohkannya dengan wanita lain: Kim Ho-nam. Keduanya menikah pada tahun 1935, saat Park masih mencintai Yi. Meskipun pernikahan tersebut pada akhirnya akan menghasilkan seorang anak perempuan, Kim terkejut dengan kemiskinan keluarga tersebut, dan pasangan tersebut sebisa mungkin menghindari satu sama lain. Setelah pernikahan mereka, Park punya waktu satu tahun lagi untuk bersekolah, jadi dia meninggalkannya di rumah Park yang kumuh dan kembali ke asrama.
Pada tanggal 20 Maret 1937, Park lulus dari Taegu, dengan peringkat 69 dari 70 di kelasnya.[22] Sebagai persyaratan dari sekolahnya, ia diharuskan mengajar setidaknya selama dua tahun,[23] dan ditempatkan di Sekolah Normal Umum Mungyeong. Sekolah tersebut berada di Mungyeong, yang sekarang menjadi objek wisata populer tetapi dulu menjadi kota pertambangan batu bara yang terisolasi. Dia akhirnya mulai menerima gaji yang cukup, yang sebagian dia kirimkan kepada keluarganya. Namun seperti yang pernah dia lakukan, murid-muridnya sering menempuh jarak jauh dengan berjalan kaki ke sekolah setiap hari serta kesulitan membeli makanan. Ia menawarkan bantuan kepada beberapa muridnya agar mereka tetap datang ke sekolah. Meskipun Park dikenang oleh murid-muridnya sebagai guru yang penuh perhatian dan antusias, Lee berspekulasi bahwa, di kota kecil seperti itu, Park kesepian dan kurang bersemangat. Dia dan teman sekamarnya minum banyak makgeolli—anggur beras Korea—untuk menghabiskan waktu.[24]
Tak lama setelah Park mulai mengajar, Jepang melancarkan Perang Tiongkok-Jepang Kedua, dan mulai meraih kemenangan signifikan secara berurutan. Park terinspirasi oleh kesuksesan Jepang. Ia bahkan menulis drama panggung yang diperankan oleh murid-muridnya, berjudul [The Korean] Volunteer Soldiers Go to War. Drama tersebut mencerminkan peristiwa saat itu juga, sekitar bulan Februari 1938, pemerintah kolonial telah melembagakan Sistem Pendaftaran Relawan Khusus. Ribuan pemuda Korea melamar, meskipun sebagian besar melamar dengan sukarela, banyak juga yang melamar karena gaji dan tunjangannya. Namun, militer Jepang enggan menerima warga Korea karena kekhawatiran akan kesetiaan mereka, sehingga hanya menerima sebagian kecil pelamar setiap tahunnya. Jika orang Korea bisa menunjukkan patriotisme yang tak tergoyahkan, mereka dianggap mempunyai peluang lebih besar untuk diterima.[25]
Pada tahun 1938, Park mendaftar ke Akademi Militer Angkatan Darat Manchukuo, yang akan dibuka pada tahun berikutnya. Namun, ia berusia tiga tahun melebihi batas usia maksimum 19 tahun untuk calon; sehingga ia menulis surat permintaan kepada panitia pendaftaran untuk mengabaikan usianya, namun akhirnya ditolak. Park mencari Kang Chae-ho, seorang kapten etnis Korea di Tentara Manchukuo dan penduduk asli Daegu untuk meminta nasihat. Kang menawarkan koneksinya untuk mendapatkan privilige bagi Park. Dia juga menyarankan Park untuk bersumpah darah (혈서; 血書; hyŏlsŏ) untuk menunjukkan kesetiaannya kepada Jepang dan menarik perhatian publik demi tujuannya.
Park kemudian melakukannya. Pada tanggal 31 Maret 1939, surat kabar Manchukuo Manshū Shimbun memuat artikel berjudul "Sumpah Darah: Keinginan Menjadi Perwira Angkatan Darat: Guru Muda dari Semenanjung".[26]
Pada tanggal 29, petugas penerimaan dari komando Pemerintahan Militer sangat tersentuh oleh surat dari Park Chung Hee, seorang guru di Sekolah Umum Mungyeong Barat di Provinsi Gyeongsang Utara, Korea. Di dalam surat tersebut terdapat sebuah surat penuh semangat yang mengungkapkan keinginan Park untuk menjadi seorang perwira militer, serta sebuah sumpah yang ditulis dengan darah bertuliskan "Pelayanan Sampai Mati" (一死以テ御奉公)... Namun, menjadi seorang perwira terbatas pada mereka yang sudah menjadi tentara; karena berusia 23 tahun, ia melampaui batas usia 19 tahun. Oleh karena itu dan dengan menyesal, lamarannya ditolak dengan sopan.
