Remove ads
kritik terhadap negara Israel serta kebijakan dan praktik-praktiknya Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Kritik terhadap Israel[1][2][3] adalah sebuah subjek komentar serta penelitian jurnalistik dan ilmiah dalam lingkup teori hubungan internasional, yang diungkapkan dalam istilah ilmu politik. Israel telah menghadapi kritik internasional sejak diproklamasikan pada tahun 1948 terkait dengan berbagai topik,[4][5][6][7] baik sejarah maupun kontemporer.
Israel banyak dikritik terkait isu seputar pendiriannya ketika sebagian besar penduduk Arab di wilayah Mandat Palestina melarikan diri atau diusir pada tahun 1948, perilaku angkatan bersenjatanya dalam konflik Arab–Israel, pendirian dan perluasan permukiman ilegal Israel di wilayah Palestina. perlakuannya terhadap warga Palestina, dan blokade Jalur Gaza,[8] dengan dampaknya terhadap perekonomian wilayah Palestina, proyek nuklir negara tersebut,[9] dan program pembunuhan yang ditargetkan.[10][11] Isu-isu lainnya yang juga dikritik antara lain: penolakan untuk mengizinkan pengungsi Palestina pascaperang kembali ke rumah mereka, pendudukan jangka panjang atas wilayah yang diduduki pascaperang, serta pembangunan permukiman di sana. Status Israel sebagai negara demokrasi representatif juga dipertanyakan karena rakyat Israel di wilayah pendudukan diperbolehkan memilih dalam pemilu Israel sedangkan rakyat Palestina tidak.[12][13][14]
Kritik terhadap kebijakan Israel muncul dari beberapa kelompok: para aktivis di dalam Israel dan di seluruh dunia, PBB, dan organisasi non-pemerintah lainnya termasuk gereja-gereja Eropa, dan media massa. Bias media sering kali diklaim oleh kedua belah pihak yang berdebat. Sejak tahun 2003, PBB telah mengeluarkan 232 resolusi sehubungan dengan Israel, 40% dari seluruh resolusi yang dikeluarkan oleh PBB selama periode tersebut dan lebih dari enam kali lipat resolusi negara urutan kedua, Sudan.[15]
Balasan dari kritik ini mencakup pernyataan bahwa para kritikus dan kritiknya dicap mendelegitimasi hak keberadaan Israel,[16][17][18] yang menyebabkan beberapa orang berdebat mengenai batas ketika kritik tersebut dianggap mempromosikan antisemitisme. Istilah "antisemitisme baru" mengacu pada kritik yang dianggap telah melewati ambang batas tersebut.
PBB mendefinisikan pengungsi Palestina sebagai "orang Arab yang tinggal di Palestina sekurang-kurangnya dua tahun sebelum tahun 1948 serta keturunan mereka, dan yang melarikan diri atau diusir dari rumah mereka selama dan setelah Perang Palestina 1948."
Pihak yang bertanggung jawab atas eksodus tersebut menuai kontroversi di kalangan sejarawan dan komentator konflik.[19] Meski para sejarawan kini sepakat mengenai jalannya peristiwa pada periode tersebut, masih terdapat perbedaan pendapat mengenai apakah eksodus tersebut merupakan hasil dari rencana yang sengaja dirancang sebelum atau selama perang oleh para pemimpin Zionis atau tidak[20][halaman dibutuhkan]
Tekanan internasional yang signifikan diberikan kepada kedua belah pihak selama Konferensi Lausanne tahun 1949 untuk merampungkan masalah tersebut. Para pihak menandatangani protokol bersama mengenai kerangka perdamaian komprehensif, yang mencakup wilayah, pengungsi, dan Yerusalem, serta Israel sepakat “secara prinsip” untuk mengizinkan pulangnya semua pengungsi Palestina.[21][halaman dibutuhkan] Menurut Sejarawan Baru Ilan Pappe, perjanjian Israel ini dibuat di bawah tekanan Amerika Serikat, dan karena Israel menginginkan keanggotaan PBB, yang memerlukan persetujuan Israel untuk mengizinkan kembalinya semua pengungsi. Ketika Israel diterima sebagai anggota PBB, Israel menarik diri dari protokol yang telah ditandatangani karena Israel sepenuhnya puas dengan status quo dan tidak merasa perlu memberikan konsesi apa pun sehubungan dengan pengungsi atau masalah perbatasan. Hal ini menimbulkan kritik internasional yang signifikan dan berkelanjutan.[21]
"Sejarawan Baru" Ilan Pappe berpendapat dalam The Ethnic Cleansing of Palestine bahwa kebijakan Israel antara tahun 1947 dan 1949, ketika "lebih dari 400 pedesaan Palestina dengan sengaja dihancurkan, warga sipil dibantai, dan sekitar satu juta pria, wanita, dan anak-anak diusir dari rumah mereka" di bawah todongan senjata", digambarkan sebagai pembersihan etnis.[22][halaman dibutuhkan][23][24][25] Namun, Pappe dikritik sejarawan lain karena dituduh memalsukan sejarah.[26][27][28]
Misalnya, sejarawan Israel Benny Morris menganggap Pappe "salah satu sejarawan paling ceroboh, paling jelek, dan paling tidak jujur di dunia." Ketika ditanya tentang pengusiran warga Palestina pada tahun 1948 dari Lod dan Ramla, ia menjawab, "Ada keadaan dalam sejarah yang membenarkan pembersihan etnis. Saya tahu bahwa istilah ini sepenuhnya negatif dalam wacana abad ke-21, tetapi ketika pilihannya adalah antara pembersihan etnis dan genosida—pemusnahan rakyat Anda—saya lebih memilih pembersihan etnis ... Tidak ada pilihan selain mengusir penduduk tersebut. Sangatlah penting untuk memusnahkan wilayah pedalaman, wilayah perbatasan, dan memutus jalan-jalan utama. Penting untuk dilakukan pemusnahan desa-desa tempat konvoi dan permukiman kami ditembaki.” [29] Ia juga menambahkan pada tahun 2008, "Tidak ada 'rencana' Zionis atau kebijakan menyeluruh untuk mengusir penduduk Arab, atau 'pembersihan etnis'. Rencana Dalet (Rencana D), tanggal 10 Maret 1948 ... adalah rencana induk ... untuk melawan serangan pan-Arab terhadap negara Yahudi yang baru muncul".[30]
Wilayah yang diduduki Israel, mulai dari Mesir, Yordania, dan Suriah, semenjak Perang Enam Hari 1967, telah ditetapkan sebagai wilayah pendudukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan banyak organisasi internasional, pemerintah, dan lain sebagainya. Daerah tersebut meliputi Tepi Barat dan sebagian besar Dataran Tinggi Golan. Sejak Perang Enam Hari hingga tahun 1982, Semenanjung Sinai diduduki Israel, tetapi dikembalikan ke Mesir melalui perjanjian damai Israel–Mesir. Jalur Gaza sempat diduduki Israel hingga pelepasan sepihaknya. Resolusi 242 Dewan Keamanan PBB, menekankan bahwa "perolehan wilayah melalui perang tidak dibenarkan," menimbulkan kontroversi mengenai status hukum wilayah yang direbut pada tahun 1967, dan pada tahun 1948. Ada dua penafsiran hukum internasional mengenai hal ini:[butuh rujukan]
Posisi Israel:
Posisi Arab:
Aneksasi Israel atas Yerusalem Timur dan Dataran Tinggi Golan pada tahun 1980–1981 berdasarkan UU Yerusalem dan UU Dataran Tinggi Golan belum diakui oleh negara lain mana pun.[31] Otoritas Palestina, Uni Eropa,[32] dan DK PBB[33] menganggap Yerusalem Timur sebagai bagian dari Tepi Barat, sebuah posisi yang disengketakan oleh Israel. Badan-badan internasional seperti PBB mengecam UU Yerusalem sebagai pelanggaran terhadap Konvensi Keempat Jenewa dan menyatakan bahwa penetapan kota tersebut sebagai ibu kota Israel melanggar hukum internasional. Akibatnya, banyak negara mendirikan kedutaan besar untuk pemerintah Israel di luar Yerusalem.
