Remove ads
kerajaan Yunani era Helenistik di Asia Selatan bagian barat laut (200 SM–10 M) Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Kerajaan Yunani-India atau Yawanaradya (Kerajaan Yawana)[5] adalah kerajaan Yunani Helenistis yang berdaulat selama dua abad terakhir sebelum permulaan tarikh Masehi atas wilayah yang kini menjadi kawasan barat laut India dan beberapa daerah di wilayah Pakistan.[6][7][8][9][10][11] Lebih dari 30 orang raja silih berganti memerintah kerajaan ini. Yang paling jaya dan masyhur di antara semuanya adalah Menandros.
Kerajaan Yunani-India | |||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
200 SM–10 M | |||||||||||
Wilayah kedaulatan Yunani-India sekitar tahun 150 SM.[2] | |||||||||||
Ibu kota | Aleksandria di Kaukasus (sekarang Bagram) [3]
Sagala | ||||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Yunani (aksara Yunani) Pali (aksara Kharosti) Sangsekerta Prakerta (aksara Brahmi) | ||||||||||
Agama | Hindu Buddha Politeisme Yunani Mazdayasna | ||||||||||
Pemerintahan | Monarki | ||||||||||
Raja | |||||||||||
• 200 – 180 SM | Demetrios I (pertama) | ||||||||||
• 25 SM – 10 M | Straton III (terakhir) | ||||||||||
Era Sejarah | Abad Kuno | ||||||||||
• Didirikan | 200 SM | ||||||||||
• Dibubarkan | 10 M | ||||||||||
Luas | |||||||||||
150 SM[4] | 1.100.000 km2 (420.000 sq mi) | ||||||||||
| |||||||||||
Sekarang bagian dari | Afganistan Pakistan Turkmenistan India | ||||||||||
Kerajaan Yunani-India (200 SM–10 M) | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Bagian dari seri |
Kerajaan Yunani-India |
---|
|
Kerajaan ini terbentuk ketika Demetrios, Raja Yunani-Baktria, menginvasi India pada tahun 200 SM.[12] Bangsa Yunani yang menetap di Anak Benua India pada akhirnya pecah menjadi Kerajaan Yunani-Baktria yang berpusat di Baktria (perbatasan Afganistan dan Uzbekistan sekarang) dan Kerajaan Yunani-India di kawasan barat laut Anak Benua India. Raja Yunani-India yang terkenal adalah Menandros (Milinda), yang bertakhta di Sagala (sekarang Sialkot), daerah Panjab.[13]
Ungkapan "Kerajaan Yunani-India" secara luwes menyifatkan sejumlah negara bentukan berbagai wangsa yang sejak semula dikaitkan dengan beberapa ibu kota daerah seperti Taksila (di daerah Panjab Pakistan sekarang),[14] Puskalawati, dan Sagala.[15] Kota-kota lain yang juga mungkin pernah dijadikan pusat pemerintahan hanya tersirat di dalam peninggalan-peninggalan tertulis. Sebagai contoh, risalah Geografike Hifegesis karangan Ptolemayos dan tata nama raja-raja terkemudian menyiratkan bahwa kota Teofila di kawasan selatan mandala Yunani-India mungkin saja pernah dijadikan pusat pemerintahan seorang satrap atau seorang raja.
Selama dua abad, raja-raja Yunani-India memadukan bahasa dan lambang-lambang Yunani dengan bahasa dan lambang-lambang India, sebagaimana tampak pada uang-uang logam yang dicetak pada masa pemerintahan mereka. Gagasan-gagasan Yunani juga disenyawakan dengan gagasan-gagasan India, sebagaimana tampak pada sisa-sisa peninggalan arkeologis.[16] Penyebarluasan budaya Yunani-India menimbulkan berbagai dampak yang masih membekas sampai sekarang, khususnya lewat pengaruh seni rupa Buddhawi-Yunani.[17] Rakyat Yunani-India pun mungkin saja merupakan suatu masyarakat peranakan sampai taraf tertentu. Menurut Polibios,[18] Eutidemos I adalah orang Yunani asal Magnesia. Oleh karena itu putranya, Demetrios I, pendiri Kerajaan Yunani-India, juga beretnis Yunani, setidaknya dari garis keturunan ayah. Demetrios I dijodohkan dengan putri wangsa Seleukos, anak Raja Antiokhos III. Etnisitas raja-raja Yunani-India terkemudian adakalanya tidak begitu jelas.[19] Sebagai contoh, Artemidoros (80 SM) diduga beretnis Skit-India, kendati kini dianggap seorang raja Yunani-India biasa.[20]
Sesudah Menandros mangkat, kemaharajaan yang ditinggalkannya mengalami keretakan, dan pamor bangsa Yunani-India meredup. Banyak kerajaan dan republik baru di sebelah timur Sungai Ravi mulai mencetak uang-uang logam baru berterakan gambar-gambar kejayaan militer.[21] Negara-negara baru yang terkemuka adalah republik Yodeya, Arjunayana, dan Odumbara. Yodeya dan Arjunayana kabarnya mencapai "kejayaan dengan pedang".[22] Tidak lama kemudian, wangsa Data dan wangsa Mitra di daerah Mandura ikut-ikutan mencetak uang sendiri. Kerajaan Yunani-India sebagai suatu entitas politik pada akhirnya sirna sekitar tahun 10 M menyusul invasi bangsa Skit-India, kendati kantong-kantong populasi orang Yunani di Anak Benua India terus eksis sampai berabad-abad kemudian di bawah pemerintahan raja-raja Partia-India maupun raja-raja Kusyana.[23]
Pada tahun 326 SM, Aleksander Agung menaklukkan kawasan barat laut Anak Benua India sampai ke Sungai Hipasis, lalu membentuk wilayah-wilayah pemerintahan satrap dan membangun permukiman-permukiman penduduk di kawasan itu, antara lain kota Bukefala. Aleksander selanjutnya mengalihkan pergerakan angkatan perangnya ke selatan sampai mereka menolak dikerahkan lebih jauh lagi ke timur.[24] Kepemimpinan atas wilayah-wilayah pemerintahan satrap di Panjab dipercayakan kepada Poros dan Taksiles, dan dikukuhkan kembali lewat mufakat di Triparadisos pada tahun 321 SM, sementara kepemimpinan atas pasukan-pasukan Yunani di wilayah-wilayah pemerintahan tersebut dipercayakan kepada Eudemos, salah seorang panglima angkatan perang Aleksander. Selepas tahun 321 SM, Eudemos menggulingkan Taksiles dan memerintah sampai meninggalkan India pada tahun 316 SM. Di selatan, seorang panglima lain, Peiton putra Agenor, dipercaya mengepalai pemerintahan koloni-koloni Yunani di Lembah Sungai Sindu.[25] Peiton memerintah sampai dengan keberangkatannya ke Babel pada tahun 316 SM.