Terlepas dari penolakan kedua ini, Park akhirnya diterima di akademi. Keadaan seputar penerimaannya tidak diketahui secara pasti, bahkan menjadi sumber kontroversi.[27]
Teori utamanya adalah Arikawa, yang saat itu adalah seorang kolonel di Tentara Kwantung, secara pribadi meminta komandan akademi, Mayor Jenderal Nagumo, untuk mengizinkan Park masuk.[28]
Teori lain, yang diajukan oleh sejarawan Korea-Tiongkok Ryu Yŏn-san pada tahun 2003, menyatakan bahwa Park mungkin bergabung dengan Pasukan Khusus Gando sebagai wujud kesetiaannya. Unit ini dimaksudkan untuk menekan Gerakan Kemerdekaan Korea di wilayah Jiandao ("Gando" dalam bahasa Korea, "Kantō" dalam bahasa Jepang) di Tiongkok Timur Laut. Namun teori ini ditolak oleh penulis biografi Cho Gab-je dan Chong-Sik Lee, yang berpendapat bahwa kesaksian yang mendasari teori tersebut tidak sejalan dengan kronologi peristiwa yang diterima secara luas dalam kehidupan Park.[29][30]
Pada masa ini, ia mengadopsi nama Jepang Takagi Masao (高木正雄).[31] Dia lulus dengan nilai tertinggi di kelasnya pada tahun 1942 dan diakui sebagai perwira berbakat oleh instruktur Jepangnya, yang merekomendasikan dia untuk studi lebih lanjut di Akademi Angkatan Darat Kekaisaran Jepang di Jepang. Bakatnya sebagai perwira segera diakui dan dia adalah salah satu dari sedikit orang Korea yang diizinkan bersekolah di Akademi Angkatan Darat Kekaisaran Jepang dekat Tokyo. Dia kemudian ditempatkan di resimen Angkatan Darat Jepang di Manchuria dan bertugas di sana sampai Jepang menyerah pada akhir Perang Dunia II.[32]
Setelah lulus sebagai peringkaat kelima pada angkatan 1944, Park ditugaskan sebagai letnan di Angkatan Darat di Manchukuo, negara boneka Jepang, dan bertugas selama tahap akhir Perang Dunia II sebagai aide-de-camp komandan resimen.[33]
Park kembali ke Korea setelah perang dan mendaftar di Akademi Militer Korea. Dia lulus di angkatan kedua pada tahun 1946 (salah satu teman sekelasnya adalah Kim Jae-gyu, teman dekatnya dan kemudian menjadi pembunuhnya) dan menjadi perwira di Angkatan Kepolisian di bawah Pemerintahan Militer Angkatan Darat Amerika Serikat di Korea. Pemerintah Korea Selatan yang baru dibentuk, di bawah kepemimpinan Syngman Rhee, menangkap Park pada bulan November 1948 dengan tuduhan bahwa ia memimpin sel Komunis di kepolisian Korea. Park kemudian dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer, namun hukumannya diringankan oleh Rhee atas desakan beberapa perwira tinggi militer Korea.[32]
Meskipun Park pernah menjadi anggota Partai Buruh Korea Selatan, tuduhan mengenai keterlibatannya dalam sel militer tidak pernah terbukti. Meski begitu, dia terpaksa keluar dari militer. Saat bekerja di Angkatan Darat sebagai asisten sipil yang tidak dibayar, ia bergaul dengan beberapa lulusan angkatan ke-8 Akademi Militer Korea (lulus tahun 1950), di antaranya adalah Kim Jong-pil, dan kelompok ini yang kemudian menjadi tulang punggung Kudeta 16 Mei. Tepat setelah Perang Korea dimulai dan dengan bantuan Paik Sun-Yup, Park kembali aktif bertugas sebagai mayor di Angkatan Darat Korea Selatan.[32]
Ia dipromosikan menjadi letnan kolonel pada bulan September 1950 dan menjadi kolonel pada bulan April 1951. Sebagai seorang kolonel, Park adalah wakil direktur Biro Intelijen Markas Besar Angkatan Darat pada tahun 1952 sebelum beralih ke artileri dan memimpin Korps Artileri II dan III selama perang. Pada saat perang berakhir pada tahun 1953, Park telah naik pangkat menjadi brigadir jenderal. Setelah penandatanganan Perjanjian Gencatan Senjata Korea, Park dipilih untuk mengikuti pelatihan enam bulan di Fort Sill di Amerika Serikat.[34]
Setelah kembali ke Korea, karier Park semakin meningkat. Dia adalah kepala Sekolah Artileri Angkatan Darat dan memimpin Divisi 5 dan 7 tentara Korea Selatan sebelum dipromosikan menjadi mayor jenderal pada tahun 1958.[32] Park kemudian diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat Pertama dan diangkat menjadi kepala Komando Distrik 1 dan 6 Korea, yang memberinya tanggung jawab untuk pertahanan Seoul. Pada tahun 1960, Park menjadi komandan Komando Logistik Pusan sebelum menjadi Kepala Staf Operasi Angkatan Darat Korea Selatan dan wakil komandan Angkatan Darat Kedua. Oleh karena itu, ia adalah salah satu tokoh paling berkuasa dan berpengaruh di militer.[32]
Pada tanggal 26 April 1960, Syngman Rhee, Presiden Korea Selatan perdana yang berkuasa secara otoriter, dipaksa turun dari jabatannya dan diasingkan setelah Gerakan 19 April, pemberontakan yang dipimpin mahasiswa. Pemerintahan demokratis yang baru mulai menjabat pada tanggal 13 Agustus 1960. Namun, masa pemerintahan parlementer di Korea Selatan hanya berumur pendek. Yun Bo-seon hanya menjadi presiden boneka sedangkan kekuasaan sesungguhnya berada di tangan Perdana Menteri Chang Myon. Permasalahan segera muncul karena tidak ada pemimpin yang dapat memperoleh dukungan dari suara mayoritas Partai Demokrat atau mencapai kesepakatan mengenai komposisi kabinet. Perdana Menteri Chang berusaha untuk mempertahankan koalisi yang lemah dengan merombak posisi kabinet sebanyak tiga kali dalam waktu lima bulan.[35]
Sementara itu, pemerintahan baru terjebak antara perekonomian yang menderita akibat mismanajemen dan korupsi selama satu dekade di bawah kepemimpinan Rhee dan para mahasiswa yang menghasut pemecatan Rhee. Para pengunjuk rasa secara teratur memenuhi jalan-jalan dan menyampaikan tuntutan mengenai reformasi politik dan ekonomi yang lebih luas. Keamanan publik memburuk ditambah masyarakat yang tidak mempercayai polisi, karena berada di bawah kendali pemerintahan Rhee. Selain itu, Partai Demokrat yang berkuasa juga kehilangan dukungan publik setelah pertikaian antar faksi yang berkepanjangan.
