Loading AI tools
periode dalam sejarah Eropa dari abad ke-5 hingga akhir abad ke-15 Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Di dalam sejarah Eropa, Abad Pertengahan adalah kurun waktu yang bermula sekitar tahun 500 dan berakhir pada tahun 1500 tarikh Masehi. Kurun waktu tersebut merupakan penggal kedua dari pembagian tradisional sejarah Eropa menjadi Abad Kuno, Abad Pertengahan, dan Zaman Modern. Perkembangan-perkembangan utama pada kurun waktu ini adalah predominansi sektor pertanian di bidang ekonomi, eksploitasi rakyat tani, komunikasi interregional yang lamban, pentingnya hubungan pribadi dalam struktur kekuasaan, dan tata negara yang lemah. Kurun waktu ini adakalanya dibagi lagi menjadi Awal Abad Pertengahan, Puncak Abad Pertengahan, dan Akhir Abad Pertengahan. Sebutan alternatif untuk Awal Abad Pertengahan adalah Abad Kegelapan.
Penurunan populasi, kontraurbanisasi, tumbangnya kekuasaan terpusat, perpindahan suku-suku (terutama suku-suku bangsa Jermani), dan Kristenisasi, yang dimulai pada Akhir Abad Kuno, terus berlanjut sampai ke Awal Abad Pertengahan. Perpindahan suku-suku tersebut bermuara pada disintegrasi Kekaisaran Romawi Barat dan kemunculan kerajaan-kerajaan baru. Di Eropa pasca-Romawi, penurunan pajak, pembiayaan angkatan bersenjata melalui anugerah tanah lungguh, dan pembauran peradaban Romawi Akhir dengan tradisi-tradisi para penginvasi terdokumentasi dengan baik. Kekaisaran Romawi Timur masih berdiri kukuh, tetapi kedaulatannya atas Timur Tengah dan Afrika Utara hilang direnggut bala tentara Muslim pada abad ke-7. Sekalipun wangsa Karoling yang berasal dari suku Franka berhasil mempersatukan kembali banyak daerah peninggalan Kekaisaran Romawi Barat pada awal abad ke-9, negara Kekaisaran Karoling dengan cepat pecah menjadi kerajaan-kerajaan yang saling bersaing, yang kemudian hari tercerai-berai menjadi kadipaten-kadipaten dan daerah-daerah ketuanan swatantra.
Pada Puncak Abad Pertengahan, yang bermula selepas tahun 1000, populasi Eropa melonjak pesat ketika periode Suhu Hangat Abad Pertengahan membuka peluang untuk meningkatkan hasil panen, dan inovasi-inovasi di bidang teknologi maupun pertanian menghadirkan suatu "revolusi niaga". Perbudakan nyaris hilang, dan rakyat tani dapat mengangkat derajatnya dengan cara mendaulat daerah-daerah yang jauh demi mendapatkan konsesi ekonomi dan hukum. Pusat-pusat niaga lokal tumbuh menjadi kota-kota baru, dan para pengrajin perkotaan bergabung membentuk serikat-serikat usaha lokal demi melindungi kepentingan bersama. Para petinggi Gereja Barat menerima supremasi paus demi menangkis campur tangan awam dalam urusan gerejawi, yang justru mengakselerasi keterpisahan Gereja Katolik di barat dari Gereja Ortodoks di timur, serta memicu sengketa Investitur antara lembaga kepausan dan kuasa-kuasa sekuler. Dengan menyebarnya aswasada berat, muncul golongan ningrat baru yang mengukuhkan kedudukannya melalui adat pewarisan yang ketat. Di dalam sistem feodalisme para kesatria berkuda ningrat berutang bakti kepada tuan-tuan mereka sebagai ganti anugerah tanah lungguh yang mereka terima. Puri-puri batu dibangun di daerah-daerah tempat kekuasaan terpusat tidak begitu kuat, tetapi kekuasaan negara meningkat menjelang akhir kurun waktu ini. Pemukiman rakyat tani dan kaum ningrat Eropa Barat ke kawasan timur dan selatan Eropa, yang kerap dipicu oleh perang-perang Salib, bermuara kepada ekspansi Dunia Kristen Latin. Penyebaran sekolah-sekolah katedral dan universitas-universitas mendorong munculnya metode diskusi ilmiah baru dengan penekanan pada argumentasi rasional yang dikenal dengan sebutan skolatisisme. Ziarah-ziarah yang dilakukan secara besar-besaran mendorong dibangunnya gereja-gereja raksasa berarsitektur Romanik yang kukuh, sementara inovasi-inovasi di bidang pengerjaan bangunan mendorong dikembangkannya arsitektur Gothik yang lebih anggun.
Berbagai musibah, antara lain bencana Kelaparan Besar dan wabah Maut Hitam yang menyusutkan populasi sampai 50 persen pada abad ke-14, menjadi pembuka kurun waktu Akhir Abad Pertengahan. Konflik-konflik antaretnis dan antar golongan masyarakat kian memanas, dan konflik-konflik lokal kerap meningkat menjadi perang besar, misalnya Perang Seratus Tahun. Menjelang akhir kurun waktu ini, Kekaisaran Romawi Timur dan negara-negara Balkan ditaklukkan kekuatan Muslim yang baru, yakni Kemaharajaan Usmani; sementara di Jazirah Iberia, kerajaan-kerajaan Kristen memenangkan perang berabad-abad melawan tetangga-tetangga Muslim mereka. Pementingan keimanan pribadi terdokumentasi dengan baik, tetapi Skisma Barat dan gerakan-gerakan pembangkangan yang dibidatkan memunculkan penting terhadap struktur kekuasaan tradisional di dalam Gereja Barat. Para sarjana humanis mulai menitikberatkan keluhuran martabat manusia, dan para arsitek dan seniman Renaisans Awal menghidupkan kembali beberapa unsur budaya klasik di Italia. Dalam seratus tahun terakhir Abad Pertengahan, usaha-usaha meneroka samudra dalam rangka mencari jalur-jalur dagang baru melahirkan Abad Penjelajahan Samudra.
Abad Pertengahan adalah salah satu dari tiga kurun waktu utama dalam skema terlama yang digunakan dalam kajian Sejarah Eropa, yakni Zaman Klasik atau Abad Kuno, Abad Pertengahan, dan Zaman Modern.[1]
Para pujangga Abad Pertengahan membagi sejarah menjadi beberapa kurun waktu, misalnya "Enam Zaman" atau "Empat Kekaisaran", dan menganggap zaman hidup mereka sebagai zaman akhir menjelang kiamat.[2] Bilamana mengulas zaman hidup mereka, maka zaman itu akan mereka sebut sebagai "zaman modern".[3] Pada dasawarsa 1330-an, humanis sekaligus penyair Italia, Petrarka, menyebut kurun waktu pra-Kristen sebagai zaman antiqua (kuno) dan kurun waktu Kristen sebagai sebagai zaman nova (baru).[4] Leonardo Bruni adalah sejarawan pertama yang menggunakan pembabakan tripartitus (pembabakan tiga penggal) dalam karya tulisnya, Sejarah Orang Firenze (1442).[5] Leonardo Bruni dan para sejarawan sesudahnya berpendapat bahwa Italia telah banyak berubah semenjak masa hidup Petrarka, dan oleh karena itu menambahkan kurun waktu ketiga pada dua kurun waktu yang telah ditetapkan oleh Petrarka. Istilah "Abad Pertengahan" pertama kali muncul dalam bahasa Latin pada 1469 sebagai media tempestas (masa pertengahan).[6] Mula-mula ada banyak variasi dalam pemakaian istilah ini, antara lain, medium aevum (abad pertengahan) yang pertama kali tercatat pada 1604,[7] dan media saecula (zaman pertengahan) yang pertama kali tercatat pada 1625.[8] Istilah "Abad Pertengahan" adalah terjemahan dari frasa medium aevum.[9] pembabakan tripartitus menjadi pembabakan standar setelah sejarawan Jerman abad ke-17, Christoph Keller, membagi sejarah menjadi tiga kurun waktu: Kuno, Pertengahan, dan Modern.[8]
Tarikh yang paling umum digunakan sebagai tarikh permulaan Abad Pertengahan adalah tarikh 476 M,[10] yang pertama kali digunakan oleh Leonardo Bruni.[5][upper-alpha 1] Bagi Eropa secara keseluruhan, tarikh 1500 M sering kali dijadikan tarikh penutup Abad Pertengahan,[12] akan tetapi tidak ada kesepakatan sejagat mengenai tarikh penutup Abad Pertengahan. Tergantung pada konteksnya, tarikh peristiwa-peristiwa penting seperti tarikh pelayaran perdana Kristoforus Kolumbus ke Benua Amerika (1492), tarikh penaklukan Konstantinopel oleh orang Turki (1453), atau tarikh Reformasi Protestan (1517), kadang-kadang pula digunakan.[13] Para sejarawan Inggris sering kali menggunakan tarikh Pertempuran Bosworth (1485) sebagai tarikh penutup Abad Pertengahan.[14] Tarikh-tarikh yang umum digunakan di Spanyol adalah tarikh kemangkatan Raja Fernando II (1516), tarikh kemangkatan Ratu Isabel I (1504), atau tarikh penaklukan Granada (1492).[15] Para sejarawan dari negara-negara penutur rumpun bahasa Romawi cenderung membagi Abad Pertengahan menjadi dua kurun waktu, yakni kurun waktu "Tinggi" sebagai kurun waktu yang "terdahulu", dan kurun waktu "Rendah" sebagai kurun waktu yang "terkemudian". Para sejarawan penutur bahasa Inggris, mengikuti jejak rekan-rekan mereka di Jerman, umumnya membagi Abad Pertengahan menjadi tiga kurun waktu, yakni kurun waktu "Awal", kurun waktu "Puncak", dan kurun waktu "Akhir".[1] Pada abad ke-19, seluruh Abad Pertengahan kerap dijuluki "Abad Kegelapan",[16][upper-alpha 2] tetapi semenjak Abad Pertengahan dibagi menjadi tiga kurun waktu, pemakaian istilah ini pun dibatasi untuk kurun waktu Awal Abad Pertengahan saja, setidaknya di kalangan sejarawan.[2]
Luas wilayah Kekaisaran Romawi mencapai puncaknya pada abad ke-2 Masehi; dalam dua abad berikutnya, Kekaisaran Romawi lambat laun kehilangan kendali atas daerah-daerah di tapal batas wilayahnya.[18] Permasalahan-permasalahan ekonomi, termasuk inflasi, dan tekanan asing di tapal batas wilayah kekaisaran adalah penyebab timbulnya krisis pada abad ke-3. Selama masa krisis ini, kaisar demi kaisar dinobatkan hanya untuk dimakzulkan dengan segera oleh perampas takhta berikutnya.[19] Belanja militer terus meningkat sepanjang abad ke-3, terutama untuk membiayai perang melawan Kekaisaran Sasani yang kembali berkobar pada pertengahan abad ke-3.[20] Bala tentara dilipatgandakan, dan pasukan aswasada serta satuan-satuan ketentaraan yang lebih kecil mengambil alih fungsi legiun Romawi sebagai satuan taktis utama.[21] Kebutuhan akan pendapatan mengakibatkan kenaikan pajak dan penurunan jumlah curialis, atau golongan tuan-tuan tanah, serta penurunan jumlah tuan-tuan tanah yang bersedia memikul beban selaku pejabat di kota asalnya.[20] Meningkatnya kebutuhan akan tenaga birokrat dalam administrasi pemerintah pusat untuk menangani kebutuhan-kebutuhan tentara mengakibatkan munculnya keluhan-keluhan dari masyarakat bahwasanya jumlah pemungut pajak di dalam wilayah kekaisaran lebih besar daripada jumlah pembayar pajak.[21]
Pada 286, Kaisar Dioklesianus (memerintah 284–305) membagi wilayah kekaisaran menjadi wilayah timur dan wilayah barat, masing-masing dengan administrasi pemerintahan sendiri; Kekaisaran Romawi tidak dianggap telah terbagi dua, baik oleh rakyat maupun penguasanya, karena keputusan-keputusan hukum dan administrasi yang dikeluarkan oleh salah satu wilayah juga dianggap sah oleh wilayah yang lain.[22][upper-alpha 3] Pada 330, setelah masa perang saudara berakhir, Konstantinus Agung (memerintah 306–337) membangun kembali kota Bizantium sebagai ibu kota wilayah timur yang baru, dan menamainya Konstantinopel.[23] Upaya-upaya pembaharuan yang dilakukan Kaisar Dioklesianus berhasil memperkukuh birokrasi pemerintahan, menata ulang sistem perpajakan, dan memperkuat angkatan bersenjata. Langkah ini berhasil menyelamatkan kekaisaran tetapi tidak menuntaskan masalah-masalah yang dihadapinya, antara lain pajak yang terlampau tinggi, penurunan angka kelahiran, dan rongrongan bangsa-bangsa asing di tapal batas wilayah.[24] Perang saudara antarkaisar menjadi hal yang lumrah pada pertengahan abad ke-4. Perang-perang saudara ini menguras kekuatan angkatan bersenjata yang menjaga tapal batas wilayah sehingga memudahkan para bangsa-bangsa asing menerobos masuk ke dalam wilayah kekaisaran.[25] Hampir sepanjang abad ke-4, masyarakat Romawi menjadi terbiasa hidup dalam suatu tatanan baru yang berbeda dari tatanan kemasyarakatan Romawi pada Abad Kuno, dengan melebarnya kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin, serta meredupnya gairah hidup kota-kota kecil.[26] Perkembangan baru lainnya adalah penyebaran Kristen, atau peralihan keyakinan warga kekaisaran ke agama Kristen, suatu proses yang berjalan sedikit demi sedikit sejak abad ke-2 sampai abad ke-5.[27][28]
Pada 376, orang Goth yang sedang meluputkan diri dari kejaran orang Hun, mendapatkan izin dari Kaisar Valens (memerintah 364–378) untuk menetap di Provinsi Trakia (bahasa Latin: Provincia Thracia), wilayah Kekaisaran Romawi di Jazirah Balkan. Proses pemasyarakatan orang Goth di Provinsi Trakia tidak berjalan mulus, dan manakala para pejabat Romawi mengambil tindakan yang keliru, orang-orang Goth mulai melancarkan aksi-aksi penyerbuan dan penjarahan.[upper-alpha 4] Kaisar Valens, yang berusaha meredakan kekacauan, gugur dalam Pertempuran Adrianopel melawan orang Goth pada 9 Agustus 378.[30] Selain ancaman-ancaman dari konfederasi-konfederasi kesukuan semacam itu yang mendesak dari utara, Kekaisaran Romawi juga harus menghadapi masalah-masalah yang diakibatkan oleh perpecahan di dalam negeri, khususnya perpecahan di kalangan umat Kristen.[31] Pada 400, orang Visigoth menginvasi Kekaisaran Romawi Barat, dan meskipun sempat terpukul mundur dari Italia, akhirnya berhasil menduduki dan menjarah kota Roma pada 410.[32] Pada 406, orang Alan, orang Vandal, dan orang Suevi memasuki Galia; selama tiga tahun berikutnya mereka menyebar ke seluruh pelosok Galia, melintasi Pegunungan Pirenia, dan masuk ke wilayah yang kini menjadi negeri Spanyol pada 409.[33] Zaman Migrasi bermula ketika berbagai suku bangsa, mula-mula sebagian besar adalah suku-suku Jermanik, berpindah dari satu tempat ke tempat lain di seluruh Eropa. Orang Franka, orang Alemani, dan orang Burgundi pindah dan bermukim di kawasan utara Galia; orang Angli, orang Saksen, dan orang Yuti menetap di Britania;[34] sementara orang Vandal menyeberangi Selat Gibraltar dan mendaulat Provinsi Afrika (bahasa Latin: Provincia Africa).[35] Pada dasawarsa 430-an, orang Hun mulai menginvasi Kekaisaran Romawi; Raja orang Hun, Attila (memerintah 434–453), memimpin invasi-invasi ke Jazirah Balkan pada 442 dan 447, ke Galia pada 451, dan ke Italia pada 452.[36] Ancaman orang Hun terus membayang-bayangi Kekaisaran Romawi sampai konfederasi suku-suku Hun pecah kongsi sepeninggal Attila wafat pada 453.[37] Invasi-invasi yang dilancarkan suku-suku asing ini sepenuhnya merombak tatanan politik dan kemasyarakatan di Kekaisaran Romawi Barat pada masa itu.[34]
Menjelang akhir abad ke-5, wilayah barat Kekaisaran Romawi sudah terpecah menjadi banyak negara kecil, masing-masing dikuasai oleh suku yang menginvasinya pada permulaan abad itu.[38] Pemakzulan kaisar wilayah barat yang terakhir, Romulus Agustulus, pada 476 sudah lama dijadikan tonggak sejarah yang menandai tamatnya riwayat Kekaisaran Romawi Barat.[11][upper-alpha 5] Pada 493, Jazirah Italia ditaklukkan oleh orang Ostrogoth.[39] Kekaisaran Romawi Timur, yang kerap disebut Kekaisaran Romawi Timur setelah tumbangnya pemerintah wilayah barat, tidak mampu berbuat banyak untuk menegakkan kembali kedaulatannya atas daerah-daerah wilayah barat yang sudah lepas dari genggamannya. Para Kaisar Romawi Timur tetap mendaku sebagai penguasa atas daerah-daerah itu, tetapi kendati tak seorang pun dari raja-raja baru di wilayah barat berani meninggikan diri menjadi kaisar wilayah barat, kendali Romawi Timur atas sebagian besar wilayah barat Kekaisaran Romawi tidak dapat dipertahankan; penaklukan kembali daerah-daerah di sepanjang pesisir Laut Tengah dan di Jazirah Italia (Perang Goth) pada masa pemerintahan Kaisar Yustinianus (memerintah 527–565) adalah satu-satunya pengecualian, meskipun tidak bertahan lama.[40]