Sekitar tahun 322 SM, bangsa Yunani (disebut Yona maupun Yawana di dalam sumber-sumber India) mungkin turut berjuang bahu-membahu dengan kelompok-kelompok masyarakat lain dalam peristiwa pemberontakan Candragupta Maurya melawan wangsa Nanda, bahkan bergerak sampai ke Pataliputra untuk merebut kota itu dari wangsa Nanda. Lakon Mudraraksasa karangan pujangga Wisakadata maupun syair Parisistaparwa gubahan Acarya Hemacandra menyinggung persekutuan Candragupta dengan Parwataka, seorang raja di daerah Himalaya, yang kerap diidentikkan dengan Poros.[26] Menurut kedua pustaka tersebut, persekutuan ini membantu Candragupta merebut Pataliputra dengan satu angkatan perang campuran yang terdiri atas orang Yawana (Yunani), orang Kamboja, orang Saka (Skit), orang Kirata (Nepal), orang Parasika (Persia), dan orang Bahlika (Baktria).[27][28][29]
Pada tahun 305 SM, Seleukos I mengerahkan angkatan perangnya ke Lembah Sungai Sindu, tetapi dihadang Candragupta. Konfrontasi diakhiri dengan kesepakatan damai dan "kesepakatan saling kawin" (bahasa Yunani: Ἐπιγαμία, Epigamia), yang bisa berarti perjodohan antarwangsa (Seleukos dan Maurya) maupun kawin campur antarbangsa (India dan Yunani). Bertolak dari kesepakatan tersebut, Seleukos menyerahkan daerah-daerah di kawasan barat laut wilayah kedaulatannya kepada Candragupta, kemungkinan besar sampai ke Arakhosia, dan dibalas dengan penyerahan 500 ekor gajah perang (yang menjadi salah satu unsur penentu kemenangan Seleukos dalam Pertempuran Ipsos):[30]
Orang India menduduki sebagian dari beberapa negeri di sepanjang Sungai Indus yang sebelumnya dimiliki orang Persia. Aleksander merampas Ariani dari mereka, dan mendirikan di negeri itu permukiman-permukiman miliknya sendiri. Namun Seleukos Nikator menyerahkannya kepada Sandrokotos lantaran perjanjian kawin-mawin, dan sebagai gantinya beroleh lima ratus ekor gajah.
Perincian kesepakatan kawin-mawin tersebut tidak diketahui,[32] tetapi lantaran sekian banyak sumber yang memuat informasi mengenai Seleukos tidak menyebut-nyebut ihwal putri India, maka diduga yang disepakati adalah perjodohan Candragupta sendiri atau putranya, Bindusara, dengan seorang putri wangsa Seleukos, selaras dengan kebiasaan bangsa Yunani dalam membentuk persekutuan antarwangsa. Pratisargaparwa, salah satu pustaka di dalam kumpulan Bawisyapurana, meriwayatkan perkawinan Candragupta dengan seorang putri Yawana, anak Seleukos,[33] sebelum menjabarkan silsilah raja-raja Maurya terdahulu secara akurat dan terperinci:
Candragupta memperistri anak perempuan Suluwa, raja Yawana di Pausasa. Dengan demikian ia membaurkan umat Buddha dengan orang Yawana. Ia memerintah selama 60 tahun. Dari padanya lahir Windusara, yang memerintah bertahun-tahun sejumlah tahun pemerintahan ayahnya. Putranya adalah Asoka.
Candragupta sendiri memeluk agama Jaina sampai akhir hayatnya. Lewat perkawinan, ia memboyong Berenike (Suwarnaksi), anak perempuan Seleukos Nikator, ke dalam istananya, dan dengan demikian membaurkan bangsa India dengan bangsa Yunani. Cucunya, Asoka, sebagaimana yang dikemukakan Woodcock dan sarjana-sarjana lain, "sesungguhnya boleh dibilang berdarah separuh Yunani atau sekurang-kurangnya seperempat Yunani."[36]
Selain itu, beberapa orang Yunani, misalnya sejarawan Megastenes,[37] disusul Deimakhos dan Dionisios, diutus untuk berdinas di lingkungan istana wangsa Maurya.[38] Kedua raja terus-menerus bertukar hadiah.[39] Intensitas perhubungan antarpenguasa tersebut dibuktikan oleh keberadaan jawatan khusus yang dibentuk wangsa Maurya untuk melayani kepentingan warga asing Yunani (Yawana) dan Persia,[40] maupun oleh sisa-sisa tembikar Helenistis yang ditemukan di seluruh kawasan utara India.[41]
Tampaknya pada masa itu populasi-populasi orang Yunani masih mendiami kawasan barat laut Anak Benua India di bawah pemerintahan wangsa Maurya. Asoka, cucu Candragupta yang beralih memeluk agama Buddha, menyatakan di dalam prasasti-prasasti maklumatnya (beberapa di antaranya menggunakan bahasa yunani),[42][43] bahwa populasi-populasi orang Yunani di dalam wilayah kedaulatannya juga beralih memeluk agama Buddha:[44]
Di sini, di wilayah kedaulatan raja, di antara bangsa Yawana, Kamboja, Nabaka, Nabapangkita, Boja, Pitinika, Andra, dan Palida, di mana-mana orang menuruti wejangan-wejangan Darma yang dibabarkan Kekasih Para Dewa.
Di dalam prasasti-prasasti maklumatnya, Asoka mengaku sudah mengutus duta-duta agama Buddha kepada para penguasa Yunani sampai ke kawasan Laut Tengah (Maklumat No. 13),[45][46] dan bahwasanya ia membudidayakan tanaman obat di negeri-negeri mereka demi kemaslahatan manusia maupun hewan ternak (Maklumat No. 2).[47]
Bahkan tampaknya bangsa Yunani di India berperan aktif menyebarluaskan agama Buddha, karena beberapa duta yang diutus Asoka, misalnya Darmaraksita[48] dan Stawira Mahadarmaraksita,[49] disebut di dalam sumber-sumber Pali sebagai biksu-biksu Yona (orang Yonia, sebutan umum bagi orang Yunani) terkemuka, yang aktif mengajak orang memeluk agama Buddha (Mahawangsa, XII).[50] Bangsa Yunani juga diduga ikut terlibat dalam pengerjaan stamba-stamba Asoka,[51] dan turut berjasa bagi perkembangan seni rupa Maurya pada umumnya.[52] Beberapa orang Yawana mungkin berperan menyelenggarakan pemerintahan di daerah-daerah yang termasuk wilayah kedaulatan Asoka. Menurut isi prasasti padas Rudradaman di Junagadh, Yawanaraja (raja atau wali negeri beretnis Yawana) Tusaspa adalah penyelenggara pemerintahan di daerah Girnar, Gujarat, yang turut berkontribusi bagi pembangunan sebuah waduk di daerah itu.[53][54]
Pada tahun 206 SM, Raja Antiokhos kembali mengerahkan angkatan perang wangsa Seleukos ke Lembah Kabul, dan menerima gajah-gajah perang berikut hadiah-hadiah lain dari Sofagasenos (Subagasena), raja negeri itu:[55]
Dia (Antiokhos) melintasi Kaukasus (Kaukasos Indikos atau Paropamisos, sekarang Hindu Kusy) dan turun ke India, memperbaharui persahabatannya dengan Sofagasenos, raja orang India, dan beroleh lebih banyak lagi gajah sampai semua gajah miliknya berjumlah seratus lima puluh ekor; dan sesudah sekali lagi memperbekali pasukan-pasukannya, ia bertolak pulang bersama angkatan perangnya, meninggalkan Androstenes dari Kizikos yang ia serahi tugas mengangkut segala harta benda yang dijanjikan raja orang India kepadanya.
Aleksander Agung juga mendirikan beberapa koloni Yunani di Baktria, misalnya Aleksandria di Oksos (sekarang Aikhanum) dan Aleksandria di Kaukasus (Kapisa pada Abad Pertengahan, sekarang Bagram). Sesudah Aleksander mangkat pada tahun 323 SM, Baktria dikuasai Seleukos Nikator, pendiri kerajaan wangsa Seleukos. Kerajaan Yunani-Baktria terbentuk ketika Diodotos I, Satrap Baktria (kemungkinan besar Baktria dan daerah-daerah di sekitarnya), memisahkan diri dari kemaharajaan wangsa Seleukos sekitar tahun 250 SM. Sumber-sumber kuno yang terlestarikan (baca di bawah) agak bertentangan satu sama lain, oleh karena itu tanggal kemerdekaan Baktria sulit dipastikan. Untuk menyederhanakan masalah pertanggalan, Diodotos diperkirakan memisahkan diri sekitar tahun 255 SM di dalam kronologi tinggi dan sekitar tahun tahun 246 SM di dalam kronologi rendah.[58] Kronologi tinggi dapat menjelaskan mengapa sangat sedikit uang logam keluaran Antiokhos II yang beredar di Baktria, yakni karena Diodotos sudah memisahkan diri sejak permulaan masa pemerintahan Antiokhos II.[59] Di lain pihak, kronologi rendah, dari pertengahan dasawarsa 240-an SM, dapat mengaitkan pemisahan diri Diodotos dengan Perang Suriah III, konflik yang mendatangkan malapetaka bagi kemaharajaan wangsa Seleukos.