Dengan dalih ketidakstabilan dan perpecahan sosial, Mayor Jenderal Park membentuk Komite Revolusi Militer. Ketika dia mengetahui bahwa dia memasuki masa pensiun dalam beberapa bulan ke depan, dia mempercepat rencana Komite. Mereka memimpin kudeta militer pada 16 Mei 1961, yang dipimpin oleh Kepala Staf Angkatan Darat Chang Do-yong setelah pembelotannya pada hari dimulainya kudeta. Pengambilalihan militer membuat pemerintahan Presiden Yun yang terpilih secara demokratis tidak berdaya, sehingga mengakhiri Republik Korea Kedua.
Awalnya, pemerintahan baru dibentuk dari kalangan perwira militer yang mendukung Park. Dewan Tertinggi Rekonstruksi Nasional bentukan reformis militer secara nominal dipimpin oleh Jenderal Chang. Setelah penangkapan Chang pada bulan Juli 1961, Park mengambil kendali keseluruhan dewan. Kudeta ini disambut baik oleh masyarakat umum yang kelelahan karena kekacauan politik. Meskipun Perdana Menteri Chang dan Jenderal AD Amerika Serikat Carter Magruder menolak upaya kudeta, Presiden Yun memihak militer dan membujuk Angkatan Darat Ke-8 Amerika Serikat dan para komandan berbagai unit tentara Korea Selatan untuk tidak ikut campur dalam pemerintahan baru.[35]
Segera setelah kudeta, Park dipromosikan menjadi Letnan Jenderal. Sejarawan Korea Selatan Hwang Moon Kyung menggambarkan pemerintahan Park sebagai sangat "militeristik", dan sejak awal ia menyatakan bahwa Park bertujuan untuk memobilisasi masyarakat Korea Selatan mengikuti "garis disiplin militer". Salah satu tindakan pertama Park setelah berkuasa adalah kampanye untuk "membersihkan" jalanan dengan menangkap dan mempekerjakan para tunawisma di "pusat kesejahteraan".
Sejarawan Amerika Carter Eckert menulis bahwa historiografi, termasuk karyanya seputar Park cenderung mengabaikan "gajah besar di dalam ruangan" yaitu cara Park melakukan kündaehwa (modernisasi) Korea Selatan dipengaruhi oleh cara khas militeristiknya dalam memahami dunia. Sedangkan sifat Japanofilia Park dari pendidikan militer Jepangnya dapat menciptakan apa yang oleh para sejarawan Korea Selatan disebut sebagai " kediktatoran pembangunan". Eckert menyebut Korea Selatan di bawah kepemimpinan Park sebagai salah satu negara paling termiliterisasi di seluruh dunia, menulis bahwa Park berupaya memiliterisasi masyarakat Korea Selatan dengan cara yang belum pernah dilakukan oleh pemimpin Korea Selatan lainnya.
Di Angkatan Darat Kekaisaran Jepang, ada kepercayaan bahwa Bushido akan memberi tentara Jepang "semangat" yang cukup sehingga membuat mereka tak terkalahkan dalam pertempuran, karena Jepang menganggap perang hanyalah masalah kemauan dan pihak yang lebih kuat akan selalu menang. Mencerminkan latar belakangnya sebagai seorang pria yang dilatih oleh perwira Jepang, salah satu ungkapan favorit Park adalah "kita bisa melakukan apa pun jika kita mencoba" karena Park berpendapat bahwa semua masalah dapat diatasi hanya dengan kemauan keras. Eckert menulis ketika mewawancarai teman-teman terdekat Park, dia selalu mendapat jawaban yang sama ketika dia bertanya kepada mereka apa pengaruh penting bagi Park, yaitu pelatihan perwira oleh Jepang di Manchukuo.[36] Semua teman Park memberi tahu Eckert bahwa untuk memahaminya, seseorang perlu memahami Ilbonsik sagwan kyoyuk (pelatihan perwira Jepang) karena semua aspek itu mempertahankan pribadi Park sebagai perwira Angkatan Darat Kekaisaran Jepang.[36]
Pada tanggal 19 Juni 1961, dewan militer membentuk Badan Intelijen Nasional (Korea Selatan) atau KCIA untuk mencegah kudeta balasan dan menekan musuh potensial, baik asing maupun dalam negeri. Selain diberi kewenangan investigasi, KCIA juga diberi kewenangan untuk menangkap dan menahan siapa pun yang dicurigai melakukan kesalahan atau memiliki sentimen anti-pemerintah. Di bawah direktur pertamanya, pensiunan Brigjen Kim Jong-pil, kerabat Park dan salah satu perencana awal kudeta, KCIA akan memperluas kekuasaannya pada urusan ekonomi dan luar negeri.[37]
Presiden Yun tetap menjabat, memberikan legitimasi kepada rezim militer. Setelah Yun mengundurkan diri pada tanggal 24 Maret 1962, Letnan Jenderal Park, yang tetap menjadi ketua Dewan Tertinggi untuk Rekonstruksi Nasional, mengkonsolidasikan kekuasaannya dengan menjadi penjabat presiden; dia juga dipromosikan menjadi jenderal penuh. Park setuju untuk memulihkan pemerintahan sipil menyusul tekanan dari pemerintahan Kennedy.[38]
Pada tahun 1963, ia terpilih sebagai presiden dengan haknya sendiri sebagai kandidat dari Partai Republik Demokratik yang baru dibentuk. Dia menunjuk Park Myung-keun, Wakil Pemimpin partai sebagai kepala Kantor Kepresidenan. Dia mengalahkan mantan Presiden Yun, kandidat dari Partai Pemerintahan Sipil, dengan selisih tipis 156.000 suara—margin 1,5 persen. Park terpilih kembali sebagai presiden pada tahun 1967, mengalahkan Yun dengan sedikit kesulitan.
