Loading AI tools
Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Makanan kosher, berasal dari kata /ˈkoʊʃər/ yang dalam bahasa Ibrani berarti sesuai atau layak berdasarkan hukum Yahudi (halakha). Dengan demikian, makanan kosher dapat diartikan sebagai makanan yang tidak mengandung bahan-bahan non-kosher berdasarkan aturan makan Yahudi atau kashrut (hukum pantangan). Dasar hukum kosher terutama berasal dari Kitab Imamat dan Kitab Ulangan.[1]
Sementara makanan yang terlarang untuk dimakan oleh umat Yahudi disebut treif (/treɪf/; bahasa Yiddi: טרײף). Istilah ini berasal dari bahasa Ibrani treifah (atau ṭərēp̄āh) yang berarti sesuatu yang tercabik. Awalnya, istilah ini digunakan untuk menyebut daging atau bangkai hewan yang belum disembelih sesuai hukum kosher. Namun, selama bertahun-tahun, kata tersebut telah digunakan secara umum untuk menyebut makanan apa pun yang tidak kosher.[2]
Ada pandangan yang mirip tetapi tidak sama antara Islam dan Yahudi terkait makanan. Misalnya, hukum memakan daging babi, baik dalam ajaran Islam maupun Yahudi sama-sama mengharamkan. Namun, jika daging babi diolah, misalnya menjadi gelatin, mereka dapat menyatakannya sebagai makanan kosher.[3]
Demikian pula dengan minuman anggur (wine). Ada yang menyatakannya sebagai kosher dan ada yang tidak. Jenis minuman ini dapat dikatakan sebagai kosher jika dalam proses pembuatannya melibatkan rabi, yang menyatakan bahwa prosesnya sesuai dengan hukum Yahudi.[3]
Makanan kosher adalah makanan yang diperbolehkan untuk dimakan menurut hukum Yahudi (halakha). Meskipun hukum makanan kosher berasal dari Taurat dan halakha (yang lebih berfokus pada aspek spiritual), banyak orang mengaitkan kosher dengan kesehatan. Alasannya adalah beberapa aturan tentang makanan kosher ternyata berhubungan dengan fakta kesehatan sehingga orang mengasumsikan jika ada label Kashrut pada produk makanan, kecil kemungkinan produk tersebut mengandung bahan-bahan yang tidak menyehatkan.[4]
Istilah kosher juga sering digunakan untuk merujuk pada 'kelayakan rabinik' dari proses produksi, regulasi dan konsumsi makanan. Dalam produksi massal makanan dan bahan makanan yang terindustrialisasi dan terglobalisasi, berbagai upaya dilakukan untuk menghindari adanya kontaminasi atau pencampuran antara bahan kosher dan non-kosher.[5]
Sejak tahun 1990-an dan seterusnya, ada lima besar lembaga sertifikasi kosher yang telah mendominasi pasar kosher global. Lima lembaga sertifikasi kosher itu adalah Orthodox Union (OU), OK Kosher Certification (OK), Kosher Certification and Supervision (KOF-K), Star-K (Kosher Certification) dan Chicago Rabbinical Council (CRC). Isu-isu penting dalam literatur rabinik terkait kosher menyangkut bagaimana regulasi dijalankan dalam bentuk sertifikasi, legislasi dan inspeksi yang diperketat sebagai respon atas kesadaran konsumen Yahudi dalam skala global.[5]
Ada empat faktor yang menyebabkan makanan menjadi tidak kosher, yaitu menggunakan bahan-bahan non-kosher, mencampurkan antara daging dengan susu, dimasak oleh orang non-Yahudi dan makanan yang dilarang dikonsumsi di waktu-waktu tertentu.[4]
Asal usul hukum kosher telah menjadi subjek penelitian dan perdebatan sejak lama. Misalnya, sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Tel Aviv menunjukkan bahwa orang Yudea kuno memiliki kebiasaan makan ikan non-kosher yang merupakan makanan yang terlarang dalam Alkitab. Kebiasaan tersebut ditengarai telah berlangsung selama lebih dari 2.000 tahun, dari Zaman Perunggu akhir (1550-1130 SM) sampai akhir periode Bizantium (640 M), berdasarkan hasil analisis pada tulang ikan purba yang ditemukan di 30 situs arkeologi di Sinai dan Israel. Oleh karena itu, ada yang beranggapan bahwa larangan memakan ikan tanpa sirip dan sisik justru menyimpang dari kebiasaan makan orang Yudea yang telah berlangsung lama.[6]