Diodotos, wali negeri yang membawahi seribu kota di Baktria (bahasa Latin: Theodotus, mille urbium Bactrianarum praefectus), mendurhaka dan memaklumkan diri sebagai raja; semua bangsa lain di Timur meniru perbuatannya dan memisahkan diri dari bangsa Makedonia.
Kerajaan baru yang sangat terurbanisasi dan terpandang sebagai salah satu negara paling makmur di Timur (opulentissimum illud mille urbium Bactrianum imperium, "kemaharajaan seribu kota bangsa Baktria yang teramat makmur" Yustinus, XLI,1[61]) itu semakin lama semakin kuat dan berusaha meluaskan wilayah kedaulatannya ke timur maupun ke barat:
Orang-orang Yunani yang menghasut Baktria untuk memberontak lambat laun menjadi sangat kuat lantaran suburnya negeri tempat mereka dipertuan, bukan hanya di Ariana, melainkan juga di India, sebagaimana dikatakan Apolodoros dari Artemita, bahwasanya mereka menundukkan lebih banyak suku daripada Aleksander... Kota-kota mereka adalah Baktra (disebut pula Zariaspa, yang dilalui sebatang sungai yang senama dengan kotanya dan bermuara ke Bengawan Oksos), Darapsa, dan lain-lain. Salah satunya, Eukratidia, dinamakan menurut nama rajanya.
— (Strabon, XI.XI.I[62])
Bangkitnya Kerajaan Partia sesudah Arsak menggulingkan Andragoras, mantan satrap yang memaklumkan diri sebagai Raja Partia, mengakibatkan putusnya perhubungan langsung orang Yunani-Baktria dengan Dunia Yunani. Lalu-lintas perdagangan di darat masih terus berjalan kendati tidak seramai dulu, tetapi lalu-lintas perdagangan di laut antara Baktria dan kerajaan wangsa Ptolemayos di Mesir justru bertambah ramai.
Diodotos digantikan putranya, Diodotos II, yang bersekutu dengan Arsak melawan Seleukos II:
Tidak lama kemudian, Arsakes, yang merasa lega lantaran Diodotos sudah mangkat, berdamai dan menjalin persekutuan dengan putra mendiang, yang juga bernama Diodotos. Kemudian hari ia berperang melawan Seleukos yang hendak menghukum para pemberontak, dan mampu berjaya. Orang Partia merayakan hari itu sebagai hari kemerdekaan mereka.
— (Yustinus, XLI,4)[63]
Eutidemos, yang menurut Polibios adalah seorang Yunani asal Magnesia,[64] dan kemungkinan besar berjabatan Satrap Sogdiana, menggulingkan Diodotos II sekitar tahun 230 SM dan membentuk kulawangsa baru. Wilayah kedaulatan Eutidemos membentang sampai ke Sogdiana, melampaui kota Aleksandria Eskhate yang didirikan Aleksander Agung di Fergana:
Dan mereka juga menguasai Sogdiana, yang terletak di atas Baktriana ke sebelah timur, di antara Sungai Oksos yang merupakan batas pemisah orang Baktria dari orang Sogdia, dan Sungai Yaksartes yang merupakan batas pemisah orang Sogdia dari kaum kelana.
— Strabo XI.11.2[65]
Sekitar tahun 210 SM, Eutidemos diserang Antiokhos III. Sekalipun diperkuat 10.000 prajurit berkuda, Eutidemos mula-mula mengalami kekalahan dalam sebuah pertempuran di dekat Sungai Arios[66] dan terpaksa mundur, tetapi selanjutnya mampu bertahan menyintasi tiga tahun pengepungan kota benteng Baktra (sekarang Balkh). Sekitar tahun 206 SM, Antiokhos akhirnya mengakui kedaulatan Eutidemos, bahkan mengajukan salah seorang putrinya untuk dijodohkan dengan Demetrios, putra Eutidemos.[67] Catatan-catatan peninggalan zaman Klasik juga meriwatkan bahwa Eutidemos merundingkan perdamaian dengan Antiokhos III, dengan mengisyaratkan bahwa dirinya layak dihargai sebagai pihak yang berjasa menumbangkan Diodotos, pemberontak yang sesungguhnya, dan bahwasanya ia melindungi Asia Tengah dari invasi kaum kelana berkat usaha-usaha pertahanannya:
...lantaran jika ia tidak menuruti permintaan ini, maka tak satu pihak pun kelak dapat hidup aman sentosa, mengingat gerombolan-gerombolan besar kaum kelana yang sudah mengincar di ambang pintu merupakan bahaya yang mengancam kedua belah pihak; dan andaikata gerombolan-gerombolan itu lolos masuk, niscaya tuntaslah negara dibiadabkan mereka.
Sesudah angkatan perang wangsa Seleukos ditarik mundur, tampaknya terjadi perluasan wilayah kedaulatan Kerajaan Yunani-Baktria. Di sebelah barat, daerah-daerah di kawasan timur laut Iran mungkin disatukan dengan wilayah inti, kemungkinan besar sampai ke daerah Partia, yang penguasanya sudah dikalahkan Antiokhos Agung. Daerah-daerah tersebut mungkin sekali identik dengan wilayah pemerintahan Satrap Tapuria dan wilayah pemerintahan Satrap Traksiana.
Di sebelah utara, Eutidemos juga berdaulat atas Sogdiana maupun Fergana, dan ada beberapa indikasi bahwa bangsa Yunani-Baktria melepas ekspedisi-ekspedisi dari Aleksandria Eskhate yang berhasil mencapai Kasygar dan Ürümqi di Turkistan-Tionghoa. Ekspedisi-ekspedisi tersebut membuahkan kontak-kontak perdana Tiongkok dengan Dunia Barat sekitar tahun 220 SM. Sejarawan Yunani Strabon juga mencatat bahwa:
kemaharajaan mereka diperluas sampai ke negeri orang Seres (Tionghoa) dan orang Frini.
Beberapa buah patung mini dan citra-citra yang menampakkan sosok prajurit Yunani telah ditemukan di sebelah utara Tien Shan, perbatasan wilayah Tiongkok, dan kini terpajang di Museum Daerah Xinjiang, Urumqi.[68]
Pendapat tentang pengaruh-pengaruh Yunani terhadap seni rupa Tionghoa sudah pernah dikemukakan (Hirth, Rostovtzeff). Corak hias cakra-cakraan bunga, garis-garis geometris, dan seni tatah kaca, yang menyiratkan pengaruh-pengaruh Helenistis,[69] dapat ditemukan pada sejumlah cermin perunggu dari permulaan zaman kulawangsa Han.[70]
Ilmu numismatika menyiratkan bahwa pertukaran teknologi mungkin juga terjadi dalam kontak-kontak perdana tersebut. Bangsa Yunani-Baktrialah yang pertama kali mencetak uang tembaga-nikel (rasio 75 banding 25) di dunia,[71] suatu teknologi lakur yang hanya dikenal bangsa Tionghoa pada masa itu dengan nama "tembaga putih" (beberapa bilah senjata dari zaman Negara-Negara Berperang terbuat dari lakuran tembaga-nikel[72]). Bukti-bukti kegiatan ekspor berbagai jenis logam produksi bangsa Tionghoa untuk diperjualbelikan, khususnya logam besi, berasal dari sekitar kurun waktu tersebut. Baik Raja Eutidemos, Raja Eutidemos II, Raja Agatokles, maupun Raja Pantaleon mencetak dan mengedarkan uang-uang tembaga-nikel sekitar tahun 170 SM. Di lain pihak, ada pula pendapat bahwa bahan baku uang tembaga-nikel adalah bijih tembaga berkandungan nikel yang ditambang di Anarak.[73] Logam lakuran tembaga-nikel baru kembali dimanfaatkan sebagai bahan baku uang logam pada abad ke-19.