Israel menarik diri sepihak dari Gaza pada bulan September 2005, dan menyatakan bahwa negara itu sudah tidak lagi menduduki Jalur Gaza. Hal ini telah dibantah oleh PBB, yang meskipun tidak menyatakan Gaza "diduduki" berdasarkan definisi hukumnya, tetapi merujuk pada Gaza di bawah nomenklatur "Wilayah Palestina yang Diduduki". Beberapa kelompok menyatakan bahwa Gaza masih diduduki secara sah.[34][35][36]
Terlepas dari kenyataan bahwa undang-undang keamanan Israel untuk wilayah Palestina tidak menyatakan hal tersebut, hukum militer hanya berlaku bagi penduduk Arab di wilayah tersebut, dan tidak berlaku bagi orang Yahudi atau warga negara Israel.[37] Warga negara Israel diatur berdasarkan hukum Israel sedangkan warga Palestina diatur berdasarkan hukum militer.[38]
Orang Israel seperti Avraham Burg, Ilan Pappé, Gershom Gorenberg, David Remnick, Oren Yiftachel, dan Miko Peled serta organisasi seperti Human Rights Watch, B'tselem, Peace Now, dan lain-lain mempertanyakan status Israel sebagai negara demokrasi. Pertanyaan-pertanyaan ini berfokus pada kurangnya demokrasi di wilayah-wilayah pendudukan Israel, bukan pada Israel sebenarnya. Kritik semacam ini didasarkan pada keyakinan bahwa baik warga negara Israel yang tinggal di permukiman maupun warga Palestina harus diberi hak untuk memilih, mengingat warga Palestina secara efektif berada di bawah kekuasaan Israel dan karenanya harus mendapatkan manfaat dari hak pilih tersebut. Mereka mempunyai kekhawatiran yang sama bahwa pendudukan wilayah tersebut tidak bersifat sementara, mengingat jangka waktunya yang lebih dari 45 tahun dan sifat permukiman Israel yang besar dan permanen.[39][halaman dibutuhkan][12][13][14][40][41][42]
Para penanda tangan Konvensi Keempat Jenewa,[43] berbagai resolusi PBB, Mahkamah Internasional,[44] dan lembaga-lembaga lain telah memutuskan bahwa kebijakan Israel untuk mendirikan permukiman sipil di wilayah yang dianggap diduduki, termasuk di Yerusalem Timur, adalah ilegal. Israel membantah anggapan bahwa Tepi Barat dan khususnya Yerusalem Timur diduduki berdasarkan hukum internasional, meskipun pandangan ini ditolak secara internasional.
Kebijakan permukiman Israel dikritik keras dari Amerika Serikat[45] dan Uni Eropa.[46]
Ali Jarbawi menyebut kebijakan tersebut sebagai "satu-satunya pendudukan penjajah-pemukim yang tersisa di dunia saat ini".[47] Dalam bukunya Hollow Land: Israel's Architecture of Occupation, Eyal Weizman memandang kebijakan Israel sebagai "sistem politik di jantung pendudukan kolonial modern yang kompleks dan mengerikan".[48][halaman dibutuhkan]
Komunitas internasional mengkritik Israel karena "gagal melindungi penduduk Palestina" dari kekerasan pemukim Israel.[49]
Human Rights Watch (HRW) menganggap Israel menjalankan sistem peradilan “dua tingkat” di wilayah pendudukan Palestina, yang memberikan layanan istimewa, pembangunan, dan manfaat bagi warga Israel yang tinggal di permukiman di wilayah pendudukan serta menerapkan kekerasan terhadap warga negara Palestina dan nonwarga negara Israel lainnya. Dalam beberapa kasus, Israel mengakui perlakuan yang berbeda terhadap warga Palestina dan warga Israel, seperti memiliki jalur terpisah untuk kedua komunitas dan mengoperasikan pos pemeriksaan bagi warga Palestina, dan menegaskan bahwa tindakan tersebut diperlukan untuk melindungi warga Israel dari serangan kelompok bersenjata Palestina. Pada tahun 2011, parlemen Israel mengesahkan undang-undang yang mengkriminalisasi partisipasi dalam boikot terhadap permukiman Israel. Undang-undang tersebut menuai kritik dari Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Liga Antifitnah.[50]
Amnesty International melaporkan bahwa pada tahun 2009, ratusan warga Palestina ditahan dan tidak bisa berkomunikasi dalam jangka waktu yang lama oleh Israel. Meskipun sebagian besar kemudian dibebaskan tanpa dakwaan, ratusan orang diadili di pengadilan militer yang prosedurnya sering tidak memenuhi standar internasional untuk peradilan yang jujur dan adil. Menurut Amnesty, hampir semua penahanan Palestina melanggar hukum kemanusiaan internasional, yang melarang pemindahan tahanan ke wilayah kekuasaan pendudukan (yaitu Israel). Laporan tersebut menyatakan bahwa sekitar 300 anak di bawah umur dan 550 orang dewasa ditahan tanpa tuduhan atau diadili selama lebih dari setahun.[51]
Pada tahun 2011, Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon, mengatakan Israel menahan ribuan warga Palestina sebagai tahanan, dan meminta Israel untuk membebaskan mereka. Ban mengatakan pembebasan tahanan politik akan “berfungsi sebagai langkah membangun kepercayaan” dan meningkatkan prospek perdamaian di wilayah tersebut.[52] Juga, Amnesty International meminta Israel untuk membebaskan tahanan politik, seraya mengatakan, "Semua tahanan politik yang dipidana tanpa dakwaan atau persidangan harus disidang secara adil."[53] Israel keberatan dengan pembebasan tahanan, banyak di antara mereka telah dihukum oleh pengadilan Israel karena kejahatan kekerasan seperti pembunuhan.[butuh rujukan] Namun, beberapa kesepakatan pembebasan tahanan telah dilakukan oleh Israel sebagai tanda-tanda negosiasi, banyak di antaranya melibatkan pembebasan ratusan atau lebih tahanan.
Menurut Amnesty International, metode penyiksaan yang digunakan oleh Israel terhadap tahanan Palestina termasuk menjadikan tahanan menjadi makin stres, kurang tidur, serta ancaman menyakiti keluarga tahanan. Pemukulan dan perlakuan buruk lainnya terhadap tahanan sering terjadi selama dan setelah penangkapan dan selama pemindahan dari satu lokasi ke lokasi lain.[51]
Organisasi seperti Amnesty International, Asosiasi Hak Sipil di Israel (ACRI), Or Commission yang ditunjuk pemerintah Israel, dan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat[54] telah menerbitkan laporan yang mendokumentasikan rasisme dan diskriminasi yang ditujukan terhadap kelompok suku dan ras di Israel.
Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh bagian administrasi Pengadilan Israel dan Asosiasi Pengacara Israel, warga Arab-Israel yang dituduh melakukan jenis kejahatan tertentu lebih rentan dihukum berat dibandingkan warga Yahudi, dan begitu terbukti bersalah, mereka lebih mungkin dijebloskan ke penjara. Studi ini juga menemukan perbedaan jangka waktu hukuman penjara yang diberikan, dengan rata-rata hukuman penjara 9,5 bulan bagi orang Yahudi dan 14 bulan bagi orang Arab.[55]
Kelompok HAM mengatakan bahwa undang-undang antidiskriminasi tenaga kerja di Israel jarang ditegakkan. Koalisi sembilan kelompok HAM Israel menentang praktik perusahaan yang hanya membuka lowongan kerja bagi Yahudi-Israel, dan tidak mempekerjakan Arab-Israel. Perusahaan yang beriklan di bawah bendera "buruh Ibrani" menganut filosofi ketenagakerjaan terpisah yang berasal dari praktik imigran Yahudi di Palestina pada paruh pertama abad ke-20 yang dimaksudkan untuk memperkuat industri Israel yang sedang berkembang dari pengaruh Inggris dan Arab.[56]
Pada bulan Februari 2011, Benjamin Netanyahu menelepon Kanselir Jerman, Angela Merkel, untuk mengeluhkan keputusan Jerman yang mendukung resolusi di DK PBB yang menyatakan permukiman Israel itu ilegal dan dia menjawab, "Beraninya Anda! Anda mengecewakan kami. Anda belum membuat satu langkah pun untuk mewujudkan perdamaian."[57] Beberapa hari kemudian diplomat veteran Israel Ilan Baruch mengundurkan diri dengan alasan bahwa kebijakan Netanyahu mengarah pada delegitimasi Israel.[58]