Sementara Kitab Perjanjian Lama mulai ditulis pada awal abad sebelum penghancuran Yerusalem tahun 586 SM sampai zaman Helenistik (332-63 SM) dan memuat larangan makan jenis ikan tertentu yang diulang sebanyak dua kali. Dua referensi tersebut juga memuat larangan makan babi. Namun, asal usul dan sejarah awal larangan makan jenis ikan tertentu belum tergali secara detail hingga sekarang.[6]
Terlepas dari seperti apa asal usulnya, hukum kosher telah dijalankan secara turun temurun dan memiliki dampak signifikan dalam kehidupan sehari-hari umat Yahudi.[7]
Berdasarkan tradisi dan pemuka agama Yahudi, Taurat, termasuk aturan makan menurut Yahudi diterima oleh 1,2 juta orang Yahudi pada 1275 SM di Sinai, hampir 300 tahun setelah bukti arkeologi paling awal terungkap. Temuan lain menunjukkan adanya kemungkinan bahwa aturan kosher dijalankan oleh orang Yudea ketika mereka berada di bawah kekuasaan Romawi. Menurut tradisi agama, Taurat diajarkan secara lisan dari generasi ke generasi hingga para sarjana awal mulai menyusun pemikiran ini pada abad ke-3 SM.[7]
Makanan merupakan kebutuhan yang berperan penting dalam kehidupan manusia. Bahkan larangan pertama bagi Adam dan Hawa, sebagaimana yang disampaikan dalam Taurat, adalah larangan untuk memakan sesuatu (Kitab Kejadian 2: 16-17). Namun, perintah tersebut dilanggar sehingga menyebabkan Adam dan Hawa keluar dari surga dan diturunkan ke bumi. Hal ini pula yang mereka yakini bahwa kosher merupakan kehendak Tuhan.[8]
Kosher dan halal seringkali dianggap sebagai hal yang sama oleh banyak orang. Padahal keduanya merupakan istilah dengan terminologi dan berasal dari keyakinan yang berbeda meskipun memiliki beberapa kemiripan.[9]
Akibat kemiripan itulah, orang-orang Yahudi mempromosikan bahwa makanan kosher adalah makanan halal bagi muslim sehingga apabila sudah ada sertifikat kosher tidak perlu lagi sertifikat halal.[10]
Contoh kekeliruan persepsi ini tampak dalam Kamus Inggris-Indonesia karangan John M. Echols dan Hassan Shadily terbitan tahun 1998 yang mengartikan kata 'kosher' sebagai halal (kosher meat diartikan sebagai daging halal). Terjemahan yang lebih tepat dapat ditemukan dalam Webster World University Dictionary, di mana kosher atau kashrut diartikan sebagai bersih secara seremonial, sesuai dengan hukum Yahudi.[9]
Pada kenyataannya memang ada persamaan antara halal dan kosher, seperti tidak menghendaki adanya unsur babi dalam makanan dan minuman serta harus disembelih dengan menggunakan pisau yang tajam, bukan dimatikan dengan cara dipukul, dipelintir atau diterkam binatang buas. Kemudian, binatang yang akan disembelih harus dalam keadaan hidup dan sehat. Darah hewan yang disembelih pun harus mengucur keluar semua dari tubuh.[11]
Namun, ada beberapa jenis makanan dan minuman yang kosher tetapi tidak halal, seperti minuman anggur, semua jenis gelatin tanpa memandang terbuat dari tulang atau kulit hewan apa dan daging kosher yang meskipun disembelih dengan cara yang benar tetapi tidak menyebut nama Allah (ucapan basmallah). Ada pula makanan yang halal tetapi tidak kosher, seperti daging kelinci, unggas liar, ikan yang tidak bersirip dan bersisik, hewan moluska dan lain-lain.[9][11]
Dalam hukum kosher, daging dan produk susu (susu, keju, mentega dan lain-lain) tidak boleh dicampur, baik dalam penyimpanan maupun saat memakannya. Beberapa sekte Yahudi bahkan melarang ikan dicampur dengan daging.[10][11] Ada pula potongan-potongan daging tertentu yang meskipun dari binatang yang halal tetapi tidak boleh dimakan karena dianggap tidak kosher, seperti lemak, jeroan dan kaki.[12] Sementara dalam hukum makanan halal, tidak ada aturan seperti itu. Namun, dalam penyimpanannya, dilarang mencampurkan antara makanan halal dan haram dalam satu tempat karena makanan yang halal akan menjadi haram.[11]
Ada tiga kategori utama yang termasuk makanan kosher, yaitu daging (fleishig), produk susu (milchig) dan pareve.[13]
Daging dalam konteks makanan kosher merujuk pada daging yang berasal dari hewan mamalia dan unggas serta produk apa pun yang berasal darinya, seperti kaldu, saus atau tulang.[13] Aturan hukum Yahudi terkait daging kosher harus memenuhi beberapa kriteria berikut:
Ada pun jenis daging yang tidak kosher antara lain:
Produk susu, seperti susu, keju, mentega dan yoghurt, diperbolehkan untuk dikonsumsi dengan beberapa ketentuan khusus seperti:
Pareve atau parve adalah segala jenis makanan yang tidak termasuk dalam kategori daging maupun produk susu, seperti ikan, telur dan makanan yang berasal dari tumbuhan. Parve dapat dimakan bersama dengan daging atau susu.[15][16]
Jenis ikan yang kosher menurut Taurat (Kitab Imamat 11:9) adalah yang bersirip dan bersisik. Namun, apabila hanya memiliki salah satunya, masih diperbolehkan. Misalnya, ikan tuna yang sisiknya tipis. Ada pun ikan kosher lain yang populer adalah ikan bass, ikan mas, ikan kod, haring, makarel, trout dan salmon.[14]
Hewan krustasea (seperti lobster dan kepiting), hewan moluska (seperti kerang) dan segala jenis mamalia air (seperti paus dan lumba-lumba) tidak kosher.[14]
Telur yang boleh dimakan harus berasal dari unggas atau ikan yang kosher dan tidak terkena bercak darah.[13]
Hampir semua jenis roti termasuk parve. Untuk menghindarkan orang dari memakan roti susu dengan daging atau sebaliknya, dibuatlah larangan produksi roti menggunakan bahan susu atau lemak, kecuali jika ditandai dengan jelas, atau diproduksi dalam jumlah kecil dan hanya disajikan kepada orang-orang yang dikenal.[16]
Sayuran berdaun (seperti selada dan brokoli) dan beberapa jenis buah (seperti rasberi dan stroberi) sering ditemukan ada serangga yang memakannya. Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian sebelum mengonsumsi sayuran dan buah tersebut karena serangga tidak kosher.[14]
Meskipun ada perdebatan mengenai hal ini, sebagian organisasi kashrut setuju bahwa beberapa spesies belalang termasuk kosher. Sebagian besar orang Yahudi tidak mengonsumsi belalang meski di beberapa komunitas Yahudi belalang adalah makanan tradisional mereka.[15]
Karena minuman anggur sering digunakan dalam ritual penyembahan berhala pada kepercayaan kuno (paganisme), hukum kosher melarang konsumsi minuman anggur dan segala produk olahan anggur yang tidak dibuat oleh orang non-Yahudi.[17]
Hewan mamalia dan unggas yang dimakan harus disembelih berdasarkan ketentuan hukum Yahudi (Kitab Ulangan 12: 21). Ritual penyembelihan inilah yang disebut dengan shechita dan orang yang melakukan penyembelihan disebut shochet. Kedua kata tersebut berakar dari bahasa Ibrani, Shin-Chet-Tav, yang artinya menghancurkan atau mematikan. Seorang shochet bukanlah tukang jagal biasa melainkan orang saleh yang terlatih dan paham hukum Yahudi, terutama yang berhubungan dengan kosher. Pada komunitas yang lebih kecil, shochet seringkali juga seorang rabi.[17]
Syarat utama penyembelihan hewan kosher yang biasa digunakan oleh orang Yahudi adalah hewan yang hendak disembelih harus dalam keadaan hidup dan sadar. Tidak diperbolehkan untuk menyetrum.[18]
Ritual penyembelihan ini menyebabkan pendarahan paling efektif sehingga kualitas dan kebersihan dagingnya paling sesuai dengan kebutuhan manusia. Daging hewan hasil ritual penyembelihan juga lebih tahan lama dan tidak cepat busuk serta mengandung lebih sedikit darah dan lebih banyak nutrisi.[18]
Schechita dilakukan dengan menggunakan pisau yang tajam, proses yang cepat tanpa gangguan (she'hiya), mudah (drasa) dan tidak terhalang oleh benda asing (chalada). Metode ini memungkinkan, baik trakea maupun kerongkongan, juga pembuluh nadi kepala dan vena jugularis (vena yang terdapat di leher) terputus sehingga menyebabkan kehilangan banyak darah dalam waktu cepat dan hewan segera kehilangan kesadaran.[19]
Darah adalah sesuatu yang terlarang untuk dimakan (Kitab Imamat 7: 26-27; Kitab Imamat 17: 10-14). Alasan di balik pelarangan ini adalah karena kehidupan hewan terkandung dalam darah. Ketentuan ini berlaku untuk unggas dan mamalia saja, tidak untuk darah ikan.[17]