Kehadiran bangsa Tionghoa di Anak Benua India sedari dahulu kala juga tersirat di dalam susastra Mahabarata dan Manusmerti, yang memuat keterangan tentang "orang Cinah" .
Zhang Qian, duta penjelajah utusan kemaharajaan wangsa Han di Tiongkok, berkunjung ke Baktria pada tahun 126 SM. Ia mencatat keberadaan barang-barang produksi Tiongkok di pasar-pasar Baktria:
Saat berada di Daxia (Baktria), saya melihat batang-batang bambu dari Qiong dan bahan sandang buatan daerah Shu (daerah-daerah di kawasan barat daya Tiongkok). Waktu saya tanyakan kepada orang-orang di sana, bagaimana caranya barang-barang itu sampai ke tangan mereka, jawab mereka, "saudagar-saudagar kami pergi membelinya di pasar-pasar Shendu (India)."
Sekembalinya ke Tiongkok, Zhang Qian melaporkan kepada Maharaja Wudi tentang taraf kecanggihan peradaban masyarakat perkotaan Fergana, Baktria, dan Partia, sehingga menggugah minat sang maharaja untuk menjalin hubungan dagang dengan mereka:
Sesudah mendengar semua laporan ini, Sang Putra Langit menyimpulkan bahwa Dayuan (Fergana) maupun negeri-negeri jajahan Daxia (Baktria) dan Anxi (Partia) adalah negara-negara besar, sarat dengan barang-barang langka, rakyatnya pun hidup menetap, melakukan berbagai macam pekerjaan yang kurang lebih sama dengan bangsa Tionghoa, dan sangat menghargai bermacam-macam barang buatan Tiongkok.
— (Hanshu, Pustaka Han)
Sejumlah duta Tionghoa kemudian diutus ke Asia Tengah, memicu lahirnya Jalur Sutra yang berkembang sejak akhir abad ke-2 SM.[74]
Maharaja Candragupta, cikal bakal wangsa Maurya di India, telah mendaulat kembali kawasan barat laut India selepas kemangkatan Aleksander Agung sekitar tahun 322 SM. Meskipun demikian, perhubungan dengan negara tetangganya, kemaharajaan wangsa Seleukos, terus dipertahankan. Suatu persekutuan antarwangsa atau pengakuan atas perkawinan campur antarbangsa, Yunani dan India, dimufakati (disifatkan sebagai persetujuan Epigamia di dalam sumber-sumber kuno) kedua belah pihak, dan beberapa orang Yunani, misalnya sejarawan Megastenes, tinggal di lingkungan istana wangsa Maurya. Tiap-tiap maharaja Maurya menerima seorang duta Yunani yang diutus ke istananya.
Asoka, cucu Candragupta, beralih memeluk agama Buddha, dan menjadi pegiat penyebarluasaan agama Buddha aliran Stawirawada yang berlandaskan Tripitaka. Sejak sekitar tahun 250 SM, Asoka berusaha menyebarluaskan agama Buddha ke seluruh India maupun Dunia Helenistis. Menurut isi maklumat-maklumatnya yang terpahat pada tebing batu, beberapa di antaranya menggunakan bahasa Yunani, Asoka mengutus duta-duta agama Buddha ke negeri-negeri bangsa Yunani di Asia, bahkan sampai ke negeri-negeri bangsa Yunani di kawasan Laut Tengah. Maklumat-maklumat tersebut memuat nama beberapa orang penguasa di Dunia Helenistis pada masa itu.
Penaklukan dengan jalan Darma sudah berjaya sampai di sini, tapal batas negeri, bahkan sampai sejauh enam ratus yojana (4.000 mil), mencapai wilayah Antiyoga (Antiokhos) Sang Raja Yona, dan sebelahnya lagi, wilayah pemerintahan empat raja, Tulamaya (Ptolemayos), Antekina (Antigonos), Maka (Magas), dan Aliyaksudala (Aleksandros) nama-namanya, demikian pula ke selatan, di antara orang Cola dan orang Pandya, bahkan sampai ke Tamraparni.
— (Prasasti-prasasti maklumat Asoka, Maklumat Padas No. 13)
Sejumlah populasi orang Yunani yang menetap di kawasan barat laut India tampaknya beralih memeluk agama Buddha:
Di sini, di wilayah kedaulatan raja, di antara bangsa Yawana, Kamboja, Nabaka, Nabapangkita, Boja, Pitinika, Andra, dan Palida, di mana-mana orang menuruti wejangan-wejangan Darma yang dibabarkan Kekasih Para Dewa.
— (Prasasti-prasasti maklumat Ashoka, Maklumat Padas No. 13)
Selain itu, menurut sumber-sumber Pali, beberapa duta yang diutus Asoka adalah biksu-biksu beretnis Yunani, indikasi dari pertukaran paham keagamaan lintas budaya yang berlangsung dalam suasana akrab:
Tatkala stawira (sesepuh) Mogaliputa, pembabar agama Sang Penakluk (Asoka), menyudahi sidang agung (ketiga)… ia mengutus empat orang stawira, seorang ke sini dan seorang ke sana: …dan ke Aparantaka (negeri-negeri di barat, padan dengan Gujarat dan Sind) diutusnyalah seorang Yona (Yunani) bernama Damarakhita... dan stawira Maharakhita diutus ke negeri orang Yona.
— (Mahawangsa XII)
Kemungkinan besar bangsa Yunani-Baktria menyambut baik kedatangan duta-duta agama Buddha tersebut (setidaknya menyambut baik kedatangan Maharakhita, atau "Sang Mahaterselamatkan", yang "diutus ke negeri orang Yona") dan dalam satu dan lain cara menoleransi agama Buddha, kendati tersisa sedikit sekali bukti. Pada abad ke-2 M, Klemens dari Aleksandria, ahli dogmatika Kristen, mengakui eksistensi para sramana Buddha di tengah-tengah orang Baktria (pada masa itu "orang Baktria" berarti "bangsa Yunani Timur"), bahkan mengakui pengaruh mereka terhadap fikrah bangsa Yunani:
Demikianlah filsafat, pengetahuan yang paling berfaedah, tumbuh dan berkembang pada masa purbakala di antara orang-orang biadab, memancarkan sinarnya menerangi bangsa-bangsa. Kemudian datanglah pengetahuan itu ke negeri Yunani. Pemuka-pemuka tertingginya adalah para nabi bangsa Mesir, para Kaldea bangsa Asyur,[75] para Druid bangsa Galia, para Sramana bangsa Baktria (bahasa Yunani: Σαρμαναίοι Βάκτρων, Sarmanayoi Baktron), para filsuf bangsa Kelt, dan para Majus bangsa Persia, yang menubuatkan kelahiran Juru Selamat, dan yang datang ke negeri Yudea dituntun sebuah bintang. Para filsuf telanjang (bahasa Yunani: Γυμνοσοφισταίs, Gimnosofistais) India juga termasuk jajaran ini, demikian pula para filsuf biadab lainnya. Mereka terbedakan menjadi dua golongan, sebagian disebut "para Sramana" (bahasa Yunani: Σαρμάναι, Sarmanai), dan sebagian lagi disebut "para Brahmana" (bahasa Yunani: Βραφμαναι, Brafmanai).