Angkatan Pertahanan Israel (IDF) mengaku menggunakan "Prosedur Peringatan Dini" yang akan mendorong seorang kenalan Palestina dari seorang buron untuk mencoba meyakinkannya agar menyerah. Praktek ini dikritik oleh beberapa orang karena menggunakan "tameng manusia", sebuah tuduhan yang dibantah oleh IDF, dengan mengatakan bahwa mereka tidak pernah memaksa orang untuk melaksanakan Prosedur Peringatan Dini; dan bahwa warga Palestina secara sukarela mencegah jatuhnya banyak korban jiwa. Amnesty International[59] dan Human Rights Watch[60] termasuk di antara kelompok yang membanding-bandingkan prosedur ini dengan “tameng manusia”. Kelompok Israel B'Tselem juga membuat perbandingan tersebut, dengan mengatakan bahwa "untuk jangka waktu yang lama setelah pecahnya Operasi Tameng Pertahanan, pada Intifada kedua bulan April 2002, IDF secara sistematis menggunakan warga sipil Palestina sebagai tameng manusia, memaksa mereka untuk melakukan tindakan yang mengancam kehidupan mereka".[61] Prosedur Peringatan Dini dilarang oleh Mahkamah Agung Israel pada tahun 2005 tetapi beberapa kelompok mengatakan IDF terus menggunakannya, meskipun mereka mengatakan jumlah kasusnya telah menurun tajam.[61][62]
Israel diketahui memiliki 150 unit senjata nuklir, dan telah dikritik karena terus menyimpannya serta tak menyetujui zona bebas nuklir Timur Tengah. Pada bulan September 2009, Badan Tenaga Atom Internasional mengeluarkan resolusi yang "menyatakan keprihatinan mengenai kemampuan nuklir Israel, dan menyerukan kepada Israel untuk menyetujui Perjanjian Nonproliferasi Senjata Nuklir dan menyimpan semua fasilitas nuklirnya di bawah perlindungan IAEA yang komprehensif..."[63]
Israel juga telah menandatangani Konvensi Senjata Kimia tetapi belum meratifikasinya, dengan alasan negara-negara tetangganya juga belum meratifikasinya.[64] Israel diyakini memiliki senjata kimia, tetapi para pejabat tidak pernah secara langsung mengakuinya, meskipun pada tahun 1990 Menteri Sains Yuval Neeman mengancam akan membalas serangan senjata kimia Irak "dengan barang yang sama".[65] Israel belum menandatangani Konvensi Senjata Biologis.[64]
Amnesty International mengecam kebijakan pembunuhan Israel yang menargetkan individu.[66] Para pejabat Israel telah mengakui bahwa kebijakan tersebut ada dan sedang dilaksanakan, dengan mengatakan bahwa kebijakan tersebut membantu mencegah tindakan terorisme yang dilakukan terhadap Israel. Amerika Serikat memiliki kebijakan yang sangat mirip.[67] Kritik juga muncul dari kalangan sayap kiri Israel, yang mengatakan kebijakan pembunuhan adalah "perilaku gangster" yang tidak layak bagi pemerintah dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan Israel.[68] Mahkamah Agung Israel telah memutuskan bahwa pembunuhan adalah tindakan ilegal, namun dokumen yang bocor menunjukkan bahwa tentara Israel mengabaikan keputusan tersebut.[69]
Istilah Yahudisasi Yerusalem mengacu pada pandangan bahwa Israel berupaya mengubah lanskap fisik dan demografi Yerusalem agar sesuai dengan visi Yerusalem Bersatu di bawah kedaulatan Negara Yahudi.[70]
PBB telah mengkritik upaya Israel untuk mengubah susunan demografi Yerusalem dalam beberapa resolusi. Semua tindakan legislatif dan administratif yang diambil oleh Israel, yang telah mengubah atau bertujuan untuk mengubah sifat, status hukum dan komposisi demografi Yerusalem, digambarkan oleh PBB sebagai “batal demi hukum” dan “tidak memiliki validitas apa pun”.[71] Richard Falk, penyelidik Dewan HAM PBB, mengatakan bahwa perluasan permukiman Israel di Yerusalem Timur dan penggusuran penduduk Palestina "hanya dapat digambarkan dalam dampak kumulatifnya sebagai bentuk pembersihan etnis".[72]
Dalam laporan tahun 2008, John Dugard, penyelidik independen Dewan HAM PBB, memandang Yahudisasi Yerusalem sebagai kebijakan "kolonialisme, apartheid, atau pendudukan" Israel yang menciptakan sebuah konteks bahwa terorisme Palestina adalah "konsekuensi yang tak terelakkan".[73]
Israel telah mengesahkan Undang-Undang Kepulangan yang memungkinkan orang Yahudi mendapatkan jalur cepat untuk mendapatkan kewarganegaraan Israel. Pengungsi Palestina tidak dapat mengajukan permohonan kewarganegaraan Israel berdasarkan peraturan perundang-undangan karena mereka bukan Yahudi, meskipun mereka dapat mengajukan permohonan kewarganegaraan Israel melalui jalur konvensional. Undang-undang tersebut dikritik Institut Studi Hak Asasi Manusia Kairo yang mengatakan undang-undang tersebut adalah "contoh utama undang-undang Israel yang mendiskriminasi orang Arab Palestina".[74] Komite Anti-Diskriminasi Amerika-Arab mengatakan perbedaan antara UU Kepulangan dan penolakan Israel terhadap hak pemulangan pengungsi Palestina menunjukkan “rasisme yang tidak berdasar”.[75] Lebih dari 1.000 orang Yahudi Amerika mendukung kampanye bertajuk “Langgar Undang-Undang Kepulangan”, dan mengatakan bahwa UU Kepulangan menciptakan kewarganegaraan yang eksklusif secara etnis, yang mereka anggap tidak adil.[76]
Kritikus menyatakan bahwa jaminan hak bagi orang Yahudi untuk berimigrasi ke Israel bersifat diskriminatif terhadap non-Yahudi dan oleh karena itu bertentangan dengan nilai demokrasi yaitu kesetaraan di bawah hukum.[77]
Mantan Perdana Menteri Israel Ehud Barak menyatakan hal tersebut saat ini[per kapan?] Pemerintah Israel “terinfeksi fasisme” dan "harus digulingkan". Anggota Parlemen Persatuan Zionis Tzipi Livni menyatakan pemerintah berada dalam kondisi "krisis—tidak hanya dalam hal kepemimpinan tetapi juga etika." [78][79]
PBB telah mengeluarkan 232 resolusi sehubungan dengan Israel sejak tahun 2003, mewakili 40% dari seluruh resolusi yang dikeluarkan oleh PBB selama periode tersebut dan lebih dari enam kali lipat resolusi negara urutan kedua, Sudan.[15]
Menurut kesaksian LSM hak asasi manusia pro-Israel, UN Watch, kepada Kongres Amerika Serikat pada Januari 2011 terkait dengan Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Israel telah menjadi fokus dari 70% dari sekitar 50 resolusi kecaman yang dikeluarkan oleh dewan tersebut, 60% dari sepuluh Sidang Khusus dewan dan 100% dari lima misi atau penyelidikan pencarian fakta dewan.[80]
Tindakan Israel telah beberapa kali dibanding-bandingkan dengan apartheid Afrika Selatan. Israel tidak setuju dengan analogi tersebut, meski persamaannya banyak ditunjukkan di kalangan internasional.[81][82]
Asosiasi Hak-Hak Sipil di Israel, sebuah perhimpunan di Israel dengan dukungan dari beberapa negara Uni Eropa, menegaskan pada tahun 2008 bahwa jaringan jalan terpisah di Tepi Barat untuk Israel dan Palestina, perluasan permukiman Yahudi, pembatasan pertumbuhan kota-kota Palestina dan pemberian layanan, anggaran, dan akses terhadap sumber daya alam yang bersifat diskriminatif merupakan "pelanggaran terang-terangan terhadap prinsip kesetaraan dan dalam banyak hal mengingatkan kita pada rezim Apartheid di Afrika Selatan".[83]
Israel juga dituduh melakukan apartheid oleh Michael Ben-Yair, jaksa agung Israel dari tahun 1993 hingga 1996[84] dan Shulamit Aloni, yang menjabat sebagai Menteri Pendidikan di bawah Yitzhak Rabin.[85]
Pada bulan April 2021, Human Rights Watch menuduh pejabat Israel melakukan kejahatan apartheid dan penganiayaan berdasarkan hukum internasional dan menyerukan penyelidikan Mahkamah Pidana Internasional atas klaim tersebut.[86][87]
Pakar-pakar dan sarjana mulai menggunakan bahasa genosida dalam membahas konflik Israel–Palestina, baik untuk menggambarkan seruan penghancuran Israel dan pembunuhan tanpa pandang bulu terhadap warga sipil oleh Hamas dan kelompok ekstremis Palestina lainnya, dan juga untuk menggambarkan dampak kumulatif kebijakan Israel di Jalur Gaza.[88]
Sejak itu, juru bicara Israel dan Palestina sering menuduh satu sama lain merencanakan skema genosida. Selama lonjakan kekerasan dalam konflik tersebut, beberapa pakar menganggap serangan yang dilakukan Hamas sebagai tindakan ilegal berdasarkan Konvensi Genosida,[89] dan pakar lain seperti Sejarawan Baru Ilan Pappé menganggap balasan yang dilakukan Israel dan kebijakan keseluruhannya di Jalur Gaza sebagai bentuk genosida, sering memperluas istilah tersebut melampaui definisi konvensi tersebut.[90][91]
Israel kadang dibandingkan dengan Nazi Jerman, secara langsung atau secara kiasan. Contohnya antara lain: menyamakan Jalur Gaza dengan kamp konsentrasi di Eropa yang diduduki Nazi.[92][butuh sumber yang lebih baik] Satuan Kerja Penyusun Definisi Antisemitisme IHRA menganggap perbandingan seperti itu sebagai antisemit.