Pada bulan Juni 1965 Park menandatangani Perjanjian Normalisasi Hubungan dengan Jepang, yang mencakup pembayaran reparasi dan pemberian pinjaman lunak dari Jepang. Hal ini menyebabkan peningkatan perdagangan dan investasi antara Korea Selatan dan Jepang. Pada bulan Juli 1966 Korea Selatan dan Amerika Serikat menandatangani Status of Forces Agreement yang membangun hubungan yang lebih setara antara kedua negara. Dengan kekuatan ekonomi yang semakin besar dan jaminan keamanan dari Amerika Serikat, ancaman invasi konvensional dari Korea Utara nampaknya semakin kecil. Menyusul eskalasi Perang Vietnam dengan pengerahan pasukan tempur darat pada bulan Maret 1965, Korea Selatan mengirimkan Divisi Capital dan Brigade Marinir ke-2 ke Vietnam Selatan pada bulan September 1965, diikuti oleh Divisi Kuda Putih pada bulan September 1966. Sepanjang tahun 1960-an, Park menyampaikan pidato yang menyalahkan Aliansi Inggris-Jepang dan Inggris atas pengambilalihan Korea oleh Jepang.[39]
Atas permintaan Amerika Serikat, Park mengirimkan sekitar 320.000 tentara Korea Selatan untuk berperang bersama Amerika Serikat dan Vietnam Selatan selama Perang Vietnam. Alasan yang dikemukakan untuk hal ini adalah untuk membantu menjaga hubungan baik dengan Amerika Serikat, mencegah kemajuan komunisme lebih lanjut di Asia Timur[40] dan untuk meningkatkan kedudukan Republik ini di dunia internasional. Pada bulan Januari 1965, pada hari ketika sebuah rancangan undang-undang yang mewajibkan pengerahan pasukan dalam jumlah besar disahkan oleh Majelis Nasional (dengan 106 suara mendukung dan 11 menolak),[41] Park mengumumkan bahwa sudah "waktunya bagi Korea Selatan untuk melepaskan diri dari posisi pasif dalam menerima bantuan atau intervensi yang menderita, dan untuk mengambil peran proaktif dalam mengambil tanggung jawab terhadap isu-isu internasional yang besar.” Tentara Korea Selatan pada akhirnya tidak mampu mengalahkan Viet Cong, meskipun Korea Selatan dinilai cukup berhasil. Mereka juga terkenal karena kebrutalannya terhadap warga sipil dan dituduh melakukan banyak pembantaian "ala Pembantaian My Lai".
Meskipun tujuan utamanya adalah untuk memperkuat aliansi militer dengan Amerika Serikat, tetapi pemerintah Korea Selatan juga mendapat insentif finansial karena partisipasi mereka dalam perang tersebut. Personel militer Korea Selatan dibayar oleh pemerintah federal Amerika Serikat dan gaji mereka dikirimkan langsung ke pemerintah Korea Selatan. Park sangat ingin mengirim pasukan Korea Selatan ke Vietnam dan berkampanye dengan penuh semangat untuk memperpanjang perang. Sebagai imbalan atas komitmen pasukan, Korea Selatan menerima hibah, pinjaman, subsidi, transfer teknologi, dan pasar istimewa senilai puluhan miliar dolar, semuanya disediakan oleh pemerintahan Johnson dan Nixon.
Park mengawasi perubahan transisi antara kedua Korea dari konflik menuju konsolidasi. Pada tahun 1961, pemimpin Korea Utara, Kim Il Sung diam-diam mengirim Hwang Tae-song, mantan teman Park Chung Hee dan wakil menteri di kementerian perdagangan, ke Korea Selatan, dengan harapan dapat meningkatkan hubungan antar-Korea. Namun, untuk menghilangkan kecurigaan tentang kecenderungan Komunisnya dan meyakinkan orang Amerika tentang pendiriannya yang tegas sebagai sekutu, Park memutuskan untuk mengeksekusi Hwang sebagai mata-mata.[42]
Mulai bulan Oktober 1964, Korea Utara meningkatkan infiltrasi para pengumpul intelijen dan propaganda ke Korea Selatan. Lebih dari 30 tentara Korea Selatan dan setidaknya 10 warga sipil tewas dalam bentrokan dengan penyusup Korea Utara pada bulan Oktober 1966.
Pada bulan Oktober 1966, Park memerintahkan Angkatan Darat Korea untuk melakukan serangan balasan tanpa meminta persetujuan Jenderal Charles Bonesteel. Tindakan yang merupakan pembalasan atas kerugian yang dialami Korea Selatan ini menimbulkan ketegangan antara pemerintahan Park dan komando AS di Korea, yang tidak ingin melanggar gencatan senjata. Antara tahun 1966 dan 1969 bentrokan meningkat ketika angkatan bersenjata Park terlibat dalam baku tembak di sepanjang DMZ (wilayah demiliterisasi) Korea. Pertempuran tersebut, terkadang disebut sebagai Perang Korea Kedua, terkait dengan pidato Kim Il Sung pada tanggal 5 Oktober 1966, di mana pemimpin Korea Utara menantang keabsahan Perjanjian Gencatan Senjata tahun 1953. Hal ini akan memaksa Amerika Serikat untuk mempertimbangkan kembali komitmennya di seluruh dunia karena AS tengah fokus ke Vietnam. Perpecahan apa pun akan memberikan peluang bagi Korea Utara untuk menghasut pemberontakan di Selatan melawan Park.