— Klemens dari Aleksandria, "Stromata, atau Serba-Serbi" Pustaka I, Bab XV[76]
Di India, wangsa Maurya terguling dari tampuk pemerintahan sekitar tahun 185 SM, ketika Pusyamitra Sungga, seorang Brahmana, panglima tertinggi angkatan perang Maurya, membunuh Brihadrata, maharaja terakhir dari wangsa Maurya.[77][78] Pusyamitra Sungga selanjutnya naik takhta dan mendirikan Kemaharajaan Sungga, yang melebarkan sayapnya ke sebelah barat hingga mencapai daerah Panjab.
Sumber-sumber pustaka agama Buddha, misalnya Asokawadana, menyebutkan bahwa Pusyamitra menganaktirikan umat Buddha dan konon menganiaya agama Buddha. Sejumlah besar wihara di Nalanda, Bodgaya, Sarnat, maupun Mandura konon diubah menjadi kuil Hindu. Meskipun sumber-sumber pustaka sekuler sudah melazimkan anggapan bahwa pada masa itu agama Hindu bersaing dengan agama Buddha, dan bahwasanya raja-raja Sungga lebih memihak agama Hindu, para sejarawan semisal Etienne Lamotte[79] dan Romila Thapar[80] berpandangan bahwa catatan-catatan agama Buddha mengenai persekusi terhadap umat Buddha oleh raja-raja Sungga terlampau dilebih-lebihkan. Kendati demikian, sejumlah Purana juga menyebut-nyebut kebangkitan Brahmanisme sesudah tumbangnya wangsa Maurya, dan pembunuhan jutaan umat Buddha, misalnya pustaka Pratisargaparwa di dalam kumpulan Bawisyapurana:[81]
Kala itu (selepas masa pemerintahan Candragupta, Bindusara, dan Asoka), Kanyakubja, golongan Brahmana ulung, menggelar upacara kurban di puncak sebuah gunung bernama Arbuda. Berkat tuah mantra-mantra Weda, tampillah empat orang Kesatria dari yadnya (upacara kurban). (...) Mereka mengekang Asoka dan menumpas semua umat Buddha. Kabarnya ada empat juta pemeluk agama Buddha, dan semuanya mati dibunuh dengan senjata-senjata yang tidak lazim.
Ada sejumlah narasi sejarah yang sintas dari zaman Helenistis, sekurang-kurangnya narasi tentang raja-raja dan perang-perang.[84] Peninggalan tertulis semacam ini tidak ada di India. Sumber utama Yunani-Romawi mengenai Kerajaan Yunani-India adalah karya tulis Yustinus, sebuah antologi petikan karya tulis sejarawan Romawi, Pompeyus Trogus, yang menyusun karya tulisnya dengan mengacu kepada sumber-sumber pustaka Yunani pada masa pemerintahan Kaisar Agustus.[85] Selain dari selusin kalimat yang disajikan Yustinus tersebut, geograf Strabon beberapa kali mengungkit India dalam bantahan panjang lebar terhadap keterangan Eratostenes tentang bentuk daratan Erasia. Kebanyakan di antaranya murni klaim-klaim geografis, tetapi ada pula pernyataannya tentang sumber-sumber Eratostenes yang meriwayatkan bahwa beberapa raja beretnis Yunani melancarkan perang penaklukan sampai ke tempat-tempat yang lebih jauh lagi daripada Aleksander. Sehubungan dengan riwayat ini, Strabon tidak meyakini kebenaran sumber-sumber Eratostenes. Ia juga tidak meyakini kebenaran riwayat yang mengatakan bahwa Menandros dan Demetrios putra Eutidemos menaklukkan lebih banyak suku daripada Aleksander.[86] Separuh riwayat Menandros di dalam salah satu jilid karya tulis Polibios tidak sintas dalam keadaan utuh.[87]
Ada sumber-sumber sastrawi India, mulai dari Milindapanha, catatan dialog antara Acarya Nagasena dan tokoh-tokoh dengan nama terindiakan yang mungkin ada sangkut pautnya dengan raja-raja Yunani-India, misalnya Menandros I. Nama-nama di dalam sumber-sumber tersebut diindiakan secara konsisten, tetapi ada perbedaan pendapat seputar identifikasinya. Sebagai contoh, sebagian pihak berpendapat bahwa Darmamitra adalah pengindiaan nama "Demetrios", sementara sebagian lagi menganggapnya sebagai nama seorang pangeran India. Ada pula laporan Zhang Qian terkait ekspedisi bangsa Tionghoa ke Baktria pada masa pemerintahan Maharaja Wudi yang tercatat di dalam Pustaka Datuk Sejarawan Istana dan Pustaka Han, dengan bukti tambahan di dalam Pustaka Han Terkemudian. Nama-nama tempat maupun tokoh yang dialihaksakan ke dalam bahasa Tionghoa sukar diidentifikasi, dan ada beragam tafsir yang dikemukakan.[88]
Bukti lain dari pengaruh Yunani-India yang lebih luas dan lebih lama mungkin sekali tersirat di dalam prasasti Yawanaradya yang dipertanggal abad pertama SM. Prasasti ini memuat istilah "orang Yawana", turunan dari istilah "orang Yona", yang mungkin sekali pada masa itu berarti "bangsa Yunani-India".[89]
Pada umumnya Demetrios I, putra Eutidemos, dianggap sebagai raja Yunani-Baktria pertama yang berusaha memperluas wilayah kedaulatan bangsa Yunani sampai ke India, dan oleh karena itu dianggap sebagai pendiri Kerajaan Yunani-India. Maksud raja-raja Yunani menguasai India tidak diketahui, tetapi diduga penggulingan wangsa Maurya oleh wangsa Sungga merupakan faktor utama yang mendorong mereka untuk berekspansi ke India. Raja-raja Yunani-India, khususnya Menandros I, yang menurut pustaka Milindapanha sudah memeluk agama Buddha, kemungkinan besar juga dibantu umat Buddha India.[91]
Sebuah prasasti peninggalan masa pemerintahan Eutidemos sudah secara resmi menyebut Demetrios sebagai orang yang berjaya. Beberapa peristiwa pada masa hidup Demitrios memiliki pertanggalan mutlak di dalam kronologi sejarah Kerajaan Yunani-India. Sesudah ayahnya mampu bertahan menghadapi gempuran Antiokhos III selama dua tahun, yakni dari tahun 208 sampai 206 SM, tercapai kesepakatan damai di antara kedua belah pihak yang berseteru. Salah satu syarat perdamaian adalah perjodohan Demetrios dengan anak perempuan Antiokhos.[92] Uang-uang keluaran Demetrios I telah ditemukan di Arakhosia maupun Lembah Kabul, dan yang ditemukan di Lembah Kabul menjadi penanda waktu masuknya bangsa Yunani ke India untuk pertama kali. Ada pula bukti sastrawi tentang pelancaran kampanye militer ke arah barat melawan orang Seres dan orang Frini, tetapi urutan maupun pertanggalannya tidak dapat dipastikan.[93]
Tampaknya Demetrios I berhasil menaklukkan Lembah Kabul, Arakhosia, dan mungkin juga Gandara.[94] Ia tidak mencetak uang yang berciri India, oleh karena itu mungkin saja perang-perang penaklukan yang dilancarkannya tidak menembus terlalu jauh ke dalam wilayah India, atau mungkin pula ia telanjur wafat sebelum sempat menyatukan seluruh daerah taklukannya. Gambar Demetrios pada uang keluarannya selalu tampak mengenakan ketopong-gajah yang pernah dikenakan Aleksander Agung. Agaknya ketopong-gajah adalah tanda keberhasilan perang-perang penaklukan yang dilancarkannya di India.[95] Bopearachchi yakin bahwa Demetrios mendapatkan gelar "Raja India" sesudah berjaya memenangkan perang-perang yang berlangsung di sebelah selatan Hindu Kusy.[96] Ia juga diberi gelar Aniketos (bahasa Yunani: Ἀνίκητος, artinya "Tak Terkalahkan"), mungkin gelar anumerta. Aniketos adalah gelar pemujaan terhadap Herakles yang pernah dipakai Aleksander Agung. Gelar ini juga dipakai raja-raja Yunani-India terkemudian, yakni Lisias, Filoksenos, dan Artemidoros.[97] Sebagai penutup, mungkin Demetrius yang mencetuskan tarikh Yawana, era baru yang bermula pada tahun 186/185 SM.[98]
Sesudah Demertios mangkat, Pantaleon dan Agatokles, raja-raja Yunani-Baktria sesudahnya, mencetak uang-uang logam dwibahasa pertama dengan inskripsi India yang beredar jauh ke timur, bahkan telah ditemukan di Taksila.[100] Oleh karena itu pada masa pemerintahan mereka (sekitar tahun 185 sampai 170 SM), tampaknya negeri Gandara sudah menjadi bagian dari wilayah kedaulatan Yunani-Baktria.[101] Uang-uang dwibahasa pertama ini berterakan aksara Brahmi, sementara uang-uang dwibahasa yang dikeluarkan raja-raja terkemudian pada umumnya berterakan aksara Kharosti. Mereka bahkan melangkah lebih jauh lagi dengan menambahkan gambar sesembahan bangsa India, yang ditafsirkan sebagai gambar sesembahan Hindu maupun Sang Buddha.[99] Mereka juga membubuhkan gambar aneka satwa (singa, gajah, sapi berpunuk) maupun lambang khas India, beberapa di antaranya berciri agama Buddha, misalnya lambang pohon berpagar.[102] Lambang-lambang tersebut juga terdapat pada uang-uang logam Gandara pasca-Maurya.