Setelah Perang Enam Hari 1967, Uni Soviet membandingkan taktik Israel dengan taktik Nazi Jerman.[93] Perbandingan serupa dibuat oleh penulis Arab Israel, Nimer Nimer.[94] Yeshayahu Leibowitz, intelektual publik Israel, ilmuwan, dan Yahudi Ortodoks, memperingatkan pada tahun 1982 bahwa jika pendudukan terus berlanjut, Israel akan terjerumus ke dalam "Yudeo-Nazisme".[95]
Pada tahun 1984, penulis Israel Stockman-Shomron mencatat sindiran Nazi dalam artikel-artikel yang mengkritik Israel dalam publikasi termasuk The Christian Science Monitor, The Washington Post, dan The New York Times.[96]
Contoh-contoh sejak Intifada Kedua (istilah yang menggambarkan peristiwa-peristiwa yang umumnya dianggap terjadi pada tahun 2000 hingga 2005) meliputi:
Forum Antisemitisme Eropa menyatakan bahwa "membandingkan kebijakan kontemporer Israel dengan kebijakan Nazi" dianggap mempropagandakan antisemitisme.[112] Pada tahun 2006, Kelompok Parlemen Semua-Partai Menentang Antisemitisme Britania Raya merekomendasikan agar Pemerintah Inggris mengambil sikap yang sama.[113] Sosiolog David Hirsh menuduh anti-Zionis menerapkan standar ganda dalam kritik mereka terhadap Israel, dan menganggap bahwa negara-negara lain menerapkan kebijakan serupa dengan Israel tanpa menyebut kebijakan tersebut sebagai "Nazi". Ia berpendapat bahwa menggambarkan Israel terlibat dalam "genosida" mengandung tuduhan yang tidak terucapkan jika dibandingkan dengan Holocaust dan persamaan Zionisme dengan Nazisme.[114] Penulis Britania Raya Howard Jacobson berpendapat bahwa perbandingan antara kondisi yang dihadapi oleh warga Palestina dan kondisi di Ghetto Warsawa dimaksudkan "untuk melukai orang-orang Yahudi dalam sejarah mereka yang paling menderita dan untuk menghukum mereka dengan kesedihan mereka sendiri" dan merupakan bentuk penyangkalan Holocaust yang menerima realitas penderitaan orang-orang Yahudi tetapi menuduh orang-orang Yahudi "berusaha mengambil keuntungan dari penderitaan itu". “Seolah-olah,” katanya, “dengan membalikkan hukum sebab akibat yang biasa, tindakan orang-orang Yahudi saat ini membuktikan bahwa orang-orang Yahudi sudah mengalami hal yang sama di masa lampau.”[115]
Pada Mei 2018, Suara Yahudi untuk Buruh dan Kebebasan Berpendapat tentang Israel menghasilkan definisi antisemitisme. Dalam catatan yang diposting di situsnya, mereka berpendapat bahwa membandingkan tindakan Israel dengan Nazi bukan otomatis merupakan tindakan antisemit, "Menetapkan persamaan seperti itu tentu dapat menimbulkan kebencian, tetapi peristiwa dan pengalaman sejarah yang kuat selalu menjadi titik referensi utama dalam perdebatan politik." Perbandingan antisemit harus dinilai berdasarkan konten substantifnya, serta berdasarkan kesimpulan yang dapat ditarik secara wajar mengenai motivasi pembuatannya, bukan berdasarkan tingkat pelanggaran yang mungkin ditimbulkannya. "[116] Pada bulan September, Suara Yahudi untuk Buruh berkontribusi pada konsultasi mengenai kode etik baru Partai Buruh yang menentang bahwa perbandingan antara Israel dan "Nazi Jerman sebelum perang" atau Afrika Selatan era apartheid adalah "pada dasarnya antisemit", dan bahwa "Perbandingan semacam itu hanya antisemit jika mereka menunjukkan prasangka, permusuhan atau kebencian terhadap orang Yahudi."[117]
“Dalam narasi ini, saya telah menyuarakan kritik terhadap tindakan berbagai pemerintah, terutama Inggris, Amerika Serikat, Prancis, negara-negara Arab dan Israel... Namun, kritik terhadap pemerintah Israel memerlukan pendekatan khusus. Penjelasan sejumlah orang, baik Yahudi maupun non-Yahudi, cenderung menyebut setiap kritik terhadap kebijakan Israel sebagai "antisemitisme ofensif", sebuah tuduhan yang menyiratkan kemerosotan moral.
Contoh awal persepsi hubungan antara Kritik terhadap pemerintah Israel dan dugaan antisemitisme: Glubb Pasha, A Soldier with the Arabs, dalam kata pengantar memoarnya tahun 1956.[118][119]
Beberapa kritik terhadap negara ataupun kebijakan Israel dikategorikan sebagai antisemit. Para pendukung konsep Antisemitisme Baru, seperti Phyllis Chesler, Gabriel Schoenfeld, dan Mortimer Zuckerman, berpendapat bahwa, sejak Perang Enam Hari tahun 1967, banyak kritik terhadap Israel yang merupakan serangan terselubung terhadap orang Yahudi dan karenanya pada dasarnya bersifat antisemitisme. Abba Eban, Robert S. Wistrich, dan Joschka Fischer fokus pada kritik terhadap Zionisme, dan berpendapat bahwa beberapa bentuk anti-Zionisme, khususnya serangan terhadap hak untuk hidup Israel, bersifat antisemit.[butuh rujukan]
Kritikus terhadap pandangan ini sering kali menganggap bahwa mengkritik Israel sama dengan mempropagandakan antisemitisme. Beberapa pengkritik Israel atau kebijakan Israel, termasuk Ralph Nader, Jenny Tonge, Noam Chomsky, dan Desmond Tutu menyatakan bahwa menyamakan kritik terhadap Israel dengan antisemitisme sangat tidak tepat dan akurat. Kritikus lain, seperti John Mearsheimer, Alexander Cockburn, Norman Finkelstein, dan William I. Robinson, mengeklaim bahwa para pendukung Israel terkadang menyamakan kritik terhadap Israel dengan antisemitisme dalam upaya yang disengaja untuk mencegah kritik yang sah terhadap Israel dan menghujat para kritikus.[butuh rujukan]
Akan tetapi, pendukung pandangan ini biasanya berpendapat bahwa kritik jarang disamakan dengan antisemitisme. Misalnya, Alvin H. Rosenfeld menganggap argumen ini tidak jujur, serta menganggap bahwa "rubrik 'kritik terhadap Israel' sudah tersebar di mana-mana." Ia beranggapan bahwa, diskusi yang gencar mengenai kebijakan dan tindakan Israel sama sekali tidak dipertanyakan, tetapi pernyataan yang melampaui kritik yang sah dan mempertanyakan hak Israel untuk terus hidup.[120] Alan Dershowitz mengeklaim bahwa beberapa musuh Israel berpura-pura menjadi korban tuduhan antisemitisme, untuk mendapatkan dukungan terhadap posisi mereka.[butuh rujukan]
Dina Porat, Kepala Institut Studi Antisemitisme dan Rasisme di Universitas Tel Aviv, mengkarakterisasi beberapa cita-cita antizionis sebagai antisemit, karena mereka sama saja dengan mengasingkan orang-orang Yahudi untuk mendapatkan perlakuan khusus, sementara semua kelompok serupa lainnya rakyat berhak menciptakan dan memelihara tanah airnya. Ia menganggap bahwa antizionisme adalah antisemit karena bersifat diskriminatif, "...antisemitisme muncul jika meyakini bahwa di antara semua orang di dunia (termasuk orang-orang Palestina), hanya orang-orang Yahudi yang tidak berhak untuk menentukan nasib sendiri di negeri mereka sendiri."[121][122] Hannah Rosenthal dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengatakan standar ganda PBB terhadap Israel merupakan "antisemitisme".[123] Namun, banyak komentator berpendapat bahwa menyalahkan Israel karena mendapat kritik yang tidak proporsional adalah hal yang wajar sebagai akibat dari tindakan Israel. [124][halaman dibutuhkan][125][126][127][128][129]
Pusat Pemantauan Rasisme dan Xenofobia Eropa (EUMC) menyiapkan laporan pada tahun 2003 yang membedakan kritik terhadap Israel dan antisemitisme dengan menguji apakah "orang Israel dipandang sebagai perwakilan 'orang Yahudi'": jika pembicara menganggap Israel sebagai mewakili umat Yahudi pada umumnya, maka antisemitisme dianggap berdasar.[130]
Natan Sharansky, mantan pembelot Soviet dan Menteri Israel, menggagas uji 3 poin untuk membedakan kritik yang sah terhadap Israel dan serangan antisemit. Uji 3 poin Sharansky yang menetapkan suatu kritik Israel sebagai antisemit adalah:[131]
Demonisasi dan standar ganda sering dijadikan bukti antisemitisme dalam mengkritik Israel. Sharansky percaya bahwa beberapa kritik wajib mematuhi standar moral yang sangat tinggi terhadap Israel, lebih tinggi daripada yang diterapkan di negara-negara lain (terutama dibandingkan dengan negara-negara sekitarnya), tetapi satu-satunya karakteristik khusus Israel adalah bahwa Israel adalah negara Yahudi, oleh karena itu ada unsur antisemitisme.[132]