Tatanan politik Eropa Barat berubah seiring tamatnya riwayat Kekaisaran Romawi bersatu. Meskipun pergerakan suku-suku bangsa yang terjadi kala itu lazimnya digambarkan sebagai "invasi", pergerakan-pergerakan ini bukan semata-mata merupakan pergerakan militer melainkan juga gerak perpindahan seluruh warga suku-suku bangsa itu ke dalam wilayah kekaisaran. Pergerakan-pergerakan semacam ini dileluasakan oleh penolakan para petinggi Romawi di wilayah barat untuk menyokong angkatan bersenjata maupun untuk membayar pajak-pajak yang mampu memberdayakan angkatan bersenjata guna membendung arus migrasi.[41] Para kaisar abad ke-5 kerap dikendalikan oleh orang-orang kuat dari kalangan militer seperti Stiliko (wafat 408), Esius (wafat 454), Aspar (wafat 471), Ricimer (wafat 472), dan Gundobad (wafat 516), yakni orang-orang peranakan Romawi atau orang-orang yang sama sekali tidak berdarah Romawi. Meskipun wilayah barat tidak lagi diperintah kaisar-kaisar, banyak di antara raja-raja yang memerintah di wilayah itu masih terhitung kerabat mereka. Kawin campur antara wangsa-wangsa penguasa yang baru dengan kaum bangsawan Romawi sudah lumrah terjadi.[42] Akibatnya, budaya asli Romawi pun mulai bercampur dengan adat istiadat suku-suku yang menduduki wilayah barat, termasuk penyelenggaraan sidang-sidang rakyat yang semakin memberi ruang bagi warga suku laki-laki yang merdeka untuk urun rembuk dalam perkara-perkara politik, berbeda dari kebiasaan yang dulu berlaku di negeri Romawi.[43] Barang-barang peninggalan orang Romawi sering kali serupa dengan barang-barang peninggalan suku-suku yang menduduki wilayah barat, dan barang-barang buatan suku-suku itu sering kali dibuat dengan cara meniru bentuk barang-barang buatan Romawi.[44] Sebagian besar budaya tulis dan ilmiah di kerajaan-kerajaan baru itu juga didasarkan pada tradisi-tradisi intelektual Romawi.[45] Salah satu perbedaan penting kerajaan-kerajaan baru ini dari Kekaisaran Romawi adalah kian susutnya penerimaan pajak sebagai sumber pendapatan pemerintah. Banyak dari kerajaan-kerajaan baru ini tidak lagi menafkahi angkatan bersenjata mereka dengan menggunakan dana penerimaan pajak, tetapi dengan anugerah lahan atau hak sewa lahan. Dengan demikian, penerimaan pajak dalam jumlah besar sudah tidak diperlukan lagi, sehingga tatanan perpajakan Romawi akhirnya ditinggalkan.[46] Perang menjadi hal yang lumrah, baik perang antarkerajaan maupun perang di dalam suatu kerajaan. Angka perbudakan menurun karena pasokan berkurang, dan masyarakat pun semakin bercorak pedesaan.[47][upper-alpha 6]
Antara abad ke-5 dan abad ke-8, suku-suku bangsa dan tokoh-tokoh baru mengisi kekosongan politik selepas tumbangnya pemerintahan terpusat bangsa Romawi.[45] Orang Ostrogoth, salah satu suku Goth, menetap di Italia Romawi pada penghujung abad ke-5, di bawah pimpinan Teodorik Agung (wafat 526). Orang Ostrogoth mendirikan sebuah kerajaan di daerah itu dan hidup rukun bersama orang-orang Italia, setidaknya sampai masa pemerintahan Teodorik berakhir.[49] Orang-orang Burgundi menetap di Galia, dan setelah kerajaannya dibinasakan oleh orang Hun pada 436, mereka mendirikan sebuah kerajaan baru pada dasawarsa 440-an. Kerajaan di daerah yang kini berada di antara kota Jenewa dan kota Lyon ini berkembang menjadi Kerajaan Burgundia pada penghujung abad ke-5 dan permulaan abad ke-6.[50] Daerah-daerah lain di Galia diduduki oleh orang Franka dan orang Briton Kelt yang mendirikan kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan Franka berpusat di kawasan utara Galia, dan raja pertamanya diketahui bernama Kilderik (wafat 481). Di makam Kilderik yang ditemukan kembali pada 1653, didapati barang-barang bekal kubur yang menakjubkan, yakni senjata-senjata dan sejumlah besar emas.[51]
Pada masa pemerintahan putra Kilderik, Klovis I (memerintah 509–511), pendiri wangsa Meroving, Kerajaan Franka meluaskan wilayahnya dan menerima agama Kristen. Orang Briton, yang masih berkerabat dengan pribumi Pulau Pretanī (bahasa Latin: Britannia) – Pulau Britania Raya sekarang ini – menetap di daerah yang sekarang disebut Bretagne.[52][upper-alpha 7] Orang Visigoth mendirikan kerajaan di Jazirah Iberia, orang Suevi mendirikan kerajaan di kawasan barat laut Iberia, dan orang Vandal mendirikan kerajaan di Afrika Utara.[50] Pada abad ke-6, orang Lombardi menetap di Italia Utara, menggantikan Kerajaan Ostrogoth dengan sekelompok kadipaten yang sesekali memilih seorang raja untuk memerintah semuanya. Pada akhir abad ke-6, tatanan pemerintahan ini tergantikan oleh sebuah monarki yang bersifat tetap, yakni Kerajaan Orang Lombardi.[53]
Invasi-invasi membawa masuk suku-suku bangsa baru ke Eropa, meskipun beberapa kawasan dibanjiri lebih banyak suku bangsa baru dibandingkan dengan kawasan-kawasan lain. Sebagai contoh, suku-suku bangsa yang menginvasi Galia lebih banyak menetap di daerah timur laut daripada di daerah barat daya. Orang Slav menetap di kawasan tengah dan kawasan timur Eropa, serta di Jazirah Balkan. Menetapnya suku-suku bangsa di suatu kawasan menyebabkan pula perubahan bahasa-bahasa di kawasan itu. Bahasa Latin, bahasa Kekaisaran Romawi Barat, lambat laun tergantikan oleh bahasa-bahasa turunan bahasa Latin tetapi berbeda dari bahasa Latin, yakni bahasa-bahasa yang kini tergolong dalam rumpun bahasa Romawi. Peralihan dari bahasa Latin ke bahasa-bahasa baru ini berjalan selama berabad-abad. Bahasa Yunani masih tetap menjadi bahasa Kekaisaran Romawi Timur, akan tetapi migrasi-migrasi orang Slav ke Eropa Timur membawa serta bahasa-bahasa rumpun Slav yang menambah keanekaragaman bahasa di wilayah kekaisaran itu.[54]
Tatkala kerajaan-kerajaan baru bertumbuh di Eropa Barat, Kekaisaran Romawi Timur justru tetap utuh dan mengalami kebangkitan perekonomian yang bertahan sampai dengan abad ke-7. Wilayah timur Kekaisaran Romawi ini juga didera invasi, tetapi dalam jumlah yang lebih kecil; sebagian besar terjadi di kawasan Balkan. Perdamaian dengan Kekaisaran Sasani, musuh bebuyutan Roma, bertahan hampir sepanjang abad ke-5. Di Kekaisaran Romawi Timur ini pula hubungan negara dan Gereja menjadi semakin akrab, sampai-sampai perkara doktrin Gereja pun menjadi urusan politik negara. Keadaan semacam ini tidak pernah terjadi di Eropa Barat. Salah satu kemajuan yang dicapai di bidang hukum adalah kodifikasi hukum Romawi; upaya kodifikasi yang pertama, yakni penyusunan Kitab Undang-Undang Teodosius (bahasa Latin: Codex Theodosianus), rampung pada 438.[56] Pada masa pemerintahan Kaisar Yustinianus (memerintah 527–565), upaya kodifikasi lainnya dilakukan, yakni penyusunan Kumpulan Hukum Sipil (bahasa Latin: Corpus Juris Civilis).[57] Kaisar Yustinianus juga menitahkan pembangunan Hagia Sofia di Konstantinopel, serta mengerahkan bala tentara Romawi di bawah pimpinan Belisarius (wafat 565)[58] untuk merebut kembali Afrika Utara dari orang Vandal, dan merebut kembali Italia dari orang Ostrogoth.[59] Penaklukan Italia tidak kunjung tuntas akibat merebaknya wabah maut pada 542 yang mendorong Kaisar Yustinianus untuk mengerahkan seluruh kekuatan militer bagi kepentingan pertahanan negara ketimbang bagi usaha-usaha penaklukan sampai masa pemerintahannya berakhir.[59]
Ketika Kaisar Yustinianus mangkat, orang-orang Romawi Timur telah menguasai sebagian besar wilayah Italia, Afrika Utara, dan sejumlah kecil daerah tempat berpijak di kawasan selatan Spanyol. Upaya Kaisar Yustinianus untuk merebut kembali wilayah-wilayah itu dicela oleh para sejarawan sebagai suatu usaha perluasan wilayah yang melebihi kesanggupan dan membuat Kekaisaran Romawi Timur menjadi rentan terhadap aksi-aksi penaklukan perdana kaum Muslim. Meskipun demikian, banyak dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh para pengganti Yustinianus bukan semata-mata disebabkan oleh pengenaan pajak secara berlebihan guna mendanai perang-perang pada masa pemerintahan Yustinianus, melainkan juga disebabkan oleh sifat sipil yang merupakan sifat asasi kekaisaran itu, sehingga kekaisaran sukar untuk merekrut rakyat menjadi prajurit.[60]
Di wilayah timur Kekaisaran Romawi, penyusupan orang Slav secara perlahan-lahan ke kawasan Balkan menambah jumlah masalah yang harus dihadapi para kaisar pengganti Yustinianus. Proses penyusupan ini berlangsung sedikit demi sedikit, tetapi pada penghujung dasawarsa 540-an, suku-suku Slav sudah menduduki Trakia dan Iliria (bahasa Latin: Illyricum), setelah mengalahkan bala tentara kekaisaran di dekat Adrianopel pada 551. Pada dasawarsa 560-an, orang Avar mulai meluaskan wilayah kedaulatan dari pangkalan mereka di tepi utara Sungai Donau; pada penghujung abad ke-6, orang Avar sudah merajalela di Eropa Tengah dan mampu secara rutin memaksa kaisar-kaisar wilayah timur untuk mempersembahkan upeti. Orang Avar terus merajalela sampai 796.[61]
Masalah lain yang harus dihadapi kekaisaran muncul sebagai akibat dari campur tangan Kaisar Maurisius (memerintah 582–602) dalam sengketa alih kepemimpinan di Persia. Campur tangan Kaisar Maurisius dalam urusan politik Persia ini memang membuahkan hubungan damai antara kedua kekaisaran, tetapi ketika Kaisar Maurisius digulingkan dari takhta, orang-orang Persia kembali menyerang. Pada masa pemerintahan Kaisar Heraklius (memerintah 610–641), orang-orang Persia telah menguasai sebagian besar wilayah Kekaisaran Romawi Timur, termasuk Mesir, Suriah, dan Anatolia, sebelum akhirnya dapat dipukul mundur oleh Kaisar Heraklius. Pada 628, Kekaisaran Romawi Timur berhasil mengikat perjanjian damai dengan Persia dan menguasai kembali seluruh wilayahnya yang pernah direbut.[62]
Di Eropa Barat, sejumlah keluarga bangsawan lama Romawi mengalami kepunahan, sementara keluarga-keluarga bangsawan Romawi yang tersisa memilih untuk mendalami agama ketimbang menceburi urusan-urusan duniawi. Penghargaan yang tinggi terhadap karya tulis ilmiah dan pendidikan Romawi nyaris lenyap, dan meskipun baca tulis masih dianggap penting, kemampuan ini lebih dianggap sebagai suatu keterampilan praktis daripada sebagai lambang status mulia. Pada abad ke-4, Hieronimus (wafat 420) bermimpi ditegur Allah karena lebih sering membaca karya-karya tulis Sisero daripada Alkitab. Pada abad ke-6, Gregorius dari Tours juga bermimpi ditegur Allah, tetapi bukan karena lebih sering membaca karya-karya tulis Sisero, melainkan karena mempelajari stenografi.[63] Pada penghujung abad ke-6, sarana utama dalam pengajaran agama di Gereja adalah musik dan seni rupa, bukan lagi buku.[64] Sebagian besar karya-karya tulis ilmiah yang dihasilkan kala itu hanya berupa salinan dari karya-karya tulis ilmiah peninggalan Abad Kuno, tetapi ada pula sejumlah karya tulis baru yang dihasilkan bersama sejumlah gubahan sastra lisan yang kini tidak lagi diketahui. Karya-karya tulis Sidonius Apolinaris (wafat 489), Kasiodorus (wafat sekitar 585), dan Boëtius (wafat sekitar 525) adalah karya-karya tulis khas dari masa ini.[65]
Kehidupan rakyat jelata juga mengalami perubahan, manakala budaya kaum bangsawan lebih berpusat pada penyelenggaraan pesta-pesta pora di balai-balai perjamuan daripada berkarya di bidang sastra. Busana kaum bangsawan disarati hiasan emas permata. Para penguasa dan raja-raja mendanai rombongan-rombongan pengiring yang terdiri atas para jawara yang menjadi tulang punggung pasukan-pasukan angkatan bersenjata.[upper-alpha 8] Ikatan kekerabatan di kalangan bangsawan sangat dijunjung tinggi, demikian pula ikatan kesetiaan, keberanian, dan kehormatan. Ikatan-ikatan ini menjadi penyebab sengketa berlarut-larut yang sering kali timbul di kalangan bangsawan, misalnya sengketa berlarut-larut di Galia pada zaman wangsa Meroving sebagaimana diriwayatkan oleh Gregorius dari Tours. Sebagian besar sengketa berlarut-larut ini diakhiri dalam waktu singkat dengan pembayaran semacam uang ganti rugi.[68] Peran utama kaum perempuan di kalangan bangsawan adalah sebagai istri dan ibu dari kaum lelaki. Peranan perempuan sebagai ibu seorang penguasa sangat dihargai di Galia pada zaman wangsa Meroving. Dalam masyarakat Saksen-Inggris, langkanya penguasa kanak-kanak menyebabkan peran perempuan sebagai ibu suri menjadi kurang menonjol, tetapi kekurangan ini diimbangi oleh peran para abdis biara yang kian lama kian menonjol. Tampaknya di Italia sajalah kaum perempuan senantiasa dianggap bernaung di bawah perlindungan dan kendali seorang kerabat laki-laki.[69]
Dibanding kaum bangsawan, hal-ihwal kehidupan rakyat jelata lebih jarang diabadikan dalam karya-karya tulis. Sebagian besar informasi mengenai rakyat jelata yang sintas sampai ke tangan para sejarawan berasal dari bidang ilmu arkeologi; segelintir peninggalan tertulis yang menggambarkan peri kehidupan rakyat jelata masih berasal dari kurun waktu sebelum abad ke-9. Sebagian besar penggambaran mengenai masyarakat kelas bawah berasal dari kitab-kitab hukum atau karya-karya tulis para pujangga dari kalangan masyarakat kelas atas.[70] Pola-pola kepemilikan tanah di Eropa Barat tidaklah seragam; di beberapa kawasan, persil-persil tanah milik letaknya sangat terserak dan saling berjauhan, sementara di kawasan-kawasan lain, sudah menjadi kaidah bahwa persil-persil tanah milik terletak berdempetan satu sama lain. Perbedaan-perbedaan ini memunculkan bermacam-macam masyarakat jelata; beberapa di antara masyarakat-masyarakat jelata ini tunduk di bawah kekuasaan tuan-tuan tanah bangsawan, sementara masyarakat-masyarakat jelata lainnya justru sangat mandiri.[71] Cara menempati tanah juga berbeda-beda. Beberapa rakyat jelata menempati permukiman-permukiman dengan jumlah warga mencapai 700 jiwa, sementara yang lain hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri atas beberapa keluarga; selain itu masih ada lagi yang hidup sendiri-sendiri di lahan garapan masing-masing di pinggiran desa-desa. Ada pula daerah-daerah yang memiliki pola campuran antara dua atau lebih dari tatanan-tatanan tersebut.[72] Tidak seperti pada penghujung zaman Romawi, tidak ada perbedaan yang tajam antara status hukum dari rakyat jelata yang merdeka dan kaum bangsawan, malah sebuah keluarga rakyat jelata yang merdeka mungkin saja naik status menjadi bangsawan setelah melewati beberapa generasi dengan cara mengabdi sebagai prajurit pada seorang penguasa besar.[73]
Budaya dan kehidupan perkotaan Romawi benar-benar berubah pada awal Abad pertengahan. Meskipun kota-kota Italia masih tetap dihuni orang, jumlah warganya sangat menyusut. Contohnya Roma yang jumlah warganya menyusut dari ratusan ribu jiwa menjadi sekitar 30.000 jiwa pada penghujung abad ke-6. Kuil-kuil Romawi dialihgunakan menjadi gedung-gedung Gereja, dan tembok-tembok kota masih tetap difungsikan seperti sediakala.[74] Di Eropa Utara, kota-kota juga mengalami penyusutan jumlah warga, sementara monumen-monumen dan bangunan-bangunan publik lainnya di kota-kota dijarah rayah untuk dijadikan bahan bangunan. Berdirinya kerajaan-kerajaan baru sering kali menyebabkan kota-kota yang dijadikan ibu kota mengalami sedikit banyak kemajuan.[75] Meskipun sudah sejak lama membentuk paguyuban-paguyuban di banyak kota Romawi, orang-orang Yahudi selama beberapa waktu menderita aniaya setelah Kekaisaran Romawi beralih keyakinan ke agama Kristen. Keberadaan orang-orang Yahudi secara resmi ditoleransi, jika bersedia didakwahi agama Kristen, bahkan adakalanya mereka dianjurkan untuk pindah dan menetap di daerah-daerah baru.[76]