Uang-uang keluaran Agatokles yang bercorak Hindu hanya sedikit jumlahnya tetapi sangat mencolok. Enam keping dirham perak menurut standar India yang ditemukan di Aikhanum pada tahun 1970 memuat gambar sesembahan Hindu.[103] Sesembahan yang dimaksud adalah awatara-awatara Wisnu terdahulu, yakni Baladewa-Sangkarsana berlaksana gada dan bajak, serta Basudewa-Kresna berlaksana sangkakala dan cakra sudarsana khas Dewa Wisnu.[103] Upaya-upaya pertama untuk menambahkan unsur-unsur budaya India pada uang logam tidak semuanya dilestarikan raja-raja terkemudian. Semuanya tetap mencetak uang dwibahasa, kadang-kadang sebagai tambahan uang cetakan Atike, tetapi gambar sesembahan Yunani tetap ditonjolkan. Meskipun demikian, satwa-satwa India seperti gajah, banteng, atau singa, yang kemungkinan besar mengandung makna keagaman, digunakan secara luas pada uang-uang logam persegi menurut standar India yang mereka cetak dan edarkan. Gambar-gambar darmacakra khas agama Buddha masih tampak pada uang keluaran Menandros I dan Menandros II.[104][105]
Beberapa raja Yunani-Baktria silih berganti memerintah sepeninggal Demetrios, dan tampaknya perang-perang saudara di antara mereka memberi peluang kepada Apolodotos I (sejak sekitar tahun 180/175 SM) untuk memisahkan diri dan menjadi raja Yunani-India tulen yang pertama, yakni raja beretnis Yunani pertama yang tidak memerintah India dari Baktria. Sejumlah besar uang logam keluarannya sudah ditemukan di India, dan tampaknya ia pernah memerintah di Gandara maupun di Panjab Barat. Apolodotos I digantikan atau memerintah bersama-sama Antimakhos II, yang agaknya adalah putra Antimakhos I, Raja Yunani-Baktria.[106]
Raja Yunani-India berikutnya yang patut diberi perhatian khusus adalah Menandros (sejak sekitar tahun 165/155 SM), tokoh yang disebut-sebut sebagai Raja Yunani-India terbesar.[107] Menandros dipandang sebagai Raja Yunani-India yang paling jaya, sekaligus penakluk Kerajaan Yunani-India yang terbesar.[108] Temuan uang keluarannya jauh lebih banyak dan lebih luas wilayah sebarannya dibanding semua raja Yunani-India selain dirinya. Uang-uang keluarannya bahkan ditemukan pula di Panjab Timur. Agaknya Menandros pernah melancarkan perang-perang penaklukan gelombang kedua, dan tampaknya mungkin sekali pelosok-pelosok paling timur dari wilayah kedaulatan Yunani-India adalah daerah-daerah yang ia taklukkan.[109] Dengan demikian, dari tahun 130 SM sampai akhir hayatnya pada tahun 130 SM, Menandros memerintah Panjab dengan Sagala sebagai ibu kota.[110][111] Menandros kemudian melancarkan ekspedisi militer melintasi kawasan utara India ke Mandura, tempat prasasti Yawanaradya dipahat. Meskipun demikian, tidak diketahui apakah Mandura merupakan suatu kemaharajaan yang berbatasan langsung dengan wilayah Yunani-Baktria, atau diperintah melalui kota-kota pusat pemerintahan alias polis. Tidak lama kemudian, Eukratides I, Raja Yunani-Baktria mulai memerangi Kerajaan Yunani-India di perbatasan barat laut.
Menurut keterangan Apolodoros dari Artemita, yang dikutip Strabon, wilayah kedaulatan Yunani-India sempat mencakup daerah-daerah di kawasan pesisir India, yakni daerah Sind dan mungkin sekali daerah Gujarat.[112] Meskipun demikian, yang dapat dipastikan sebagai wilayah kedaulatan Yunani-India dengan metode-metode arkeologis hanyalah Lembah Kabul sampai ke kawasan timur Panjab, dan oleh karena itu kehadiran bangsa Yunani di luar wilayah tersebut kemungkinan besar hanya berlangsung singkat atau tidak pernah terjadi sama sekali.
Sejumlah sumber mengklaim pula bahwa bangsa Yunani-India mungkin saja bergerak sampai ke Pataliputra, ibu kota kemaharajaan wangsa Sungga di kawasan utara India.[115] Meskipun demikian, hakikat dari ekspedisi militer tersebut masih menjadi pokok perdebatan. Satu-satunya catatan primer mengenai perang tersebut terdapat di dalam Yugapurana, akan tetapi karya tulis ini dikarang sebagai ramalan mengenai konflik yang baru akan terjadi jauh kemudian hari. Tidak diketahui apakah ekspedisi tersebut pernah terjadi, dan apakah pihak Yawana (Yunani-India) mampu berjaya.
Seusai menundukkan Saketa, negeri orang Pancala dan orang Mandura, orang Yawana, durjana lagi gagah, akan mendatangi Kusumadwaja (kota panji-panji kusuma, Pataliputra). Tatkala benteng lumpur tebal Pataliputra dicapai mereka, tidak pelak lagi gegerlah seluruh negeri bawahan. Pada akhirnya pecah pertempuran besar, memakai perangkat-perangkat serupa pohon (mesin-mesin kepung).