Pada tanggal 21 Januari 1968, 31 anggota dari Unit 124, pasukan komando pasukan khusus Tentara Rakyat Korea Utara berusaha membunuh Park dan hampir berhasil. Mereka dihentikan hanya 800 meter dari Gedung Biru oleh patroli polisi. Baku tembak terjadi dan semua kecuali dua warga Korut tewas atau ditangkap. Menanggapi upaya pembunuhan tersebut, Park mengorganisir Unit 684, sebuah kelompok yang dimaksudkan untuk membunuh Kim Il-Sung. Namun kelompok itu dibubarkan pada tahun 1971. Meskipun ada permusuhan, negosiasi dilakukan antara Utara dan Selatan mengenai reunifikasi. Pada tanggal 4 Juli 1972, kedua negara mengeluarkan pernyataan bersama yang menetapkan bahwa reunifikasi harus dicapai secara internal tanpa bergantung pada kekuatan eksternal atau campur tangan luar. Departemen Luar Negeri Amerika Serikat tidak senang dengan usulan ini dan, setelah pembunuhan Park pada tahun 1979, usulan tersebut dikuburkan secara diam-diam.
Pada tanggal 15 Agustus 1974, Park sedang menyampaikan pidato di Teater Nasional di Seoul pada upacara perayaan 29 tahun berakhirnya pemerintahan kolonial ketika seorang pria bernama Mun Se-gwang menembakkan pistol ke Park dari barisan depan. Tembakan pria yang merupakan simpatisan Korea Utara kelahiran Jepang itu meleset dari Park, tetapi peluru nyasar mengenai istrinya Yuk Young-soo (yang meninggal pada hari itu juga) dan orang lain di atas panggung. Park melanjutkan pidatonya saat istrinya yang sekarat dibawa keluar panggung.[43] Mun digantung di penjara Seoul empat bulan kemudian. Pada peringatan pertama kematian istrinya, Park menulis dalam buku hariannya, "Aku merasa seolah-olah diriku telah kehilangan segalanya di dunia. Semua hal menjadi beban dan aku kehilangan keberanian dan kemauanku. Setahun telah berlalu sejak itu. Dan selama itu aku sudah terlalu sering menangis sendirian secara diam-diam."[44]
Salah satu tujuan utama Park adalah untuk mengakhiri kemiskinan di Korea Selatan, dan mengangkat negara tersebut dari perekonomian terbelakang menjadi perekonomian maju melalui metode statistik. Dengan menggunakan model ala Uni Soviet dan Rencana Lima Tahunnya, Park meluncurkan Rencana Lima Tahun pertamanya pada tahun 1962 dengan mendeklarasikan kota Ulsan sebagai "zona pengembangan industri khusus".[45] Chaebol Hyundai memanfaatkan status khusus Ulsan untuk menjadikan kota ini sebagai rumah bagi pabrik utamanya.[46]
Park dianggap berperan penting dalam pengembangan ekonomi macan Korea Selatan dengan mengalihkan fokusnya ke industrialisasi yang berorientasi ekspor. Saat berkuasa pada tahun 1961, pendapatan per kapita Korea Selatan hanya US$72,00. Korea Utara mempunyai kekuatan ekonomi dan militer yang lebih besar di semenanjung ini. Hsl ini karena sejarah industri berat yang dimiliki Korea Utara seperti pabrik listrik dan kimia ditambah sejumlah besar bantuan ekonomi, teknis dan keuangan yang diterimanya dari negara-negara blok komunis lainnya seperti Uni Soviet, Jerman Timur dan Tiongkok.
Salah satu reformasi yang dilakukan Park adalah menyediakan listrik 24 jam pada tahun 1964, yang merupakan perubahan besar karena sebelumnya rumah dan tempat usaha mendapat listrik selama beberapa jam setiap hari. Dengan Rencana Lima Tahun kedua pada tahun 1967, Park mendirikan Kawasan Industri Kuro di barat daya Seoul, dan mendirikan Pohang Iron and Steel Company Limited milik negara untuk menyediakan baja murah bagi chaebol, yang mendirikan pabrik mobil dan galangan kapal pertama di Korea Selatan.[46] Pemerintahan Park menilai perusahaan lewat nilai statistik, mereka akan memberi beberapa penghargaan kepada chaebol yang memenuhi target mereka berdasarkan Rencana Lima Tahun. Penghargaan itu berupa pinjaman dengan syarat pembayaran yang mudah, perizinan yang cepat, pemotongan pajak, dan subsidi.[47]
Sejak akhir tahun 1960-an dan seterusnya, sudah menjadi hal yang lumrah bagi masyarakat Korea Selatan untuk membicarakan sifat "gurita" dari chaebol ketika mereka mulai memperluas "tentakel" mereka ke seluruh bidang perekonomian.[47] Beberapa chaebol sukses seperti Lucky Goldstar (LG) dan Samsung yang didirikan pada zaman Jepang serta Hyundai yang didirikan tak lama setelah berakhirnya kekuasaan Jepang; semuanya akan menjadi perusahaan terkenal di dunia.[47] Hyundai, yang dimulai sebagai perusahaan transportasi yang memindahkan pasokan untuk Angkatan Darat AS selama Perang Korea kemudian akan mendominasi industri konstruksi Korea Selatan pada tahun 1960-an. Pada tahun 1967, Hyundai membuka pabrik mobil pertamanya, memproduksi mobil di bawah lisensi Ford.[47]