Agama dan kepercayaan di Kekaisaran Romawi Timur dan Persia senantiasa berubah-ubah pada penghujung abad ke-6 dan permulaan abad ke-7. Agama Yahudi adalah agama yang gencar menarik pemeluk baru, dan sekurang-kurangnya ada satu pemimpin politik Arab yang menjadi pemeluknya.[upper-alpha 9] Agama Kristen aktif bersaing dengan agama Majusi dari Persia dalam menarik pemeluk baru, khususnya di kalangan penduduk Jazirah Arab. Semua perkembangan ini dihubungkan menjadi satu oleh kemunculan agama Islam di Arab pada masa hidup Muhammad (wafat 632).[78] Sesudah Muhammad wafat, bala tentara Muslim maju menaklukkan banyak tempat di wilayah Kekaisaran Romawi Timur dan Persia. Setelah mula-mula menaklukkan Negeri Syam pada 634–635, kaum Muslim kemudian menaklukkan Mesir pada 640–641, Persia antara 637–642, Afrika Utara pada abad ke-7, dan Jazirah Iberia pada 711.[79] Pada 714, bala tentara Muslim menguasai sebagian besar daratan Jazirah Iberia yang mereka namakan Al-Andalus.[80]
Aksi-aksi penaklukan kaum Muslim mencapai puncaknya pada pertengahan abad ke-8. Kekalahan bala tentara Muslim dalam Pertempuran Tours pada 732 memberi peluang kepada orang Franka untuk merebut kembali kawasan selatan Prancis, tetapi kendala utama yang membendung gerak langkah Islam di Eropa adalah tumbangnya Khilafah Bani Umayyah dan berkuasanya Khilafah Bani Abbas. Bani Abbas memindahkan pusat pemerintahan ke Bagdad dan lebih banyak mencurahkan perhatian ke kawasan Timur Tengah daripada ke Eropa, manakala kehilangan kedaulatan atas sejumlah daerah kekuasaan muslim. Keturunan Bani Umayah mengambil alih Jazirah Iberia, kaum Aglabi mendaulat Afrika Utara, dan kaum Tuluni mengangkangi Mesir.[81] Pada pertengahan abad ke-8, muncul tatanan niaga baru di Laut Tengah; hubungan niaga antara orang Franka dan orang Arab menggantikan tatanan perekonomian Romawi yang lama. Orang Franka menawarkan kayu, kulit bulu binatang, pedang, dan budak belian sebagai ganti sutra dan bahan-bahan sandang lainnya, rempah-rempah, serta logam-logam mulia dari orang Arab.[82]
Migrasi dan invasi pada abad ke-4 dan abad ke-5 mengganggu jaringan niaga di sekeliling Laut Tengah. Barang-barang dagangan dari Afrika, yang tak lagi memasuki Eropa, mula-mula menghilang dari pasaran di kawasan pedalaman Eropa, dan pada abad ke-7 hanya dapat dijumpai di segelintir kota seperti Roma atau Napoli. Pada penghujung abad ke-7, sebagai akibat dari aksi-aksi penaklukan kaum Muslim, barang-barang dagangan dari Afrika tidak dapat lagi dijumpai di Eropa Barat. Penggantian barang-barang dagangan dari negeri-negeri seberang dengan barang-barang buatan negeri sendiri menjadi lazim terjadi di seluruh negeri bekas jajahan Romawi pada Awal Abad Pertengahan, terutama di negeri-negeri yang tidak terletak di pesisir Laut Tengah, misalnya kawasan utara Galia atau Britania. Barang-barang buatan luar negeri yang disebut-sebut dalam peninggalan-peninggalan tertulis biasanya adalah barang-barang mewah. Di kawasan utara benua Eropa, tidak saja jaringan niaganya yang bersifat lokal, malah barang-barang yang diperjualbelikan pun sederhana, hanya ada sedikit tembikar atau barang-barang lain yang rumit pembuatannya. Di kawasan pesisir Laut Tengah, tembikar masih mudah didapatkan dan tampaknya diperjualbelikan dalam jaringan-jaringan niaga taraf menengah, tidak sekadar dibuat sendiri di dalam negeri.[83]
Semua negara Jermanik di Eropa Barat mengeluarkan uang logam sendiri dengan meniru bentuk uang-uang logam Romawi dan Romawi Timur yang beredar kala itu. Uang emas terus-menerus dicetak sampai akhirnya tergantikan oleh uang-uang perak pada penghujung abad ke-7. Satuan dasar uang perak Franka adalah Denarius atau Denier, sementara satuan dasar uang perak Saksen-Inggris yang setara Denier disebut Penny. Dari wilayah-wilayah inilah Denier atau Penny beredar ke seluruh Eropa selama berabad-abad, sejak 700 sampai 1000 Masehi. Uang tembaga dan perunggu tidak dicetak, demikian pula uang emas, kecuali di kawasan selatan Eropa. Tidak ada pencetakan uang perak dalam pecahan-pecahan yang lebih besar daripada Denier atau Penny.[84]
Agama Kristen adalah faktor utama yang mempersatukan Eropa Timur dan Eropa Barat sebelum penaklukan-penaklukan yang dilakukan orang Arab, tetapi penaklukan Afrika Utara meretas hubungan yang terjalin antara kedua kawasan itu. Gereja Romawi Timur semakin lama semakin berbeda dari Gereja Barat dalam bidang bahasa, adat istiadat, maupun liturgi. Gereja Timur menggunakan bahasa Yunani, bukan bahasa Latin seperti Gereja Barat. Perbedaan-perbedaan teologi dan politik pun mengemuka, dan pada permulaan serta pertengahan abad ke-8, perkara-perkara seperti ikonoklasme, rohaniwan beristri, dan kendali negara atas Gereja semakin memperlebar kesenjangan sehingga pada akhirnya perbedaan-perbedaan budaya dan keagamaan menjadi jauh lebih besar daripada persamaan-persamaannya.[85] Perpecahan resmi, yang disebut Skisma Timur-Barat, terjadi pada 1054, manakala lembaga kepausan dan kebatrikan Konstantinopel mempertentangkan supremasi Sri Paus dan akhirnya saling mengucilkan, sehingga memecah agama Kristen menjadi dua Gereja—pecahan barat menjadi Gereja Katolik Roma dan pecahan timur menjadi Gereja Ortodoks Timur.[86]
Tatanan kepengurusan Gereja di Kekaisaran Romawi nyaris tetap utuh di tengah-tengah pergerakan dan invasi yang melanda wilayah barat, akan tetapi lembaga kepausan tidak begitu dihargai, dan hanya segelintir uskup di wilayah barat yang menghormati Uskup Roma selaku pemimpin agama atau pemimpin politik. Banyak di antara para paus yang menjabat sebelum tahun 750 lebih memperhatikan urusan-urusan Kekaisaran Romawi Timur dan sengketa-sengketa teologi di wilayah timur. Register, atau arsip salinan surat-surat, yang ditulis oleh Paus Gregorius Agung (masa kepausan 590–604) masih lestari hingga sekarang, lebih dari 850 pucuk surat, sebagian besar di antaranya berkaitan dengan perkara-perkara di Italia atau Konstantinopel. Satu-satunya negeri di Eropa Barat yang tunduk pada wibawa lembaga kepausan adalah Britania, yakni negeri yang didatangi rombongan misionaris utusan Paus Gregorius pada 597 untuk mengajak orang-orang Saksen-Inggris memeluk agama Kristen.[87] Para misionaris Irlandia gencar berdakwah di Eropa Barat antara abad ke-5 dan abad ke-7, pertama-tama di Inggris dan Skotlandia, kemudian ke daratan Eropa. Di bawah pimpinan rahib-rahib seperti Kolumba (wafat 597) dan Kolumbanus (wafat 615), para misionaris Irlandia membangun biara-biara, mengajar dalam bahasa Latin dan bahasa Yunani, serta menghasilkan karya-karya tulis sekuler maupun keagamaan.[88]
Pada Awal Abad Pertengahan, terjadi pertumbuhan monastisisme di Eropa Barat. Bentuk monastisisme dipengaruhi oleh tradisi-tradisi dan gagasan-gagasan yang berasal dari Bapa-Bapa Gurun di Mesir dan Suriah. Sebagian besar biara Eropa adalah jenis biara yang mengutamakan pendalaman rohani dalam kehidupan berguyub. Monastisisme semacam ini disebut senobitisme, dirintis oleh Pakomius (wafat 348) pada abad ke-4. Cita-cita mulia monastisisme menyebar dari Mesir ke Eropa Barat pada abad ke-5 dan abad ke-6 melalui sastra hagiografi semisal Riwayat Antonius (bahasa Latin: Vita Antonii).[89] Benediktus dari Nursia (wafat 547) menyusun Peraturan Benediktus (bahasa Latin: Regulae Benedicti) bagi monastisisme Gereja Barat pada abad ke-6. Peraturan ini berisi perincian kewajiban administratif dan rohani yang harus dilaksanakan oleh suatu paguyuban para rahib yang dipimpin oleh seorang abas.[90] Para rahib dan biara-biara sangat mempengaruhi kehidupan beragama dan perpolitikan pada Awal Abad Pertengahan. Biara-biara sering kali menjadi lembaga-lembaga perwalian pemilik tanah bagi keluarga-keluarga yang memiliki kekuasaan besar, menjadi pusat-pusat propaganda dan dukungan bagi kerajaan di wilayah yang baru direbut, dan menjadi pangkalan-pangkalan bagi misi dakwah dan penyebaran agama Kristen.[91] Biara-biara merupakan lembaga utama, bahkan adakalanya merupakan satu-satunya lembaga, yang menyelenggarakan pendidikan dan pemberantasan buta aksara di suatu kawasan. Banyak dari naskah Latin klasik yang sintas sampai sekarang adalah naskah-naskah salinan yang dibuat di biara-biara pada Awal Abad Pertengahan.[92] Para rahib juga menghasilkan karya-karya tulis baru di bidang sejarah, teologi, dan bidang-bidang lain, misalnya Beda (wafat 735), pujangga asal kawasan utara Inggris yang berkarya pada penghujung abad ke-7 dan permulaan abad ke-8.[93]
Kerajaan Franka di kawasan utara Galia terpecah menjadi Kerajaan Austrasia, Kerajaan Neustria, dan Kerajaan Burgundia pada abad ke-6 dan abad ke-7, ketiga-tiganya diperintah oleh raja-raja dari wangsa Meroving, anak cucu Raja Klovis. Abad ke-7 adalah kurun waktu yang dipenuhi gejolak peperangan antara Kerajaan Austrasia dan Kerajaan Neustria.[94] Perang antara kedua kerajaan ini dimanfaatkan oleh Pipin (wafat 640), Pembesar Istana Kerajaan Austrasia yang merupakan orang kuat di belakang penguasa Austrasia. Anggota-anggota keluarganya kemudian hari mewarisi jabatan ini, dan bertugas selaku penasihat dan wali raja. Cicit Pipin yang bernama Karel Martel (wafat 741) memenangkan Pertempuran Poitiers pada 732, yang menghambat pergerakan bala tentara Muslim sehingga tidak melampaui batas Pegunungan Pirenia.[95][upper-alpha 10] Wilayah Britania Raya terbagi-bagi menjadi negara-negara kecil yang dikuasai oleh Kerajaan Northumbria, Kerajaan Mercia, Kerajaan Wessex, dan Kerajaan Anglia Timur, yang didirikan oleh orang-orang Saksen-Inggris dari Eropa Daratan. Kerajaan-kerajaan yang lebih kecil di wilayah yang kini disebut Wales dan Skotlandia masih dikuasai oleh suku-suku pribumi, yakni orang Britani dan orang Pikti.[97] Wilayah Irlandia terbagi-bagi menjadi satuan-satuan politik yang lebih kecil lagi dan diperintah oleh raja-raja. Satuan-satuan politik di Irlandia ini dikenal dengan sebutan kerajaan-kerajaan kesukuan. Diperkirakan kala itu ada 150 raja pribumi di Irlandia, dengan bobot kekuasaan yang berbeda-beda.[98]
Keturunan Karel Martel, yakni wangsa Karoling, mengambil alih pemerintahan Kerajaan Austrasia dan Kerajaan Neustria melalui suatu usaha kudeta pada 753 yang dipimpin oleh Pipin III (memerintah 752–768). Menurut keterangan dari sebuah naskah tawarikh yang ditulis pada masa itu, Pipin meminta dan mendapatkan wewenang untuk melakukan kudeta dari Paus Stefanus II (menjabat 752–757). Kudeta yang dilakukan Pipin disokong dengan kegiatan propaganda yang mencitrakan raja-raja wangsa Meroving sebagai penguasa-penguasa yang tidak cakap memerintah bahkan lalim, menggembar-gemborkan segala prestasi yang pernah diraih oleh Karel Martel, dan menyebarluaskan kisah-kisah tentang betapa salehnya keluarga Pipin. Di akhir hayatnya pada 768, Pipin mewariskan kerajaannya kepada kedua putranya, Karel (memerintah 768–814) dan Karloman (memerintah 768–771). Ketika Karloman mangkat secara wajar, Karel menghalangi penobatan putra Karloman yang masih belia, dan malah menobatkan dirinya sendiri menjadi raja atas wilayah gabungan Austrasia dan Neustria. Karel, yang lebih dikenal dengan nama Karel Agung (bahasa Latin: Carolus Magnus, bahasa Prancis: Charlemagne), melancarkan serangkaian upaya sistematis untuk meluaskan wilayah pada 774 dengan mempersatukan sebagian besar negeri di Eropa, dan pada akhirnya berhasil menguasai wilayah-wilayah yang kini menjadi wilayah negara Prancis, kawasan utara Italia, dan wilayah Sachsen. Dalam perang yang baru berakhir selepas tahun 800 ini, Karel Agung mengganjari sekutu-sekutunya dengan harta pampasan perang dan kekuasaan atas berbidang-bidang tanah lungguh.[100] Pada 774, Karel Agung menaklukkan orang Lombardi, sehingga lembaga kepausan terbebas dari ancaman penaklukan oleh orang Lombardi dan mulai mendirikan Negara Gereja.[101][upper-alpha 11]
Penobatan Karel Agung menjadi kaisar pada hari Natal tahun 800 dianggap sebagai titik balik dalam sejarah Abad Pertengahan. Penobatan ini menandai kebangkitan kembali Kekaisaran Romawi Barat, karena kaisar yang baru ini memerintah atas sebagian besar wilayah yang dahulu kala dikuasai oleh para Kaisar Romawi Barat.[103] Penobatan ini juga menjadi awal perubahan sifat hubungan antara Karel Agung dan kekaisaran Romawi Timur, karena dengan menyandang gelar kaisar, raja-raja wangsa Karoling menyatakan diri setara dengan para penguasa Romawi Timur.[104] Kekaisaran Karoling yang baru berdiri ini memiliki sejumlah perbedaan dengan Kekaisaran Romawi lama maupun dengan Kekaisaran Romawi Timur kala itu. Wilayah kedaulatan orang Franka bercorak pedesaan dan hanya memiliki beberapa kota kecil. Rata-rata warganya adalah petani yang menetap di lahan-lahan kecil. Kegiatan dagang hanya berskala kecil, dan sebagian besar dilakukan dengan kepulauan Inggris dan Skandinavia, jauh berbeda dari jaringan niaga Kekaisaran Romawi lama yang berpusat di Laut Tengah.[103] Pemerintahan Kekaisaran Karoling diselenggarakan oleh suatu majelis keliling yang senantiasa berpindah-pindah mengikuti perjalanan jelajah kaisar, serta kurang lebih 300 pegawai kekaisaran yang disebut bupati (bahasa Latin: comes, bahasa Prancis: comte, bahasa Jerman: graf), yang menyelenggarakan pemerintahan kabupaten (bahasa Latin: comitatus, bahasa Prancis: comitat, bahasa Jerman: grafschaft), yakni satuan wilayah pemerintahan di Kekaisaran Karoling. Rohaniwan dan uskup-uskup setempat dikaryakan sebagai pamong praja maupun pegawai kekaisaran yang disebut para missi dominici. Para missi dominici bekerja sebagai penilik keliling dan petugas penanggulangan masalah.[105]
Istana Karel Agung di Aachen menjadi pusat kebangkitan budaya yang adakalanya disebut "Abad Pembaharuan Karoling". Angka melek aksara meningkat, seiring berkembangnya seni rupa, arsitektur, dan tatanan hukum, demikian pula dengan kajian-kajian mengenai liturgi dan kitab suci. Alcuin (wafat 804), rahib Inggris yang diundang ke Aachen, datang membawa pendidikan ala biara-biara Northumbria. Cancellaria, yakni jawatan setia usaha atau kepaniteraan pada masa pemerintahan Karel Agung, menggunakan ragam aksara baru yang kini disebut ragam huruf kecil Karoling.[upper-alpha 12] Kebijakan kepaniteraan Karel Agung ini telah memunculkan suatu ragam tulis umum yang mendorong kemajuan komunikasi di hampir seluruh Benua Eropa. Karel Agung mendukung perubahan-perubahan dalam liturgi Gereja, serta mewajibkan penerapan tata ibadat Gereja Roma dan penggunaan kidung Gregorian sebagai musik liturgi Gereja di wilayah kedaulatannya. Salah satu kegiatan utama para cendekiawan kala itu adalah menyalin, memperbaiki, dan menyebarluaskan karya-karya tulis lama, baik karya tulis keagamaan maupun karya tulis sekuler, demi kemajuan pendidikan. Mereka juga menghasilkan sejumlah karya tulis keagamaan dan buku-buku pelajaran yang baru.[107] Para ahli bahasa kala itu mengubah suai bahasa Latin dari ragam klasik warisan Kekaisaran Romawi menjadi ragam yang lebih luwes agar selaras dengan kebutuhan Gereja dan pemerintah. Pada masa pemerintahan Karel Agung, bahasa Latin yang digunakan sudah sangat menyimpang dari ragam klasiknya sehingga kemudian hari disebut bahasa Latin Abad Pertengahan.[108]