— Yugapurana (Gargasanghita, Pupuh 5)
Meskipun demikian, klaim bahwa orang Yawana pernah menguasai Pataliputra tidak didukung numismatika maupun catatan sejarah, bahkan bertolak belakang dengan uraian sejumlah prasasti. Menurut prasasti Hatigumpa, Karawela, Raja Kalingga, pada tahun ke-4 masa pemerintahannya, mendesak mundur angkatan perang Yunani-India yang sudah pecah nyali ke Mandura. Tidak diketahui siapa yang memimpin angkatan perang Yunani-India dalam peristiwa itu, tetapi diduga Menandros I atau salah seorang raja sesudahnya.[116] Selanjutnya pada tahun kedua belas masa pemerintahannya, Karawela dikabarkan memerangi Kemaharajaan Sungga dan berhasil mengalahkan Maharaja Brihaspatimitra alias Pusyamitra Sungga.[117] Karawela kemudian dikabarkan menyerbu ibu kota Pataliputra, merebut kembali arca-arca Jaina dan harta benda rampasan dari Kalingga yang diboyong ke Pataliputra. Berdasarkan kronologi dan pertanggalan pada abad pertama SM, diduga Menandroslah yang memimpin angkatan perang Yunani-India pada masa pemerintahan Karawela.
Lalu pada tahun kedelapan, (Karawela) diiringi serombongan besar angkatan perang menyerang Goradagiri, mengancam Rajagaha (Rajagriha). Mendengar laungan warta tindakan perwira itu, Dimi[ta], Raja Yawana, mundur ke Mandura, menenangkan angkatan perangnya yang pecah nyali."
— Prasasti Hatigumpa (baris 7-8)
Eukratides, Raja Yunani-Baktria, tampaknya pernah memerangi Kerajaan Yunani-India pada pertengahan abad ke-2 SM. Tokoh bernama Demetrios, yang disebut "Raja orang India", berusaha melawan Eukratides dalam perang pengepungan yang berlangsung selama empat bulan, sebagaimana diriwayatkan Yustinus, tetapi akhirnya kalah.[118] Bagaimanapun juga, Eukratides tampaknya berdaulat atas wilayah yang jauh membentang sampai ke Sungai Sindu antara sekitar tahun 170 SM sampai 150 SM.[119] Wilayah yang berhasil ia caplok pada akhirnya direbut kembali oleh Menandros I, Raja Yunani-India,[120]
Menandros juga dikenang di dalam karya-karya sastra agama Buddha, yang menyebutnya dengan nama Milinda. Menurut pustaka Milindapanha, Menandros masuk agama Buddha dan menjadi seorang arhat[121] yang sariranya didarmakan selayaknya sarira seorang Buddha.[122][123] Ia juga mencetak uang logam jenis baru, yang menampilkan gambar Dewi Atena Alkidemos (Atena Pembela Rakyat) pada sisi ekor. Kebiasaan ini diadopsi sebagian besar raja penggantinya di Timur.[124]
Sesudah Menandros mangkat, wilayah kerajaannya menyusut drastis akibat munculnya kerajaan-kerajaan dan republik-republik baru di India.[22] Yang terkemuka di antaranya adalah Yodeya dan Arjunayana, konfederasi-konfederasi militer yang dulu dianeksasi kemaharajaan wangsa Maurya. negara-negara republik tersebut mulai mencetak uang-uang baru yang mewartakan kejayaan-kejayaan militer, yang merupakan sisa-sisa ciri khas uang logam yunani-India. Selain bukti numismatis, prasasti padas Rudradaman di Junagad juga memerinci perang-perang penaklukan yang dilancarkan Rudradaman I, Raja Saka dari wilayah Mahaksatrapa terhadap Republik Yodeya, dan dengan demikian menegakkan kembali kemerdekaan mereka.[125]
Sejak pertengahan abad ke-2 SM, bangsa Skit, yang terdesak keluar dari negerinya akibat kedatangan orang Yuezhi dari daerah perbatasan Tiongkok, mulai menginvasi Baktria dari utara.[126] Sekitar tahun 130 SM, Heliokles, Raja Yunani-Baktria yang terakhir, mungkin sekali mangkat tatkala negerinya diserbu, dan dengan demikian tamatlah riwayat kerajaan bangsa Yunani-Baktria. Kemungkinan besar bangsa Partia juga turut andil menumbangkan Kerajaan Yunani-Baktria, kemudian menyingkirkan bangsa Skit.
Meskipun demikian, tidak ada catatan sejarah seputar kejadian-kejadian yang berlangsung di Kerajaan Yunani-India sesudah Menandros mangkat pada sekitar tahun 130 SM, lantaran bangsa Yunani-India kala itu sudah sangat terisolasi dari Dunia Yunani-Romawi selebihnya. Sejarah terkemudian dari negara-negara Yunani-India, yang bertahan sampai sekitar permulaan tarikh Masehi, hampir seluruhnya direkonstruksi dari analisis-analisis arkeologis dan numistatis.[127]
Keberadaan bangsa Yunani di Arakhosia, yang sudah didiami populasi-populasi orang Yunani sebelum diserahterimakan dari Seleukos kepada Candragupta, disebutkan di dalam karya tulis Isidoros dari Kharaks. Ia menjabarkan kota-kota orang Yunani di Arakhosia, salah satunya bernama Demetrias, mungkin diambil dari nama Demetrios, sang penakluk.[128]
Menurut Pompeyus Trogus, Apolodotos I dan Menandros I adalah raja-raja Yunani-India terkemuka.[129] Angkatan perang Yunani diduga pernah bergerak sampai ke Pataliputra (sekarang Patna), ibu kota kemaharajaan wangsa Sungga di kawasan timur India. Menurut Senior, perang-perang penaklukan tersebut hanya dapat dikaitkan dengan Menandros.[130] Di lain pihak, John Mitchener justru berpandangan bahwa angkatan perang Yunani mungkin menyerbu Pataliputra pada masa pemerintahan Demetrios,[131] kendati analisisnya tidak didasari bukti numistatis.
Jadi, di kawasan timur India, sudah kita sekalian ketahui daerah-daerah yang yang terletak di sisi sebelah sini Sungai Hispanis, maupun daerah-daerah di seberang Sungai Hispanis yang daftarnya sudah diperpanjang oleh orang-orang yang, sesudah Aleksander, maju melewati Sungai Hipanis, sampai ke Sungai Gangga dan Pataliputra.
Tingkat keseriusan penyerbuan tersebut agak diragukan. Menandros mungkin hanya sekadar menggabungkan diri dalam aksi penyerbuan yang dipimpin raja-raja India di daerah Lembah Sungai Gangga,[134] karena keberadaan bangsa Yunani-India sampai ke daerah yang jauh di sebelah timur itu belum dapat dipastikan.
Di selatan, bangsa Yunani mungkin menduduki daerah Sind dan daerah Gujarat, termasuk bandar Barigaza (Barukaca) yang strategis.[135] Perang-perang penaklukan juga dibuktikan oleh temuan uang-uang logam yang diperkirakan berasal dari masa pemerintahan Raja Yunani-India Apolodotos I dan keterangan beberapa pujangga Abad Kuno (Strabon 11; Periplus Laut Eritrea, Bab 41/47):[136]
Orang-orang Yunani... tidak saja merebut Patalene tetapi juga seluruh pesisir negeri yang disebut Kerajaan Saraostos dan Sigerdis.
— Strabon 11.11.1[137]
Periplus (catatan pelayaran) selanjutnya menyinggung perihal pemerintahan Yunani-India dan kesinambungan peredaran uang logam Yunani-India di kawasan itu:
Sampai hari ini, dirham-dirham kuno masih berlaku di Barigaza, asalnya dari negeri ini, berterakan huruf-huruf Yunani, dan bergambar orang-orang yang memerintah sepeninggal Aleksander, yakni Apolodoros dan Menandros.