Pada tahun 1970, Hyundai menyelesaikan pembangunan Jalan Tol Seoul-Pusan, yang menjadi salah satu jalan raya tersibuk di Korea Selatan, lalu pada tahun 1975 Hyundai memproduksi Pony, mobil pertamanya yang dirancang sepenuhnya oleh para insinyurnya sendiri. Selain manufaktur mobil dan konstruksi, Hyundai beralih ke pembuatan kapal, semen, bahan kimia dan elektronik, hingga akhirnya menjadi salah satu perusahaan terbesar di dunia.[48] Pada tanggal 3 Agustus 1972, Park membuat kebijakan "UU keuangan darurat tanggal 3 Agustus (8·3긴급금융조치)" yang melarang semua pinjaman swasta untuk dijadikan landasan pertumbuhan ekonomi, dan lebih mendukung Chaebol.[49]
Tanda pertumbuhan ekonomi Korea Selatan adalah pada tahun 1969 terdapat 200.000 pesawat televisi yang beroperasi di sana sedangkan pada tahun 1979 terdapat enam juta televisi yang beroperasi di Korea Selatan. Pada tahun 1969, hanya 6% keluarga Korea Selatan yang memiliki televisi; pada tahun 1979 empat dari setiap lima keluarga Korea Selatan memiliki TV. Namun, semua televisi di Korea Selatan berwarna hitam putih, dan televisi berwarna baru masuk ke Korea Selatan pada tahun 1979.[50] Melihat pertumbuhan kepemilikan TV, Korean Broadcasting System (KBS) milik negara mulai memproduksi lebih banyak program, sementara perusahaan swasta MBC TV mulai beroperasi pada tahun 1969. Selama era Yushin, produksi televisi mengalami sensor ketat, misalnya pria berambut panjang dilarang tampil di TV, namun sinetron menjadi fenomena budaya pada tahun 1970-an dan menjadi sangat populer.[50]
Industri Korea Selatan mengalami perkembangan luar biasa di bawah kepemimpinan Park. Park melihat model pembangunan Jepang, khususnya Kementerian Perdagangan dan Industri Internasional Jepang (MITI) dan Keiretsu, sebagai contoh bagi Korea. Park meniru MITI dengan membentuk Kementerian Perdagangan dan Industri (MTI) dan Badan Perencanaan Ekonomi (EPB). Kerja sama pemerintah-perusahaan dalam memperluas ekspor Korea Selatan membantu mendorong pertumbuhan beberapa perusahaan Korea Selatan menjadi konglomerat raksasa Korea saat ini, yaitu chaebol.
Menurut Gapminder Foundation, kemiskinan ekstrem berkurang dari 66,9 persen pada tahun 1961 menjadi 11,2 persen pada tahun 1979, menjadikannya salah satu pengurangan kemiskinan tercepat dan terbesar dalam sejarah umat manusia. Pertumbuhan ini juga mencakup penurunan angka kematian anak dan peningkatan angka harapan hidup. Dari tahun 1961 hingga 1979 angka kematian anak menurun sebesar 64%, penurunan angka kematian anak tercepat ketiga di antara negara mana pun yang berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa pada periode yang sama.[51]
Setelah menjabat untuk masa jabatan keduanya pada tahun 1967, Park berjanji bahwa sesuai dengan Konstitusi tahun 1963 yang membatasi presiden hanya untuk dua periode berturut-turut, ia akan mengundurkan diri pada tahun 1971. Namun, segera setelah kemenangannya pada tahun 1967, Partai Republikan Demokrat yang mendominasi Majelis Nasional berhasil mendorong amandemen yang memungkinkan presiden petahana – Park sendiri – untuk mencalonkan diri selama tiga periode berturut-turut.
Sementara itu, Park semakin cemas dengan perubahan kebijakan AS menuju komunisme di bawah Doktrin Guam milik Richard Nixon. Legitimasi pemerintahannya bergantung pada sikap anti-komunisme yang kuat, dan sikap sekecil apa pun yang dilakukan sekutu Korea Selatan (termasuk AS) terhadap kebijakan tersebut akan mengancam fondasi pemerintahannya. Park mulai mencari opsi untuk semakin memperkuat kekuasaannya di negara tersebut. Pada bulan Mei 1970, penyair Katolik Kim Chi-ha ditangkap karena diduga melanggar Undang-Undang Anti-Komunis karena puisinya "Lima Bandit", yang sebenarnya tidak merujuk pada Komunisme baik secara eksplisit maupun implisit, melainkan menyerang korupsi di bawah pemerintahan Park. Majalah jurnal Sasanggye yang menerbitkan "Lima Bandit" ditutup oleh pemerintah.[52]
Salah satu tokoh bandit dari "Lima Bandit" digambarkan sebagai seorang jenderal yang memulai kariernya berjuang untuk Jepang dalam Perang Dunia Kedua, dan semua bandit dalam puisi tersebut digambarkan sebagai kolaborator Chinilpa yang melayani Jepang karena keserakahan dan amoralitas mereka. Park merasa penyebutan dirinya dalam "Lima Bandit" lewat karakter jenderal sedangkan fakta bahwa semua bandit memiliki latar belakang Chinilpa merupakan referensi dari basis sosial rezim Park. Pada tahun 1974, Kim dijatuhi hukuman mati karena puisinya, dan meskipun ia tidak dieksekusi, ia menghabiskan hampir seluruh tahun 1970-an di penjara.[53]
Kemudian pada tahun 1970, Park meluncurkan Saemaul Undong (Gerakan Desa Baru) yang bertujuan untuk memodernisasi pedesaan dengan menyediakan listrik dan air mengalir kepada para petani, membangun jalan beraspal, dan mengganti atap jerami dengan atap seng. Proyek atap tersebut dikatakan mencerminkan obsesi pribadi Park, yang tidak tahan melihat atap jerami di rumah petani, yang baginya merupakan tanda keterbelakangan Korea Selatan.[54] Park menggunakan asbes untuk memperbaiki rumah pedesaan, yang berbahaya bagi manusia.
