Jenderal Soedirman adalah film biopik Indonesia tahun 2015 yang menceritakan tentang Jendral Soedirman, pemimpin perang gerilya yang mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia walaupun menderita penyakit paru-paru. Film ini disutradarai oleh Viva Westi dan dibintangi oleh Adipati Dolken, Ibnu Jamil, Mathias Muchus, Baim Wong, dan Nugie.
Jenderal Soedirman | |
---|---|
Sutradara | Viva Westi |
Produser | Sekar Ayu Asmara Handi Ilfat Nolizam Ratna Syahnakri |
Ditulis oleh | Tubagus Deddy Viva Westi |
Pemeran | Adipati Dolken Ibnu Jamil Mathias Muchus Baim Wong Nugie Lukman Sardi Annisa Hertami Landung Simatupang |
Penata musik | Iwang Noorsaid |
Sinematografer | Muhammad Firdaus |
Penyunting | Sastha Sunu |
Perusahaan produksi | |
Distributor | Padma Pictures |
Tanggal rilis | 27 Agustus 2015 |
Durasi | 126 menit |
Negara | Indonesia |
Bahasa | Indonesia Inggris Belanda Jawa |
Anggaran | 10-15 Miliar [1] |
Film ini rilis di bioskop Indonesia tepat 10 hari setelah peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke-70 pada 27 Agustus 2015.[2]
Sinopsis
Belanda menyatakan secara sepihak sudah tidak terikat dengan perjanjian Renville, sekaligus menyatakan penghentian gencatan senjata. Pada tanggal 19 Desember 1948, Jenderal Simons Spoor Panglima Tentara Belanda memimpin Agresi militer ke II menyerang Yogyakarta yang saat itu menjadi ibu kota Republik.
Soekarno-Hatta ditangkap dan diasingkan ke Pulau Bangka. Jenderal Soedirman yang sedang didera sakit berat melakukan perjalanan ke arah selatan dan memimpin perang gerilya selama tujuh bulan.
Belanda menyatakan Indonesia sudah tidak ada. Dari kedalaman hutan Jenderal Soedirman menyiarkan bahwa Republik Indonesia masih ada, kokoh berdiri bersama Tentara Nasionalnya yang kuat.
Soedirman membuat Jawa menjadi medan perang gerilya yang luas, membuat Belanda kehabisan logistik dan waktu.
Kemanunggalan TNI dan rakyat lah akhirya memenangkan perang. Dengan ditanda tangani Perjanjian Roem-Royen, Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan RI seutuhnya.[3]
Pemeran
- Adipati Dolken sebagai Jenderal Soedirman
- Ibnu Jamil sebagai Kapten Tjokropranolo/Nolly
- Gogot Suryanto sebagai Karsani
- Mathias Muchus sebagai Tan Malaka
- Baim Wong sebagai Presiden Soekarno
- Nugie sebagai Wakil Presiden Mohammad Hatta
- Lukman Sardi sebagai Joesoef Ronodipoero
- Annisa Hertami sebagai Siti Alfiah (istri Soedirman)
- Landung Simatupang sebagai Letjen Oerip Soemohardjo
- Totos Rasiti sebagai Prof. Soepomo
- Surawan Prihatnolo KA sebagai Kapten Soepardjo Rustam
- Anto Galon sebagai dr. Suwondo
- Eric Van Loon sebagai Jenderal Simon Spoor
- Basundara Murba A sebagai Letkol Soeharto
- Anggi Agus S sebagai Letnan Heru Kesser/Soedirman palsu
- Ahmad Chairuddin sebagai Perdana Menteri Sutan Syahrir
- Gregorius Andika sebagai Bisma
- M. Ully Dhuha Ashidiqi sebagai Rosihan Anwar
- A. Abdushomad sebagai Frans Mendur
- Priady Kurnia sebagai Kolonel Sungkono
Produksi
Berawal dari pertanyaan sederhana sang sutradara Viva Westi tentang alasan mengapa seluruh daerah mempunyai jalan Soedirman, ia memiliki ide untuk mengangkat kisah Jenderal Soedirman dalam sebuah film. Sayangnya, idenya ditolak di berbagai rumah produksi dengan alasan tema yang kurang diminati masyarakat. Westi mengaku film yang akan digarapnya memang tidak ada drama percintaan. Justru film ini akan memberikan inspirasi soal cinta yang besar yang ditunjukan oleh Jenderal Soedirman kepada Indonesia.[4]
Saat Westi bertemu dengan Mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Kiki Syahnakri, ia mengungkapkan keinginannya untuk membuat film Jenderal Soedirman dan mendapatkan sambutan baik dari Kiki. Markas Besar Angkatan Darat melalui Yayasan Kartika Eka Paski mau mendanai film tersebut dengan dana 10-15 miliar. Tidak hanya dana, Yayasan tersebut juga memberi akses senjata dan lokasi syuting di hutan milik TNI Angkatan Darat.[1]