Karel Agung berniat meneruskan adat waris Franka dengan membagi wilayah kerajaannya kepada seluruh ahli warisnya, akan tetapi niatnya itu tidak terkabul karena hanya tinggal Ludwig Saleh (memerintah 814–840) yang masih hidup pada 813. Sebelum mangkat pada 814, Karel Agung menobatkan Ludwig menjadi penggantinya. Masa pemerintahan Ludwig sepanjang 26 tahun ditandai beberapa kali pembagi-bagian wilayah Kekaisaran Karoling di antara putra-putranya dan, setelah 829, pecah beberapa kali perang saudara memperebutkan kekuasaan atas berbagai bagian wilayah Kekaisaran Karoling. Selama berlangsungnya perang-perang saudara ini, Ludwig bersekutu dengan salah seorang putranya untuk melawan putranya yang lain. Ludwig akhirnya mengakui putra sulungnya yang bernama Lothar I (wafat 855) sebagai kaisar dan menyerahkan wilayah Italia kepadanya. Ludwig membagi wilayah kekaisaran selebihnya kepada Lothar dan Karel Gundul (wafat 877), putra bungsunya. Lothar menguasai Negeri Franka Timur yang terletak di kedua tepi Sungai Rhein dan membentang sampai ke sebelah timur, sementara Karel menguasai Negeri Franka Barat beserta wilayah kekaisaran di sebelah barat daerah Rheinland dan Pegunungan Alpen. Ludwig Jerman (wafat 876), anak tengah Karel yang tak kunjung jera memberontak, diizinkan menguasai daerah Bayern di bawah suzerenitas abangnya. Pembagian wilayah ini malah menimbulkan pertikaian. Cucu kaisar yang bernama Pipin II dari Aquitania (wafat sesudah 864), bangkit memberontak hendak mengusai Aquitania, sementara Ludwig Jerman berusaha menguasai seluruh Negeri Franka Timur. Ludwig Saleh mangkat pada 840, meninggalkan Kekaisaran Karoling dalam keadaan kacau balau.[109]
Perang saudara selama tiga tahun pun berkecamuk setelah Ludwig Saleh mangkat. Dengan Perjanjian Verdun (843), diciptakan sebuah kerajaan baru bagi Lothar yang terletak di antara Sungai Rhein dan Sungai Rhone sebagai tambahan bagi wilayah Italia yang dikuasainya. Selain itu, Lothar juga diakui sebagai Kaisar. Ludwig Jerman menguasai Bayern dan daerah-daerah di kawasan timur Negeri Franka yang sekarang termasuk dalam wilayah negara Jerman. Karel Gundul mendapatkan daerah-daerah di kawasan barat Negeri Franka yang meliputi hampir seluruh wilayah negara Prancis sekarang ini.[109] Cucu-cucu dan cicit-cicit Karel Agung membagi-bagi lagi wilayah kerajaan-kerajaan mereka kepada anak cucu mereka, sehingga keutuhan wilayah Kekaisaran Karoling pada akhirnya sirna.[110][upper-alpha 13] Pada 987, wangsa Karoling tersingkir dari tampuk kekuasaan di Negeri Franka Barat, manakala Hugo Capet (memerintah 987–996) dinobatkan menjadi raja.[upper-alpha 14][upper-alpha 15] Di Negeri Franka Timur, wangsa Karoling telah punah manakala Raja Ludwig Bocah mangkat pada 911,[113] dan Konrad I (memerintah 911–918), yang tidak memiliki pertalian apa-apa dengan wangsa Karoling, terpilih menjadi raja.[114]
Perpecahan Kekaisaran Karoling terjadi bersamaan dengan invasi, migrasi, dan penyerangan oleh seteru dari luar. Kawasan pantai Samudra Atlantik dan pesisir utara dirongrong oleh orang Viking, yang juga menyerbu serta mendiami Kepulauan Britania dan Islandia. Pada 911, Kepala Suku Viking yang bernama Rollo (wafat sekitar 931) mendapatkan izin dari Raja Orang Franka, Karel Polos (memerintah 898–922) untuk bermukim di daerah yang kini bernama Normandie di negara Prancis.[115][upper-alpha 16] Kawasan timur Negeri Franka, khususnya Jerman dan Italia, terus-menerus dirongrong oleh orang Magyar yang baru dapat dikalahkan dalam Pertempuran Lechfeld pada 955.[117] Perpecahan Khilafah Bani Abbas mengakibatkan Dunia Islam terpecah-belah menjadi banyak negara kecil, beberapa di antaranya mulai berusaha meluaskan wilayah kedaulatan sampai ke Italia, Sisilia, dan melewati Pegunungan Pirenia sampai ke kawasan selatan Negeri Franka.[118]
Usaha raja-raja pribumi untuk melawan serangan kaum pendatang menghasilkan pembentukan entitas-entitas politik baru. Di Pulau Britania yang dihuni orang Saksen-Inggris, Raja Alfred Agung (memerintah 871–899) menyepakati sebuah perjanjian dengan para penyerang Viking pada penghujung abad ke-9, yang menghasilkan pendirian permukiman-permukiman orang Dani di Northumbria, Mercia, dan sejumlah daerah di Anglia Timur.[119] Pada pertengahan abad ke-10, para pengganti Raja Alfred Agung berjaya menaklukkan Northumbria, dan memulihkan kekuasaan orang Saksen-Inggris atas sebagian besar kawasan selatan Pulau Britania.[120] Di kawasan utara Pulau Britania, Cináed mac Ailpín (wafat sekitar 860) mempersatukan orang Pikti dan orang Skoti ke dalam Kerajaan Alba.[121] Pada awal abad ke-10, wangsa Otto telah berhasil menjadi wangsa yang terkemuka di Jerman, dan memimpin perjuangan mengusir para penyerang Magyar. Perjuangan ini mencapai puncaknya dengan penobatan Otto I (memerintah 936–973) menjadi Kaisar Romawi Suci pada 962.[122] Pada 972, ia berhasil mendapatkan pengakuan atas gelar kaisarnya dari Kekaisaran Romawi Timur, yang ia kukuhkan melalui pernikahan putranya, Otto II (memerintah 967–983), dengan Teofania (wafat 991), kemenakan dari Kaisar Romawi Timur yang sedang memerintah dan putri dari mendiang Kaisar Romawi Timur sebelumnya, Romanos II (memerintah 959–963).[123] Menjelang akhir abad ke-10, Italia telah berhasil dimasukkan ke dalam mandala kekuasaan wangsa Otto setelah negeri itu dilanda kekacauan.[124] Kaisar Otto III (memerintah 996–1002) kemudian hari bermastautin di Italia.[125] Negeri Franka Barat kian terpecah-belah. Meskipun secara nominal masih diperintah oleh raja-raja, sebagian besar kuasa politik di negeri itu sudah berpindah ke tangan para kepala daerah.[126]
Usaha pengkristenan masyarakat Skandinavia pada abad ke-9 dan ke-10 membantu memperkuat pertumbuhan kerajaan-kerajaan di kawasan itu, misalnya Kerajaan Swedia, Kerajaan Denmark, dan Kerajaan Norwegia, yang lama-kelamaan semakin besar kekuatannya dan semakin luas pula wilayah kedaulatannya. Sejumlah raja beralih keyakinan menjadi pemeluk agama Kristen, meskipun tidak semuanya beralih keyakinan pada tahun 1000. Orang-orang Skandinavia juga melakukan perluasan wilayah dan melakukan kolonisasi di seluruh Eropa. Selain di Irlandia, Inggris, dan Normandia, orang-orang Skandinavia juga mendirikan permukiman di kawasan-kawasan yang kini menjadi wilayah negara Rusia dan wilayah negara Islandia. Para pedagang dan penjarah dari Swedia menjelajahi sungai-sungai yang mengaliri stepa Rusia, bahkan pernah mencoba merebut Konstantinopel pada 860 dan 907.[127] Negeri Kristen Spanyol mula-mula hanya mencakup wilayah yang tak seberapa luas di kawasan utara Jazirah Iberia, tetapi lambat laun meluas ke kawasan selatan pada abad ke-9 dan ke-10, serta membentuk Kerajaan Asturias dan Kerajaan León.[128]
Di Eropa Timur, Romawi Timur memulihkan kemakmurannya pada masa pemerintahan Kaisar Basilius I (memerintah 867–886) dan para penggantinya, Kaisar Leo VI (memerintah 886–912) dan Kaisar Konstantinus VII (memerintah 913–959). Ketiga-tiganya berasal dari wangsa Makedonia. Perniagaan kembali bergairah, dan para kaisar berusaha menyeragamkan tata laksana administrasi pemerintahan di seluruh provinsi Kekaisaran Romawi Timur. Militer kekaisaran ditata kembali sehingga memungkinkan Kaisar Yohanes I (memerintah 969–976) dan Kaisar Basilius II (memerintah 976–1025) menggeser maju seluruh tapal batas wilayah kekaisaran. Lingkungan istana Kekaisaran Romawi Timur menjadi pusat kebangkitan pendidikan klasik. Proses kebangkitan pendidikan klasik ini dikenal dengan sebutan Abad Pembaharuan Makedonia. Para pujangga seperti Yohanes Geometres (aktif berkarya pada awal abad ke-10) menggubah madah-madah baru, syair-syair baru, dan menghasilkan karya-karya tulis baru dari ragam-ragam sastra lainnya.[129] Usaha penyebaran agama Kristen yang dilakukan rohaniwan-rohaniwan Gereja Timur maupun Gereja Barat berhasil membuat orang Moravia, orang Bulgaria, orang Bohemia, orang Polandia, orang Magyar, dan orang Slav dari Rus' Kiev berganti keyakinan menjadi pemeluk agama Kristen. Perpindahan agama ini turut berjasa dalam pembentukan negara politik di negeri-negeri kediaman suku-suku bangsa itu, yakni negara Moravia, negara Bulgaria, negara Bohemia, negara Polandia, negara Hungaria, dan negara Rus' Kiev.[130] Wilayah negara Bulgaria, yang didirikan sekitar tahun 680, pada puncak kejayaannya membentang dari Budapest sampai ke Laut Hitam, dan dari Sungai Dnieper di Ukraina sekarang ini sampai ke Laut Adriatik.[131] Pada 1018, bangsawan-bangsawan terakhir Bulgaria telah takluk di bawah Kekaisaran Romawi Timur.[132]
Hanya segelintir gedung batu berukuran besar yang dibangun selepas pendirian basilika-basilika zaman Konstantinus pada abad ke-4 sampai dengan abad ke-8, tetapi ada banyak bangunan batu dalam ukuran yang lebih kecil dibangun antara abad ke-6 dan abad ke-7. Pada permulaan abad ke-8, Kekaisaran Karoling menghidupkan kembali arsitektur basilika.[134] Salah satu tampilan dari basilika zaman Kekaisaran Karoling adalah penambahan transep,[135] yakni dua sayap bangunan yang dibangun berhadapan pada kedua sisi bangunan induk sehingga membentuk ruang melintang yang memisahkan panti umat dari panti imam sekaligus membuat keseluruhan bangunan tampak seperti sebuah salib raksasa.[136] Tampilan-tampilan baru lainnya pada arsitektur rumah ibadat meliputi menara persimpangan dan pintu masuk megah yang lazimnya dibangun pada sisi barat gedung gereja.[137]
Karya-karya seni rupa Karoling dibuat bagi segelintir tokoh di kalangan istana, dan bagi biara-biara maupun gereja-gereja yang mereka tunjangi. Geliat seni rupa Karoling didominasi oleh usaha-usaha untuk menghadirkan kembali keagungan dan ciri khas Yunani-Romawi dari seni rupa Romawi Timur dan Kekaisaran Romawi, tetapi dipengaruhi pula oleh seni rupa Insuler dari Kepulauan Britania. Seni rupa insuler memadukan kekuatan langgam hias Kelt Irlandia dan Jermanik Saksen-Inggris dengan hasil-hasil budaya khas Laut Tengah seperti buku, dan menciptakan banyak ciri khas seni rupa sepanjang Abad Pertengahan. Karya-karya seni rupa agamawi yang sintas dari kurun waktu Awal Abad Pertengahan kebanyakan berupa naskah beriluminasi dan karya seni ukir gading, yang mula-mula ditampilkan pada barang-barang hasil pengolahan logam yang semenjak saat itu sudah dilebur.[138][139] Benda-benda yang dibuat dari logam mulia merupakan wujud karya seni yang paling dihargai, tetapi hampir semuanya sudah musnah kecuali beberapa buah salib seperti Salib Raja Lothar, beberapa buah relikuarium, serta temuan-temuan seperti barang-barang bekal kubur buatan Saksen-Inggris di Sutton Hoo, harta karun Gourdon di Prancis dari zaman wangsa Meroving, harta karun Guarrazar di Spanyol dari zaman Visigoth, dan harta karun Nagyszentmiklós di dekat wilayah Kekaisaran Romawi Timur. Ada pula peninggalan kerongsang-kerongsang berukuran besar dalam bentuk fibula maupun penanuler yang merupakan barang kelengkapan pribadi yang penting di kalangan elit, salah satu contohnya adalah Kerongsang Tara dari Irlandia.[140] Sebagian besar buku-buku yang disarati hiasan adalah kitab-kitab Injil. Banyak di antaranya yang masih lestari sampai sekarang, antara lain Kitab Kells yang khas Insuler, Kitab Injil Lindisfarne, dan Kitab Emas Santo Emeranus yang merupakan salah satu kitab Injil dengan sampul mewah dari emas bertatah permata yang masih utuh.[141] Agaknya orang-orang di lingkungan istana Karel Agunglah yang berjasa membuat patung-patung pahatan monumental menyerupai makhluk hidup diterima ke dalam khazanah seni rupa Kristen,[142] dan menjelang akhir masa pemerintahan Karel Agung, patung-patung yang nyaris seukuran dengan manusia asli semisal Salib Gero sudah lumrah dijumpai di gedung-gedung gereja utama.[143]
Perkembangan-perkembangan utama di bidang militer pada kurun waktu akhir Kekaisaran Romawi meliputi usaha untuk membentuk pasukan-pasukan aswasada yang tangguh, dan usaha berkelanjutan untuk membentuk berbagai macam pasukan khusus. Pembentukan satuan-satuan prajurit bersenjata berat jenis katafrak (berbaju zirah lengkap) menjadi pasukan-pasukan aswasada adalah salah satu hasil reka cipta militer Romawi yang penting pada abad ke-5. Bermacam-macam suku yang menginvasi wilayah Kekaisaran Romawi menonjolkan jenis prajurit andalan yang berbeda-beda, mulai dari pasukan pejalan kaki andalan orang Saksen-Inggris yang menginvasi Britania sampai dengan pasukan-pasukan aswasada yang merupakan bagian terbesar dari bala tentara orang Vandal dan orang Visigoth.[144] Pada permulaan kurun waktu invasi, sanggurdi belum dikenal dan digunakan untuk berperang, sehingga membatasi pendayagunaan pasukan aswasada sebagai pasukan pembidas, karena penunggang tidak mungkin dapat mengayunkan senjata dengan kekuatan penuh sambil berkuda tanpa sanggurdi.[145] Perkembangan terbesar di bidang militer pada kurun waktu invasi adalah peralihan ke pemakaian busur rakitan khas Hun sebagai pengganti busur rakitan khas Skitia yang lebih lemah dan sebelumnya lazim digunakan.[146] Perkembangan lainnya adalah peningkatan pemakaian pedang panjang,[147] dan peralihan bertahap dari pemakaian zirah sisik ke pemakaian zirah rantai dan zirah keping.[148]
Pasukan pejalan kaki dan aswasada semakin kurang diandalkan pada permulaan zaman Kekaisaran Karoling, seiring dengan kian diandalkannya pasukan aswasada khusus berperlengkapan berat. Pengerahan satuan-satuan wajib militer jenis milisi yang berasal dari warga berstatus merdeka (bukan budak belian) kian berkurang pada zaman Kekaisaran Karoling.[149] Meskipun terdiri atas sejumlah besar penunggang kuda, sebagian besar prajurit pada permulaan zaman Kekaisaran Karoling adalah prajurit pejalan kaki yang menunggang kuda, bukan aswasada yang sesungguhnya.[150] Berbeda dari bala tentara Saksen-Inggris yang masih terdiri atas pasukan-pasukan wajib militer daerah yang disebut fyrd, di bawah pimpinan pembesar daerah masing-masing.[151] Salah satu perubahan utama di bidang teknologi militer adalah kemunculan kembali busur silang, yang sudah dikenal pada zaman Kekaisaran Romawi dan digunakan kembali sebagai senjata militer pada penghujung kurun waktu Awal Abad Pertengahan.[152] Perubahan lainnya adalah pengenalan sanggurdi, yang meningkatkan daya guna pasukan aswasada sebagai pasukan pembidas. Salah satu kemajuan teknologi yang juga dirasakan manfaatnya di luar lingkungan militer adalah ladam, yang memungkinkan orang memacu kuda di medan berbatu.[153]
Puncak Abad Pertengahan adalah kurun waktu terjadinya lonjakan populasi secara besar-besaran. Populasi Eropa diperkirakan melonjak dari 35 juta jiwa menjadi 80 juta jiwa antara tahun 1000 dan 1347. Meskipun penyebabnya belum diketahui secara pasti, diduga lonjakan populasi ini disebabkan oleh semakin baiknya tata cara bercocok tanam, berkurangnya perbudakan, iklim yang lebih baik, maupun ketiadaan invasi.[156][157] Sebanyak-banyaknya 90% populasi Eropa masih terdiri atas kaum tani yang bermukim di desa-desa. Banyak di antaranya tidak lagi mendiami lahan-lahan terpencil, tetapi sudah hidup bersama-sama dalam komunitas-komunitas kecil yang disebut desa atau tanah lungguh.[157] Kaum tani sering kali menjadi kawula kaum ningrat pemilik tanah lungguh (bahasa Inggris: manor), dan membayar sewa lahan atau memberikan berbagai macam bentuk pelayanan kepada majikan-majikan ningrat mereka. Tatanan semacam ini disebut manorialisme. Meskipun demikian, masih ada segelintir petani merdeka (bukan kawula tuan tanah) pada kurun waktu ini maupun sesudahnya.[158] Petani-petani merdeka semacam ini lebih banyak terdapat di kawasan selatan daripada di kawasan utara Eropa. Praktik babad atau meneroka lahan baru untuk digarap dengan cara menawarkan insentif kepada petani yang bersedia menempatinya, juga turut berdampak pada lonjakan populasi.[159]