Pada tahun 1971, Park memenangkan pemilihan umum melawan saingannya, Kim Dae-jung. Pada bulan Desember tahun itu, tak lama setelah dilantik, ia mendeklarasikan keadaan darurat "berdasarkan kenyataan berbahaya dari situasi internasional". Pada bulan Oktober 1972, Park membubarkan badan legislatif dan menangguhkan Konstitusi tahun 1963 melalui kudeta mandiri. Pekerjaan kemudian dimulai pada penyusunan konstitusi baru. Park mendapatkan inspirasi kudeta dari Ferdinand Marcos, Presiden Filipina, yang merencanakan kudeta serupa beberapa minggu sebelumnya.
Sebuah konstitusi baru, yang disebut Konstitusi Yushin, disetujui melalui pemungutan suara yang sangat curang pada bulan November 1972. Terjemahannya adalah "peremajaan" atau "pembaruan" (serta "restorasi" dalam beberapa konteks). Para ahli melihat penggunaan istilah tersebut sebagai referensi Park sendiri sebagai "presiden kekaisaran".[55]
Konstitusi Yushin yang baru adalah dokumen yang sangat otoriter. Konstitusi ini merubah proses pemilihan presiden ke lembaga pemilihan, Konferensi Nasional untuk Unifikasi. Hal ini juga secara dramatis memperluas kekuasaan presiden. Khususnya, ia diberi kekuasaan luas untuk memerintah melalui dekrit dan menangguhkan kebebasan konstitusional. Masa jabatan presiden ditingkatkan dari empat menjadi enam tahun, tanpa batasan untuk pemilihan kembali. Untuk semua maksud dan tujuan ini, Park merubah kekuasaan daruratnya menjadi kediktatoran yang sah. Sesuai konstitusi barunya, Park mencalonkan diri untuk masa jabatan baru sebagai presiden pada bulan Desember 1972, dan menang tanpa lawan. Dia terpilih kembali pada tahun 1978 juga tanpa lawan. Banyak penulis terkemuka Korea Selatan menentang rezim Park, dan banyak puisi serta novel terbaik tahun 1970-an yang menyindir sistem Yushin.[56]
Park berpendapat bahwa demokrasi liberal gaya Barat tidak cocok untuk Korea Selatan karena perekonomiannya yang masih goyah. Ia percaya bahwa demi kepentingan stabilitas, negaranya memerlukan "demokrasi gaya Korea" dengan kepemimpinan presiden yang kuat dan tidak tertandingi.[57] Meskipun ia berulang kali berjanji untuk membuka rezim dan memulihkan demokrasi penuh, semakin sedikit orang yang mempercayainya.
Pada tahun 1975, dalam persiapan pencalonan Korea Selatan untuk menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Panas 1988, ia memerintahkan polisi untuk 'membersihkan' jalanan dan mengusir pengemis, gelandangan, dan pedagang kaki lima yang memberikan citra buruk pada negara tersebut di luar negeri. Petugas polisi yang dibantu oleh pemilik toko akan menangkap pengemis, pedagang kecil-kecilan yang menjual permen karet dan pernak-pernik, orang cacat, anak-anak hilang atau tanpa pengawasan, dan para pembangkang, termasuk mahasiswa yang memegang selebaran anti-pemerintah. Ribuan orang menjadi korban kampanye pembersihan sosial ini, dikirim ke tiga puluh enam kamp dan menjadi sasaran kerja paksa, tanpa bayaran, serta penyiksaan dan pemerkosaan berulang kali. Pada tahun 1986, jumlah narapidana melonjak dalam lima tahun dari 8.600 menjadi lebih dari 16.000, menurut dokumen pemerintah. Secara resmi, 513 orang meninggal karena kelelahan di kamp-kamp ini, namun jumlahnya mungkin jauh lebih tinggi.[58][59]
Park menghapuskan penggunaan hanja atau karakter Cina dan menetapkan eksklusivitas hangeul untuk bahasa Korea pada tahun 1960-an dan 1970-an. Setelah Rencana Eksklusivitas Hangeul Lima Tahun (한글종양오년계획) diumumkan secara resmi melalui jalur legislatif dan eksekutif, mulai tahun 1970 penggunaan hanja menjadi ilegal di semua tingkatan sekolah negeri dan militer. Hal ini menyebabkan berkurangnya buta huruf di Korea Selatan.
KCIA mengendalikan seluruh negeri, dengan lebih dari empat puluh ribu pegawai tetap dan satu juta koresponden. Pekerja yang mogok, pengunjuk rasa atau penandatangan petisi sederhana menghadapi hukuman penjara yang lama dan penyiksaan. Seluruh negeri berada di bawah pengawasan terus-menerus.[60]
Saat di penghujung kepresidenannya, Park menyadari masyarakat tidak puas dengan pemerintah.[61] Meskipun demikian, otokrasinya menjadi semakin terbuka pada periode ini.