Delegitimasi adalah salah satu faktor yang dibahas oleh Abba Eban, yang mengeklaim bahwa upaya untuk menentang "persamaan hak orang Yahudi atas kedaulatan sahnya dalam komunitas bangsa-bangsa" merupakan antisemitisme.[133]
Pusat Pemantauan Rasisme dan Xenofobia Uni Eropa (sekarang berganti nama Badan HAM UE) menerbitkan rancangan definisi operasional antisemitisme yang disebut Definisi Kerja Antisemitisme[134] yang menyertai laporan pusat tersebut tentang laporan yang merangkum antisemitisme di Eropa.[135] Definisi kerja Pusat Pemantauan UE tersebut mencakup lima jenis perilaku terkait kritik terhadap Israel yang mungkin merupakan manifestasi antisemitisme:[134]
Penetapan definisi ini kontroversial dan dipandang oleh banyak orang sebagai upaya untuk melarang kritik yang sah terhadap dokumen HAM Pemerintah Israel dengan menjadikan semua kritik kepada Israel sebagai antisemitisme, serta tidak membedakan antara kritik Israel sebagai negara dan kritik Zionisme sebagai ideologi politik, di satu sisi, dan kekerasan berbasis ras terhadap, diskriminasi, atau pelecehan terhadap orang Yahudi.[136]
Paul Igansky menunjukkan bahwa salah satu perilaku antisemit versi Pusat Pemantauan UE, yaitu membanding-bandingkan kebijakan Israel dan Nazi, "Bisa dibilang tidak antisemit secara intrinsik", dan bahwa konteks di mana kebijakan tersebut dibuat sangatlah penting. Igansky mengilustrasikan hal ini dengan insiden ketika Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin digambarkan oleh sesama warga Yahudi Israel bekerja sama dengan Nazi, dan digambarkan mengenakan seragam SS. Menurut Igansky, label "Nazi" hanya digunakan sebagai "retorika politik yang dituduhkan" dalam kasus ini.[137]
Menyusul laporan Pusat Pemantauan UE tahun 2006, Institut Studi Antisemitisme Kontemporer Eropa (EISCA) menerbitkan laporan pada tahun 2009 berjudul Understanding and Addressing the 'Nazi Card' - Intervening Against Antisemitism Discourse yang membahas perbandingan Israel dengan Nazi Jerman.[138]
Laporan tahun 2009 menggabungkan lima jenis kritik khusus terhadap Israel yang harus dianggap sebagai antisemitisme dari laporan tahun 2006 (lihat di atas untuk daftar kelimanya).[139]
Laporan tersebut tidak menjelaskan bahwa semua kritik terhadap Israel bersifat antisemit, "Kebencian dan protes terhadap kebijakan, praktik, dan pemimpin negara Israel dapat diungkapkan dengan berbagai cara yang keras dan tajam, seperti yang dilakukan terhadap negara lain mana pun - tidak ada satu pun yang memicu antisemitisme...",[140] dan "Menarik perhatian terhadap dampak buruk yang diakibatkan oleh [membandingkan Nazi dan Israel] tidak boleh dimaksudkan, atau dianggap, dengan cara apa pun sebagai upaya untuk menekan kritik terhadap Israel dan praktik militernya."[141]
Antony Lerman mengkritik laporan tersebut, dan menyatakan bahwa laporan tersebut dapat digunakan untuk menekan kritik yang sah terhadap Israel, dan menyatakan bahwa penulis laporan tersebut tidak siap mengatasi kemungkinan tersebut.[142]
Sejumlah komentator merasa keberatan bila kritik terhadap Israel dianggap sebagai antisemit, dan sering menyatakan bahwa para pendukung Israel menyamakan kritik dengan antisemitisme atau secara berlebihan mengaburkan perbedaan antara keduanya. Contohnya Michael P. Prior, Noam Chomsky, Norman Finkelstein, Michael Lerner, Antony Lerman, Ralph Nader, Jenny Tonge, Ken Livingstone, dan Desmond Tutu. Mereka membeberkan alasan atas keberatan mereka, termasuk mengekang kebebasan berekspresi, mempromosikan antisemitisme, melemahkan antisemitisme sejati, dan mengasingkan orang Yahudi dari agama Yahudi atau Israel.[butuh rujukan]
Michael Lerner mengeklaim bahwa komunitas Yahudi-Amerika secara rutin mencoba mengaburkan perbedaan antara kritik yang sah terhadap Israel dan antisemitisme, dan mengatakan bahwa memperluas definisi antisemitisme dengan memasukkan kritik yang sah terhadap Israel ibarat "jebakan licin".[143]
Pakar filsafat Irfan Khawaja menegaskan bahwa menyamakan antizionisme dengan antisemitisme adalah sebuah "kekeliruan", dengan menulis, "Intinya bukan berarti tuduhan 'antisemitisme' tidak boleh dilontarkan: beberapa orang pantas mendapatkannya…. Namun menyamakan antisemitisme dan antizionisme adalah lelucon yang telah berlangsung cukup lama, dan sudah saatnya mereka yang mengetahui lelucon tersebut berkata demikian….”[144]
Palestine Monitor, sebuah kelompok advokasi Palestina, mengkritik apa yang disebut sebagai tren modern yang memperluas definisi istilah "antisemit", dan menyatakan bahwa definisi baru tersebut terlalu kabur dan memungkinkan terjadinya "tuduhan sembarangan".[145]
Brian Klug berpendapat bahwa antizionisme kadang-kadang merupakan manifestasi dari antisemitisme, tetapi "keduanya berbeda" dan menyamakan mereka berarti "menyamakan negara Yahudi dengan orang Yahudi" secara keliru.[146]
Earl Raab, direktur pendiri Institut Advokasi Yahudi Nathan Perlmutter di Universitas Brandeis, menulis, "Ada gelombang baru antisemitisme di dunia, dan banyak prasangka terhadap Israel didorong oleh antisemitisme semacam itu," tetapi ia berpendapat bahwa tuduhan antisemitisme yang didasarkan pada opini anti-Israel umumnya kurang kredibel. Ia menulis, "Penyesatan pendidikan yang serius sudah tertanam dalam formulasi yang menyatakan bahwa jika kita menghilangkan antisemitisme, kita akan menyingkirkan anti-Israelisme." Raab menggambarkan prasangka terhadap Israel sebagai "pelanggaran serius terhadap moralitas dan akal sehat", dan berpendapat bahwa prasangka tersebut sering kali menjadi jembatan menuju antisemitisme, tetapi berbeda dengan antisemitisme.[147]
Irfan Khawaja berpendapat bahwa beberapa kritik yang sah terhadap Israel dilawan secara tidak patut dengan sengaja memadukannya dengan kritik yang bersifat antisemit.[148]
Alexander Cockburn dan Jeffrey St. Clair, dalam buku The Politics of Anti-Semitism, menulis, "Para pendukung penindasan Israel terhadap orang-orang Palestina melontarkan kata 'antisemit' pada setiap kritik terhadap apa yang dimaksudkan Zionis dalam praktiknya bagi orang-orang Palestina." Beberapa esai dalam buku ini membahas isu mengenai apa yang dimaksud dengan antisemitisme sejati—kebencian terhadap Yahudi—dan bukan tuduhan 'antisemitisme' yang tidak jujur dan tidak masuk akal yang dilontarkan pada penilaian rasional terhadap kondisi politik, militer, dan politik negara Israel. dan perilaku sosial." [149]
Norman Finkelstein dan Steven Zipperstein (Guru Besar Kebudayaan dan Sejarah Yahudi di Universitas Stanford) berpendapat bahwa kritik terhadap Israel terkadang secara tidak tepat dianggap sebagai antisemit karena kecenderungan untuk menganggap orang Yahudi sebagai korban. Zipperstein berpendapat bahwa sikap umum yang memandang orang Yahudi sebagai korban kadang-kadang secara implisit dialihkan ke persepsi Israel sebagai korban; sementara Finkelstein berpendapat bahwa penggambaran Israel sebagai korban (sebagai "Yahudi di antara bangsa-bangsa") adalah taktik yang disengaja untuk meredam kritik terhadap Israel.[150]
Sander Gilman menulis, "Salah satu bentuk kebencian diri sendiri Yahudi yang terbaru adalah penentangan keras terhadap keberadaan Negara Israel."[151] Ia menggunakan istilah tersebut bukan untuk melawan mereka yang mengkritik kebijakan Israel, melainkan untuk melawan orang-orang Yahudi yang menentang keberadaan Israel. Michael Lerner, editor majalah Tikkun, menegaskan bahwa menyamakan kritik terhadap Israel dengan antisemitisme telah mengakibatkan konflik dalam komunitas Yahudi, khususnya, para pendukung persamaan tersebut terkadang menyerang kritikus Yahudi terhadap kebijakan Israel sebagai "Yahudi pembenci diri."[152] Lerner juga mengeklaim bahwa persamaan kritik terhadap Israel dengan antisemitisme dan tuduhan "Yahudi pembenci diri" telah mengakibatkan keterasingan kaum muda Yahudi dari keyakinan mereka.[153]