Sistem pertanian lahan terbuka lumrah dipraktikkan di hampir seluruh Eropa, teristimewa di "kawasan barat laut dan kawasan tengah Eropa."[160] Komunitas-komunitas tani lahan terbuka memiliki tiga ciri utama, yakni lahan-lahan garapan perseorangan dalam bentuk petak-petak lahan yang tersebar di berbagai pelosok tanah lungguh, rotasi jenis tanaman dari tahun ke tahun untuk menjaga kesuburan tanah, dan lahan bersama yang dimanfaatkan sebagai tempat melepas ternak atau untuk keperluan lain.[161]
Golongan-golongan lain dalam masyarakat adalah kaum ningrat, rohaniwan, dan warga kota. Kaum ningrat, baik bangsawan penyandang gelar maupun kesatria berkuda biasa, menafkahi dirinya dari hasil pemanfaatan tanah lungguh dan pengaryaan rakyat tani, meskipun mereka tidak memiliki lahan sendiri dan hanya dianugerahi hak untuk menikmati hasil pemanfaatan tanah lungguh atau tanah-tanah lain oleh bangsawan majikan mereka. Tatanan semacam ini disebut feodalisme. Pada abad ke-11 dan ke-12, tanah-tanah atau feodum ini mulai dianggap sebagai tanah pusaka keluarga, dan di banyak tempat sudah tidak ada lagi kebiasaan membagi-bagikan tanah kepada seluruh ahli waris sebagaimana yang terjadi pada kurun waktu Awal Abad Pertengahan. Kebanyakan feodum dan tanah justru diwariskan seluruhnya kepada putra tertua pewaris.[162][upper-alpha 17] Keistimewaan-keistimewaan kaum ningrat adalah menguasai tanah, menunaikan kewajiban bela negara dengan menjadi prajurit aswasada berperlengkapan berat, menguasai puri, dan dikecualikan dari kewajiban membayar pajak atau kewajiban-kewajiban lain.[upper-alpha 18] Puri-puri, yang mula-mula terbuat dari kayu tetapi kemudian hari dibangun dari batu, mulai didirikan pada abad ke-9 dan ke-10 sebagai ikhtiar menghadapi suasana kalut ketika itu, sebagai tempat berlindung dari invasi, dan sebagai tempat para bangsawan mempertahankan diri dari saingan-saingan mereka. Penguasaan puri memungkinkan para bangsawan untuk menentang raja-raja atau bangsawan-bangsawan majikan mereka.[164] Kaum ningrat digolong-golongkan ke dalam beberapa tingkatan; raja-raja dan bangsawan-bangsawan dari golongan tertinggi berkuasa atas sejumlah besar rakyat jelata, memiliki berbidang-bidang tanah yang luas, dan membawahi bangsawan-bangsawan lain. Di bawah raja-raja dan bangsawan-bangsawan golongan tertinggi ini terdapat bangsawan-bangsawan dari golongan rendah yang berkuasa atas rayat jelata dalam jumlah yang lebih sedikit, dan memiliki bidang-bidang tanah dengan luas yang lebih terbatas. Golongan kesatria berkuda adalah golongan ningrat yang paling bawah; mereka diberi kekuasaan atas bidang-bidang tanah tertentu tetapi bukan sebagai pemiliknya, dan harus pula mengabdi kepada bangsawan-bangsawan lain.[165][upper-alpha 19]
Kaum rohaniwan dibedakan menjadi dua macam rohaniwan, yakni rohaniwan sekuler yang hidup di tengah-tengah masyarakat, serta rohaniwan reguler yang hidup menurut regula (tata tertib agamawi) dan lazimnya berstatus biarawan.[167] Sepanjang kurun waktu ini, para biarawan merupakan golongan terkecil dalam masyarakat, biasanya di bawah 1% dari keseluruhan populasi.[168] Sebagian besar rohaniwan reguler berasal dari kalangan ningrat, yakni kalangan yang juga menjadi lahan perekrutan rohaniwan sekuler berpangkat tinggi. Para imam paroki setempat sering kali berasal dari kalangan rakyat tani.[169] Warga kota menempati posisi yang kurang lazim karena mereka tidak termasuk dalam tiga golongan masyarakat tradisional, yakni kaum ningrat, kaum rohaniwan, dan kaum tani. Pada abad ke-12 dan ke-13, jumlah kalangan ini semakin meningkat seiring membesarnya kota-kota lama dan terbentuknya pusat-pusat populasi yang baru.[170] Meskipun demikian, jumlah warga kota sepanjang Abad Pertengahan mungkin tak pernah melampaui 10% dari keseluruhan populasi.[171]
Orang Yahudi juga menyebar ke seluruh Eropa pada Puncak Abad Pertengahan. Paguyuban-paguyuban umat Yahudi dibentuk di Jerman dan Inggris pada abad ke-11 dan ke-12, tetapi umat Yahudi Spanyol, yang sudah lama menetap di Spanyol semenjak masa pemerintahan kaum Muslim, semakin lama semakin ditekan agar beralih keyakinan menjadi pemeluk agama Kristen setelah Spanyol diperintah oleh penguasa Kristen.[76] Sebagian besar orang Yahudi terpaksa bermukim di kota-kota, karena mereka tidak dibenarkan memiliki lahan maupun menjadi petani.[172][upper-alpha 20] Selain orang Yahudi, ada pula masyarakat-masyarakat non-Kristen lain di kawasan pinggiran Eropa, yakni suku bangsa Slav pagan di kawasan timur Eropa, dan kaum Muslim di kawasan selatan Eropa.[173]
Kaum perempuan pada Abad Pertengahan secara resmi diwajibkan tunduk pada perwalian kaum lelaki, entah ayah, suami, atau kerabat lelaki mereka yang lain. Para janda, yang sering kali diberi lebih banyak keleluasaan untuk mengatur hidupnya sendiri, tetap saja dibatasi secara hukum. Pekerjaan kaum perempuan pada umumnya adalah mengurus rumah tangga atau mengerjakan tugas-tugas lain yang berkaitan dengan rumah tangga. Perempuan-perempuan kaum tani biasanya bertanggung jawab merawat rumah, mengasuh anak, serta berkebun dan beternak di sekitar rumah. Mereka dapat pula mencari penghasilan tambahan bagi rumah tangganya dengan memintal benang atau menggodok bir di rumah. Pada masa panen, mereka juga diharapkan turut bekerja di ladang.[174] Perempuan-perempuan warga kota, sebagaimana perempuan-perempuan kaum tani, bertanggung jawab merawat rumah, dan juga menggeluti dunia usaha. Jenis-jenis usaha yang terbuka bagi kaum perempuan berbeda-beda dari negeri ke negeri dan dari masa ke masa.[175] Perempuan-perempuan ningrat bertanggung jawab mengelola rumah tangga, dan adakalanya juga diharapkan mengelola tanah lungguh bilamana tidak ada kerabat laki-laki, tetapi biasanya tidak dibenarkan ikut campur dalam urusan ketentaraan dan pemerintahan. Satu-satunya peran yang terbuka bagi kaum perempuan di lingkungan Gereja adalah menjadi biarawati, karena mereka tidak mungkin menjadi imam.[174]
Di kawasan tengah dan utara Italia juga di Flandria, pertumbuhan kota-kota sampai ke taraf swatantra merangsang pertumbuhan ekonomi dan menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan terbentuknya perhimpunan-perhimpunan usaha jenis baru. Kota-kota niaga di pesisir Laut Baltik membentuk persekutuan yang dikenal dengan sebutan Liga Hansa, dan republik-republik bahari di Italia seperti Venesia, Genova, dan Pisa melebarkan jaringan usaha mereka ke seluruh kawasan Laut Tengah.[upper-alpha 21] Pekan-pekan raya dunia usaha diselenggarakan dan berkembang pesat di kawasan utara Prancis kala itu, sehingga memungkinkan saudagar-saudagar Italia dan Jerman maupun saudagar-saudagar setempat untuk menjalin hubungan usaha.[177] Pada penghujung abad ke-13, jalur-jalur darat maupun laut yang baru menuju Timur Jauh mulai dirintis, sebagaimana yang dijabarkan dalam Kisah Perjalanan Marco Polo, karya tulis seorang usahawan yang bernama Marco Polo (wafat 1324).[178] Selain terbukanya peluang-peluang usaha yang baru, perbaikan tata cara bercocok tanam dan teknologi memungkinkan peningkatan hasil panen, sehingga membuka peluang bagi perluasan jaringan perniagaan.[179] Maraknya perniagaan memunculkan metode-metode baru dalam mengelola uang, dan uang-uang emas kembali dicetak di Eropa, mula-mula di Italia, dan kemudian juga di Prancis serta negara-negara lain. Muncul bentuk-bentuk perjanjian dagang baru yang memungkinkan risiko kerugian ditanggung bersama-sama oleh semua saudagar yang terlibat. Metode-metode akuntansi semakin membaik, sebagian berkat penerapan pembukuan berpasangan; muncul pula surat-surat kredit yang memudahkan perpindahan uang.[180]
Puncak Abad Pertengahan adalah kurun waktu formatif dalam sejarah negara modern di Dunia Barat. Raja-raja di Prancis, Inggris, dan Spanyol memperkukuh kekuatan mereka, dan membentuk lembaga-lembaga pemerintahan yang terus bertahan dalam waktu yang sangat lama.[181] Kerajaan-kerajaan baru, seperti Hungaria dan Polandia, menjadi kekuatan-kekuatan utama di kawasan tengah Eropa setelah menerima agama Kristen.[182] Orang Magyar menetap di Hungaria sekitar tahun 900 di bawah pimpinan Raja Árpád (wafat sekitar 907) setelah beberapa kali melancarkan invasi pada abad ke-9.[183] Lembaga kepausan, yang sudah lama terpikat pada ideologi kemerdekaan dari raja-raja sekuler, untuk pertama kali dalam sejarahnya menyatakan diri sebagai penguasa duniawi atas seluruh Dunia Kristen. Monarki kepausan mencapai puncak kejayaannya pada awal abad ke-13 di bawah kepemimpinan Paus Inosensius III (menjabat 1198–1216).[184] Perang Salib Utara dan pergerakan kerajaan-kerajaan dan tarekat-tarekat militer Kristen ke daerah-daerah pagan di kawasan Laut Baltik dan kawasan timur laut Finlandia mengakibatkan terjadinya asimilasi paksa sejumlah besar suku bangsa pribumi setempat ke dalam kebudayaan Eropa.[185]
Pada permulaan kurun waktu Puncak Abad Pertengahan, Jerman berada di bawah pemerintahan wangsa Otto yang bersusah payah berusaha mengendalikan adipati-adipati yang sangat berkuasa di negeri itu, yakni para penguasa wilayah-wilayah kesukuan yang terbentuk pada Zaman Migrasi. Pada 1024, wangsa Otto digantikan oleh wangsa Sali, yang terkenal pernah bertikai dengan lembaga kepausan pada masa pemerintahan Kaisar Heinrich IV (memerintah 1084–1105) sehubungan dengan kewenangan Sri Paus untuk mengangkat petinggi Gereja. Pertikaian seputar kewenangan mengangkat petinggi gereja ini disebut Kontroversi Investitur.[186] Kaisar-kaisar penggantinya masih harus berjuang keras menghadapi lembaga kepausan maupun kaum ningrat Jerman. Sepeninggal Kaisar Heinrich V yang mangkat tanpa meninggalkan ahli waris, Jerman memasuki kurun waktu instabilitas yang baru berakhir setelah Friedrich Barbarossa (memerintah 1155–1190) naik takhta.[187] Meskipun Friedrich Barbarossa memerintah secara efektif, permasalahan-permasalahan hakiki belum juga tuntas, sehingga kaisar-kaisar penggantinya pun masih harus berjuang keras sampai dengan abad ke-13.[188] Cucu Friedrich Barbarossa, Friedrich II (memerintah 1220–1250), yang juga mewarisi takhta Kerajaan Sisilia melalui garis nasab ibunya, berulang kali bertikai dengan lembaga kepausan. Majelis istananya terkenal beranggotakan kaum cerdik pandai, dan ia sendiri acap kali dituduh sebagai seorang ahli bidah.[189] Friedrich II maupun kaisar-kaisar penggantinya harus berjuang menanggulangi berbagai macam kesulitan, antara lain invasi bangsa Mongol ke Eropa pada pertengahan abad ke-13. Bangsa Mongol mula-mula meluluhlantakkan kepangeranan-kepangeranan Rus' Kiev, dan selanjutnya menginvasi kawasan timur Eropa pada tahun 1241, 1259, dan 1287.[190]
Di bawah pemerintahan raja-raja wangsa Capet, monarki Prancis sedikit demi sedikit menundukkan kaum ningrat. Dari daerah Île-de-France, raja-raja wangsa Capet perlahan-lahan meluaskan kekuasaannya ke daerah-daerah lain di wilayah Prancis pada abad ke-11 dan ke-12.[191] Saingan terberat raja-raja wangsa Capet adalah para Adipati Normandia. Pada 1066, Adipati Normandia, Guillaume II atau William Sang Penakluk (menjabat 1035–1087), berhasil menaklukkan Inggris (memerintah selaku Raja Inggris 1066–1087) dan membangun sebuah kekaisaran lintas selat yang mampu bertahan dalam berbagai bentuknya sepanjang sisa kurun waktu Abad Pertengahan.[192][193] Orang Norman juga mendiami Sisilia dan kawasan selatan Italia, semenjak Robert Guiscard (wafat 1085) mendarat di pulau itu pada 1059 dan mendirikan sebuah kadipaten yang menjadi cikal bakal Kerajaan Sisilia.[194] Pada masa pemerintahan raja-raja Inggris dari wangsa Anjou, terutama Raja Henry II (memerintah 1154–1189) dan putranya, Raja Richard I (memerintah 1189–99), raja-raja Inggris memerintah atas wilayah Inggris dan daerah yang luas di wilayah Prancis.[195][upper-alpha 22] Sebagian besar dari daerah kekuasaan di wilayah Prancis ini menjadi milik pusaka wangsa Anjou semenjak Raja Henry II menikahi Aliénor, Adipati Putri Aquitania (wafat 1204), ahli waris atas sebagian besar daerah di kawasan selatan Prancis.[197][upper-alpha 23] Kadipaten Normandia dan daerah-daerah kekuasaan Inggris di kawasan utara Prancis jatuh ke tangah Raja Prancis, Philippe Auguste (memerintah 1180–1223), pada masa pemerintahan adik dari Raja Richard I, Raja John (memerintah 1199–1216). Hilangnya daerah kekuasaan ini menimbulkan perselisihan di kalangan bangsawan Inggris, sementara pungutan paksa yang diberlakukan Raja John guna mendanai usahanya yang gagal untuk merebut kembali wilayah Normandia berbuntut pada penandatanganan Magna Carta (piagam agung) tahun 1215 yang mengukuhkan hak-hak dan keistimewaan warga merdeka di Inggris. Pada masa pemerintahan putra Raja John, Raja Henry III (memerintah 1216–1272), semakin banyak keleluasaan dianugerahkan kepada kaum bangsawan sehingga mengakibatkan merosotnya kuasa kerajaan.[198] Monarki Prancis melanjutkan usahanya untuk menundukkan kaum ningrat pada penghujung abad ke-12 sampai abad ke-13, sehingga luas kawasan yang diperintah secara langsung oleh raja semakin bertambah, dan pemerintahan Kerajaan Prancis menjadi semakin terpusat.[199] Pada masa pemerintahan Raja Louis IX (memerintah 1226–1270), muruah raja semakin meningkat manakala Raja Prancis menjadi tokoh penengah yang disegani oleh hampir seluruh penguasa di Eropa.[200][upper-alpha 24]
Di Jazirah Iberia, negara-negara Kristen yang terpinggirkan ke kawasan barat laut jazirah mulai berbalik menekan negara-negara Islam di kawasan selatan jazirah pada kurun waktu yang dikenal dengan sebutan Reconquista (penaklukan kembali).[202] Sekitar tahun 1150, masyarakat Kristen di kawasan utara jazirah telah bersatu membentuk lima kerajaan besar, yakni Kerajaan León, Kerajaan Kastila, Kerajaan Aragon, Kerajaan Navara, dan Kerajaan Portugal.[203] Kawasan selatan Jazirah Iberia masih dikuasai negara-negara Islam merdeka yang disebut taifa, pecahan dari Khilafah Kordoba (bahasa Arab: خلافة قرطبة, Khilāfat Qurṭuba) yang runtuh pada 1031.[202] Negara-negara Islam ini berperang melawan negara-negara Kristen sampai Khilafah Almohad (bahasa Arab: خلافة الموحدون, Khilāfatul Muwaḥḥidūn) menegakkan kembali pemerintahan Islam yang terpusat di kawasan selatan jazirah pada dasawarsa 1170-an.[204] Bala tentara Kristen sekali lagi maju memerangi kaum Muslim pada permulaan abad ke-13. Perang melawan kaum Muslim ini mencapai puncaknya pada peristiwa penaklukan kota Sevilla tahun 1248.[205]
Pada abad ke-11, orang Turki Seljuk merebut sebagian besar wilayah Timur Tengah, menduduki Persia pada dasawarsa 1040-an, Armenia pada dasawarsa 1060-an, dan Yerusalem pada tahun 1070. Pada 1071, bala tentara Turki mengalahkan bala tentara Romawi Timur dalam Pertempuran Manzikert, bahkan berhasil menawan Kaisar Romawi Timur, Romanos IV (memerintah 1068–1071), sehingga orang Turki akhirnya dapat leluasa menginvasi Asia Kecil. Pendudukan Asia Kecil oleh orang Turki merupakan pukulan berat bagi Kekaisaran Romawi Timur, karena harus kehilangan sebagian besar warganya sekaligus pusat kekuatan perekonomiannya. Meskipun mampu kembali menyatukan barisan dan memulihkan kekuatan tempurnya, Kekaisaran Romawi Timur tidak pernah sanggup merebut kembali seluruh Asia Kecil dan sering kali menjadi pihak yang harus bertahan digempur musuh. Bangsa Turki juga menghadapi kesulitan, Yerusalem yang sudah berhasil mereka kuasai akhirnya jatuh ke tangan kaum Fatimiyun dari Mesir, dan didera serangkaian perang saudara.[207] Kekaisaran Romawi Timur juga harus menghadapi bangsa Bulgaria yang kembali bangkit dan menyebar ke seluruh Jazirah Balkan pada penghujung abad ke 12 sampai abad ke 13.[208]