Sebagai presiden, Park berusaha memperkuat militer. Ia sering mengatakan bahwa jika suatu negara merdeka tidak dapat melindungi diri dengan militernya, maka negara tersebut bukanlah negara merdeka. Park memerintahkan pengembangan rudal untuk menyerang Pyongyang. Karena kurangnya pengetahuan teknis, para insinyur Korea harus melakukan perjalanan ke Amerika Serikat untuk belajar cara memproduksi rudal. Setelah melalui pengembangan yang melelahkan, pada tanggal 26 September 1978, Nike Hercules Korea-1 berhasil diluncurkan untuk pertama kalinya. Namun pengembangan rudal dihentikan ketika Chun Doo-hwan memerintah.[62] Park juga mencoba mengembangkan program senjata nuklir buatannya sendiri, dengan mengumumkan bahwa program tersebut akan dibuat pada tahun 1983. Hal ini tidak pernah berkembang setelah kematian Park pada tahun 1979.[63] [64]
Meskipun pertumbuhan ekonomi negara yang tinggi membuat dukungan pada Presiden Park sangat besar pada tahun 1960-an, dukungan tersebut mulai memudar setelah pertumbuhan ekonomi mulai melambat pada awal tahun 1970-an. Banyak warga Korea Selatan yang tidak senang dengan pemerintahan otokratisnya, layanan keamanannya, dan pembatasan kebebasan pribadi. Meskipun Park telah melegitimasi pemerintahannya dengan menggunakan ketentuan yang ditetapkan dalam undang-undang keadaan darurat sejak Perang Korea, ia telah gagal memenuhi jaminan konstitusional atas kebebasan berbicara dan pers. Selain itu, KCIA selaku dinas keamanan, memiliki kewenangan luas untuk menangkap dan menahan; banyak penentang Park ditahan tanpa diadili dan sering kali disiksa. Akhirnya demonstrasi menentang sistem Yushin meletus di seluruh negeri ketika ketidakpopuleran Park mulai meningkat.
Demonstrasi ini mencapai momen yang menentukan pada tanggal 16 Oktober 1979, ketika sebuah kelompok mahasiswa menyerukan diakhirinya kediktatoran dan sistem Yushin dimulai di Universitas Nasional Busan. Aksi yang merupakan bagian dari perjuangan "Pu-Ma" (dinamai berdasarkan wilayah Pusan dan Masan) segera berpindah ke jalan-jalan kota tempat mahasiswa dan polisi anti huru hara bertempur sepanjang hari. Menjelang malam, hingga 50.000 orang berkumpul di depan balai kota Busan. Selama dua hari berikutnya beberapa kantor publik diserang dan sekitar 400 pengunjuk rasa ditangkap. Pada tanggal 18 Oktober, pemerintahan Park mengumumkan darurat militer di Busan. Pada hari yang sama protes menyebar ke Universitas Kyungnam di Masan. Hingga 10.000 orang, sebagian besar pelajar dan pekerja, bergabung dalam demonstrasi menentang Sistem Yushin milik Park. Kekerasan dengan cepat meningkat dengan serangan yang dilancarkan di kantor polisi dan kantor partai berkuasa di kota. Saat malam tiba, jam malam di seluruh kota diberlakukan di Masan.[65]
Pada tanggal 26 Oktober 1979, enam hari setelah protes mahasiswa berakhir, Park Chung Hee ditembak mati di kepala dan dada oleh Kim Jae-gyu, direktur KCIA, setelah jamuan makan di rumah persembunyian di Gungjeong-dong, Jongno- ya, Seoul. Petugas KCIA lainnya kemudian pergi ke bagian lain gedung dan menembak mati empat pengawal presiden lainnya. Cha Ji-chul, kepala Dinas Keamanan Presiden, juga ditembak mati oleh Kim. Kim dan kelompoknya kemudian ditangkap oleh tentara di bawah pimpinan Kepala Staf Angkatan Darat Korea Selatan. Mereka disiksa dan kemudian dieksekusi.
Tidak jelas apakah ini merupakan tindakan spontan yang dilakukan oleh seseorang atau merupakan bagian dari upaya kudeta yang telah direncanakan sebelumnya oleh badan intelijen. Kim mengklaim bahwa Park adalah penghalang demokrasi dan tindakannya merupakan bentuk patriotisme. Kepala investigasi, Chun Doo-hwan, menolak klaimnya dan menyimpulkan bahwa Kim bertindak untuk mempertahankan kekuasaannya sendiri.[66]
Choi Kyu-hah menjadi Penjabat Presiden berdasarkan Pasal 48 Konstitusi Yushin. Mayor Jenderal Chun Doo-hwan dengan cepat mengumpulkan kekuasaan besar setelah Komando Keamanan Pertahanannya ditugaskan untuk menyelidiki pembunuhan tersebut. Pertama-tama ia mengambil kendali militer dan KCIA sebelum mengangkat junta militer lain dan akhirnya mengambil alih kursi kepresidenan pada tahun 1980.
Park, yang dikatakan sebagai seorang penganut Buddha yang taat,[67] diberikan pemakaman kenegaraan lintas agama Korea Selatan yang pertama pada tanggal 3 November di Seoul. Ia dimakamkan dengan penghormatan militer penuh di Pemakaman Nasional dekat makam mantan presiden Syngman Rhee yang meninggal pada tahun 1965. Kim Jae-gyu, yang motif membunuh Park masih belum jelas, digantung pada 24 Mei 1980.
Park menikah dengan Kim Ho-nam (memiliki satu anak perempuan bersamanya) dan keduanya kemudian bercerai. Setelah itu, ia menikah dengan Yuk Young-soo, dan pasangan tersebut memiliki dua putri dan satu putra. Yuk terbunuh dalam upaya pembunuhan terhadap Park pada tahun 1974.
Putri sulung Park dari pernikahan keduanya (dengan Yuk Young-soo), Park Geun-hye, terpilih sebagai ketua Partai Nasional Besar yang konservatif pada tahun 2004. Ia terpilih sebagai presiden ke-11 Korea Selatan sekaligus sebagai presiden wanita pertama. Keterkaitan Park Geun-hye dengan warisan ayahnya telah menjadi pedang bermata dua. Dia sebelumnya dicap sebagai putri seorang diktator; namun dia pernah berkata, "Saya ingin dinilai berdasarkan kemampuan saya sendiri." Kepresidenannya berakhir dengan pemakzulannya pada tahun 2016 dan pemecatannya dari jabatannya pada tahun 2017.[125] Dia dijatuhi hukuman 24 tahun penjara pada 6 April 2018.[68] Park dibebaskan pada tahun 2021 dari Pusat Penahanan Seoul.[69]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.