— Periplus Bab 47[138]
Meskipun demikian, Narain mengetepikan keterangan Periplus yang dianggapnya "sekadar cerita kelasi belaka", dan berpendapat bahwa temuan-temuan uang logam tidak mesti merupakan indikasi pendudukan wilayah.[139] Timbunan-timbunan uang logam terpendam lebih jauh menyiratkan bahwa di India Tengah, daerah Malwa juga mungkin pernah ditaklukkan.[140]
Dari bukti-bukti numismatis, sastrawi, maupun epigrafis, tampaknya bangsa Yunani-India juga menguasai Mandura pada selang waktu antara tahun 185 SM sampai tahun 85 SM, teristimewa pada masa pemerintahan Menandros I (165–135 SM).[143] Ptolemayos menyebutkan bahwa Menandros berdaulat sampai ke Mandura (bahasa Yunani: Μόδυρα, Modura).[143]
Sedikit ke barat laut dari Mandura, ditemukan banyak uang logam Yunani-India di kota Khokrakot (sekarang Rohtak), mencakup uang-uang keluaran 14 raja Yunani-India yang berbeda-beda maupun uang-uang yang dicetak di Naurangabad,[144] yang menyiratkan pendudukan bangsa Yunani-India atas Haryana pada abad ke-2 sampai abad pertama SM.[145][146]
Prasasti Yawanaradya, yang ditemukan di Mandura pada tahun 1988,[147] memuat kalimat "hari terakhir tahun 116 daulat Yawana (Yawanaradya)". Kata "Yawanaradya" mungkin merujuk kepada pemerintahan Yunani-India di Mandura selambat-lambatnya sekitar tahun 70 sampai 60 SM (tahun 116 tarikh Yawana).[141] Perihal sejauh mana bangsa Yunani-India memerintah Mandura sudah pernah diperdebatkan, tetapi diketahui pula bahwa tidak ada jejak pemerintahan wangsa Sungga yang pernah ditemukan di Mandura,[141] dan wilayah kedaulatan mereka terbukti hanya membentang sampai ke kota Ayodya di kawasan utara India Tengah, berdasarkan isi prasasti Ayodya Danadewa.[148] Cetakan-cetakan penempa uang logam yang ditemukan lewat penggalian-penggalian arkeologis juga telah menyingkap keberadaan wangsa Mitra (yang tidak menyebut diri sebagai "raja" pada uang-uang keluaran mereka) di Mandura antara tahun 150 sampai 20 SM.[141] Selain itu, uang-uang keluaran wangsa Data juga telah ditemukan lewat penggalian arkeologis di Mandura. Tidak diketahui apakah wangsa-wangsa tersebut adalah wangsa-wangsa berdaulat atau sekadar satrap-satrap yang memerintah di bawah naungan kerajaan-kerajaan yang lebih besar.
Sejumlah arca orang asing berukuran mini muncul dalam khazanah seni rupa Mandura dari abad ke-4 sampai abad ke-2 SM. Arca-arca ini disebut arca "orang asing", arca orang Persia, atau arca orang Iran lantaran menampakkan ciri-ciri asing.[150][151][152] Arca-arca mini tersebut mungkin saja mencerminkan kontak bangsa India dengan orang-orang asing yang kian meningkat kala itu.[151] Beberapa di antaranya tampak menyerupai prajurit-prajurit asing yang berkunjung ke India pada zaman kulawangsa Maurya dan mempengaruhi para perupa Mandura dengan ciri-ciri khas etnis maupun pakaian seragam mereka.[153] Diketahui pula bahwa sebuah arca kepala prajurit berketopong, kemungkinan besar prajurit Yunani-India, dipertanggal abad pertama SM, dan kini tersimpan di Museum Mandura.[149] Salah satu arca terakota mini yang biasa dijuluki "bangsawan Persia" dan dipertanggal abad ke-2 SM, tampak mengenakan kain selubung, syal, celana panjang, dan serban.[154][155][156][150]
Mungkin saja kala itu Mandura sudah ditaklukkan wangsa Mitra, atau diperintah sendiri oleh wangsa Data pada abad pertama SM.[157] Bagaimanapun juga, Mandura tunduk di bawah pemerintahan para mahaksatrapa Skit-India sejak abad pertama tarikh Masehi.
Istilah Yawana diduga merupakan terjemahan istilah "orang Yonia", dan diketahui digunakan untuk menyebut orang-orang Yunani Helenistis (mulai dari waktu pembuatan prasasti-prasasti maklumat Asoka, yang memuat pernyataan Asoka mengenai "Raja Yawana Antiokhos"),[158] tetapi kadang-kadang digunakan pula untuk menyebut bangsa asing lain selepas abad pertama tarikh Masehi.[159]
Di dalam pustaka Mahabasya, Resi Patanjali, ahli tata bahasa Sangsekerta dan pengulas karya-karya tulis Pāṇini, sekitar tahun 150 SM, dua kali menguraikan invasi bangsa Yunani dalam bentuk waktu belum rampung, dan dengan demikian menyiratkan bahwa kerjadian tersebut baru saja terjadi atau masih berlangsung:[160][161]
Pustaka Yugapurana menjabarkan peristiwa-peristiwa dalam bentuk ramalan, yang mungkin saja merupakan peristiwa-peristiwa bersejarah,[163][164][165] meriwayatkan penyerbuan bangsa Yunani-India atas ibu kota Pataliputra,[166] sebuah kota berbenteng megah dengan 570 menara dan 64 pintu gerbang menurut Megastenes,[167] dan menjabarkan kerusakan yang akhirnya menimpa tembok kota tersebut:[168].</ref>
Lalu, sesudah menghampiri Saketa bersama-sama orang Pancala dan orang Mandura, orang Yawana, yang gagah berani dalam pertempuran, akan mencapai Kusumadwaja ("kota panji-panji kusuma", Pataliputra). Lalu, begitu Puspapura (nama lain Pataliputra) sudah dicapai dan tembok-tembok lumpurnya nan jaya raya dirubuhkan, seluruh negeri akan kacau balau.
Keterangan tentang pertempuran-pertempuran antara bangsa Yunani dan wangsa Sungga di India Tengah juga terdapat di dalam Malawikagnimitram, lakon karya pujangga Kalidasa yang diduga mengisahkan pertempuran antara pasukan berkuda Yunani dan Wasumitra, cucu Pusyamitra, yang berlangsung di sekitar Sungai Sind atau Sungai Kali Sind pada masa pemerintahan Pusyamitra.[170]
Menurut Yugapurana, orang Yawana mundur sesudah pecah konflik-konflik internal:
"Orang Yawana akan berkuasa, raja-raja akan sirna. (Tetapi pada akhirnya) orang Yawana, lantaran mabuk perang, tidak tetap tinggal di Madadesa (Negeri Tengah); tidak pelak lagi akan pecah perang saudara di tengah-tengah mereka, tersulut di negeri mereka sendiri (Baktria), akan berkobar perang dahsyat dan berdarah-darah." (Gargasanghita, Yugapurana, Pupuh 7).[169]
Menurut Mitchener, prasasti Hatigumpa mengindikasikan keberadaan orang-orang Yunani-India di bawah pimpinan seorang tokoh bernama "...ta" dari Mandura pada abad pertama SM.[171] Nama raja Yunani-India tersebut sudah terhapus. Suku kata "ta" yang tersisa pada prasasti tersebut telah menjadi pokok perdepatan. Menurut Tarn, suku kata tersebut mengacu kepada Demetrios, tetapi disanggah sejarawan lain, misalnya Narain, yang menunjukkan ketidaksesuaian tafsir tersebut dengan kronologi maupun dengan fakta bahwa Demetrios tidak pernah mencapai daerah lain di luar Panjab.[172] Para sejarawan sekarang ini berteori bahwa suku kata "ta" mengacu kepada Menandros I, atau mungkin pula salah seorang raja Yawana terkemudian dari Mandura.
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.