Perang Salib bertujuan merebut Yerusalem dari penguasaan kaum Muslim. Perang Salib Pertama dimaklumkan oleh Paus Urbanus II (menjabat 1088-1099) dalam Konsili Clermont pada 1095 sebagai tanggapan terhadap permintaan bantuan yang diajukan Kaisar Romawi Timur, Aleksios Komnenos (memerintah 1081–1118) untuk membendung laju pergerakan kaum Muslim. Paus Urbanus menjanjikan anugerah indulgensi bagi siapa saja yang ikut serta. Berlaksa-laksa orang dari seluruh lapisan masyarakat berdatangan dari seluruh pelosok Eropa dan merebut Yerusalem pada 1099.[209] Salah satu aksi yang menjadi bagian dari Perang Salib adalah pogrom (aksi pembinasaan) terhadap orang-orang Yahudi Eropa yang sering kali dilakukan pada saat bala Tentara Salib bergerak meninggalkan tanah airnya menuju Dunia Timur. Aksi semacam ini berlangsung sangat brutal, terutama pada masa Perang Salib Pertama,[76] manakala paguyuban-paguyuban umat Yahudi di Köln, Mainz, dan Worms dibinasakan, dan paguyuban-paguyuban umat Yahudi di kota-kota yang terletak di antara Sungai Seine dan Sungai Rhein didera kehancuran.[210] Dampak lain dari Perang Salib adalah terbentuknya tarekat-tarekat zuhud jenis baru, yakni Tarekat Ketentaraan Haikal (bahasa Latin: Ordo Militum Templariorum) dan Tarekat Panti Husada (bahasa Latin: Ordo Hospitalis), yang memadukan cara hidup zuhud dan darmabakti keprajuritan.[211]
Bala Tentara Salib mendirikan negara-negara Tentara Salib di daerah-daerah taklukan mereka. Pada abad ke-12 dan ke-13, timbul serangkaian konflik di antara negara-negara ini dan negara-negara Islam di sekitarnya. Permohonan bantuan yang diajukan negara-negara Tentara Salib kepada lembaga kepausan menghasilkan pemakluman perang-perang Salib berikutnya,[209] misalnya pemakluman Perang Salib Ketiga untuk merebut kembali Yerusalem yang telah jatuh ke tangan Sultan Mesir dan Syam, Saladin (wafat 1193), pada 1187.[212][upper-alpha 25] Pada 1203, Perang Salib Keempat beralih sasaran dari Tanah Suci ke Konstantinopel. Kota Konstantinopel direbut pada 1204 oleh bala Tentara Salib yang mendirikan Kekaisaran Latin Konstantinopel.[214] Peristiwa ini benar-benar melemahkan Kekaisaran Romawi Timur. Meskipun berhasil merebut kembali Konstantinopel pada 1261, Kekaisaran Romawi Timur tidak sanggup lagi memulihkan kekuatannya seperti sediakala.[215] Pada 1291, semua negara Tentara Salib telah ditaklukkan atau disingkirkan dari daratan Timur Tengah, meskipun Kerajaan Yerusalem tituler masih bertahan hidup di Pulau Siprus sampai beberapa tahun kemudian.[216]
Para Paus menyerukan agar perang-perang Salib dikobarkan di tempat-tempat selain Tanah Suci, yakni di Spanyol, di kawasan selatan Prancis, dan di kawasan sekeliling Laut Baltik.[209] Perang Salib Spanyol menyatu dengan Perang Reconquista (penaklukan kembali) negeri Spanyol dari kekuasaan kaum Muslim. Meskipun Tarekat Kesatria Haikal dan Tarekat Kesatria Pramuhusada ikut serta dalam Perang Salib Spanyol, tarekat-tarekat militer religius asli Spanyol juga dibentuk, sebagian besar di antaranya telah bergabung membentuk dua tarekat besar, yakni Tarekat Kalatrava dan Tarekat Santiago, pada permulaan abad ke-12.[217] Kawasan utara Eropa juga masih berada di luar lingkup pengaruh agama Kristen sampai dengan abad ke-11 atau abad-abad sesudahnya, dan menjadi medan tempur Perang Salib Utara pada abad ke-12 sampai dengan abad ke-14. Perang Salib ini juga menghasilkan pembentukan sebuah tarekat militer, yakni Tarekat Saudara-Saudara Pedang. Tarekat lainnya, yakni Tarekat Kesatria Teuton, dibentuk di negara-negara Tentara Salib, tetapi lebih banyak berkiprah di kawasan persekitaran Laut Baltik selepas tahun 1225, dan memindahkan markas besarnya ke Marienburg di Prusia pada 1309.[218]
Pada abad ke-11, perkembangan di bidang ilmu filsafat dan ilmu teologi menyebabkan kegiatan ilmiah meningkat. Penganut paham realisme dan penganut paham nominalisme memperdebatkan konsep "kesemestaan". Wacana-wacana filsafati disemarakkan oleh penemuan kembali gagasan-gagasan Aristoteles yang mengutamakan empirisme dan rasionalisme. Para cendekiawan seperti Petrus Abelardus (wafat 1142) dan Petrus Lombardus (wafat 1164) memperkenalkan logika ala Aristoteles ke dalam ilmu teologi. Pada penghujung abad ke-11 dan permulaan abad ke-12, sekolah-sekolah katedral marak bermunculan di seluruh kawasan barat Eropa, menandai beralihnya proses belajar-mengajar dari biara-biara ke katedral-katedral dan kota-kota.[219] Sekolah-sekolah katedral kemudian hari tergantikan oleh universitas-universitas yang didirikan di kota-kota besar Eropa.[220] Filsafat dan teologi melebur dan menyatu menjadi paham skolastisisme, yang merupakan ikhtiar para cendekiawan abad ke-12 dan ke-13 untuk merukunkan berbagai karya tulis yang dianggap berwibawa, terutama merukunkan gagasan-gagasan Aristoteles dengan Alkitab. Gerakan skolastisisme berusaha menerapkan pendekatan yang sistematis pada kebenaran dan akal budi.[221] Gerakan ini berpuncak pada gagasan-gagasan Tomas Aquinas (wafat 1274), penulis Summa Theologica (Ikhtisar Teologi).[222]
Kejatmikaan dan adab asmara bersusila berkembang di lingkungan istana dan kalangan bangsawan. Budaya keningrat-ningratan ini diungkapkan dengan menggunakan bahasa-bahasa rakyat, alih-alih menggunakan bahasa Latin, dalam bentuk puisi, hikayat, legenda, dan lagu-lagu populer yang disebarluaskan oleh para troubadour (penghibur keliling). Hikayat-hikayat ini sering kali ditulis dalam bentuk chansons de geste (kidung-kidung wiracarita) semisal Kidung Roland atau Kidung Hildebrand.[223] Karya-karya tulis sejarah sekuler maupun agamawi juga dihasilkan pada kurun waktu ini.[224] Galfridus Orang Fynwy (wafat sekitar 1155) menyusun Historia Regum Britanniae (Sejarah Raja-Raja Britania), sekumpulan hikayat dan legenda tentang Raja Arthur.[225] Karya-karya tulis lainnya lebih bersifat sejarah, misalnya Gesta Friderici Imperatoris (Hikayat Kaisar Friedrich) karya Otto dari Freising (wafat 1158) yang berisi penjabaran terperinci mengenai sepak terjang Kaisar Friedrich Barbarossa, ataupun Gesta Regum (Hikayat Raja-Raja) karya William dari Malmesbury (wafat sekitar 1143) yang memuat riwayat raja-raja Inggris.[224]
Kajian-kajian di bidang hukum mengalami kemajuan pada ke-12. Hukum sekuler maupun hukum kanon (hukum Gereja) dipelajari pada Puncak Abad Pertengahan. Hukum sekuler, atau hukum Romawi, mengalami kemajuan besar berkat penemuan Corpus Juris Civilis (Kitab Undang-Undang Hukum Sipil) pada abad ke-11, dan pada tahun 1100, hukum Romawi sudah diajarkan di Bologna. Perkembangan ini bermuara pada pencatatan dan pembakuan kaidah-kaidah hukum di seluruh kawasan barat Eropa. Hukum kanon juga dipelajari, dan sekitar tahun 1140, seorang rahib bernama Grasianus (berkarya pada abad ke-12), yang berprofesi sebagai pengajar ilmu teologi di Bologna, menyusun kitab Decretum (Ketetapan), yang menjadi buku pedoman di bidang hukum kanon.[226]
Salah satu dampak dari pengaruh budaya Yunani dan Islam terhadap sejarah Eropa pada kurun waktu ini adalah penggantian angka Romawi dengan tata urutan angka desimal dan penciptaan ilmu aljabar, yang memungkinkan ilmu matematika menjadi lebih maju. Ilmu astronomi mengalami kemajuan setelah kitab Almagestum karya Ptolemaios diterjemahkan dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Latin pada penghujung abad ke-12. Ilmu kedokteran juga mulai dipelajari, teristimewa di kawasan selatan Italia, tempat ilmu kedokteran Islam mempengaruhi sekolah kedokteran di Salerno.[227]
Pada abad ke-12 dan ke-13, Eropa berhasil mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan inovasi-inovasi terkait metode produksi. Kemajuan-kemajuan besar di bidang teknologi mencakup reka cipta kincir angin, pembuatan jam-jam mekanik yang pertama, usaha penyulingan minuman keras, dan penggunaan astrolab.[229] Kacamata berlensa cekung diciptakan sekitar tahun 1286 oleh seorang pengrajin Italia yang tidak diketahui namanya. Pengrajin ini mungkin membuka usaha kriyanya di kota Pisa atau di daerah sekitar kota itu.[230]
Rekayasa sistem rotasi tiga lahan untuk budi daya tanaman[157][upper-alpha 26] memperbesar tingkat pemanfaatan lahan dalam setahun dari setengah luas lahan berdasarkan sistem rotasi dua lahan yang lama menjadi dua pertiga luas lahan berdasarkan sistem yang baru, sehingga produksi pangan juga meningkat.[231] Pengembangan luku berat memungkinkan tanah yang lebih padat dapat digarap secara efisien, didukung oleh meluasnya pemakaian kerah kuda yang menyebabkan pemanfaatan tenaga lembu sebagai penghela beban tergantikan oleh tenaga kuda. Kuda lebih gesit daripada lembu dan tidak perlu digembalakan di padang yang luas, sehingga turut mendukung penerapan sistem rotasi tiga lahan.[232]
Pembangunan katedral-katedral dan puri-puri memajukan teknologi pendirian bangunan, sehingga memungkinkan pembangunan gedung-gedung batu berukuran besar. Bangunan-bangunan penunjang yang didirikan kala itu mencakup balai-balai kota, rumah-rumah, jembatan-jembatan, dan lumbung-lumbung perpuluhan.[233] Pembuatan kapal semakin berkembang berkat penggunaan metode pemasangan papan lambung pada gading-gading sebagai ganti sistem sambungan purus peninggalan Romawi. Kemajuan lain di bidang perkapalan adalah pemakaian layar sabang dan kemudi cawat yang meningkatkan laju pergerakan kapal layar.[234]
Di bidang kemiliteran, pengerahan prajurit pejalan kaki dalam satuan-satuan tugas khusus semakin meningkat. Selain barisan aswasada berperlengkapan berat yang masih merupakan pasukan terbesar, angkatan bersenjata juga mengikutsertakan pasukan pemanah busur silang berkuda, pasukan pemanah busur silang pejalan kaki, pasukan penggali parit, dan pasukan perekayasa.[235] Pemanfaatan busur silang, yang sudah dikenal sejak Akhir Abad Kuno, semakin meningkat. Salah satu penyebabnya adalah semakin seringnya pengepungan dilakukan dalam peperangan pada abad ke-10 dan ke-11.[152][upper-alpha 27] Meningkatnya pemanfaatan busur silang pada abad ke-12 dan ke-13 mendorong pembuatan dan pemanfaatan ketopong berpenutup muka, baju zirah berat yang menutupi sekujur tubuh, dan zirah khusus untuk kuda.[237] Bubuk mesiu dikenal di Eropa pada pertengahan abad ke-13, terbukti dari catatan sejarah yang meriwatkan pemanfaatannya dalam peperangan di Eropa, yakni dalam peperangan antara Inggris dan Skotlandia pada 1304, meskipun hanya sebagai bahan peledak, bukan sebagai obat meriam. Meriam digunakan dalam aksi-aksi pengepungan pada dasawarsa 1320-an, dan senjata api genggam digunakan pada dasawarsa 1360-an.[238]
Pada abad ke-10, pembangunan gedung-gedung gereja dan biara mendorong munculnya arsitektur bangunan batu yang merupakan hasil pengembangan lebih lanjut terhadap bentuk-bentuk bangunan batu ala Romawi, sehingga dinamakan langgam arsitektur "Romanik". Jika kebetulan ada, gedung-gedung bata dan batu peninggalan Romawi dibongkar agar material bangunannya dapat digunakan kembali dalam pembangunan gedung-gedung baru. Bermula dari tahap coba-coba permulaan yang dikenal dengan sebutan Romanik Perdana, langgam arsitektur berkembang dan menyebar ke seluruh Eropa dalam bentuk yang seragam. Tepat sebelum tahun 1000, terjadi gelombang besar pembangunan gedung-gedung gereja batu di seluruh Eropa.[239] Gedung-gedung berlanggam Romanik memiliki dinding yang tersusun dari batu-batu berukuran raksasa, lubang-lubang pintu dan jendela dengan ambang yang melengkung membentuk setengah lingkaran, tingkap-tingkap berukuran kecil, dan (khususnya di Prancis) lengkungan langit-langit dari susunan batu.[240] Pintu-pintu masuk berukuran besar berbingkai pahatan relief tinggi yang diwarnai menjadi salah satu tampilan utama pada muka bangunan (façade), teristimewa di Prancis. Ganja-ganja tiangnya sering kali dihiasi ukiran monster-monster dan satwa-satwa khayali.[241] Menurut sejarawan seni rupa, C. R. Dodwell, "nyaris semua gedung gereja di Dunia Barat dihiasi dengan lukisan-lukisan dinding", hanya sedikit di antaranya yang masih ada sampai sekarang.[242] Bersamaan dengan perkembangan di bidang arsitektur gedung gereja, bentuk bangunan puri yang khas Eropa juga dikembangkan, dan menjadi sangat penting artinya bagi percaturan politik dan peperangan.[243]
Seni rupa langgam Romanik, khususnya di bidang kriya logam, mencapai tahap kecanggihan tertingginya dalam seni rupa langgam Maas, yang memunculkan seniman-seniman dengan ciri khas tersendiri, antara lain Nikolaus dari Verdun (wafat 1205), dan menghasilkan karya-karya seni yang nyaris tampak berlanggam klasik seperti bejana baptis di Liège,[244] jauh berbeda dari sosok-sosok hewan menggeliat pada Kandil Gloucester yang juga dibuat pada kurun waktu yang sama. Alkitab dan buku Mazmur beriluminasi berukuran besar adalah naskah-naskah mewah yang lazim dibuat kala itu, dan lukisan dinding menyemarakkan gedung-gedung gereja, sering kali mengikuti kaidah yang menempatkan lukisan bertema Penghakiman Akhir pada dinding barat, Maiestas Domini pada dinding timur, dan penggambaran kisah-kisah Alkitab di sepanjang dinding pada kedua sisi panti umat, atau pada lengkungan langit-langit memanjang seperti di Saint-Savin-sur-Gartempe, yang merupakan contoh terindah dari lukisan pada lengkungan langit-langit bangunan yang masih lestari hingga sekarang.[245]
Semenjak permulaan abad ke-12, tukang-tukang bangunan Prancis mengembangkan langgam Gothik, yang bercirikan pemakaian lengkungan langit-langit berusuk, pelengkung yang mengerucut, penopang-penopang layang, dan jendela-jendela kaca patri berukuran besar. Langgam ini lebih banyak digunakan dalam pembangunan gedung-gedung gereja dan gereja katedral, serta terus-menerus digunakan sampai dengan abad ke-16 di banyak tempat di Eropa. Contoh-contoh klasik dari arsitektur berlanggam Gothik antara lain adalah gedung gereja katedral Chartres dan gedung gereja katedral Reims di Prancis, serta gedung gereja katedral Salisbury di Inggris.[246] Kaca patri menjadi unsur penting dalam rancang bangun gedung gereja, yang masih terus menggunakan lukisan-lukisan dinding, tetapi dewasa ini hampir semuanya sudah musnah.[247]
Pada kurun waktu ini, kegiatan pembuatan naskah beriluminasi beralih dari biara-biara ke sanggar-sanggar milik umat awam, sampai-sampai menurut Janetta Benton "pada tahun 1300, kebanyakan rahib membeli buku di toko-toko".[248] Pada kurun waktu ini pula buku ibadat harian dikembangkan menjadi buku panduan beribadat bagi umat awam. Kriya logam masih tetap menjadi wujud karya seni yang paling bergengsi, dan email Limoges menjadi bahan dengan harga yang relatif terjangkau dan banyak sekali dipakai dalam pembuatan benda-benda seperti relikuarium dan salib..[249] Di Italia, inovasi-inovasi Cimabue dan Duccio di Buoninsegna, dan kemudian hari juga inovasi-inovasi dari maestro era Trecento, Giotto di Bondone (wafat 1337), kian mempercanggih dan mengentaskan lukisan panel dan fresko.[250] Meningkatnya kemakmuran pada abad ke-12 mendorong peningkatan produksi karya-karya seni rupa sekuler; banyak barang ukiran gading seperti peranti permainan (buah catur, dadu, dan sebagainya), sisir-sisir, dan patung-patung keagamaan berukuran kecil masih terlestarikan sampai sekarang.[251]