Westi memilih Adipati Dolken sebagai pemeran Soedirman. Ia menyatakan tak tahu lagi siapa yang pantas memerankan Jenderal Soedirman.[5] Westi menuturkan popularitas Adipati Dolken dinilai dapat menarik minat anak muda untuk menyaksikan film sejarah. Usia Adipati Dolken yang masih muda juga mewakili sosok Jenderal Soedirman yang saat melakukan perang gerilya masih dengan usia muda.[6]
Adipati mengaku hanya sekedar mengetahui Jendral Soedirman sebagai nama jalan. Hal itu membuatnya cukup sulit untuk memerankan karakter tersebut. Ia mengakui sulit untuk mengetahui cara berbicara pak Dirman. Beruntung, ia mendapat bantuan dari Pak Teguh yang merupakan anak dari Soedirman. Adi juga banyak mencari referensi sendiri di buku-buku dan berbagai situs di internet. Sampai syuting berlangsung pun ia masih melakukan proses itu.[5]
Proses syuting dan pendalaman karakter yang Adipati lalui selama kurang lebih enam bulan, membuat pandangannya terhadap Jenderal Soedirman berubah. Ia kini sangat mengagumi jenderal yang dikenal dengan taktik perang gerilya itu.[5] Westi mengaku mengapresiasi pendalaman karakter Adipati Dolken dan memuji Adi karena memerankan tokoh Jenderal Soedirman dengan sangat baik.[6]
Proses syuting dilakukan selama 43 hari dimulai pada 25 Januari 2015 dan berlangsung di Magelang, Yogyakarta, Situ Lembang dan Bandung.[2]
Penayangan
Film ini tayang di bioskop Indonesia tepat 10 hari setelah peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke-70 yaitu pada 27 Agustus 2015.[2] Dalam sepekan perilisannya, film ini berhasil mendapatkan jumlah penonton sebanyak 82.776 orang. Di minggu kedua penyangan, jumlah penonton berhasil sampai di angka 152.425 orang.[7]
Film Jenderal Soedirman juga kerap ditayangkan di televisi nasional setiap memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia. Film ini juga ditayangkan di situs streaming Netflix.[8]
Kontroversi
Setelah ditayangkan di bioskop, film ini mendapat tanggapan baik dari penonton. Namun muncul protes besar dari Didi Mahardika, cucu dari presiden pertama Indonesia, Soekarno. Ia menganggap terdapat banyak kekeliruan sejarah dalam film ini.[9]
Beberapa hal yang ia permasalahkan adalah:
- Adegan dialog antara Presiden Soekarno dengan Jenderal Soedirman atau Pak Dirman, yang mendramatisasi perbedaan antara perjuangan melalui perundingan dengan melalui perang frontal. Hal itu, disebut oleh Didi, berpotensi menghilangkan makna persatuan dan kesatuan bangsa.
- Adegan Presiden dan Wakil Presiden mengaku berbohong, berdosa atas janji dengan tidak bergerilya. Hal itu bisa menimbulkan kontroversi.
- Adegan tentang Bung Karno yang meminta difoto ulang ketika berangkulan dengan Pak Dirman juga bertentangan dengan fakta sejarah
- Adegan tentang peran Tan Malaka beserta tentaranya memberi kesan bertentangan dengan status Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional.
- Adegan Pak Dirman membanting tongkat keris (tak sesuai dengan aslinya sebagai orang Jawa yang santun). Pak Dirman memakai kopiah ditodong senapan, dibentak Belanda, itu tidak jelas sumber sejarahnya.
- Peran Sri Sultan Hamengkubowono lX dan figur Pak Harto sebagai orang dekat Pak Dirman tidak digambarkan dalam film tersebut.
Menanggapi protes tersebut, Westi selaku sutradara sangat terbuka dengan segala pujian termasuk kritikan yang masuk untuk film ini. ia memastikan semua hal dalam film ini telah melalui berbagai pertimbangan dan dasar-dasar yang bisa dipertanggungjawabkan.[10]
Penghargaan
Penghargaan | Tahun | Kategori | Penerima | Hasil |
---|---|---|---|---|
Festival Film Indonesia | 2015 | Penata Suara Terbaik | Yusuf Patawari | Nominasi |
Piala Maya | Aktor Pendatang Baru Terpilih | Gogot Suryanto | Nominasi | |
Festival Film Bandung | 2016 | Pemeran Utama Pria Terpuji Film Bioskop | Adipati Dolken | Nominasi |
Referensi
Pranala luar
Wikiwand in your browser!
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.