Antony Lerman yakin bahwa banyak serangan terhadap kritikus Yahudi terhadap Israel bersifat "panas, ad hominem, dan tidak pandang bulu" dan mengeklaim bahwa antizionisme dan antisemitisme telah didefinisikan terlalu luas dan tanpa alasan.[154] Lerman juga menyatakan bahwa "redefinisi" antisemitisme dengan memasukkan antizionisme telah menyebabkan orang Yahudi menyerang orang Yahudi lainnya, karena banyak orang Yahudi yang menjadi pemimpin di beberapa organisasi antizionis.[155]
Nicholas Saphir, Ketua Dewan Pembina New Israel Fund di Britania Raya menerbitkan surat terbuka yang membela lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang beroperasi di Israel untuk mempromosikan hak-hak sipil. Dia mengatakan bahwa beberapa organisasi seperti NGO Monitor, Israel Resource News Agency, WorldNetDaily, dan Near and Middle East Policy Review "menghubungkan kritik moral dan etika terhadap aktivitas apa pun yang dilakukan Israel atau kebijakan pemerintahnya sebagai anti-Israel, antisemit. dan bila dilakukan oleh orang Yahudi, sebagai bukti kebencian terhadap diri sendiri".[156]
Jaringan Antizionis Yahudi Internasional juga menentang penggunaan cap antisemitisme untuk menekan kritik, dan berkeberatan dengan "taktik ketakutan" yang digunakan ketika cap antisemit diterapkan kepada para pendukung Pekan Apartheid Israel, dengan alasan bahwa hal itu mengingatkan taktik menakut-nakuti anti-Komunis pada tahun 1950-an.[157]
Michael Lerner berpendapat bahwa beberapa politisi Amerika Serikat enggan mengkritik Israel karena takut dicap antisemit.[158] Lerner juga menyatakan bahwa kelompok-kelompok yang mempromosikan perdamaian di Timur Tengah takut untuk membentuk koalisi, karena takut mereka akan dihujat oleh apa yang disebutnya sebagai "Pembentukan Yahudi".[159]
Brian Klug menegaskan bahwa para pendukung Antisemitisme Baru memaknai antisemitisme secara luas sehingga mereka menghilangkan makna sesungguhnya dari "antisemitisme". Klug menulis, "Ketika antisemitisme ada di mana-mana, orang tidak bisa bebas. Sementara ketika setiap antizionis adalah seorang antisemit, kita tidak lagi tahu bagaimana mengenali makna sebenarnya-—konsep antisemitisme kehilangan maknanya."[160]
Dalam buku The Politics of Anti-Semitism Scott Handleman menulis: "Partisan Israel sering membuat tuduhan palsu antisemitisme untuk membungkam para pengkritik Israel. Pencemaran nama baik 'antisemit' berbahaya bukan hanya karena menyensor perdebatan tentang rasisme dan pelanggaran hak asasi manusia Israel. tapi karena hal ini meremehkan sejarah buruk kebencian terhadap Yahudi."[161]
Brian Klug berpendapat bahwa klaim antisemitisme yang berlebihan (yang ditujukan pada pengkritik Israel) dapat menjadi bumerang dan berkontribusi terhadap antisemitisme, dan dia menulis, "Kecenderungan McCarthy-isme yang bisa melirik antisemit bahkan sampai ke kolong ranjang sekali pun, bisa dibilang berkontribusi pada iklim permusuhan terhadap Yahudi."[162]
Tony Judt juga berpendapat bahwa pengkritik Israel yang terus-menerus dicap antisemit oleh Pemerintah Israel kini menjadi sumber utama sentimen anti-Yahudi di dunia.[163]
Michael Lerner menganut pemikiran serupa dan berpendapat bahwa “penindasan” yang terus berlanjut terhadap pengkritik Israel dapat berpotensi menjadi ledakan antisemitisme yang sejati.[164]
Michael Lerner mengeklaim bahwa beberapa pendukung Israel menolak untuk membahas kritik yang sah terhadap Israel (seperti membandingkan dengan apartheid) dan malah menyerang pengkritiknya, sehingga dengan sengaja "mengalihkan wacana ke legitimasi pengkritik dan dengan demikian menghindari esensi dan substansi dari kritik tersebut".[165]
Alan Dershowitz membedakan kritik yang sah terhadap Israel dan antisemitisme, tetapi ia mengeklaim bahwa beberapa "musuh Israel" mendorong persamaan keduanya, karena hal itu membuat musuh tampak seperti korban tuduhan palsu antisemitisme, yang musuh-musuhnya menggunakan tuduhan tersebut untuk mendapatkan simpati atas tujuan mereka.[166]
Sejumlah komentator memperdebatkan apakah kritik publik terhadap Israel ditekan di luar Israel, khususnya di Amerika Serikat. Stephen Zunes menulis, "Serangan terhadap para pengkritik kebijakan Israel berhasil dalam mengatasi perdebatan terbuka, tetapi efek penyensoran yang sangat menekan ini disebabkan oleh ketidaktahuan dan kebersalahan liberal dibandingkan oleh lobi Israel yang sangat berkuasa."[167] Ia selanjutnya menjelaskan bahwa meskipun "beberapa kritik terhadap Israel sebenarnya berakar pada antisemitisme", ia berpendapat bahwa beberapa anggota lobi Israel melampaui batas dengan menyebut kritikus Israel yang cerdas dan jujur sekali pun sebagai antisemit.[167] Zunes berpendapat bahwa organisasi-organisasi Yahudi arus utama dan konservatif telah "menciptakan iklim intimidasi terhadap banyak orang yang menyuarakan perdamaian dan hak asasi manusia atau yang mendukung hak penentuan nasib sendiri rakyat Palestina".[167] Ia menambahkan, "Sebagai akibat dari penolakan saya terhadap dukungan Amerika Serikat terhadap kebijakan pendudukan, kolonisasi, dan penindasan pemerintah Israel, saya dengan sengaja salah mengutip, menjadi sasaran fitnah dan pencemaran nama baik, dan dituduh "antisemit" dan "mendukung terorisme"; anak-anak saya dilecehkan, dan administrasi universitas saya dibombardir dengan seruan agar saya dipecat."[167] Dalam sebuah opini untuk The Guardian, Jimmy Carter menulis bahwa politik arus utama Amerika tidak memberikan waktu yang sama bagi pihak Palestina dalam konflik Israel-Palestina dan hal ini setidaknya sebagian disebabkan oleh AIPAC.[168] George Soros mengeklaim bahwa terdapat risiko terkait dengan apa yang menurutnya merupakan penindasan terhadap perdebatan:
"Saya tidak menganut mitos yang disebarkan oleh musuh Israel dan saya tidak menyalahkan orang-orang Yahudi atas sikap antisemitisme. Antisemitisme sudah muncul sebelum lahirnya Israel. Baik kebijakan Israel maupun para pengkritik kebijakan-kebijakan tersebut tidak boleh dianggap bertanggung jawab atas antisemitisme. Pada saat yang sama, saya yakin bahwa sikap terhadap Israel dipengaruhi oleh kebijakan Israel, dan sikap terhadap komunitas Yahudi dipengaruhi oleh keberhasilan lobi pro-Israel dalam menekan pandangan yang berbeda.”[169]
Di sisi lain, dalam bukunya, The Deadliest Lies, Abraham Foxman menyebut anggapan bahwa lobi pro-Israel yang sedang mencoba menyensor kritik Israel sebagai sebuah "kabar burung".[170][halaman dibutuhkan] Foxman menulis bahwa komunitas Yahudi mampu membedakan antara kritik yang sah terhadap Israel "dan demonisasi, delegitimasi, dan standar ganda yang diterapkan terhadap Israel yang secara inheren bersifat antisemit atau menciptakan lingkungan antisemit."[170][halaman dibutuhkan] Jonathan Rosenblum mengungkapkan pemikiran serupa, "Memang benar, jika ada lobi Israel, dan mengecap semua kritik terhadap Israel sebagai antisemit adalah taktiknya, maka pukulan keras terhadap kritik terhadap Israel di kampus-kampus elite dan pers elite akan menjadi hal yang paling penting. bukti paling jelas akan ketidakefektifannya."[171] Alan Dershowitz menulis bahwa dia menyambut baik "kritik yang masuk akal, kontekstual, dan komparatif terhadap kebijakan dan tindakan Israel".[172] Jika salah satu tujuan lobi pro-Israel adalah untuk menyensor kritik terhadap Israel, Dershowitz menulis, "Hal ini akan membuktikan bahwa 'lobi' tidak sekuat yang penulis ingin kita percayai."[172]
Beberapa komentator memandang bahwa para pendukung Israel berupaya meredam kritik yang sah terhadap Israel dengan secara tidak adil mengecap para kritikus sebagai antisemit.