Reformasi biara menjadi isu penting pada abad ke-11, manakala para penguasa mulai khawatir kalau-kalau para rahib tidak mengamalkan aturan-aturan yang mewajibkan mereka untuk semata-mata menekuni kehidupan zuhud. Biara Cluny yang dibangun di daerah Mâcon, Prancis, pada tahun 909, adalah pelopor gerakan Reformasi Cluny, yakni gerakan reformasi biara berskala besar yang muncul sebagai tanggapan terhadap kekhawatiran kalangan penguasa.[253] Biara Cluny dengan segera tersohor sebagai biara yang sangat bersahaja dan sangat ketat dalam menjalankan tata tertib. Biara ini berusaha menjaga mutu kehidupan rohani yang tinggi dengan berlindung kepada lembaga kepausan, dan dengan memilih sendiri kepala biaranya tanpa campur tangan umat awam, sehingga dapat terus mandiri secara ekonomi maupun politik, terhindar dari campur tangan tuan-tuan besar setempat.[254]
Reformasi biara mengilhami usaha-usaha pembaharuan Gereja di luar lingkungan biara. Cita-cita luhur yang melandasi gerakan reformasi biara dibawa ke tataran lembaga kepausan oleh Paus Leo IX (menjabat 1049–1054), dan menjadi sumber ideologi kemandirian kaum rohaniwan yang berujung pada Kontroversi Investitur pada akhir abad ke-11. Kontroversi ini melibatkan Paus Gregorius VII (menjabat 1073–1085) dan Kaisar Heinrich IV, yang mula-mula mempersengketakan kewenangan mengangkat uskup. Sengketa ini berubah menjadi pertarungan gagasan terkait investitur (pengangkatan), pernikahan kaum rohaniwan, dan simoni. Kaisar menganggap urusan melindungi Gereja sudah menjadi tanggung jawabnya, dan hendak mempertahankan haknya untuk memilih sendiri uskup-uskup yang menjabat di dalam wilayah kedaulatannya, sementara lembaga kepausan dengan gigih memperjuangkan kebebasan Gereja dari campur tangan penguasa sekuler. Isu-isu ini tidak kunjung tuntas meskipun telah dicapai kompromi pada tahun 1122 yang dikenal dengan sebutan Konkordat Worms. Sengketa ini merupakan salah satu tahap penting dalam pembentukan monarki kepausan yang terpisah sekaligus setara dengan pemerintahan-pemerintahan awam. Sengketa ini juga meninggalkan dampak permanen, yakni kian kukuhnya kekuasaan para kepala swapraja Jerman sehingga merugikan kaisar-kaisar Jerman.[253]
Puncak Abad Pertengahan adalah kurun waktu terjadinya gerakan-gerakan agamawi berskala besar. Selain ikut serta dalam Perang Salib dan gerakan reformasi biara, orang juga berusaha mencari bentuk-bentuk amalan zuhud yang baru. Tarekat-tarekat baru didirikan, antara lain tarekat Sistersien dan tarekat Kartusian. Tarekat Sistersien menyebar dengan pesat pada tahun-tahun permulaan keberadaannya di bawah bimbingan Bernardus dari Clairvaux (wafat 1153). Tarekat-tarekat baru ini didirikan untuk menanggapi pandangan umat awam yang merasa cara hidup zuhud ala Benediktin tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan umat awam. Sebagaimana orang-orang yang hendak menjalani hidup zuhud, umat awam juga ingin kembali pada cara hidup zuhud eremitis (cara hidup pertapa) yang diamalkan dalam Gereja Perdana, atau mengamalkan cara hidup para rasul.[211] Kegiatan ziarah juga digairahkan. Tempat-tempat ziarah lama seperti Roma, Yerusalem, dan Compostela mengalami lonjakan peziarah, dan tempat-tempat ziarah baru seperti Monte Gargano dan Bari kian dikenal orang.[255]
Pada abad ke-13, tarekat-tarekat fakir—Fransiskan dan Dominikan—yang mengikrarkan kaul kemiskinan dan menafkahi diri mereka dengan cara mengemis, mendapatkan persetujuan dari lembaga kepausan.[256] Kelompok-kelompok keagamaan seperti kaum Waldenses dan kaum Humiliati juga berusaha mengamalkan kembali cara hidup umat Kristen perdana pada pertengahan abad ke-12 dan permulaan abad ke-13, tetapi dikecam sebagai gerakan bidat oleh lembaga kepausan. Kelompok-kelompok keagamaan lainnya bergabung dengan kaum Katari, gerakan bidah lain yang juga dikecam oleh lembaga kepausan. Pada 1209, sebuah Perang Salib dimaklumkan terhadap kaum Katari, yakni Perang Salib Albigensian. Perang Salib ini digabungkan dengan inkuisisi Abad Pertengahan, dan berhasil memberantas kaum Katari.[257]
Tahun-tahun permulaan abad ke-14 ditandai oleh bencana-bencana kelaparan, yang memuncak pada Bencana Kelaparan Besar 1315–1317.[258] Salah satu penyebab Bencana Kelaparan Besar ini adalah transisi peralihan yang berlangsung lambat dari Periode Suhu Hangat Abad Pertengahan ke Zaman Es Kecil, sehingga masyarakat rentan tertimpa bencana kelaparan bilamana cuaca memburuk dan mengakibatkan gagal panen.[259] Kurun waktu 1313–1314 dan 1317–1321 adalah kurun waktu turunnya hujan deras di seluruh Eropa, yang mengakibatkan gagal panen di mana-mana.[260] Perubahan iklim—yang mengakibatkan penurunan suhu tahunan rata-rata di Eropa pada abad ke-14—terjadi bersamaan dengan merosotnya perekonomian.[261]
Segala kemelut ini disusul pada 1347 oleh malapetaka Maut Hitam, wabah penyakit menular yang berjangkit ke seluruh pelosok Eropa dalam tiga tahun berikutnya.[262][upper-alpha 28] Jumlah korban tewas diperkirakan mencapai 35 juta jiwa di Eropa, yakni sekitar sepertiga dari keseluruhan populasi Eropa. Dampak dari wabah ini lebih terasa di kota-kota karena tingkat kepadatan penduduknya yang lebih tinggi.[upper-alpha 29] Kelangkaan populasi mengakibatkan tanah-tanah yang luas hanya didiami segelintir orang, dan ladang-ladang menjadi terbengkalai di beberapa tempat. Upah meningkat karena para tuan tanah berusaha memikat tenaga kerja yang sudah menyusut jumlahnya itu agar bersedia menggarap lahan-lahan mereka. Masalah selanjutnya adalah menurunnya sewa tanah dan merosotnya permintaan akan bahan pangan, yang memangkas jumlah pendapatan dari sektor pertanian. Kaum buruh di kota-kota juga mulai merasa patut diberi upah yang lebih besar, dan pemberontakan rakyat merebak di seluruh Eropa,[265] antara lain pemberontakan jacquerie di Prancis, pemberontakan kaum tani di Inggris, pemberontakan di kota Firenze di Italia, serta pemberontakan di kota Gent dan kota Brugge di Flandria. Trauma yang ditimbulkan oleh wabah ini menyebabkan kesalehan masyarakat meningkat di seluruh Eropa, yang diwujudkan melalui pembentukan lembaga-lembaga amal yang baru, praktik bermatiraga kaum Flagelan, dan tindakan mengambinghitamkan umat Yahudi.[266] Keadaan kian runyam ketika Maut Hitam kembali berjangkit sepanjang sisa kurun waktu abad ke-14; wabah ini masih terus menghantam Eropa secara berkala sepanjang sisa kurun waktu Abad Pertengahan.[262]
Masyarakat di seluruh Eropa terguncang oleh perubahan-perubahan besar yang diakibatkan oleh malapetaka Maut Hitam. Lahan-lahan yang kurang produktif ditelantarkan, karena orang-orang yang masih hidup kini mampu mendapatkan lahan-lahan lain yang lebih subur.[267] Meskipun kian berkurang di kawasan barat Eropa, praktik perhambaan kaum tani justru menjadi semakin lumrah di kawasan timur Eropa, karena tuan-tuan tanah memaksa para penyewa lahan yang sebelumnya merdeka untuk menjadi hamba sahaya mereka.[268] Sebagian besar kaum tani di kawasan barat Eropa berhasil mengganti kewajiban kerja bakti bagi majikan-majikan mereka menjadi pembayaran sewa lahan secara tunai.[269] Persentase kaum tani yang menghamba pada tuan tanah menyusut dari 90% sampai mendekati 50% pada akhir kurun waktu ini.[166] Tuan-tuan tanah pun menjadi semakin sadar akan kepentingan-kepentingan bersama dengan tuan-tuan tanah lainnya, dan akhirnya bersatu untuk menuntut anugerah hak-hak istimewa dari pemerintah. Tuntutan ini menjadi salah satu faktor yang mendorong pemerintah untuk berusaha mengundang-undangan aturan-aturan yang bertujuan memulihkan keadaan ekonomi seperti sediakala sebelum berjangkitnya Maut Hitam.[269] Orang-orang di luar kalangan rohaniwan semakin lama semakin terpelajar, dan masyarakat perkotaan mulai ikut-ikutan meminati kejatmikaan sebagaimana kaum bangsawan.[270]
Komunitas-komunitas umat Yahudi diusir dari Inggris pada 1290, dan dari Prancis pada 1306. Meskipun beberapa di antaranya diizinkan kembali ke Prancis, sebagian besar tidak diberi izin yang sama, dan banyak umat Yahudi yang beremigrasi ke sebelah timur, menetap di Polandia dan Hungaria.[271] Umat Yahudi diusir dari Spanyol pada 1492, dan menyebar ke Turki, Prancis, Italia, dan Belanda.[76] Bangkitnya lembaga perbankan di Italia, yang terjadi pada abad ke-13 bertahan sepanjang abad ke-14, antara lain disebabkan oleh kian maraknya peperangan kala itu, dan kebutuhan lembaga kepausan untuk memindahkan uang dari satu negara ke negara lain. Banyak perusahaan perbankan yang meminjamkan uang kepada para penguasa, dengan tingkat risiko yang tinggi, karena beberapa di antaranya terpaksa gulung tikar manakala raja-raja gagal melunasi pinjaman mereka.[272][upper-alpha 30]
Negara-negara bangsa yang kuat berlandaskan kekuasaan raja-raja mengalami kebangkitan di seluruh Eropa pada Akhir Abad Pertengahan, terutama di Inggris, Prancis, dan kerajaan-kerajaan Kristen di Jazirah Iberia, yakni Kerajaan Aragon, Kerajaan Kastila, dan Kerajaan Portugal. Sengketa-sengketa berkepanjangan yang terjadi kala itu memperkuat kendali raja-raja atas kerajaan-kerajaan mereka dan sangat menyulitkan kaum tani. Raja-raja diuntungkan dari perang yang memperbesar kewenangan hukum raja dan menambah luas tanah-tanah yang mereka kuasai secara langsung.[273] Kebutuhan pendanaan perang mendorong diciptakannya cara-cara memungut pajak yang lebih efektif dan efisien, dan tarif pajak sering kali dinaikkan.[274] Adanya persyaratan meminta persetujuan para wajib pajak memungkinkan badan-badan perwakilan rakyat seperti Parlemen Inggris dan États Généraux Prancis untuk mendapatkan kuasa dan kewenangan.[275]
Sepanjang abad ke-14, raja-raja Prancis berusaha meluaskan pengaruh mereka dengan cara merampas daerah-daerah kekuasaan kaum bangsawan.[276] Mereka menghadapi kesulitan ketika berusaha merampas daerah-daerah kekuasaan raja-raja Inggris di kawasan selatan Prancis. Usaha perampasan ini berbuntut pada Perang Seratus Tahun[277] yang berlangsung dari 1337 sampai 1453.[278] Dalam perang ini, pihak Inggris di bawah pimpinan Raja Edward III (memerintah 1327–1377) dan putranya, Edward Pangeran Hitam (wafat 1376),[upper-alpha 31] mula-mula tampil unggul dengan memenangkan Pertempuran Crécy dan Pertempuran Poitiers, merebut kota Calais, serta berhasil menguasai sebagaian besar wilayah Kerajaan Prancis.[upper-alpha 32] Sepak terjang Inggris mengakibatkan Kerajaan Prancis nyaris terpecah-belah pada tahun-tahun permulaan perang.[281] Pada permulaan abad ke-15, Kerajaan Prancis sekali lagi nyaris tercerai-berai, tetapi pada penghujung dasawarsa 1420-an, keberhasilan aksi-aksi militer yang dilakukan oleh Jeanne d'Arc (wafat 1431) menghasilkan kemenangan bagi pihak Prancis dan perampasan daerah-daerah kekuasaan Inggris yang terakhir di kawasan selatan Prancis pada 1453.[282] Harga yang harus dibayar sangatlah tinggi, karena populasi Prancis pada akhir perang agaknya tersisa setengah dari jumlahnya pada awal perang. Sebaliknya, perang ini berdampak positif terhadap jati diri bangsa Inggris, karena mampu melebur berbagai identitas kedaerahan menjadi satu jati diri tunggal sebagai bangsa Inggris. Sengketa dengan Prancis ini juga membantu menciptakan suatu budaya bangsa Inggris yang terpisah dari budaya Prancis, yakni budaya yang sebelumnya sangat mempengaruhi peri kehidupan masyarakat Inggris.[283] Busur panjang mulai menjadi senjata andalan Inggris pada tahap-tahap permulaan Perang Seratus Tahun,[284] dan meriam muncul di medan tempur di Crécy pada 1346.[238]
Di Jerman, Kekaisaran Romawi Suci terus bertahan hingga ke Zaman Modern, tetapi sifat elektif dari jabatan kaisar memuskilkan suatu wangsa untuk kekal berkuasa, yang sekiranya mungkin, dapat menjadi landasan bagi terbentuknya sebuah negara yang kuat.[285] Lebih jauh lagi ke sebelah timur, Kerajaan Polandia, Kerajaan Hungaria, dan Kerajaan Bohemia tumbuh menjadi negara-negara yang kuat.[286] Di Jazirah Iberia, kerajaan-kerajaan Kristen terus-menerus berhasil merebut daerah-daerah yang dikuasai kerajaan-kerajaan Muslim di jazirah itu;[287] Kerajaan Portugal memusatkan perhatiannya pada usaha perluasan wilayah di seberang laut pada abad ke-15, sementara kerajaan-kerajaan lainnya mengalami perpecahan akibat permasalahan suksesi penguasa dan berbagai permasalahan lain.[288][289] Setelah dikalahkan dalam Perang Seratus Tahun, Inggris mengalami perang saudara berkepanjangan yang dikenal dengan sebutan Perang Mawar. Perang ini berlangsung sampai memasuki dasawarsa 1490-an,[289] dan baru berakhir ketika Henry Tudor (memerintah 1485–1509 sebagai Raja Henry VII) menjadi Raja Inggris, dan memperkukuh kekuasaan dengan kemenangannya atas Richard III (memerintah 1483–1485) dalam Pertempuran Bosworth pada 1485.[290] Di kawasan Skandinavia, Ratu Denmark, Margrete I (memerintah 1387–1412), mempersatukan kekuatan Norwegia, Denmark, dan Swedia dalam Uni Kalmar, yang bertahan sampai dengan 1523. Kekuatan utama di kawasan sekitar Laut Baltik adalah Liga Hansa, konfederasi perniagaan negara-negara kota yang menjalankan usahanya mulai dari kawasan barat Eropa sampai ke Rusia.[291] Skotlandia bangkit dari dominasi Inggris pada masa pemerintahan Robert the Bruce (memerintah 1306–1329), yang berhasil mendapatkan pengakuan dari lembaga kepausan atas jabatannya sebagai raja pada 1328.[292]
Meskipun kaisar-kaisar dari wangsa Palaiologos berhasil menguasai kembali Konstantinopel dari bangsa Eropa Barat pada 1261, mereka tidak pernah sanggup merebut kembali kendali atas sebagian besar wilayah yang pernah dikuasai oleh Kekaisaran Romawi Timur. Mereka hanya menguasai sebagian kecil dari Jazirah Balkan yang dekat dengan Konstantinopel, kota Konstaninopel itu sendiri, serta sejumlah daerah di kawasan pesisir Laut Hitam dan di kawasan sekitar Laut Aegea. Bekas daerah-daerah kekuasaan Romawi Timur di Jazirah Balkan terbagi-bagi menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Serbia yang baru, Kekaisaran Bulgaria Kedua, dan negara kota Venesia. Kedaulatan kaisar-kaisar Romawi Timur menghadapi ancaman dari suku Turki yang lain, yakni kaum Utsmaniyah yang telah berhasil menguasai Anatolia pada abad ke-13 dan terus-menerus meluaskan wilayah kedaulatannya pada abad ke-14. Kaum Utsmaniyah meluaskan wilayah kedaulatannya ke Eropa, menundukkan Bulgari menjadi salah satu negara bawahannya pada 1366, dan mengambil alih pemerintahan Serbia setelah mengalahkan Kerajaan Serbia dalam Pertempuran Kosovo pada 1389. Bangsa Eropa Barat bersatu demi membela umat Kristen yang tertindas di Jazirah Balkan dan memaklumkan sebuah Perang Salib baru pada 1396; bala tentara dalam jumlah besar dikerahkan ke Jazirah Balkan, tetapi dikalahkan dalam Pertempuran Nikopolis.[293] Konstantinopel akhirnya direbut oleh kaum Utsmaniyah pada 1453.[294]
Pada abad ke-14 yang penuh pergolakan, sengketa kepemimpinan Gereja mengakibatkan lembaga kepausan berpindah ke Avignon sejak 1309 sampai 1376.[295] Kurun waktu keberadaan lembaga kepausan di Avignon ini disebut pula masa "pembuangan Babel lembaga kepausan" (mengacu pada masa pembuangan Babel yang dialami umat Yahudi).[296] Sengketa ini juga menyebabkan terjadinya Skisma Akbar Gereja Barat, yang berlangsung dari 1378 sampai 1418, manakala muncul dua dan kemudian tiga orang paus yang menjabat pada waktu yang bersamaan, masing-masing didukung oleh sejumlah negara.[297] Para wali gereja bersidang dalam Konsili Konstanz pada 1414, dan pada tahun berikutnya memutuskan untuk memakzulkan salah seorang dari ketiga paus. Pemakzulan terus berlanjut dan pada bulan November 1417, para peserta konsili akhirnya memilih Kardinal Oddone Colonna menjadi Paus Martinus V (menjabat 1417–1431).[298]