Proses pertama sudah dilakukan saat penyembelihan. Namun, sisa-sisa darah yang masih menempel pada daging harus dihilangkan, baik dengan cara dipanggang atau direndam dan digarami. Bagian hati bisa dipanggang karena mengandung banyak darah dan pembuluh darah yang begitu kompleks.[17]
Daging juga bisa dicuci terlebih dulu sebelum direndam dan digarami. Proses penggaraman untuk menghilangkan darah dari daging dapat dilakukan dengan menggunakan garam kosher. Garam kosher sendiri merupakan jenis garam berbutir kasar dan berpartikel besar yang tidak melalui proses pemurnian dan tidak mengandung yodium.[20][21]
Persoalan kosher tidak hanya menyangkut tentang apa yang boleh dan tidak boleh dimakan tetapi juga proses persiapan dan pengolahannya. Mulai dari proses penyembelihan hingga memasak dan menghidangkan. Misalnya, penggunaan alat masak dan makan untuk daging dan produk susu harus dibedakan. Bahkan mencuci alat masak dan makan untuk daging dan produk susu tidak boleh dilakukan dalam waktu yang sama.[22]
Di bangunan-bangunan umum Yahudi yang besar, seperti di sinagoge, ruang makannya memiliki dua dapur yang terpisah.[23]
Penataan dapur kosher pun berbeda dengan dapur pada umumnya. Ada lima elemen yang biasa terdapat pada dapur kosher antara lain:
Salah satu peraturan penting dalam hukum kosher adalah dilarang memasak dan memakan daging dan produk susu pada waktu yang sama. Dasar dari pelarangan ini terdapat dalam Taurat yang berbunyi, "Janganlah memasak anak kambing dalam susu ibunya", dan disebutkan sebanyak tiga kali (dua kali di Kitab Keluaran 23: 19 dan 34: 26 serta sekali di Kitab Ulangan 14: 21).[25][26]
Beberapa otoritas Yahudi memberi alasan di balik aturan tersebut. Pertama, hal itu dianggap kejam karena memasak anak binatang di dalam susu yang sebenarnya dimaksudkan untuk memberinya makan. Kedua, menurut Kabala, daging melambangkan gevurah (atribut penghakiman Ilahi) sedangkan susu melambangkan chesed (atribut kebaikan Ilahi) sehingga dua karakteristik yang berlawanan ini tidak dapat dijadikan satu.[26]
Sebagian besar pengamat Yahudi yang lebih ketat menetapkan jarak waktu antara konsumsi daging dan susu adalah enam jam. Sementara yang lebih toleran menetapkan dua jam saja.[23]
Taurat (Kitab Ulangan 12: 23) melarang memakan anggota tubuh hewan yang belum disembelih. Dalam bahasa Ibrani, hal ini disebut sebagai Ever Min HaChai. Persyaratan ini sebenarnya merupakan salah satu bagian dari Tujuh Hukum Nuh yang berlaku juga untuk yang bukan orang Yahudi.[14]
Untuk menghindarkan diri dari konsumsi susu non-kosher, para rabi memberlakukan pengawasan ketat pada proses pemerahan susu. Oleh karena itu, mereka melarang orang Yahudi mengonsumsi susu yang proses pemerahannya dilakukan tanpa pengawasan atau disebut sebagai chalav akum. Perkakas yang digunakan untuk memasak chalav akum dilarang untuk digunakan kembali, kecuali telah melalui proses kosher.[27]
Bishul akum adalah istilah dalam bahasa Ibrani yang artinya adalah "dimasak oleh orang non-Yahudi". Sumber larangan bishul akum terdapat dalam Mishnah (Abodah Zarah 35b) dan Gemara. Ada dua alasan yang dikemukakan para rabi terkait hal ini. Pertama, untuk menghindari kemungkinan orang non-Yahudi menambahkan bahan-bahan terlarang ke dalam masakan. Satu lagi adalah sebagai penghalang sosial antara Yahudi dan non-Yahudi untuk meminimalkan terjadinya perkawinan campur.[28]
Pesakh atau Paskah Yahudi (bahasa Inggris: Passover) adalah hari raya umat Yahudi yang berlangsung selama 7-8 hari untuk memperingati pembebasan orang Ibrani kuno dari perbudakan di Mesir.[29]
Aturan makan selama Paskah menjadi lebih ketat selama seminggu. Biji-bijian seperti gandum, haver, spelt, barley dan gandum hitam tidak boleh dikonsumsi (dikenal sebagai chametz). Tidak hanya roti, kue kering, dan pasta yang dilarang, tetapi juga bir dan sebagian besar minuman beralkohol, kecuali minuman anggur yang berlabel Kosher untuk Paskah (label "P"). Selama Paskah, orang Yahudi akan makan roti tak beragi (Matzo) yang melambangkan penderitaan orang-orang Ibrani saat perbudakan.[29][30]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.