Salah satu tema utama buku Beyond Chutzpah: On the Misuse of Anti-Semitism and the Abuse of History karya Norman Finkelstein adalah bahwa beberapa pendukung Israel menggunakan tuduhan antisemitisme untuk menyerang para kritikus Israel, dengan tujuan menghujat dan membungkam kritik tersebut.[173][halaman dibutuhkan] Guru Besar Judy Rebick dan Alan Sears, sebagai tanggapan terhadap kegiatan Pekan Apartheid Israel di Universitas Carleton, menulis surat terbuka kepada rektor Universitas yang menyatakan bahwa tuduhan antisemitisme terkadang dibuat dengan tujuan untuk "membungkam" kritik terhadap Israel.[174]
Jurnalis Peter Beaumont juga mengeklaim bahwa beberapa pendukung konsep Antisemitisme Baru menyamakan kritik terhadap Israel dengan antisemitisme.[175] Tariq Ali, seorang sejarawan dan aktivis politik Britania-Pakistan, memandang bahwa konsep antisemitisme baru merupakan upaya subversi demi kepentingan Negara Israel. Ia menulis bahwa kampanye melawan “antisemitisme” yang dianggap baru di Eropa modern adalah “taktik sinis dari Pemerintah Israel untuk menutup negara Zionis dari kritik apa pun atas kebrutalan mereka yang terus-menerus dan konsisten terhadap orang-orang Palestina ... Kritik terhadap Israel tidak dapat dan tidak boleh disamakan dengan antisemitisme." Ia berpendapat bahwa sebagian besar kelompok pro-Palestina dan anti-Zionis yang muncul setelah Perang Enam Hari berhati-hati dalam membedakan antara antizionisme dan antisemitisme.[176]
Suara Yahudi untuk Perdamaian menentang apa yang mereka lihat sebagai penyalahgunaan cap antisemit. Misalnya, dalam sebuah opini, mereka menulis, "Selama beberapa dekade, beberapa pemimpin komunitas Yahudi telah membuat klaim yang tidak masuk akal bahwa ada kesatuan keyakinan dan kepentingan antara semua orang Yahudi dan pemerintah Israel, apa pun kebijakannya. Mereka harus percaya pada propaganda mereka sendiri, karena mereka tidak melihat perbedaan antara kritik terhadap pemerintah Israel dan antisemitisme, dan mereka melakukan apa saja untuk membungkam suara-suara kritis, kampanye terorganisasi, boikot, ancaman, dan penarikan nyata dukungan dana dari lembaga dan individu yang 'melanggar'."[177]
John Mearsheimer dan Stephen Walt menyatakan bahwa tuduhan antisemitisme yang ditujukan kepada pengkritik Israel sengaja dilakukan untuk meredakan dampak dari kritik tersebut. Mereka menunjukkan adanya pola ketika tuduhan antisemitisme muncul segera setelah tindakan agresif Israel: setelah Perang Enam Hari, setelah Perang Lebanon tahun 1982, dan setelah terungkapnya "perilaku brutal di Wilayah Pendudukan" pada tahun 2002.[178]
Norman Finkelstein mengatakan bahwa untuk melanjutkan kampanye kehumasan, para pembela Israel melontarkan tuduhan atas apa yang mereka sebut sebagai "antisemitisme baru" terhadap orang-orang yang mereka lawan, dan bahwa mereka sengaja melakukannya untuk melemahkan kritik dan memperkuat citra bangsa.[179] Finkelstein juga menegaskan bahwa "organisasi Yahudi Amerika" dengan sengaja meningkatkan tuduhan vokal antisemitisme selama Israel semakin mendapat kritik (seperti selama Intifada), dengan tujuan mendiskreditkan para pengkritik Israel.[180]
Pengkritik Israel yang dituduh antisemit tetapi membantahnya, misalnya Ralph Nader, John Mearsheimer, Cindy Sheehan, Jenny Tonge, Ken Livingstone, Desmond Tutu, dan Helen Thomas.
Profesor J. Lorand Matory adalah seorang kritikus vokal terhadap Israel yang mendukung disinvestasi dari Israel. Larry Summers, presiden Harvard, menyebut upaya Matory dan pihak lain untuk melakukan divestasi dari Israel "berefek antisemit, jika tak disengaja."[181] Menurut Matory, "tuduhan spontan yang menargetkan kritik terhadap Israel sama tidak masuk akalnya dengan menyatakan bahwa gerakan anti-apartheid masih ada di Afrika Selatan."[182]
Guru besar Noam Chomsky berpendapat bahwa menteri luar negeri Israel Abba Eban menyamakan antizionisme dengan antisemitisme dalam upaya untuk "mengeksploitasi sentimen antirasis untuk tujuan politik", Ia mengutip pernyataan Eban pada 1973, "Salah satu tugas utama dari setiap dialog dengan dunia non-Yahudi harus menegaskan bahwa antisemitisme dan antizionisme bukanlah sebuah perbedaan sama sekali." Mengomentari pernyataan Eban, Chomsky menjawab, "Itu adalah pendirian yang memuaskan. Ini hanya menghilangkan 100 persen komentar kritis!"[183] Pada tahun 2002, Chomsky menulis bahwa persamaan antizionisme dan antisemitisme diperluas ke kritik terhadap kebijakan Israel, bukan hanya kritik terhadap Zionisme. Chomsky juga menulis bahwa, jika pengkritik Israel adalah orang Yahudi, tuduhan antisemitisme dianggap menyatakan kebencian terhadap diri sendiri.[184] Pada tahun 2004, Chomsky berkata, "Jika Anda menyamakan negara, rakyat, budaya dengan penguasa, menerima doktrin totaliter, maka ya, mengkritik kebijakan Israel adalah antisemit, dan mengkritik kebijakan Amerika adalah anti-Amerika, dan itu anti-Soviet ketika para pembelotnya mengkritik kebijakan Rusia. Anda harus menerima asumsi yang sangat totaliter agar tidak menertawakan hal ini."[185] Namun, Oliver Kamm berpendapat bahwa Chomsky salah menafsirkan komentar Eban.[186]
Pemusik Roger Waters adalah kritikus perlakuan Israel terhadap warga Palestina, dan dituduh oleh Liga Antifitnah mempergunakan citra antisemit dalam salah satu produksi musiknya baru-baru ini. Waters menanggapinya dengan menyatakan bahwa liga tersebut secara teratur menggambarkan para pengkritik Israel sebagai antisemit, dan bahwa itu ibarat "layar yang disembunyikan".[187]
Pada tahun 2002, Desmond Tutu, seorang kritikus Israel, membandingkan kebijakan Israel dengan apartheid Afrika Selatan. Tutu menulis bahwa kritik terhadap Israel ditindas di Amerika Serikat, dan kritik terhadap Israel "segera dijuluki antisemit".[188]
Michael Prior adalah seorang kritikus yang cukup vokal terhadap perlakuan Israel terhadap warga Palestina, dan sering dituduh antisemit, tetapi ia berhati-hati dalam membedakan antara antizionisme dan antisemitisme.[189]
Ken Livingstone, mantan Wali Kota London, dituduh antisemit karena berbagai komentarnya, termasuk pernyataan yang mengkritik perlakuan Israel terhadap warga Palestina. Sebagai tanggapan, Livingstone menulis, "Selama 20 tahun pemerintah Israel telah berusaha untuk menggambarkan siapa saja yang dengan lantang mengkritik kebijakan Israel sebagai antisemit. Kenyataannya adalah sebaliknya: nilai-nilai kemanusiaan universal yang mengakui Holocaust sebagai kejahatan rasis terbesar di dunia abad ke-20, juga menjadi landasan kecaman terhadap kebijakan pemerintahan Israel—bukan karena alasan yang tidak masuk akal bahwa kebijakan tersebut menyerupai Nazi atau Holocaust, melainkan karena pembersihan etnis, diskriminasi, dan teror adalah perbuatan tidak bermoral.[190]
Aktivis perdamaian Cindy Sheehan mengeklaim bahwa ia telah dituduh antisemit secara tidak pantas karena posisinya yang antiperang, khususnya kritiknya terhadap lobi Israel dan tindakan Israel terhadap warga Palestina. Sheehan menekankan bahwa kritiknya terhadap Israel "tidak boleh ditafsirkan sebagai kebencian terhadap semua orang Yahudi".[191]
Pakar politik John Mearsheimer dan Stephen Walt menulis artikel yang mengkritik lobi Israel di Amerika Serikat, yang menegaskan bahwa lobi Israel menggunakan tuduhan antisemit sebagai bagian dari strategi yang disengaja untuk menekan kritik terhadap Israel. Mearsheimer dan Walt sendiri dituduh antisemit akibat artikel tersebut dan buku yang ditulis berdasarkan artikel tersebut.[192]
Jenny Tonge, anggota Dewan Bangsawan Britania Raya, sering mengkritik kebijakan Israel, dan dicap antisemit.[193] Sebagai tanggapannya, ia berpidato di Parlemen, "Saya mulai paham ... tindakan balas dendam yang dilakukan lobi Israel [dan] AIPAC ... terhadap orang-orang yang menentang dan mengkritik lobi tersebut. ... [Saya mengerti] ... tuduhan antisemit yang terus-menerus—padahal tak ada sentimen semacam itu—untuk membungkam para pengkritik Israel."[194]
Ralph Nader, politikus Amerika Serikat dan pembela konsumen, mengkritik kebijakan Israel serta mendukung perjuangan Palestina, serta mengkritik pengaruh berlebihan lobi Israel terhadap pemerintah Amerika Serikat. Sebagai tanggapan, Nader menulis surat kepada direktur Liga Antifitnah berjudul "Criticizing Israel Is Not Anti-Semitism", yang berbunyi, "Modus operasi Anda selama bertahun-tahun adalah membuat tuduhan atau sindiran rasisme yang dirancang untuk memfitnah dan menghindar. Karena pola Anda dalam melontarkan tuduhan seperti itu, yang telah disesuaikan secara hati-hati untuk situasi saat ini tetapi dengan tujuan menstigmatisasi yang sama, telah menghalangi kebebasan berpendapat yang kritis. ... Liga Antifitnah harus berupaya mencapai tujuan ini [perdamaian] dan bukan berusaha untuk menekan wacana realistis mengenai subjek tersebut dengan julukan dan sindiran."[195]