Selain skisma, Gereja Barat juga mengalami perpecahan akibat kontroversi teologi, beberapa di antaranya berubah menjadi gerakan bidah. Yohanes Wycliffe (wafat 1384), seorang teolog Inggris, dikutuk sebagai ahli bidah pada 1415 karena mengajarkan bahwa umat awam harus diberi keleluasaan untuk membaca sendiri nas-nas Kitab Suci, juga karena pandangannya mengenai Ekaristi bertentangan dengan doktrin Gereja.[299] Ajaran-ajaran Yohanes Wycliffe mempengaruhi dua gerakan bidah besar pada Akhir Abad Pertengahan, yakni bidah Lolardi di Inggris dan bidah Husité di Bohemia.[300] Gerakan bidah di Bohemia dipicu oleh ajaran Yohanes Hus, yang dibakar hidup-hidup pada 1415 setelah dipidana mati sebagai ahli bidah oleh Konsili Konstanz. Meskipun sempat menjadi sasaran penyerbuan dalam Perang Salib, jemaat Husite sanggup bertahan melewati Abad Pertengahan.[301] Bidah-bidah lain hanyalah hasil rekayasa, misalnya dakwaan sebagai ahli bidah terhadap para Kesatria Haikal yang mengakibatkan tarekat mereka dibubarkan pada 1312, dan harta kekayaan mereka yang besar dibagi-bagi di antara Raja Prancis, Philippe IV (memerintah 1285–1314), dan para Kesatria Pramuhusada.[302]
Lembaga kepausan terus memoles dan memperhalus tata cara perayaan Misa pada Akhir Abad Pertengahan, dengan menetapkan bahwa hanya rohaniwan yang boleh meminum anggur Ekaristi. Ketentuan ini semakin memperlebar jarak antara umat awam sekuler dan kaum rohaniwan. Umat awam masih terus mengamalkan kebiasaan berziarah, penghormatan relikui, dan keyakinan akan adanya kekuatan Iblis. Tokoh-tokoh kebatinan seperti Meister Eckhart (wafat 1327) dan Tomas a Kempis (wafat 1471) menghasilkan karya-karya tulis yang berisi taklimat bagi umat awam untuk memusatkan perhatian pada kehidupan rohaninya masing-masing. Karya-karya tulis ini menjadi landasan bagi gerakan Reformasi Protestan. Selain ajaran-ajaran kebatinan, keyakinan akan tukang sihir dan ilmu sihir juga kian meluas. Pada penghujung abad ke-15, Gereja malah turut memperbesar ketakutan masyarakat akan ilmu sihir dengan mengeluarkan pernyataan mengutuk tukang sihir pada 1484, dan pada 1486, menerbitkan Malleus Maleficarum (Penggodam Tukang Sihir), buku panduan populer bagi para pemburu tukang sihir.[303]
Pada Akhir Abad Pertengahan, para teolog seperti Yohanes Duns Skotus (wafat 1308)[upper-alpha 33] dan Gulielmus Orang Ockham (wafat sekitar 1348),[221] memelopori aksi tanggapan terhadap skolastisisme intelektualis, dengan menentang penerapan akal budi pada iman. Pemikiran-pemikiran mereka mengetepikan gagasan "kesemestaan" menurut Idealisme Plato yang lazim dianut kala itu. Pendirian Gulielmus bahwa akal budi bekerja secara terpisah dari iman memungkinkan ilmu pengetahuan dipisahkan dari ilmu teologi dan ilmu filsafat.[304] Di bidang kajian hukum, hukum Romawi kian merambah masuk ke dalam ruang lingkup yurisprudensi yang sebelumnya dikuasai oleh hukum adat. Satu-satunya tempat yang tidak mengalami perkembangan semacam ini adalah Inggris, tempat hukum umum masih diutamakan. Negara-negara lain mengodifikasikan hukum-hukum mereka; kitab-kitab hukum diundangkan di Kastila, Polandia, dan Lituania.[305]
Pendidikan masih lebih tertuju pada pelatihan calon rohaniwan. Pendidikan dasar untuk mengenal huruf dan angka masih menjadi tanggung jawab keluarga atau imam desa, tetapi mata pelajaran sekunder trivium (trimarga, tiga cabang ilmu), yakni tata bahasa, retorika, dan logika, dipelajari di sekolah-sekolah katedral atau sekolah-sekolah pemerintah kota. Sekolah-sekolah dagang sekunder bermunculan di mana-mana, bahkan beberapa kota di Italia memiliki lebih dari satu sekolah semacam ini. Universitas-universitas juga juga didirikan di seluruh Eropa pada abad ke-14 dan ke-15. Tingkat melek aksara umat awam meningkat, tetapi masih tergolong rendah; menurut salah satu perkiraan, tingkat melek aksara mencapai 10% untuk laki-laki dan 1% untuk perempuan pada tahun 1500.[306]
Penerbitan karya-karya sastra dalam bahasa rakyat mengalami peningkatan. Pada abad ke-14, Dante Alighieri (wafat 1321), Petrarka (wafat 1374), dan Giovanni Boccaccio (wafat 1375) menghasilkan karya tulis dalam bahasa Italia, Geoffrey Chaucer (wafat 1400) dan William Langland (wafat sekitar 1386) menghasilkan karya tulis dalam bahasa Inggris, sementara François Villon (wafat 1464) dan Christine de Pizan (wafat sekitar 1430) menghasilkan karya tulis dalam bahasa Prancis. Sebagian besar karya tulis yang dihasilkan kala itu masih berupa karya-karya tulis yang bertema agama, dan meskipun sebagian besar di antaranya masih ditulis dalam bahasa Latin, mulai muncul pula permintaan untuk riwayat-riwayat orang kudus dan karya-karya tulis terkait devosi lainnya yang disusun dalam bahasa-bahasa rakyat.[305] Peningkatan permintaan untuk karya-karya tulis berbahasa rakyat ini dipicu oleh kian maraknya gerakan Devotio Moderna. Gerakan pembaharuan di bidang keagamaan ini semakin mengemuka dengan dibentuknya paguyuban Saudara-Saudara Hidup Bersama (bahasa Latin: Fratres Vitae Communis), tetapi juga menonjol dalam karya-karya tulis yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh kebatinan Jerman seperti Meister Eckhart dan Yohanes Tauler (wafat 1361).[307] Teater juga berkembang dalam bentuk pertunjukan sandiwara-sandiwara mukjizat yang digelar oleh Gereja.[305] Pada penghujung kurun waktu Akhir Abad Pertengahan, penciptaan mesin cetak sekitar tahun 1450 mendorong didirikannya balai-balai penerbitan di seluruh Eropa pada 1500.[308]
Pada awal abad ke-15, negara-negara di Jazirah Iberia mulai mendanai usaha-usaha penjelajahan di luar tapal batas Eropa. Pangeran Henrique Sang Navigator dari Portugal (wafat 1460) melepas rombongan-rombongan ekspedisi jelajah yang menemukan Kepulauan Kenari, Azores, dan Tanjung Verde pada masa hidupnya. Ekspedisi-ekspedisi jelajah masih terus berlanjut sepeninggal Pangeran Henrique; Bartolomeu Dias (wafat 1500) berhasil berlayar melewati Tanjung Harapan pada 1486, dan Vasco da Gama (wafat 1524) berlayar mengitari Benua Afrika sampai ke India pada tahun 1498.[309] Kerajaan Spanyol, hasil penggabungan Monarki Kastila dan Monarki Aragon, mendanai pelayaran jelajah di bawah pimpinan Kristoforus Kolumbus (wafat 1506) pada tahun 1492 yang akhirnya menemukan benua Amerika.[310] Kerajaan Inggris, pada masa pemerintahan Raja Henry VII, mendanai pelayaran John Cabot (wafat 1498) pada tahun 1497, yang berhasil sampai ke Pulau Tanjung Breton.[311]
Salah satu perkembangan besar di bidang militer pada Akhir Abad Pertengahan adalah meningkatnya pengerahan pasukan pejalan kaki dan pasukan aswasada berperlengkapan ringan.[312] Orang-orang Inggris juga mengerahkan pasukan pemanah bersenjata busur panjang, tetapi negeri-negeri lain tidak mampu membentuk pasukan serupa dengan tingkat keberhasilan yang sama.[313] Baju zirah terus-menerus dikembangkan, dipacu oleh peningkatan daya hujam anak panah yang dilesatkan dengan busur silang, sehingga akhirnya menghasilkan zirah lempeng yang berguna melindungi para prajurit dari tembakan busur silang maupun senjata api genggam yang kala itu sudah diciptakan.[314] Senjata-senjata galah kembali menjadi senjata andalan dengan dibentuknya pasukan-pasukan pejalan kaki Flandria dan Swiss yang dipersenjatai dengan tembiang dan tombak-tombak bergagang panjang lainnya.[315]
Di bidang tani-ternak, meningkatnya budi daya domba berbulu panjang memungkinkan dihasilkannya pintalan benang wol yang lebih alot. Selain itu, penggunaan rahat sebagai pengganti luli dan gelendong untuk mengantih membuat hasil pintalan benang wol meningkat hingga tiga kali lipat.[316][upper-alpha 34] Salah satu wujud penyempurnaan ciptaan manusia yang kurang berkaitan dengan teknologi tetapi besar dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari adalah penggunaan kancing untuk merapatkan pakaian. Dengan menggunakan kancing, orang tidak perlu lagi merapatkan pakaian pada tubuh si pemakai dengan cara mengencangkan tali yang diloloskan melalui lubang-lubang tali atau kaitan yang terpasang pada pakaian (serupa dengan cara mengencangkan dan mengikat tali sepatu).[318] Kincir angin disempurnakan menjadi kincir menara. Bagian puncak dari kincir menara ini dapat diputar, sehingga kitiran yang terpasang pada bagian puncak itu dapat diatur menghadap hembusan angin dari arah manapun datangnya.[319] Penggunaan tanur embus, yang muncul sekitar tahun 1350 di Swedia, meningkatkan jumlah dan mutu besi yang dihasilkan dari kegiatan peleburan bijih besi.[320] Hukum paten pertama kali diundangkan pada 1447 di Venesia untuk melindungi hak-hak para pereka cipta atas barang-barang ciptaan mereka.[321]
Seluruh kurun waktu Akhir Abad Pertengahan di Eropa bertepatan dengan kurun waktu perkembangan kebudayaan Trecento dan kebudayaan Awal Abad Pembaharuan di Italia. Kawasan utara Eropa dan Spanyol masih terus menggunakan langgam seni rupa Gothik yang semakin halus dan rumit pada abad ke-15 sampai menjelang berakhirnya kurun waktu Akhir Abad Pertengahan. Langgam Gothik antarbangsa adalah langgam seni rupa keningrat-ningratan yang menyebar ke hampir seluruh Eropa pada dasawarsa-dasawarsa sekitar tahun 1400. Langgam seni rupa ini menghasilkan sejumlah mahakarya semisal Très Riches Heures du Duc de Berry (Buku Ibadat Harian Teramat Mewah Milik Adipati Berry).[322] Di seluruh Eropa, karya-karya seni rupa sekuler terus mengalami peningkatan jumlah maupun mutu, dan pada abad ke-15, kaum saudagar di Italia dan Flandria menjadi pelindung-pelindung yang penting bagi seni rupa. Saudagar-saudagar ini memesan pembuatan potret-potret diri mereka dalam ukuran kecil yang dilukis dengan cat minyak, dan semakin lama semakin banyak memesan pembuatan barang-barang mewah seperti perhiasan, benian-benian gading, peti-peti cassone (peti-peti mewah berukuran besar), dan tembikar-tembikar mayolika. Barang-barang mewah ini juga mencakup gerabah Hispania-Moresko yang sebagian besar merupakan hasil karya pengrajin-pengrajin tembikar Mudéjar di Spanyol. Meskipun kerabat kerajaan mengoleksi banyak sekali wadah-wadah perlengkapan makan minum, hanya segelintir benda-benda semacam ini yang sintas sampai sekarang, salah satunya adalah Cawan Santa Agnes.[323] Pembuatan kain sutra dikembangkan di Italia sehingga gereja-gereja dan kalangan elit di Dunia Barat tidak perlu lagi bergantung pada sutra impor dari Romawi Timur maupun Dunia Islam. Di Prancis dan Flandria, kerajinan tenun tapestri, yang menghasilkan kumpulan-kumpulan tapestri secorak seperti seperangkat tapestri yang diberi nama La Dame à la licorne (Tuan Putri dan Kuda Bercula), menjadi industri besar dalam bidang pembuatan barang mewah.[324]
Penempatan patung-patung pahatan pada sisi luar gedung-gedung gereja berlanggam Gothik Perdana tergantikan oleh penempatan lebih banyak patung pahatan di dalamnya, manakala makam-makam dibuat semakin indah dan benda-benda lain di dalam gereja semisal mimbar dihiasi dengan ukiran berlimpah, contohnya mimbar gereja Santo Andreas karya Giovanni Pisano. Karya-karya seni penghias altar, baik yang berupa lukisan maupun relief ukiran, menjadi benda yang lumrah dilihat orang, lebih-lebih manakala kapel-kapel samping mulai ditambahkan pada gedung-gedung gereja. Lukisan-lukisan Belanda perdana karya seniman-seniman semisal Jan van Eyck (wafat 1441) dan Rogier van der Weyden (wafat 1464) menyaingi lukisan-lukisan buatan Italia, demikian pula naskah-naskah beriluminasi buatan kawasan utara Eropa yang mulai banyak dikoleksi oleh kalangan elit sekuler pada abad ke-15. Kalangan ini juga memesan pembuatan buku-buku bertema sekuler, teristimewa buku-buku sejarah. Semenjak sekitar tahun 1450, buku-buku cetak dengan cepat menjadi populer meskipun masih mahal harganya. Terdapat sekitar 30.000 edisi berbeda dari incunabula atau karya-karya tulis yang dicetak sebelum tahun 1500,[325] yakni pada masa ketika naskah-naskah beriluminasi hanya dipesan oleh kerabat kerajaan dan segelintir orang dari kalangan lain. Gambar-gambar cetak cukil kayu berukuran sangat kecil, yang hampir semua bertema keagamaan, dipasarkan dengan harga yang terjangkau sejak pertengahan abad ke-15, bahkan kaum tani di pelosok-pelosok utara Eropa sekalipun mampu membelinya. Gambar-gambar cetak gravir (cukil logam), yang lebih mahal harganya dan lebih beragam temanya, dipasarkan di kalangan-kalangan yang lebih mampu.[326]
Abad Pertengahan kerap diolok-olok sebagai "zaman kebodohan dan takhayul" manakala "fatwa pemuka agama lebih dihargai daripada pengalaman dan penalaran pribadi."[327] Olok-olok semacam ini berasal dari Abad Pembaharuan dan Abad Pencerahan, manakala para ilmuwan membanding-bandingkan budaya keilmuan mereka dengan budaya keilmuan Abad Pertengahan. Para ilmuwan Abad Pembaharuan menganggap Abad Pertengahan adalah kurun waktu kemerosotan dari budaya dan peradaban tinggi dunia klasik; sementara para ilmuwan Abad Pencerahan menganggap akal budi lebih unggul daripada iman, dan oleh karena itu menganggap Abad Pertengahan sebagai zaman kebodohan dan takhayul.[13]
Sementara pihak justru beranggapan bahwa pada umumnya akal budi sangat dijunjung tinggi pada Abad Pertengahan. Sejarawan ilmu pengetahuan, Edward Grant, pernah mengemukakan dalam tulisannya bahwa "kemunculan gagasan-gagasan rasional yang revolusioner pada Abad Pencerahan hanya mungkin terjadi jika pada Abad Pertengahan sudah ada tradisi panjang yang menjadikan pemberdayaan akal budi sebagai salah satu aktivitas manusia yang terpenting".[328] Selain itu David Lindberg pernah menulis bahwa, bertentangan dengan anggapan umum, "ilmuwan Akhir Abad Pertengahan jarang sekali mendapatkan ancaman dari Gereja dan tentunya merasa leluasa (khususnya di bidang ilmu pengetahuan alam) untuk menuruti akal budi dan hasil pengamatan ke arah mana pun ia dituntun".[329]
Olok-olok terhadap Abad Pertengahan juga terungkap dalam beberapa prasangka tertentu. Salah satu kesalahpahaman mengenai Abad Pertengahan, yang pertama kali digembar-gemborkan pada abad ke-19[330] dan masih lazim dijumpai sekarang ini, adalah prasangka bahwa semua orang pada Abad Pertengahan yakin Bumi itu datar.[330] Prasangka ini keliru, karena para dosen di universitas-universitas Abad Pertengahan pada umumnya berpendapat bahwa bukti-bukti menunjukkan Bumi itu bulat.[331] Ilmuwan-ilmuwan lain dari abad ke-19, Lindberg dan Ronald Numbers, mengemukakan bahwa "nyaris tidak ada ilmuwan Kristen pada Abad Pertengahan yang tidak mengakui Bumi itu bulat, mereka bahkan sudah menghitung perkiraan panjang keliling Bumi".[332] Kesalahpahaman-kesalahpahaman lain seperti "Gereja melarang otopsi dan bedah jenazah pada Abad Pertengahan", "pertumbuhan agama Kristen mematikan ilmu pengetahuan kuno", atau "Gereja pada Abad Pertengahan menghambat perkembangan filsafat alam", semuanya dikutip oleh Ronald Numbers sebagai contoh dari mitos-mitos yang tersebar luas dan masih saja dianggap sebagai kebenaran sejarah, sekalipun tidak didukung oleh kajian sejarah mutakhir.[333]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.