William I. Robinson, guru besar Universitas California, Santa Barbara, dituduh antisemit karena tugas kelas yang berkisar pada serangan Israel di Jalur Gaza, dan ia menjawab dengan menyatakan bahwa lobi Israel mengecap "setiap kritik" terhadap Israel sebagai antisemit.[196] Sebagai tanggapan, Robinson berkata, "Fakta bahwa saya menyertakan penafsiran saya mengenai konflik Israel–Palestina sepenuhnya berada dalam batas normal dan diharapkan. ... Salah satu urusan paling mendesak di Januari adalah serangan Israel di Jalur Gaza—tidak ada yang lebih relevan dengan mata kuliah ini pada saat itu. Ketika Anda mengemukakan materi yang sensitif, menghasut, dan kontroversial di kelas, kami sebagai profesor menjalankan misi kami untuk mengejutkan siswa guna menantang mereka untuk berpikir kritis terhadap isu-isu dunia.... Lobi Israel kemungkinan adalah lobi terkuat di Amerika Serikat, dan apa yang mereka lakukan adalah mengecap setiap kritik terhadap perilaku anti-Israel sebagai antisemit." Ia menambahkan, “Kampanye ini bukan sekadar upaya untuk menghukum saya. Lobi Israel terus menambah serangan kejamnya terhadap siapa saja yang melawan kebijakan Israel.”[197]
Pakar sastra komparatif dan studi pascakolonialisme Amerika Serikat, Dr. Steven Salaita, terlibat dalam kontroversi mengenai kebebasan berpendapat bagi staf pengajar universitas-universitas Amerika Serikat saat tawaran pekerjaannya ditarik dari Universitas Illinois Urbana-Champaign oleh Rektor Dr. Phyllis Wise. Tindakan itu dianggap banyak pihak sebagai pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat Salaita. Selama konflik tahun 2014 antara Israel dan Gaza, ia menulis kicauan di Twitter yang dianggap sebagai kritik terhadap pemerintah Israel,[198] dan Salaita mengeklaim bahwa sebagai akibatnya, pendukung pro-Israel yang terkait dengan universitas tersebut menuduhnya antisemit dan menekannya, sampai universitas membatalkan tawaran pekerjaan kepadanya. Sebagai hasil dari kritiknya yang blak-blakan terhadap cara universitas menangani situasi tersebut, Haaretz mencatat bahwa Salaita telah menetapkan "status selebritas di lingkungan perkuliahan."[199] Pada bulan November 2015, masalah Salaita dan UIUC rampung dengan pembayaran sebesar US$600.000 kepada Salaita dan menutupi biaya pengacaranya; dan universitas tidak mengakui kesalahan apa pun.[200]
Mudar Zahran, warga Yordania keturunan Palestina, menulis bahwa "kecenderungan menyalahkan Israel atas segalanya" telah memberikan alasan bagi para pemimpin Arab untuk mengabaikan HAM Palestina di negara mereka. Sebagai contoh, ia mengatakan bahwa saat dunia marah atas blokade Jalur Gaza, media “memilih untuk dengan sengaja mengabaikan” keadaan warga Palestina yang bertahan di kamp-kamp pengungsi Lebanon dan negara-negara Arab lainnya.[201]
George Will mengeklaim bahwa "pasukan pertama (dan terakhir, dan di antara) yang menyalahkan Israel" semakin "besar dan terus berkembang".[202]
Alan Dershowitz, seorang pengacara Amerika Serikat, mengeklaim bahwa PBB saat ini bersikap munafik, serta menulis bahwa PBB tidak mengutuk aneksasi Tibet oleh Tiongkok atau mengakui hak orang Tibet untuk menentukan nasibnya sendiri, dan juga mencatat bahwa pendudukan Tiongkok di Tibet sudah lebih lama, lebih brutal, lebih mematikan dan kurang dapat dibenarkan dibandingkan pendudukan Israel di Tepi Barat dan Gaza.[203][halaman dibutuhkan]
Kementerian Luar Negeri Israel telah mendorong penggunaan media sosial untuk melawan kritik terhadap kebijakan Israel.[butuh rujukan] Salah satu anggota korps diplomatik mengajukan tindakan yang lebih agresif terhadap kritikus Israel. Pada bulan Juni 2012, Channel 10 Israel menerbitkan sebuah surel yang berisi usulan Nurit Tinari-Modai, wakil kepala misi Israel di Irlandia dan istri duta besar, Boaz Moda'i, untuk melakukan pelecehan terhadap ekspatriat Israel yang mengkritik kebijakan Israel, dengan mengirim foto mereka dan menerbitkan disinformasi yang akan mempermalukan mereka. Ia menyatakan bahwa mereka kritis terhadap Israel karena identitas seksual mereka. Menyusul publisitas taktik Tinari-Modai, Kementerian Luar Negeri segera menjauh dari suratnya. Rekomendasinya mencakup hal berikut, "Anda harus mengadili dan memukul mereka, serta mempublikasikan foto-foto mereka, sehingga akan mempermalukan teman-teman mereka di Israel dan keluarga mereka, dengan harapan para aktivis lokal akan mengerti bahwa mereka sebenarnya bekerja atas nama Mossad."[204][205][206]
Kritik internasional menjadi fokus utama di Israel. Menurut survei Universitas Tel Aviv pada Agustus 2010, lebih dari separuh warga Israel percaya bahwa "seluruh dunia menentang kami", dan tiga perempat warga Israel percaya "bahwa apa pun yang dilakukan Israel atau seberapa jauh upaya mereka untuk menyelesaikan konflik dengan Palestina, dunia akan terus mengkritik Israel”.[207] Akibatnya, diplomasi publik telah menjadi fokus penting pemerintah Israel setelah Kemerdekaan. Kementerian Diplomasi Publik dan Urusan Diaspora Israel berupaya menjelaskan kebijakan pemerintah dan memperkenalkan Israel dalam menghadapi apa yang mereka anggap pemberitaan negatif tentang Israel di seluruh dunia.
Laporan EISCA merekomendasikan agar pemerintah Britania Raya mengkriminalisasi antisemitisme tertentu, khususnya penggunaan analogi Nazi untuk mengkritik Israel, serta bentuk-bentuk kritik lainnya terhadap Israel.[208]
Paul Craig Roberts dan Antony Lerman mempertanyakan rekomendasi laporan EISCA, serta khawatir bahwa rekomendasi laporan tersebut dapat disahkan menjadi undang-undang perlindungan ujaran kebencian di Eropa, yang dapat melanggar kebebasan berpendapat, dan dapat mengkriminalisasi kritik yang sah terhadap Israel.
Penulis Paul Craig Roberts menentang undang-undang di Amerika yang hendak memidana pengkritik Israel, dan sebagai contoh ia mengutip Undang-Undang Antisemitisme Global tahun 2004 dan Undang-Undang Pemberantasan Ujaran Kebencian tahun 2009. Roberts menegaskan bahwa para pelobi Israel mendesak dibuatnya undang-undang yang menetapkan bahwa orang dapat dipidana jika meyakini bahwa Israel melakukan kejahatan perang.[209]
Antony Lerman mengkritik laporan EISCA tahun 2009, dan mengeklaim bahwa memidana para kritikus Israel (khususnya, menyamakan tindakan Israel dengan Nazi) merupakan pelanggaran berlebihan terhadap kebebasan berpendapat di Inggris. Misalnya, ia berdalil, "Jika Anda mengatakan 'pergerakan IDF di Gaza sama seperti tindakan SS di Polandia, dan jika seorang Yahudi menganggap tindakan ini ofensif, menyakitkan, atau berbahaya,' secara teori, Anda bisa dipenjara."[210]
Pemboikotan Israel adalah kampanye ekonomi, politik, dan kebudayaan yang bertujuan untuk memutuskan hubungan secara selektif atau total dengan Negara Israel. Kampanye semacam ini dilakukan oleh mereka yang menentang legitimasi Israel, kebijakan atau tindakan Israel terhadap Palestina selama konflik Arab–Israel dan Israel–Palestina, menentang klaim teritorial Israel di Tepi Barat atau Yerusalem, atau bahkan menentang hak Israel untuk memiliki hak atas wilayah Palestina. Boikot Arab terhadap institusi Zionis dan bisnis Yahudi dimulai sebelum Israel berdiri sebagai sebuah negara. Boikot resmi diadopsi oleh Liga Arab segera setelah pembentukan negara Israel pada tahun 1948, namun tidak sepenuhnya diterapkan dalam praktiknya.
Pemboikotan ini telah dilaksanakan di dunia Arab dan dunia Muslim. Boikot ini mencakup tindakan ekonomi seperti divestasi; boikot konsumen terhadap produk atau bisnis Israel yang beroperasi di Israel; usulan boikot akademis terhadap universitas dan sarjana Israel; dan usulan boikot terhadap institusi kebudayaan Israel atau olahraga Israel. Banyak pendukung kampanye Boikot, Divestasi, dan Sanksi, seperti Uskup Agung Desmond Tutu menggunakan gerakan melawan apartheid Afrika Selatan pada tahun 1980-an sebagai model.[211]
Disinvestasi Israel adalah kampanye yang dilakukan oleh entitas agama dan politik yang bertujuan menggunakan pencabutan investasi untuk menekan pemerintah Israel agar "mengakhiri pendudukan Israel atas wilayah Palestina yang direbut selama kampanye militer tahun 1967".[212] Kampanye disinvestasi terkait dengan boikot ekonomi dan politik lainnya terhadap Israel. Sebuah kampanye penting dimulai pada tahun 2002 dan didukung oleh uskup Afrika Selatan Desmond Tutu.[212][213][214] Tutu mengatakan bahwa kampanye melawan pendudukan Israel di wilayah Palestina dan perluasan permukiman harus dicontoh dari kampanye disinvestasi yang sukses tetapi kontroversial yang sebelumnya dilakukan terhadap sistem apartheid di Afrika Selatan.[214]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.